Vous êtes sur la page 1sur 31

Pendekatan kajian terhadap islam

1. PENDAHULUAN
Pemahaman terhadap Islam, jelas Jacques Waardenburg, perlu dibedakan antara Islam sebagaimana yang diyakini oleh Muslim\dengan Islam sebagai kajian dalam studi atau penelitian Islam. Bagi Muslim, Islam, tegas Jacques Waardenburg, merupakan sesuatu yang bersifat normatif dan ideal. Inilah yang disebut oleh Jaqcues Waardenburd dengan Islam normatif (normative Islam) yang terdiri dari petunjuk-petunjuk, norma-norma, dan nilai-nilai yang diakui oleh pemeluknya sebagai pengejewantahan dari yang llahiah. Seiain yang Islam normatif tersebut, Jaqcues Waardenburg juga menyebut actual Islam (Islam aktual). Berbeda dengan Islam normatif, Islam aktual merupakan segala macam bentuk dan gerakan, tindakan, dan pemikiran yang berkembang dalam kehidupan Muslim pada konteks waktu dan tempat yang berbeda. Atas asumsi ontologis terhadap realitas Islam tersebut, Jaqcues Waardenburg kemudian memilah kajian Islam ke dalam tiga ruang lingkup sebagai berikut: pertama, the normative study of islamic religion. Kajian pada ruang lingkup pertama pada umumnya dilakukan oleh Muslim dengan tujuan mendapatkan kebenaran agama (Islam). Yang da pat dimasukkan pada kegiatan kajian pada ruang lingkup pertama ini adalah, tafsir (Qur'anic exegesis), hadist (the science of the traditions), fiqh (jurisprudence), dan kalam j (metaphysical theology). Kedua, the nonnormative study of Islamic relegion, adalah kajian terhadap apa yang oleh Muslim diyakini sebagai Islam yang benar dan dipandang sebagai living Islam (ekspresi keberagamaan Muslim yang sebenarnya). Kemudian ruang lingkup yang ketiga disebut dengan the nonnormative study of Islamic aspects of Muslim culture and societies, yakni kajian terhadap aspek budaya dan sosial Muslim.

2.ISLAM
Bagi umatnya , islam selalu merujuk pada peradaban dan berorientasi dunia. Islam tidak hanya sebuah agama menurut makna modern yang terbatas. Menurut pandangan orang islam , hanya sedikit atau bahkan tidak ada aspek dalam kehidupan individu dan social yang tidak dipandang sebagai ungkapan islam atau yang tidak berasal dari implikasinya. Karena pandangan umat islam tentang dunia selalu terpadu dan menyeluruh, dengan komitmen beragama yang dipandang sebagai inti darimana semua hal lain berasal, hamper tidak mungkin membuat garis (pemisah) antara sisi pengalaman islam yang agamis (religius)dengan sis yang tidak agamis. Pada masa sekarang ketika dunia Islam dihadapkan pada dilema yang ditimbulkan oleh hubungannya dengan tekanan modemitas dan kegagalannya sendiri, dicari alat-alat luar yang dapat digunakan untuk mampu bertahan, alat yang mungkin saja tidak sesuai dengan identitas, takdir, dan kehidupan umat Islam menurut Hukum Allah. Menurut kata-kata Grumebaum, alat yang dipilih adalah memandang sesuatu yang heterogenetik sebagai sesuatu yang ortogenetik (von Grunebaum, 1962). Maka kita menyaksikan fenomena perubahan radikal dalam kehidupan sosial Umat Islam yang dilaksanakan menurut dasar yang benar-benar merefleksikan nilai-nilai Islam tradisional.

Masalah yang dihadapi dalam upaya memahami konsep Islam disebabkan luasnya konsep, fakta yang ada, dan keragaman tingkat pemahaman diantara umat Islam sendiri. Pertanyaan, "Apa itu Islam?" terbukti sulit dijawab baik oleh umat Islam itu sendir maupun bagi para sarjana ilmu agama, meskipun pertanyaan ini mungkin sama sulitnya dengan pertanyaanpertanyaan seperti "Apa itu Kristen?" atau "Apa itu Budha?" Selain itu, sudut pandang yang dipakai mereka yang berusaha menjawab pertanyaan itu pun berbeda-beda. Menurut pendapat saya, tidak ada harapan untuk menemukan definisi Islam yang diterima secara universal. Jika permasalahannya memang demikian, Islam harus dipandang dari perspektif sejarah seperti respon berbagai generasi Muslim yang selalu berubah, berbenah, dan berkembang terhadap pandangan mendalam tentang realitas dan makna kehidupan manusia. Namun, hal ini tidak hanya menunjukkan pandangan yang berubah namun visi itu sendiri sebagai cita-cita umat Islam menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan antar generasi.

3.AGAMA
Menetapkan makna agama tidak kalah sulitnya. Banyak sekali tulisan tentang bidang ini karena manusia sangat memperhatikan bidang ini, yang dasarnya bersifat kontroversial. Sering kali tulisan agama dipandang sebagai respon manusia terhadap kekuatan alam yang besar dan tak dapat dikontrol, seperti 'penyakit bahasa 1, munculnya ketakutan dan dorongan terhadap keamanan. Pembahasan tentang topik ini terus berlanjut seperti yang disaksikan pada dasar baru atas pandangan lama bahwa agama adalah keyakinan terhadap dewa-dewa (Spiro, 1966). Banyak teori yang dihasilkan para akademisi memberi alat untuk menafsirkan materi Islam. Namun, teori semacam itu jarang sekali digunakan untuk menjelaskan pengalaman Islam. Alasannya adalah (1) fakta bahwa mahasiswa ilmu agama lebih tertarik pada agamaagama primitif daripada agama-agama yang lebih tinggi; (2) pengabaian Islam dalam keilmuan Barat terkait dengan ketidakcondongan pada agama lebih tinggi; (3) fakta bahwa keinginan untuk memahami pengalaman umat lain sering kali sangat rendah bila obyek penelitiannya adalah Islam daripada jika mempelajari agama-agama India atau Timur Jauh; dan (4) bidang ini didominasi oleh orang-orang yang lebih tertarik dengan sejarah atau filsafat. Meskipun seseorang dapat memahami agama secara umum, namun masih ada pertanyaan tentang apa yang menjadi obyek penelitiannya. Apa harus diperhatikan seseorang untuk mengetahui agama Islam atau yang lain? Sekali lagi, jawabannya sulit didapat, karena keagamaan manusia dapat berfungsi sebagai penegasan terhadap pemyataan kredo atau doktrin, sebagai perumusan sistim filsafat, sebagai tindakan pemujaan, sebagai cara perilaku yang diatur sanksi moral, atau sebagai kaitan dengan dan partisipasi dalam kehidupan kelompok yang berorientasi agamis. Namun, apakah ada hal-hal penting yang dapat digunakan untuk memahami agama? Apakah dibalik semua itu ada pengalaman pribadi, pengalaman yang mendekatkan dengan inti makna agama bukannya manifestasi eksternalnya? Singkatnya, dalam agama terdapat bidang kesadaran, perasaan, dan respons pribadi yang tak dapat disampaikan.

KAJIAN ISLAM DI INDONESIA


Penting melihat perkembangan (atau kemunduran?) studi islam di Indonesia, dan bagaimana arahnya kedepan. Cak Nur almarhum pernah menulis Islam Indonesia harus bergerak dari pinggiran ke pusat. Cak Nur melihat keunikan dan kompleksitas ciri-ciri Islam Indonesia: Islam dan budaya lokal, Islam dan Sufisme, dan Kebangkitan Islam. Ia berkesimpulan, seperti Hodgson dalam The Venture of Islam-nya, bahwa Islam Indonesia sama sejatinya dengan Islam di dunia lain; ini untuk menolak anggapan bahwa Islam Indonesia inferior dan marjinal dibanding Islam Arab. Supervisor saya di Edinburgh, yang juga supervisor Kak Edy di Columbia, William Roff, melihat Islam Indonesia sebagai industri pengetahun (knowledge industry) yang memiliki masa depan cerah. Roff membagi pendekatan kajian Islam menjadi tekstualis dan kontekstualis - apa yang seharusnya disatu sisi dan praktek budaya di sisi lain, dan sependapat dengan Salvatore dalam Islam and Political Discourse of Modernity yangmembuka hubungan dialektis antara wacana Orientalisme dan wacana otentisitas.

Sekilas tentang Kajian Islam


Kajian Islam (dirasah islamiyah/ islamic studies) merupakan disiplin modern yang berusia sangat tua. Ia ada sejak Islam itu sendiri lahir di bumi. Tentu saja, pada awalnya aktifitas kajian keislaman berlangsung dengan cara sangat sederhana. Di masa lampau, kajian Islam berasal dari tradisi panjang kaum muslim untuk membangun kesarjanaan guna memahami agama Islam (Azim Nanji, 2003). Lambat laun seiring dengan perkembangan jumlah dan tingkat intelektualitas penduduk yang mengikuti agama Islam, maka cara melakukan studi Islam juga mengalami perkembangan. Cara atau pendekatannya juga dilakukan dengan beberapa macam dan di beberapa tempat yang berbeda, meskipun semua itu dilakukan denga tujuan sama, yaitu untuk mengamalkan ajaran Islam secara 'benar'. Pada perkembangan berikutnya, tujuan studi Islam pun berbeda-beda, terutama oleh mereka yang tidak ada maksud untuk mengamalkan ajaran Islam. A. Qodri A. Azizy mengelompokkan studi Islam menjadi 5 (lima) jenis (A. Qodri A. Azizy, 2003). Pertama, ngaji. Studi Islam model ini dilaksanakan untuk tujuan semata-mata mempraktekkan ajaran Islam. Metode yang pakai sangat sederhana dengan tanpa melakukan kajian kritis. Materi yang diberikan oleh sang guru (guru ngaji biasanya seorang ulama, ustaz, tuan guru, haji, dan lain-lain) diterima apa adanya oleh seorang murid/ santri yang sekaligus berusaha mengamalkan. Studi Islam model ini, baik di desa maupun di kota, dilakukan dengan pengajia umum atau pengajian rutin. Studi Islam yang belaku dikebanyakan pesantren masuk kategori ini. Peran sang guru sangat besar, dan hamper tidak pernah menerima kritik dari santri. Guru haruslah orang Islam yang menjalankan ajaran Islam tersebut, bahkan sekaligus dianggap sebagai role model (contoh). Kedua, islamologi. Model ini kebalikan dari yang pertama. Kalau jenis pertama seorang melakukan kajian Islam untuk menjalankan ajaran Islam secara utuh, maka di sini, kajian keislaman dilakukan dengan memosisikan Islam sebagai pengetahuan. Pelakunya bisa seorang yang anti Islam, dan dengan tujuan untuk membuat citra jelek Islam, dan dalam hal tertentu untuk merusak Islam dari dalam, sebagaimana sejarah perkembangan orientalis. Studi Islam yang dilakukan oleh ilmuwan dari negara-negara penjajah Eropa masuk dalam kategori ini, meskipun mereka tidak semuanya dalam rangka merusak Islam dari dalam. Ketiga, apologis. Dalam kasus tertentu, studi Islam dilakukan dalam rangka menjawab/ merespon model studi Islam nomor 2 (dua) di atas, terutama ketika model studi Islam ke-2 dilakukan dengan tujuan mendiskreditkan Islam. Bahkan respon tersebut, dalam beberapa hal,

terlalu berlebihan. Yaitu jenis studi Islam apa pun yang dilakukan oleh orang Barat selalu ditolak karena dianggap memiliki agenda negative terhadap Islam (Qasim Al Samurai, 1996; M. Amien Rais, 1986). Keempat, islamization of knowledge (islamisasi ilmu pengetahuan). Jenis ini pada dasarnya juga respon atas perkembangan keilmuan Barat yang begitu maju. Yang membedakan dengan apologis, islamization of knowledge merupakan respon dengan usaha agar ilmu-ilmu sekuler mempunyai akar dan landasan dari ajaran tauhid. Respon di sini lebih didasarkan pada kesadaran terhadap realitas keilmuan yang dianggap sekuler, bukan prejudice (prasangka), seperti apologis respon balik dengan ciri utama prejudice terhadap islamologi dan islamologi itu sendiri prejudice terhadap ngaji. Karena sekuler, maka harus di-islamkan dengan cara perubahan mendasar dari awal, bukan sekedar pengislaman dalam proses sambil jalan. Kelima, studi Islam klasik. Yang dimaksud dengan model studi Islam klasik adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Al Ghazali, Al Razi, Al Suyuthi, para ulama besar lainnya. Para ulama ini melakukan kajian keislaman dengan kitis dan realistis, namun sasaran akhirnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Lepas dari berbagai model kajian Islam yang berkembang, setidak hingga hari ini, kita menjumpai betapa selama 15 abad khazanah intelektual Islam belum pernah terputus. Khazanah intelektual Islam masih terpelihara kooh dalam aneka ragam budaya bangsa yang memeluk agama Islam, baik mengambil bentuk literature, lembaga pendidikan agama, seni bangunan, seni kaligrafi, seni tari, seni rupa, dan lain sebagainya (M. Amin Abdullah, 2006).

Beberapa Pendekatan dalam Studi Islam Kita dapat membedakan sejumlah perspektif yang mengatur dan masih mengatur pendekatan pada Islam. Dalam bagian ini, kita akan membahas beberapa pendekatan penting. Pendekatan pada Islam sangat beragam dari yang normatif sampai yang deskriptif. Pendekatan-pendekatan ini dapat juga diklasifikasikan menurut ada tidaknya komitmen agama peneliti. Pembedaan ini semakin jelas pada kasus mereka yang menyelidiki Islam dengan tujuan menarik perhatian pada satu sisi, dan mereka yang merespon motif intelektual pada sisi lain. Namun, kita keliru jika terlalu menekankan pembagian semacam ini karena upaya untuk mempertahankan pembedaan tersebut dapat menimbulkan bahaya perpecahan. Meskipun banyak usaha telah dilakukan untuk membangun penelitian agama yang benar-benar ilmiah dan mandiri di lingkungan universitas-universitas Barat, terbukti sulit sekali melakukan penelitian yang ebanr-benar netral pada masalah norma dan filsafat agama. Bukti kesulitan ini dapat dijumpai pada banyak teori agama yang dikembangkan satu abad terakhir, yang jika dipahami lebih mendalam, sering kali memberi penilaian negatif terhadap kebenaran dan realitas agama terkait. Bukti lain kesulitan semacam itu dapat dijumpai pada pemikiran bapak pendiri ilmu agama Barat atau Religionswissenschaft yang motivasi keilmuannya yang motivasi keilmuannya terkait dengan kecenderungan teologisnya, Selain itu, masalah timbul karena sifat agama. Meskipun salah satu aspek agama merupakan fenomena historis dan manusaiwi, agama menegaskan diri memiliki rujukan transenden. Pada semua hal, agama melibatkan komitmen mendalam dan komitmen kuat para pengikutnya. Maka upaya untuk memisahkan pertimbangan normatif dari apa yang sebagian dipandang sebagai aspek ilmiah menjadi sangat mendesak ketika akademisi membahas agama yang tidak diyakininya seperti pada kasus mahasiswa Barat yang mempelajari Isla

PENDEKATAN ANTROPOLOGI
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalanpersoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi. Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usahausaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia. Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning). Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia. Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalanpersoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting. Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.

Pendekatan Normatif atau Agamis


Diantara beberapa pendekatan terhadap islam yang termasuk mendekati sisi normatif adalah : 1. Pendekatan misionaris tradisional 2. Pendekatan apologetik muslim 3. Pendekatan irenik yang digunakan beberapa penulis barat

1. Pendekatan misionaris tradisional Pada abad 19, berkembang aktivitas misionaris dipihak gereja, sekte dan jemaat kristen yang terkait dengan pengaruh Eropa di bidang politik, ekonomi dan militer di belahan Asia dan Afrika. Minat baru pada aktivitas misionaris ini sangat di dorong oleh pemahaman mendalam tentang peradapan dan masyarakat non-barat setelah meluasnya daerah jajahan, disamping mengakar pada pemikiran kristen. Sebagai konsekuensi dari gerakan misionaris ini, banyak individu mengabdikan diri untuk mengadakan perjalanan ke Asia dan Afrika untuk merubah keyakinan penduduk asli ke kristen dan untuk menunjukkan pada mereka manfaat peradaban barat. Sama seperti pejabat penjajahan, mereka wajib mempelajari berbagai bahasa dan berpartisipasi dalam kehidupan kultur penduduk setempat. Maka, diantara para misionaris ini banyak individu yang mahir berkomunikasi dalam bahasa masyarakat Islam dan persentuhan mereka dengan budaya Islam memperbesar pemahaman mereka tentang agama ini. Dua kelas individu ini, misionaris dan pejabat penjajah, termasuk kontributor penting pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam, dan sampai sekarang merupakan unsure penting dalam komunitas ilmiah ini. Meskipun tidak sepakat dengan tujuan mereka, kontribusi kedua kelompok tidak boleh diabaikan; semua pihak yang sekarang mempelajari bidang ini banyak berhutang budi pada mereka. Pada masa awal gerakan misionaris, tujuan utamanya adalah mengubah agama atau keyakinan penduduk setempat. Mereka sangat berminat kuat untuk mengetahui tentang Islam karena pengalaman mendalam akan membantu cara mendekati orang Islam. Maka, perhatian harus diberikan pada perbandingan antara keyakinan Islam dan kristen, yang selalu merendahkan Islam. Namun sejak awal, motif yang mendasari gerakan misionaris sangat beragam. Seiring dengan perubahan waktu, para misionaris ini juga bertujuan melayani umat lain di daerah jajahan. Selain itu, belakangan perkembangan dalam pemikiran kristen, khususnya diantara para penganut protestan, semakin mereduksi justifikasi teologis untuk mengubah keyakinan lain, dan kelompok misionaris berubah menjadi pemberi layanan, seperti menjadi guru, tenaga medis, pekerja sosial. Kecenderungan ini diperkuat oleh semakin kuatnya permusuhan antara pemerintah dan individu di dunia Islam terhadap aktivitas yang bertujuan pada pengubahan agama umat lain. Namun, ada hal penting yang harus diperhatikan dalam menilai tren gerakan misionaris ini. Meskipun kelompok lama sudah lama melepaskan tujuan menyebarkan agam kristen, sejak PD II muncul elemen baru dalam bentuk misi keyakinan. Misi ini, yang umumnya menganut keyakinan protestan ultrafundamentalis, membanjiri banyak dunia Islam dengan tujuan

membantu orang Islam memahami kesalahan jalannya. Sampai sekarang, pendekatan misionaris tradisional terhadap Islam masih berlaku.

2. Pendekatan apologetik muslim Diantara karakteristik pemikiran muslim pada abad 12 adalah kecenderungan pada apologetik. Dorongan untuk mengadopsi sikap apologetik sangat kuat, sehingga kecenderungan ini menyebar luas di sebagian wilayah dunia Islam, seperti anak benua India. Maka, sulit untuk menemukan penulis Islam yang tidak mencerminkan pandangan apologetik. Apologetik dapat dipandang sebagai respon pemikiran Muslim terhadap situasi masyarakat Islam di zaman modern. Selama satu abad terakhir orang Islam telah mengembangkan dinamika dan kesadaran diri, yang didorong oleh kemunduran internal dalam masyarakat dan keinginan untuk menghadapi tekanan peradapan barat. Setelah dihadapkan pada krisis, masyarakat Islam merasa perlu memahami lagi nilai dasar tradisi mereka. Selain itu, usaha ini bertujuan mencari alat untuk memodernisasi diri, yang dianggap menjadi kunci untuk meraih kembali kekuasaan dan kejayaan yang hilang, yang pada saat bersaman berjuan mempertahankan identitas dan prinsip warisan tradisionalnya. Tema yang dianggap para apologis modern sudah diketahui seluruh mahasiswa bidang studi Islam, sehingga tidak perlu dibahas secara terperinci. Tema-temanya antara lain desakan terhadap rasionalitas Islam, kesesuaiannya dengan sains, semangat kemajuannya, pandangan etikanya, dan sejarah konstribusinya bagi umat manusia. Mereka yang tertarik dengan tematema semacam ini dapat membahas pada Alis Famous the spirit of Islam (Ali, 1922), atau menganalisanya dalam Modern Islam in India (Smith, 1946). Kelompok apologis telah memberi sumbangsih pada masyarakat Islam dengan berbagai macam cara. Mungkin yang terpenting adalah kegemaran mereka terhadap identitas Islam yang mempengaruhi beberapa generasi anak muda Islam dan perasaan bangga terhadap warisan ini. Selain itu, mereka juga mendorong penemuan kembali banyak aspek sejarah dan pencapaian Islam yang telah dilupakan masyarakat. Maka, berkembang aktivitas penelitian dan penulisan yang memperkkuat pengetahuan Muslim tentang warisan budaya, intelektual, dan agama mereka sendiri. Namun seperti halnya gerakan misionaris Islam, gerakan apologetik memiliki sejumlah karakteristik yang dipandang kurang jelas dari sudut pandang ilmuwan. Karena apologetik sangat berusaha menunjukkan Islam dengan cara yang positif, gerakan ini sering kali melakukan kesalahan yang menurunkan nilai keilmuannya. Sama seperti serangan polemik Kristen pada Islam, literatur apologetik dianggap mengalami ditorsi, terlalu selektif, dan membesar-besarkan penggunaan bukti untuk mengingatkan kembali sejarah dan pencapaian Muslim, membuat perbandingan keliru, dan kesalahan lain yang menunjukkan karakter kecenderungannya. Maka, kegagalan apologetik Muslim modern, harus dipandang sebagai sisi motif, bukan sisi akademisnya.

3. Pendekatan irenik yang digunakan beberapa penulis barat Beberapa tahun sejak PD II berkembang gerakan baru di Barat, yang ditunjukkan dalam lingkungan universitas dan kelompok agama, yang tujuannya adalah lebih memahami keagamaan Islam dan menumbuhkan sikap baru terhadap agama ini. Gerakan ini memiliki tujuan moral dan agamis selain tujuan intelektual. Gerakan ini ingin memahami lebih mendalam

tentang nilai-nilai yang ditunjukkan Islam pada umatnya sendiri dan memberi evaluasi yang positif tentang kesalahan umat Islam. Usaha ini dilakukan untuk mengatasi sikap antagonis dan penuh prasangka orang Barat, khususnya orang Kristen Barat, terhadap tradisi Islam. Pada saat yang sama, gerakan ini berusaha mengadakan dialog dengan umat Islam untuk membangun sikap simpati timbal balik diantara kedua tradisi agama ini. Namun, mereka yang menerapkan pendekatan ini masih kesulitan dalam menanamkan hubungan dengan umat Islam dikarenakan pandangan umat Islam, berdasarkan pengalaman silam, terhadap studi Orientasi Barat. Salah satu cabang pendekatan terhadap Islam ini ditunjukkan oleh karya Uskup Kenneth Gragg. Gragg sangat mahir berbahasa Arab dan seorang teolog yang handal; selain itu, selama bertahun-tahun dia menjalin hubungan dengan orang Islam untuk membangun kesesuaian yang lebih besar antara pandangan Islam dan Kristen (baca Gragg, 1956 dan 1959). Melalui serangkaian penelitian yang ditulis dengan gaya elegan dan agak puitis, Gragg berusaha menunjukkan pada audiens barat dan kristen beberapa elemen keindahan dan nilai agamis yang menumbuhkan tradisi Islam dan orang Kristen harus terbuka terhadap hal ini. Dia juga menunjukkan bahwa umat Islam menghadapi banyak masalah dan isu yang sama dengan umat kristen, namun munggunakan cara dan arahan pemahaman yang berbeda. Metode kajiannya dimulai dengan menunjukkan bahwa pandangan seminal dan kesadaran tentang keyakinan Islam terbukti sesuai dengan pemahaman kristen tentang Tuhan dan dunia, dan hubungan manusia dengan keduanya. Maka, dia menyatakan bahwa sebenarnya orang islam adalah orang kristen yang tidak pernah menunjukkan pengalaman agamisnya secara cukup mendalam untuk mengakui fakta itu dan dia berusaha mengakui batasan agama Kristen-Islam. Namun, dalam analisa terakhirnya, Gragg tetap saja berusaha mengubah keyakinan umat Islam menjadi Kristen. Pada akhirnya, dia yakin bahwa orang Islam harus menjadi Kristen karena itulah satusatunya alan agar mereka menjadi Muslim yang sejati. Cabang kedua gerakan ini yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan motif merubah keyakinan lain ditunjukkan pada karya W.C.Smith. Mungkin karyanya yang paling relevan dengan cabang ini adalah buku kecil berjudul The Faith of Other Men (Smith, 1962), dan esainya yang berjudul comparative Religion, Whither and Why? (Smith, 1959). Dengan mencatat fakta bahwa keragaman agama merupakan karakteristik ras manusia secara keseluruhan dan eksklusivisme agama merupakan karakteristik kelompok manusia yang dipengaruhi apa yang disebut agama kenabian, Smith berpendapat bahwa tiga tipe pertanyaan ilmiah, yang menanyakan apa elemen keragaman itu, bagaimana dan kenapa muncul keragaman. Kedua, pertanyaan teologis, yang menanyakan bagaimana setiap kelompok agama menjelaskan dirinya sendiri menurut framework normatifnya sendiri. Terkhir, pertanyaan moral, yang menanyakan bagaimana individu harus berperilaku menurut keyakinannya. Dalam tulisan terkininya smith semakin tertarik dengan isu luas yang muncul dari studi komparatif agama, khususnya implikasi teologi dan agamis, sehingga dia tidak lagi menunjukkan ketertarikan tinggi pada aspek-aspek teknis Islam. Meski demikian, Smith telah memberi kontribusi penting untuk memahami Islam dan pengaruhnya masih kuat pada studi teologi maupun oriental. Dengan memilih Gragg dan Smith sebagai contoh variasi pendekatan Irenik terhadap Islam, kita tidak bermaksud mengabaikan tokoh lain yang termasuk dalam kategori yang sama. Mereka diantaranya adalah Montgomery Watt dan Geoffrey Parrinder.

Pendekatan Fenomenologi
seseorang dapat mencurahkan waktu dan energi untuk studi Islam dengan pendekatan atau dalam bentuk Religionswissenschaft Mereka yang menggunakan pendekatan ini secara formal memperoleh pendidikan tradisi Eropa dalam studi agama yang lahir dalam seperempat ahir abad ke-19, dan mereka yang berjuang keras menggunakan pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan sangat penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama. Adams dalam tulisan ini mengabaikan bagaimana perubahan konsepsi Religionswissenschaft seperti pada awal kemunculannya kemudian menjadi fenomenologi sebagai salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang menyebut fenomenologi agama. Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut. Aspek fenomenologi pertama iniepochesangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku. Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam. Dalam hal ini, Adams menguatkan apa yang dikatakan W.C. Smith yang menyarankan bahwa pernyataan tentang sebuah agama oleh peneliti dari luar (outsider) harus benar, jika pemeluk agama tersebut mengatakan ya terhadap deskripsi tersebut Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan

taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh. Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno.

Kesimpulan Fenomenalogi agama sulit didefinisikan. Narnun demikian, dapat dibedakan dua masalah penting yang nampaknya memudahkan memahami fenomenalogi adalah metode memahami agama orang lain dengan berusaha untuk masuk komunitas agama dengar menanggalkan artibut yang dimilikinya. Kelebihannya bisa mendalami agama orang lain sedang kekurangannya kalau imannya tidak kuat akan tergoyahkan. Kedua, fenomenalogi di pandang sebagai suatu pendekatan yang mencoba mencari fenomena-fenomena agama dengan melintasi batas-batas komunitas, agama dan budaya. memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama.

PENDEKATAN ILMU BAHASA DAN SEJARAH


Agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan banyak banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami dalam berbagai dimensinya. Betapa banyak persoalan umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga segala kearifan masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan pendekatan di dalam mempelajari agama. Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan dapat membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap

gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prossesualnya, perubahan-perubahan (changes), dan aspek diakronisnya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu dikembangkan di dalam penelitian masalah-masalah agama. Para ahli sejarah memberikan definisi tentang sejarah menurut berbagai sudut pandang dan cenderung berdasarkan keahlian mereka dalam bidang sejarah tertentu. Di antara para ahli itu, yang relatif memberikan definisi lebih menyeluruh akan makna sejarah, ialah W. Bauer (1928). Menurutnya, bahwa sejarah adalah salah satu ilmu pengetahuan yang berikhtiar melukiskan dan menjelaskan fenomena kehidupan sepanjang terjadinya perubahan karena adanya hubungan antara manusia terhadap masyarakatnya. Melihat dampaknya pada masamasa berikutnya atau yang berhubungana dengan kualitas mereka yang khas dan berkonsentrasi pada perubahan-perubahan yang temporer dan di dalam hubungan terhadap yang tidak dapat diproduksikan kembali. Oleh karena itu penekanan pada arti sejarah sebagai ilmu pengetahuan, sesungguhnya ia merupakan pengetahuan tentang peristiwa masa lalu umat manusia, di dalam perubahanperubahannya yang unik, dan peristiwa itu berdampak pada masa-masa sesudahnya. Jadi kekhasan masa lalu itu dapat diinterpretasikan karena dipandang memberikan pengaruh unik pada masa kini dan masa mendatang. Dalam pengertiannya secara konvensional, sejarah adalah cerita (narrative) tentang peristiwa di masa lalu. Di dalam cerita semacam ini terungkap fakta mengenai apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana sesuatu telah terjadi. Sejarah naratif ini mudah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya yang diungkapkan juru kunci tempat-tempat bersejarah, para Abdi Dalem Kraton, atau para penceramah agama yang mengkisahkan contoh-contoh keteladanan para tokoh agama. Model pengkisahan sejarah seperti itu lebih menekankan pada kemampuan penggunaan gaya bahasa yang menarik dan memikat perhatian pembaca atau pendengar. Sejarah naratif bisa dihasilkan oleh penulis bukan ahli sejarah, dan juga bisa ditulis tanpa memakai teori dan metodologi. Pendekatan pada dasarnya adalah sebuah kerangka metodologi di dalam pengkajian sesuatu bidang ilmu, atau dalam perkataan lain bahwa pendekatan adalah permasalahan inti dari metodologi dalam sesuatu ilmu. Penggambaran kita mengenai sesuatu masalah sangat tergantung pada pendekatan, yakni dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkan, dan lain sebagainya. Hasil pembahasan akan sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai. Pendekatan sejarah sudah barang tentu akan meneropong segala sesuatu dalam kelampauannya. Oleh karena gejala historis itu sangat kompleks, maka setiap penggambaran atau deskripsi terhadap peristiwa tertentu hendaknya mencerminkan sesuatu proses yang diungkapkan berdasarkan fakta-fakta tentang apa, siapa, kapan, di mana dan sebagainya Pengkajian sesuatu masalah berdasarkan pendekatan sejarah akan menghasilkan karya sejarah dalam dua sifat serta pengertiannya yang berbeda. Pertama, sejarah dalam arti subjektif, yaitu memperlihatkan cerita sejarah, pengetahuan sejarah dan gambaran sejarah, yang kesemuanya memuat unsur-unsur dan isi subjek (pengarang atau penulis). Jadi pengetahuan maupun penggambaran sejarah adalah hasil rekonstruksi penulis, sehingga di dalamnya termuat sifat, gaya bahasa dan struktur pemikirannya. Berbeda dengan sifat

penulisan sejarah tersebut, kedua adalah sejarah dalam arti objektif, yaitu merujuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, dan proses sejarah digambarkan dalam aktulitasnya. Jika pemahaman makna agama itu kita batasi secara khusus tentang agama Islam, maka pendefinisiannya juga akan sangat beragam. Secara umum biasa dipahami, bahwa agama Islam adalah sistem kepercayaan dan tindakan yang didasarkan pada wahyu Allah (al-Quran), yang dijelaskan atas sabda-sabda Muhammad SAW (al-Hadits), kemudian dikembangkan menjadi pandangan hidup pemeluknya melalui pemikiran-pemikiran para Ulama, dan menjadi realitas kehidupan umat Islam di dalam keragaman faham, tindakan, komunitas, dan lingkungan. Keragaman makna akan Islam ini, di dalam perkembangan mutakhir dapat dipetakan berdasarkan kecenderungan atau pembidangan studi Islam. Dilihat dari segi ajaran Islam itu sendiri, sejumlah ulama tradisional mengklasifikasikannya menjadi tiga kelompok besar, yakni 1) akidah, 2) syariah, dan 3) akhlak-tasawuf. Tiga kelompok besar ini memiliki percababangannya masing-masing seiring sejarah perkembangan, pemikiran serta penafsiran-penafsiran, serta kecenderungan pengembangannya sebagai aliranaliran. Di kalangan pemikir kontemporer, pembagian Islam itu bahkan lebih terinci lagi. Fazlur Rahman misalnya, membaginya menjadi: 1) kehidupan Nabi Muhammad, baik hubungannya dengan wahyu yang diterimanya maupun tantangan dan strategi untuk menghadapi umat Yahudi dan Kristen, 2) al-Quran, 3) Sunnah Nabi Muhammad, 4) Struktur hukum Islam, 5) Dialog antara teologi dan perkembangan dogma, 6) Syariah, 7) Perkembangan filsafat, 8) Praktek dan ajaran sufi, 9) organisasi sufi, 10) Perkembangan aliran-aliran (sectarian), 11) Pendidikan, 12) Gerakan pembaruan pra modern, 13) Gerakan pembaruan modern, dan 13) Warisan dan prospek (legacy and prospects). Meninjau objek penelitian agama dalam perspektif sejarah akan lebih mudah lagi berdasarkan periodesasi sejarah Islam itu sendiri. Beberapa penetapan periodesasi dikembangkan oleh para ahli, namun di sini untuk sekedar contoh akan dikemukakan seperti yang dibuat oleh Ira M. Lapidus. Menurut Sejarawan ini, babakan sejarah Islam dapat dikategorisasikan menjadi tiga periode. Pertama, Periode Awal Peradaban Islam di Timur Tengah, yaitu periode asal mula sejak abad VII yang merupakan era pembentukan peradaban Islam sejak masa turun al-Quran sampai abad XIII. Dalam periode tersebut dapat diperinci menjadi tiga fase besar: (1) Fase penciptaan komunitas baru yang berc orak Islam di Arabia sebagai hasil transformasi wilayah pinggiran dengan sebuah kemasyarakatan kekrabatan sebelumnya menjadi sebuah tipe monoteistik Timur Tengah, dan secara politik sebagai masyarakat sentralisasi; (2) Fase penaklukan Timur Tengah oleh masyarakat Arab Muslim. Dalam fase ini Islam merupakan agama dari sebuah Negara kerajaan di kalangan elite perkotaan; dan (3) Fase keberperanan nilai-nilai Islam dan kelompok elite Islam mengubah mayoritas masyarakat Timur Tengah. Kedua, Periode Penyebaran Global Masyarakat Islam yang berlangsung pada abad XIII XIX. Pada periode ini Islam bukan hanya sebagai agama masyarkat Arab Timur Tengah, melainkan telah menjadi agama masyarakat Asia Tengah dan Cina, India, Asia Tenggara, Afrika, dan masyarakat Balkan. Oleh karena itu pendekatan sejarah dapat melahirkan pemahaman lebih luas tentang berbagai persoalan agama, termasuk dapat dilakukan oleh para calon sarjana agama dalam berbagai disiplin ilmunya. Pertanyaannya, bagaimana pola pendekatan yang digunakan dalam meneliti dunia Islam yang sasarannya berupa masyarakat Islam dan ajaran Islam itu sendiri? Dalam perkembangan terkini, terdapat empat pendekatan yang dipakai dalam mengkaji tentang keislaman.Pertama, mereka menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk dalam kelompok humaniora (humanities), seperti filsafat, filologi, ilmu bahasa, dan sejarah. Ajaran Islam berupa karya para pemikir yang

sudah termuat dalam teks-teks dijadikan sasaran penelitian dengan pendekatan yang biasa diterapkan dalam disiplin-disiplin kelompok humaniora. Bermula dari pendekatan filologi kemudian dengan pendekatan sejarah yang sangat menonjol, kajian hukum Islam juga dilakukan dengan pendekatan sejarah pemikiran hukum, seperti halnya yang dilakukan Joseph Schacht. Sementara John Wansbrough dan muridnya Andrew Rippin dalam karyanya tentang studi Al Qur'an berangkat dari kajian kritik bahasa atau literary analysis. Kedua, mereka menggunakan metode dalam disiplin teologi, studi Bibel, dan sejarah gereja, di mana pendidikan formalnya diperoleh dari Divinity Schools. Dalam disiplin itulah mereka menjadikan Islam sebagai lapangan penelitiannya. Para sarjana dalam bidang ini mendapatkan pendidikan dari fakultas atau sekolah jenis ini. Justru model inilah yang banyak dipraktikkan sebelum 1960-an, yakni pada waktu area studies mengenai Timur Tengah, Timur Dekat, dan Asia Tenggara belum terwujud. Oleh karena itu sering dijumpai orientalis yang juga sekaligus pastur, pendeta, uskup, atau setidaknya missionaris. Ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu social (social sciences), seperti sosiologi, antropologi, politik, dan psikologi, meskipun disiplin-disiplin ini ada yang mengelompokkan ke dalam humaniora. Mengenai metodologi penelitiannya, mereka menggunakan metodologi yang biasa dipergunakan dalam disiplin ilmu-ilmu sosial seperti yang dilukakan oleh Leonard Binder sebagai seorang ahli politik dan Clifford Geertz sebagai antropolog. Keempat, menggunakan pendekatan yang dilakukan di jurusan-jurusan, pusat-pusat, atau hanya committee, untuk area studies, seperti Middle Eastern Studies, Near Eastern Languages and Civilizations, dan South Asian Studies. Dengan demikian seseorang bisa mendapat predikat ahli dalam bidang Islam atau keislaman setelah mendapat training di salah satu dari tempat, sekolah, jurusan, pusat studi yang bertanggungjawab untuk menyediakan atau melakukan kajian tersebut. Pendekatan yang dipakai sesuai dengan sasaran penelitiannya, sehingga kembali pada model-model pendekatan yang dilakukan oleh disiplin-disiplin tersebut di atas. Wadah area studies ini cenderung menonjol untuk Kajian Islam di Barat. Sementara itu, dalam perkembangannya, studi Islam di Negara-negara Barat dapat dikelompokkan menjadi lima macam (Azim Nanji [ed.], 2003): a). studi Islam yang menyaratkan kajian intensif tentang bahasa Arab sebagai bahasa. Kajian-kajian bahasa Arab berkembang secara luas di Eropa sejak permulaan abad ke-19. salah satu ahli dalam bidang bahasa adalah seorang sarjana Perancis A. I. Sylvestre de Sacy (1758-1838). b). Studi teks hanya dapat dilakukan berdasarkan pada pengetahuan yang solid tentang bahasa Arab dan bahasa-bahasa Islam yang lain, seperti bahasa Persia, Turki, Urdu dan Melayu. c). keahlian dalam kajian teks, pada gilirannya, merupakan pra syarat dalam kajian sejarah. Termasuk di dalamnya berbagai kajian terhadap para sejarawan muslim awal yang menulis dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. d). penelitian teks dan sejarah memberikan jalan bagi kajian budaya (culture) dan keagamaan (religion) Islam. Dan e). kajian terhadap berbagai wilayah budaya muslim yang lebih luas telah membentuk bagian-bagian yang integral dari studi Islam, sejauh masih menyangkut aspek keislaman dari budaya yang bersangkutan. Pendekatan yang digunakan dalam kajian Islam juga beragam, sebagaimana dipresentasikan dan diartikulasikan melalui tradisi islamic studies di Timur (dunia Islam) dan Barat. Kajian Islam di dunia Timur, lebih didominasi oleh pendekatan yang berorientasi pada penguasaan substansi materi dan penguasaan atas hazanah keislaman klasik. Itulah sebabnya, obyek utama kajian Islam dalam tradisi keilmuan Timur, lebih berpusat pada studi teologi (ajaran) yang bersifat ahistoris, bukan pada artikulasi atau fenomena keberagaman masyarakat yang bersifat histories. Dari pendekatan ini, akhirnya lahir para ahli ilmu agama yang hanya menguasai substansi doktrin atau ajaran agama, seperti ahli tafsir, ahli hadis. Berbeda dengan ini, Islamic studies di Barat, kajiannya lebih berorientasi pada Islam, sebagai realitas atau fenomena social, yakni Islam yang telah menyejarah, meruang dan mewaktu.

Islam dikaji dan dipelajari hanyalah sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan. Pendekatan yang digunakan lebih dominasi oleh penggunaan disiplin ilmu-ilmu social dan humanities, bukan pada kajian teologis doktriner sebagaimana studi keislaman di Timur.Maraknya kajian keislaman di Barat, di satu sisi, menjadikan kekayaan khazanah Islam didekati secara ilmiah dan kritis. Dan yang lebih penting serta menguntungkan bagi akademis Islam adalah munculnya perspektif yang berbeda ketika melihat khazanah keilmuan Islam. Kemudian sangat mungkin, khazanah Islam lambat laun akan bergeser menjadi milik orang lain, apabila maraknya kajian Islam di Barat tidak segera di-imbangi dengan aktifitas yang sama oleh masyarakat Timur. Apabila ini terjadi, tentu menjadi catatan sejarah yang memalukan untuk kedua kalinya. Wallah a'lam bish shawab.

Kajian Islam Melalui Pendekatan Sains


Dalam konsep Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan jalan untuk menemukan kebenaran Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang dikembangkan dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritualitas, martabat manusia secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia ketingkat yang lebih rendah martabatnya. Hakekat penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah Taala. Kebenaran IPTEK menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri. IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik), (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas. Sains adalah sarana pemecahan masalah mendasar setiap peradaban. Ia adalah ungkapan fisik dari world view di mana dia dilahirkan. Maka kita bisa memahami mengapa di Jepang yang kabarnya sangat menghargai nilai waktu demikian pesat berkembang budaya pachinko dan game. Tentu disebabkan mereka tak beriman akan kehidupan setelah mati. Islam merupakan agama yang punya perhatian besar kepada ilmu pengetahuan. Islam sangat menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman, Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah pengajar (Allamahu al-Bayan) bagi umat manusia. Dalam agama-agama lain selain Islam kita tidak akan menemukan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk belajar. Kita tahu bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah Surat Al-Alaq yang memerintahan kita untuk membaca dan belajar. Allah mengajarkan kita dengan qalam yang sering kita artikan dengan pena. Akan tetapi sebenarnya kata qalam juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata Qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam. Dalam surat Al-Alaq, Allah Taala memerintahkan kita agar menerangkan ilmu. Setelah itu kewajiban kedua adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi berikutnya. Dalam hal pendidikan, ada dua kesimpulan yang dapat kita ambil dari firman Allah Taala tersebut yaitu

pertama, kita belajar dan mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Kedua, berkenaan dengan penelitian yang dalam ayat tersebut digunakan kata qalam yang dapat kita artikan sebagai alat untuk mencatat dan meneliti yang nantinya akan menjadi warisan kita kepada generasi berikutnya. Dalam ajaran Islam baik dalam ayat Quran maupun hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling tinggi nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan sifat Allah Taala adalah Dia memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seorang penyair besar Islam mengungkapkan bahwa kekuatan suatu bangsa berada pada ilmu. Saat ini kekuatan tidak bertumpu pada kekuatan fisik dan harta, tetapi kekuatan dalam hal ilmu pengetahuan. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad shalallahualaihissalam menganjurkan kita untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Tidak ada Nabi lain yang begitu besar perhatian dan penekanannya pada kewajiban menuntut ilmu sedetail Rasulullah. Maka bukan hal yang asing kalau dulu kita mendengar bahwa Islam memegang peradaban penting dalam ilmu pengetahuan. Semua cabang ilmu pengetahuan didominasi oleh Islam yang dibangun oleh para ilmuwan Islam pada zaman itu yang berawal dari kota Madinah, Spanyol, Cordova dan negara-negara lainnya. Kejayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang luar biasa. Bahkan Eropa pun seolah-olah tidak berdaya menghadapi kemajuan Islam terutama di bidang IPTEK. Di zaman itu, di mana negara-negara di Eropa belum ada yang membangun perguruan tinggi, negara-negara Islam telah banyak membangun pusat-pusat studi pengetahuan. Walaupun pada akhirnya kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah telah berakhir dan hanya menjadi kenangan manis belaka, kita sebagai generasi penerus harus senantiasa berusaha untuk menjadi generasi yang pantang menyerah apalagi di zaman serba modern ini kemajuan IPTEK semakin sulit untuk dibendung. Kemajuan IPTEK merupakan tantangan yang besar bagi kita. Apakah kita sanggup atau tidak menghadapi tantangan ini tergantung pada kesiapan pribadi masing-masing. Sekarang tugas kita untuk mengembalikan masa kejayaan Islam seperti dulu melalui berbagai lembaga keilmuan yang ada di negara-negara Islam.

Secara geografis, jazirah ini terdiri dari:

BIDANG KAJIAN

plato tengah dengan padang rumput, dan lembah subur; cincin gurun, nefud di utara, berbatu, sahara, di selatan; terbentang dari tanah

Kajian Islam dari Sisi Al Quran dan Agama Popular

Pentingnya mempelajari realitas manusia ini terlihat pesisir, umumnya subur dari pesan Al-Quran ketika membicarakan konsep-konsep di barat dan selatan. keagamaan. Al-Quran seringkali menggunakan orang untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, AlQuran menunjuk pada konsep muttaqien, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Quran menggunakan kata orang sabar dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Quran yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku Agama Islam manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas berkembang pada periode kemanusiaa

Kajian Islam dari Sisi Al Quran dan

610-632 M di Arab dengan Kitab Al-Qurn dan Agama Popular Muhammad sebagai Nabi.

Muhammad lahir di Pentingnya mempelajari realitas manusia ini terlihat dari pesanpada tahun 570 M. Makkah Al-Quran ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Quran seringkali menggunakan orang untuk Umat Islam percaya bahwa menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Quran kenabian Muhammad terjadi menunjuk pada konsep muttaqien, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Quran menggunakan kata orang sabar dan seterusnya. Kalau kita merujuk padasaat surah Al-Alaq diterima pesan Quran yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh Muhammad di Gua Hiro.
karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari Agama Islam berkembang ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari dari agama minoritas permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, Rukun Iman: menjadi mayoritas. adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian Iman kepada Allah cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa Rukun Islam: bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little traditionIman realitas universal agama-great tradition. sesungguhnya adalah mosaik dari kepada Malaikat

Selama 23 tahun

Islam

Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture

Syahadat Shalat Zakat Puasa Haji

Iman kepada Kitab AlQurn Iman kepada Rasul Allah Iman kepada Kiamat

Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara. Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta tetapi juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L. Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus. Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut. Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.

Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh. Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting. Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai menjadi Melayu. Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut

BIDANG KAJIAN ISLAM DALAM HADIST DAN KALAM


1.Hadist

Hadist merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci Alquran. Di dalam hadist Nabi Muhammad SAW itulah terkandung jawaban dan solusi masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan.

Alkisah ada dua sahabat sejati yang ditakdirkan untuk terus berjalan berdampingan di muka bumi ini. Dua sahabat itu selalu berjalan beriringan kemanapun mereka pergi. Sikap saling tolong menolong pun tidak pernah mereka lewatkan. Disaat sahabat yang pertama mengalami kesulitan, maka sahabat yang kedua pun segera datang untuk menolong. Begitu pun juga sebaliknya. Sejak berabad-abad mereka diciptakan, mereka selalu terlihat bersama dan hubungan mereka berdua semakin lama semakin dekat dan tak terpisahkan. Yang lebih menakjubkan, atas eratnya hubungan mereka berdua itulah efeknya bisa dirasakan oleh semua manusia.

Suatu hari sahabat kedua jatuh sakit. Sakit yang dideritanya ternyata sudah cukup lama menjangkiti sang sahabat kedua. Sahabat pertama pun sebenarnya pernah dijangkiti penyakit yang sama, tapi untungnya penyakitnya cepat dapat disembuhkan berkat banyaknya bantuan dari teman-temannya yang lain. Sahabat pertama bisa merasakan kepedihan dan kenyerian yang dialami oleh sahabat kedua. Kesedihannya bertambah ketika menyadari bahwa ternyata penyakit ini yang bisa menghilangkannya hanya sedikit dimuka bumi. Bahayanya lagi, penyakit yang disebabkan oleh virus itu sangat-sangat menular bagi yang tidak mempunyai perlindungan khusus terhadapnya. Penyakit itu disebabkan oleh virus yang bernama "orientalist". Sahabat pertama bernama al Quran dan yang kedua bernama as Sunnah....

Begitulah kira-kira analogi kisah dari al Qur'an dan as Sunnah atau yang biasa disebut hadits, dua sahabat yang tak terpisahkan. Ketika seseorang akan membuat tafsir al Qur'an maka salah satu cara yang diperlukan adalah melakukan tafsir menggunakan hadits yang shahih. Didalam buku Ushul fi al-Tafsir yang ditulis oleh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin, beliau menempatkan cara membuat tafsir al Qur'an dengan hadits di peringkat kedua setelah membuat tafsir al Qur'an dengan menggunakan al Qur'an. Begitu pun ketika akan mentafsirkan suatu hadits, maka yang pertama dilihat adalah bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan yang ada di al Qur'an. Inilah yang disebut, dua sahabat yang tak pernah melewatkan untuk saling tolong menolong.

Ketika al Quran diragukan kebenarannya, maka para hafiz Qur'an (penghafal al Qur'an) pun unjuk gigi bahwa al Qur'an tidak ada perbedaan satu titik pun didalamnya. Ketika semua al Qur'an dimuka bumi ini dikumpulkan maka yang nampak tidak lain hanyalah kesamaan huruf antara mushaf yang satu dengan yang lainnya didalam setiap ayatnya. Maka al Qur'an pun selamat dari keragu-raguan. Surat Al Baqarah ayat kedua semakin mengokohkan pernyataan ini. "Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa".

Kedekatan dua hal tersebut tentunya akan berdampak positif bagi umat Islam dan umat manusia pada umumnya. Ini adalah janji Rasulullah saw dengan sabdanya, "Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh pada kedua-duanya maka kamu tidak akan sesat, yaitu al-Quran dan as-Sunnah" [HR. Ahmad, lbnu Majah]

Penyakit yang dimaksud adalah orientalis atau para pemikir barat yang tak hentihentinya berusaha menyerang kedua pegangan umat Islam itu. Telah sejak lama penyakit yang bernama orientalism ini menghampiri al Quran dan as Sunnah. Orientalis ini adalah sekelompok orang-orang yang melakukan penelitian sedemikian rupa terhadap al Quran dan Hadits untuk menimbulkan keragu-raguan terhadap kedua hal tersebut dan menyebarkan pemikirannya ke umat Islam. Tokoh dibalik para orientalis ini cukup banyak yang diantaranya adalah Ignaz Goldziher dan Aloys Sprenger yang sangat bersemangat untuk membuktikan bahwa hadits itu bukanlah perkataan Nabi Muhammad saw, tapi merupakan bikinan para ulama di awal abad kedua hijriah

Goldziher dan Usahanya Goldziher menurunkan satu pasal khusus tentang penulisan hadits-hadits dalam pembahasannya Muhammedanische Studien dan jilid keduanya diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh Leon Bercher tahun 1952 dengan judul Etudes sur la Tradition Islamique, Maisonneuve, Paris. Didalam pasal ini ia mengemukakan banyak dalil yang menyatakan bahwa pencatatan hadits dilakukan pada awal abad kedua hijriah. Begitu pun dengan Aloys Sprenger dalam bukunya, Das Traditionswesen beiden Arabern (Hadits Menurut Orang Arab).

Goldziher berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Rasulullah, melainkan sesuatu yang berasal dari abad pertama dan kedua Hijriyah. Artinya Goldziher berpendapat bahwa hadits adalah buatan ulama abad l dan abad ll H. Ia berkata, Bagian terbesar dari suatu hadits tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad l dan ll, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial.Tidaklah benar bahwa hadits merupakan dokumen Islam yang ada pada masa dini, melainkan pengaruh dari perkembangan Islam pada masa kematangan." Tujuan kaum orientalis ini bukan semata-mata demi ilmu dan penelitian belaka, bahkan sebagian mereka cenderung tidak mengakui sebagian sunnah. Seperti layaknya penyakit menular, maka gambaran pemikir orientalism ini sama saja. Buah pemikiran ini pun ada di Indonesia dan bisa dilihat dari pemikiran-pemikiran kaum liberal yang dengan serta merta berani melakukan kritik dan meragukan matan (isi redaksi) hadits yang telah jelas-jelas di teliti oleh yang jauh lebih ahli dibandingkan mereka seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hadits = Perkataan Setan ?

Ingkar Sunnah pun kurang lebih sama. Sama-sama tidak mengakui as Sunnah (hadits) sebagai bagian dari fondasi Islam. Sebagian mereka bahkan berpendapat bahwa hadits adalah perkataan setan. Lalu bagaimana mungkin mereka yang tidak mempercayai hadits itu tetap melakukan sholat lima waktu. Inilah yang terjadi ketika ustadz Fauzi (ustadz saya) berdialog dengan seseorang yang menolak hadits dan hanya percaya al Quran. Ketika waktu maghrib tiba, maka semua yang hadir disitu melakukan sholat berjamaah tak terkecuali dia yang menolak hadits itu. Ini kan aneh, bagaimana dia bisa mengetahui tentang tatacara sholat lima waktu kalau tidak dari hadits. Bahkan apabila seumur hidupnya dihabiskan untuk mencari tatacara itu di al Quran pun tidak akan ketemu.

Perjalanan Mencari Hadits

Kalau kita membaca sejarah tentang perjalanan para perawi atau penyampai hadits dalam mengumpulkan hadits Rasulullah saw, maka terlihatlah sebesar apa kesetian mereka untuk melestarikan hadits nabi saw. Perjalanan mencari hadits itu berbeda-beda sesuai dengan pelaku, tempat tujuan dan waktunya. Ada yang menempuh jarak beratus kilometer hanya dengan jalan kaki seperti Abdullah bin Abdul Ghani (269 H).

Ada yang melakukan pencarian hadits semenjak berusia 15 dan 20 tahun seperti Abu Ya'la al-Mushili yang wafat pada tahun 307 H, dan juga dilakukan oleh Muhammad bin Ali yang digelari Abu at-Tursi yang wafat tahun 510 H. Bahkan ada yang melakukan perjalanan berpuluh-puluh tahun terus menerus hanya untuk mencari hadits. Orang yang melakukan perjalanan seperti ini misalnya Muhammad al-Ashbahani, penghafal hadits dan guru besar Islam yang sangat alim. Mereka inilah yang kadang disebut pengembara pencari hadits.

Jelas bahwa pencarian hadits ini tidak dilakukan secara serampangan. Bahkan orientalis Goldziher, betapapun ingkarnya ia terhadap pemberitaan kaum muslimin, masih terpaksa membenarkan bahwa pengakuan para pengembara pencari hadits itu tidak mengada-ada dan berlebih-lebihan. [Etudes sur la Tradition Islamique, hal.220] Cabang Ilmu Hadits

Dalam men-tahrij atau meneliti dan mengkritik suatu hadits maka cabang-cabang dalam ilmu hadits pun harus dikuasai, seperti ilmu Al jahr wa ta'dil, ilmu Mukhtalaf al-Hadits, ilmu IlalulHadits, ilmu Gharibul-Hadits, ilmu Nasikh Mansukh Hadits dan banyak lagi.

Tidak aneh jika Hazim al-Hamdzani, seorang pakar dalam bidang hadits yang wafat di Baghdad tahun 594, mengatakan, "Ilmu Hadits mencakup banyak jenis yang jumlahnya ratusan, masing-masing jenis merupakan ilmu tersendiri. Sekalipun seseorang menghabiskan umurnya untuk menuntut ilmu-ilmu tersebut, dia tidak akan mencapai batas akhirnya". [Al-

Tadrib 9]

Maka bagaimana mungkin seseorang melakukan tahrij hadits hanya berdasarkan akal tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut. Bagaimana mungkin pula seorang muslim mengedepankan akal dalam menjalankan agamanya. Lihatlah apa yang dikatakan Umar bin Khaththab RA tatkala mencium Hajar Aswad : "Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan menciummu." [HR. Bukhari dan Muslim, Mukhtashar Shahih Bukhari no. 795]. Apa yang dilakukan Umar RA itu hanyalah karena ingin mengikuti apa yang Rasulullah saw lakukan dan bukan karena batu itu akan memberi manfaat baginya. Ini menunjukan bahwa wahyu dan sunnah lah yang membimbing akal dan bukan sebaliknya. Pembela as Sunnah

Goldziher dan orientalis lainnya, memang belajar hadits bukan untuk mencari kebenaran. Mereka mencari bukti bahwa apa yang dinamakan hadits tak ada kaitannya dengan Rasulullah. Ketika bukti itu -memang- tak ditemukan maka mereka membuat-buat alasan palsu untuk mendukungnya.

Para ulama tidak tinggal diam, salah satunya adalah Prof.Dr. Muhammad Musthafa al Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh KSA) dengan bukunya Studies In Early Hadith Literature dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beliau juga menulis buku The History of The Qur'anic Text (Sejarah Teks Alquran dari Wahyu sampai Kompilasi), 2003. Dan beliau juga menulis buku Studies in Hadith Methodology and Literature, 1977. Dr. Subhi as-Shalih, menulis satu kitab yang diberi judul Ulum al-Hadits wa Musthalahu yang diselesaikan pada tahun 1977 dan dicetak kedalam bahasa Indonesia dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, cetakan Pustaka Firdaus Oktober 2002. Pembahasan dalam kitab ini cukup lengkap dan membahas dari segi keilmuan beserta pandangan-pandangan tentang kaum orientalis dan juga dijelaskan letak kejanggalannya. Insya Allah, dari orang-orang seperti merekalah virus orientalis bisa dilawan. Ketika "mereka" tidak lagi menggunakan senjata bom, rudal, nuklir dan berbagai macam kekerasan untuk meredupkan cahaya Islam, maka ketahuilah, sekarang mereka telah mengganti senjatanya dengan Ghazwul Fikr atau Perang Pemikiran, suatu senjata yang sangat ampuh bahkan lebih ampuh dibandingkan rudal, bom dan senjata lainnya untuk meruntuhkan iman dan aqidah bagi yang tidak mempunyai persiapan dalam bidang ilmu keislaman seperti ilmu hadits dan sebagainya. Sudah siapkah kita melawan atau minimal bertahan.

2.Kalam

lmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam. Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpulsimpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul alDin (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis. Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi). Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.

Pertumbuhan Ilmu Kalam Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu. Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis". Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatarbelakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerahdaerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia. Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mulamula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh!

Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk

SUFISME
Selama tahun-tahun terakhir bidang kajian islam yang menarik perhatian sangat besar adalah sufisme. Studi islam sebagai tradisi agama tidak dapat menghindari penjelasan tentang aliran mistis yang sejak awal sudah berkembang dalam masyarakat, bahkan sejak masa Nabi sendiri. Namun, pengetahuan kita tentang mistikisme Muslim kurang berkembang karena posis yang ditempati elemen mistis dalam kehidupan agama Islam. Padahal setidaknya sejak abad ke-5 H, kelompok mistis mulai terorganisir dan memiliki pengaruh kuat pada kehidupan masyarakat. Meski demikian, kajian mistikisme islam atau sufisme tidak memiliki dasar sistimatis atau tegas. Meskipun ada banyak buku yang membahas kehidupan, aktivitas, dan pemikiran tokoh penting dan yang menggambarkan tahap penting terkait dengan pengalaman sufi, pemahaman akademis tentang apa yang terjadi pada bidang spiritual islam ini tetap tidak jelas. Masalah mendasarnya adalah tidak adanya karya yang mendukung penulisan sejarah sufisme. Dalam An Introduction to the History of Sufism (Sir Abdullah Suhrawardi Lectures), A.J. Arberry (1943) menulis bahwa untuk sekarang ini kita tidak mungkin dapat menyusun sejarah sufisme, karena itu kita harus menekankan perlunya melakukan serangkaian kajian awal dalam bentuk penyuntingan, penerjemahan, studi monograf tokoh sufi, analisa naskah penting, dsb. Kemajuan baru dibidang kajian ini ditunjukkan oleh karya Annemarie Schimmel (1975), yang berjudul Mystical Dimension of Islam. Professor Schimmel sangat peka dengan daya tarik estetika islam dan kajiannya terfokus pada ungkapan nistikisme dalam puisi. Meskipun upaya menyusun sejarah sufisme masih panjang, namun beberapa karya patut dianggap merekonstruksi perkembangan sufisme, diantaranya Essai sur les origins du lexigue technique de la mystique musulmane karangan Louis Massignon. Menurut pandangannya, titik puncak perkembangan Sufisme dijumpai pada sosok dan ajaran Al-Hallaj, yang mengobarkan hidupnya sendiri. Selain itu, tokoh semisal Ibn Arabi dan Suhrawardi juga memainkan peran penting dalam perkembangan sufisme. Karya Magnisson ini berpengaruh

kuat dalam membentuk metode yang digunakan sarjana Eropa dalam menyelidiki sufisme. Hampur setiap karya Eropa tentang bidang ini dipengaruhi oleh penekanan Massignon pada peran kosa kata teknis dan kebutuhan untuk mendapatkan makna dengan melakukan penelitian dan analisa secara sungguh-sungguh. Berkaitan dengan kaijan sufi, yang membahas topic selain sejarah, kita dapat membedakan beberapa perkembangan penting dalam era sekarang Ini. Salah satunya adalah munculnya literature tentang mistisisme Iran, khususnya aliran iluminasi, dan hubungannya dengan alirah syiah 12 imam. Dalam hal ini, kita menggunakan kata Mistikismebukannya sufisme karena banyak misti Iran secara empatik menolak identifikasi sufi. Nama penting yang dapat dikaitkan dengan kajian semacam ini adalah Henry Corbin, penulis dan editor yang karyanya menjelaskan hamper semua aspsek pemikiran dan pengalaman islam dari pemujaan sampai filsafat ( baca Corbin, 1970, 1971-1972,1964). Dari semua karyanya, ada dua yang perlu disebutkan disini, yaitu Historie de la philosophie islamique, yang disusun bersama dengan sayyid Husaen Nsr dan En Islam Iranien, karya yang menunjukkan puncak karir Corbin yang panjang. Perkembangan terkini kedua pada studi Sufi adalah munculnya sejumlah karya tentang topic persaudaraan mistik yang dulu banyak dilupakan. Persaudaraan ini, yang berkembang pada abad 12 M merupakan aspek paling nyata dalam kehidupan mistis masyarakat dan memiliki hubungan kuat dengan sejumlah institusi islam lainnya seperti kelompok ulama, organisasi taqwa, dsb. Berikut ini beberapa karya yang membhas topik ini : Les Confreries religieuses musulmanes (O. Depont dan X. Coppolani (1897) dan The Bektashi Order of Dervishes (John Kingsley Birge (1937). Selain itu, kita juga menjumpai sejumlah artikel yang membahas ordo dan ajarannya. Kajian yang paling mendalam dapat dijumapai pada kajian tentang ordo di Afrika Utara yang sebagian besar di tulis sarjana Perancis dan dimuat dijurnal Perancis. Seiring dengan kesadaran tentang perkembangan ordo-ordo ini, karya semacam ini semakin ekstensif. Karya E. E. Evans-Pritchard (1949) yang berjudul The Sanusi of Cyrenaica ditulis ketika terjadi perang disana. Bagi keduanya, elemen tentang aliran sanusiyyah mendorong konflik dengan pemerintah penjajah Italia. Nicola Ziadeh (1958) juga menulis buku tentang ordo Afrika Utara yang disebut Samusiyyah. Sedangkan kajian berjudul The Tijanneya karangan Abun Nasser juga membahs masalah penting selain ordo dan kehidupan mistisnya (Nasser,1965). Dalam hal ini penulis mengkaji aliran tijanniyyah dengan memperhatikan perannya dalam gerakan jihad yang terjadi pada abad 18 dan 19.

Namun, kajian paling ekstensif tentang ordo sufi dan upaya untuk menunjukkan sejarah dan perkembangannya secara menyeluruh ditunjujjkan oleh J. Spencer Triming ham dalam The Sufi Orders in Islam (1971). Dia tertarik untuk mangkaji mimstisisme disemua aspek dan dia berusaha keras mengoraganisir informasi yang ada tentang bidang ini menurut kriteria sejarah. Meski demikian, tulisannya nampak merupakan kumpulan informasi dan seperti yang dikatakan Arberry, karyanya tidak didukung oleh kajian persiapan yang dapat memperjelas perkembangan di beberapa kawasan penting. Disini kita juga mencatat karya Richard Gramlich, yang berusaha menyelidiki secara luas tarikat sufi di Iran. Aspek lain kajian sufi adalah tidak mudah mengklasifikasiknnya. Namun dalam satu dekase terakhir, nampaknya berkembang penelitian tentang indiidu mistis seperti tulisan Henry Corbin dan Toshihiko Izutsu tentang Ibn Al-Arabi. Terjemahan bahasa Inggris karya Corbin berjudul Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (1970). Sedangkan studi perbandingan Izutsu tentang Ibn Al-Arabi, Lao-Tzu dan GhungTzu diterbitkan dengan judul Comperative Study of Key Philosophical Concepts in Sufism and Taoism (1966-1967). Untuk melengkapi gambaran ini, kita dapat menyebut beberapa tulisan lain yang menunjukkan langkah penting menuju pemahaman lebih mendala bidang ini. Pertama adalah buku karangan A. Bausani (1959) yang berjudul Persia Religiosa, yang membahas tokoh-tokoh sufi dalam tradisi Iran. Yang lain adalah karya R. C. Zaehner yang berjudul Hindu and Muslim Mysticism (1960). Untuk saat ini perkembangan kajian sufi didukung dengan perkembangan ilmu bahasa. Apa yang dibutuhkan kajian ini adalah penyuntingan dan penerbitan naskah-naskah penulis sufi yang belum digali, penerjemahan sebagian karya kedalam bahasa-bahasa Eropa, dan penyusunan monograf analitis sepanjang jalur yang diletakkan Massignon. Pada saat yang sama kita harus mencatat bahwa Sufism termasuk aspek pengalaman Islam yang perlu diselidiki dengan metode yang digunakan sejarawan dan fenomenologis. Selain itu sufi dan literaturnya tidak hanya kaya dengan legenda namun juga terkait dengan berbagai macam praktik ritual social. Maka, keragaman dan keterlibatan emosi ini dapat mendorong perbandingan dengan fenomena mistik dalam tradisi lain, sehingga bidang ini nampaknya lebih sesuai dengan tujuan Hermeniutik para enomenologis daripada peneliti tradisi Islam klasik yang menerapkan metode rasional.

Islam Menurut Syiah


ASAL USUL SYIAH

Syi'ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan. Sedang dalam istilah syara', Syi'ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang di komandoi oleh Abdullah bin Saba' mengembangkan ajarannya dengan terang-terangan dan menggalang masa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan (Imamah) sesudah Nabi saw. Sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu teks Nabi saw. Namun, menurut Abdullah bin Saba', Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Keyakinan itu berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain. Aliran Syi'ah pada abad pertama Hijriah belum merupakan aliran yang solid sebagai trand yang mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke dua Hijriah dan abad-abad berikutnya. POKOK-POKOK PENYIMPANGAN SYI'AH PADA PERIODE PERTAMA sbb: Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a. Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa). Urutan imam mereka yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq Musa bin Ja'far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi 10.Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi 11.Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari 12.Muhammad bin Hasan (868), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghoib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba' dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib

karena keyakinan tersebut. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut. Keyakinan mencaci maki para sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa' wal Firaq wal Bida' wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237). Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi'ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.

POKOK-POKOK PENYIMPANGAN SYI'AH SECARA UMUM : Pada Rukun Iman : Syi'ah hanya memiliki 5 rukun Iman tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qodho dan Qodar, yaitu : 1. Tauhid (Keesaan Allah), 2. Al 'Adl (Keadilan Allah), 3. Nubuwwah (Kenabian), 4. Imamah (Kepemimpinan Imam), 5. Ma'ad (Hari kebangkitan dan pembalasan). (lihat 'Aqa'idul Imamiyyah oleh Muhammad Ridho Mudhoffar dll.) Pada Rukun Islam : Syi'ah tidak mencantumkan Syahadatain dlm rukun Islam, yaitu : 1. Sholat, 2. Zakat, 3. Puasa, 4. Haji, 5. Wilayah (Perwalian) (lihat Al Kafie juz II hal. 18). Syi'ah meyakini bahwa Al-Qur'an sekarang ini telah dirubah, ditambah atau dikurangi dari yg seharusnya. (lihat Al-Qur'an Surat Al _Baqarah/ 2:23). Karena itu mereka meyakini : Abu Abdillah (Imam Syi'ah) berkata : "Al-Qur'an yang dibawa oleh Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad saw. Adalah tujuh belas ribu ayat (Al Kafi fil Ushul juz II hal 634). Al-Qur'an mereka

yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi'ah Al Kafi fil Ushul juz I hal 240-241 dan Fathul Khithob karangan Annuri Ath Thibrisy). Syi'ah meyakini bahwa para sahabat sepeninggal Nabi saw. Mereka murtad, kecuali beberapa orang saja seperti : Al-Miqdad bin al_Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII hal. 245, Al-Ushul minal Kafi juz hal. 244) Syi'ah menggunakan senjata taqiyyah yaitu berbohong, dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabuhi (Al Kafi fil Ushul juz II hal. 217) Syi'ah percaya kepada Ar-Raj'ah yaitu kembalinya roh-roh ke jasad nya masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat di kala Imam Ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya. Syiah percaya kepada Al Bada' yakni tampak bagi Allah dalam hal keimanan Ismail (yang telah dinobatkan keimanannya oleh ayahnya, Ja'far As-Shidiq, tetapi kemudian meninggal di saat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka , Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum (terjaga). Syi'ah membolehkan nikah mut'ah yaitu nikah kontrak dengan jangka weaktu tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shodiqin juz II hal. 493). Padahal hal itu telah diharamkan oleh Rasulullah SAW Yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri.

Daftar Pustaka : Arifin M.Si, Prof.DR.Syamsul. Februari 2009. Studi Agama (perspektif sosiologis dan isu-isu kontemporer). Malang : UMM press http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp. k http://aliromdhoni.blogspot.com/2008/02/kajian-islam http://www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel.html?start=60.

Vous aimerez peut-être aussi