Vous êtes sur la page 1sur 14

Jurnal Kesehatan Masyarakat Madani, ISSN.1979-2287,Vol.02 No.

03, Tahun 2009

ASPEK IMUNOLOGIS PENYAKIT SIFILIS


Sri Julyani Bagian Patologi Klinik FK UMI Email: srijulyani@yahoo.co.id PENDAHULUAN Sifilis adalah suatu penyakit menular seksual (PMS /STD [sexually transmitted disease]) atau disebut juga veneral disease (beberapa penyakit infeksi kelamin lain seperti gonore, klamidia, herpes dan granuloma inguinal) adalah salah satu bentuk penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan sex atau dari seorang ibu kepada bayi yang dikandungnya (www.thefreedictionary.com. 2008; www.thefreedictionary. com., 2008; Ditjen PP&PL, 2005). Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum yang dapat bersifat akut dan kronis diawali dengan adanya lesi primer kemudian terjadi erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir dan akhirnya sampai pada periode laten dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler (http : // id.wikipedia.org. 2008). Setiap orang rentan terhadap penyakit sifilis, tetapi 30 % orang yang terpapar akan terkena infeksi. Setelah infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala terbentuk antibodi heterologus terhadap treponema lain. Antibodi ini tidak terbentuk apabila pengobatan dilakukan pada stadium satu dan dua. Adanya infeksi HIV menurunkan kemampuan penderita melawan T. pallidum. (Ditjen PP&PL, 2005). Di Amerika Serikat dilaporkan lebih dari 36,000 kasus sifilis pada tahun 2006 dengan 9.756 kasus merupakan sifilis stadium primer dan sekunder. Insiden tertinggi ditemukan pada wanita umur 20 24 tahun dan pria umur 35 39 tahun, sedang kasus sifilis kongenital meningkat dari 339 kasus pada tahun 2005 menjadi 349 kasus pada tahun 2006, sedang di Indonesia ditemukan sekitar 0,61% penderita dengan kasus terbanyak pada stadium laten ( http : // id.wikipedia.org , 2008). Kebanyakan orang yang terinfeksi dengan sifilis tidak memperlihatkan gejala selama beberapa tahun, yang akan menimbulkan komplikasi yang berat bila tidak diobati (http : // id.wikipedia.org , 2008).

ETIOLOGI Sifilis disebabkan oleh kuman treponema palidum, merupakan basil gram negatif yang mempunyai flagel, bentuknya sangat kecil dan berpilin-pilin. Kuman atau bakteri tersebut umumnya hidup di mukosa (saluran) genetalia, rektum, dan mulut yang hangat dan basah. Kuman ini sangat sensitive terhadap cahaya, perubahan cuaca dan perubahan temperature sehingga penyakit ini sulit untuk menular kecuali adanya kontak langsung dengan penderita. Sifilis ditularkan melalui hubungan seksual, alat suntik atau transfusi darah yang mengandung kuman tersebut, maupun penularan melalui intra uterin dalam bentuk sifilis kongenital tetapi tidak dapat menular melalui benda mati seperti misalnya bangku, tempat duduk toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas digunakan/dipakai oleh pengindap (www.thefreedictionary. com, 2008; Ditjen
PP&PL, 2005).

Respon imunologik dari orang yang terpapar tergantung dari struktur bakteri. Membran luar bakteri terdiri dari lapisan fosfolipid dengan sedikit protein antigen. Adapun klasifikasi bakteri penyebab penyakit sifilis adalah sebagai berikut (Natahusada EC & Djuanda A, 2005) : Kingdom : Eubacteria Filum : Spirochaetes Kelas : Spirochaetes Ordo : Spirochaetales Familia : Treponemataceae Genus : Treponema Spesies : Treponema pallidum

gambar 1. Treponema pallidum Sumber : Treponema pallidum, http://en.wikipedia.org/wiki/image

PATOGENESIS Treponema pallidum tidak dapat tumbuh dalam media kultur sehingga

pengetahuan tentang imunopatogenesis penyakit sifilis hanya diperoleh dari keadaan penderita (berdasarkan tanda dan gejala yang tampak), model pada binatang percobaan dan data in vitro dari ekstraksi jaringan spirocaeta. Setelah mengeksposure permukaan epitel, spirocaeta akan berpenetrasi dan menyerang lapisan sel endotel, yang merupakan tahap penting dalam tingkat virulensi treponema (meskipun mekanisme yang jelas sampai saat ini belum diketahui). Histopatologi dari chancre primer tergantung pada banyaknya spirocaeta dan infiltrasi seluler yang pada mulanya terdiri dari T limfosit yang terjadi 6 hari postinfeksi, kemudian makrofag pada hari ke 10 dan sel plasma. Aktivasi makrofag akan merangsang pelepasan sitokin dari T limfosit yaitu interleukin 2 (IL 2) dan interferon gamma (IFN). Antibodi spesifik akan muncul dalam serum pada awal infeksi yang akan

menghalangi spirocaeta merusak sel dan Ig G dengan bantuan komplemen akan dapat membunuh T. pallidum serta meningkatkan kemampuan netrofil dan makrofag memfagosit treponema tersebut. Antibodi berperanan dalam menghancurkan protein

membran luar yang tipis dari treponema pallidum (TROMPs). Secara umum tingkat kekebalan yang timbul karena infeksi oleh T. pallidum relevan dengan level antibodi pada TROMPs. Meskipun humoral immunity juga dibutuhkan dalam melawan infeksi dari treponema, respon antibodi ini dapat juga menyebabkan kelainan. Adanya kompleks imun pada sifilis sekunder mungkin menjelaskan patologi timbulnya lesi pada kulit dan deposit di ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati sifilik. Antibodi kardiolipin yang merupakan penentu pada sifilis primer dan menjadi dasar tes nontreponemal pada penyakit ini, tidak sejalan dengan terjadinya sindrom antibodi antifosfolipid. Pemeriksaan histologik menunjukkan banyaknya sel T pada daerah lesi. Pada chancre primer CD4 lebih banyak berperanan sedangkan pada lesi sekunder lebih banyak ditemukan CD8. Gumma yang lebih sering timbul pada sifilis tertier menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan tanda khas berupa granuloma. Peranan sel T pada sifilis yang belum jelas menimbulkan dugaan adanya cross infeksi HIV pada penderita sifilis. Para ilmuwan di Spanyol meneliti adanya perubahan viral

load dan jumlah CD4 selama terinfeksi sifilis dan menemukan bahwa infeksi sifilis pada pasien HIV-positif berhubungan dengan peningkatan viral load dan penurunan jumlah CD4. Penurunan jumlah CD4 dan peningkatan viral load ditemukan pada hampir sepertiga pasien yang diamati. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa satu-satunya faktor yang dikaitkan dengan peningkatan viral load adalah karena penderita tidak menggunakan terapi antiretroviral (ART), sementara satu-satunya faktor yang dikaitkan dengan penurunan jumlah CD4 sebanyak lebih dari 100, adalah jumlah CD4 pasien sebelum terinfeksi sifilis (pasien yang mempunyai jumlah CD4 lebih tinggi sebelum sifilis mengalami penurunan yang lebih besar), tetapi tidak ada perbedaan pada perubahan virologi berdasarkan stadium sifilis. Temuan lain dari penelitian ini menunjukkan lebih dari dua pertiga kasus sifilis ditemukan pada pasien yang sebelumnya didiagnosis HIV-positif. Dalam hal ini, para peneliti menyoroti perilaku pasien yang berisiko dan strategi pencegahan yang lemah. Sehingga perlu adanya upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah infeksi sifilis baru dan secepatnya mengenal serta mengobati pasien terinfeksi sifilis, dengan tujuan

mengurangi penyebaran baik infeksi sifilis maupun HIV (LaSala P.R, Smith M.B, 2007; Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all, 2007).

GEJALA KLINIK Berdasarkan stadium penyakitnya gejala klinik dari penyakit sifilis dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu bentuk primer, sekunder dan bentuk tertier. Sifilis primer biasanya bersifat asimptomatik, yang didapatkan akibat penularan melalui kontak langsung pada permukaan mukosa atau kulit seorang penderita. Sedang sifilis sekunder dapat timbul 8 minggu setelah terapi sifilis primer meskipun dilaporkan bahwa sekitar 60% sifilis sekunder tidak mempunyai riwayat sifilis primer. Lesi sekunder ini ditandai dengan adanya erupsi pada kulit dan selaput lendir. Dan sifilis tertier adalah bentuk laten dari penyakit ini yang biasanya muncul beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian dan 15% diantaranya terjadi pada penderita yang tidak mendapat terapi, dimana lesi telah menyebar sampai ke tulang, saluran cerna, sistim saraf dan sistim kardiovaskuler (http : // id.wikipedia.org, 2008). Terdapat bentuk lain dari penyakit sifilis yang banyak ditemukan

di wilayah Asia tengah dan Afrika yang disebut Endemik Sifilis, merupakan penyakit infeksi kronik nonveneral yang disebabkan oleh T. pallidum subspecies endemicum. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung pada lesi yang aktif, jari-jari dan peralatan makan atau minum (LaSala P.R, Smith M.B , 2007). Disamping itu terdapat juga bentuk sifilis tertier yang dapat timbul 1 10 tahun setelah terinfeksi dengan tanda khas berupa adanya gumma pada kulit dan mukosa. Apabila sifilis tertier ini tidak mendapat terapi, dapat terjadi komplikasi yang lebih berat berupa neurosifilis dan kardiovaskuler sifilis (Bockenstedt L.K, 2003). A. Sifilis Primer Sifilis primer terjadi karena kontak langsung dengan lesi infeksi penderita melalui hubungan seksual. Lesi pada kulit timbul dalam 10 90 hari setelah terpapar, kebanyakan pada alat genital namun dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh yang lain. Lesi ini disebut chancre , suatu ulcerasi pada kulit tanpa rasa sakit pada daerah yang terexposure terutama pada penis, vagina, atau rectum. Kadang-kadang terdapat lesi multipel, menetap untuk waktu 4 sampai 6 minggu dapat terjadi pembengkakan kelenjar limpe lokal dan biasanya sembuh spontan (Palacios R et all. 2007). B. Sifilis Sekunder Sifilis sekunder timbul 1 6 bulan setelah infeksi primer ( rata-rata 6 8 minggu) dengan berbagai manifestasi gejala. tetapi dapat terjadi overlap dengan bentuk primer. Lesi biasanya terdapat pada kulit, daerah kepala dan leher, serta sistim saluran cerna, disamping gejala umum seperti demam, kelemahan, penurunan berat badan, sakit kepala, meningismus dan pembesaran kelenjar limpe. Rash pada kulit biasanya lebih berat dan disertai dengan gangguan dermatologi yang lain seperti makulopapular, folikular atau pustular rash. Rash menyebar pada seluruh tubuh dan ekstremitas, kemudian membentuk lesi yang rata berwarna keputih-putihan yang dikenal dengan condyloma lata. Stadium sekunder juga ditandai dengan adanya gangguan pada sendi, tulang penglihatan (Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all. 2007). C. Sifilis Laten Disebut sifilis laten apabila tidak tanda-tanda dan gejala penyakit tetapi terdapat bukti serologik. Sifilis laten dapat dibedakan atas tipe early atau late. Disebut tipe early bila selama 2 tahun serologik positif tetapi tidak ada gejala penyakit. Sedang tipe late bila dan indera

infeksi lebih dari 2 tahun tanpa bukti klinik yang jelas. Pembagian ini berguna dalam pemberian terapi pada penderita dan resiko McPerson R.A, 2007). transmisi ke orang lain (Sacher R.A,

D. Sifilis Tertier Sifilis tertier biasanya muncul dalam waktu 1 10 tahun setelah infeksi pertama, pada beberapa kasus dapat mencapai masa sampai 50 tahun. Ditandai dengan adanya gumma yang lunak, suatu bentuk tumor akibat proses inflamasi yang dikenal dengan granuloma, bersifat kronik dan dapat muncul kembali bila sistim imun tubuh tidak sempurna. Kebanyakan gumma merupakan komplikasi dari late syphilis. Bentuk lain dari sifilis tertier yang tidak diterapi adalah neuropathic joint disease, berupa degenerasi sendi disertai hilangnya sensasi propriosepsi. Bentuk komplikasi yang lebih berat adalah neurosyphilis dan cardiovascular syphillis. Gangguan neurologik dapat asimptomatik atau bermanisfestasi sebagai meningovascular disease, tabes dorsalis atau paresis. Sedang komplikasi kardiovaskuler dapat berupa sifilis aortitis, aneurisma dan regurgitasi aorta. (Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all. 2007).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Diagnosis sifilis dapat ditegakkan dengan cara melihat langsung organisme dengan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan antibodi fluoresen langsung dan kedua dengan mendeteksi adanya antibodi dalam serum dan cairan serebrospinal. Tes serologis merupakan tes konfirmasi untuk melihat adanya antibodi terhadap organisme penyebab sifilis. Tes serologis juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis infeksi sifilis pada masa laten sifilis dimana tidak tampak adanya gejala-gejala penyakit. Ada dua kelompok tes serologis yang dapat digunakan dalam mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes serologis antibodi non treponema dan antibodi treponema (Sacher R.A, McPerson R.A, 2004). 1. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal

yaitu antibodi yang terbentuk akibat adanya infeksi oleh penyakit sifilis atau penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini terbentuk setelah penyakit menyebar ke kelenjar limpe regional dan menyebabkan kerusakan jaringan serta dapat menimbulkan reaksi silang

dengan beberapa antigen dari jaringan lain. Tes serologis non treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil positif setelah 4 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi primer dan stadium lanjut). Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat, keganasan, penyakit autoimun dan infeksi virus. Imunoasai ini menggunakan antibodi nontreponemal dan lipoid sebagai antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah (Bockenstedt L.K, 2003; Handojo I, 2004) : a. Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) b. Rapid Plasma Reagin (RPR) c. Cardiolipin Wassermann (CWR) d. Unheated Serum Reagin (USR) e. Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST) f. ELISA Tes ini bertujuan untuk mendeteksi adanya reaksi antara antibodi dari sel yang rusak dan kardiolipin dari treponema. Digunakan untuk skrining penderita dan monitoring penyakit setelah pemberian terapi. Tes-tes seperti Veneral Disease Research Laboratory (VDRL), Rapid Plasma Reagin (RPR), Unheated Serum Reagin (USR) dan Toulidone Red Unheated Serum Test (TRUST) mendeteksi adanya reaksi antigenantibodi dengan menilai presipitasi yang terbentuk baik secara makroskopik (RPR dan TRUTS) maupun mikroskpoik (VDRL dan USR). Antibodi yang terdeteksi biasanya timbul 1 4 minggu setelah munculnya chancre primer. Pengambilan spesimen pada stadium primer akan mempengaruhi

sensitivitas tes dimana titer antibodi meningkat selama tahun pertama dan selanjutnya menurun secara nyata sehingga memberikan hasil negatif pada pemeriksaan ulang. Dapat ditemukan hasil tes positif palsu maupun negatif palsu. Positif palsu terjadi karena adanya penyakit bersifat akut seperti hepatitis, infeksi virus, kehamilan atau proses kronik seperti kerusakan pada jaringan penyambung. Sedang hasil negatif palsu terjadi karena tingginya titer antibodi (prozone phenomenon) yang sering ditemukan pada sifilis sekunder.

2.

Antibodi treponemal yang bertujuan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap antigen treponema dan sebagai konfirmasi dari hasil positif tes skrining

nontreponemal atau konfirmasi adanya proses infeksi pada hasil negatif tes nontreponemal pada fase late atau laten disease dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi yaitu ; i. grup treponemal antibodi, antibodi terhadap antigen somatik yang terdapat pada semua jenis treponema. Imunoasai berdasarkan pada penggunaan beberapa strain saprofitik dari treponema, yaitu Reiter Protein Complement Fixation (RPCF) ii. Antibodi treponema spesifik, antibodi yang spesifik untuk antigen dari T. pallidum. beberapa tes yang termasuk diantaranya adalah : a. b. c. d. e. f. g. h. i. Treponema pallidum Complement Fixation Treponemal Wassermann (T-WR) Treponema pallidum Immobilization (TPI) Treponema pallidum Immobilization Lyzozym (TPIL) Treponema pallidum Immobilization-symplification Fluorecense Treponemal Antibody (FTA) Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA) Treponema pallidum Immuneadherence (TPIA) ELISA T. pallidum

Pemeriksaan antibodi nontreponemal yang sering digunakan sekarang adalah : 1. Tes Rapid Plasma Reagen, adalah tes untuk melihat antibodi nonspesifik dalam darah penderita yang diduga terinfeksi sifilis, terdiri dari uji kualitatif dan uji kuantitatif. A. Uji RPR kualitatif adalah pemeriksaan penapisan dengan serum pasien yang tidak diencerkan dicampur dengan partikel arang berlapis kardiolipin di atas karton, setelah rotasi mekanis beberapa waktu sedian diperiksa untuk melihat ada tidaknya aglutinasi secara makroskopis. Cara Kerja ( Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno, 2003) : 1. 1 tetes serum + 50 uL antigen dicampur diatas kartu tes memenuhi lingkaran 2. putar di atas rotator selama 8 menit dengan kecepatan 100 rpm

3. Lihat hasil terbentuknya flokulasi dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 10 x 10 4. Hasil tes yang reaktif dilanjutkan dengan tes kuantitatif

B. Uji RPR kuantitatif menggunakan serum yang diencerkan secara serial dan hasil pemeriksaan adalah nilai akhir pengenceran dimana masih terjadi

penggumpalan partikel. Cara kerjanya sebagai berikut : 1. Siapkan 6 tabung reaksi, isi masing-masing dengan 50 uL NaCl 0,9% 2. Tambahkan 50 uL sampel ke tiap tabung, kocok rata 3. Pindahkan 50 uL isi tabung I ke tabung 2 (pengenceran kali) 4. Lakukan seterusnya untuk tabung ke 3 dengan mengambil isi dari tabung 2 (pengenceran ), demikian juga untuk tabung 4, 5, dan 6. 5. Ambil dari tiap tabung 50 uL larutan, teteskan di atas kertas tes dan tambahkan 50 uL antigen pada tiap sampel, aduk rata dan rotasi selama 8 menit. Baca titer pada pengenceran tertinggi yang masih terjadi flokulasi. Tes RPR efektif untuk skrining seseorang yang terinfeksi penyakit sifilis tetapi belum menunjukkan gejala klinik. 5. Tes VDRL selain digunakan untuk skrining penyakit sifilis juga dapat digunakan untuk monitoring respon terapi, deteksi kelainan saraf dan membantu diagnosis pada sifilis kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi pasien dengan difosfatidil gliserol. Tes VDRL dapat mendeteksi antikardiolipin antibodi (IgG, IgM atau IgA). Beberapa kondisi dapat memberikan hasil positif palsu seperti penyakit hepatitis virus, kehamilan, demam rematik, leprosi dan penyakit lupus. Tes VDRL semikuantitatif juga digunakan untuk mengevaluasi kejadian neurosifilis di mana hasil reaktif tes hampir selalu merupakan indikasi adanya neurosifilis.
10,12

6. Tes Cardiolipin Wassermann (CWR) merupakan uji fiksasi komplemen dimana reaksi antibodi dan antigen kardiolipin akan membentuk kompleks yang akan mengikat komplemen. Sebagai indikator terjadinya reaksi pengikatan komplemen maka pada tes ditambahkan sel darah merah (domba) dan zat hemolisin anti SDM. Disebut uji CWR positif apabila tidak terjadi reaksi hemolisis yang menunjukkan bahwa terjadi reaksi Ag-Ab yang mengikat komplemen, sedang

hasil negatif berarti tidak terjadi reaksi Ag-Ab yang tidak mengikat komplemen. Sampel pasien berasal dari darah atau cairan cerebrospinal yang reaksikan dengan antigen kardiolipin dan intensitas reaksi sebanding dengan beratnya kondisi pasien (http://en.wikipedia.org/wiki/, 2008). 7. Tes ELIZA nontreponemal menilai terjadinya flokulasi dan nilai absorban dihitung berdasarkan prinsip spektrofotometer.

Sedangkan Tes serologik treponemal yang banyak digunakan adalah : 1. Tes Treponema pallidum Immobilization (TPI) Sensitifitas tes rendah pada beberapa stadium penyakit terutama stadium I , tetapi spesifisitasnya paling baik dibanding tes serologis lain dan merupakan satusatunya tes yang hampir tidak memberi hasil positif semu. Tes menggunakan serum penderita yang tidak aktif ditambah dengan T. pallidum yang mobil dan komplemen, lalu diinkubasi pada suhu 35 C selama 16 jam selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. Hasil positif terlihat dengan T. pallidum yang tidak mobil. 2. Fluorescent treponemal antibody-absorbed double strain test (FTA-ABS DS). Sebelum tes serum pasien diinaktifkan dengan pemanasan dan diserap dengan sorbent untuk membersihkan dari antibodi terhadap treponema komensal, kemudian dicampur dengan apusan T. pallidum pada kaca obyek, inkubasi lalu bilas hati-hati. Tambahkan konjugat antibodi anti-imunoglobulin human yang dilabel dengan tetrametil-rodamin isotiosinat [TMRITC] tutup dengan kaca penutup, inkubasi dan bilas. Periksa apusan di bawah mikroskop pengcahayaan ultraviolet. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya treponema berfluoresensiTMRITC pada apusan. Tes FTA adalah imunoasai yang sangat sensitif dan spesifik sehingga baik digunakan untuk diagnosis tetapi tidak dipakai dalam pemantauan terapi sebab hasil tes positif akan tetap positif walaupun telah diberi pengobatan sampai sembuh. 3. Tes Treponema pallidum Hemagglutination (TPHA) Merupakan uji hemaglutinasi pasif secara kualitatif dan semi kuantitatif yang dapat mendeteksi anti T. pallidum antibodi dalam serum atau plasma, di mana hasil positif didapatkan bila terjadi aglutinasi. Sensitivitas dan spesifisitas cukup

10

baik kecuali untuk sifilis stadium I, tes ini juga cukup praktis, mudah dan sederhana serta harganya relatif murah. Sebagai antigen dipakai T .pallidum strain Nichol dan sebagai carrier digunakan sel darah merah kalkun. Sel darah merah kalkun yang diliputi Ag T . pallidum dan Ab serum penderita lalu diinkubasi, antibodi T. pallidum dalam serum akan mengikat antigen pada sel darah merah membentuk kompleks Ag-Ab dan hasil positif dinilai dengan melihat adanya aglutinasi (http: // en.wikipedia.org, 2008) DIAGNOSIS Diagnosis penyakit sifilis biasanya secara tidak langsung ditemukan pada pasien risiko tinggi seperti adanya penyakit menular seksual dan pengguna narkotika. Karena T. Pallidum tidak dapat tumbuh pada media kultur maka digunakan metode lain untuk mendiagnosis penyakit sifilis. Seperti mikroskop lapangan gelap atau apusan cairan dari kulit atau jaringan. Bahan pemeriksaan adalah transudat segar dari chancre pada infeksi primer atau kondiloma lata pada infeksi sekunder. Hasil positif bila ditemukan spiroketa yang motil, membentuk kumparan padat dan bergerak melengkung. Untuk penderita dengan suspek neurosifilis, diagnosis ditegakkan dengan sampel dari cairan cerebrospinal. Tes serologis non treponema mendeteksi antibodi yang merupakan kompleks dari lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan digunakan untuk skrining adanya infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR) yang memberikan hasil positif setelah 4 6 minggu

terinfeksi (positif pada 70% pasien dengan lesi primer dan stadium lanjut). Tetapi tes ini dapat memberikan positif palsu pada kondisi seperti keganasan, penyakit autoimun dan infeksi virus. Sedang tes serologis yang spesifik untuk infeksi treponema seperti Serum Fluorecent-Treponemal Antibody absorbance test (FTA-ABS) dan kehamilan, kecanduan obat,

Microhemagglutination test dimana T. pallidum berfungsi sebagai antigen. Hasil tes non treponema yang positif harus dikonfirmasi dengan tes treponema yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. (Sacher R.A, McPerson R.A, 2004; Mayo Clinic.com, 2006; http://www.cdc.gov/std/default.htm, 2008).

11

TERAPI DAN PROGNOSIS Penicilin masih merupakan obat pilihan untuk penanganan sifilis. Sedang antibiotik alternatif seperti derivat tetrasiklin, eritromicin dan ceftriaxon dapat digunakan pada penderita yang alergi terhadap penicilin. Dosis dan lama terapi bervariasi tergantung pada gejala klinik penderita, secara umum penyakit dengan stadium lebih lanjut membutuhkan antibiotik dengan dosis yang lebih besar dan waktu yang lebih lama. Obat lain yang dapat diberikan adalah antipiretik dan antihistamin. Sifilis stadium primer, sekunder dan early laten akan sembuh sempurma dengan pemberian antibiotik, sedang stadium late biasanya lebih sulit diterapi. Sifilis tertier mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi bila kelainan telah sampai pada sistim saraf pusat (Bockenstedt L.K,2003; http://www.cdc.gov/std/default.htm, 2008, Mayo

Clinic. com, 2006, Healthcommunities.com, 2008). KOMPLIKASI Sifilis yang tidak diterapi dapat berkembang menjadi fase tertier dengan timbulnya gumma dan sifilis kardiovaskuler yang dapat bersama-sama dengan

neurosifilis. Laki-laki lebih banyak berlanjut ke fase tertier dan mortalitasnya lebih tinggi dibanding penderita wanita. Kerusakan jaringan yang irreversibel merupakan karakteristik dari sifilis fase tertier dan sifilis kongenital meskipun telah mendapat terapi antibiotik. Selain itu sifilis juga dapat menyebabkan komplikasi penyakit lain berupa (www.dshs.state.tx.us /, 2008) : 1. Arthritis 2. Blindness 3. Heart disease 4. Mental illness 5. Death DIFFERENTIAL DIAGNOSIS Penyakit sifilis dapat didifferential diagnosis dengan seperti (http : // www.fpnotebook.com, 2008) : 1. Genital Ulcer 2. Genital Herpes 3. Chancroid penyakit kelamin lain

12

4. Venereal Wart 5. Lymphogranuloma venereum Algoritme pemeriksaan Sifilis

sumber: Mayo Clinic Proceeding, sept 2007

13

DAFTAR PUSTAKA

Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno, 2003. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Makassar: LEPHAS Unhas. Bockenstedt L.K, 2003. Spirochetal Diseases : Syphillis and Lyme Disease in Medical Immunology 10th ed, Mc Graw Hill. Ditjen PP&PL, 2005. Sifilis dalam Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Handojo I, 2004. Imunoasai Untuk Penyakit Sifilis dalam Imunoasai Terapan pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press. Healthcommunities. Syphilis Urologychannel. Healthcommunities.com, last modified. Diakses 25 Januari 2008. http: // en.wikipedia.org/ Veneral Disease Research Laboratory test. Download tanggal 29 agustus 2008. http://en wikipedia.org/wiki/ Rapid plasma Reagin, last modified : Diakses 25 Pebruari 2008. http://en.wikipedia.org/wiki/. Wassermann test, last modified. Diakses 26 Agustus 2008. http : // id.wikipedia.org / wiki / Treponema pallidum, last modified : 14 oktober 2008 http; // www.thefreedictionary.com / Syphillis. Download tgl 23 Agustus 2008 http: // www.thefreedictionary.com / Syphillis Symtom. Diakses tgl 22 Agustus 2008 http : // www. fpnotebook. com /ID/STD/Syphilis. Diakses 5 November 2008. http://www.cdc.gov/std/default.htm, Sexually Tranmitted Diseases, last modified. Diakses 4 Januari 2008.
LaSala P.R, Smith Clinical Diagnosis Saunders Elsevier. M.B, and 2007. Spirochaete Infections in Henrys Management by Laboratory Methods 21sted,

Mayo Clinic.com. Syphilis: Screening and diagnosis Mayo Clinic.com Medical Services, update 27 0ct 2006. MayoClinic. Syphilis: Treatment. MayoClinic.com Medical Services. Diakses 27 Oktobert 2006. Mayo Clinic. Syphilis Testing, ARUP Laboratories. Mayo Clinic Diakses 28 April 2008. Natahusada EC, Djuanda A, 2005. Sifilis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 4, Jakarta : Pen FK-UI. Palacios R et all., 2007. Impact of syphilis infection on HIV viral load and CD4 cell counts in HIV-infected patients. J Acq Immun Defic Synd 44: Maret. Sacher R.A, McPerson R.A, 2004. Diagnosis Serologik Infeksi Spesifik dalam Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 11, EGC, 2004, 456 - 458 www.dshs.state.tx.us / hivstd, HIV / STD Facts. Diakses 5 November 2008.

14

Vous aimerez peut-être aussi