Vous êtes sur la page 1sur 3

Kesetaraan di Negeri Mullah Parlemen Iran memelopori pembagian waris laki-laki dan perempuan sama besar.

Perempuan Iran lihai menyiasati tradisi dan modernisasi. ADA yang berubah di Iran dalam tiga pekan terakhir ini. Kaum perempuan di Iran, meski tetap berjilbab dan bercadar, lebih berani menyuarakan hak-haknya. Ini berkait dengan keputusan Parlemen Iran, pada 10 Mei. Mereka menyetujui undang-undang waris yang menyamakan hak laki-laki dengan perempuan. Keputusan tersebut, bila dirujuk pada Al-Quran, seakan bertentangan dengan akidah. Sebab, dalam AlQuran surah Al-Nisa' ayat 11 disebutkan, "Li al-dzakari mitsl hadz untsayain" (bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan). Dalam undang-undang waris lama, seorang janda dengan anak mendapatkan seperdelapan warisan suami minus tanah. Jika pasangan itu tidak memiliki anak, maka janda itu mendapatkan separo. Sisanya dibagi-bagikan ke ahli waris lain dari pihak almarhum suami. Jika tidak ada ahli waris lain, separo harta suami diserahkan pada negara. Tetapi, jika sang istri meninggal, suami mendapatkan seluruh harta istri bila pasangan itu tidak punya anak. Jika punya anak, suami mendapatkan seperempat. Dalam undang-undang baru, hak waris duda dan janda sama. Tidak lagi mengenal perbedaan gender. "Di undang-undang baru, seorang istri akan mendapatkan seluruh warisan suaminya, tidak hanya separo saja," tutur Fatima Rakei, anggota Parlemen Iran yang juga anggota perancang undang-undang baru. Menurut Rakei, dalam undang-undang baru, perempuan berhak mendapatkan tanah suaminya yang sebelumnya dilarang dalam undang-undang lama. "Ini merupakan langkah maju untuk menyetarakan antara hak laki-laki dan perempuan," seorang pengacara berhaluan reformis, Mohammad Ali Dadkhah, menambahkan. Tetapi undang-undang baru itu belum serta-merta bisa dilaksanakan. Soalnya, undang-undang tersebut mesti diuji dulu oleh Dewan Garda Konstitusi (Majlis Siyanah Dustur) yang dikuasai ulama-ulama konservatif. Dalam sistem administrasi negara Iran, kedudukan lembaga ini setara dengan parlemen. Tapi dalam prakteknya, Dewan Garda Konstitusi bisa membatalkan keputusan parlemen. Contoh yang paling dekat adalah kasus penjegalan Dewan Garda Konstitusi terhadap caleg-caleg reformis pada pemilu legislatif Februari lalu, dengan alasan banyak caleg reformis melanggar ajaran Islam. Padahal, waktu itu tidak sedikit dari caleg tersebut masih menjadi anggota parlemen dan merupakan jago-jago kubu reformis. Selama dikuasai kubu reformis, hubungan antara Dewan Garda Konstitusi dan parlemen tidak pernah harmonis. Karena itu, Dewan Garda Konstitusi ini dijuluki sebagai pengawal akidah revolusi. Jika undang-undang itu disetujui Dewan Garda, ia resmi mengamandemen undang-undang waris lama. Tetapi kaum hawa Syiah di Iran boleh

berharap banyak, karena parlemen saat ini sedang mengalami harmonisasi dengan Dewan Garda Konstitusi, sejak parlemen dikuasai kubu konservatif. Tentu saja banyak pihak yang tidak percaya dengan keputusan Parlemen Iran tersebut. Dalam laporan khusus koran Nadhah Misr, banyak kalangan ulama dan intelektual Mesir "curiga" terhadap keputusan itu. Dr. Zainab Ridlwan, anggota Komisi Keagamaan di Majlis Sya'b (DPR) Mesir, mengatakan bahwa undang-undang itu bermuatan politis dan bertentangan dengan syariat Islam. "Jatah waris antara laki-laki dan perempuan dalam syariat Islam tidak sama, tetapi bukan berarti untuk mengurangi hak perempuan," katanya. Dekan Fakultas Syariah Universitas Zaqaziq itu mengatakan bahwa falsafah waris dalam Islam bukan pada masalah laki-laki atau perempuan, melainkan pada kedekatan nasab dengan yang meninggal. Dr. Nashr Farid Washil, mantan Mufti Mesir, mengatakan bahwa hukum waris dalam Al-Quran bersifat tetap dan tidak boleh diubah sampai hari kiamat. Menurut dia, jatah laki-laki lebih banyak dari jatah perempuan karena status laki-laki sebagai pengayom keluarga dan berkewajiban memberi nafkah. "Kalau ada yang berani mengubah hukum waris, itu ikut-ikutan agenda Barat!" ia menegaskan. Tapi tidak semua ulama Mesir memandangnya secara sinis. Jamal alBanna, adik kandung pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, merespons positif keputusan parlemen tersebut. Menurut dia, banyak pandangan ahli fikih yang bertentangan dengan semangat Al-Quran, terutama dalam problem perempuan. "Kita harus mengkritisi pendapat ahli fikih klasik, karena mereka sering mengekang perempuan. Saya sudah menulis karya khusus dalam masalah ini, al-mar'ah al-muslimah bayna tahrr al-qur'n wa taqyd al-fuqh' (perempuan muslimah antara pembebasan Al-Quran dan belenggu ahli fikih)." Kehidupan perempuan di negara Iran memang menarik dicermati. Dengan tetap mempertahankan tradisi dan memakai hijab, mereka bisa beraktualisasi dalam dunia publik. Iran mulai mengeluarkan keputusan-keputusan yang memihak perempuan sejak 1905. Sosok Shirin Ebadi, peraih Nobel beberapa waktu lalu, adalah duta dari perempuan-perempuan Iran yang gigih melancarkan agenda-agenda reformasi dan penegakan HAM. Sejak beberapa tahun lalu, perempuan Iran boleh menjadi sopir taksi dan bus umum. Ma'shuma Sultah Balaghi, ibu empat anak dan sopir bus antarprovinsi, memiliki obsesi untuk membawa bus ke luar negeri. "Saya bermimpi menyopiri bus cepat sampai Damaskus (Suriah). Suami dan anak-anak saya akan senang, karena saya akan menjadi perempuan pertama Iran yang melakukan hal itu," ujarnya, optimistis. Di arena olahraga, atlet-atlet perempuan Iran tetap setia menggunakan jilbab, misalnya dalam lomba dayung dan menembak. Perempuan Iran merupakan simbol penyatuan antara tradisi dan

modernisasi. Di satu sisi mereka bersembunyi di balik jubah hitam, tetapi di sisi lain, pikiran, wawasan, dan obsesi mereka melangkah jauh dan tak terbendung. Mohamad Guntur Romli (Kairo)

Vous aimerez peut-être aussi