Vous êtes sur la page 1sur 24

SPINAL ANESTHESIA

PENDAHULUAN
Anestesi spinal merupakan salah satu dari sekian banyak teknik anestesi regional yang paling umum dari segi praktis pada saat ini. Anestesi spinal menghasilkan kombinasi anestesi regional yang ideal, termasuk teknik yang mudah, reliabilitas tinggi, komplikasi rendah dan kemampuan untuk menghasilkan kontrol nyeri postoperatif. Anestesi spinal dimulai pertama kali oleh beberapa dokter Jerman. Pada tahun 1884, Dr. Carl Kaler pertama kalinya mengaplikasikan kokain pada kornea dan konjunctiva untuk menghasilkan anestesia topikal. Pada tahun 1897, dr. bedah Jerman, Dr. August Bier memakai jarum spinal yang dikembangkan oleh seorang dokter dari Universitas Berlin, Dr. Iraneus Quincke, untuk menginjeksikan kokain ke ruangan subarachroid. Pada awal eksperimen, Bier dan asistennya saling menyuntikkan anastesi spinal ini satu sama lain. Setelah pulih dari blok motorik dan sensoris, masing-masing peneliti melaporkan timbulnya postdural puncture headache yang parah. Anestesi spinal awalnya dihambat oleh nyeri kepala hebat, hipotensi, pilihan farmakologi yang terbatas dan komplikasi infeksi. Saat ini masing-masing hal tersebut diatas sudah dapat diatasi. Postdural puncture headache dapat berkurang hingga < 2,5 % dengan pemakaian pencil point spinal needle dan blood patch telah dikembangkan untuk terapi yang efektif. Hidrasi intravena dan pemakaian vasokonstriktor yang bijaksana merupakan terapi yang simpel dan efektif untuk atasi masalah spinal anesthesia induced hypotensi. Ada banyak pilihan farmakologi yang tersedia sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan ketinggian blok dan durasi kerja yang dibutuhkan sesuai dengan prosedur bedah tertentu. Akhirnya, teknik yang aseptik dan kit spinal anestesia yang steril dan sekali pakai akan mengurangi komplikasi infeksi.

ANATOMI

Ruangan subarachnoid spinal dimulai dari foramen magnum dan berlanjut dengan ruang subarachnoid intrakranial (gb. 10-1). sampai dengan kira-kira setinggi sakral 2. Kolumna vertebralis melindungi spinal cord dan nerve root proksimal dalam suatu ruangan tulang yang protektif dan dibagi menjadi 7 servikal, 12 thoraks, 5 lumbal (gb. 10-2). Di caudal dari Lumbal 5 terdapat sacrum dan koksigeal. Diantara sacrum dan koksigeal terdapat posterior opening disebut sacral hiatus yang secara klinis dipakai untuk melakukan teknik blok kaudal epidural. Kolumna vertebralis memiliki beberapa kurve yang relevan secara klinis. Pada saat pasien dengan posisi supinasi : Titik paling tinggi (paling anterior) pada kolumna vertebralis adalah C5 Titik paling posterior adalah T5 dan S2 dermatom dari anestesia. Masing-masing vertebra dan L4-5. Anatomi ini, bersama dengan barisitas dari anestesi yang disuntikkan dapat dipakai untuk mengontrol level pergerakan. dihubungkan olel rangkaian ligament (gb.10-3) yang menjaga kestabilan saat Di anterior dari kanalis spinalis, korpus vertebra dihubungkan oleh ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Di posterior dari kanalis spinalis, rangkaian dari 3 buah ligamen menghubungkan lamina dan processus spinosus dari vertebra yang saling berdampingan. Ligamen flavum adalah yang paling kuat, dari processus artikuler ke Ligamentum interspinosus menghubungkan dengan ligamentum Di bagian superior dan posterior berhubungan dengan midline processus spinosus. flavum di bagian anterior dan di bagian posterior dengan ligamentum supraspinosus. processus spinosus. Ligamentum supraspinosus dari C7 S1, menghubungkan apeks dari processus spinosus di posterior. Pada kanalis spinalis terdapat elemen saraf (spinal cord dan cauda equina), cairan serebrospinal (CSF) dan pembuluh darah yang mensuplai spinal cord. Pertimbangan anatomi yang penting adalah inferior terminus dari spinal cord, yaitu konus medularis Ruang subarachonoid spinal tersebar

(gb. 10-4). Spinal cord tersebar hingga L 3 pada anak-anak dan L 1-2 pada orang dewasa. Di bagian inferior dari titik ini, elemen saraf yang berada pada kanalis spinalis adalah nerve roots yang terendam di dalam cairan serebrospinal yang disebut Cauda Equina (merupakan bahasa latin dari ekor kuda menggambarkan penampakan nerve roots pada sakus thekal di bawah konus medularis). Anestesi spinal diinjeksikan biasanya dibawah L2 untuk mencegah kemungkinan spinal cord injuri. Disini, nerve roots dari cauda equina relatif mobile dan tampaknya cenderung tidak tertusuk oleh spinal needle yang masuknya berlebihan. Spinal cord dibungkus oleh 3 lapisan jaringan penghubung disebut meningen (gb. 105). Yang membungkus CSF adalah meningen arakhnoid dan durameter). Ruang di luar dura disebut ruangan epidural, sedangkan bagian dalam dari arakhnoid disebut ruang subarakhnoid. Anestesi lokal yang diinjeksikan hanya sampai pada bagian eksternal dari dura disebut epidural anestesia. Ruangan subarakhnoid disebut juga ruangan intrathecal. spinal anestesia. Piameter adalah lapisan pembungkus ketiga dan merupakan jaringan dengan vaskularisasi sangat banyak, langsung menempel pada elemen saraf. Diantara arakhnoid dan piameter terdapat penghubung yang lembut disebut arachnoid trabeculae. Elemen saraf dari kolumna spinalis terendam dalam CSF, yang merupakan ultrafiltrasi dari darah, yang diproduksi dan disekresi oleh pleksus khoroidea pada ventrikel lateral, III dan IV. Jumlah produksinya relatif sama, kira-kira 500 ml/hari. Absorpsi CSF sama dengan jumlah produksinya, sehingga total volume CSF sama dengan jumlah produksinya, total volume CSF adalah 130 150 ml. Cerebrospinal fluid mengandung protein dan elektrolit (utamanya Na dan Cl) dengan berat jenis 1,003 1,009 pada suhu 37oC. Anestesi lokal yang diinjeksikan ke dalam ruang subarakhnoid, menimbulkan anestesia sensoris disebut

FISIOLOGI
Injeksi anestesi lokal ke ruang subarakhnoid akan menimbulkan berbagai respon fisiologis. Pengetahuan terhadap efek ini penting untuk mengoptimalkan keselamatan pada saat melakukan spinal anestesia. EFEK KARDIOVASKULER

Respon kardiovaskular adalah akibat blok sistem saraf simpatis yang ditimbulkan oleh lokal anestesi intratekal. Impuls simpatis dibawa oleh serat saraf A dan C yang sangat mudah diblok oleh agen lokal anestesi. Sehingga, blok simpatis biasanya tersebar beberapa dermatom lebih tinggi daripada blok sensoris selama anestesi spinal. Serat saraf simpatis, keluar dari spinal cord mulai dari T1 L2, sehingga blok simpatis total sangat mungkin terjadi pada blok sensoris setinggi thorakal. Blok simpatis menimbulkan vasodilatasi arteriole, biasanya akan menurunkan sistemik vaskular resistensi sebanyak 15% - 20%. Sebagai catatan, otot polos arteriole masih dapat mempertahankan autoregulasinya (pada keadaan ini), sehingga tonus vasomotor tetap bisa dimodulasi oleh kebutuhan metabolik. Sebaliknya, tonus vena akan terblok total dengan blok simpatis. Sehingga pooling pada vena sangat menonjol selama spinal anestesia dan venous return menjadi sangat tergantung pada gravitasi dan tekanan intrathorak negatif selama ventilasi spontan. Membalik posisi trendelenburg memiliki efek yang dramatis pada preload jantung dengan spinal anestesi tinggi. Karena afterload (sistemik vaskuler resistensi) menurun selama anestesia spinal dan preload akan menjadi penentu utama dari curah jantung, maka pemberian cairan intravena dan posisi pasien adalah penentu utama untuk mencegah hipotensi selama anestesi spinal. Denyut jantung mungkin berkurang dalam hubungan dengan spinal anestesia, terutama pada blok di tingkat thorak yang tinggi. Bradikardi prinsipnya adalah akibat blok simpatis preganglionik pada serat kardioakselarator (T1 T4).

Mekanisme bradikardi lainnya pada spinal anestesia tinggi adalah chronotropic stretch receptor pada atrium kanan. Saat teregang, reseptor ini akan menimbulkan peningkatan denyut jantung, tapi dengan spinal anestesia yang menginduksi venodilatasi, aktifasi dari atrial stretch reseptor akan menghilang dan heart rate berkurang. Meskipun biasanya denyut jantung hanya berkurang 10 20%, pasien atletis dengan denyut jantung saat istirahat yang rendah, dapat mengalami asistole selama anestesia spinal. Kasus yang ekstrem ini terutama akibat mediasi dari reflek Bezold-jarish, reflek yang menimbulkan bradikardi dan hipotensi melalui pathway aferent dan eferen nervus vagus dan berasal dari kemoreseptor yang tidak dapat diidentifikasi pada jantung. Bagaimana peranan reflek Bezold-Jarish menimbulkan bradikardi dan hipotensi setelah spinal anestesia masih dipertanyakan. Efek kardiak dari spinal anestesia tergantung dari pemeliharaan preload; spinal anestesia tidak boleh dilakukan pada pasien hipovolemia yang preload dan aktifitas vasokonstriksi dalam pertahankan tekanan darahnya sudah berkurang. Pada situasi ini, spinal anestesia dapat menimbulkan hipotensi yang sangat parah. Suplai dan kebutuhan oksigen miokard sangat dipengaruhi oleh spinal anesthesia. Suplai O2 miokard adalah berbanding proporsional dan langsung dengan aliran darah koroner. Aliran darah koroner, dikontrol oleh coronary perfusion pressure (CPP) dan denyut jantung. Karena kira-kira 80 % aliran darah koroner terjadi selama diastolik, maka : Coronary Perfusion = Pressure (CPP) Diastolic Blood Presure (DBP) Left Ventricular End Diastolic Pressure (LVEDP)

Spinal anesthesia merubah tiap-tiap parameter diatas. DBP biasanya berkurang 1520% yang cenderung menurunkan perfusi koroner. Penurunan preload dan afterload, keduanya mengurangi LVEDP, yang akan menurunkan kebutuhan O2 miokard sehingga menutupi penurunan DBP. penurunan CPP (5-10%). Hasilnya hanya terjadi sedikit

Heart rate juga penting, karena waktu diastolik secara tidak proporsional memendek (dibandingkan dengan waktu sistolik) akibat peningkatan heart rate. Heart rate cenderung menjadi stabil / menurun dengan spinal anestesia. Kebutuhan O2 miokard juga dipengaruhi oleh heart rate, tegangan dinding ventrikel dan keadaan inotropik. Denervesi (hambatan) simpatis kardiak akan menurunkan heart rate dan inotropik kira-kira 15 20 %. Berkurangnya preload dan afterload akan mengurangi ukuran ventrikel kiri sehingga akan menurunkan tegangan dindingnya. Kebutuhan O2 juga menurunkan sejumlah yang kira-kira sama dengan suplai O2 ke miokard. Sehingga, meskipun suplai dan kebutuhan berkurang secara keseluruhan, keseimbangan metabolik tetap terpelihara. Cerebral blood flow juga dibicarakan. Autoregulasi serebral mempertahankan cerebral blood flow secara konstan, antara mean arterial pressure 50 150 mmHg. Hal ini terjadi karena perubahan pada resistensi vaskular serebral yang timbul secara lokal sebagai kompensasi untuk peningkatan atau pengurangan tekanan perfusi. Dua kelompok pasien membutuhkan pertimbangan spesial. Pada pasien dengan hipertensi kronis, autoregulasi serebral berubah ke arah yang lebih tinggi, biasanya pada kisaran 80 180 mmHg. Sehingga hanya sedikit hipotensi yang boleh terjadi pada pasien hipertensi kronis dengan spinal anestesia. Pasien dengan aterosklerosis serebravaskuler yang signifikan lebih sensitif dengan menurunkan MAP. Karena adanya obstruksi yang menetap dan signifikan, vasodilatasi 20 % normal. PERUBAHAN RESPIRASI serebral sebagai respon hipotensi, tampaknya tidak bisa mempertahankan cerebral blood flow. Pasien ini harus memiliki MAP pada kisaran

Volume tidal resting, minute ventilasi dan arterial blood gases tidak berubah dengan spinal anestesi thorak tinggi. Hal ini karena, kontrol inspirasi adalah oleh fungsi diafragma (n.phrenicus), yang tidak dipengaruhi oleh spinal anestesia. Ekshalasi normal dikontrol oleh elastic recoil pasif dari paru. Respirasi manuver yang memerlukan ekshalasi aktif akan dihambat oleh anestesi spinal yang luasnya sampai ke dermatom thoraks.

Maximum breathing capacity, maximum ekspiratory volume dan maximum ekshalasi pressure ditimbulkan oleh batuk, melibatkan otot nafas aksesoris termasuk otot abdominal anterior dan otot interkostal. Anestesi spinal yang meluas sampai dengan dematom thorax akan memblok fungsi motoris otot-otot ini dan dapat menimbulkan eksaserbasi dispnea pada pasien yang memerlukan ekshalasi aktif (ashma) atau bronkitis kronis. Tidaklah umum terjadi gagal nafas sebagai akibat dari hal ini. Pada keadaan spinal anestesia tinggi (servikal) fungsi n. phrenicus (C3-C5) bisa terganggu. Konsentrasi yang diperlukan oleh anestesi lokal untuk menimbulkan blok motoris n. phrenicus lebih tinggi daripada konsentrasi yang biasanya ditemukan pada total spinal anestesia. Tampaknya, hipotensi berat akibat anestesi spinal tinggi / total menyebabkan kurangnya perfusi pada medullary respiratory center, sehingga timbullah apnea. Pengembalian tekanan darah dan curah jantung biasanya akan mengembalikan ventilasi spontan. HEPATIC DAN RENAL BLOOD FLOW Oksigensi vena hepatika berkurang, menunjukkan

Hepatic blod flow berkurang pada anestesi spinal dengan proporsi yang sesuai terhadap penurunan MAP. anestesia. Tidak ada studi pada manusia, yang menunjukkan apakah spinal atau general anestesia lebih dipilih pada pasien dengan penyakit hepatik. Manipulasi bedah pada abdomen atas saja, menimbulkan penurunan hepatic blood flow yang lebih besar daripada general atau regional anestesia. Renal blood flow diautoregulasi pada kisaran 50-150 MAP. MAP < 50 mmHg menimbulkan penurunan renal blood flow dan penurunan urine output. Apabila tidak ada hipovelemia, fungsi ginjal biasanya dapat mempertahankan dengan baik, meskipun terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan. peningkatan ambilan O2 oleh liver. Perubahan yang sama seperti pada general

EFEK FISIOLOGI SPINAL ANESTESIA LAINNYA Tetapi,

Hormonal dan stres respon metabolik yang diinduksi oleh stimulasi bedah, dihambat lebih baik oleh spinal anestesia daripada general anestesia. dengan spinal anestesia atau general anestesia. Motilitas gaster biasanya meningkat dengan anestesi spinal. Inervasi simpatis pada usus besar dan kecil adalah lewat spinal nerve root T5 L1. aktif. Dengan blok simpatis, tidak ada yang menghambat intervasi vagal sehingga peristaltik lebih setelah pulih dari blok spinal, stres respon postoperatif adalah sama pada pasien

PEMAKAIAN KLINIS
Anestesia spinal sesuai untuk sebagian besar prosedur pada ekstremitas bawah dan genitourinari. Prosedur pada abdomen bawah seperti melahirkan lewat caesar, ligasi tuba postpartum dan histerektomi tanpa komplikasi juga sesuai dengan anestesia spinal. Kebanyakan prosedur yang melibatkan bedah pada abdomen atas lebih baik dikerjakan dengan general anestesia. Meskipun level sensoris dapat dikendalikan dengan adekuat oleh spinal anesthesia, tetapi tarikan peritoneal dan retraksi bedah seringkali menyebabkan ketidaknyamanan. Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan antara spinal atau general anestesia. Hampir tidak ada batasan waktu anestesia dapat diperoleh dengan melakukan CSE atau continous spinal anestesia. Bagaimanapun juga, seleksi pasien dan pemakaian sedasi yang bijaksana adalah penting, karena banyak pasien akan merasa tidak nyaman bila berada dalam posisi yang sama untuk waktu lama. Kebanyakan studi melaporkan, lebih sedikit nausea dan vomiting akan mengikuti spinal anestesia daripada general anestesia. Penambahan opoid neuroaxial seringkali dapat meningkatkan kontrol nyeri setelah pembedahan. anestesia, bahkan pada pasien dengan resiko tinggi. Outcome pulmoner secara signifikan lebih baik pada pasien resiko tinggi (misal : obese dengan insisi abdomen atas) yang mendapat kontrol nyeri setelah pembedahan dengan infus anestesi lokal kontinyu via epidural. Yang dimaksud dengan outcome pulmoner Tampaknya tidak ada perbedaan klinis yang signifikan pada outcome cardiac antara spinal atau general

adalah lebih sedikit ateletaksis postoperatif, desaturasi oksigen dan pneumonia. Meskipun belum ada peningkatan yang demonstratif pada outcome pasien yang menerima anestesia spinal untuk pembedahan. Ini tampaknya menunjukkan kebutuhan analgesia sampai dengan beberapa hari setelah pembedahan untuk meningkatkan pulmonary toilet dan fakta bahwa kebanyakan spinal anestesia dilakukan pada prosedur paru beresiko rendah yang melibatkan ekstremitas bawah. Kontra indikasi untuk neuroaxial regional aneshtesia dibicarakan pada bab 9, 13 dan 16. Spinal anestesia tidak boleh dilakukan pada keadaan dengan koagulopati, akibat resiko epidural hematom. Infeksi sistemik atau lokal pada regio lumbal merupakan predisposisi terbentuknya abses lokal / meningitis. Hipovolemia yang signifikan merupakan predisposisi timbulnya hipotensi berat dan potensial menyebabkan cardiac arrest pada spinal anestesia. Akhirnya, spinal anestesi seringkali dihindari pada pasien dengan kelainan spesifik intrakardiac, dimana pemeliharaan preload dan afterloadnya kritis.

TEKNIK
PRE BLOCK PREPARATIONS Karena induksi spinal anestesia seringkali menimbulkan perubahan hemodinamik yang cukup bermakna, pasien harus dimonitor kontinyu, obat-obat resusitasi dan peralatan harus dapat disediakan dengan segera. Adalah sangat membantu untuk memiliki seorang asisten untuk memposisikan pasien dan memberikan suport psikologis. tidak nyaman dan anxietas. Obat-obat ini dapat menyebabkan gangguan yang signifikan pada kardiorespirasi dan dapat menutupi nyeri / parastesia akibat injeksi intraneural. Adalah penting untuk mengingat bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan spinal anestesia itu sendiri bisa mengakibatkan gangguan respirasi. Sedasi (analgetik dan anxiolitik) seringkali diberikan sebelum melakukan anestesi spinal untuk mengurangi rasa

Sehingga, setiap anestesia spinal potensial memerlukan perubahan yang cepat ke general anestesia. Obat-obat dan peralatan untuk airway management yang tepat harus bisa disediakan dengan cepat. PATIENT POSITIONING

Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan untuk melakukan anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Lateral dekubitus adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien biasanya merasa nyaman dengan posisi ini dan lebih sedikit menelungkup dalam bergerak, dibandingkan posisi duduk. Sinkop lebih jarang terjadi daripada posisi duduk. Pasien diposisikan pada pinggir meja operasi (gb. 10-6) dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal. Laki-laki dewasa biasanya memiliki axis vertebral sedikit naik, karena bahu yang sedikit lebih besar daripada lebar pinggul. Wanita dewasa biasanya memiliki axis vertebral sedikit turun. Kedua pinggul dan thorax bagian atas harus difleksikan untuk memperoleh reverse lordotik posisi, yang memaksimalkan jarak antara prosedur spinosus dari lumbal. Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat dilakukan pada pasien obese. Pada populasi obese, palpasi dimidline processus spinosus seringkali sulit / tidak memungkinkan. Pada kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan dengan menghubungkan garis imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol (C7) dan cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien duduk. Seorang asisten diperlukan untuk mempertahankan posisi stabil, terutama apabila pasien telah tersedasi. Pasien diminta untuk menundukkan bahu ke depan dan berusaha memfleksikan tulang belakangnya (gb.10-7). Kesalahan yang tersering adalah karena pasien seringkali melekukkan pinggangnya ke depan. Posisi duduk juga memberikan teknik spinal anestesia yang terbatas pada daerah pelvis. Ini menimbulkan saddle block atau blok sensoris yang terbatas pada permukaan perineum, umumnya seperti pada bagian yang kontak dengan tempat duduk (sadel) saat mengendarai punggung kuda (gb. 10-8). Injeksi anestesi lokal hiperbarik pada CSF dengan posisi duduk menyebabkan pooling obat di daerah subrachnoid yang paling dependent (sakrum). Teknik ini seringkali berguna untuk melahirkan per vagina, seperti juga pada bedah urologi dan ginekologi.

10

Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia pada pasien yang akan dilakukan anal surgery dengan posis jack-knife (gb. 10-9). Pasien diposisikan sesuai pembedahan lalu dilakukan lumbal punksi. lumbal bawah. PUNCTURE SITE Anestesi lokal hipobarik dipergunakan untuk membatasi efek anestesi pada dermatom sakral dan

Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal cord yang berakhir pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari masing-masing individu, sebuah garis yang melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang diantara L4L5 (gb. 10-7). Teknik aseptik yang baik adalah penting. Hal ini termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine dan atau larutan alkohol dan memakai penutup steril. MIDLINE ATAU PARAMEDIAN APPROACH

Dua pendekatan ke ruang subarachnoid seringkali dipakai yaitu midline dan paramedian (gb. 10-10). Keduanya simpel dan efektif. Praktisi harus familiar dengan kedua pendekatan ini, sehingga mereka memiliki teknik alternatif pada saat pendekatan pertama gagal dilakukan. Untuk pendekatan midline, processus spinosus dipalpasi di regio lumbal. Setelah membersihkan regio dan mendapatkan posisi kulit dimana terletak processus, jarum spinal dimasukkan dengan sagittal plane, dengan orientasi jarum 10o ke cephalad. Orientasi ini diperlukan karena ruang interlaminer adalah sedikit cephalad daripada intrespinosus space yang kita palpasi. Pendekatan paramedian seringkali dipilih pada pasien dengan lordosis lumbal berlebihan dan pasien hamil yang tidak bisa memfleksikan kolumna vertebra mereka. Dengan lordosis berlebihan, processus spinosus mereka jadi lebih berdekatan di midline, mencegah pasase jarum spinal ke kanalis spinalis. Pendekatan paramedian kurang dipengaruhi oleh fleksi suboptimal dari spine. Pendekatan paramedian juga dipilih pada pasien tua dengan kalsifikasi ligamen interspinosus. Dengan pendekatan paramedian, kulit disuntikkan dengan anestesi lokal sekitar 1 1,5 cm ke inferior dan lateral dari interspace vertebra yang diinginkan. Jarum spinal disuntikkan dengan orientasi 15o ke cephalad dan medial.

11

Taylor approach adalah varian dari pendekatan paramedian yang dipakai untuk memasuki interspace L5-S1. Interspace ini adalah interspace lumbal terbesar dan seringkali dipakai sebagai jalan masuk, apabila jalan masuk di interspace yang lebih tinggi sulit dilakukan. Palpasi bagian inferior dari posterior iliaca spine (PSIS). Punksi jarum dilakukan 1 cm medial dan 1 cm inferior dari batas PSIS inferior (gb. 10-10). Jarum spinal disuntikkan dengan angulasi jarum ke midline (45 55o) dan kemudian cephalad (45-55o). Pada pasien obese, arah jarum harus 30 45o ke cephalad dan orientasi medial untuk mengatasi ketebalan jaringan. Jika terjadi kontak dengan tulang jarum diarahkan lebih cephalad melewati tulang lamina menuju interspace. CONTINOUS SPINAL ANESTHESIA

Untuk menghasilkan spinal anestesia yang kontinyu, kateter diletakkan dalam ruang subarachnoid. Biasanya jarum epidutal Tuohy g 18 diletakkan di ruang subarachnoid melalui pendekatan midline / paramedian. Setelah punksi duramater, kateter dimasukkan 2 5 cm ke ruang lumbal (metode paling sering dipakai adalah memakai kateter yang sama seperti saat melakukan anestesia epidural). Hal ini memungkinkan titrasi yang cepat dan reliabel dari blok spinal (dosis kecil berulang dapat dilakukan) dan durasinya tidak terbatas (kateter memungkinkan dosis ulangan saat blok mulai melemah). MEMPOSISIKAN PASIEN DAN BLOK YANG DIINGINKAN

Dengan memilih posisi pasien bersamaan dengan jumlah dan barisitas larutan lokal anestesia, ketinggian blok dapat relatif terkontrol, dan dapat dicapai derajat dari blok unilateral. Bagaimanapun, dapat dicapai selama 15 20 menit pada posisi lateral untuk blok unilateral yang memuaskan. Yang lebih umum, pasien tetap dipertahankan pada posisi mereka untuk beberapa menit lalu diposisikan supine kembali. Hal ini akan menghasilkan blok bilateral yang hampir sama setelah beberapa menit. Sebagai contoh saat memakai barisitas dan posisi pasien, istilah saddle block dimaksud untuk menyuntikkan dosis kecil dari lidocaine hiperbaric (misal 25 mg

12

dari 5% lidocaine dalam 7,5 % dekstrose) ke ruang lumbal pada pasien dengan posisi duduk pasien dibiarkan pada posisi ini selama 5 10 menit setelah injeksi, menyebabkan larutan anestesi lokal mengalami pooling pada nerve roots sacral. Anestesia perineal akan terjadi (gb. 10-8) dengan minimal hipotensi (karena ketinggian blok adalah dibawah L2 ujung dari serta saraf simpatis).

PEMILIHAN FARMAKOLOGI
Hampir semua anestesia spinal melibatkan injeksi anestetik lokal, baik tanpa maupun dengan kombinasi obat-obat adjuvant. Farmakologi dari obat ini telah dibahas pada bab awal. Bagian ini memfokuskan pada pemakaian spesifik dari obat-obat ini di ruangan subarachnoid (tabel 10-1). ANESTESI LOKAL Lidokain

Lidokain, bupivacaine & tetracaine, semuanya umum dipakai untuk spinal anestesia. Lidokain (durasi pendek intermediate spinal anestesia) dengan dosis 20 100 mg seringkali dipilih untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu 75 menit atau kurang. Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose meskipun 1,5 dan 2 % lidokain juga berguna. Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan anestesia 15 40 menit, tergantung dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan dengan blok motoris yang memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat. Fentanyl 15 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi substansial pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan insiden transient neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri torniquet pada ekstremitas bawah. Bupivakain

Bupivacaine (durasi intermediate spinal anestesia) dengan dosis 5 15 mg adalah sesuai untuk pembedahan selama 50 150 menit, meskipun durasi dari bupivakain tampaknya memiliki deviasi yang lebih lebar daripada standar, bila dibandingkan dengan lidokain.

13

Spinal anestesia umumnya dilakukan dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 % dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah. Epinephrine memanjangkan blok sensoris dan motoris kira-kira 30 45 menit saat ditambahkan pada bupivakain dosis kecil (7,5 mg). Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain (sehingga hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia. Tetrakaine

Tetrakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 4 12 mg dipakai untuk pembedahan dengan durasi 3 4 jam. Tetracaine merupakan salah satu dari agen spinal anestesi tertua. Tersedia dalam sediaan komersial sebagai kristal niphanoid (20 mg) atau larutan 1 %. Tetracaine kurang stabil pada bentuk larutan cair (daripada lidokain) dan menghasilkan tetracaine ampul dengan potensi rendah karena sebagian obat didegradasi selama penyimpanan. Tetracaine adalah unik diantara agen spinal anestesi lainnya, karena keberhasilan untuk memblok sangat tergantung dengan co-administration epinephrine. Kegagalan blok hampir 35 % pada plain tetracaine. Tetracaine & epinephrine adalah spinal anestetic agent paling lama, menghasilkan anestesia pada abdomen bawah kira-kira 4 jam dan ekstremitas bawah 5 6 jam. ADITIF PADA SPINAL ANESTESIA Vasokontriktor Epinephrine dan

Vasokontriktor seringkali ditambahkan pada lokal anestetik intrathecal untuk menghambat uptake vaskuler sehingga memanjangkan blok. lebih jarang phenylephrine adalah agen yang dipakai untuk tujuan ini. Selain vasokontriksi, epinephrine juga menimbulkan analgesia lewat stimulasi 2 receptor. Klonidine, 2 agonis memperpanjang blok motoris dan sensoris pada tetracaine, lebih besar daripada epinephrine. Selain memanjangkan blok sensoris, penambahan epinephrine pada spinal anestetik lokal juga memanjangkan blok motoris dan memperlambat miksi. Dua faktor ini menghambat pulih dari anestesi spinal. Untuk outpatient surgery,

14

kebanyakan center menghindari epinephrine intrathecal. anestesia tanpa menghambat pemulihan. Opioids

Sesungguhnya,

pemakaian opoid lipofilik intratekal akan meningkatkan dan memanjangkan

Analgesik opioid dapat ditambahkan pada spinal anestesia.

Opioid nampaknya

menimbulkan supra-aditif (sinergistik) anestesia saat ditambahkan pada intratekal lokal anestetik. Efek sinergis ini tampak menonjol terutama pada nyeri visceral. Opioid spinal memblok pathway nyeri dengan tambahan minimal pada blok serat motoris dan simpatis. Dua klas opioid dipakai pada spinal anestesia dan analgesia. Opioid hidrofilik biasanya ditambahkan untuk prolong postop analgesia. Morphine sulfat 0,1 0,3 mg adalah yang umum dipilih. Agen ini memiliki efek analgesik dalam 45 menit pada pemberian lumbal dan mengurangi kebutuhan tambahan analgesia postop selama 12 24 jam. Morpin perlahan naik pada spinal colum dan mencapai sirkulasi LCS kira-kira 8 jam setelah pemberian lumbal. Hal ini sesuai dengan depres nafas yang terjadinya delayed, yang dilaporkan pada pemberian morphine intralekal; efek puncaknya tampak pada 8 10 jam setelah pemberian. Morphin spinal memiliki beberapa efek lain yang tidak diinginkan. Nausea dan vomiting tampaknya lebih banyak daripada opioid sistemik. Pruritus yang umum (60 80 %) dan yang parah (20 %). Miksi secara substansial dihambat, mungkin karena hambatan pada mekanisme detrusor. Karena adanya sedikit resiko dari depres nafas yang delayed dan gangguan fungsi kencing, obat ini tidak sesuai untuk bedah pada outpatient. Opioid Lipofilik (fentanyl dan sulfentanyl) populer pada spinal anestesia. Fentanyl 10-25 g atau sulfentanyl 2,5 10 gr dapat ditambahkan pada anestesia spinal untuk mencapai beberapa tujuan. Agen ini memiliki onset cepat terhadap sinergis anestetik dan meningkatkan anestesia intraoperatif. Hal ini seringkali ditunjukkan dengan berkurangnya nyeri torniquet saat prosedur bedah ortophedi, seperti juga berkurangnya nyeri dan muntah selama proses melahirkan seksio cesarea. Opioid lipofilik juga mengurangi dosis co-administered anestesi lokal, sehingga pulih motoris dari anestesi spinal lebih cepat pada outpatient. Lidokain 30 mg (0,5 15

%) diskombinasi dengan fentanyl 20 g menimbulkan anestesi yang baik untuk arhtroskopi lutut dengan insiden nausea lebih rendah dan peningkatan kontrol nyeri postoperatif, bila dibandingkan dengan dosis standar lidokain hiperbarik. Demikian juga 3,75 mg bupivakain (0,75% dalam 8,25% dekstrosa) dikombinasi dengan 25 g tentanil menghasilkan anestesia yang sangat baik untuk outpatient yang mendapatkan oocyte selama fertilisasi invitro. Depres respirasi jarang terjadi pada opioid lipophilic intralekal. Tidak seperti morphin, miksi tidak dihambat, diantara efek spinal lokal anestetik agen. PROPERTI FISIK KIMIA Barisitas Injeksi

Tiga definisi penting untuk mengerti barisitas dan injeksi lokal anestesi : DENSITY Densitas larutan adalah massa dalam gram dalam 1 mililiter larutan pada suhu standar. SPECIFIC GRAVITY Adalah ratio yang membandingkan densitas larutan terhadap densitas air. BARISITAS Adalah ratio yang membandingkan spesifik gravity dari sebuah larutan dengan larutan lain. Jika larutan yang kedua adalah air, maka barisitasnya akan sama dengan spesifik gravity. Injeksi Intratekal biasanya dideskripsikan sebagai : Hipobarik (spesifik gravity lebih rendah daripada LCS) Isobarik (Spesifik gravity sama dengan LCS) Hyperbarik (Spesifik gravity lebih tinggi daripada LCS)

Specific gravity LCS berkisar 1,003 1,009. Dengan variasi posisi pasien dan memperhatikan barisitas saat injeksi, lokasi dan level blok dapat dikontrol dengan signifikan. Pada praktek klinis, injeksi hiperbarik lebih sering. Larutan ini dibuat hiperbarik dengan menambahkan dekstrosa ke dalam larutan anestesi lokal.

16

Penambahan dekstrosa akan meningkatkan densitas, sehingga spesific gravity akan meningkatkan lebih besar daripada spesific gravity LCS. Karena larutan ini lebih dense daripada LCS, mereka cenderung berada (mengendap) pada area dependent dari space intrathekal. Injeksi anestetik lokal isobarik juga populer. Posisi pasien tidak mempengaruhi penyebaran blok dengan injeksi isobarik. Sehingga tidak penting untuk pertahankan pasien pada posisi tertentu untuk menimbulkan blok pada posisi supine. Larutan isobarik cenderung tetap berada lokal didekat lokasi injeksi. Klinis, larutan isobarik dipakai termasuk 0,5 atau 0,75 % bupivacaine dan 2 % lidokain. Harus diingat bahwa 0,5 % bupivacaine dan 2% lidokaine memiliki spesific gravity dekat dengan kisaran batas bawah spesific gravity LSF. Sehingga obat ini bisa jadi beraksi seperti hipobarik pada pemakaian klinis (regio nondependent terblok lebih banyak). Juga menghangatkan larutan pada 37oC mengurangi densitas larutan dan membuat 0,5 % bupivacaine dan 2 % lidokaine secara klinis hipobarik. Karena penyebaran bloknya yang terbatas, larutan isobarik ideal dan cocok untuk bedah ekstremitas bawah dan pelvis ekstraperitoneal. Bedah intraabdomen biasanya tidak memakai agen hipobarik. Larutan hipobarik kadangkala juga dipakai secara klinis. Bupivacaine 0,25 0,5 % dan lidokaine 1 1,5 % adalah hipobarik saat dihangatkan dengan suhu tubuh. Larutan hipobarik akan terapung pada regio nondependen di space intrathekal. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN BLOK

Banyak faktor telah dipelajari untuk membantu memperkirakan ketinggian blok. Variabel-variabel prosedur berikut sudah jelas memberikan efek pada penyebaran blok : Jumlah obat Barisitas obat Posisi pasien dan Arah dari apertura jarum (dengan jarum pencilpoint).

17

Usia memiliki efek pada ketinggian blok, dengan usia tua biasanya blok mencapai 2 3 dermatom lebih tinggi daripada dewasa muda. Dengan agen spinal anestesi hiperbarik, tinggi pasien merupakan variabel minor, seperti juga anatomi spinal menentukan penyebaran blok.

Sesungguhnya faktor terbaik dalam menentukan ketinggian blok tidak bisa diukur secara klinis. Variasi volume LCS dilumbosacral menjelaskan mayoritas terbanyak (80 %) dari perbedaan ketinggian blok pada spinal anestesia. Tinggi, jenis kelamin dan usia tidak secara adekuat dapat memperkirakan volume LCS. Tinggi pasien berhubungan dengan volume spinal tapi hubungan ini tidak cukup dekat untuk dipakai secara klinis. Akhirnya, ketinggian blok telah ditunjukkan berhubungan langsung dengan densitas LCS.

KOMPLIKASI
Komplikasi anestesia spinal termasuk sakit kepala, gejala neurologis, hipotensi, depres respirasi dan cardiac arrest. Postdural puncture headache dan neurologic injury didiskusikan pada bab 12 dan 14. Hipotensi umum menyertai spinal anestesia. Tergantung pada populasi pasien dan pemakaian agen anestetik spinal, hipotensi (penurunan tekanan sistolik > 20 %) terjadi pada 20 70 % anestesia spinal. Meskipun bolus cairan sebelum anestesia spinal seringkali diberikan untuk mencegah, efektifitasnya rendah. Cardiac output lebih baik dipelihara dengan pre-hidrasi, tapi tekanan darah sangat sedikit terpengaruhi. Pemberian volume simultan dengan spinal anestesi blokade dan vasokonstriktor lebih efektif daripada prehidrasi. Pendekatan yang efektif untuk meminimalkan hipotensi adalah mengubah obat yang dipakai pada anestesia spinal. Opioid lipofilik seringkali ditambahkan pada agen anestetik local dan secara dramatis mengurangi (50 70%) dosis anestetik lokal ini. Hal ini bentuknya, mengurangi secara signifikan jumlah dan keparahan hipotensi, pemakaian vasopresor dan kebutuhan cairan. Sebuah analisis dari ASA closed claims database, mengungkapkan 14 kasus cardiac arrest selama spinal anestesia. Dua buah pola teridentifikasi :

18

Pola pertama adalah terjadi pada pasien yang menerima sedasi

intravena sehingga membuatnya mengalami keadaan sleep-like dengan tidak adanya verbalization spontan. Pada kasus ini, cardias arrest seringkali diikuti dengan sianosis, yang terjadi sebelum insufisiensi respirasi yang menimbulkan arrest. Pola kedua adalah pada grup penderita yang mengalami blok spinal tinggi dan hipotensi parah sebelum cardiac arrest. Analisis terhadap hal ini menunjukkan pentingnya Perubahan posisi (trendelenburg) dengan tepat akan meningkatkan central Pemakaian tepat dan agresif dari dan agonis (epinephrine) untuk venous filling dan mengembalikan curah jantung. Beberapa faktor dapat menyebabkan cardiac arrest, yang berhubungan dengan spinal anestesia yang secara signifikan telah banyak terjadi daripada anestesia epidural atau blok saraf tepi. Hipotensi yang berat dapat menyebabkan cardiac aritmia, pengurangan perfusi central nervous system dan apneu. Semua faktor ini dapat menyebabkan cardiac arrest. Juga terdapat grup penderita, yang secara mengejutkan tampaknya beresiko tinggi untuk mengalami cardiac arrest. Lebih muda, pasien atletis dengan denyut jantung istirahat yang rendah, tampaknya beresiko untuk mengalami bradikardi dan asistole selama anestesia spinal. Faktor resiko lainnya yang telah diidentifikasi untuk athletic heart syndrome ini termasuk pemanjangan PR interval dan blok spinal diatas T4. Faktor terakhir ini mungkin mengindikasikan blok simpatis di T2 T4 (serat cardiac accelarator) sehingga input vagal ke jantung tidak tertutupi. Depres respirasi tidak umum dengan anestesia spinal dilaporkan 0,2 1,0 %. Beberapa penyebab depres respirasi, terutama dengan dosis tinggi morphin intrathekal. Puncak dari depres respirasi ini adalah 8 10 jam setelah pemberian morphin spinal. Depres respirasi juga dapat terjadi akibat blok spinal tinggi. Hilang kesadaran dan apneu kemungkinan terjadi skunder akibat hipotensi dan perfusi central nervous system yang tidak adekuat. Kemungkinan penyebab tersering dari depres respirasi adalah over-sedasi.

19

Monitoring pasien dengan kontak suara, pulse oksimetri dan capnography akan membantu mencegah terjadinya over sedasi.

KESIMPULAN
Anestesi spinal tetap merupakan salah satu bentuk regional anestesia yang paling umum. Dengan kemahiran pada prosedur, farmakologi, dan aspek fisiologi, blok spinal dapat dilakukan dengan aman, tepat dan efisien.

20

21

22

23

24

Vous aimerez peut-être aussi