Vous êtes sur la page 1sur 12

ASUHAN KEPERAWATAN MENTAL ANAK TERANIAYA

Disusun Oleh: Fanny Ade hanafi NIM 015.12.10.530

AKADEMI KEPERAWATAN PEMKAB NGAWI


TAHUN AJARAN 2010/2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Dalam pembuatan makalah pengkajian ini, Mahasiswa Akademi Keperawatan Pemkab Ngawi semester IV agar dapat memahami atau mengetahui Asuhan Keperawatan Psikology. Khususnya pada Asuhan Anak Korban Tindak Kekerasan.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu : Tujuan Umum : Agar mahasiswa mampu memahami tentang Asuhan Anak Korban Tindak Kekerasan. Tujuan Khusus : Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Asuhan Anak Korban Tindak Kekerasan Mahasiswa dapat melakukan Asuhan Anak Korban Tindak Kekerasan Mahasiswa dapat mempraktekkan Asuhan Anak Korban Tindak Kekerasan

BAB II Laporan Pendahuluan Korban Tindak Kekerasan


A. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Townsend (1996), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang faktor predisposisi, yaitu teori biologi, teori psikologi, dan teori sosiokultural, yaitu :

1. Teori Biologi Teori biologi terdiri atas tiga pandangan, yaitu pengaruh neurofisiologis, biokimia, genetik, dan gangguan otak. a. Pengaruh Neurofisiologis Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik secara jelas terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif. b. Pengaruh Biokimia Berbagai neurotransmitter sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. c. Pengaruh Genetik Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan keterkaitan dengan genetik. d. Gangguan Otak Penelitian membuktikan bahwa sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai gangguan serebral merupakan faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. 2. Teori Psikologi a. Teori Psikoanalitik Teori psikoanalitik menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka tehadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.

Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas dan insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas. b. Teori Pembelajaran Anak-anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, yakni orang tua, kemudian mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau yang mempunyai orang tua yang mendisiplinkan mereka dengan hukuman fisik akan cenderung berperilaku keras setelah dewasa. 3. Teori Sosiokultural Selain pengaruh biologis dan psikologis, faktor budaya dan struktural sosial juga berpengaruh terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah.

B. PENGANIAYAAN
Jenis penganiayaan terdiri atas penganiayaan terhadap wanita, penganiayaan terhadap anak-anak, dan penganiayaan terhadap orang tua (Boyd & Nihart, 1998). 1. Penganiayaan Terhadap Wanita Berdasarkan hasil penelitian, ternyata wanita yang tidak menikah, wanita yang bercerai atau berpisah dari suaminya cenderung lebih beresiko mengalami penganiayaan daripada wanita yang menikah (Sassetti, 1993). Penganiayaan pada wanita tidak hanya bersifat fisik atau seksual, tetapi juga emosional, membatasi kebebasan, merusak properti, mengancam, atau mengisolasi dari keluarga dan teman. 2. Penganiayaan Terhadap Anak Semua tindak penganiayaan pada anak merupakan tindakan yang merenggut semua hak yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak. Termasuk hak anak untuk berperilaku sebagai anak, merasa aman dan dilindungi dari bahaya, diberi makan dan pakaian serta diasuh dengan kasih sayang sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang. Anak-anak yang pernah mengalami penganiayaan atau menyaksikan penganiayaan terhadap ibunya, cenderung akan bertindak kejam pada usia dewasa. Penganiayaan pada anak umumnya meliputi penganiayaan fisik, seksual,

penelantaran, dan penganiayaan emosional. a. Penganiayaan Fisik

Penganiayaan fisik dapat berupa tindakan memukul menendang, melempar, menyundut dengan rokok, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dapat menimbulkan cedera. Cedera fisik yang mungkin dialami korban meliputi cedera pada kulit atau jaringan lunak, fraktur, gigi rontok, luka bakar, kebiruan karena dicambuk, rambut rontok karena dijambak, luka tembak, tusuk pisau, perdarahan pada retina dan perdarahan di conjungtiva (Fontaine, 1996). b. Penganiayaan Seksual Ada dua kategori penganiayaan seksual, yakni inses (incest) dan penganiayaan seksual yang dilakukan bukan oleh anggota keluarga. Inses merupakan semua bentuk kegiatan seksual antara anak di bawah usia 18 tahun dengan anggota keluarga dekat (orang tua kandung, orang tua tiri, saudara kandung), anggota keluarga besar (kakek/ nenek, paman, bibi, sepupu), atau orang tua angkat (Rappley & Speare, 1993). Penganiayaan seksual di luar keluarga adalah bentuk kontak seksual antara bukan anggota keluarga dengan anak di bawah usia 18 tahun. Penganiayaan seksual akan menimbulkan trauma. Reaksi negatif dari orang yang dekat dengan korban, tenaga kesehatan, atau orang lain dapat memperparah trauma. c. Penelantaran Anak Ada beberapa jenis penelantaran anak, yakni gagal melindungi anak, penelantaran fisik, dan penelantara medik. Gagal melindungi anak seperti terminum racun, kesetrum listrik, jatuh dan terbakar. Penelantaran fisik meliputi gagal memberi makan, pakaian, dan tempat tinggal. Penelantaran medik mencakup gagal memberi kebutuhan pelayanan kesehatan pada anak. d. Penganiayaan Emosional Lima kategori penelantaran emosional terhadap anak adalah menolak, mengisolasi, meneror, mengabaikan, dan mengorupsi anak. Menolak untuk mengakui betapa bernilainya seorang anak. Mengisolasi dengan memutus lingkungan anak dengan lingkungan sosial. Meneror dengan menciptakan lingkungan yang menakutkan bagi anak. Mengabaikan kebutuhan psikologis anak sehingga anak merasa kelaparan secara emosional. Mengorupsi dengan melibatkan anak pada perilakudestruktif dan antisosial serta mendukung perilaku menyimpang. 3. Penganiayaan Terhadap Lansia

Pengniayaan terhadap lansia mengakibatkan cedera fisik atau penelantaran emosional meliputi menentang keinginan lansia, mengintimidasi, atau membuat keputusan yang kejam. Penganiayaan terhadap lansia umumnya dilakukan oleh anak-anak mereka.

C. RESPON KORBAN TINDAK KEKERASAN


Respon korban tindak kekerasan sangat bergantung pada tingkat perkembangan korban pada saat terjadi tindak kekerasan tersebut. Foley cit Shives (1994), menjelaskan reaksi korban tindak kekerasan sesuai dengan tingkat perkembangan mulai dari masa bayi sampai usia dewasa tua. Rasa percaya pada orang dewasa akan terguncang selama masa bayi (0-3 tahun); preokupasi dengan tindakan yang salah dan benar pada masa kanak-kanak (4-7 tahun); persepsi yang salah terhadap tindak kekerasan selama masa laten (7 tahun hingga remaja); kerancuan terhadap perilaku tindak kekerasan dan akibatnya sebagai remaja (pubertas sampai 18 tahun); kepedulian terhadap kredibilitas, gaya hidup dan nilai moral terjadi pada masa dewasa muda (18-24 tahun); kepedulian bagaiman tindak kekerasan dapat mempengaruhi kehidupan keluarga dan gaya hidup selama masa dewasa (25-45 tahun); serta kepedulian terhadap keselamatan diri, takut mati, reputasi dan kehormatan, dirasakan oleh orang yang sudah tua (45 tahun dan lebih tua). Respon korban tindak kekerasan dapat ditinjau dari respon fisik, biologis, psikologis, perilaku dan respon interpersonal (Boyd & Nihart, 1998). 1. Respon Fisik Korban tindak kekerasan menderita sejumlah konsekuensi fisik dari yang ringan hingga berat. Cedera ringan berupa abrasi atau lecet. Cedera berat berupa trauma gandu, fraktur yang parah, dan cedera pada bagian dalam tubuh. 2. Respon Biologis Depresi merupakan salah satu respon yang paling sering terjadi akibat penganayaan. Respon tubuh terhadap stress bersifat kompleks, sistem reaksi yang terintegrasi mempengaruhi tubuh dan jiwa. 3. Respon Psikologis Respon psikologis terdiri atas harga diri rendah, rasa bersalah, malu dan marah. 4. Respon Perilaku Wanita yang pernah mengalami penganiayaan, terutama penganiayaan seksual pada masa kanak-kanak, sering kali menjadi peminum alkohol atau menyalahgunakan zat lainnya. 5. Respon Interpersonal

Sebagai akibat dari penganiayaan yang sering dilakukan oleh keluarga dekat bahkan orang tua yang seharusnya menyayangi dan melindungi mereka, anak-anak korban penganiayaan akan tumbuh sebagai orang dewasa yang sulit menjalin hubungan rasa percaya dan intim.

D. PROSES ADAPTASI
Proses adapatasi untuk mengembalikan keseimbangan dengan membebaskan diri dari perasaaan takut dan perasaan tidak berdaya disebut dengan sindrom trauma tindak kekerasan. Sindrom trauma tindak kekerasan terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap akut atau disorganisasi dan tahap jangka panjang atau reorganisasi. 1. Adaptasi Tahap Akut atau Disorganisasi Tahap disorganisasi meliputi reaksi pertama yang diekpresikan atau reaksi yang ditahan/ dikendalikan, reaksi fisik, dan reaksi emosional terhadap situasi yang mengancam kehidupan korban. Pada tahap akut ini, wanita yang mengalami tindak kekerasan biasanya merasa cemas, marah, merasa bersalah, merasa terhina, mengingkari, syok, tidak percaya, atau merasa takut mati, bahkan merasa ingin balas dendam. Reaksi fisik bergantung pada cedera tubuh yang dialami. Merasa sakit pada bagian tertentu yang terkena serangan atau bersifat umum, seperti merasakan otot yang tegang. Reaksi emosional berupa perasaan takut, takut membahayakan tubuh, takut mati, disertai perasaan lain seperti marah, terhina dan menyalahkan diri sendiri. 2. Adaptasi Tahap Jangka Panjang atau Reorganisasi Reorganisasi adalah proses penyesuaian atau adaptasi selama beberapa bulan setelah terjadi tindak kekerasan. Stuart & Sundeen (1995) dan Johnson (1996) menyatakan bahwa korban tindak kekerasan mengalami masalah psikologis yang berkepanjangan. Pemulihan keseimbangan fisik, psikologis, sosial, spiritual dan seksual terjadi berbulan atau bertahun kemudian. Pada tahap ini, yang penting dialami adalah : a. b. c. d. Mendapatkan kembali rasa aman Mengatasi perasaan takut Mengakhiri perasaan kehilangan, seperti kehilangan harga diri dan rasa percaya Menyatukan kejadian di dalam diri secara menyeluruh.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA ANAK

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan. Apabila telah terjadi penganiayaan, perawat kemungkinan besar akan menhadapi orang tua yang menolak. Karena itu, perlu tetap tegas dengan nada suara terkendali, dan tidak bersikap mengancam. Kerja sama yang baik dengan orang tua akan sangat menguntungkan proses pemulihan anak. Menurut Beck, Rawlins & Williams (1993), pengkajian meliputi dimensi atau aspek fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual, sebagai berikut: a. Aspek fisik Gambar penting yang terdapat pada tubuh anak yang teraniaya adalah berbekasnya akibat tindakan yang terjadi berulang kali. Terlihat bekas trauma yang sering diikuti dengan petunjuk lain berupa bekas luka atau patah tulang. Perawat perlu memeriksa seluruh bagian tubuh anak dengan hati-hati sehingga tidak ada bagian yang terlepas dari pengamatan. Semua tanda-tanda trauma eksternal dicatat meliputi bentuk, ukuran, lokasi, dan warna. Trauma kepala merupakan penyebab utama kematian pada anak usia 2 tahun ke bawah. Karena itu, perawat perlu memeriksa bagian dalam. Semua lubang yang terdapat pada tubuh anak diperiksa untuk menemukan indikasi trauma. Pada umumnya, luka yang ditemukan pada anak yang teraniaya, antara lain : 1) Luka kepala akibat pukulan bagian atas tubuh dengan benda tumpul atau dengan membanting anak ke dinding. 2) Luka internal akibat tendangan atau dilempar dari tangga. 3) Laserasi dan kontusio akibat pukulan dengan ikat pinggang atau gantungan pakaian. 4) Kontusio multipel karena tusukan. 5) Luka bakar karena sundutan rokok, disiram air panas, atau dipaksa untuk meletakkan tangannya pada kompor berapi. 6) Hematoma. 7) Bekas gigitan manusia.

b.

Aspek emosional Anak yang biasa dianiaya oleh orang yang seharusnya melimpahkan kasih sayang,

sering mengalami kesulitan untuk mempercayai orang lain. Dalam hal ini, perawat harus sabar dan tidak terlalu menuntut anak untuk memberi keterangan sesegera mungkin. Mereka menjadi korban penganiayaan, karena mereka tidak mampu memenuhi harapan dan tuntutan orang tuanya, walaupun sebenarnya tuntutan tersebut tidak realistis. Pengkajian emosional meliputi rasa takut, sedih, tidak berdaya, putus asa, depresi, malu, tidak percaya, menarik diri, agresif, bermusuhan, melawan, dan berperilaku aneh. c. Aspek intelektual Tugas utama perawat dalam mengkaji aspek intelektual anak adalah memahami arti ucapan anak. Untuk itu, perawat harus mengerti proses perkembangan kognitif anak. Penganiayaan dan penelantaran menghambat proses perkembangan dan kematangan anak. d. Aspek sosial Perawat perlu mengamati dengan cermat interaksi antara orang tua dan anak. Perhatikan apakah orang tua tidak bersedia meninggalkan anaknya sendirian dengan perawat atau tenaga kesehatan lainnya? Apakah orang tua tampak terlalu melindungi anak? Apakah orang tua membiarkan anaknya menjawab langsung pertanyaan perawat atau cenderung memotong pembicaraan dan selalu ingin menjawab pertanyaan? Orang tua mungkin saja takut anaknya akan menceritakan kejadian sebenarnya. e. Aspek spiritual Pada awalnya anak belajar tentang nilai dari orang tua atau pengasuhnya. Apabila anak telah belajar mengenai konsep Yang Maha Kuasa, mungkin ia akan mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan penganiayaan dengan konsep tersebut. Berbeda dengan anak yang lebih tua, ia mungkin mempertanyakan mengapa Yang Maha Kuasa membiarkan penganiayaan yang dialaminya. Dalam tahap pengkajian, perawat perlu memperhatikan dan mencatat riwayat terjadinya luka/ memar, pemeriksaan fisik, keadaan gizi, keadaan emosional, tingkat tumbuh kembang anak secara menyeluruh, interaksi keluarga, interaksi interpersonal, dan riwayat kesehatan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasa diterapkan pada anak yang teraniaya dan terlantar, antara lain:

1) 2) 3) 4) 5)

Perubahan rasa nyaman berkaitan dengan luka sundutan rokok. Potensi untuk cedera karena diusir. Gangguan konsep diri berkaitan dengan penganiayaan. Perubahan keadaan gizi karena penelantaran. Penyelesaian masalah yang tidak efektif karena tingkat stress yang tinggi.

3. Perencanaan
Tujuan jangka panjang adalah membina lingkungan yang aman bagi anak. Tujuan berikutnya yaitu mengakhiri trauma akibat penganiayaan orang tua. Perawat harus hati-hati ketika menentukan tujuan yang ingin dicapai.

4. Implementasi
Peran utama perawat adalah memberikan asuhan keperawatan dan melindungi anak, tanpa mengesampingkan keluarga. Empati dan kematangan jiwa perawat sangat diperlukan dalam memberi asuhan keperawatan pada anak teraniaya, komunikasi harus tetap terbuka bagi anak, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. a. Aspek fisik Walaupun Rumah Sakit merupakan tempat yang paling aman bagi anak, sebaiknya perawat tidak mengabaikan kemungkinan kekerasan tetap dilakukan orang tua anak tersebut, karena orang tua merasa perlu untuk tetap mengendalikan anaknya. b. Aspek emosional Pengalama terapeutik memungkinkan anak untuk menggali perasaan terhadap keluarganya yang telah menganiaya dirinya sehingga perasaan ambivalen dapat dimodifikasi. Dengan demikian, ia akan mampu bermasyarakat tanpa merasa takut. c. Aspek sosial Perawat membantu anggota keluarga untuk memperluas interaksi mereka dengan masyarakat. Keluarga dianjurkan untuk mengembangkan bantuan masyarakat dan jaringan sosial. Begitu pula anak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa di sekitarnya sehingga memberi kesempatan pada anak untuk menimbulkan kembali rasa percaya pada orang lain. d. Aspek spiritual

Anak mungkin meyakini bahwa penganiayaan yang dialaminya merupakan hukuman Tuhan. Perawat membantu anak mempertebal sumber spiritual dalam dirinya dengan menekankan pada rasa berharga dan bernilai sebagai manusia.

5. Evaluasi
Indikator keberhasilan dalam rencana keperawatan menuntun perawat dalam proses evaluasi. Indikator keberhasilan disusun dengan menggunakan istilah yang dapat diukur.

DAFTAR PUSTAKA
Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC. http://nersjiwa.blogspot.com/2008_04_20_archive.html http://kdrt.webs.com/pendahuluandefinisibent.htm http://magetanonline.com/bentuk-bentuk-kdrt-kekerasan-dalam-rumah-tangga/ http://ichamor.blogspot.com/2009/11/apa-yang-dimaksud-dengan-kekerasan.htmlfikirjernih

http://mieraswitz.wordpress.com/2011/10/11/kdrt/

Vous aimerez peut-être aussi