Vous êtes sur la page 1sur 3

(17 Des 04) Hak-Hak Anak Indonesia Belum Terpenuhi

29 Dec 2004

Saat ini hak-hak anak Indonesia masih belum terpenuhi dan kebutuhan dasar anak belum seluruhnya diwujudkan. Hal ini dapat dilihat dengan masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) yang berada pada peringkat 112 dari 174 negara. Di tingkat ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia 35 per 1.000 kelahiran hidup yaitu hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi Malaysia, hampir 2 kali dibandingkan dengan Thailand dan 1,3 kali dibandingkan dengan Philipina. Demikian penegasan Menkes DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP, pada pembukaan seminar sehari Peran Ibu dan Bapak Dalam Tumbuh Kembang Anak yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Ibu ke-76 di Jakarta tanggal 16 Desember 2004. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) 2002-2003, pada skala nasional juga masih terjadi kesenjangan kematian bayi antar provinsi dengan variasi sangat besar yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 103 per 1.000 kelahiran hidup (tertinggi) dan provinsi D.I. Yogyakarta mencapai 23 per 1.000 kelahiran hidup (terendah ), kata Menkes. Sekitar 57% kematian bayi tersebut terjadi pada bayi umur dibawah 1 bulan dan utamanya disebabkan oleh gangguan perinatal dan bayi berat lahir rendah. Menurut perkiraan, setiap tahunnya sekitar 400.000 bayi lahir dengan berat rendah (BBLR=Berat Badan Lahir Rendah). Menurut Menkes, kalau bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg pada umur kehamilan yang cukup, maka anak tersebut nantinya pada umur 40 tahun (kalau dapat mencapai usia itu) akan menderita penyakit jantung, darah tinggi maupun diabetes. Dengan demikian setiap tahun akan terdapat sekitar 400.000 calon-calon penderita penyakit degeneratif. Ditambahkan oleh Menkes, selain gangguan pada masa perinatal, tingginya angka kematian bayi tersebut juga disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan akut, diare, malaria dan campak. Disamping itu, masalah gizi di Indonesia juga masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Pada tahun 2003 terdapat sekitar 6,7 juta Balita (27,3%) menderita gizi kurang dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Anemia gizi besi dijumpai pada sekitar 8,1 juta anak. Apabila dikaitkan dengan pemberian air susu ibu (ASI) Eksklusif, saat ini praktik menyusui di Indonesia cukup memprihatinkan. Menurut SDKI tahun 1997 dan 2002, lebih dari 95% ibu pernah menyusui bayinya, namun yang menyusui dalam 1 jam pertama cenderung menurun dari 8% pada tahun 1997 menjadi 3,7% pada tahun 2002. Cakupan ASI Eksklusif 4 bulan sedikit meningkat dari 52% tahun 1997 menjadi 55,1% pada tahun 2002. Cakupan ASI Eksklusif 6 bulan menurun dari 42,4% tahun 1997 menjadi 39,5% pada tahun 2002. Sementara itu penggunaan susu formula justru meningkat lebih dari 3 kali lipat selama 5 tahun dari 10,8% tahun 1997 menjadi 32,5% pada tahun 2002. Tingginya angka kesakitan dan gangguan gizi yang diderita oleh bayi dan anak Balita di Indonesia pada saat ini mempengaruhi kualitas remaja, calon ibu dan bapak serta sumber daya tenaga kerja 10-20 tahun mendatang. Oleh karena itu apabila kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak tidak diberikan prioritas dan perhatian khusus maka kondisi bangsa dan negara Indonesia pada tahun 2015-2020 akan semakin terpuruk lagi karena buruknya kualitas SDM. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai ketentuan yang terkait dengan pemenuhan hak anak dan kebutuhan dasar anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal dalam bentuk Undang Undang dan Peraturan Pemerintah, pelaksanaanya sampai sekarang masih belum optimal. Oleh karena itu, Menkes mengajak seluruh peserta seminar terutama dari jajaran kesehatan untuk bersama-sama dengan keluarga, masyarakat dan media massa mendukung peningkatan penggunaan ASI serta upaya pembinaan

kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak di Indonesia. Menkes menyambut baik pelaksanaan ASI Eksklusif 6 bulan karena hal itu merupakan suatu yang ideal bagi anak, tetapi tolong dipertimbangkan hal-hal yang akan membebani kaum ibu. Contohnya ada usulan cuti 6 bulan bagi ibu yang menyusui, sepintas usulan itu baik hati terhadap kaum perempuan. Padahal, kalau perempuan diberikan cuti 6 bulan, maka nanti tenaga kerja perempuan hanyalah tenaga kerja nomor 2. Karena itu Menkes mengharapkan Meneg Pemberdayaan Perempuan untuk membuat petunjuk tentang bagaimana caranya memberdayakan bapak-bapak dalam mendukung ibu menyusui selama 6 bulan. Jangan wanita terus yang menjadi korban, anak harus disusui sampai 6 bulan, nggak pernah menunut bapaknya harus bagaimana. Saat ini banyak kaum ibu menjadi tulang punggung pendapatan keluarga, kalau harus dituntut menyusui anaknya sampai 6 bulan dan di rumah terus padahal dia pekerja harian siapa yang akan memberi makan anak-anaknya, kata Menkes. Oleh karena itu, sekali lagi Menkes minta agar pemberian cuti 6 bulan bagi ibu menyusui itu dipertimbangkan, jangan sampai perempuan menjadi korban. Anak tetap nomor satu dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Di tangan ibu-ibu lah, pendidikan anak bisa berlangsung. Kalau bapak meninggal, masih ada ibu yang setia melindungi anaknya, tetapi kalau ibu meninggal maka anak akan kocar-kacir karena ditinggal kawin lagi. Diakui oleh Menkes, memberdayakan bapak-bapak dalam mendukung tumbuh kembang anak merupakan tugas berat Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Karena itu dalam seminar ini dapat menambah pemahaman dan wawasan dalam mewujudkan Visi Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yaitu anak Indonesia yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas, ceria, berakhlak mulia, terlindungi dan aktif berpartisipasi disamping ibunya yang sejahtera. Seminar sehari diikuti 200 peserta dari jajaran Ikatan Bidan Indonesia di 5 Wilayah DKI Jakarta, DPR-RI, Lintas Sektor dan pengamat masalah tumbuh kembang anak.

Angka Kematian Bayi Stagnan


Oleh redaksi pada Kam, 10/30/2008 - 10:55.

Artikel

Indonesia masih harus berjuang keras untuk memperbaiki indikator pembangunan kesehatan, khususnya tingkat kematian bayi, karena tren angka kematian bayi selama empat tahun terakhir belum menurun. Rata-rata angka kematian bayi pada periode 2003-2007 relatif stagnan di kisaran 34 per 1.000 kelahiran. Kondisi ini menjadi sorotan utama yang disampaikan oleh Dr Budihardja, Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. "Kita perlu mempercepat pencapaian target angka kematian bayi di Indonesia. Berdasarkan target Tujuan Pembangunan Milenium (MGDs), pada tahun 2015 angka kematian bayi adalah 19 dari tiap 1.000 kelahiran," kata Budihardja, di Jakarta, Kamis (23/10). Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa angka kematian bayi pada tahun 1990 tercatat masih mendekati 70, namun lima tahun kemudian tepatnya 1995 angka tersebut berkurang hingga menjadi sekitar 66 bayi tiap 1.000 kelahiran. Penurunan tajam terjadi di periode tahun 1997, di mana angka kematian bayi turun ke level sedikit di bawah 50. Dan kembali penurunan yang signifikan tercapai di tahun 2003, sehingga rasio kematian bayi tiap 1.000 kelahiran adalah 35 bayi. "Angka kematian bayi mengalami penurunan yang tajam antara tahun 1990-2000an, tapi selanjutnya terlihat stagnan," kata dia mengutip data Susenas (Survei Kesehatan Nasional) tahun 2005. Dari total angka kematian bayi yang masih sangat tinggi itu, masih kata Budihardja, sekitar 80-90 persen dapat dicegah dengan teknologi sederhana yang tersedia di tingkat Puskesmas dan jaringannya. Di sisi lain, indikator utama pembangunan kesehatan berupa angka kematian ibu saat melahirkan pun setali tiga uang dengan angka kematian bayi.

Pada saat ini diperkirakan 228 orang ibu meninggal dalam tiap 1.000 proses persalinan di Indonesia. Angka kematian ibu saat melahirkan yang ditargetkan dalam MDGs pada tahun 2015 adalah 110, dengan kata lain akselerasi sangat dibutuhkan sebab pencapaian Indonesia terhadap target ini masih cukup jauh. (Ant/OL-06)

Vous aimerez peut-être aussi