Vous êtes sur la page 1sur 4

ASPEK HUKUM HAK DAN KEWAJIBAN PPK DAN ULP SEHUBUNGAN DENGAN PERPRES NOMOR 54 TAHUN 2010

PENDAHULUAN Adalah merupakan hal yang sangat penting dipelajari, khususnya PPK dan pejabat lain yang sampai sekarang terus diadakan sosialisasi, sehubungan dengan terbitnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa. Jangan sampai tugas mulia yang dibebankan kepada para pejabat pembuka peluang yang menimbulkan kerugian bagi negara. Dari sisi subjek hukum, PPK dan ULP dalam hal pengadaan barang/jasa adalah dua subjek yang sejajar karena mereka diangkat oleh PA atau menteri, walaupun dalam jabatan struktural bisa saja PPK lebih tinggi jabatannya daripada UPL, atau sebaliknya. Terlepas dari tinggi rendahnya kedudukan mereka, hal ini sangat merepotkan bagi PPK untuk mengambil keputusan khususnya untuk menandatangani kontrak yang mempunyai implikasi hukum bagi keuangan negara, apalagi terjadi cacat hukum yang berkaitan dengan proses pengadaan barang/jasa. Bila kita melihat kebelakang, proses pengadaan barang/jasa selama ini yang menetapkan pemenang dan yang menandatangani kontrak adalah PPK, berarti mengetahui persis proses pengadaan barang/jasa karena ikut terlibat di dalamnya, sehingga pada saat dilakukan kontrak/perjanjian antara pengguna dan penyedia menurut penulis lebih yakin kebenarannya, lain halnya apabila proses itu dilaksanakan oleh orang lain yang kemungkinan dapat tidak mempunyai iktikad baik. Oleh karena itu, dalam topik ini akan dibahas dari tinjauan aspek hukum perjanjian yang akan menimbulkan hak dan kewajiban hukum bagi PPK dan mempunyai konsekuensi hukum di kemudian hari. TUGAS DAN WEWENANG PPK DAN ULP Tugas dan wewenang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah banyak disorot pada buletin terdahulu baik berdasarkan Undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, maupun Peraturan Dirjen Perbendaharaan. Dari peraturan-peraturan tersebut di atas begitu berat tanggung jawab yang diemban oleh PPK mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan pengendalian pengadaan barang/jasa serta sampai kepada proses pembayaran belanja negara. Pada bulletin A&P sebelumnya telah diulas pula oleh Bapak Hasan Ashari terkait dengan pembahasan pada aspek teknis yang harus diperhatikan oleh pejabat pembuat komitmen dalam melaksanakan pembayaran belanja negara, maka pada tulisan ini penulis akan mengupas hak dan kewajiban PPK dan ULP sehubungan dengan terbitnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010, khususnya kewajiban PPK membuat kontrak/perjanjian antara pengguna dan penyedia barang atau pelaksana Swakelola. Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sedangkan Unit Layanan Pelayanan (ULP) adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Berdasarkan pasal 11 Perpres No. 54 Tahun 2010 tugas pokok dan kewenangan PPK adalah: 1. Menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi: a. Spesifikasi teknis Barang/Jasa; b. Harga Perkiraan Sendiri; dan c. Rancangan kontrak; 2. Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Menandatangani kontrak; Melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa; Mengendalikan pelaksanaan kontrak; Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA; Menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan; Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulanan; dan Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

Pada bagian lain berdasarkan pasal 17 Perpres No. 54 Tahun 2010, khusus untuk tugas pokok dan kewenangan ULP adalah: 1. Menjawab sanggahan; 2. Menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk: a. Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Kontruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau b. Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk Paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp 10.000.000.000.00 (sepuluh miliar rupiah); 3. Menyerahkan salinan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang dan Jasa kepada PPK; 4. Menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Dengan terbitnya Perpres Nomor 54 Tahun 2010 sebagai pengganti Keppres No. 80/2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, terdapat banyak kelemahan-kelemahan yang ditemui pada Keppres yang lama, seperti sistem pengadaan barang/jasa belum mampu mendorong percepatan pelaksanaan Belanja Barang dan Belanja Modal dalam APBN/APBD, efisiensi belanja negara dan persaingan sehat melalui pengadaan barang/jasa belum sepenuhnya terwujud, masih adanya multi- tafsir serta hal-hal yang belum jelas dalam Keppres 80/2003. Oleh karena itu perlu ada revisi dengan menerbitkan Perpres No. 54 Tahun 2010 dengan tujuan untuk mencegah korupsi dan mempercepat penyerapan anggaran. Perubahan-perubahan itu antara lain batas waktu tender 14 hari sebelumnya 18 hari; batas nilai penunjukan langsung Rp 100 juta sebelumnya Rp 50 juta, dan proses lelang dimulai November tahun sebelumnya. Di samping perubahan tersebut di atas juga perubahan jenis Pengadaan barang dengan Penunjukan Langsung, yaitu (1) pengadaan dan distribusi bahan obat, obat, dan alat kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, (2) pengadaan mobil, sepeda motor, dan/atau kenderaan bermotor, (3) sewa penginapan/hotel, dan (4) sewa gedung/kantor dan ruang terbuka. Dengan kewenangan yang diberikan oleh menteri atau institusi lain kepada ULP sebagai unit layanan pengadaan, maka proses pengadaan barang mulai dari persiapan sampai kepada penetapan pemenang merupakan kewenangan ULP. Sedangkan PPK sesuai dengan kewenangannya menetapkan dan menandatangani kontrak. Dari mekanisme pembagian kewenangan tersebut, yang menjadi permasalahan adalah tidak dilibatkannya PPK dalam proses pengadaan, yang dapat menimbulkan kerawanan dan rentan menjadi sumber tindak pidana korupsi, apalagi dengan naiknya nilai dan jenis pengadaan langsung, ataupun dalam hal proses pengadaan barang/jasa lainnya. Oleh karena itu sebelum menetapkan dan menandatangani kontrak perlu kiranya dipikirkan membuat semacam Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak atas proses penetapan pemenang walaupun sudah ada Fakta Integritas, digunakan sebagai rujukan apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran hukum. Sebelum dilakukan menandatanganan kontrak, tentu isi dari pasal-pasal umumnya sudah mencakup hak dan kewajiban para pihak. Namun dalam hal pejabat PPK menandatangani

kontrak harus tahu hak dan kewajibannya. Bagaimana mungkin dapat memutuskan apa yang harus dilaksanakan jika tidak diketahui apa yang telah diperjanjikan diantara para pihak (khususnya pengguna barang/jasa). Berdasarkan ketentuan pasal 1313 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa perjanjian, mengikat para pihak dan kesepakatan yang tercapai dari (pernyataan) kehendak para pihak yang menentukan terbentuknya perjanjian. Selanjutnya pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya, berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa untuk sahnya persetujuan/perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) suatu hal yang tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut di atas syarat mutlak dalam perjanjian, sehingga apabila salah satu tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Oleh karena itu, PPK haruslah dipastikan bahwa perbuatan hukum tersebut memenuhi sekurang-kurangnya keempat unsur perjanjian. Dikaitkan dengan kewenangan PPK di satu sisi dan ULP di sisi lain yang mempunyai hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban, maka setelah pemenangnya di tetapkan oleh ULP, maka bagi PPK memastikan bahwa suatu perbuatan hukum adalah perjanjian. Langkah selanjutnya adalah memeriksa keabsahan dari perjanjian tersebut. Sah atau tidaknya perjanjian dapat dipastikan dengan mengujikannya terhadap empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata seperti tersebut di atas. Namun dalam konteks pengadaan barang/jasa ini, dikaitkan dengan pasal 1320 KHU Perdata, salah satu unsur dari sahnya perjanjian yaitu suatu hal tertentu. Apa yang dimaksud suatu hal tertentu tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban penyedia barang/jasa dan apa yang menjadi hak dari pengguna barang/jasa. Sejalan dengan itu ialah pendapat dari AsserRutten. Ia menyatakan bahwa suatu hal tertentu sebagai objek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, maka objek perjanjian antara lain haruslah dapat diperdagangkan atau untuk kepentingan umum. Oleh karena itu para pihak (PPK) pada waktu membentruk perjanjian harus sudah secara terperinci menyatakan apa yang menjadi hak/kewajiban masingmasing. PENUTUP Sebagai pegangan bagi PPK perlu dibuatkan langkah-langkah pemeriksaan/pedoman dalam pengadaan barang/jasa baik dalam proses persiapan, pelaksananan maupun pengendalian, melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menilai apakah perencanaan pengadaan barang/jasa sesuai dengan kebutuhan (aspek perencanaan), yaitu mengenai pedoman pengadaan barang/jasa pada satuan kerja, kebutuhan pengadaan barang/jasa, dan pembiayaan serta jadwal pelaksanaan barang/jasa. 2. Meyakinkan bahwa prosedur pengadaan b/j telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (aspek ketaatan pelaksanaan prosedur pengadaan), yaitu apakah personil yang terlibat dalam organisasi ULP tidak terlibat kepentingan, apakah prosedur pelaksanaan pemilihan penyedia b/j dilakukan sesuai aturan yang berlaku, dan meyakinkan kontrak telah sesuai dengan ketentuan isi kontrak, uang muka, jaminan, jangka waktu, denda, masa pemeliharaan, dll. 3. Meyakinkan bahwa harga kontrak telah memenuhi syarat paling menguntungkan negara dan dapat dipertanggungjawabkan, serta pajak dan PNBP yang berkaitan dengan

4. 5.

pengadaan b/j telah dipungut dan disetor sesuai dengan ketentuan (aspek kewajaran harga). Meyakinkan bahwa realisasi kuantitas pengadaan b/j telah sesuai dengan kuantitas yang ditetapkan dalam kontrak dan pembayaran telah dilakukan dengan realisasi. Menilai sistem pengendalian intern (SPI) melalui pengujian terhadap resiko atas pelaksanaan pengadaan berdasarkan peraturan yang berlaku (aspek pengendalian), yaitu menyusun kuesioner untuk melakukan pengujian terhadap proses pengadaan b/j, dan menilai hasil jawaban kuesioner tersebut mengenai SPI tersebut.

Abu Samman Lubis, S.H., M.M. Widyaiswara/Pengajar: Pengantar Ilmu Hukum D1 STAN di Pontianak Referensi: Budiono, Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, 2009, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Duswara, Dudu, M, Pengantar Ilmu Hukum, 2000, PT Refika Aditama, Bandung. Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pedoman Pemeriksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Koran Media Indonesia, Selasa, 09-08-2010

Terakhir Diperbaharui (Rabu, 09 Februari 2011 11:00)

Vous aimerez peut-être aussi