Vous êtes sur la page 1sur 68

SUSUNAN PENGURUS DPP-PERSAGI

PERIODE 2002-2005

PELINDUNG : Dr. Achmad Sujudi, MHA


(Menteri Kesehatan RI)

DEWAN PEMBINA : Prof. Soekirman, PhD


Prof. DR. Muhilal
Drs. M. Sudarmadi
Drs. Benny A. Kodyat, MPA
Drs. Soetedjo
DR. Sunita Almatsier, MSc.
Dr. Rachmi Untoro, MPH

KETUA UMUM : Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH

WAKIL KETUA : Sunarno Ranu Widjojo, SKM, MPH

SEKRETARIS UMUM : 1. Ir. Soetanto, MM


2. Ir. Dody Izwardi
3. Ir. Dodik Briawan, MCN
3. Ir. Entos Zaenal
4. H. Ali Bernadus, SKM, MA
5. Bambang P., SKM

BENDAHARA : Ria Sukarno, MCN


Wakil Bendahara : Pritasari, SKM, MSc.

KETUA I : Ir. Tatang S. Falah, MSc.

KETUA BIDANG ORGANISASI


DAN PEMBINAAN PROFESI : Bambang Harianto, SKM, MSc.
Anggota : 1. Sudarmani, SKM, Mkes
2. Kodrat PA, SKM, Mkes
3. Nusli Imansyah, SKM
4. G.K. Wirakambodja, SKM, MPS
5. Syamsul Bahri, SKM, Mkes

KETUA BIDANG
GIZI MASYARAKAT : Minarto, MPS
Anggota : 1. Ir. Siti Zainab, MCN
2. Rita Kemalawati, MCN
3. Ir. Itje Aisah Ranida, Mkes
4. Edwi Saraswati, MPS
5. Galopong Sianturi, SKM, MA

i
KETUA II : Edith Sumedi, SKM, MSc.

KETUA BIDANG PENDIDIKAN


DAN LATIHAN : DR. Hardinsyah, MSc.
1. Iskari Ngadiarti, MSc.
2. Werdiningsih, SKM, Mkes
3. Zachrotiah, SKM, Mkes
4. Pudjo Hartono, MPS
5. Ir. Rossi RS Apriyantono, Mkes

KETUA BIDANG DIETETIK


DAN GIZI INSTITUSI : Rochamah, SKM, Mkes
1. Didit Damayanti, MSc.
2. Sumiarti, SKM
3. Suharyati Djoko, SKM
4. Y. Endang Budiwiarti, SKM
5. Rianti Sri Widayati, DCN

KETUA III : DR. Abas Basuni Jahari, MSc.

KETUA BIDANG PENELITIAN


DAN PENGEMBANGAN : Atmarita, PhD
1. DR. Iman Sumarno, MPS
2. Budi Hartati, SKM, M.Epid
3. Gustina Sofia, SIP, MA
4. DR. Moesijanti, MCN
5. Tinexcelly M. Simamora, SKM

KETUA BIDANG KEMITRAAN : Nils Aria Zulfianto, MSc.


1. Ir. Sunarko, MSc
2. Ir. Moh. Nasir, Mkes
3. Marudut Sitompul, MPS
4. Ida Ruslita, SKM, Mkes
5. Sylvia Damayanti, DCN
6. Sri Amelia, BSc.

ii
Susunan Panitia Pelaksana
Temu Ilmiah dan Kongres XIII PERSAGI

Pelindung : Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Penasehat :
1. Prof. Soekirman, SKM, MPS-ID, PhD. 5. Dr. Dini A. Latief, MSc.
2. Prof.DR. Muhilal 6. Murni Indrarti Muhilal, MSc.
3. Prof.DR.dr. Darwin Karyadi 7. Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH
4. Dr. Rachmi Untoro, MPH 8. Kepala Dinas Kesehatan Prov. Bali

Pengarah :
1. Sunarno Ranu Widjojo, SKM, MPH 4. DR. Hardinsyah, MSc.
2. Ir. Tatang S. Falah, MSc. 5. Idrus Jus’at, MSc, PhD.
3. DR. Abas B. Jahari, MSc.

Ketua Umum : Bambang Harianto, SKM, MSc.


Wakil Ketua : Ir. I Komang Agusjaya M, MKes.

Sekretaris Umum : Atmarita, MPH, Dr.PH


Wakil Sekretaris : I Putu Suiraoka, SST, MKes.
Anggota:1. Ria Sukarno, MCN 5. AA Ngr Kusumajaya, SP, MPH
2. TM. Simamora, SKM 6. I Wayan Sudiarta, SKM
3. Muhammad Adil 7. Avelino SM, SST.
4. Erry Yudhya Mulyani 8. I G.P Suditha Puryana, STP

Bendahara Umum : Pritasari, SKM, MSc.


Wakil Bendahara : A.A. Nanak Antarini, SST

Bidang Kongres

Ketua : Minarto, MPS


Wakil Ketua : I Dewa Nyoman Sudjana, SKM, MKes.
Sie Tata Tertib/AD/ART Sie Program Kerja Sie Sertifikasi/Legislasi/ RUU &
Ir. Soetanto, MM Ir. Sunarko, MSc. Kolegium
Entos Zainal, SP Kusindrati, MCN, MARS Edith Sumedi, SKM, MSc.
Ir. Doddy Izwardi Rita Kemalawati, MCN Iskari Ngadiarti, MSc.
Ir. Moh. Masir, MKes. Didit Damayanti, MSc.
SA Budi Hartati, SKM, Mepid.

Bidang Ilmiah

Ketua : DR. Iman Sumarno, MPS


Wakil Ketua : Ir. I Made Purnadhibrata, MKes.
Sie Acara Sie Persidangan Sie Temu Ilmiah
H. Ali Bernadus, SKM, MA I Made Rodja Suantara, SKM, DR. Sandjaja, MPH
Cahaya Rajagukguk, MKes MKes Gustina Sofia, SIP, MA
Ir. I G.A Putri M, MKes A.A Gde Raka Kayanaya, SST, DR. Moesijanti, MCN
Ni Ketut Martini, SKM, MKes Triyani Kresnawan, DCN,
MKes I.A Eka Padmiari, SKM, MKes MKes
Ni Wayan Yogianti, SKM, A.A Putu Gede Wiranata Ir. Hertog Nursanyoto, MKes
MKes I A Kade Widnyani, SKM, Ir. Desak Putu Sukraniti,
G.A Puspadi MKes MKes
Rina Maharani M, DCN
Ni Putu Agustini, SKM

iii
Sie Publikasi, Dekorasi, Sie Transportasi Sie Konsumsi
Dokumentasi Noerheri Pande Putu Sri Sugiani, DCN,
I Ketut Kencana, SKM I Wayan Redite MKes
Putu Musnitarini, SKM IGA Wirata G.A Ari Widarti, SST, MKes
G.A Dastini, PM, BSc. I Ketut Bambang Suwandi I G.A Sg. Kusumadewi, DCN
Ni Ketut Nursiti, SKM Ni Luh Putu Ayu Putri S.
G.A Dewi Kusumayanti
Sie Hiburan & Wisata Sie Keamanan Festival Gizi
Ni Made Yuni Gumala, SKM, Badrut Tamam, STP Tuti Soenardi, BSc
MKes I Nyoman Enteg Suyasa Sri Wahjoe Soekirman, MPS
I Wayan Juniarsana, SST I GA Suartika ASDI Pusat dan Provinsi
I G.A.A Puspayeni I Wayan Merta
Sie Penggalangan Dana
Nils Aria Zulfianto, MSc Sylvia Damayanti, DCN I Nyoman Sridana
G.K Wirakamboja, SKM, MPS Mulyono , MSc. G.A Sri Dhyana Putri, SKM
Ida Ruslita, SKM, MKes G.A Sri Utami, STP Bambang P., SKM
Marudut Sitompul, MPS

iv
KATA PENGANTAR

Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) setiap tiga tahun sekali melakukan
Kongres dan Temu Ilmiah. Pada tahun 2005, bersamaan dengan Temu Ilmiah dan
Kongres XIII PERSAGI, dilakukan juga festival gizi untuk mengajak masyarakat luas
baik dari kalangan Industri Pangan, Perhotelan, PKK, dan kelompok masyarakat
lainnya dari seluruh Nusantara turut berpartisipasi dalam mewujudkan peningkatan
status kesehatan dan gizi di Indonesia.

Temu Ilmiah bertujuan untuk memberikan informasi terkini tentang perkem-


bangan IPTEK, situasi program gizi, selain itu juga sebagai media untuk penyegaran
ilmu gizi baik pada seluruh anggota PERSAGI, maupun peminat di bidang gizi. Pada
kesempatan kali ini penyelenggaraan temu ilmiah telah mengundang empat Menteri
yaitu Kesehatan, Pertanian, Pemberdayaan Wanita, serta Perikanan dan Kelautan, di
samping panel dari para pakar yang akan dilakukan selama tiga hari. Jumlah makalah
untuk simposia tahun 2005 ini tidak terlalu banyak jika dibandingkan tahun 2002.
Sedangkan Kongres bertujuan untuk menyempurnakan organisasi PERSAGI berkaitan
dengan AD/ART, serta mengevaluasi program kerja yang telah dilakukan dan
melakukan pembahasan lain berkaitan dengan kompetensi ahli gizi, sertifikasi/
registrasi/ legislasi, kode etik profesi, dan kolegium, serta pembentukan kepengurusan
DPP PERSAGI periode berikutnya.

Persiapan penyelenggaraan Temu Ilmiah, Kongres XIII Persagi dan Festival


Gizi dilakukan bersama antara DPP PERSAGI Pusat dan DPD PERSAGI Provinsi Bali
serta Yayasan Gizi Kuliner. Semua kegiatan yang akan dilakukan dari tanggal 21
sampai dengan 24 November 2005 di Bali ini tidak mungkin terselenggara dengan baik
tanpa bantuan berbagai pihak. Perhargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kami sampaikan kepada seluruh pembicara dan juga sponsor yang membantu
terselenggaranya acara ini.

Denpasar, 21 November 2005

DPP Persatuan Ahli Gizi Indonesia


Ketua,

tertanda

Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH

v
TATA TERTIB

PESERTA TEMU ILMIAH dan KONGRES

1. Para peserta agar hadir tepat waktu sesuai jadwal.


2. Berpakaian resmi dan rapih.
3. Mengenakan tanda pengenal selama mengikuti Temu Ilmiah dan Kongres.
4. Dilarang membawa makanan dan kue ke ruang sidang.
5. Selama mengikuti sidang, mohon agar tilpon genggam dimatikan/ diam/ silent.
6. Peserta terdaftar mendapatkan kelengkapan sidang berupa :
Buku Acara dan Kumpulan Abstrak
Sertifikat
7. Panitia tidak menyediakan fasilitas lain seperti fotokopi, internet, dokter jaga
dll. Sarana umum tersebut disediakan oleh Hotel dengan biaya sendiri.

PENYAJI MAKALAH

1. Disampaikan dalam bentuk Microsoft Power Point.


2. Penyaji sudah berada di Ruang Sidang 5 menit sebelum acara dimulai.
3. Mengumpulkan makalah lengkap paling lambat pada hari presentasi yang
sudah ditentukan kepada Seksi Ilmiah di Sekretariat Panitia dalam bentuk
electronic file.

PENYAJIAN POSTER

1. Poster harus dijaga saat Poster Session oleh salah satu Penulis.
2. Poster tidak menyebut/ menampilkan produk komersial dalam bentuk gambar,
contoh/sampel dll.
3. Bila dalam poster menampilkan foto seseorang/ sampel dalam penelitian,
sebaiknya disamarkan identitasnya dengan menutup mata foto ybs.
DAFTAR ISI

Halaman
A. Susunan Pengurus DPP PERSAGI 2002-2005 i
B. Susunan Panitia Pelaksana iii
C. Kata Pengantar v
D. Denah Lokasi vi
E. Tata Tertib vii
F. Daftar Isi viii
G. Kerangka Acuan Temu Ilmiah dan Kongres 1
H. Rincian Jadwal Acara 4
I. Jadwal Simposia 9
J. Kumpulan Abstrak Pleno 12
1. Yulfita Rahardjo: Peranan wanita dalam pelaksanaan kadarzi 12
2. I Gede Winasa: Program gizi daerah di era otonomi 12
3. Ermalena Muslim: Gizi dalam perkembangan politik 12
4. Ike Sri Rejeki: Critical ill 13
5. Kartini Sukardji: Penatalaksanaan gizi mutakhir..... 13
6. M. Aris Widodo: Nutritional genomic – nutrigenomic .... 14
7. Dedi Fardiaz: Keamanan pangan dan bioterorisme 15
8. Djokomoeljanto: Perkembangan GAKY sekarang dan ...... 16
9. Suyamto: Biofortifikasi dan ketahanan pangan...... 16
10. Sadullah: Peningkatan konsumsi ikan 16
11. Soekirman: Perkembangan ilmu gizi dan tantangannya.... 17
12. Sunarno RW: Pengembangan kebijakan gizi berdasarkan ..... 18
13. Muhilal: Kelapa dan manfaatnya untuk kesehatan 18
14. Rachmi Untoro: Gizi dalam keadaan darurat 19
15. Satoto: Program perbaikan gizi di Indonesia untuk masa ..... 20
16. Rudi Pekerti: Pemasaran sosial gizi 20
17. Sri Iwaningsih: Pengawasan dan pengendalian mutu ..... 21
K. Kumpulan Abstrak Simposia 22
1. Simposia-1 (Senin, 21 November 2005) 22
• Gizi Klinik dan Dietetik 22
• KIE Gizi dan Pemberdayaan Masyarakat 24
• Gizi Masyarakat dan Gender 25
2. Simposia-2 (Selasa, 22 November 2005) 28
• Ketahanan Pangan 28
• Pangan Fungsional 29
• Gizi – Teknologi Pangan 31
3. Simposia-3 (Selasa, 22 November 2005) 34
• Gizi Klinik dan Dietetik 34
• Gizi Institusi 36
• Gizi Masyarakat 38
L. Kumpulan Abstrak Poster 41
(disusun berdasarkan abjad nama penulis pertama)
M. Lampiran
Ucapan Terimakasih 62

viii
KERANGKA ACUAN (Term of Reference)

Pelaksanaan Temu Ilmiah, Kongres XIII PERSAGI dan Festival Gizi


Denpasar, Bali, 20-24 November 2005

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia sudah menunjukkan peningkatan status kesehatan dan gizi pada 2-3
dekade terakhir. Hal ini ditandai dengan peningkatan umur harapan hidup, dan juga
penurunan angka kematian bayi dan kematian balita, serta penurunan masalah kurang
gizi yang ada di masyarakat. Akan tetapi, walaupun terjadi peningkatan status
kesehatan, karena perubahan gaya hidup, keadaan sosial ekonomi, dan pengaruh
lingkungan, menyababkan masalah gizi masih cukup dominan. Masalah gizi yang ada
di masyarakat menjadi lebih kompleks, dan jenis masalahnya terletak pada dua ekstrim
yaitu “kekurangan” dan “kelebihan”. Diperkirakan, pada tahun 2004, Indonesia masih
menghadapi hampir 50% dari penduduk dengan berbagai masalah kekurangan gizi, dan
15% penduduk dengan kelebihan gizi.

Masalah gizi bukan saja sangat kompleks, tetapi sering ‘tersembunyi’ sehingga
tidak langsung terdeteksi. Ada empat pola permasalahan gizi yang patut dicermati saat
ini. Yang pertama, sebenarnya permasalahan lama, tetapi masih terus berlangsung,
yaitu adanya suatu pola yang memperlihatkan perempuan dan anak sebagai kelompok
yang paling rentan terhadap permasalahan gizi. Yang kedua ialah adanya kecenderung-
an baru terkait penyakit-penyakit degeneratif seperti hiperlipidemia dan penyakit
kardiovaskuler. Gejala ini ditemui baik pada keluarga yang berada maupun keluarga
miskin, khususnya di daerah perkotaan, karena ‘salah makan’, meskipun dengan sebab
dan mekanisme yang berbeda. Yang ketiga ialah masalah gizi perkotaan, khususnya
bagi kelompok miskin. Akibat berbagai sebab, kemiskinan, ketidak tahuan, ketiadaan
pilihan, terancamnya keamanan pangan, mereka terancam beban ganda gizi kurang dan
gizi lebih, yang pada gilirannya meningkatkan beban ekonomi masyarakat. Yang
keempat, sudah waktunya kini untuk mewaspadai timbulnya masalah gizi baru, seperti
anemia pada laki-laki, keracunan logam berat, dan lain-lain. Ini berarti akan selalu
muncul masalah gizi lain dan/ atau baru (yang belum tertangani), di samping masalah
gizi yang sudah teridentifikasi. Ini juga berarti bahwa masalah gizi terjadi diluar
kelompok yang selama ini dianggap rentan terhadap gizi (ibu hamil/menyusui, anak/
balita, remaja puteri, lanjut usia).

Perlu kita sadari bersama, bahwa kemajuan suatu negara sangat tergantung dari
keberadaan dan kualitas pelaku dari pembangunan yang seharusnya secara fisik dan
mental adalah kuat dan sehat. Keadaan gizi penduduk menjadi sangat penting untuk
mendasari kebutuhan tersebut. Untuk diketahui, terjadinya kekurangan gizi pada setiap
individu dapat terjadi semenjak masih di kandungan yang disebabkan karena asupan
gizi yang tidak mencukupi kebutuhan. Kekurangan gizi yang terjadi secara bertahap ini
bisa berakibat pada kecerdasan, rendahnya produktivitas, atau kematian pada tingkat
yang lebih parah. Kesemuanya ini akan menjadi beban negara jika jumlah penduduk
dengan kekurangan gizi ini cukup besar, seperti Indonesia.

ix
Indonesia sudah mengembangkan program penanggulangan gizi semenjak
tahun 1970-an. Pelaku program adalah para ahli gizi yang bekerja sama dengan tenaga
kesehatan atau sektor sosial lainnya, yang sampai dengan saat ini tersebar hampir di
seluruh wilayah, bahkan sampai tingkat terdepan yaitu Kecamatan. Pada umumnya
para ahli gizi ini bernaung dalam organisasi profesi “Persatuan Ahli Gizi Indonesia” –
PERSAGI. Anggotanya berjumlah hampir 9000 orang yang bekerja di Institusi Kese-
hatan (Rumah Sakit, Dinas Kesehatan, Puskesmas), Institusi Pendidikan, Perhotelan,
Panti Asuhan, Perusahaan Makanan/Perusahaan Swasta, Badan Internasional, dan
lain-lain.

Secara periodik yaitu setiap tiga tahun sekali, PERSAGI melakukan Kongres
dan juga Temu Ilmiah untuk kepentingan penyegaran ilmu gizi yang selalu berkem-
bang kepada seluruh anggotanya. Untuk diketahui, ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang gizi, makanan, dan dietetik mengalami peningkatan yang sangat cepat. Pada
tahun 2002, Temu Ilmiah dan Kongres XII PERSAGI dihadiri oleh sekitar 1000 Ahli
Gizi dari seluruh Indonesia.

Tahun 2005, PERSAGI menyelenggarakan Temu Ilmiah dan juga Kongres XIII
yang direncanakan akan dilaksanakan di Bali bersamaan dengan “Nutrition Expo”
pada tanggal 20-24 November 2005. Tema yang disepakati untuk tahun 2005, yaitu
“Gizi Baik Investasi Pembangunan”. Tema ini berkaitan dengan visi gizi Indonesia
untuk masa yang akan datang adalah “Gizi Baik untuk semua tahun 2020”. Pada
penyelenggaraan Temu Ilmiah dan Kongres XIII ini diharapkan akan dihadiri lebih
dari 1000 Ahli Gizi, ditambah dengan masyarakat lainnya yang akan berpartisipasi
dalam Nutrition Expo/Festival Gizi.

2. Tujuan

Seperti yang diuraikan di atas, ada tiga kegiatan pokok PERSAGI yang akan
dilakukan, yaitu Temu Ilmiah, Kongres, dan Nutrition Expo. Temu Ilmiah bertujuan
untuk memberikan informasi terkini tentang perkembangan IPTEK, situasi program
gizi, selain itu juga sebagai media untuk penyegaran ilmu gizi baik pada seluruh
anggota PERSAGI, maupun peminat di bidang gizi.

Sedangkan Kongres bertujuan untuk menyempurnakan organisasi PERSAGI


berkaitan dengan AD/ART, serta mengevaluasi program kerja yang telah dilakukan
dan melakukan pembahasan lain berkaitan dengan sertifikasi/ registrasi/ legislasi, dan
kolegium, serta pembentukan DPP PERSAGI periode berikutnya.

Nutrition Expo dilaksanakan bersamaan dengan Temu Ilmiah dan Kongres


PERSAGI XIII ini bertujuan untuk mengajak masyarakat luas, baik dari kalangan
Industri Pangan, Perhotelan, PKK, dan kelompok masyarakat lainnya dari seluruh
Nusantara turut berpartisipasi dalam mewujudkan peningkatan status kesehatan dan
gizi di Indonesia.

KEGIATAN

Keseluruhan kegiatan akan diawali dengan Pembukaan yang akan


diselenggarakan pada tanggal 21 November 2005 oleh Gubernur Provinsi Bali.

x
Uraian untuk masing-masing kegiatan adalah sebagai berikut:

1. Temu Ilmiah

Sesuai dengan tema yang telah ditetapkan, pada Temu Ilmiah akan dilakukan
pleno para Menteri terkait dari Departemen Kesehatan, Pertanian, Pemberdayaan
Wanita, serta Kelautan dan Perikanan. Di samping pleno para Menteri dan Pakar, akan
diselenggarakan secara paralel simposia dan juga presentasi dalam bentuk poster yang
akan mengumpulkan artikel dari para Ahli Gizi seluruh Indonesia atau peminat gizi
lainnya. Simposia dan poster diharapkan akan mendukung “Nutrition Update” untuk
para ahli gizi atau peminat gizi. Tujuh topik penting yang akan dibahas adalah sebagai
berikut:
a. KIE Gizi dan pemberdayaan masyarakat
b. Ketahanan pangan dan gizi
c. Pangan fungsional
d. Gizi masyarakat dan gender
e. Dietetik dan gizi klinik
f. Gizi institusi
g. Teknologi pangan

Temu Ilmiah akan dilakukan selama tiga hari, yaitu tanggal 21-23 November 2005,
bersamaan dengan presentasi poster pada setiap waktu istirahat.

2. Kongres PERSAGI

Kongres akan dilakukan pada tanggal 22 dan 23 November 2005 dan diikuti
oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpimpinan Daerah (DPD)
PERSAGI. Peserta kongres terbatas pada para Ahli Gizi yang terlibat dalam kepengu-
rusan organisasi PERSAGI.

3. Festival Gizi/ Nutrition Expo

Nutrition Expo akan diselenggarakan selama 5 hari, dari tanggal 20 sampai


dengan 24 November 2005 dengan agenda kegiatan sebagai berikut:

a. Pameran hasil industri pangan selama 5 hari berturut-turut


b. Lomba makanan traditional Bali untuk hotel dan restoran yang akan diikuti
oleh Senior Chef hotel dan restoran dan membuat aneka roti dan pastry oleh
Juniro Chef Hotel dan restoran – tanggal 20 Novemver 2005
c. Lomba kue tradisional Bali yang diikuti oleh ibu PKK – 21 November 2005
d. Lomba masak ikan selera Nusantara – 22 November 2005
e. Demo masak memperkenalkan hasil industri pangan – 23 November 2005

4. Acara sosial, tinjauan lapangan, field trip, dll

Selain ketiga kegiatan pokok, dijadualkan acara sosial atau kunjungan tempat
pariwisata di Bali untuk para peserta Temu Ilmiah/Kongres pada tanggal 23 dan 24
November 2005. Acara sosial ini akan ditentukan kemudian.

xi
RINCIAN JADWAL ACARA
Temu Ilmiah, Kongres Persagi XIII, Festival Gizi
Denpasar, 21-24 November 2005

Hari/Tgl/ Pen.
Topik Pembicara Moderator Festival Gizi
Jam Jawab
Minggu, 20 November 2005
14.00 - selesai Pendaftaran ulang peserta Sekretariat
Senin, 21 November 2005

10.00 – 10.45 • Laporan Panitia • Ketua Panitia Sie Acara/


Bambang Harianto SKM, MKes. Protokol
• Sambutan Ketua Umum • Drs. Arum Atmawikarta, SKM,
PERSAGI MPH
• Selamat datang, disambut • Gubernur Bali
dengan tarian Drs. Dewa Made Bratha
• Sambutan Pengarahan sekaligus • Menteri Kesehatan Sie Acara/
Pembukaan secara resmi Protokol
• Peninjauan dan peresmian
Festival Gizi Peresmian dan
peninjauan
Festival Gizi
10.45 – 11.15 • Pemberian Penghargaan • Prof.DR.dr. Darwin Karyadi Sie Acara
• Peluncuran Buku • Bambang Harianto, SKM, MKes
• Press conference • Menteri Kesehatan Didampingi Gubernur,
• Coffee break Ketua PERSAGI

11.15 – 11.45 Keynote speaker


• Gizi dan gender • Menteri Negara Pemberdayaan Drs. Arum Atmawikar- Sie Acara Lomba makanan
Wanita ta, SKM, MPH tradisional

12
Hari/Tgl/ Topik Pembicara Moderator Pen. Festival Gizi
Jam Jawab
11.45 – 13.00 Panel pakar I
• Peranan wanita dalam pelaksa- • DR. Yulfita Rahardjo DR. Hardinsyah Sie Acara Lomba makanan
naan Kadarzi tradisional
• Program gizi daerah di era • Prof.DR.drg. I Gede Winasa
otonomi
• Gizi dalam perkembangan • Dra. Ermalena Muslim
politik
13.00 – 14.00 ISHOMA/ Poster Session

14.00 – 14.45 Panel Pakar II


• Critical ill • Dr. Ike Sri Rejeki, SpAn-KIC Triyani Kresnawan, Sie Acara
• Penatalaksanaan gizi mutakhir: • Kartini Sukardji, MCH DCN, MKes
Diabetes mellitus
14.45 – 16.00 Panel Pakar III
• Nutritional genomic – nutri- • Prof.Dr. M. Aris Widodo, MS, DPD PERSAGI Bali Sie Acara
genomic: A new hope for ..... SpFK, PhD
• Keamanan pangan dan • Prof.Dr.Ir. Dedi Fardiaz, MSc.
bioterorisme
• Perkembangan GAKY sekarang • Prof.Dr.dr. Djokomoeljanto,
dan masa datang SpD(KE)
16.00 – 16.15 ISHOMA/ Poster Session
16.15 – 17.30 Simposia
• Topik-1: Gizi klinik dan dietetik Lihat di Jadwal Simposia DPD PERSAGI Bali Sie Sidang
• Topik-2: KIE gizi dan pember- DPD PERSAGI Bali
dayaan masyarakat
• Topik-3: Gizi masyarakat dan Marzuki Iskandar,
gender STP, MTP

13
Hari/Tgl/ Topik Pembicara Moderator Pen. Festival Gizi
Jam Jawab
17.45 – 19.00 ISHOMA
19.00 – selesai Kongres PERSAGI
• Pembukaan Kongres PERSAGI • Ketua Umum PERSAGI Minarto, MPS
• Pertanggungjawaban Pengurus Kusindrati, MCN,
DPP 2002 – 2005 MARS
• Penunjukan Ketua Sidang Iskari Ngadiarti, MSc.

Selasa, 22 November 2005


09.00 – 10.00 • Social gathering/ coffee Sie Acara Lomba masak
morning/ Poster Session serba ikan oleh
Departemen
Kongres Kelautan
• Kongres PERSAGI: Anggaran Ir. Sutanto, MM (Pebukaan oleh
Dasar/Anggaran Rumah Tangga Sekjen Kelautan)
10.00 – 11.00 Keynote speaker
Sunarno R. Widjojo, Sie Acara/
• Revitalisasi pertanian dan keta- • Menteri Pertanian
SKM, MPH Protokol
hanan pangan rumah tangga
• Kebijakan pembangunan • Menteri/ Sekjen Kelautan dan
sumber daya kelautan Perikanan
11.00 – 12.00 Panel pakar IV
• Biofortifikasi dan ketahanan • DR. Suyamto et.al. Ir. Rossi Rozanna, Sie Acara
pangan MKes.
• Peningkatan konsumsi ikan • Ir. Sadullah, MBA

12.00 – 13.00 • Tantangan keprofesian gizi • Prof.DR. Soekirman, MPS-ID Idrus Jus’at, Ph.D
13.00 – 14.00 ISHOMA/ Poster Session

14
Hari/Tgl/ Topik Pembicara Moderator Pen. Festival Gizi
Jam Jawab
14.00 – 15.30 Simposia
• Topik-1: Ketahanan pangan Lihat di Jadwal Simposia DR. Sandjaja, MPH Sie Sidang
• Topik-2: Pangan fungsional Moesijanti, PhD
• Topik-3: Teknologi pangan Ir. Tatang S.Falah,
MKes.
Kongres
• Topik-1: Standar profesi • Edith Sumedi, SKM, MSc.
• Topik-2: Legislasi • Didit Damayanti, MSc.
• Topik-3: Kodek profesi • Iskari Ngadiarti, MSc.
15.30 – 16.00 ISHOMA/ Poster Session
16.00 – 17.30 Simposia
• Topik-1: Gizi klinik dan dietetik Lihat di Jadwal Simposia DPD PERSAGI Bali Sie Sidang
• Topik-2: Gizi institusi DPD PERSAGI Bali
• Topik-3: Gizi masyarakat DR. Iman Sumarno

Kongres
• Program kerja PERSAGI • Ir. Sunarko, MSc. Rita Kemalawati,
MCN
Rabu, 23 November 2005

09.00 – 10.00 Panel Pakar V


• Pengembangan kebijakan • Sunarno R. Widjojo, SKM, MPH Atmarita, MPH, Dr.PH Sie Acara Festival kue tradi-
program gizi berbasis penelitian sional Bali
mutakhir
• Kelapa dan manfaatnya untuk • Prof. DR. Muhilal
kesehatan

15
Hari/Tgl/ Topik Pembicara Moderator Pen. Festival Gizi
Jam Jawab
10.00 – 11.30 Panel Pakar VI
• Gizi dalam keadaan darurat • Dr. Rachmi Untoro, MPH DR. Abas B. Jahari, Sie Acara Festival kue tradi-
• Program perbaikan gizi di • Prof.DR.dr. Satoto, SpG MSc. sional Bali
Indonesia untuk masa yang
akan datang
• Pemasaran sosial gizi • dr. Rudi Pekerti, MPH
11.30 – 12.00 • Pengawasan dan pengendalian • Sri Iwaningsih, SKM, MKes. Kusindrati, MCN, Sie Acara
mutu dalam pelayanan gizi MARS
rumah sakit
12.00 – 13.00 • Penutupan • Ketua Panitia
13.00 – selesai ISHOMA/ Acara bebas
Kamis, 24 November 2005

09.00 – selesai Acara sosial Sie Acara Demo masak dan


product
knowledge para
peserta Festival
Gizi

16
JADWAL SIMPOSIA

Senin, 21 November 2005

Ruang A Ruang B Ruang C


Jam
16.15 – 17.30 Gizi Klinik dan Dietetik KIE Gizi dan Pemberdayaan Masy Gizi Masyarakat dan Gender

Moderator: DPD PERSAGI Bali Moderator: DPD PERSAGI Bali Moderator: Marzuki Iskandar, STP,
MTP
• Susetyowati
Analysis of Dietitian Needs Based on Work • Riza Adirza et.al. • Hagnyonowati et.al.
Activity in Sardjito General Hospital, Edutainment (education and entertainment)
Yogyakarta The Role of Zinc and Vitamin A in
Sebagai Strategi Baru Dark Adaptation Ability: A Study of
Penyuluhan Kesehatan
• Christina Reger Primary School Children in
Registered Dietitian (RD) : Kedungjati, Grobogan district
A Standardized Qualification in the US • Mutalazimah
Dukungan Sistem Informasi
ƒ Martalena Br Purba • M.Dawam Jamil et.al.
Manajemen pada Program Perbaikan Perbedaan Intake Zat Gizi dan Status Besi
Obesitas Abdominal Kaitannya dengan Gizi Masyarakat
Sindroma Metabolik: pada Wanita Vegetarian di Kabupaten
Apakah Merupakan Masalah Kesehatan Badung, Provinsi Bali
Masyarakat di Indonesia?
• Untung S. Widodo
Pengembangan Surveilans Sentinel
GAKI Dengan Indikator UIE
Pada Kelompok Rawan

17
Selasa, 22 November 2005

Ruang A Ruang B Ruang C


Jam
14.00 – 15.30 Ketahanan Pangan Pangan Fungsional Teknologi Pangan

Moderator: Sandjaja Moderator: Moesijanti Soekatri Moderator: Tatang S. Falah

• Iman Sumarno • M. Poppy Herlianti • Heru Yuniati et.al.


Indikator Ketahanan Pangan Aspek Gizi dan Klinis Virgin Coconut Oil Pemanfaatan Susu Segar yang
Rumahtangga Miskin Ditolak Sebagai Sumber Protein
• Eva Ardiana et.al Rendah Laktosa
• Atmarita Asupan Antioksidan dan Penyakit
Ketahanan Pangan Tingkat Rumahtangga dan Jantung Koroner pada Lansia
Pemenuhan Gizi Seimbang • Uken SS. Soetrisno et.al.
Pengaruh Pengolahan Bahan
• Lily Arsanti Lestari et.al. Terhadap Indeks Glikemik Berbagai
Efek Hipokolesterolemik Probiotik Makanan
Indigenous dan Yogurt pada Tikus
Sprague Dawley • Ika Dwi Astutik et.al.
Formulasi Cookies untuk Diet
Rendah Energi dan Tinggi Serat

18
Selasa, 22 November 2005

Ruang A Ruang B Ruang C


Jam
16.00 – 17.30 Gizi Klinik dan Dietetik Gizi Institusi Gizi Masyarakat

Moderator: DPD PERSAGI Bali Moderator: DPD PERSAGI Bali Moderator: Iman Sumarno

• GA Dewi Kusumayanti et.al • SA. Budi Hartati et.al. • Eman Sumarna et.al.
Hubungan antara Konsumsi Casein, Analisis Beban Juru Masak di Unit Produksi Status Gizi Anak Balita di Wilayah
Gluten dan Pola Aktivitas yang Khas Makanan RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Kerja Puskesmas yang Berbeda
pada Anak Penyandang Autis di Poli Jakarta
Kinerja di Kabupaten Sumba Timur
Rawat Jalan RS Sanglah, Denpasar
• Hertog Nursanyoto
Pengembangan Aplikasi Manajemen • Sugeng Wiyono
• Nora Setyafitri The Relationship Between Waist to
Manajemen Diet Pada Anak Dengan Pelayanan Gizi Rumah Sakit
Penyakit Jantung Bawaan Sianosis Berbasis Komputer Dalam Upaya Hip Ratio with Cholesterol Level at
dan Asianosis di Pusat Jantung Nasional Meningkatkan Efektifitas Adult in Surakarta City
Harapan Kita Pendayagunaan Tenaga Pelaksana
Gizi di RS Sanglah Denpasar • Abas Basuni Jahari
• Triyani Kresnawan Growth Faltering Problem of Indo-
Tatalaksana Diet Batu Ginjal/ Batu Saluran
Kemih Saat Ini • Agus Sri Wardoyo nesian Children
Problem Solving for Better Health
(PSBH) Sebagai Alat Peningkatan
Mutu Pelayanan Gizi Rumah Sakit

19
KUMPULAN ABSTRAK PLENO
(abstrak disusun menurut hari dan jam presentasi)

A01
Peranan Wanita dalam Pelaksanaan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

DR. Yulfita Rahardjo


Antropolog, Jakarta

Berbagai program perbaikan gizi di Indonesia telah dikembangkan sejak awal


kemerdekaan; akan tetapi gizi buruk masih saja menjadi masalah utama dalam
pembangunan Indonesia sampai saat ini. Berbagai telaah dan analisis telah dilakukan;
demikian juga telah banyak dibuat berbagai kebijakan, program dan pelaksanaan
Gizi. Salah satu yang terbaru adalah program Perbaikan Gizi menuju pencapaian
Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Program yang baru ini, melakukan trobosan, dengan
menekankan pada pencapaian status gizi baik, melalui perubahan prilaku keluarga agar
sadar gizi. Dalam kaitan ini, perempuan Indonesia pada umumnya ---sesuai dengan
peran gender-nya (bertanggung jawab membeli bahan makanan dan memilih menu,
menyiapkan dan menyediakan makanan untuk keluarga, melakukan sosialisasi pada
anak sejak usia dini; memelihara kesehatan anggota keluarga)---, dapat memerankan
peranan penting dalam pelaksanaan program KADARZI ini, yaitu: (1) sebagai agent
perubahan prilaku dalam keluarga; (2) pemerkasa perubahan kearah gizi sehat,
terutama karena pengaruhnya dalam menglola makanan keluarga. Akan tetapi potensi
yang dimiliki perempuan ini sebenarnya masih belum dimanfaatkan. Hal ini
disebabkan, bukan saja karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai gizi sehat,
permasalahan ketersediaan serta akses terhadap makanan sehat, masalah ekonomi yang
dihadapi keluarga, tetapi juga masalah budaya –ketidaksetaraan gender- ketika
menentukan pilihan menu makanan, pembagian makanan diantara anggota keluarga
serta alokasi sumberdaya keluarga untuk kebutuhan makanan .

A02
Program Gizi Daerah di Era Otonomi

Prof.DR.drg. I Gede Winasa


Bupati Jembrana, Bali

A03
Gizi dalam Perkembangan Politik

Dra. Ermalena Muslim


Tenaga Ahli, Departemen Koperasi, Jakarta

DPR-RI dan DPRD sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang


mempunyai fungsi (1) fungsi legislasi yaitu untuk menetapkan kebijakan dalam bentuk
Perundang-undangan, (2) fungsi Anggaran yaitu untuk menetapkan anggaran belanja
dalam bentuk APBN untuk DPR-RI dan APBD untuk DPRD dan (3) fungsi
pengawasan yaitu untuk melakukan penilaian dan pengawasan terhadap kerja
eksekutif.
Ketiga fungsi ini hanya bisa dilakukan dengan baik dan memenuhi kebutuhan
pembangunan yang sesungguhnya apabila Anggota DPR-RI dan DPRD mempunyai
informasi dan keperdulian yang sama terhadap masalah bangsa yang dihadapi.
Dalam menjalankan fungsinya DPR-RI dan DPRD juga terikat pada ketentuan
dan kesepakatan Fraksi dan Partai Politik dari masing-masing asal dari anggota DPR-
RI dan DPRD, untuk itulah lobby secara informal dan formal terhadap Partai Poltik
dan Fraksi-fraksi di Parlemen sangat diperlukan.
Mekanisme Pembuatan Undang-Undang atau Perda yang berhubungan
dengan kebutuhan Negara dan daerah dilakukan melalui dua jakur; (1) melalui usulan
dari Pemeritah Pusat untuk Undang-Undang dan Pemerintah Daerah untuk Perda, dan
(2) merupakan inisiatif DPR-RI untuk Undang-undang dan DPRD untuk Perda.
Apabila ada usulan untuk menerbitkan Undang-undang atau merubah Undang-
undang disamping kepada Pemerintah terkait kita juga dapat melakukan pendekatan
kepada anggota DPR-RI baik perorangan, melalui Komisi , melalui Fraksi atau melalui
Partai Politik, deminkian juga untuk Peraturan daerah.
Mekanisme Penetapan anggaran sesungguhnya dimulai dengan usulan dari
setiap Departemen atau kementerian kepada DPR-RI atau oleh Dinas kepada DPRD
yang merupakan satu kesatuan didalam usulan APBN oleh Pemerintah Pusat dan
APBD oleh Pemerintah Daerah, yang kemudian bersama-sama dengan DPR-RI dan
DPRD dilakukan pembahasan untuk disetujui sebagai APBN atau APBD, pembahasan
ini dilakukan melalui panitia Anggaran pada tingkatannya masing-masing.
Mekanisme Pengawasan/Monitoring Pemerintahan ini dalakukan secara terus
menerus baik secara langsung dalam bentuk kunjungan kerja maupun melalui masukan
yang disampaikan oleh masyarakat luas kepada DPR-RI maupun DPRD melalui Rapat
Dengar Pendapat Umum yang biasa kita kenal dengan public hearing atau juga dapat
melalui surat yang dikirim kepada Komisi dan Fraksi yang terkait.

A04
Critical Ill

Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn-KIC


RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

A05
Penatalaksanaan Gizi Mutakhir: Diabetes mellitus

Kartini Sukardji, MCH


RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Terapi Gizi Medis adalah komponen integral dari penatalaksanaan diabetes dan
edukasi penatalaksanaan mandiri diabetes. Peran dietisien menjadi lebih besar dengan
adanya konsep yang relative baru ini. Peran total dan integral pada pengelolaan

xxii
diabetes mendasari konsep terapi gizi medis, yang kemudian dipakai sebagai model
untuk pedoman terapi gizi medis berbagai penyakit tidak menular yang lain.
Hasil penelitian Terapi Gizi Medis (USA 1995) terhadap pasien baru diabetes
tipe 2 rawat jalan, pasien yang mendapat konsultasi gizi dengan pedoman praktek
terapi gizi medis terbukti adanya perubahan bermakna pada A1c, glukosa darah puasa,
kadar kolesterol darah dan penurunan berat badan. Sedangkan yang diberikan hanya
pelayanan dasar perubahan bermakna hanya pada A1c dan penurunan berat badan.
Pada control yang tidak mendapat konsultasi gizi tidak ada perbaikan.
Pada praktek klinik, rekomendasi gizi yang mempunyai sedikit atau tanpa
bukti yang menunjang masih diberikan kepada penyandang diabetes. Pada tahun 2002,
American Diabetes Association mengeluarkan prinsip dan rekomendasi gizi pada
diabetes yang didasarkan pada “Evidence based”. Fokus penatalaksanaan gizi 5 tahun
terkhir ini adalah dalam usaha menurunkan risiko penyakit makrovaskuler dan untuk
memperlambat berkembangnya penyakit ginjal pada penyandang diabetes. Penekanan
terapi gizi pada diabetes tipe 2 adalah strategi gaya hidup untuk menurunkan glukosa
darah, dislipidemia dan tekanan darah. Komposisi kebutuhan energi 10 sampai 20 %
dari protein, karbohidrat dan lemak tidak jenuh tunggal 60 sampai 70 %, lemak jenuh
kurang dari 10 % dan lemak tidak jenuh ganda tidak lebih dari 10 %.Tidak ada bukti
yang jelas dari manfaat suplemen vitamin dan mineral untuk penyandang diabetes yang
tidak mengalami defisiensi, kecuali pada folat untuk pencegahan cacat lahir dan
kalsium untuk pencegahan penyakit tulang.
Penggunaan makanan dengan indeks glikemik rendah dapat mengurangi
hiperglikemia post prandial, tetapi tidak cukup bukti dari keuntungan jangka lama
untuk dapat menganjurkan penggunaan diet dengan indeks glikemik rendah sebagai
cara utama pada perencanaan makan.Sukrosa dan makanan yang mengandung sukrosa
tidak perlu dilarang untuk penyandang diabetes, namun mengganti sumber karbohidrat
yang lain atau bila ditambahkan maka dosis insulin atau obat penurun glukosa yang
lain ditambah.
Kebutuhan gizi yang telah disesuaikan untuk penyandang diabetes Indonesia
telah disepakati pada Konsensus Pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2002.
Di RS Dr Cipto Mangunkusumo edukasi tentang penatalaksanaan gizi untuk
penyandang diabetes selain berupa konsultasi gizi di Poliklinik Gizi, juga dilaksanakan
terpadu dengan edukasi diabetes yang lain pada “ Kursus singkat berkesinambungan
penatalaksanaan diabetes mandiri” setiap hari Jum’at.

A06
Nutritional Genomic – Nutrigenomic
A New Hope for Old Problem

Prof.Dr. Moch. Aris Widodo, MS, SpFK, PhD


Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang

It has been known for long time that diseases are correlated with food we eat, however, the
exact mechanism how food and its component affect our health and its molecular mechanism still
unclear. After human genome project has been completed, 5 years ago, medical and biological
scientists are stimulate to apply this genome information to clarify the mechanism of disease
processes and try to invent a new concept of therapeutic procedure based on genome information.

Human genome information also make food scientists exaggerated to search


the possibility of food and food component affect the gen and they also eagerly want to

xxiii
explore the molecular mechanism how the food and food component affect the
physiologic or pathologic function of the cell.
Hopefully, when interaction of food and food component to the genome is
elucidated then the mechanism of disease process related to food will be more clear.
Then avoiding certain food to prevent the specific disease and to consume certain food
to prevent or curing the disease may be possible to apply to individual. A new hope
for an old problem will be unfolds.

A07
Keamanan Pangan dan Bioterorisme

Prof.DR.Ir Dedi Fardiaz, MSc.


Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta

Masalah keamanan pangan telah menjadi keprihatinan dunia, karena pangan


yang tercemar telah menjadi penyebab tersebarnya penyakit menular maupun tidak
menular yang menimbulkan kematian ratusan juta manusia di dunia. Oleh karena
itulah, adalah hak setiap orang untuk memperoleh pangan yang aman untuk
dikonsumsi, selain untuk memperoleh pangan yang cukup, bermutu dan bergizi.
Pada era globalisasi ini, pangan dalam berbagai ragam jenisnya telah menyebar
ke seluruh dunia begitu mudahnya dengan dukungan sarana transportasi yang terus
berkembang. Mungkin saja suatu produk pangan dapat dikirim dari suatu negara ke
negara lainnya hanya dalam waktu beberapa jam saja. Kemudahan dan kecepatan
penyebaran pangan ke seluruh dunia ini menimbulkan risiko penyebaran pangan
tercemar yang dapat menimbulkan keracunan bagi konsumennya. Karena dampaknya
yang begitu luas ini, maka persyaratan keamanan pangan telah menjadi perhatian dunia
yang terus dibahas dan diperbaharui dalam rangka menjanin bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah layak dan aman untuk dikonsumsi. Pemberlakuan persyaratan
keamanan pangan ini ditujukan bukan hanya untuk melindungi kesehatan publik tetapi
juga untuk menjamin berlangsungnya perdagangan yang adil dan jujur.
Pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena secara tidak disengaja
mikroba patogen atau bahan kimia yang berbahaya mencemarinya. Ketidaksengajaan
ini dapat terjadi karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian para produsennya dalam
menghasilkan pangan yang lebih bermutu dan lebih aman untuk dikonsumsi. Untuk
memperbaiki keadaan ini khususnya kepada produsen dan konsumen yang tidak tahu
sudah banyak dan terus dilakukan penyuluhan atau promosi tentang keamanan pangan
melalui berbagai media. Demikian juga kepada mereka yang tidak peduli telah banyak
dilakukan penindakan secara hukum.
Disamping karena ketidaksengajaan, pangan dapat juga secara disengaja untuk
menjadi tercemar. Dengan tingkat masalah keamanan pangan yang ditimbulkannya
maka mungkin saja pangan dijadikan bahan untuk melakukan sabotase, misalnya
karena adanya persaingan usaha. Yang sangat memprihatinkan adalah jika pangan
digunakan untuk bahan teror. Pengalaman di dunia menunjukkan beberapa upaya
kelompok tertentu untuk menggunakan pangan sebagai bagian dari teror atau
menggunakan pangan sebagai salah satu bentuk senjata biologis. Masalah ini mencuat
kembali sesudah Amerika mengeluarkan undang-undang tentang bioterorisme tiga
tahun yang lalu. Mengingat pangan tercemar baik tidak disengaja maupun disengaja
dapat menimbulkan masalah kesehatan publik, maka menjadi tugas kita bersama baik

xxiv
pemerintah, produsen, konsumen dan masyarakat luas untuk selalu memantau dan
mengawasi agar pangan yang beredar di sekitar kita ini selalu layak dan aman untuk
dikonsumsi.

A08
Perkembangan GAKY Sekarang dan Masa Datang

Prof.DR.dr. Djokomoeljanto, SpD(KE)


Universitas Diponegoro, Semarang

A09
Biofortifikasi dan Ketahanan Pangan

DR. Suyamto1, Siti Dewi Indrasari2 dan Ida Hanarida3


1
Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor, 2Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi
3
Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor

Biofortifikasi adalah salah satu upaya dibidang pertanian dalam menunjang


ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor penting dari ketahanan pangan.
Melalui cara tersebut produksi dan kandungan gizi suatu tanaman dapat diupayakan
sekaligus ditingkatkan. Ada lima hal penting dalam pemuliaan tanaman padi agar
program biofortifikasi dapat berhasil yaitu 1) variabilitas genetik kandungan besi
dalam bulir padi, 2) keuntungan atau kerugian secara agronomis, 3) perubahan pola
makan dan cara pengolahan, 4) peningkatan mineral besi yang dapat dimanfaatkan
oleh tubuh, dan 5) program dengan biaya murah. Berkaitan dengan hal tersebut,
Indonesia telah melakukan evaluasi dan identifikasi kandungan besi plasma nutfah
padi yang terdiri dari varietas padi lokal, galur harapan, varietas unggul baru dan padi
liar. Persilangan antara galur padi yang berkadar besi tinggi dan beberapa varietas
unggul baru dengan IR68144-3b-2-2-3 yang memiliki kandungan besi tinggi 21 mg/kg
telah dilakukan dengan cara pemuliaan konvensional dan kultur antera. Saat ini
pertanaman tersebut telah mencapai generasi F8. Tahap penelitian selanjutnya adalah
uji daya adaptasi galur-galur unggulan tersebut pada sejumlah sentra produksi padi
yang diketahui mempunyai tingkat prevalensi anemia besi tinggi. Diantara varietas
unggul baru, ternyata Cimelati mempunyai kandungan besi tertinggi (16,2 mg/kg)
dibanding rata-rata varietas unggul baru yaitu 11,5 mg/kg. Padi atau beras menjadi
komponen utama dalam sistem ketahanan pangan nasional dan stabilitas keamanan
nasional. Dilain pihak, biofortifikasi merupakan salah satu inovasi teknologi dalam hal
perbaikan mutu gizi beras dan peningkatan produksi yang berpengaruh langsung pada
aspek ketersediaan pangan.

A10
Peningkatan Konsumsi Ikan

Ir. Sadullah, MBA


Direktur Pemasaran Dalam Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta

xxv
A11

Perkembangan Ilmu Gizi dan Tantangannya bagi Profesi Gizi di Masa Depan

Prof.DR. Soekirman, MPS-ID


Dewan Pembina DPP PERSAGI, Jakarta

Sejak awal berkembangannya di tahun 400-an SM sampai diakuinya gizi


sebagai ilmu pengetahun di abad ke-19 sampai sekarang, ilmu gizi mengalami banyak
tantangan terutama dalam aplikasinya. Perkembangan ilmu gizi diawali dengan
pendapat Hipocrates (460-360 SM) bahwa makanan adalah satu-satunya obat untuk
menyembuhkan penyakit, yang oleh Johnson dan Merolli (2003) sebagai Era Naturalis
dalam sejarah perkembangan ilmu gizi. Kemudian memasuki era analisa kimia oleh
Bapak ilmu kimia dan ilmu gizi dunia Antoine Laurent Lavoisier di abad ke-18, diikuti
dengan era biologi dengan penemuan protein, asam amino dan vitamin di abad ke-19
dan 20. Memasuki abad ke 21 ilmu gizi memasuki era gizi selluler dan gizi genetic
(nutrigenomic) dengan rekayasa genetika yang menhasilkan berbagai jenis makanan
dengan berbagai kelebihannya dalam segi produksi, daya tahan terhadap hama
penyakit, penampilan, dan nilai gizi.
Makalah ini menguraikan pengaruh dari perkembangan ilmu gizi terhadap
aplikasinya dalam menghadapi masalah gizi di Negara berkembang. Dengan
menggunakan teori pendulum Martorell dan kawan-kawan (2000) dari Lembaga
Penelitian Gizi Dunia di Guatemala (INCAP). selama abad ke-20, aplikasi ilmu gizi
bergeser kekanan dan kekiri seperti pendulum jam. Mengikuti era penemuan-
penemuan ilmiah dibidang kimia dan biologi, pendulum ilmu gizi dalam abad ke-20
telah bergeser 4 kali: dari kiri – dengan fokus protein (1950an), ke kanan- protein dan
energi (1970an), kembali kekiri - zat gizi mikro (micronutrient) (1980an), kemudian
kembali bergeser kekanan – keseimbangan antara zat gizi makro (protein dan energi)
dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral) pada akhir 1990-an sampai sekarang.
Pergeseran pendulum berpengaruh pada cara kita menentukan masalah gizi
masyarakat dan intervensinya dengan segala tantangannya. Salah satu contoh adalah
apa yang disebut oleh Mc Laren akhir tahun 1970an sebagai “protein fiasco” atau
kegagalan teori kekurangan protein yang mendominasi analisa masalah gizi waktu itu
yang ternyata tidak benar sampai sekarang. Bergesernya pedoman makanan sehat yang
dari “Basic Four dan Basic Five” di Amerika, yang di Indonesia dikenal sebagai Empat
Sehat Lima Sempurna tahun 1950-an, menjadi “Guideline of Balance Diet” atau
disingkat “Dietary/Nutritional Guideline” sejak tahun 1980an. Di Indonesia pedoman
ini baru kita kenal tahun 1995 sebagai Pedoman Gizi Seimbang, sesuai dengan
kesepakatan Negara-negara anggota FAO dalam Konperensi Gizi Dunia di Roma
tahun 1992.
Pedoman Basic Four/Five diciptakan di Amerika pada Era Protein hewani
khususnya susu yang waktu itu dianggap sebagai penentu kualitas atau mutu suatu
hidangan. Karena itu muncullah anggapan susunan makanan baru sempurna apabila
ada susu (di Indonesia dikenal sebagai Lima Sempurna). Setelah pendulum ilmu gizi
bergeser ke zat gizi mikro, tahun 1990an, ditekankan pentingnya keseimbangan antara
semua zat gizi (makro dan mikro). Perhatian tidak lagi dipusatkan hanya pada masalah
kekurangan protein Sejak itu diperkenalkan pedoman gizi seimbang seperti disebut

xxvi
dimuka. Dalam makalah ini juga diuraikan sepintas sejarah perkembangan pedoman
gizi seimbang secara global.
Makalah juga menyimpulkan adanya masalah dan kesulitan bagi ilmu gizi dan
profesi gizi di Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dari perkembangan di
Negara lain, tidak usah dengan Amerika atau Jepang, tetapi dengan Negara tetangga
seperti Thailand, Malaysia, Singapore, dan Pilipina. Makalah juga menyarankan agar
profesi gizi di Indonesia membenahi diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
ilmu pengetahuan kedepan, dan tidak terpukau pada apa yang diketahui dan dipelajari
selama ini yang sebagian mungkin sudah usang.

A12

Pengembangan Kebijakan Program Gizi Berdasarkan Hasil Riset Mutakhir

Sunarno Ranu Widjojo, SKM, MPH


Kepala Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

Meskipun banyak peneliti yang telah bekerja keras untuk menghasilkan riset
yang baik, namun tidak banyak hasil riset tersebut yang dimanfaatkan untuk
perumusan kebijakan. Penggunaan hasil riset untuk pengembangan kebijakan
dipengaruhi banyak hal antara lain oleh kualitas riset itu sendiri dan keberhasilan
mengkomunikasikan hasil riset kepada perencana dan pengambil keputusan serta
kebutuhan riset para perencana dan pengambil keputusan. Dalam makalah ini akan
dibahas tentang pengertian kebijakan dan riset serta bagaimana hasil riset dapat
berpengaruh pada kebijakan pada umumnya. Selain riset, akan didiskusikan juga
tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi perumusan kebijakan seperti sistem
politik, lembaga donor, ketersediaan sumber daya, peranan pakar dll. Untuk
memperoleh gambaran tentang peranan riset dalam pengembangan kebijakan gizi di
Indonesia, akan disampaikan contoh peranan riset dalam pengembangan kebijakan
penanggulangan masalah kekurangan vitamin A, GAKY, anemia gizi besi, dan
kekurangan energi dan protein.

A13
Kelapa dan Manfaatnya untuk Kesehatan

Prof. DR. Muhilal


Dewan Pembina DPP PERSAGI

Komposisi nilai gizi makro daging kelapa tua terdiri dari 3,4% protein, 34,7%
lemak, 14% karbohidrat, dan 46,9 air. Kandungan zat gizi mikro daging kelapa pada
umumnya rendah. Minyak kelapa mengandung lebih dari 50% medium chain
triacylglyceral (MCT). Kelebihan MCT dibanding sumber lemak lain antara lain lebih
mudah diserap, lebih cepat diutilisasi sebagai sumber energi, tidak menaikkan
cholesterol darah, bersifat antibakteri, virus dan jamur (terutama karena kandungan
asam laurat dan mono laurin). Karena minyak kelapa tidak teroksidasi dapat
menghambat/ mencegah perkembangan kanker dan menghambat pembesaran prostat.
Profil lipida darah masyarakat pengguna minyak kelapa pada umumnya pada batas-
batas normal dan resiko untuk menderita penyakit kardiovaskuler rendah. Masyarakat

xxvii
pengguna minyak kelapa mempunyai kandungan asam lemak Omega-3 rantai panjang
(DHA dan EPA) lebih tinggi, diduga karena efektivitas enzim desaturase dan enzim
engolase bekerjanya lebih baik. Galaktomanan yang diisolasi dari ampas kelapa
mampu menurunkan kolesterol pada hewan percobaan maupun pada manusia.
Penggunaan kelapa serta minyak kelapa menguntungkan kesehatan tidak seperti yang
dituduhkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1980-an bahwa “tropical oil” (minyak
kelapa dan sawit) akan menyebabkan meningkatnya prevalensi penyakit jantung.

A14
Gizi Dalam Keadaan Darurat

Dr. Rachmi Untoro, MPH


Direktorat Gizi Masyarakat, DepKes. RI, Jakarta

Berbagai krisis serta bencana alam yang akhir-akhir ini sering terjadi di
beberapa daerah di Indonesia, menimbulkan berbagai masalah baru dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan pada beberapa kelompok masyarakat di suatu wilayah tertentu
terpaksa hidup di tempat-tempat pengungsian dan harus menghadapi berbagai masalah
baru, mulai dari masalah psikososial sampai masalah Gizi dan kesehatan akibat
terbatasnya sarana kebersihan, sanitasi lingkungan yang kurang memadai maupun
terbatasnya ketersediaan pangan.
Kekurangan persediaan pangan merupakan masalah potensial dalam setiap
kejadian bencana apapun penyebabnya, apabila tidak segera mendapatkan penanganan
yang cepat akan meningkatkan risiko menderita penyakit bahkan kematian.
Penelitian di pengungsian menunjukkan bahwa kematian anak balita 2-3 kali
lebih besar dibandingkan kematian pada semua kelompok umur. Kematian terbesar
terjadi pada kelompok umur 0-6 bulan (WHO-UNICEF, 2001). Gizi merupakan salah
satu faktor penyebab kematian Bayi dan Balita. Data WHO 2002 menyebutkan
sebanyak 54% penyebab kematian Bayi dan Balita dipengaruhi oleh faktor gizi. Upaya
untuk mengoptimalkan tata laksana penanganan masalah gizi dalam keadaan darurat
sangat diperlukan untuk mencegah memburuknya status gizi masyarakat dan untuk
meningkatkan status gizi masyarakat di tempat pengungsian.
Penanganan masalah gizi dalam situasi darurat meliputi 2 tahapan yaitu tahap
penyelamatan dan tahap tanggap darurat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan masalah gizi pada situasi darurat yaitu, jenis bahan bantuan pangan yang
diberikan, jenis PMT yang diberikan serta penanganan masalah gizi khususnya bagi
kelompok rawan.
Untuk meminimalkan dampak negatif bencana terhadap status gizi penduduk
terutama golongan rentan seperti bayi dan anak baduta, intervensi diberikan sesegera
mungkin dan tetap memperhatikan jumlah, kualitas dan keamanannya, sehingga setiap
bantuan pangan khususnya untuk bayi memerlukan pengawasan khusus dari tenaga
kesehatan.
Perlu dilakukan surveilens gizi darurat untuk menyediakan informasi yang
diperlukan bagi perencanaan pengadaan bahan makanan bagi pengungsi maupun untuk
penentuan dan perencanaan intervensi sesuai dengan kondisi pengungsi. Selain itu
surveilens ini juga dilakukan dalam rangka memberikan informasi tentang perkem-
bangan keadaan gizi dan pertumbuhan balita dari waktu ke waktu secara teratur dan
memberikan informasi yang diperlukan untuk evaluasi efektivitas intervensi serta
penentuan keberlanjutan program intervensi tersebut.

xxviii
A15
Program Perbaikan Gizi di Indonesia untuk Masa yang akan Datang

Prof.DR.dr. Satoto, SpG


Universitas Diponegoro, Semarang

A16
Pemasaran Sosial Gizi

Dr. Rudi Pekerti, MPH


Praktisi Social Marketing

Dikilaskan sejarah pemasaran, dan bedanya dengan pemasaran sosial.


Pengertian pemasaran sosial adalah penerapan dan teknik pemasaran untuk mendapat-
kan manfaat sosial. Dan merupakan perancangan, penerapan, dan pengendalian
program yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan suatu praktek atau gagasan
sosial tertentu pada suatu kelompok sasaran tertentu. Indonesia telah melakukan
pemasaran sosial Lingkaran Biru KB, Kesehatan; oralit ; obat generik, PIN; garam
beryodium, Klembu berobat ( anti-malaria ) dan ASI
Pemasaran sosial gizi secara teori dnn modelnya termasuk dalam ranah
Promosi Kesehatan, diuraikan kategori, macam kegiatan dan etika promosi kesehatan.
Pendekatan memakai model PRECEDE, dan ELM dalam kampanye menuju perubahan
perilaku baru konsumen untuk mengadopsi produk social yang dikampanyekan.
Diuraikan unsur pemasaran sosial, produk, promosi, tempat distribusi atau
pemasaran dan harga yang dipusatkan pada target sasaran – konsumen. Dilanjutkan
dengan uraian proses pemasaran sosial dan kampanye. Sedapat mungkin diberikan
contoh praktek nyata. Kata kunci, Pertama, syarat utama kampanye pemasaran sosial
boleh dilaksanakan setelah produk tersedia di tempat pemasaran. Kedua pelajari semua
aspek target sasaran. konsumen, dan “ inga-inga ” selalu berubah sesuai lokasi, waktu
dan perilakunya. Ketiga, gunakan pengalaman pembelajaran kampanye pemasaran
sosial kelambu berobat ( anti-malaria ). Dan secara rinci bisa dilihat tahapan
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kampanye garam beryodium,
termasuk jeram, jebakan, lihat lampiran. Keempat, pemasaran sosial gizi harus saling
melengkapi dengan program gizi yang sudah berjalan. Kelima secara kasar diuraikan
peran ahli materi, isi, ahli gizi dengan ahli pemasaran sosial; komunikasi ; perilaku,
etnografer dan para ahli lainnya.
Khusus untuk pengembangan pesan, proses, kemitraan dengan jejaring
stakeholders, lihat lampiran, kasus pengalaman produksi, pemasaran lagu pop song “
Jangan Dulu - Wait a While, My Love., “ penundaan usia kawin bagi kaum, orang
muda. Pemasaran sosial kesehatan-gizi yang menggunakan adonan media, haruslah
dilengkapi dengan keterseiaan pendidikan kesehatan antar perorangan oleh para
petugas kesehatan, sebagai upaya menanggulangi efek samping dan memantapkan
konsumen untuk menerima program kesehatan.

xxix
Kesimpulan pemasaran sosial hanya satu upaya dalam promosi kesehatan. Pada
umumnya dilaksanakan secara paralel dengan advokasi kesehatan untuk percepatan
pencapaian target program / proyek kesehatan, gizi. Pemasaran sosial kesehatan-gizi
merupakan perkembangan konsep dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh
perencana program dan para ahli gizi untuk mempromosikan peningkatan gizi bagi
kemaslahatan masyarakat yang membutuhkan.

A17

Pengawasan dan Pengendalian Mutu dalam Pelayanan Gizi di Rumah Sakit

Sri Iwaningsih, SKM, MKes


RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung

xxx
KUMPULAN ABSTRAK SIMPOSIA
(abstrak disusun menurut hari, jam, ruangan presentasi)

Senin, 21 November 2005, jam 16.15 – 17.30

Ruang A. Gizi Klinik dan Dietetik


B01
Analysis of Dietitian Needs Based on Work Activity
In Sardjito General Hospital Yogyakarta

Susetyowati
Instalasi Gizi RS Dr. Sardjito,Yogyakarta

Nutrition care in hospital is an essential part of patient care. Good food can
encourage patients to eat well, giving them nutrient they need to recover from surgery
or illness. Dietician requirement in nutrition department is needed to assure quality
nutritional care for patients. The objective of this study was to analyze dietitian needs
for inpatient and outpatient based on work activity. This study was conducted in three
months from March to May 2004. There were five steps to calculate dietitian needs:
time available for a year period, dietitian main responsibilities, load of each main job,
standard for miscellaneous time (meeting, break, praying) and the quantity of dietician
main job. The result showed that work activity of dietitian was divided into five
categories: service time (communicating with other team members, recording in
medical record, etc), nutrition assessment, nutrition intervention, nutrition counseling,
nutrition monitoring and evaluation, and administration. In order to do those nutrition
and dietetic services fourteen dieticians was needed for in-patients (internal unit,
pediatric unit, surgery unit, VIP unit, etc) and two dietitians for out-patients (adult,
children and dialysis unit). It is concluded that the number of available dietitians for
in-patient and out-patient in Sardjito General Hospital was suitable to do all those
services.

B02
Registered Dietitian (RD): A Standardized Qualification in the US
Christina Reger
American Overseas Dietetic Association (AODA)

A dietetic registration is a qualification certificate and is required to practice in many countries.


The registration process in the US is highly structured and controlled, ensuring competent dietitians on
graduation. This registration process should protect the public from incompetent professionals and
standardize education and quality of the profession. In the US, the American Dietetic Association
(ADA) is a recognized professional organization for the registration and education of dietetic
professionals. The Commission on Accreditation for Dietetics Education (CADE, an independent
section of ADA) is the only accrediting body for dietetic education programs recognized by the US
government. All didactic programs including internships need CADE approval. The Commission of
Dietetic Registration (CDR) manages the licensing of RD, Dietitian Technician Registered (DTR), renal
and pediatric specialist dietitian. ADA, CADE and CDR ensure RD meet minimum standards and

xxxi
perform according to established standards of practice and ethics. The education of dietitians is a
progressive learning process. At the university knowledge, abilities and basic skills are acquired through
didactic courses and some practical training. Followed by a structured supervised practice
program/internship in which students gain and show their competence in the focus areas clinical
dietetics, food service, community nutrition and business, since most of the RD will later work in one of
these areas. 65% of RD will work in clinical & community settings, 13% in food service, and 17% of
RD will work in research & consultancy settings. To be eligible for the national RD entry exam the
minimum requirements for candidates are (1) at least a BS (S1 in Indonesia) from CADE accredited
didactic program or a proof meeting these standards, if graduated from a non-CADE approved program
and (2) graduating from a dietetic internship with a minimum of 900 practice hours. The practical
training can be completed in either a Coordinated Program (didactic courses and internship in one
program) or a separate Dietetic Internship after the didactic program. In any of the dietetic internships
the intern will complete 120 competencies, which are minimum requirements set by CADE. They are
usual work tasks of a dietitian broken down into “practice units”. For instance a consultation can be
broken into the tasks of data gathering, process of consultation, using communication tools,
documenting, use of teaching material/ techniques etc. Typical internship facilities for clinical dietetics
are hospitals and clinics; for food service are hospital kitchens, catering services, industry, and
businesses; for community nutrition are public or private agencies or programs (e.g. WIC), out-patient
setting, clinics, and maybe soup kitchens. So called preceptors (e.g. chief dietitian, food service
manager) and assigned staff in the internship locations evaluate the intern’s performance based on
defined minimum performance levels as approved by CADE. This takes into account completed course
work and practical experience gained during the studies. Graduates of the internship will have
demonstrated the ability to perform simple to moderately complex professional duties without
supervision and are eligible for the national RD exam. Professional development and compulsory
continuing education ensures that dietitians will stay competent in their area of practice to maintain
overall good professional standards.

B03
Obesitas Abdominal Kaitannya Dengan Sindroma Metabolik:
Apakah Merupakan Masalah Kesehatan Masyarakat Di Indonesia?

Martalena Br Purba
Instalasi Gizi RS Dr Sardjito, Yogyakarta

Obesitas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya berbagai penyakit kronis
seperti diabetes mellitus dengan komplikasinya, hipertensi, dislipidemia, osteoarthritis,
dan gangguan tidur. Obesitas abdominal secara khusus mempunyai hubungan linier
dengan mortalitas dan dapat merangsang resistensi insulin, hipertensi, dan
abnormalitas lipoprotein lipase. Data tentang prevalensi obesitas abdominal di
Indonesia sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan mengexplorasi hubungan antara
status gizi antropometri dan sindroma metabolik khususnya pada lanjut usia (lansia)
Indonesia. Sejumlah 461 sampel lansia di Jakarta dan Semarang diteliti secara cross-
sectional. Obesitas abdominal diklasifikasikan bila rasio lingkar pinggang terhadap
lingkar panggul (RLPP) >0.95 untuk pria dan >0.85 untuk wanita. Ditemukan bahwa
RLPP lebih tinggi di Jakarta (1.0) dibanding di Semarang (0.8). Di kedua tempat, pria
mempunyai RLPP yang lebih tinggi. Rerata RLPP di Jakarta untuk pria dan wanita
sama yaitu 1.0, sedangkan di Semarang 0.9 untuk pria dan 0.8 untuk wanita. Prevalensi
obesitas abdominal di Jakarta 37% pada pria dan 54% pada wanita. Di Semarang,
prevalensinya 11% pada pria dan 41% pada wanita. Di kedua tempat ditemukan bahwa
wanita cenderung lebih tinggi mengalami obesitas abdominal dibandingkan pria.
Dengan analisa korelasi Spearman, ditemukan bahwa obesitas abdominal secara positif
berasosiasi dengan konsentrasi kolesterol, trigliserida, glukosa, dan homocysteine
(koefisien korelasi 0.13, 0.12, 0.13, dan 0.20 berturut-turut dengan nilai p<0,001).

xxxii
Disimpulkan bahwa status gizi khususnya pencegahan obesitas abdominal sangat
penting terutama hubungannya dengan penurunan faktor resiko penyakit kardio-
vaskuler dan sindroma metabolik lainnya.

Ruang B. KIE Gizi dan Pemberdayaan Masyarakat

B04
Edutainment (education & entertainment) Sebagai Strategi Baru
Penyuluhan Kesehatan

Riza Adirza1, Sri W. Sukotjo1, Ismoyowati2, Sunarko2,


Ekki Soekarno3, Dorothy Foote1
1
Hellen Keller International, Jakarta, 2Ministry of Health RI
3
Yayasan Ibu Bayi Balita

Penyuluhan kesehatan dengan ceramah sangat berguna, tetapi sering


membosankan peserta. Sebuah strategi baru yang lebih menyenangkan diperlukan.
Sebagai bagian kampanye nasional dalam usaha mempromosikan Suplementasi
Vitamin A di Indonesia telah dilakukan dengan strategi baru yang dinamakan
“Edutainment”. Tujuan memberi penyuluhan pada kelompok tertentu tentang
kesehatan, dalam suasana entertainment, sehingga proses pembelajaran lebih
menyenangkan. Edutainment berasal dari kata education dan entertainment. Isi acara
Edutainment biasanya berupa lomba sehat, talk show yang disertai kuis berhadiah,
permainan kesehatan, door prize, dan pengumuman pemenang di penghujung acara.
Seluruh rangkaian acara harus mendukung tema utama yang ditetapkan. Para sponsor
membiayai sebagian besar biaya tersebut. Tokoh panutan masyarakat (Icon) seperti
artis atau pejabat pemerintah diusahan berpartisipasi, sehingga dapat menarik minat
masyarakat. Promosi melalui iklan radio dan selebaran di tempat strategis dilakukan
sebelum acara dilakukan. Pengalaman yang pernah dilakukan yaitu pada saat dua belas
pameran kesehatan kerjasama HKI-IBB (Yayasan Ibu, Bayi, dan Balita) tahun 2002-
2004 dibeberapa kota di Indonesia dengan 1.000 – 2.000 pengunjung yang berlangsung
sekitar 6 jam. Sebagian besar pengunjung tetap hadir hingga acara selesai. Perlombaan
merupakan hal yang sangat disukai, karena mereka mengharapkan hadiah.
Edutainment merupakan strategi yang baik untuk penyampaian pesan kesehatan untuk
kelompok tertentu dengan suasana yang menyenangkan. Edutainment juga cocok
manakala sumber dana untuk penyuluhan terbatas, karena sponsor akan menanggung
sebagian besar biaya penyelengaraan.

B05
Dukungan Sistem Informasi Manajemen
pada Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Mutalazimah
Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Kedokteran, Univ. Muhammadiyah Surakarta

Sistem informasi manajemen (SIM) merupakan penerapan sistem informasi di


dalam organisasi untuk mendukung informasi yang dibutuhkan tingkat manajemen

xxxiii
oprasional, menengah, dan strategis. menggunakan perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software), prosedur pedoman, model manajemen dan database.
Sistem informasi kesehatan bidang gizi di kabupaten penting untuk penyusunan
kebijakan, perencanaan program gizi, pengalokasian sumberdaya, pemantauan dan
evaluasi dampak program gizi. Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan sistem
pemantauan garam beryodium dan pemantauan status gizi balita dengan melakukan
perancangan input, proses dan output melalui perancangan basis data berupa software
komputer dari tampilan menu utama, input data, sampai pelaporan berupa rekap data
tingkat kecamatan, kabupaten, serta grafik. Metode yang digunakan adalah model
FAST (Framework for the Application of System Techniques). Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara dan observasi kepada pihak terkait. Hasilnya
menunjukkan bahwa penyebab masalah sistem informasi pemantauan garam
beryodium dan status gizi adalah kecepatan, kemudahan, kelengkapan, dan
aksesibilitas informasi gizi dari tingkat operasional sampai strategis. Permasalahannya
bermula dari proses pengolahan data, proses penyimpanan data, sampai menjadikan
data menjadi informasi. Pengembangan software komputer dan implementasi di
lapangan menunjukkan bahwa dengan dukungan SIM sangat bermanfaat untuk
perencanaan program gizi sampai dengan evaluasi, lebih mudah sharing data dan
informasi lintas program maupun lintas sektor, dan memudahkan koordinasi. SIM
sangat diperlukan untuk mempermudah pengolahan dan analisis data program gizi
masyarakat dengan kelebihan dapat meningkatkan kecepatan, ketepatan, kemudahan
akses dan penyimpanan data, serta kemudahan pembuatan laporan.

Ruang C. Gizi Masyarakat dan Gender

B06
The Role of Zinc and Vitamin A in Dark Adaptation Ability:
A Study of Primary School Children in Kedungjati, Grobogan district

Hagnyonowati1, Endang Purwaningsih2, Laksmi Widajanti3


1
Nutrition Division, Kariadi Hospital, Semarang
2
Nutrition Department, Medical School, The University of Diponegoro, Semarang
3
Post-grad program in Community Nutrition, The Univ. of Diponegoro Semarang

Dark adaptation ability is one of visual function which has an association with
eyes ability to recover after receiving a light exposure in a certain time (Sommer,
1982). Zinc deficiency could contribute to night blindness, an early symptom of
vitamin A deficiency. Furthermore, zinc supplementation has been shown to give a
significant effect on dark adaptation ability in children. This study is to determine the
relationship between zinc deficiency and vitamin A toward dark adaptation ability in
primary school children in Deras village, Kedungjati, Grobogan district. This study is
an observational study by using cross-sectionals approach. Total sample was 51
primary school children grade 5 at two primary schools. Data was collected by health
professionals including general practitioners, ophthalmologist, nutritionist, and nurses.
Dark adaptation ability was measured by using a Photostress test method. Blood
sampling was used to determine zinc and retinol status, and dietary survey was done to

xxxiv
determine zinc and vitamin A intake. Logistic regression was used to test hypothesis.
The study found 21.6% of samples had lower level of dark adaptation ability (< 50
seconds), 33.3% experienced zinc deficiency, 15.7% suffered from vitamin A
deficiency based on blood serum examination, and zinc intake was less than 0.7 mg per
day. Logistic regression analysis showed an increased risk in children suffering from
zinc deficiency (prevalence ratio = 21.6) and vitamin A deficiency (prevalence ratio =
45.9) to dark adaptation ability.

B07
Perbedaan Intake Zat Gizi dan Status Besi pada Wanita Vegetarian
di Kabupaten Badung, Provinsi Bali

M. Dawam Jamil1, Hamam Hadi2, Ni Wayan Yogianti3


1
Program Studi S-1 Gizi dan Kesehatan FK-UGM Yogyakarta
2
Center for Health Human Nutrition (CH2N), FK UGM Yogyakarta
3
Dinas Kesehatan Propinsi Bali

It has been known that vegetarian does not eat animal products which are
considered as a source of heme iron. The objective of this study is to measure the
difference in nutrient intakes and iron status between vegetarian (V) and non
vegetarian (NV) women. This observational study was conducted in Badung regency,
Bali in 2002 involved 48 V and 48 NV women aged 18 - 45 years. Hemoglobin and
ferritin levels of the subjects were measured at the beginning of the study and 3 months
later. Nutrient intake of all subjects were collected using Food Frequency Question-
naire. Hemoglobin level was measured using cyanmethemoglobin method while serum
ferritin was measured using ELISA method. Data analysis was supported using
statistical software.Results show that the mean of protein intake in vegetarian women
was 44.3 ± 13.8 gr/ d (mean ± SD). The mean of protein intake in NV women was 62.8
± 21.3 gr/ d or 14.5 gr/ d higher than found in V group (p< 0.05). The mean of iron
intake originally from vegetables was 16.3 ± 7.0 mg/ d and 9.8 ± 4.3 mg/ d in V and
NV, respectively. While the mean of iron intake from animal products was 0.03 ± 0.05
mg/ d and 3.01 ± 2.06 mg/ d in V and NV women, respectively. The mean of serum
ferritin in V subjects was 22.7 ± 15.1 µg/ ml whereas the mean of serum ferritin in NV
was 46.9 ± 28.7 µg/ ml or 25.4 µg/ ml higher than that in V subjects (p < 0.05). There
was no significant difference in hemoglobin level between vegetarian and non
vegetarian women. There were significant differences in protein, iron intakes and
serum ferritin between V and NV women but no difference found in hemoglobin level.

B08
Pengembangan Surveilans Sentinel GAKI dengan Indikator UIE
pada Kelompok Rawan
Untung S. Widodo
Balai GAKY, Magelang

xxxv
Penanggulangan GAKY memerlukan program yang berkelanjutan. Salah satu
ciri program yang berkelanjutan adalah bila dilaksanakan kegiatan surveilans. Dalam
surveilans GAKY ada 4 indikator yang harus dipantau salah satu diantaranya adalah
kadar yodium dalam urine (UIE) kelompok sentinel sekali setiap 1-2 tahun untuk
menilai tingkat pencapaian program. Penelitian dilakukan di 15 Kabupaten endemik
hasil pemetaan GAKY nasional tahun 2003. Resurvei palpasi gondok dilakukan pada
anak sekolah satu SD untuk setiap desa. Hasil tabulasi setiap desa dapat diketahui TGR
untuk setiap kecamatan. Kecamatan terberat yang dipilih sebagai daerah sentinel
(sentinel area). Dari masing-masing kecamatan terpilih diambil secara random masing-
masing 600 sampel urine dari WUS, ibu hamil dan anak sekolah. Seluruh sampel
yang diperiksa dilakukan ujibeda antar WUS ibu hamil dan anak sekolah, untuk
mengetahui kelompok yang paling rentan. Hasil resurvei ternyata menunjukkan
perbedaan yang sangat bermakna. Di 15 kabupaten endemik dengan pemeriksaan
palpasi terhadap 105010 orang anak SD diperoleh TGR 9,7 %, (sebelumnya13,35 %).
Jumlah Kabupaten endemik turun menjadi tinggal 8 saja, satu endemik berat
Temanggung, satu endemik sedang Wonosobo dan 5 endemik ringan, 7 lainnya non
endemik. Secara keseluruhan Jawa tengah masih berada pada status endemik ringan.
Hasil pemeriksaan tehadap total 9000 sampel urine menunjukkan bahwa kelompok
yang paling rawan adalah ibu hamil yang tidak berbeda nyata dengan kelompok WUS,
tetapi keduanya berbeda nyata dengan kelompok anak sekolah. Maka kelompok rawan
yang layak untuk dipantau UIEnya adalah ibu hamil dan/atau WUS.

xxxvi
Selasa, 22 November 2005, jam 14.00 – 15.30

Ruang A. Ketahanan Pangan

B09
Indikator Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin

Iman Sumarno
Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

Untuk waktu yang sangat lama, indikator yang digunakan untuk menilai
keadaan pangan suatu daerah berpusat pada data produksi pangan. Akibatnya data
untuk perkotaan menjadi tidak tersedia. Indikator yang digunakan berkisar dari
produksi perkapita penduduk, yang kemudian disempurnakan dengan neraca bahan
makanan. Semua indicator yang digunakan didasarkan pada asumsi bahwa pangan
dibagi secara merata seluruh penduduk. Padahal distribusi tidak merata. Upaya telah
dilakukan untuk lebih menggambarkan distribusi antara kelompok bukan petani dan
petani menurut strata kepemilikan sawah dengan matrik input-output (Food
Accounting Matrix) bahan pangan pokok terutama beras. Misalnya seorang penguasa
sawah luas, produksinya sebagian diberikan kepada buruh tani sebagai upah,
digunakan untuk bayar zakat dan sisanya dijual ke pasar. Sedangkan untuk keperluan
konsumsi dia membeli beras kualitas bagus di pasar. Namun matrik ini tidak dapat
diterapkan di Indonesia karena data tidak tersedia. Dalam kenyataan kondisi pangan
kelompok kaya selalu aman, karena itu yang perlu dipantau adalah kelompok miskin.
Dulu SIDI gunakan riwayat krisis pangan, yang pada dasarnya berisi gangguan akses
terhadap pangan. Ini lebih sesuai diterapkan terutama karena sumber mata pencarian
bukan hanya dari produksi pangan. Buruh tani pun mempunyai beberapa pekerjaan
karena satu sumber tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan rumahtangga. Gangguan
akses bisa karena bencana, gangguan musim, dan/atau menurunnya daya beli seperti;
gangguan moneter, kenaikan harga bahan bakar, turunnya harga cengkeh, tembakau,
karet dsb. Untuk memperkirakan apakah gangguan tersebut mencapai titik picu pada
kurang pangan diperlukan survey dasar yang mempelajari sumbangan setiap mata
pencarian terhadap ketersediaan pangan pada rumahtangga miskin saja.

B10
Ketahanan Pangan Tingkat Rumahtangga
dan Pemenuhan Gizi Seimbang

Atmarita
Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI, Jakarta

Ketahanan pangan tingkat rumahtangga menjadi issue penting untuk


pemenuhan gizi seimbang penduduk Indonesia agar masalah gizi kurang maupun gizi
lebih dapat dicegah. Pada tahun 2004, dari 217 juta penduduk Indonesia diperkirakan
50% menghadapi masalah defisit konsumsi makanan yang berdampak pada tingginya
prevalensi kurang gizi dan di pihak lain 10-15% konsumsi makanannya berlebihan

xxxvii
yang berdampak pada kecenderungan meningkatnya masalah gizi lebih. Strategi
program perbaikan gizi 2005-2025 diarahkan pada ketahanan pangan tingkat rumah
tangga yang harus melihat dua sisi kelurangan dan kelebihan konsumsi makanan.
Analisis agregat tingkat kabupaten dilakukan pada data Susenas kor 2003 dan 2004
untuk mengkaji masalah ketahanan pangan rumahtangga dari data pengeluaran
konsumsi makanan. Analisis juga membandingkan tingkat ketahanan pangan
rumahtangga yang dibagi menurut quintile. Hasil analisis menunjukkan bahwa
rumahtangga yang tergolong miskin yaitu quintile-1 (Q1) and quintile-2 (Q2) di
wilayah perkotaan dan perdesaan mengeluarkan 65-68% dan 70-72% dari total
pengeluaran untuk konsumsi makanan. Sedangkan rumahtangga kelompok terkaya
yaitu quintile-5 (Q5), pengeluaran untuk konsumsi makanan lebih rendah yaitu 50% di
perkotaan dan 60% di perdesaan. Analisis pemenuhan gizi seimbang dilakukan
berdasarkan ratio pengeluaran untuk masing-masing sumber pangan: energi, protein,
sayur, buah, dan makanan jadi. Ratio pengeluaran untuk sumber energi pada penduduk
miskin (Q1 dan Q2) baik di perkotaan mapupun perdesaan lebih besar dibanding
penduduk kaya (Q5). Sebaliknya ratio pengeluaran untuk makanan jadi pada kelompok
Q5 cenderung lebih besar dari kelompok Q1 dan Q2. Kesimpulan kajian ini adalah
ketahanan pangan tingkat rumahtangga masih perlu mendapat perhatian terutama pada
rumahtangga miskin, sementara untuk rumahtangga kaya sudah mulai harus dicegah
untuk tidak mengkonsumsi makanan jadi yang pada umumnya rendah serat dan tinggi
lemak.

Ruang B. Pangan Fungsional


B11
Nutritional and Clinical Aspects of Virgin Coconut Oil

M. Poppy Herlianti
Jurusan Gizi, Poltekkes Jakarta

Virgin Cocont Oil (VCO) is a clear coconut oil produced by using fresh
coconut meat or what is called ‘non-copra’. Coconuts used to produce VCO are local
coconuts, not hybride coconuts. Chemical, food colouring, preservatives & high
heating are not used in further refining. VCO contains no trans fatty acids, and it is
very stable with a shelf life of several years (5 yrs). VCO is made from fresh coconuts
and has a distinct aroma with coconut taste. Tasteless coconut oils are probably made
from copra, not fresh coconuts. A VCO does not need to be refined while a CO is
refined. VCO has no carbohidrat, no sugar, no protein. Saturared fatty acid is 90 %
and unsaturated fatty acid is10 %. Saturated fatty acids are composed of caprilic 3.28
%, capric 7.17 %, lauric 58.8 %, miristic 17.8 %, palmitic 6.39 %, stearic 1.68 %.
Unsaturated fatty acids consist of oleic 3.39% and linoleic 0.83%. VCO has a medium
chain fatty acid which is easily metabolised than a long chain. VCO with both lauric
(12 C) and capric (10 C) has potential activity to come in the outer lipid layer virus.
Medium chain fatty acid is “insulin independent“, means it can produce fast energy in
all physiologis condition. Un-VCO cooking oil needs lipase enzym and bile acid in the
digestion process. This needs a long journey in which long chain fatty acid tends to
affect profil lipid with complications such as hipertention, plaque, coronary heart

xxxviii
disease, stroke. Experimental study shows that replacement of dietary long-chain
(LCT) from medium–chain (MCT) may lead to increase energy expenditure and satiety
in human, however the exact mechanism has not been established. Another research
found that HDL cholesterol was significantly higher after consuming a high saturated
fatty acid than high, mono & poly unsaturated fatty acids. There is a lack of research
especially on the effect VCO to lipid profil, energy expenditure, a potent
antibacterial/ microba, immunitas, reduce weight gain etc. In general, a further
research of VCO is important beucase it can rehabilite the name of tropical oil.

B12
Asupan Antioksidan dan Penyakit Jantung Koroner pada Lansia

Eva Ardiana, Idrus Jus’at, Maria Poppy Herlianti, dan Iskari Ngadiarti
Program Studi Ilmu Gizi, Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta

Saat ini penyakit jantung merupakan penyebab terpenting dari angka kesakitan
(morbidity) dan kematian (mortality) pada kebanyakan negara, yang sebagian
disebabkan oleh pertambahan penduduk berusia lanjut. Beberapa penelitian
epidemiologi observasional menyatakan bahwa risiko penyakit jantung koroner 20-40
persen lebih rendah pada mereka yang asupan makanan atau kadar serum vitamin
antioksidannya tinggi. Penelitian ini bertujuan mempelajari hubungan asupan
antioksidan dengan penyakit jantung koroner pada lansia. Sampel adalah responden
lansia yang memenuhi persyaratan dijadikan kasus dan kontrol. Jumlah sampel kedua
kelompok, masing-masing 144 orang yang diupayakan ’match’. Data dikumpulkan
melalui wawancara meliputi karakteristik responden, asupan makanan sumber
antioksidan dan kolesterol, jenis penyakit, kebiasaan merokok, dan kegiatan olahraga.
Khusus asupan antioksidan dan kolesterol diperoleh dengan teknik frekuensi makanan
semi-kuantitatif. Dengan uji odds ratio, asupan vitamin A, C, dan E di bawah 90%
RDA serta kolesterol >200 mg/hari mempunyai risiko menderita penyakit jantung
(p<0,05). Namun, tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan
selenium dan kebiasaan olahraga dengan penyakit jantung. Analisis khusus kelompok
pasien laki-laki menunjukkan bahwa variabel merokok tidak berpengaruh terhadap
kejadian penyakit jantung (p>0.05). Uji regresi logistik memperlihatkan peran vitamin
C, vitamin E dan kolesterol sebagai faktor risiko kejadian penyakit jantung (p<0,05).
Petugas gizi sebaiknya memberi informasi dan penyuluhan kepada pasien mengenai
pentingnya asupan antioksidan dan sumber antioksidan dalam kaitannya dengan
penyakit jantung.

B13
Efek Hipokolesterolemik Probiotik Indigenous dan Yogurt
pada Tikus Sprague Dawley
(Hypocholesterolemic Effect of Indigenous Probiotic Culture and Yoghurt
in Sprague Dawley Rats)

Lily Arsanti Lestari1, Eni Harmayani2, Y. Marsono2


1
Program Studi Gizi Kesehatan, FK-UGM, Yogyakarta
2
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fak. Teknologi Pertanian, UGM

xxxix
Probiotic was believed as an agent of lowering serum cholesterol level.
However, the information about it is still controversy. Lactobacillus sp Dad13 is an
indigenous probiotic culture isolated from traditional fermented milk. In vitro study
proved that Lactobacillus sp Dad13 possesses the ability to assimilate cholesterol and
deconjugate bile acids, however in vivo study hasn’t been done yet. The purpose of
this research was to study the ability of Lactobacillus sp Dad13 and yoghurt which
supplemented with Lactobacillus sp Dad13 to reduce serum cholesterol level. Twenty
four male Sprague Dawley rats, 2 months old were divided into four groups and fed
with an AIN-93 diet ad libitum. Rats were fed with standard diet (1 wk) and
hypercholesterol diet (1 wk). At the end of the week, lipid profile was measured. Each
group were then treated with 10% sterile skimmed milk, as control, Lactobacillus sp
Dad13 culture, yoghurt, and yoghurt which supplemented with Lactobacillus sp Dad13
culture 1 ml each. The treatments were given by force feeding. The treatments were
assigned for 4 wk and at the end of treatments, serum lipid profile, physical, chemical,
and microbiological properties of cecal contents i.e. weight, water contents, pH,
cholesterol, and total lactic acid bacteria were analyzed. The results showed that total
cholesterol, high density lipoprotein (HDL), triglyceride (TG), low density lipoprotein
(LDL), and LDL/HDL ratio decreased significantly (P<0,05). The highest reduction of
total cholesterol, approximately 39,8%, was found in the group treated with suspension
of Lactobacillus sp Dad13 culture. Probiotics culture feeding increased lactic acid
bacteria population in cecal contents. Cholesterol level of cecal contents corresponds
with low cholesterol level of serum. It can be concluded that Lactobacillus sp Dad13,
an indigenous probiotic culture, was proved to posses hypocholesterolemic effect and
can be developed as functional food.

Ruang C. Teknologi Pangan


B14
Pemanfaatan Susu Segar yang Ditolak Sebagai Sumber Protein Rendah Laktosa

Heru Yuniati, Erwin Affandi


Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

Tidak semua susu segar dari peternak dapat diterima oleh Koperasi Pengumpul
Susu (KPS) untuk disalurkan ke Industri Pengolah Susu (IPS) Susu segar harus
memenuhi beberapa persyaratan baik kimia maupun fisik. Walaupun demikian susu
yang disingkirkan ini bernilai gizi tinggi dengan kadar protein 3.4 g%, yang masih bisa
dimanfaatkan. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
memanfaatkan susu segar yang ditolak KPS menjadi susu rendah laktosa untuk
anak/bayi dengan status gizi buruk atau intoleran terhadap laktosa. Bahan (sampel)
yang digunakan adalah susu segar yang ditolak IPS dan diambil dari Koperasi
Pengumpul Susu (KPS) Cipanas dan Pengalengan. Analisis komposisi sampel meliputi
penentuan kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar air, kadar laktosa, glukosa, uji
mikrobiologis dan uji biologis. Analisis dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian
dan Pengembangan Gizi Bogor, Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Hasil penelitian menujukkan bahwa penurunan kadar laktosa pada susu fermentasi

xl
menggunakan bakteri Laktobacillus bulgaricus lebih baik dibanding susu dengan
proses enzimatis menggunakan laktase. Pada uji mikrobiologis dengan indikator
mikroorganisme pencemar, susu hasil penelitian ini masih memenuhi Standar Nasional
Indonesia/ Dewan Standarisasi Nasional 1992.Uji biologis terhadap hewan percobaan
baik pada berat badan maupun pengukuran Hb dan Ht, dengan uji statistik tidak
berbeda nyata (p > 0.05). Jadi susu segar yang ditolak oleh Industri Pengolah Susu
masih dapat dimanfaatkan menjadi susu yang kadar laktosanya rendah , namun sumber
protein dan lemaknya masih tinggi.

B15
Pengaruh Pengolahan Bahan terhadap Indeks Glikemik Berbagai Makanan

Uken SS. Soetrisno, Rossi R. Apriyantono


Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

Peranan sumber karbohidrat (KH) yang menyumbang energi terbesar masih


jarang diperhitungkan. Besar partikel, jumlah dan susunan molekuler karbohidrat
makanan sangat menentukan daya cerna dan daya guna sebagai sumber gula dalam
darah, disamping pengaruh zat gizi lain serta cara pengolahan. Kecepatan karbohidrat
makanan menjadi gula darah berbeda-beda, hal ini penting diketahui untuk penerapan
sehari-hari. Untuk berkonsentrasi belajar, mencegah kegemukan atau jenis olah raga
tertentu memerlukan ketersediaan karbohidrat yang berlainan. Penelitian ini dilakukan
untuk memperoleh cara pengolahan makanan jajanan yang benilai gizi dan disukai
citarasanya serta mengetahui indeks glikemik makanan tersebut. Makanan
diformulasikan dari 5 sumber karbohidrat kompleks dan 5 sumber protein, yang diolah
pada pH (4.2-9.8) dan suhu (65-135oC). Setelah kering dijadikan tepung halus atau
tepung kasar. Bahan dijadikan makanan dengan penambahan minyak atau santan atau
kelapa parut untuk menambah citarasa. Analisis zat gizi dilakukan terhadap bahan
dasar dan makanan yang dihasilkan. Pengujian mutu organoleptik makanan dilakukan
oleh panelis wanita dan anak SD, sedangkan indeks glikemik (IG) makanan ditentukan
in vivo menggunakan wanita usia 25-40 tahun tanpa penyakit metabolik. Data
disajikan secara deskriptip. Hasil penelitian, makanan yang disukai berdasarkan bau
dan aroma tepung yang direndam pada pH 5.8-9.6 dan dikeringkan pada suhu 73-
121oC. Bahan sumber KH setara 300 Kkal mengandung protein 2.8 + 1.4 g, KH 70 +
2.2 g dan IG= 91 + 8; sedangkan bahan sumber protein mengandung protein 21.4 + 8.0
g, KH 31.8 + 17.6 g dan IG 75 + 13. Dari 15 makanan dengan ukuran porsi setara
dengan 300 Kkal mengandung protein 7.2 + 0.8 g, lemak 9.2 + 3.9, KH 58 + 5.9 dan
IG 77 + 9. Kesimpulan, kombinasi bahan dasar menghasilkan makanan dengan
kandungan zat gizi yang lebih baik serta ukuran berat porsi yang lebih kecil, dengan
indeks glikemik rata-rata termasuk kelompok IG sedang. Pengetahuan tentang indeks
glikemik makanan sebaiknya lebih disebar luaskan agar masyarakat dapat memilih
makanan berdasarkan pengelompokan IG rendah, sedang dan tinggi sesuai kondisi dan
kebutuhan tubuh.

xli
B16
Formulasi Cookies untuk Diet Rendah Energi dan Tinggi Serat

Ika Dwi Astutik, Yohanes Kristianto


Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Malang

Salah satu upaya untuk menekan komplikasi yang berhubungan dengan


tingginya prevalensi obesitas adalah menyediakan produk makanan rendah energi dan
tinggi serat. Produk tersebut juga bermanfaat untuk membantu mencukupi kebutuhan
konsumsi serat masyarakat yang kini hanya mencapai separo dari kebutuhan. Tujuan
penelitian ini adalah membuat cookies rendah energi dan tinggi serat dengan
memanfaatkan sumber serat dari ampas apel. Pembuatan produk dilakukan dengan
mensubstitusikan tepung ampas apel terhadap terigu ke dalam formula cookies.
Tingkat substitusi yang digunakan adalah 0, 20, 40, dan 60% dimana tiap perlakuan
diulang sebanyak 3 kali. Pembuatan produk dirancang dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap. Mutu produk akhir dinilai dari segi karakter fisik, gizi, dan
sensorik. Untuk melihat pengaruh substitusi digunakan tes one-way Anova dan
Kruskall-Walis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subtitusi tepung ampas apel
terbaik dilakukan sampai tingkat 40%. Dengan cara ini cookies yang dihasilkan
mengandung energi 1.7% lebih rendah dan serat 21.37% lebih tinggi dari formula
standar. Kadar protein cookies adalah 7.08% dan memenuhi standard SNI. Substitusi
tepung ampas apel tidak menyebabkan penurunan mutu sensorik yang signifikan
(p>0.05) terhadap warna dan aroma. Produk dengan level substitusi tersebut adalah
yang paling disukai rasanya oleh panelis. Konsumsi cookies tepung ampas apel dengan
level substitusi 40% sebanyak 40g (5 keping) menyediakan energi 146 Kal atau
97.44% kebutuhan energi sekali snack diet rendah energi 1500 Kal. Dalam waktu yang
sama jumlah tersebut dapat mencukupi 26.64% kebutuhan serat sehari.

Selasa, 22 November 2005, jam 16.00 – 17.30

Ruang A: Gizi Klinik dan Dietetik


B17
Hubungan Antara Konsumsi Casein, Gluten dan Pola Aktivitas yang Khas
pada Anak Penyandang Autis di Poli Rawat Jalan RS Sanglah, Denpasar

GA Dewi Kusumayanti, I Putu Suiraoka, Hertog Nursanyoto


Poltekkes Denpasar

Makanan sumber gluten dan casein tidak diperbolehkan bagi anak penyandang
autis, karena termasuk protein yang sulit dicerna, sehingga akan memicu terjadinya
peptida rantai pendek (hanya terdiri atas 2 atau 3 asam amino). Peptida ini diserap
kembali dalam darah dan ketika tiba di otak akan berubah menjadi casomorphin dan

xlii
gluteomorphin, yang seratus kali lebih jahat dari morfin biasa. Karena berpotensi
mempengaruhi susunan saraf pusat, maka gluten dan casein harus dihindari oleh anak
penyandang autis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola
konsumsi casein dan gluten dan pola aktifitas yang khas pada anak autis. Sampel 30
anak penyandang autis yang menjalani terapi di Poli Rawat Jalan RS Sanglah
Denpasar. Data jenis, frekuensi, dan jumlah bahan makanan sampel diolah untuk
menaksir tingkat konsumsi casein dan glutennya, sedangkan pola aktifitas yang
diobservasi adalah pola spesifik pada anak penyandang autis seperti: tidak ada kontak
mata, keterlambatan bicara/ berkomunikasi, hiperaktif, tidak ada respon bila dipanggil,
emosinya sangat tinggi dan hipersensitivitas terhadap rangsangan bau dan suara. Hasil
analisis menunjukkan rerata konsumsi gluten pada anak hipersensitif 37,3±35,1%
sedangkan yang tidak hanya 30,1±21,6%. Pada anak dengan emosi tinggi rerata
konsumsi glutennya 32,9±26,4% sedangkan yang tidak 30,1±22,5. Penampakan ciri
anak penyandang autis yang lain yaitu tidak ada respons jika dipanggil juga
menampakkan rerata konsumsi gluten yang berbeda. Pada anak yang tidak merespons
reratanya 33.5±25,4%, sedangkan yang tidak hanya 29,6±23,0%. Untuk konsumsi
casein diperoleh rerata konsumsi 37,6±34,7% pada anak hipersensitif dan 24,0±19,7%
pada yang tidak. Pada anak dengan emosi tinggi rerata konsumsi caseinnya tidak
berbeda dibanding dengan yang tidak (25,3% vs 26,9%), demikian pula halnya dengan
pola respons terhadap panggilan (26,2% vs 26,3%). Dari deskripsi hasil di atas dapat
disimpulkan terdapat kecenderungan pola aktifitas yang khas pada anak penyandang
autis terutama pada mereka yang tetap mengkonsumsi casein dan gluten dalam jumlah
tinggi. Disarankan hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dan dapat dijadikan
sebagai kajian penting dalam penatalaksanaan diet bagi anak penyandang autis.

B18
Manajemen diet pada anak dengan penyakit jantung bawaan Sianosis
dan Asianosis di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita

Nora Setyafitri
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) ialah kelainan susunan jantung yang sudah
terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. PJB di Indonesia semakin sering ditemukan.
Bukan berarti angka kejadiannya bertambah atau melebihi kejadian di negara-negara lain,
tetapi karena kemampuan diagnosis yang semakin meningkat. Dalam upaya pengobatan
PJB pada bayi dan anak, di samping tindakan medis ataupun bedah, penatalaksanaan dan
pengaturan diit yang mencukupi merupakan unsur pendorong yang turut menentukan
keberhasilan pengobatan. Hubungan antara PJB dengan malnutrisi dan retardasi
pertumbuhan bayi dan anak telah banyak disebutkan dalam kepustakaan. Sebagai
konsekuensinya diperlukan manajemen pengaturan diit untuk mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal pada bayi dan anak dengan PJB. Faktor penyebab
terjadinya gangguan pertumbuhan & malnutrisi pada bayi dan anak dengan PJB
diklasifikasikan dalam, faktor - faktor prenatal dan genetic, hipoksia dan hemodinamik,
asupan makanan, syarat metabolisme serta penyerapan zat makanan. Strategi pemberian
makanan pada anak penderita PJB adalah mengembalikan keadaan gizi anak yang
mengalami penurunan masukan kalori dengan peningkatan energi sehingga dicapai tumbuh

xliii
kejar yang optimal. Masukan energi yang dibutuhkan sebesar 75-120 Kkal/kg BB/harr
(tergantung usia anak). Sumber energi diperoleh dari karbohidrat sebesar 35 % - 65 %
dari energi total, karbohidrat sebaiknya diberikan yang mengandung glukosa polimer.
Protein 8 % - 10 % adalah protein hidrolisat. Lemak 35 % - 50% sebaiknya adalah MCT (
Medium Chain Tryglicerida ) serta didukung oleh zat-zat gizi lainnya seperti natrium,
kalium, vitamin dan zat besi. Pada kondisi khusus misalnya anak dengan PJB yang berat
memerlukan strategi pemberian makanan yang sedikit berbeda dengan meningkatkan
pemberian energi untuk mencapai tumbuh kejar yang adekuat. Yang penting dipantau
adalah kenaikan berat badan dan toleransi anak terhadap makanan yang diberikan.
Intervensi gizi dengan tinggi energi ini telah terbukti dapat meningkatkan berat badan yang
bermakna. Pada tindakan sebelum dan sesudah operasi diperlukan perbedaan strategi dalam
pemberian makanan. Pada pasien dengan kurang gizi berat yang akan dilakukan tindakan
operasi baik paliatif ataupun koreksi total dilakukan program gizi yang lebih intensif
untuk meningkatkan status gizinya meskipun tidak mungkin dilakukan dalam waktu
singkat. Pemberian makanan pasca operasi harus segera dimulai atau paling lambat
dalam waktu kurang dari 48 jam. Nutrisi parenteral total atau nutrisi parenteral melalui
perifer dapat dilakukan apabila pasien menggunakan ventilasi mekanik dalam jangka
waktu lama. Bila keadaan memungkinkan pemberian makakan secara enteral baik dengan
pipa makanan atau secara oral harus segera dimulai. Makanan secara enteral lebih
memberikan beberapa keuntungan dibanding nutrisi secara parenteral.

B19
Tatalaksana Diet Batu Ginjal/ Batu Saluran Kemih Saat Ini

Triyani Kresnawan
RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Penyakit batu ginjal/ batu saluran kemih sudah lama dikenal, konon sejak 3000-
5000 tahun sebelum Masehi. Penyakit batu saluran kemih sering ditemukan dinegara
miskin, sedangkan batu ginjal banyak ditemukan dinegara kaya. Terjadinya batu
banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita. Baberapa faktor resiko penyebab
terbentuknya batu adalah gender, terjadinya infeksi saluran kemih, imobilisasi, pola
makan, hiperkalsiuria, hiperoksalouria, hiperurikosuria, tidak normalnya PH urin, serta
rendahnya volume urin. Upaya pencegahan kekambuhan terjadinya batu tergantung
komposisi jenis batu. Berdasarkan data epidemiologi komposisi batu 80% batu
kalsium, yang terdiri dari kalsium dan oksalat, kalsium dan fosfat atau kalsium dan
asam urat. Pola makan dan minum yang dianjurkan untuk mencegah kekambuhan
semua jenis batu adalah minum banyak 2-3 liter, kurangi garam dapur, asupan protein
sedang sesuai anjuran 0.8-1 g/kgBB/hari, dengan protein hewani maksimal 250 gr/hari,
meningkatkan serat, kurangi oksalat. Diet pada masa lalu untuk batu kalsium adalah
rendah kalsium 300 mg tinggi sisa asam, asupan cairan 2500 ml/hari. Pada saat ini diet
yang dianjurkan dengan asupan kalsium normal ± 1000 mg/hari. Diet terlalu rendah
kalsium ternyata akan meningkatkan berulangnya kejadian batu, meningkatkan
pengeluaran kalsium dari tulang, serta absorbsi oksalat yang meningkat sehingga
menyebabkan hiperoksalouria yang merupakan faktor terbentuknya batu. Pada
prinsipnya penatalaksanaan diet pada batu ginjal/batu saluran kemih dengan komposisi
kalsium adalah minum banyak, protein tidak berlebihan, kurangi asupan garam dan
tidak rendah kalsium. Dalam pelaksanaannya diet untuk batu ginjal adalah sesuai

xliv
dengan komposisi menu siembang dan penambahan sumber kalsium. Untuk itu
diperlukan suatu pedoman baru tata laksana Diet Batu Ginjal / Batu Saluran Kemih.

Ruang B. Gizi Institusi

B20
Analisis Beban Juru Masak di Unit Produksi Makanan
RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

SA. Budi Hartati, Triyani Kresnawan, Kusindrati Sudibyo,


Quthrotur Rodliyah
RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Perubahan status RSCM menjadi organisasi yang berstatus Perusahaan


Jawatan, membuat RSCM lebih menekankan prinsip efisiensi termasuk dalam
penggunaan SDM. Keluhan pasien tentang mutu makanan sangat dipengaruhi mutu
SDM dan disisi lain ada masalah kekurangan tenaga menjadi dasar dilakukannya
penilaian ulang beban kerja pelaksana gizi. Studi ini bertujuan menganalisis beban
kerja pelaksana gizi yang bertugas di Unit Produksi Makanan RSCM. Sampel diambil
secara purpossive sebanyak 23 orang dan pengumpulan data dilakukan dengan cara
Time and Motion Study melalui pengamatan dan pencatatan semua aktifitas yang
dilakukan oleh juru masak selama 3 hari. Analisis dilakukan dengan membandingkan
antara pelaksanaan tugas yang sudah tertulis dalam uraian jabatan dengan hasil
pengamatan. Jumlah waktu yang ditentukan untuk melaksanakan tugas juga dihitung
dan dibandingkan dengan jumlah jam efektif yang sesuai dengan peraturan RS, yaitu
37,5 jam perminggu bagi yang mengikuti aturan 5 hari kerja. Hasil studi menunjukkan
dari 23 pelaksana gizi, 6 orang (26,2%) belum memenuhi uraian tugasnya, dan 8 orang
(34,8%) melaksanakan tugas lebih karena mendapat beban tambahan tugas lain yang
tidak tertulis dalam uraian tugas. Mengenai pemanfaatan waktu, 6 orang (26,1%)
memanfaatkan waktu kurang dari jam kerja efektif dan 11 orang (47,8%) pelaksana
gizi melaksanakan tugas melebihi dari jam kerja efektif. Sebanyak 5 orang pelaksana
gizi yang melaksanakan tugas melebihi uraian tugasnya adalah mereka yang sudah
bekerja lebih dari 20 tahun dan menduduki jabatan sebagai Kepala Kelompok. Bila
ditinjau dari waktu istirahat ternyata 15 orang (65,2%) pelaksana gizi beristirahat
melebihi waktu yang ditentukan.Sebagian besar 13 orang (55,5%) pelaksana gizi pada
makanan kelas 1,2,3 ternyata menggunakan waktu kerja lebih sedikit dibandingkan
pelaksana gizi pada pengolahan makanan VIP yaitu 1 jam 16 menit. Disarankan untuk
melakukan analisis pekerjaan ulang agar semua beban kerja masuk ke dalam uraian
tugas, meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan istirahat dan meninjau ulang
jam kerja efektif.

B21
Pengembangan Aplikasi Manajemen Pelayanan Gizi Rumah Sakit
Berbasis Komputer Dalam Upaya Meningkatkan Efektifitas
Pendayagunaan Tenaga Pelaksana Gizi di RS Sanglah Denpasar

xlv
Hertog Nursanyoto
Poltekkes, Denpasar

Di masa mendatang, Instalasi Gizi Rumah Sakit harus melakukan pembenahan


sesuai tuntutan masyarakat yang menginginkan pelayanan bermutu, cepat dan canggih
untuk siap ”go international’. Kualitas layanan Instalasi Gizi dipengaruhi oleh
perencanaan menu dan analisis gizi, konsistensi dan kecermatan ahli gizi dalam
menterjemahkan preskripsi diet yang dibutuhkan pasien, kualitas dokumen dari
aktifitas pelayanan, serta kecepatan ahli gizi dalam memberikan solusi pada setiap
permasalahan yang dihadapi. Manajemen PGRS yang diterapkan di RS Sanglah
Denpasar hingga kini masih bersifat konvensional dan hanya mengandalkan
ketrampilan manual dari tenaga gizi. Untuk itu dipandang perlu membuat rencana
pengembangan aplikasi manajemen berbasis komputer dengan tujuan agar
pendayagunaan tenaga gizi di RS Sanglah dapat lebih efektif sesuai dengan standar
pelayanan yang berkualitas tinggi. Aplikasi dikembangkan dalam bahasa pemrograman
yang berorientasi pada obyek (object oriented languages) sehingga dapat dieksekusi
pada semua system operasi berbasis windows, namun akan lebih sempurna bila di-
install pada lingkungan Windows ME atau Xp dengan chip processor setara dengan
Pentium III ke atas dan monitor yang mempunyai resolusi VGA paling rendah 800 x
600 dpi. Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan, paket aplikasi ini mampu
mempersingkat beban kerja rutin ahli gizi di RS Sanglah terutama dalam hal
pembuatan label pesanan makanan, order bahan makanan sesuai rekapitulasi diet, serta
stock opname bahan makanan.

B22

Problem Solving for Better Health (PSBH) Sebagai Alat Peningkatan Mutu
Pelayanan Gizi Rumah Sakit

Agus Sri Wardoyo


Bidang PSBH Klinik Kendali Mutu Terpadu
RSU Dr Soetomo Surabaya

Aspek pelayanan kesehatan rumah sakit tidak hanya ditentukan oleh aspek
medis saja tapi juga harus ditunjang oleh aspek-aspek penunjang medis. Pemeliharaan
sarana, sanitasi, dan gizi adalah penunjang medis yang penting. Pelayanan gizi sebagai
penunjang medis mempunyai empat kegiatan utama, yaitu pelayan gizi ruang rawat,
konsultasi dan rujukan gizi, penyediaan makanan dan penelitian pengembangan gizi.
Masalah yang sering timbul dalam pelayanan gizi di RS adalah manajemen instalasi
gizi yang menerapkan efisiensi terutama dana di satu pihak dan pelaksana yang
menerapkan efektivitas yaitu terapi/ pelayanan gizi dapat terlaksana dengan optimal
tanpa memperhitungkan dana. Dengan prinsip Problem Solving for Better Health
(PSBH), salah satu teknik problem solving, masalah tersebut dapat dipecahkan. Inti
prinsip PSBH adalah menggunakan sumber daya setempat yang ada dan mengatasi
masalah bagian demi bagian. Langkah-lagkahnya adalah mendefinisikan masalah
dengan jelas (sifat, besaran, penyebab, faktor penunjang), mendefinisikan solusi
(pendidikan, biomedis, psikologis, ekonomi, usaha mikro, hukum, job training),
langkah-langkah berupa pertanyaan/ jawaban ( melakukan kegiatan apa, dengan siapa,

xlvi
untuk siapa, dimana, berapa lama, pencapaian tujuan apa), dan rencana kerja yang
rinci. PSBH sebagai bentuk audit mutu terhadap pelayanan gizi di RS.

Ruang C. Gizi Masyarakat


B23
Status Gizi Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
yang Berbeda Kinerja di Kabupaten Sumba Timur

Eman Sumarna1, Soemilah Sastroamidjojo2, Erika J. Wasito2, Paul Rückert3


1
Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI
2
SEAMEO Tropmed, Universitas Indonesia, Jakarta
3
GTZ-SEAMEO, Jakarta

Penelitian dilakukan pada Februari-Maret 2001, bertujuan untuk membanding-


kan status gizi anak balita penerima PMT di dua wilayah kerja puskesmas di
Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT, dengan manajemen pelayanan gizi yang
berbeda. Tahap pertama, penelitian terhadap seluruh puskesmas untuk menentukan
tingkat kinerja pelayanan gizi, dengan pendekatan input-output-proses. Tahap kedua,
penelitian terhadap 568 RT dari kedua wilayah untuk menilai status gizi anak balita.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, pengukuran langsung, dan kajian
laporan. Penilaian tingkat kinerja menggunakan scoring system, sedangkan status gizi
dengan antropometri berdasarkan baku WHO/NCHS. Analisis data menggunakan
bantuan program komputer. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan semua
variable input-proses-output dan kemampuan staf di kedua wilayah berbeda nyata.
Paket PMT sudah sesuai dengan pedoman, tetapi cara pemberian dan distribusinya
tidak. Prevalensi status gizi di kedua wilayah berbeda nyata baik underweight, stunted,
maupun wasted (Person’s Chi-square test). Wilayah kerja puskesmas dengan tingkat
kinerja yang tinggi mempunyai prevalensi status gizi anak balita yang lebih baik
dibandingkan dengan yang memiliki kinerja rendah. Faktor yang mempengaruhi
rendahnya kinerja diantaranya adalah sarana transportasi dan jumlah staf yang tidak
memadai. Rekomendasi penelitian adalah (1) PMT tetap dilanjutkan sesuai dengan
pedoman disertai perbaikan manajemen program imunisasi, agar lebih efektif
menurunkan angka kesakitan anak; untuk mendukung hal ini diperlukan sarana
transportasi yang memadai; (2) Pemerintah Daerah harus memberikan motivasi melalui
reward system kepada siapapun yang berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan dan
gizi (3) perlu penelitian lanjutan yang menilai tingkat konsumsi dengan status
imunisasi, untuk mengetahui hubungan antara PMT dengan angka kesakitan anak.

B24
The Relationship Between Waist to Hip Ratio with Cholesterol Level
at Adult in Surakarta City

Sugeng Wiyono1, Krisnawaty Bantas2,


Ratna Djuwita Hatma2, S.W Soekirman1
1
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Jakarta II; 2 Universitas Indonesia

xlvii
The ratio of waist to hip specifically describes the fat level in stomach hollow.
This study is aimed to evaluate the relationship between fat in stomach hallow and the
level of cholesterol using total cholesterol, LDL cholesterol and HDL cholesterol. By
processing and analysing the availbale data, this study found that the average of waist
and hip ratio (RLPP) among the population aged 25-64 years was 0.86 + 0.06. The
study also shows that based on Bray’s classification, 8.5% was categorized as
population at risk in man (more than 0.95) and for women was 64.3% (more than
0.80). In addition, the total cholesterol level was 208.37+ 40.67mg/dL, LDL
cholesterol was 136.48 + 37.52 mg/dL and HDL cholesterol was 44.80 + 10.42mg/dL.
The relationship between RLPP and Total cholesterol is statistically significant.
Increasing total cholesterol is likely increases RLPP controlled by BMI and age. The
contribution of RLPP, BMI and age to total cholesterol are 11.0%. Independently,
RLPP as a main variable contributes 29.0% to total cholesterol. RLPP is significant
correlated to the LDL cholesterol. Increasing LDL cholesterol is likely increases RLPP
controlled by BMI and age. The contribution of RLPP, BMI and age to LDL
cholesterol are 6.1%. RLPP as a main variable contributes 26.2% to LDL cholesterol,
independently. In HDL cholesterol found that HDL is statistically significant to RLPP.
Increasing LDL is likely to increase RLPP controlled by age and smoking status. In
conclusion, maintaining an ideal body weight, decreasing the rate of fat stomach
hollow development and not smoking are the best way for preventing the increase of
LDL cholesterol and the decrease of HDL cholesterol.

B25
Growth Faltering Problem of Indonesian Children

Abas Basuni Jahari


Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

A new method in assessing nutritional status of the people has been discussed
and proposed. Presentation of prevalence of underweight alone is not sufficient to
provide information on the current nutritional status of the population. It does not
provide information on growth achievement. The illustration in this paper is important
for us to understand that in a nutritional status assessment the presentation of both
prevalence and growth is necessary to provide clear picture on the current nutritional
status or on the changes of nutritional status of the people over time. Anthropometric
data (weight and length or height) of children of different ages from several studies are
used in this analisis: 1) Baseline data of Early Child Development (ECD) of children 6-
23 months of age, 1998; 2) Studi on Nutritional Status of children 0-35 months of age,
in Bogor during crisis period, 1999; 3) Study on Iodine Deficiency Disorders in
relation to Nutritional Status among school-age children, 2000; and 4) Study on iron
fortification on wheat-flour on Female Junior High School students, 1998-2001. Data
analysis was carried out by computer software: Nutrisoft which is developed by the
author based on WHO-NCHS reference, and by SPSS version 10.0. The objective of
analysis to calculate the mean values of weight and length or height, the mean values
of Weight-for-Age Z_Score, Height-for-Age Z_Score, and Weight-for-Height
Z_Score, and to calculate the prevalence < -2,0 SD of underweight, stunting and
wasting. The results show that growth faltering is found in every age group, it is not
only found among underfives, but also among school-aged children and pre-teenagers.

xlviii
Serious problem is apparently observed in “linear growth retardation” or stunting. The
higher the prevalence of stunting the higher the prevalence for underweight. On the
other hand, the prevalence of wasting is much lower than the latter. The mean Z_Score
for heigh-for-age and weight-for-age are much lower than that of weight-for-height.
This is indicating that in many cases the existence of underweight problem seems to be
a process of natural adjustment to the problem of stunting. The conclusin is that
problem of “linear growth retardation” appears to be a continous problem since earlier
age through their growing period. The problem of underweight appears to be the
consequences of stunting. It is recommended that because of the underlying problem
is apparently “stunting” that begins at the very earlier age, nutrition program should
also be initiated in earlier age, or even during pregnancy.

KUMPULAN ABSTRAK POSTER


(abstrak disusun menurut abjad nama pemakalah pertama)

C01

Ketahanan Pangan: Antara Tantangan, Harapan, dan Kenyataan

Agus Sri Wardoyo


Pusat Kajian Kependudukan SEJAHTERA, Sidoarjo

Memantapkan ketahanan pangan merupakan prioritas utama pembangunan,


karena pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi sumberdaya manusia.
Ketahanan pangan sangat berkaitan dengan kemampuan daya beli. Padahal tingkat
kemiskinan di Indonesia masih 16,7 persen (2004) atau 36,1 juta jiwa. Dalam makalah
ini disajikan tren penduduk miskin di Indonesia sejak 1976-2004. Permasalahan dalam
ketahanan pangan adalah perimbangan produksi dan kebutuhan pangan,
ketergantungan pada impor pangan, tingkat petumbuhan ekonomi rendah, kemiskinan,
pengangguran, konflik sosial dan kriminalitas, alokasi dana yang tidak sesuai, dan
KKN. Landasan pijak untuk memantapkan ketahanan pangan sebenarnya sudah ada
berupa deklarasi hak azasi manusia, komitmen global/ pemerintah, Undang-undang,
Kepmen, dan peraturan lainnya. Tiga aspek dalam pengembangan ketahanan pangan
yaitu ketersediaan pangan, pendapatan, dan pendidikan. Target populasi yang rawan
pangan umumnya adalah keluarga miskin. Tahapan program perlu dibagi menjadi 4
tahap yaitu program pangan segera, jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang yang mencakup tiga aspek pangan, pendapatan, dan pendidikan. Ahli gizi /
dietisien dapat berperan dalam program ketahanan pangan, dari tingkat kebijakan
sampai dengan implementasi.

xlix
C02

Pengaruh Konsumsi Enteral Khusus Diabetes terhadap Perubahan Kadar


Glukosa Darah dan Berat Badan Pasien NIDDM

Arum Dwi Riastuti, Iskari Ngadiarti, Idrus Jus’at dan Titus Prio Harjatmo
Program Studi Ilmu Gizi, Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta

Prevalensi Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia sekitar 1,4-16%, dan 90%


diantaranya adalah DM tipe II (NIDDM). Diet pasien DM dapat berupa makanan padat
atau kombinasi padat dan enteral khusus diabetes. Makanan enteral khusus diabetes
memiliki komposisi energi, protein, karbohidrat dan lemak yang cukup, indeks
glikemik rendah, dan kandungan serat tinggi. Tujuan penelitian mempelajari perbedaan
perubahan kadar gula darah (KGD) dan berat badan (BB) pasien NIDDM rawat jalan
yang mengkonsumsi (KME) dan yang tidak mengkonsumsi (TME) makanan enteral
khusus diabetes. Penelitian observasional (cohort) dilakukan di salah satu rumah sakit
Jakarta Pusat dengan mengumpulkan data primer yang berupa data asupan zat gizi.
Data sekunder yaitu berat badan (BB) dan kadar glukosa darah dari tiap kelompok
pasien DM rawat jalan dikumpulkan oleh peneliti dan petugas kesehatan pada awal
(Aw), bulan pertama (B1) dan kedua (B2) penelitian. Dari hasil wawancara , pasien
dibagi 2 kelompok KME dan TKE sebanyak 36 orang. Sebagian besar pasien dengan
status gizi normal; asupan energi, karbohidrat dan protein relatif tinggi pada kelompok
KME dibanding TME, tetapi asupan lemak tidak berbeda antar kelompok. Perubahan
KGD pada KME (54,8 mg/dl) lebih besar dibanding TME (46.7 mg/dl), juga
perubahan BB pada KME (2,7 kg) lebih besar dibanding TME (2,3 kg) pada Aw dan
B1 (p<0,05). Pada B1 dan B2 tidak tampak perubahan KGD dan BB yang bermakna
untuk kedua kelompok (P>0,05). Kelompok TME mempunyai kemungkinan tidak
dapat mengontrol KGD dibanding KME (OR= 2,78; 95% CI: 1,1- 7,2).

C03

Gambaran Status Gizi Santri Remaja Pria di Kabupaten Bogor

Dewi Permaesih, Yuniar Rosmalina


Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

Remaja merupakan Sumber Daya Manusia dimasa datang, bila menderita


anemia dapat mempengaruhi konsentrasi belajar dan produktivitas kerja. Gizi kurang
dapat mempengaruhi pertumbuhan remaja yang sedang mengalami periode
pertumbuhan cepat. Studi ini bertujuan untuk mengetahui status gizi remaja pria
terutama yang tinggal di Pondok Pesantren. Analisis ini menggunakan data awal dari
Penelitian Remaja di Pondok Pesantren. Responden penelitian adalah remaja pria
(santri) yang berumur antara 11 – 21 tahun yang tinggal di pondok pesantren terpilih di
kabupaten Bogor dan bersedia ikut dalam pemeriksaan ini. Kadar hemoglobin
ditentukan dengan metode Cyanmethemoglobin. Penentuan anemia ditentukan
berdasarkan kriteria Haemoglobin WHO (< 12 g/dL pada remaja pria yang berusia 15
tahun dan < 13 g/dL pada remaja pria yang berusia lebih dari 15 tahun). Penentuan
status gizi menggunakan perhitungan Indeks Massa tubuh, untuk pengelompokan
digunakan tabel percentile Indeks Massa Tubuh menurut umur pada pria berumur 9 –

l
24 tahun dari WHO (< 5 percentiles dianggap “kurus”, antara 5 percentile hingga 15
percentiles “gizi kurang”, antara 15 percentiles hingga 85 percentiles “gizi baik”,
antara 85 percentiles hingga 95 percentiles “gizi lebih” dan lebih dari 95 percentiles
“kegemukan”. Dilakukan pemeriksaan kesehatan, kadar hemoglobin dan pengukuran
antropometri pada sebanyak 581 orang santri dengan umur rata-rata 15,35 tahun. Hasil
pemeriksaan kadar hemoglobin menunjukkan sekitar 40 % dari santri menderita
anemia. Prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi anemia remaja dari
Surkesnas 2001. Dari santri remaja yang anemia ditemukan 30 % berada pada status
gizi kurang. Hasil analisis status gizi didapat bahwa sekitar 40 % menderita gizi kurang
dan kurus, hanya 2,2 % yang mempunyai status gizi lebih. Gizi kurang dan kurus pada
remaja pria di pesantren ini lebih tinggi dibandingkan dengan gizi kurang hasil analisis
Surkesnas 2001. Disimpulkan bahwa prevalensi anemia dan gizi kurang pada remaja
di pesantren lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis data Surkesnas 2001.

C04

Faktor Risiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di


Daerah Endemik GAKY Kabupaten Magelang

Dhuta Widagdo, Leny Latifah, Asih Setyani


Balai Penelitian GAKY, Magelang

The high prevalence of iron deficiency anemia (IDA) among pregnant women
in Indonesia may contribute to several health problems. Household health survey
(SKRT) found the prevalence of IDA among pregnant women in 1992, 1995, 2001 was
63.5%, 50.9%, and 40.1% respectively. In Magelang district the prevalence is 40% in
2003. Several studies revealed some risk factors associated with IDA. The objective of
study is to investigate some risk factors associated with IDA in Magelang district, the
endemic area of iodine deficiency disorders. This study is a case control study among
145 pregnant women suffering from IDA as case and 149 pregnant women with similar
characteristics non-IDA as control group. Variables collected were hemoglobin level,
worm infection, iron tablets, and dietary intake of foods with an emphasis on iron
absorption inhibitors such as tannin, phytate, and oxalate . The results showed that the
prevalence of IDA among pregnant women in endemic IDD area was 63.5%, 50.7% of
women infected with at least one type of parasites, intake of tannin, phytate, oxalate
was 20.64±17.12 g, 15.4±1.5 g, 1.9±1.3 g respectively. Compliance of iron of at least
90 tablets during pregnancy was very low (22.1%). Logistic regression analysis found
risk factors associated with IDA were iron tablet (OR=7.794; CI 95%=1.007-89.890),
worm infection (OR=7.71;CI 95%=1.106-76.360), and dietary intake of tannin
(OR=4.13;CI 95% =0.259-66.378), but failed to show the association with energy and
protein intake, phytate, and oxalate. The study recommend to improve program on iron
tablet distribution particularly increasing compliance and better sanitation.

li
C05

The Effect of Traditional Food “Serwit” Distribution on Employees Productivity:


An Experiment on Employees of Petik Bibit Nanas I PT. Great Giant Pineapple
Terbanggi Besar, Lampung

Djelita Rickum, Arsiniati, Kuntoro


Poltekkes, Lampung

The purpose of the research is to study the effect of traditional food “Serwit”
distribution (PMTS) on the productivity of employees at Petik Bibit Nanas I PT. Great
Giant Pineapple Terbanggi Besar, Lampung. Experimental research is applied on 18
male employees respondents divided into 3 equal groups: “Seluang”, “Gabus”, and
Control. The design of the research is Non randomized pretest - posttest control group
design. The independent variable is PMTS and the dependent variable is productivity.
The statistic test is double t test and F test (variant and covariant analyses). F-test result
shows that condition before given productivity in 3 groups shows no difference (p
=0,195). Condition after given productivity also shows no difference (p = 0,104). The t
test result displays productivity difference before and after given productivity in the 3
groups (p < 0,05). The result of covariant analysis indicates that Fe and energy give
significant contribution to productivity (p = 0,003 for Fe and p = 0,026 for energy).
Successively, the mean value of Fe from the highest to the lowest is “Seluang”,
“Gabus”, and Control. Consecutively, the mean value of energy from the highest to the
lowest is “Gabus”, “Seluang”, and Control. The research result designates that
“Serwit” can be alternative menu for company to increase productivity of employees at
Petik Bibit Nanas I PT. Great Giant Pineapple Terbanggi Besar, Lampung. “Serwit” is
traditional food that is rich of nutrition and preservatives free. The social aspect of the
usage of traditional food “Serwit” can be achieved since traditional food intensifies
appreciation towards genuine Indonesian food.

C06

Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Terhadap Diet di Layanan Konsultasi Gizi


rawat Jalan RSCM Tahun 2004

Hilma Yunahar, Suharyati D.Kartono, Nurrul Karimah


Instalasi Gizi RS Dr. Cipto Mangunkusumo

Terapi dietetik merupakan salah satu pilar pengendalian diabetes mellitus (DM). Kepatuhan
pasien dalam melaksanakan diet tentu menjadi harapan bagi team kesehatan rumah sakit. Sebanyak
1040 pasien di Poli Gizi RSCM tahun 2004, sebagian besar (67,3%) adalah pasien DM dan 16,5%
dari pasien tersebut melakukan kunjungan ulang pada 2-4 minggu setelah kunjungan awal.
Penelitian dilakukan di Poli Gizi RSCM pada tahun 2004 bertujuan untuk mendapatkan gambaran
tentang kepatuhan pasien DM dalam melaksanakan diet. Dengan desain potong lintang diperoleh 49
pasien dewasa laki-laki dan perempuan dari 108 pasien yang berkunjung ulang. Kepatuhan diet
dinilai berdasarkan persen asupan energi pada kunjungan ulang dibandingkan dengan energi
anjuran diet. Dinyatakan patuh apabila asupan energi berkisar 80%-110% dari anjuran diet. Asupan
energi dinilai dengan metoda food recall. Status gizi pasien saat kunjungan awal dan ulang dinilai
berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasilnya 63,3% pasien patuh terhadap anjuran diet,
selebihnya tidak mematuhi. Dari pasien yang patuh terhadap diet, 26,5% berumur di atas 59 tahun.
Sebagian besar responden (67,3%) berpendidikan SLA ke atas dan sebanyak 44,9% patuh tehadap
diet, 22,4% tidak mematuhi. Dengan uji chi-square temuan di atas tidak bermakna (P>0,05). Berat

lii
badan (BB) rata-rata awal 61,18 kg ± 12,15 kg dan saat kunjungan ulang 60,84 kg ± 11,76 kg. Rata-
rata IMT awal 25,34 ± 4,59 dan saat kunjungan ulang 25,20 ± 4,46. Dengan uji t penurunan ini
bermakna (P = 0,000). Disarankan pemberian informasi mendalam kepada pasien saat kunjungan
awal tentang penekanan kepatuhan diet sebagai salah satu keberhasilan terapi DM. Penilaian
kepatuhan diet sebaiknya tidak hanya mengggunakan indikator asupan energi namun dapat
menggunakan indikator lain misalnya pemeriksaan biokimia Hb A1C dan perubahan berat badan.

C07

Faktor Risiko Obesitas pada Orang Dewasa di Provinsi Bali

Ida Ayu Eka Padmiari,Anak Agung Nanak Antarini, Ni Made Yuni Gumala
Jurusan Gizi Poltekkes Denpasar

Beban ganda masalah gizi di Indonesia mulai terlihat dengan meningkatnya


prevalensi obesitas. Tetapi data tentang prevalensi kegemukan di Bali belum ada.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi obesitas di propinsi Bali dan
faktor resiko yang mempengaruhinya. Penelitian ini observasional dengan desain cross
sectional. Sampel penelitian adalah 2.700 orang dewasa berumur 18 – 55 tahun yang
memenuhi kriteria dan bertempat tinggal di ibukota kabupaten/kota. Variabel yang
dikumpulkan adalah berat badan, tinggi badan, pola konsumsi makanan. Data berat dan
tinggi badan dikonversikan hasilnya menjadi indeks massa tubuh (IMT). Kriteria
obesitas digunakan standar IMT yang berlaku untuk Asia. Pola konsumsi dikumpulkan
dengan menggunakan Food Frequency Quesioner (FFQ) 3 bulan terakhir. Data
dianalisis dengan chi-square dan regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan
prevalensi obesitas orang dewasa di Bali sebesar 9,5% (9,3% pada wanita dan 9,7%
pada laki-laki). Prevalensi obesitas tertinggi terdapat di Kota Semarapura (13%),
diikuti dengan Kota Gianyar (12%), dan terendah di Kota Karangasem (5%). Faktor
resiko obesitas yang berpengaruh terhadap obesitas adalah konsumsi energi yang
berlebih dan umur yang semakin meningkat.

C08

Is Instant Noodle an Appropriate Supplement for Malnourished Mothers

Iman Sumarno
Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

A non government organization (NGO) used instant noodle as a supplement for


malnourished mothers. The aim is to increase the energy consumption of the
malnourished mothers by 600 kilo calories a day. The decision was made based on the
fact that instant noodle is produced in Indonesia, available in the market and widely
consumed. In order to improve energy consumption by 600 kilo calories, the subjects
should consume two packs of instant noodle a day. Let’s observe the probability that
the target can be reached. 1. Noodle is familiar in Indonesia; 2. Using Indonesian
cuisine, 3. Put in anice colorfull package, 4.Social value of noodle is normal, 4. The
portion of one pack of noodle is about the right size, and 5. It is easy to digest. It seems
a prefect supplement. However, in Indonesian norms, mothers are the character of
giving, especially to their children. They have to prioritize the food to the young

liii
children and share with other family members, which is more appropriate if it is as a
side dish. Sharing with neighbors and relatives is a norm to be a good member of the
community. Due to the normal social value noodle is a perfect give to the parents
especially parents in-law. Therefore, while it is acceptable, the target of increasing
energy consumption by 600 kilo calories may not be met. Mothers consume only 25 %
of the recommended dose or even less.

C09

Status Bekerja Ibu Kaitannya dengan Pola Pemberian Makan, Pola Asuh Makan, Tingkat Kecukupan
Energi Protein dan Status Gizi Anak Usia 0-59 Bulan di Perumahan Nogotirto, Yogyakarta

Irianton Aritonang1, Endah Priharsiwi2


1
Poltekkes Yogyakarta; 2Dinkes Provinsi DI Yogyakarta

Peran ibu sangat menentukan dalam mengatur konsumsi makanan keluarga. Penelitian ini
ingin mengetahui status bekerja ibu kaitannya dengan pola pemberian makan, pola asuh makan dan
status gizi anak usia 0-59 bulan. Unit sampel dalam penelitian ini adalah ibu rumahtangga yang
memounyai anak usia di bawah lima tahun (0-59 bulan) di perumahan Nogotirto Sleman Yogyakarta
dengan besar sampel sebanyak 71 anak. Hasil penelitian menunjukan pola pemberian makan balita
dengan kriteria cukup 85,90%; pola asuh makan balita dengan kategori cukup 81,69%; tingkat
kecukupan energi balita dengan kriteria cukup 56,34%; tingkat kecukupan protein balita dengan
kriteria cukup 11,27%; status gizi balita dengan kriteria baik 83,1%. Uji statistic Kai kuadrat
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna (P<0,05) antara status bekerja ibu dengan pola
asuh makan balita. Korelasi ranking Spearman menunjukkan adanya korelasi yang bermakna
(P<0,05) antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi balita, dan uji korelasi Pearson juga
menunjukkan adanya korelasi yang bermakna (P<0,05) antara tingkat kecukupan protein dengan
status gizi balita.

C10

Gambaran Perubahan Berat Badan Pasien Bedah Sebelum dan Setelah bedah di
Irna-A RS. Dr. Cipto mengunkusumo Jakarta tahun 2005

Liviana1, S.R. Wahyuningrum2


1
Mahasiswa Poltekkes Jakarta II Jurusan Gizi, 2Instalasi Gizi RSCM)

Penelitian di RSCM tahun 1989 melaporkan 51,4% pasien bedah digestif


mengalami gizi kurang berdasarkan lingkar lengan atas (LLA) dan 20% gizi buruk
berdasarkan Creatinin Height Index (CHI), tahun 1997 dijumpai 37% pasien bedah
mayor digestif mengalami gizi kurang dan tahun 2000 diperoleh data 28,5% pasien
bedah mayor mengalami gizi kurang, penurunan berat badan dan nilai serum albumin.
Penurunan berat badan yang terjadi rata-rata sebesar 24% dari berat badan sebelum
bedah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perubahan status gizi pasien bedah di
IRNA-A RSCM berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT). Penelitian ini dilakukan
secara purposive sampling berdasarkan kriteria : pasien dewasa dengan lingkup bedah
urologi, tumor, ortopedi, gigi dan mulut serta bedah plastik yang dapat dilakukan
penimbangan berat badan (BB) dan pengukuran tinggi badan (TB), bersedia menjadi
responden dalam penelitian, tidak memiliki komplikasi penyakit non bedah dan tidak
menjalani kemoterapi sebelum maupun setelah bedah. Lama pengamatan adalah 16
hari kerja dari bulan Februari – Juli 2005. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan 18

liv
responden, 7 laki-laki (38,9%) dan 11 perempuan (61,1%). Sebagian besar berumur
35-44 tahun yaitu 10 orang (55,6%) dengan umur termuda 18 tahun dan tertua 50
tahun. Berdasarkan lingkup bedah terbanyak adalah bedah tumor 10 orang (55,6%),
disusul urologi 4 orang (22,2%), bedah plastik 2 orang (11,1%), ortopedi / tulang 1
orang (5,6%), gigi dan mulut 1 orang (5,6%) dan dengan tingkat kesukaran bedah
mayor 10 orang (55,6%), medium 7 orang (38,9%) dan khusus 1 orang (5,6 %). Tidak
ditemukan perubahan status gizi setelah bedah, namun berdasarkan perubahan BB
setelah bedah didapatkan 13 orang (72,2%) mengalami penurunan BB antara 0,1 – 1,9
kg dan 5 orang (27,8%) mengalami kenaikan BB antara 0,2 – 0,6 kg. Penurunan BB
terbanyak terjadi pada responden bedah tumor yaitu 61,5%. Rata-rata asupan energi
responden sebelum bedah adalah 1700 Kkalori dibandingkan dengan rata-rata
kebutuhan 2000 Kal, asupan energi ini dikategorikan baik (85%), sedangkan rata-rata
asupan protein sebelum bedah adalah 47 g (71%) yang ternyata masih kurang dari
kebutuhan 66 g. Sedangkan rata-rata asupan energi dan protein setelah bedah adalah
1400 Kkal (64 %) kurang dari rata-rata kebutuhan 2200 Kal dan hanya 35 g (53%) dari
kebutuhan rata-rata yaitu 66 g.

C11

Pengaruh Konsentrasi Alginat Terhadap Mutu Jus Jeruk (Citrus aurantium L var.
Sinensis L) Wortel (Daucus carota L) Kaya Serat

Martha Susanty1, Rahmawati1, Sunita Almatsier2


1
Instalasi Gizi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
2
Teknologi Pangan Universitas Sahid Jakarta

Jus jeruk wortel kaya serat adalah produk olahan dari campuran buah dan sayuran yang dibuat
dari jeruk, wortel, madu dan air dengan bahan tambahan berupa asam sitrat dan bahan penstabil alginat.
Pengolahan jus secara umum hanya mengambil sarinya, sedangkan ampasnya dibuang. Padahal ampas
tersebut mengandung serat makanan yang berguna bagi kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian yang bertujuan untuk menstabilkan atau menghomogenkan jus jeruk wortel kaya serat.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor
(faktor A) dengan lima taraf dan tiga kali pengulangan. Faktor A adalah konsentrasi alginat dengan lima
taraf yaitu 0.00%, 0.10%, 0.20%, 0.30% dan 0.40%. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan
inferensial. Analisis statistik yang digunakan adalah sidik ragam atau Analisis Varian ( ANAVA ) yang
dilanjutkan dengan uji beda rata- rata atau metode Duncan Multiple Range Test ( DMRT ) jika
perlakuan memberikan pengaruh nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi alginat yang
berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap total padatan terlarut, nilai pH, viskositas, kestabilan
suspensi, mutu hedonik kestabilan, warna, aroma,rasa serta penerimaan umum, sedangkan mutu
hedonik kekentalan berpengaruh nyata terhadap mutu jus jeruk wortel kaya serat. Penetapan jus jeruk
wortel kaya serat terbaik ditentukan oleh parameter mutu yang dipengaruhi oleh konsentrasi alginat
yaitu ; kestabilan suspensi dan penerimaan umum.Produk terbaik berdasarkan kriteria tersebut adalah
alginat dengan konsentrasi 0.20% yang mempunyai kestabilan suspensi 54.00% ( max 100 % ), mutu
hedonik kestabilan 4.3 (agak stabil – stabil ), warna 4.8 ( kuning tua – oranye kekuningan ), kekentalan
4.5 ( agak encer – agak kental ), aroma 3.8 ( agak kurang kuat – agak kuat ), rasa ( agak asam – asam
segar ) dan uji rangking 1.96 . Hasil uji penunjang menunjukkan kadar air 77.98%, kadar abu 0.17%,
kadar lemak 0%, kadar protein 0.15%, kadar karbohidrat 21.7%, serat makanan 2.81%, vitamin A 0.53%
RE dan vitamin C sebelum diolah 28,7 mg/100gr, dan sesudah diolah 24,36 mg/100 gr.

lv
C12

Pengaruh Rasio Campuran Tepung Pisang, Tepung Kacang Hijau dan Tepung
Ubi Merah Terhadap Organoleptik “Pinara Mix Drink”

Marudut, Anne Maulizawartika


Jurusan Gizi Poltekkes, Jakarta

Pengolahan berbagai macam pangan menjadi tepung merupakan suatu upaya


untuk meningkatkan pemanfaatan pangan tersebut dalam berbagai variasi makanan.
Diantara pangan tersebut pisang, kacang hijau dan ubi merah dapat dibuat menjadi
tepung dan selanjutnya dapat dibuat menjadi minuman yang dalam penelitian ini
disebut “Pinara Mix Drink”. Pisang dipilih karena sifatnya yang mudah cerna dan
mengandung karbohidrat dalam jumlah yang besar (71,7 g/100 g). Kacang hijau
merupakan sumber protein yang tinggi (22,9 g/100 g). Ubi merah mengandung
provitamin A (1208 mg/100 g) selain karbohidrat yang tinggi. Tujuan dari penelitian
ini adalah mengetahui daya terima “Pinara Mix Drink” dengan rasio campuran tepung
pisang, tepung kacang hijau dan tepung ubi merah yang dapat diterima panelis.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 1 perlakuan dan 4 taraf serta 3 pengulangan. Taraf perlakuan
ini adalah perbandingan tepung pisang, tepung kacang hijau, tepung ubi merah yaitu
T1 (2:1:1), T2 (1:2:1), T3 (1:1:2) dan T4 (1,5:1:1,5). Pinara Mix Drink dibuat dengan
mencampurkan tepung sesuai taraf tersebut dan disajikan kepada 30 panelis. Panelis
memberikan penilaian dari segi warna, aroma, rasa, konsistensi dan tingkat kesukaan.
Hasil penilaian tersebut diuji secara statistik menggunakan uji Friedman untuk
mengetahui pengaruh antar taraf terhadap organoleptik Pinara Mix Drink. Hasil
penilaian adalah (1) tidak ada pengaruh rasio campuran tepung pisang, tepung kacang
hijau dan tepung ubi merah terhadap warna “Pinara Mix Drink” karena pada ubi merah
pigmen yang dihasilkan lebih dominan dari pada pisang dan kacang hijau. (2) Ada
pengaruh rasio campuran tepung terhadap aroma, 50% panelis menyatakan suka
terhadap aroma campuran pada T1. (3) Ada pengaruh rasio campuran tepung terhadap
rasa yang sebagian besar berasa campuran dan secara umum (55,6%) yang disukai
adalah T1. (4) Ada pengaruh rasio campuran tepung terhadap konsistensi, sebagian
besar panelis menyatakan konsistensi encer (73,3%) dan suka pada T1. (5) Ada
pengaruh rasio campuran tepung terhadap tingkat kesukaan secara umum, dimana
panelis menyukai “Pinara Mix Drink” dengan rasio 2:1:1 (T1) antara tepung pisang,
tepung kacang hijau dan tepung ubi merah sebesar 62.2%.

C13
Fisiko-kimia dan Total Mikroorganisme Minuman “Y”
yang Disimpan pada Tempat yang Berbeda

Marudut, Destri Andriani


Jurusan Gizi Poltekkes Jakarta

Minuman “Y” adalah salah satu produk pangan probiotik yang mengandung
lebih dari 108 koloni bakteri Lactobacillus casei galur Shirota dalam tiap mililiternya.
Penyimpanan “Y” yang baik adalah pada suhu 20-40 C. Suhu penyimpanan sangat
berpengaruh pada jumlah mikroorganisme dan kerusakan produk “Y”. Pedagang pada

lvi
umumnya melakukan beberapa cara penyimpanan “Y”, yaitu di suhu dingin (20C),
suhu ruang(300C-320C) dan kotak penyimpanan berisi es (120C-280C). Penelitian
bertujuan untuk mengetahui perbedaan fisiko-kimiawi dan total mikroorganisme “Y”
yang disimpan pada tiga tempat yang berbeda. Penelitian merupakan jenis penelitian
eksperimen dengan analisa laboratorium, dilakukan uji fisik kimiawi dengan
melakukan pemeriksaan pH, kekentalan, dan total padatan dari sampel yang disimpan
di tiga tempat yang berbeda selama 14 hari. Pada setiap sampel dilakukan uji TPC
menggunakan de Man Rogosa and Sharpe (MRS agar) dengan tiga kali ulangan dan di
tiap-tiap pengenceran dilakukan triplo. Untuk mengetahui total mikroorganisme
Lactobacillus casei galur Shirota dilakukan uji angka lempeng total. Hasil penelitian
menunjukkan sampel yang disimpan pada suhu dingin jumlah total Lactobacillus casei
galur Shirota sebanyak 1,0 x 109 CFU/ml pada pengenceran 10-7, yang disimpan pada
kotak penyimpanan berisi es sebanyak 4,6 x 108 CFU/ml ,dan yang disimpan pada
suhu ruang sebanyak 1,3 x 108 CFU/ml. Dengan kisaran pH 4,1-4,5. pH yang paling
tinggi yakni 4,5 terdapat pada sampel pada penyimpanan suhu dingin, lalu kotak
penyimpanan berisi es dengan pH 4,4 dan pada suhu ruang adalah pH yang paling
rendah yakni 4,1. Kekentalan pada suhu dingin adalah 0,865 g/cm3, pada kotak
penyimpanan berisi es 0,896 g/cm3 dan suhu ruang 0,870 g/cm3. Total padatan dari
masing-masing sampel yang engalami penyimpanan sama dengan sampel yang tidak
mengalami penyimpanan yaitu 18% Brix. Ternyata suhu mempengaruhi aktivitas
biokimia dari Lactobacillus casei galur Shirota sehingga menyebabkan penurunan pH
yang dapat mengakibatkan penurunan total mikroorganisme tersebut.

C14

Penerimaan Sifat Fisik dan Kandungan Zat Gizi Kerupuk Singkong dan Tempe

Muntikah
Jurusan Gizi-Poltekkes Jakarta

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tempe pada


pembuatan kerupuk singkong terhadap kandungan zat gizi, sifat fisik dan penerimaan.
Dilakukan pengamatan terhadap 5 perlakuan yaitu kontrol tanpa penambahan tempe
(T0), penambahan tepung tempe (T1) = 10%, (T2) =20% dan penambahan tempe segar
(S1) =10%, (S2) =20% yang dikonversikan dalam bentuk tepung. Penelitian
dilakukan dalam dua tahap, tahap pendahuluan meliputi pembuatan tepung singkong,
tepung tempe, analisis zat gizi bahan dasar, pembuatan kerupuk, uji organoleptik dan
tahap lanjutan dilakukan analisis zat gizi dan sifat fisik kerupuk yang terpilih.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), data hasil uji
organoleptik dianalisis secara deskriptif dan statistik non parametrik Friedman, jika
hasil analisis menunjukan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan Multiple
Comparison Test (MCT). Sedangkan data kandungan zat gizi dan sifat fisik dianalisis
dengan Sidik Ragam ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan
menggunakan Statistical Analysis System (SAS). Hasil analisis kandungan zat gizi
mulai dari kontrol masing-masing kadar protein 1.46, 3.50, 4.61, 3.28 dan 6.45 g;
lemak 20.95, 19.38, 16.34, 11.51dan 11.05 g; KH 74.62, 74.46, 76.07, 82.26 dan
79.69g; kalori 493.03, 486.23, 469.79, 445.71 dan 444.01 kkal; abu 2.94, 2.66, 2.98,
2.96 dan 2.81%; air 5.51, 5.23, 5.15, 4.69 dan 4.89%. Sedangkan hasil analisis sifat
fisik meliputi: pengembangan luas 158.67, 145.67, 103.77, 68.99 dan 57.64%; tingkat

lvii
kekeraan 128.35, 121.60, 92.10, 100.65 dan 91.35 mm/g/10detik; rendemen 44.77,
45.13, 48.80, 51.84, dan 56.31%; penyerapan minyak 0.19, 0.18, 0.13, 0.09 dan
0.07g; rasio jumlah lemak 18.71, 18.25, 13.43, 9.16 dan 7.48%. Hasil organoleptik
penambahan tempe memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesukaan
warna, aroma, rasa dan kerenyahan. Penambahan tepung tempe dan tempe segar pada
pembuatan kerupuk singkong dari bahan tepung dan bahan segar dapat meningkatkan
kadar protein dan KH, sedangkan kadar lemak, kalori, abu dan air mengalami
penurunan dibandingkan dengan kontrol. Penambahan tempe 10 % dan 20% mendapat
penerimaan dan pengembangan tertinggi

C15
Pola Makan dan Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar

A. Mushawwir Taiyeb
Pusat Penelitian Makanan Tradisional, Gizi dan Kesehatan
Universitas Negeri Makassar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola makan dan status gizi anak usia
SD. Dipilih 2 SD di Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan, yaitu murid SDN 63 yang
berjumlah 135 orang, dan murid SD “M” 3 yang berjumlah 140 orang. Data diperoleh
dengan observasi langsung yaitu pola makan siswa diukur berdasarkan beda jenis
konsumsi (BJK) dan status gizi berdasarkan antropometri yaiti ukuran berat badan dan
tinggi badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) secara umum kualitas pola
makan murid SDN 63 Pare-pare dikategorikan sedang (BJK 5 - 7), sedangkan di SD
“M” 3 dikategorikan baik (BJK < 11); 2). Secara umum status gizi pada kedua SD
tersebut dalam kategori baik (lebih dari 55%). Namun demikian, masih ada murid yang
berstatus gizi sedang (sekitar 40%), bahkan ada yang berstatus gizi kurang (lebih dari
1%).

C16
Induksi biohormon terhadap karakteristik mutu gizi buah

Ni Putu Gustini, I Komang Agusjaya


Jurusan Gizi, Poltekkes Denpasar

Biohormon merupakan campuran berbagai hormon tumbuh seperti sitokinin,


kinetin dan giberelin dengan berbagai macam mineral. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik mutu gizi buah tomat yang diinduksi biohormon yang
dibudidayakan dalam polibag dengan media dasar pupuk kandang. Jenis penelitian
adalah eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktor yaitu
pemberian biohormon dan tanpa biohormon pada tanaman tomat varietas Roma V.F.
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga secara keseluruhan
terdapat 6 unit percobaan. Analisis Karakteristik mutu kimia buah tomat meliputi:
analisis kadar air buah tomat matang, kadar total asam, kadar gula reduksi, kadar
vitamin C, dan kadar karoten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buah tomat yang
diinduksi biohormon secara rata-rata memiliki kadar air sebesar 92.32%, kadar total
asam sebesar 0,1467%, kadar gula reduksi sebesar 3.2167%, kadar vitamin C sebesar
44.17% dan kadar karoten sebesar 13877.70 SI, sedangkan yang tanpa induksi
biohormon memiliki kadar air sebesar 92.61% kadar total asam sebesar 0,1563%,

lviii
kadar gula reduksi sebesar 3.2700%, kadar vitamin C sebesar 36.93% dan kadar
karoten sebesar 11777.83 SI. Ternyata kadar air buah tomat, kadar gula reduksi dan
kadar total asam yang diinduksi biohormon sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak diinduksi dan berbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Perlakuan
pemberian biohormon pada tanaman tomat (Lycopersicum essculentum varietas Roma
V.F.) ternyata hanya mampu meningkatkan karakteristik gizi buah tomat khususnya
kadar vitamin C dan kadar karoten tetapi peningkatannya tidak bermakna secara
statistik.

C17

Pengetahuan tentang Makanan Jajanan dan Perilaku Jajan Siswa


(Studi di SDN Kedurus IV, Kecamatan Karang Pilang, Surabaya)

Niken Kirana Sari dan Inong Retno Gunanti


Fakultas Kesehatan Masyarakat – Universitas Airlangga

The outbreak of food poisoning often happens especially on the elementary


school (ES) children because they buy snacks which are expired or unhealthy.
Theoritically, knowledge is a very important element which influencing someone’s
behaviour. Selecting unhealthy snack might be caused by lack of knowledge about
snack that can influence their snacking habit. The purposes of this study were (1) to
describe student’s knowledge about snacks based on gender and availability of
information that correlation with student’s knowledge about snacks, (2) to describe
family’s and school’s influences that corellation with student’s knowledge about
snacks, (3) to describe student’s snacking behaviour based on gender, and (4) to
analyze correlation between student’s knowledge about snacks and their snacking
behaviour. This study was an observasional and conducted cross-sectionally. The data
were primarily taken from interview supported by questioners and observation and
secondary from interrelated institution (BPOM and literature). The population of this
research were students of third, fourth and fifth grades from Kedurus IV ES, Karang
Pilang subdistrict, Surabaya, school year 2004/ 2005, totally 136 students. Sample unit
was students of third, fourth and fifth from this school with total of 57 students who
were chosen by Proportional Random Sampling method. The result of this study
showed 56 % of girls had a good knowledge about snacks, 77 % of students got
information about snacks from television, 91 % of students said that their parents gave
information about snacks, 96 % of students said that their teachers gave information
about snacks, 67 % of girls had good snacking behaviour. There was an association
between student’s knowledge about snacks and student’s snacking behaviour by using
chi square test (p< 0.001). For increasing student’s knowledge, the students need more
information about snacking behaviour and unhealthy snacks.

lix
C18

Socio-economic status, Parent’s Height, Length at Birth


and School Entrance Height in Palangkaraya

Norliani, Toto Sudargo, R. Budiningsari


DPD Persagi Kalteng

Stunting among children as measured by school entrance height is highly prevalent in


Central Kalimantan (50.54%). This condition is obviously showed by their short
statures which are below the national avarage. Average height among boys is 108.6
cm and girls is 107.7 cm while the national average shows 114.9cm and 114.0cm
respectively. Although there is a trend of increasing secular trend of height mostly in
Palangkaraya, but yet those are still below the national average. The objectives of this
study is to determine the association of socio-economic factor, parent’s height and
length at birth with school entrance height among primary school children in
Palangkaraya, Central Kalimantan. The design of the study is a case control study.
Subjects were 96 stunted children as cases and 192 non stunted children as control. The
age is between 5 - 7 years old. Variables colllected were socio-economic status
(income and education), school entrance height, length at birth, and parent’s height and
their association with stunting and non stunting. The results there was significantly
association (p<0.25) between family’s income (OR 3.0, CI 1.69-5.38), father’s
education level (OR 2.15, CI 1.29-3.54), mother’s education level (OR 3.4, CI 2.04-
5.68), father’s height (OR 2.1, CI 1.28-3.61), mother’s height (OR 2.2, CI 1.33¨C 3.76)
and length at birth (OR 2.35, CI 0.96-5.76) with stunting among children and those
variales were the risk factor of stunting among children. Logistric regression model
showed that the most important risk factor of stunting (p<0,05) is mother’s education
level (OR 2.79 CI 1.42-5.48). The concIusion is that family’s income, family’s
education, parent’s height and length at birth associated significantly with school
entrance height among primary school children. The most important risk factor is
mother’s education level.

C19
Gambaran Asupan Protein dan Tingkat Stres Berdasarkan
Urea Urin Nitrogen (UUN) pada Pasien Stroke
yang Dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin
(Kasus Seri)

Rijanti Abdurrachim
Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Banjarmasin

Masalah pada pasien stroke adalah asupan makan yang tidak adekuat karena
kesulitan menelan ditambah dengan keadaan penyakitnya yang akan menyebabkan
timbulnya masalah gizi dalam masa perawatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
gambaran asupan protein dan tingkat stress berdasarkan Urea Urin Nitrogen (UUN)
pada pasien stroke. Metode penelitian adalah deskriptif kasus seri dengan cara
observasional. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata asupan protein pada 3 pasien
adalah 36.8, 23.6, dan 25.42 gram dengan UUN masing-masing adalah 15.08 g/24 jam,
21.42 gr/24 jam, 24.21 gr/24 jam dan imbang nitrogen negative. Kesimpulan penelitian

lx
adalah ketiga pasien stroke mengalami gradasi stress tingkat berat yang ditunjukkan
dengan nilai UUN > 15 dan mengalami keseimbangan nitrogen negatif. Perlu perhatian
dari anggota Asuhan Nutrisi untuk lebih cepat meningkatkan asupan makan pasien
stroke dengan modifikasi diet yang tepat sesuai dengan kemampuan pasien untuk
menelan.

C20

Ukuran Tubuh dan Umur Menarche Siswi Sekolah Swasta, Jakarta Timur

Roza Armelia Hasye, Idrus Jus’at dan Nils Aria Zulfianto


Jurusan Gizi, Poltekkes Jakarta II dan Program Studi Ilmu Gizi, UIEU, Jakarta

Menarche ialah menstruasi pertama pada anak perempuan, yang dipandang


sebagai tanda permulaan masa pubertas. Menarche biasanya terjadi pada usia 9 – 17
tahun. Faktor – faktor yang terkait dengan menarche antara lain status gizi. Tujuan
penelitian adalah untuk mengidentifikasi median umur menarche dan keterkaitannya
dengan ukuran tubuh. Ukuran tubuh meliputi berat badan (BB), tinggi badan (TB),
lingkar lengan atas (LLA), lingkar pinggang (Lipa),dan lingkar pinggul (Lipi). Sampel
penelitian adalah siswi SD kelas IV,V,VI dan SMP kelas I, II, III sekolah swasta di
Jakarta Timur yang berumur berumur 9 – 14 tahun. Besar sampel pada penelitian ini
adalah 348 siswi dengan Z = 95%, b = 5 %, π = 0.25. Analisa statistik yang digunakan
adalah ‘hazard function’, uji-t dan regresi linear. Dari 360 siswi sampel, dengan analisa
‘hazard funtion’ didapatkan median umur menarche 133 bulan (95% CI: 132 – 134
bulan). Rata-rata BB = 42.4 kg (+10.5), TB = 147,8 cm (+9.5), LLA = 22,7 cm (+3.1),
Lipa = 67 cm (+8,1), dan Lipi = 83,9 cm (+ 9,4). Terdapat perbedaan indeks massa
tubuh (IMT) yang signifikan antara siswi yang sudah dan belum menarche (p<0.05).
Juga ditemukan perbedaan ukuran tubuh lainnya (BB, TB, LLA, Lipa, dan Lipi yang
bermakna antara siswi yang sudah dan belum menarche (p=0.001). Hasil analisa
regresi linier menunjukkan semakin lambat umur menarche semakin rendah IMT.

C21
Cakupan kapsul vitamin A untuk bayi dan balita di Indonesia

Sandjaja12, Titiek Setyowati2, Sudikno1


1
Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor; 2Tim Surkesnas, Jakarta

Prevalensi kurang vitamin A (KVA) pada balita berdasarkan bercak Bitot(


X1B) di Indonesia sudah dapat diturunkan dari 1.33% (1978) menjadi 0,34% (1992).
Walaupun demikian KVA tingkat subklinis (serum retinol < 20 µg/dL) masih 50%,
sehingga distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi masih tetap diperlukan yang
ditargetkan mencapai 80% untuk mencegah risiko xerophthalmia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui cakupan kapsul pada balita. Penelitian dilakukan dengan
analisis data sekunder yang tersedia dalam Susenas 2004 Modul. Sampel adalah balita
termuda dalam rumahtangga yang mendapatkan kapsul dalam 1 tahun terakhir.
Variabel yang dianalisis adalah penerimaan kapsul, jumlah kapsul, umur balita, dan
daerah. Dari 21.932 balita termuda dalam rumahtangga, 63,3% menerima kapsul

lxi
vitamin A dalam 1 tahun terakhir, 29,6% tidak pernah dan 7,1% tidak tahu. Cakupan
kapsul paling rendah terdapat di provinsi Maluku 34,1%) dan tertinggi di DI
Yogyakarta (75,8%). Menurut daerah, cakupan lebih tinggi di daerah perkotaan
(68,1%) dibandingkan perdesaan (59,5%). Tidak terdapat perbedaan berarti cakupan
dan frekuensi penerimaan kapsul menurut umur balita kecuali pada umur 6-11 bulan
yang lebih tinggi 1 kali pemberian kapsul. Ada tren bahwa makin rendah tingkat sosial
ekonomi (yang dihitung pengeluaran per kapita kuintil-1) makin rendah pula cakupan
kapsul. Untuk meningkatkan cakupan kapsul, target balita dari keluarga miskin yang
tinggal di perdesaan perlu mendapatkan prioritas tinggi karena risiko KVA yang besar
pada kelompok tersebut tetapi cakupannya rendah.

C22
Distribusi dan konsumsi pil besi untuk bumil di Indonesia

Sandjaja12, Dwi Hapsari2, Sudikno1


1
Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor; 2Tim Surkesnas, Jakarta

Prevalensi anemia masih cukup tinggi di Indonesia. Hasil SKRT 2001


menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 41,1%. Prevalensi tersebut
bervariasi, lebih tinggi di kawasan Jawa-Bali dibanding Sumatera dan KTI, dan lebih
tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Diperlukan cakupan distribusi pil besi dan
kepatuhan yang tinggi pada ibu hamil untuk mengatasi anemia. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui cakupan pil besi dan kepatuhan meminumnya. Penelitian dilakukan
dengan analisis data sekunder yang tersedia dalam Susenas 2004 Modul. Sampel
adalah ibu dari balita termuda dalam rumahtangga dan mempunyai riwayat minum pil
besi. Variabel yang dianalisis adalah pernah minum pil besi selama hamil, jumlah pil
besi yang diminum, pemeriksaan antenatal, dan asal daerah. Dari 21.236 ibu balita,
67,7% pernah minum pil besi sewaktu hamil balita termuda, terendah di provinsi
Maluku (50,6%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (85,5%). Dengan demikian target
cakupan 80% belum tercapai. Dari ibu hamil yang pernah minum pil besi, tingkat
kepatuhan untuk minum 90 pil masih rendah yaitu hanya 19,9%, sedangkan sebagian
besar kurang dari 90 pil (49,9%) dan tidak tahu (30,1%). Kepatuhan terendah di
provinsi Sulawesi Tengah (5,7%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (40,3%). Hasil
analisis juga menunjukkan bahwa kepatuhan minum pil besi makin tinggi seiring
dengan makin tingginya frekuensi pemeriksaan antenatal dan meningkatnya sosial
ekonomi rumahtangga. Untuk kesehatan ibu hamil dan bayinya, selain peningkatan
cakupan pil besi, diperlukan upaya peningkatan kepatuhan ibu hamil minum pil besi
melalui KIE gizi.

C23
Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Ibu Rumah Tangga
dalam Memilih Pangan Kemasan Berlabel
(Studi pada Ibu Rumah Tangga yang Berbelanja
di Supermarket SI, Surabaya Plaza)

Siti Nurrohmah, Inong Retno Gunanti


Fakultas Kesehatan Masyarakat – Universitas Airlangga

lxii
Food products distributed in Indonesia must comply with rules and regulations set by the
government. However, Indonesian Food and Drug Administration (BPOM) in 1999 revealed that 13.7%
of food products not comply in food labelling. On the other hand, the knowledge of consumers on
labeling of food products is still questionable. Housewife plays important role in determining food
purchasing selection. Therefore, improving KAP on food product labelling would improve appropriate
selection of food products available in the market. The objective of this study was to determine KAP of
consumers on food product labelling. Exit survey of 59 selected housewives at a supermarket in
Surabaya was taken for the study. Variables collected were characteristics of the samples, KAP on food
labelling, source of information, and labelled food products frequently bought by using pretested
questionaires. The study found that most commonly labelled food products bought was milk and milk
products (52.5%), instant nooddles (35.6%), and snacks (33.9%), where almost half of them (47.5%)
was bought 4 or more times in a month. The samples had poor knowledge (81.4%), good attitude
(91.5%), and moderate practice (67.8%) on food labelling. Information about food labelling mostly
comes from television/ radio (77.9%) and daily newspaper/ magazine (47.5%). Poor knowledge was on
the definition of food labelling, information needed on the label, type of food product excepted,
ingredient and nutrient composition, and production code. The best practice in purchasing food product
was in considering expired date, but poor practice on net weight of the product, nutrient content , and
registration number.

C24
Gambaran Pola Konsumsi Makanan pada Wanita Usia Subur (WUS)
di Provinsi Bali

Sri Prihatini, Vita Kartika, Iman Sumarno


Puslitbang Gizi dan Makanan, Bogor

Pola konsumsi makanan kelompok masyarakat di suatu wilayah perlu dipelajari untuk
menduga keadaan gizi masyarakat serta merancang upaya untuk perbaikan gizi. Kombinasi
konsumsi makanan selama 24 jam dan frekuensi konsumsi makanan dapat menggambarkan
kebiasaan konsumsi makanan masyarakat di suatu wilayah. Penelitian ini menyajikan data pola
konsumsi makanan pada WUS di propinsi Bali. Disain penelitian adalah cross-sectional, dilakukan
di dua kabupaten yaitu Tabanan dan Gianyar, kemudian masing-masing kabupaten dipilih satu
kecamatan. Selanjutnya di tiap kecamatan terpilih, dipilih 3 desa secara purposif dan di tiap desa
dipilih dua (2) Rukun Warga (RW) secara acak. Sampel penelitian adalah WUS dengan kisaran
umur 15-45 tahun. Jumlah sampel 189 orang dipilih secara acak sederhana. Data yang dikumpulkan
adalah konsumsi makanan dengan metode recall 24 jam dan Food Frequency Semi kuantitatif
(FFQ), sosial ekonomi, dan antropometri. Berdasarkan keadaan sosial ekonominya, sebagian besar
(56%) pengeluaran rumah tangganya digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan. Tingkat
pendidikan tertinggi yang dicapai oleh WUS adalah lulus SLTP dan SLTA yaitu sebanyak 62,5 %.
Beras merupakan sumber karbohidrat yang utama (100%, setiap hari), menyusul mie dan umbi-
umbian (3,2%). Konsumsi makanan sumber protein hewani terbanyak adalah daging ayam dan
daging babi dengan perincian masing masing 25,9% dan 19%. Untuk sumber protein nabati terutama
tahu dan tempe sebanyak 85.2% WUS mengkonsumsimya setiap hari. Bahan makanan sumber
vitamin dan mineral yang dikonsumsi adalah sayuran dan buah masing masing 44,4% dan 51,9%
setiap hari. Tingkat kecukupan rata-rata konsumsi energi dan protein masing masing sebesar 76 %
dan 98 % . Status gizi WUS berdasarkan BMI menunjukkan rata-rata nilai BMI WUS adalah 23.6.
Pola konsumsi WUS di propinsi Bali bervariasi, dengan frekuensi makan rata-rata 3 kali sehari.
Tingkat kecukupan rata-rata konsumsi energi masih kurang dari 80% dan protein sudah mencukupi.
Status gizi WUS berdasarkan BMI berada pada keadaan normal.

lxiii
C25

Pengetahuan dan Pemahaman Petugas Kesehatan dan Kader Tentang Kapsul


Vitamin A serta Manfaat Pemberian Kapsul Vitamin A untuk Ibu Nifas

Sri W. Sukotjo1, Dorothy Foote1, Elviyanti Martini1, Siti Halati1,


Sunarko2, Saskia de Pee3
1
Helen Keller International Indonesia, 2Ministry of Health/Government of Indonesia (GOI),
3
Helen Keller International Asia-Pacific Regional Office, Singapore

Suplementasi kapsul vitamin A untuk ibu nifas telah menjadi kebijakan dari Depkes RI
sejak tahun 1992. Sistem Pemantauan Gizi dan Kesehatan yang dilaksanakan oleh
HKI/Depkes pada tahun 2003 menunjukkan variasi angka cakupan antara 2-37%.
Dengan demikian perlu suatu peningkatan upaya agar ibu nifas mendapatkan
suplementasi kapsul vitamin A. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi
pengetahuan petugas kesehatan dan kader mengenai kebijakan terkini dari
suplementasi kapsul vitamin A untuk ibu nifas. Penelitian ini sebagai bagian dari
survei awal sebelum dilaksanakannya program pilot suplementasi kapsul vitamin A
untuk ibu nifas Depkes RI/HKI dengan cara wawancara kepada 389 petugas kesehatan
di Kabupaten Bangkalan, Cirebon dan Pandeglang. Hasilnya menunjukkan lebih dari
90% Bidan Koordinator, Bidan Desa dan TPG di Puskesmas mengetahui bahwa kapsul
biru diperuntukkan bagi bayi 6-11 bulan, dan kapsul merah untuk anak 1-5 tahun.
Walaupun begitu hanya 41%-60% yang mengetahui bahwa kapsul merah juga
diperuntukkan bagi ibu nifas. Pengetahuan mengenai manfaat kapsul vitamin A untuk
ibu nifas menunjukkan 52-77% petugas kesehatan menjawab bahwa vitamin A
bermanfaat untuk mata, 10-45% untuk kualitas ASI, dan 19-40% untuk kesehatan ibu.
75% dari bidan desa juga melaporkan bahwa di wilayah kerja mereka telah ada
program suplementasi kapsul vitamin A untuk ibu nifas. Dari mereka yang memiliki
program tersebut, hanya 20% bidan desa yang mengetahui bahwa manfaat dari vitamin
A untuk ibu nifas adalah untuk kualitas ASI dan hanya 25% yang menyatakan untuk
kesehatan ibu. Perlu upaya meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan sebagai
bagian penting dari program capacity building untuk meningkatkan cakupan kapsul
vitamin A untuk ibu nifas.

C26

Pengaruh PMT-Pemulihan dengan Formula WHO/Modifikasi Terhadap Status


Gizi Anak Balita KEP di Kota Malang
(The effect of Supplementary Feeding by Formulated WHO/Modification to the
Nutritional Status of Under-Five Years Children PEM in Malang District)

Sugeng Iwan Setyobudi, Astutik Pudjirahaju, Bachyar Bakri


Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan, Malang

The objectives of this study was to analysis the effect of supplementary feeding
by formulated WHO/Modification to the nutritional status of under-five years old
children suffering protein-energy malnutrition (PEM) in Malang District. This study
consist of 31 samples of children suffered PEM in region of Puskesmas Bareng in
Malang District. Supplemental food was given for 90 days during March – October
2003. The first step was making/compilation of formulated WHO/Modification as

lxiv
according to the Guide Book for Handling Under-Nutrition, continued with process of
given and evaluate result Gift of Side Dish with minimum composition one day, it
contains 350 – 400 Calorie and 10 – 15 gram protein. The results indicated that the
average energy and protein formula were 394,47 Calorie and 11,94 gram, that
contributes 23,20 - 32,87% from total requirement of energy and 44,22 - 59,7%
protein. The result of anthropometrics, show that 90,31% childrens gained body weight
between -0,01 to 0,02 kg (mean 0,65). There was a significant relation between in
creased of weight with supplementary feeding by formulated WHO (Y=0,0471X +
9,2795). The average consumption of energy was contributes 93,29% from total
requirement (RDA). 58,1% childrens showed deficit energy intake, and 71% of them
had protein intake higher than RDA (mean 140,7% from RDA). The final of this study
indicated that most of childrens (58,06%) suffer under nutrition, 22,58% care in good
nutrition and 19,35%. The result of linear regression test showed that there was a
significant relation between nutritional status with supplementary feeding by
formulated WHO. It is recommended that handling of supplementary feeding program
should be conducted, for efficient and correct of target. Increase of health service also
be conducted, and motivation of mothers to monitor their children growth should be
priorities as well.

C27

Hubungan Subjective Global Assesment dengan Asupan Makan


pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Dialisis Peritoneal Mandiri
Berkesinambungan di RS. Dr. Sardjito Yogyakarta

Susetyowati12, Maulida Wiyanthi1, Ulfatul1


1
Nutrition Department, Faculty of Medicine Gadjah Mada University
2
General Hospital Sardjito Sardjito Yogyakarta

Gizi kurang merupakan indikator angka kesakitan dan kematian untuk pasien
dialisis. Subyektif Global Assessment (SGA) digunakan untuk menentukan status gizi
pada pasien Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan (DPMB) dan dikenal
sebagai metode penilaian status gizi yang aman dan biaya yang relatif murah. Ingin
diketahui hubungan antara asupan energi dan protein dengan status gizi berdasarkan
SGA pada pasien penyakit Ginjal Kronik (PGK) dengan DPMB di RS. Dr. Sardjito
Yogyakarta. Pengambilan data dilaksanakan bulan agustus sampai september 2004.
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita PGK dengan DPMB di Instalasi Renal
RS. Dr. Sardjito Yogyakarta dengan jumlah sampel 25 orang. Data asupan energi dan
protein diperoleh dengan menggunakan formulir recall 24 jam selama 3 hari,
sedangkan penilian SGA dengan menggunakan formulir riwayat kesehatan dan fisik.
Hasil skoring SGA, dikelompokkan menjadi SGA A (status gizi baik), SGA B (status
gizi kurang tingkat ringan dan sedang) serta SGA C (status gizi kurang tingkat berat)
Hasil : Dari penelitian ini diketahui 60% pasien asupan energi kurang (< 35 kkal/kg BB/hari) dan
52 % asupan protein kurang (< 1,3 g/kg BB/hari). Hasil penilaian status gizi, 48 % pasien dengan
SGA A dan 52% pasien SGA B dan C. Adanya hubungan yang bermakna antara asupan energi dan
status gizi dengan parameter SGA (p<0,05).

lxv
C28
Penanggulangan Gizi Buruk di Era Desentralisasi:
Pemerintah Daerah harus Jadi Pemain

Toto Suharto
Mahasiswa S-2 IKM UGM, Ketua Persagi DPC Sleman DIY

C29

Perbedaan Persepsi dan Daya Terima Pemberian Putih Telur


dan Ekstrak Ikan Lele (Clarias Gariepinus) Pada Pasien Hipoalbuminemia
di RS dr.Sardjito Yogyakarta

Tri Widyastuti1; M. Dawam Jamil2


1
RS Dr. Sardjito, 2Jurusan Gizi Poltekkes, Yogyakarta

Di Indonesia, data hospital malnutrition menunjukkan 40-55% pasien mengalami


hipoalbuminemia atau berisiko hipoalbuminemia, 12% diantaranya hipoalbuminemia
berat. Masa rawat inap pasien dengan hospital malnutrition 90% lebih lama dibanding
dengan pasien gizi baik. Salah satu cara penanganan hipoalbuminemia yaitu
memberikan serum albumin dari luar tubuh. Survei pada Januari 2004 di IRNA I RS
Dr Sardjito terdapat 30 dari 197 pasien di lantai-1 (15,2%) yang menderita
hipoalbuminemia. Penanganan pasien hipoalbuminemia di RS dr. Sardjito dilakukan
dengan pemberian putih telur sebagai sumber albumin. Pemberian sumber albumin
selain putih telur, yakni ekstrak lele sebagai alternatif sumber albumin. Konsumsi
makanan dipengaruhi oleh persepsi dan daya terima pasien terhadap makanan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekstrak ikan lele sebagai alternatif sumber
albumin ditinjau dari aspek rasa dan penampilan masakan serta daya pada pasien
hipoalbuminemia. Desain penelitian adalah quasi-eksperimen dengan pendekatan post
test. Pemilihan sampel secara ”randomisasi sistim blok”. Sampel dibagi dalam 2
kelompok, 25 pasien diberi putih telur sebagai kelompok kontrol dan 25 pasien diberi
ekstrak lele sebagai kelompok perlakuan. Pengukuran persepsi dengan menggunakan
formulir penilaian, dan daya terima ekstrak lele dan putih telur diukur sisa makanan
yang disajikan. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik sampel adalah proporsi
wanita lebih banyak, tingkat pendidikan terbesar tamat SD, sebagian besar dirawat di
kelas III, proporsi dewasa lebih besar dibanding manula. Tidak terdapat perbedaan
signifikan pada persepsi aspek rasa dan penampilan masakan antara putih telur dan
ekstrak lele. Daya terima ekstrak ikan lele 20,7 persen lebih tinggi secara signifikan
(p<0,05) dibanding daya terima putih telur. Dengan demikian ekstrak ikan lele dapat
digunakan sebagai alternatif sumber albumin selain putih telur atau sebagai variasi/
selingan pemberian sumber albumin selain putih telur.

lxvi
C30

Deteksi Dini Kretin Baru dalam Surveillans


GAKY
Untung S. Widodo, Hadi Ashar, Yudha Patria
Balai Penelitian GAKY, Magelang

Kretin adalah manifestasi dari hypothyroid dalam kondisi paling berat yang
berkelanjutan. Dampak yang nyata adalah munculnya hambatan pertumbuhan dan
perkembangan pada usia anak-anak. Sebagaimana spectrum GAKY berupa
hipothyroid, dapat diderita semua kelompok umur maka manifestasi berat yang
beresiko munculnya kretin adalah apabila terjadi pada usia pertumbuhan. 0-18 tahun.
Salah satu ultimate goal program penanggulangan GAKY adalah tidak munculnya
kretin baru. Untuk itu diperlukan cara mendeteksi adanya kretin baru. Kegiatan
pemantauan berkala, deteksi dini maupun intervensi dalam surveilans GAKY sangat
nyata diperlukan dalam program penanggulangan GAKY khususnya kretin. Tersedia
form skrening mulai neonatus, usia bayi, batita, balita hingga usia sekolah . Kumpulan
gejala-gejala klinis yang muncul sejak lahir atau muncul kemudian setelah usia tertentu
dapat digunakan dimasyarakat sebagai alat skrening, sebelum dilakukan penegakaan
diagnosa menggunakan data laboratotium, TSH, T4 dan T3 atau pemeriksaan rongent
kematangan tulang yang merupakan goal standard kepastian Hypothyroid.. Hanya
pada anak-anak dengan tanda-tanda tersebut yang perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Kegiatan ini memudahkan petugas puskesmas maupun bidan didesa mendeteksi
dan akan banyak menghemat biaya daripada langsung pemeriksaan TTSH pada semua
bayi baru lahir. Apabila kegiatan ini dapat dilakukan berkelanjutan untuk semua bayi
baru lahir, maupun anak-anak yang sedang tumbuh didaerah endemik, maka jumlah
kretin baru setiap saat dapat diketahui, selanjutnya pencegahan dan pengobatan dapat
dilakukan dengan segera.

C31
Penatalaksanaan Gizi Buruk
(Studi Kasus)

Wahyu Hardi Prasetio


Instalasi Gizi, RSUD Ulin, Banjarmasin

Walaupun pemerintah Indonesia berupaya menanggulangi gizi buruk namun


masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. WHO menyebutkan bahwa 54%
angka kematian pada balita disebabkan karena gizi buruk. Di Indonesia, diperkirakan
ada sekitar 350 ribu bayi BBLR (dibawah 2500 gram), sekitar 6,7 juta balita gizi
kurang (BB/U <-3.0SD) dan 1,5 juta di antaranya gizi buruk (BB/TB <- 3.0SD) yang
memerlukan penanganan serius. Di Kalimantan Selatan, khususnya Kota Banjarmasin
dari bulan Januari s/d Juli 2005 ditemukan 42 kasus gizi buruk yang di rawat di RSUD
ULIN Banjarmasin, 5 orang meninggal dan 37 orang penderita pulang dalam
perawatan, monitoring pihak puskesmas. Tujuan studi kasus ini untuk memberikan
makanan yang adekuat agar penderita dapat memperbaiki status gizi dan kesehatan
menjadi lebih baik secara bertahap. Metodologi berupa studi kasus pada 1 orang
penderita gizi buruk yang dirawat di bangsal Anak RSUD ULIN Banjarmasin selama

lxvii
8 hari, dengan menggunakan alat dan bahan berupa : microtoise, ukuran tinggi badan,
ukuran berat badan, ukuran timbangan bahan makanan 2 kg, tepung susu skim,
minyak, gula pasir. Pemberian makanan /Modisco I secara bertahap dimulai dari 1200
sampai 1820 Kkalori, yang diberikan 12 kali lewat oral dalam 5 hari berturut-turut
dengan kebutuhan yang dianjurkan 1 – 1,5 gr/kgBB. Hasil pengamatan selama
pemberian modisco I secara bertahap 5 hari terjadi peningkatan asupan yang berarti.
Penderita sangat menyukai modisco terbukti konsumsi yang diberikan dimakan habis.
Pada awal nilai z-score 56% (KEP berat) naik menjadi 61% (KEP berat) pada hari ke 5
sehingga terjadi perbaikan status gizi walaupun masih KEP berat. Orangtua pasien juga
membantu dengan memberikan motivasi untuk kesembuhan pasien. Kesimpulan
terjadinya perubahan berat badan setelah diberikan modisco I secara bertahap. Saran
dalam penanganan kasus sebaiknya bukan hanya intake makanan, berat badan yang
dimonitor tetapi juga data klinis yang menunjang perkembangan kemajuan penderita.

C32
Pembuatan Chips tempe dari Kedelai Lokal (Willis)
dan Impor (Amerika) dengan Variasi Waktu Fermentasi

Wiwit Estuti
Jurusan Gizi Poltekkes Padang

Tujuan dari pembuatan chips tempe adalah untuk memberikan nilai tambah
tempe. Pada penelitian ini pembuatan tempe menggunakan dua jenis kedelai (impor
dan lokal) dan tiga waktu fermentasi (30 jam, 32 jam, dan 34 jam). Pembuatan tempe
dengan menggunakan metode II adalah metode terbaik. Proses selanjutnya setelah
tempe jadi, tempe diiris, dikukus, dan dioven. Variasi kedelai dan waktu fermentasi
sangat berpengaruh terhadap uji organoleptik (rasa). Enam sampel chips tempe
dianalisa mutu kimianya. Hasil dari mutu kimia dari chips tempe yang dibuat
mempunyai kandungan kadar air antara 3.61 - 5.55% (wb), kandungan kadar abu
antara 2.00 - 2.36 % (db), kandungan lemak antara 21.17 -27.48% (db), kandungan
protein antara 26.83-33.75% (db), dan kandungan karbohidrat antara 37.12 - 40.60%
(db). Dan mutu fisik dari chips tempe mempunyai tektur 3.00 - 5.97 (Kg/mm/gram
contoh).

lxviii
Pengurus DPP PERSAGI Pusat, DPD PERSAGI Provinsi Bali,
Panitia Pelaksana Temu Ilmiah – Kongres PERSAGI XIII – Festival
Gizi mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para :

• Sponsor
• Donatur
• Semua pihak lain

yang telah membantu dalam pendanaan, pemikiran, tenaga, dan


bantuan lainnya dalam pelaksanaan Temu Ilmiah – Kongres
PERSAGI XIII – Festival Gizi di Grand Inna, Bali Beach, Sanur, Bali
pada tanggal 20 – 24 November 2005 sehingga dapat diselenggarakan
dengan baik dan sukses.

1. PT Danone Biscuit Indonesia


2. PT Garuda Food
3. PT Gizindo
4. PT Kimia Farma
5. PT Kalbe Farma divisi Diabetasol
6. PT Focus Distribusi Indonesia
7. PT Nestle Indonesia (Dancow dan Nutren)
8. PT Sungai Budi
9. PT Cipta Rasa

lxix

Vous aimerez peut-être aussi