Vous êtes sur la page 1sur 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi khusus pada

penatalaksanaannya. Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai

bronkokonstriksi akibat proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran napas yang dapat disebabkan oleh kontraksi otot polos jalan napas, penebalan mukosa oleh karena inflamasi atau pembentuka mucus plug yang kental dan besar sehingga menutup jalan napas. (Zakaria S., 2007) Pengetahuan dasar tentang masalah asma khususnya yang telah mahasiswa dapatkan dari mata kuliah Farmakologi terhadap pengobatan asma yang paling tepat dan sesuai, maka dari skenario: Acong, berumur 9 tahun, menderita asma berat (severe asthma) dan pernah mengalami rawat inap 5 kali antara usia 7-9 tahun. Sekarang dia mendapatkan perawatan jalan untuk mengurangi frekuensi serangan akut. Test imunologi menunjukkan bahwa Acong positif alergi terhadap beberapa alergen. Acong sering diberi Terfenadine oleh ibunya untuk menghilangkan hidung buntunya jika dia mengalami pilek. diharapkan mahasiswa dapat menentukan diagnosis penyakit yang diderita pasien untuk selanjutnya menentukan P-treatment yang sesuai dengan penyakit dan keluhan lain yang diderita pasien. P-treatment tidak harus berupa obat-obatan (P-drugs), namun juga bisa dalam bentuk anjuran untuk hidup sehat. P-drugs yang dipilih hendaknya tidak hanya ditujukan untuk menyembuhkan keluhan utama tetapi juga harus diperhatikan faktor penyebabnya dan resiko apa saja yang dapat terjadi setelah pemberian obat untuk meminimalisir kontra-indikasi obat yang telah diberikan. Dalam menentukan dan menganalisa hal-hal tersebut, diperlukan pendalaman ilmu yang didapatkan secara diskusi secara berkelompok sehingga mahasiswa diharapkan
1

dapat bertukar pikiran dalam pemilihan pengobatan yang tepat dan sesuai untuk terapi penyakit tersebut.

1.2. Rumusan Masalah Apa P-treatment yang cocok untuk pasien dengan asma berat (severe asthma) yang memiliki riwayat alergi terhadap beberapa alergen serta terbiasa mengonsumsi Terfenadine jika pilek? Apa P-drug yang cocok untuk pasien dengan asma berat (severe asthma) yang memiliki riwayat alergi terhadap beberapa alergen serta terbiasa mengonsumsi Terfenadine jika pilek?

1.3

Tujuan Diskusi 1.3.1. Tujuan Umum Menentukan P-treatment untuk pengobatan asma (severe asma) tanpa memperburuk kondisi pasien yang memiliki kelainan atau penyakit penyerta. Menentukan P-drug untuk pengobatan asma (severe asma) tanpa memperburuk kondisi pasien yang memiliki kelainan atau penyakit penyerta. 1.3.2. Tujuan Khusus Mengetahui alasan-alasan farmakologis pemilihan P-treatment dan P-drug yang paling tepat dan sesuai bagi keadaan pasien tersebut.

1.4

Manfaat Diskusi 1.4.1. Manfaat Teoritis Diharapkan hasil diskusi dalam makalah ini mampu memberikan manfaat kepada orang lain untuk menjadi rujukan maupun sumber data atas masalah penanganan dan pengobatan asma berat (severe asthma) yang disebabkan oleh alergi. 1.4.2. Manfaat Praktis
Melalui diskusi ini, diharapkan mampu memilih obat yang efektif untuk

pasien dengan efikasi yang baik, efek samping seminimal mungkin, mudah penggunaannya dan aman, serta murah harganya.
2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Secara klinis, asma ditandai oleh adanya batuk rekuren, napas pendek, rasa sesak di dada, dan mengi (wheezing). Secara fisiologis, ditandai oleh adanya penyempitan saluran napas bronkus yang reversibel dan meluas, dan adanya peningkatan nyata responsivitas bronkus terhadap stimulan yang terhirup. Secara patologis, ditandai oleh remodeling mukosa bronkus, disertai penumpukan kolagen di bawah lamina retikularis epitel bronkus dan hiperplasia sel seluruh struktur parupembuluh darah, otot polos, serta sel kelenjar sekretorik dan goblet. Pada asma ringan gejala hanya timbul pada saat tertentu, seperti pada saat terpajan alergen atau polutan, melakukan aktivitas fisik, atau setelah infeksi virus pada saluran pernapasan atas. Asma yang lebih berat ditandai dengan seringnya serangan dispneu disertai mengi, terutama pada malam hari, dan dapat juga ditandai oleh adanya penyempitan saluran napas kronik. Penyebab terjadinya penyempitan saluran napas pada asma akut meliputi kontraksi otot polos saluran napas, pengentalan sumbat mukus yang viskosa dan tebal pada lumen saluran napas, dan penebalan mukosa bronkus akibat edema, infiltrasi sel, dan hiperplasia sel oto polos, vaskular, dan sekretorik.

2.2. Patogenesis Model imunologi klasik menampilkan asma sebagai penyakit yang diperantarai oleh imunoglobulin reaginik (IgE). Bahan- bahan asing yang memicu produksi IgE dideskripsikan sebagai alergen, alergen yang paling umum adalah protein dari tungau debu rumah, kecoa, sisik kulit kucing, lumut dan serbuk sari. Setelah diproduksi, antibodi IgE berikatan dengan sel mast dalam mukosa saluran napas. Pada pemajanan ulang terhadap alergen spesifik, interaksi antigen-antibodi pada permukaan sel mast memicu pelepasan mediator yang tersimpan dalam granul sel disertai sintesis dan pelepasan mediator lainnya. Ketika dilepaskan, histamin, triptase, leukotrien C4 dan D4 serta prostalglandin D2 berdifusi melewati mukosa saluran napas sehingga memicu kontraksi otot dan kebocoran vaskular yang bertanggung jawab terhadap terjadinya bronkokonstriksi akut pada respons asma cepat. Dalam 4-6 jam, respons ini sering diikuti oleh fase bronkokonstriksi kedua yang bertahan lebih lama, yakni respons asma lambat, yang disertai
3

dengan adanya influks sel inflamasi ke dalam mukosa bronkus dan peningkatan responsivitas bronkus yang dapat bertahan untuk beberapa minggu setelah inhalasi alergen tunggal. Kebanyakan serangan asma tidak dipicu oleh inhalasi alergen, tapi dipicu oleh infeksi virus pada pernapasan. Beberapa pasien asma dewasa tidak menunjukkan sensitivitas alergik terhadap alergen, dan bahkan pada orang-orang yang memiliki sensitivitas alergik, derajat keparahan gejala hanya sedikit berkorelasi dengan kadar alergen di atmosfer. Lebih jauh lagi, bronkospasme dapat dipicu oleh rangsangan non-alergenik, seperti akuades, olahraga, udara dingin, sulfur dioksida, dan gerakan pernapasan yang cepat. Kecenderungan munculnya bronkospasme setelah pemajanan stimuli yang tidak mempengaruhi saluran napas orang sehat merupakan ciri khas pada asma, dan terkadang disebut hiper-reaktivitas bronkus nonspesifik untuk membedakannya dengan responsivitas bronkus terhadap antigen spesifik. Mekanisme yang mendasari hiper-reaktivitas bronkus tampaknya terkait dengan inflamasi mukosa saluran napas. Agen-agen yang meningkatkan reaktivitas bronkus, seperti pemajanan ozon, inhalasi alergen, dan infeksi virus pernapasan, juga menyebabkan inflamasi saluran napas.

2.3. Penatalaksanaan Asma Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma : 1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma 2. Mencegah eksaserbasi akut 3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin 4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise 5. Menghindari efek samping obat 6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel\ 7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila : 1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam 2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise 3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan) 4. Variasi harian APE kurang dari 20 % 5. Nilai APE normal atau mendekati normal 6. Efek samping obat minimal (tidak ada) 7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Terapi farmakologis untuk asma, antara lain: 1. Obat simpatomimetik Mekanisme Kerja Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut: Stimulasi reseptor adrenergik yang mengakibatkan terjadinya

vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah. Stimulasi reseptor 1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.

Stimulasi reseptor 2

yang menyebabkan

bronkodilatasi, peningkatan

klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet. Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat simpatomimetik selektif 2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan

bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik. Kontra indikasi Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita; yang alergi

terhadap obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia jantung yang berhubungan dengan takikardia, angina, aritmia ventrikular yang memerlukan terapi inotopik, takikardia atau blok jantung yang berhubungan dengan intoksikasi digitalis (karena isoproterenol), dengan kerusakan otak

organik, anestesia lokal di daerah tertentu (jari tangan, jari kaki) karena adanya risiko penumpukan cairan di jaringan (udem), dilatasi jantung, insufisiensi jantung, arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik (karena efinefrin); pada beberapa kasus vasopresor dapat dikontraindikasikan, glukoma sudut sempit, syok nonafilaktik selama anestesia umum dengan hidrokarbon halogenasi atau siklopropan (karena epinefrin dan efedrin). Epinefrin Digunakan untuk status asmatikus, merupakan bronkodilator yang efektif. Efek cepat didapat dengan pemberian secara subcutan atau inhalasi. Karena epinefrin merangsang reseptor 1 sama kuatnya dengan reseptor 2, maka takikardi, aritmia, dan angina pectoris dapat mengganggu. Selain itu dapat juga dijumpai efek samping gelisah, sakit kepala, tremor, aritmia ventrikel, palpitasi, dan pendarahan otak. Efedrin Efedrin memiliki masa kerja yang lebih lama dibanding epinefrin. Potensinya lebih lemah dan aktif diberikan per oral. Harganya murah namun sekarang sudah tidak banyak digunakan.

Isoproterenol Bronchodilator yang sangat poten ini. Pada penggunaan secara per inhalasi 80-120 mcg dapat menyebabkan bronchodilatasi maksimal dalam waktu 5 menit. Namun, kasus-kasus mortality yang terjadi akibat aritmia yang dikarenakan oleh Isoproterenol ini sehingga Isoproterenol sekarang jarang digunakan sebagai obat asma. 2 agonis selektif Short Acting Menghentikan kesulitan bernapas, napas pendek, serta gejala lain akibat asma. Efek hanya bekerja dalam waktu yang singkat. Yang tergolong short acting adalah albuterol, metaproterol, levalbuterol, terbutaline, dan pirbuterol. Albuterol ( Salbutamol ) Dapat diberikan per oral atau per inhalasi. Kontra indikasi pada penderita hipertiroid, hipertensi, koroner, DM, serta glaukoma. Efek antagonis dengan propanolol dan adrenoreseptor bloker dapat ditingkatkan jika digunakan bersama dengan xantin. Menimbulkan efek samping tremor otot skeletal, palpitasi, dan kram otot. Metaproterol Diberikan per inhalasi atau bias dicairkan dengan garam fisiologis untuk diberikan secara hanheld nebilizer. Kontra indikasi pada penderita tirotoksikosis, stenosis aorta, takiaritmia, dan terapi zat hambat MAO. Menimbulkan efek samping tremor, gelisah, serta kelelahan. Levalbuterol Menghentikan asma dan gejala asma yang membutuhkan tindakan segera karena onset of action-nya 5 menit. Kontra indikasi pada penderita tirotoksikosis dan hipersensitif terhadap amin simpatomimetik. Terbutaline Diberikan secara per oral, per inhalasi, maupun injeksi sub cutan. Menimbulkan gelisah, tremor, palpitasi, takikardi, mengantuk, sakit kepala, berkeringat, pegal otot, mual, dan muntah. Long Acting Digunakan untuk penderita moderate hingga severe asma sebagai kontrol. Efeknya bertahan selama beberapa jam dan harus digunakan secara
7

berkala agar dapat efektif. Biasanya digunakan sebagai tambahan untuk pasien yang masih menggunakan obat asma lain. Yang termasuk golongan ini adalah salmeterol, bitulterol, dan calteterol. Salmeterol Suatu analog kimiawi albuterol tetapi memiliki cicin samping lipofilik yang panjang sehingga meningkatkan afinitas obat untuk adrenoreseptor. Salmeterol tidak dapat dipakai untuk serangan asma akut. Bitulterol Kontra indikasi pada wanita hamil dan menyusui, penderita yang menggunakan obat aminophylline, beta bloker, theophylline, dan obat lain untuk asma. Menimbulkan tremor, sakit kepala, pusing, iritasi

tenggorokan, dan batuk.

2. Obat metilxantin Mekanisme kerja Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik. Efek samping Reaksi efek samping jarang terjadi pada level serum teofilin yang < 20 mcg/mL. Pada level lebih dari 20 mcg/mL : mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia, iritabilitas. Pada level yang lebih dari 35 mcg/mL : hiperglisemia, hipotensi, aritmia jantung, takikardia (lebih besar dari 10 mcg/mL pada bayi prematur), seizure, kerusakan otak dan kematian. Lain lain : demam, wajah kemerah-merahan, hiperglikemia, sindrom ketidaksesuaian dengan hormon antiduretik, ruam, kerontokan pada rambut. Etildiamin pada aminofilin dapat menyebabkan reaksi sensitivitas termasuk dermatitis eksfoliatif dan urtikaria. Kontra Indikasi

Hipersensitivitas terhadap semua xantin, peptik ulser, mengalami gangguan seizure (kecuali menerima obat-obat antikonvulsan yang sesuai). Aminofilin : hipersensitif terhadap etilendiamin. Supositoria aminofilin : iritasi atau infeksi dari rektum atau kolon bagian bawah.

3. Agen antimuskarinik (Ipratropium bromida, tiotropium bromida, dll) Obat golongan ini merupakan bronkodilator efektif tapi tidak sekuat agonis beta 2. Cara kerja obat ini inhibitor kompetitif terhadap reseptor muscarinik sehingga menghasilkan bronkodilatasi pada bronkokonstriksi yang dimediasi kolinergik. Obat ini menekan tapi tidak memblok. Durasi lebih lama daripada beta 2 agonis, oleh karena itu pemberian dilakukan inhalasi. Kontra indikasi pada penderita yang diketahui sensitif terhadap atropin dan derivatnya, dan hipersensitif terhadap kacang kedelai. Perlu diperhatikan pasien dengan predisposisi glaukoma sudut sempit, hipertrofi prostat, atau obstruksi leher kandung kemih. Pemakaian obat golongan ini dapat mengakibatkan gangguan motilitas usus, mulut kering, sakit kepala, takikardi supraventrikular, fibrilasi atrial, mual, retensi urine, batuk, iritasi lokal, alergi, bronkospasme (yang diinduksi inhalasi).

4. Kortikosteroid Mekanismenya dengan melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan terhadap hormon lain. Dalam hal ini misalnya otot polos bronkus tidak akan berespons terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan respons tersebut. Mekanisme kerja dari kortikosteroid antara lain menghambat produksi sitokin inflammatori, mengurangi reaktivitas bronkial, efek potensiasi dengan agonis reseptor , menghambat limfositik, menghambat pembentukan Ig E. Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi, makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu hormon lain.

Kontra indikasi relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duedenum, infeksi berat, hipertensi, dan gangguan sistem kardiovaskuler, osteoporosis. Contoh obat kortikosteroid: Kortisol, Kortison, Kortisteron, Prednisolon, Deksametason, dan lain lain.

5. Kromolin dan nedokromil Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lainnya. Tetapi kromolin menghambat pelepasan histamin dan autakoid lain termasuk leukotrien dari paruparu manusia pada proses alergi yang diperantarai IgE. Karena itu kromolin mengurangi bronkospasme. Kromolin bekerja pada sel mast paru-paru, yaitu sasaran primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin tidak menghambat ikatan IgE dengan sel mast atau interaksi antara kompleks sel IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan respons sekresi akibat reaksi tersebut. Nedokromil merupakan senyawa yang memiliki efek farmakodinamik dan efek samping mirip kromolin. Umumnya, Nedokromil lebih efektif dari kromolin. Umumnya obat ini ditoleransi dengan baik, tanpa timbulnya reaksi yang todak diinginkan meski penggunaan secara terus menerus selama bertahun-tahun. Reaksi yang paling sering ialah bronkospasme, batuk, kongesti hidung, iritasi faring dan wheezing. Kadang-kadang timbul gejala pusing, disuria, bengkak dan nyeri sendi, mual, sakit kepala, dan kemerahan kulit. Gejala lebih serius dan jarang terjadi yaitu reaksi hipersensitivitas misalnya edema laring, angioderma, urtikaria, dan anafilaksis. Contoh obat anti-inflamasi : Cromolyn (disodium chromoglikate), Nedocromil (nedocromyl sodium).

6. Antihistamin Anti Histamin bekerja sebagai kompetitif inhibitor pada reseptor histamin. Jadi apabila reseptor histamin telah diduduki oleh anti histamin, histamin tidak dapat membentuk ikatan dengan reseptor sehingga reaksi alergi dapat dihindari. Anti Histamin dibagi menjadi 2, anti histamin generasi I (difenhidramin, doksilamin. Karbinoksamin) dan generasi II (cetrizin,dll). Bedanya adalah pada daya tembusnya terhadap Blood Brain Barrier. Obat yang bisa menembus BBB, cenderung mengakibatkan efek samping sedasi. Khasiat farmakologik antihistamin adalah dapat menduduki reseptor histamin, selain itu didapatkan efek-efek lainnya yang bukan merupakan dampak
10

dari blok reseptor histamin. Antihistamin merupakan kompetitif inhibitor pada reseptor, sehingga apabila terjadi komplete blok pada reseptor dapat memberikan efek pada otot polos usus & bronkhus. Sedangkan apabila terjadi inkomplete blok pada reseptor dapat memberikan dampak pada sistemkardiovaskular. Khasiat lainnya dapat memberikan efek sedasi, karena anti histamin generasi satu dapat menembus sawar darah otak.

7. Penghambatan Leukotrien Ada dua mekanisme yang dipakai untuk menginhibisi jalur Leukotrine, yakni penghambatan 5-lipooksigenase yang bertanggung jawab pada sintesa leukotriene dan penghambatan perlekatan leukotriene (LTD4) pada reseptornya di jaringan target. Zileuton adalah jenis obat yang menginhibisi 5-lipooksigenase, sedangak Zafirlukast dan montelukast adalah obat LTD4-receptor antagonis. Zileuton lebih jarang digunakan karena penggunaannya yang harus diberikan empat kali sehari dan adanya efek hepatotoxicity yang dimiliki. Leukotrien reseptor antagonis lebih aman, namun ada laporan bahwa Churg-Strauss Syndrom (syndroma vaskulitis sistemik yang disertai asma yang memburukm infiltrasi pulmoner, dan eusinophilia) terjadi setelah penurunan dosis prednison yang kemudian.

11

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Kasus Acong, berumur 9 tahun, menderita asma berat (severe asthma) dan pernah mengalami rawat inap 5 kali antara usia 7-9 tahun. Sekarang dia mendapatkan perawatan jalan untuk mengurangi frekuensi serangan akut. Test imunologi menunjukkan bahwa Acong positif alergi terhadap beberapa alergen. Acong sering diberi Terfenadine oleh ibunya untuk menghilangkan hidung buntunya jika dia mengalami pilek.

3.2. Keluhan Utama Asma kronik dengan riwayat alergi

3.3. Kata Kunci Anak, 9 tahun Asma kronik Alergi terhadap beberapa allergen Rawat inap 5x dalam 2 tahun terakhir Mengkonsumsi terfenadine untuk obat alergi

3.4. Diagnosis Asthma bronchiale kronik

3.5. Tujuan Pengobatan Spesifik Untuk prophylaxis dan mencegah eksaserbasi akut dari asma yang diderita oleh anak tersebut.

3.6. Inventarisir Terapi Non-Farmakologis dan Farmakologis yang Efektif 3.6.1. Asma Terapi Non-Farmakologis Pencegahan asma dari sisi non-farmakologis dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:

12

a. Aspek Lingkungan Sanitasi, yaitu meningkatkan tingkat sanitasi dari lingkungan sekitar pasien terutama menghindarkan dari sumber allergen. b. Aspek Fisik Dapat dilakukan terapi desensitisasi terhadap allergen secara bertahap

Terapi Farmakologis Pertama dalam kasus ini kami akan menghentikan pemberian terfenadine dikarenakan terfenadine ini memiliki sifat kardiotoksik apabila tidak dimetabolisme langsung menjadi fexofenadine, dan terfenadine ini sudah banyak digantikan oleh fexofenadine yang lebih aman digunakan. Namun dalam kasus ini kami akan meninjau obat lain yang dapat digunakan sebagai pengganti untuk pengobatan jangka panjang asma yang diderita oleh anak ini.

13

Vous aimerez peut-être aussi

  • Tugas Dini
    Tugas Dini
    Document6 pages
    Tugas Dini
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Tugas Teodas
    Tugas Teodas
    Document6 pages
    Tugas Teodas
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Abstract
    Abstract
    Document1 page
    Abstract
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Sistem Saraf 21
    Sistem Saraf 21
    Document8 pages
    Sistem Saraf 21
    Muslihatus Syarifah
    Pas encore d'évaluation
  • Tugas Msi
    Tugas Msi
    Document1 page
    Tugas Msi
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Bahan Ujian
    Bahan Ujian
    Document7 pages
    Bahan Ujian
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Skdi 2013
    Skdi 2013
    Document102 pages
    Skdi 2013
    Faradila Hakim
    67% (3)
  • Hemiparesis
    Hemiparesis
    Document2 pages
    Hemiparesis
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Leaflet Diabet
    Leaflet Diabet
    Document6 pages
    Leaflet Diabet
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Definisi, Epidemiologi, Prognosis CDD
    Definisi, Epidemiologi, Prognosis CDD
    Document2 pages
    Definisi, Epidemiologi, Prognosis CDD
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Tugas Mami Xuxi
    Tugas Mami Xuxi
    Document8 pages
    Tugas Mami Xuxi
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Nenek Ekg Romawi I Dan II
    Nenek Ekg Romawi I Dan II
    Document8 pages
    Nenek Ekg Romawi I Dan II
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Hemiparesis
    Hemiparesis
    Document2 pages
    Hemiparesis
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Myastenia Gravis2
    Myastenia Gravis2
    Document9 pages
    Myastenia Gravis2
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Bab I - III
    Bab I - III
    Document13 pages
    Bab I - III
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Definisi, Epidemiologi, Prognosis CDD
    Definisi, Epidemiologi, Prognosis CDD
    Document2 pages
    Definisi, Epidemiologi, Prognosis CDD
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Skdi 2013
    Skdi 2013
    Document102 pages
    Skdi 2013
    Faradila Hakim
    67% (3)
  • Skdi 2013
    Skdi 2013
    Document102 pages
    Skdi 2013
    Faradila Hakim
    67% (3)
  • Responsi Febris
    Responsi Febris
    Document10 pages
    Responsi Febris
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Kuliah Anamnesis Sesak-15 September
    Kuliah Anamnesis Sesak-15 September
    Document45 pages
    Kuliah Anamnesis Sesak-15 September
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation
  • Alat - Alat
    Alat - Alat
    Document20 pages
    Alat - Alat
    Nisa Nurirrohmani
    Pas encore d'évaluation