Vous êtes sur la page 1sur 16

A. Konsep Dasar Penyakit 1.

Definisi/ pengertian Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri. ( Suddart, & Brunner, 2002 ). Alzheimer merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan, pengobatan ditujukan untuk menghentikan progresivitas penyakit dan meningkatkan kemandirian penderita. (Dr. Sofi Kumala Dewi, dkk, 2008) Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, juga merupakan penyakit dengan gangguan degeneratif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun. (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003) Sehingga dengan demikian Alzheimer adalah penyakit kronik, degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, kepribadian yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan merawat diri. Penyakit ini menyerang orang berusia 65 tahun keatas. Penyakit Alzheimer adalah bentuk dimensia yang paling umum, merupakan

kondisi kronis yang ditandai dengan penurunan kapasitas intelektual. Gangguan degeneratif korteks serebral (khususnya lobus frontal) yang progresif ini menyebabkan kehilangan ingatan yan bertahap disertai kehilangan stidaknya satu fungsi kognitif lain, misalnya bahasa, abstrak, atau orientasi spasial (Stockslager, 2008). Penyakit Alzheimer adalah proses degeneratif yan terjadi pertama-tama pada sel yang terletak pada dasar dari otak depan yang mengirim informasi ke korteks serebral dan hipotalamus. Sel yang terpengaruh pertama kali kehilangan kemampuannya untuk mengeluarkan asetilkolin, lalu terjadi degenerasi (Doenges, 2000) 2. Epidemiologi/ insiden kasus Beberapa peneliti percaya lebih dari dua per tiga AD berasal dari abnormalitas genetic yang dengan berbagai cara berinteraksidengan factor-faktor lain sehingga

menyebabkan penyakit tersebut. Usia juga telah diidentifikasi sebagai factor yng mungkin menyebabkan AD. Sekitar 43% penderita AD berusia antara 75 dan 85 tahun.

4,3% berusia 75 tahun, 8,5% berusia 80 tahun, 16 % berusia 85 tahun, dan 28,5% berusia 90 tahun. Pada tahun 1997, 2,32 juta orang di Amerika Serikat menderita akibat AD. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah AD akan menjadi empat kali lipat pada 50 tahun mendatang, pada waktu itu 1 dari 45 orang Amerika akan menderita penyakit ini. 3. Penyebab/ faktor predisposisi Penyebab dari Alzheimer masih belum diketahui secara pasti, tapi perpaduan berbagai faktor resiko diduga sebagai penyebabnya. Faktor-faktor tersebut antara lain : a. Bertambahnya usia, riwayat keluarga yang positif, dan cedera kepala. b. Toksin dari lingkungan. c. Stres, kecemasan dan sikap pesimis yang berlebihan. d. Genetik : Lipoprotein E-epsilon 4 yang rapuh dan gampang mengalami mutasi. Protein prekursor amiloid (APP) pada kromosom 21. Trisomi kromosom 21 (downs syndrom). Pasien dengan sindrom down cenderung terkena alzheimer onset dini pada usia di atas 30 tahun. Gen presenilin I yang terdapat di kromosom 14. Mutasi pada gen inilah yang berkaitan erat dengan Alzheimer familial. Gen presenilin II pada kromosom 1. Mutasi pada gen ini berkaitan erat dengan penyakit Alzheimer yang terjadi pada penduduk di daerah sungai Volga, Rusia. 4. Patofisiologi terjadinya penyakit Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak. Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia pada neuron neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein tau. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia

menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer. Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel sel glia yang akhirnya membentuk fibril fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada otak 5. Klasifikasi a. Tingkat Ringan Lupa meletakkan kunci mobil, mengambil baki uang, tidak tahu membeli barang ke kedai, lupa nomor telepon atau kardus obat yang biasa dimakan. b. Tingkat Sederhana Apabila orang yang sakit lupa mencampurkan gula dalam minuman, garam dalam masakan atau cara-cara mengaduk air. c. Tingkat Serius Apabila orang yang sakit sudah tidak mampu melakukan perkara asas seperti menguruskan diri sendiri, keliru dengan keadaan sekitar rumah, tidak mengenali rekan-rekan atau anggota keluarga terdekat. 6. Gejala klinis a. Tahap Dini Kelalaian dan kehilangan ingatan yang tidak jelas tanpa kehilang ketrampilan social dan pola perilaku Kesulitan belajar dan mengingat informasi baru

Perburukan secara umum pada hygiene personal dan penampilan. Ketidakmampuan berkonsentrasi Kerusakan indra penciuman

b. Tahap Lanjut Kesulitan berfikir abstrak dan aktivitas yang membutuhkan penilaian Perburukan berat terhadap ingatan, bahasa, dan fungsi motorik (akhirnya dapat mengakibatkan kehilangan koordinasi dan ketidakmampuan bicara atau menulis) Penggunaan kata-kata yang tidak berarti dan kalimat yang tidak dimengerti Tindakan yang diulang-ulang dan kegelisahan Perubahan kepribadian yang negative seperti irretabilitas, depesi, paranoia, permusuhan dan pertengkaran Emosi labil: tertawa dan menangis tidak sesuai, alam perasaan tidak stabil, dan ledakan amarah yang tiba-tiba Gangguan tidur Disorientasi Keliru mempersepsikan lingkungan, keliru mengidentifikasikan benda dan orang Kerusakan stereoknosis (ketidakmampuan untuk mengenali dan memahami bentuk dan sifat benda dengan cara menyentuh benda tersebut) Keluhan atas barang-barang yang hilang atau salah letak Terlalu tergantung pada pemberi perawatan Gangguan cara jalan yang menyebabkan jatuh Inkontinensia urine atau fekal Tremor, kedutan, dan kejang-kejang Reflek hidung positif (ditentukan dengan mengentuk atau menyentak bibir pasien atau bagian tepat bawah hidung; meringis atau mengerutkan bibir adalah tanda positif adanya AD pada orang dewasa). Dalam perjalanannya, penyakit Alzheimer dapat dibagi dalam 3 fase meliputi: a. Fase awal (Ringan). Pada tahap ini pasien mulai mengalami kehilangan memori maupun fungsi kognitif lainnya, tapi pasien masih dapat mengkompensasinya dan masih dapat berfungsi secara normal dan independen dengan sedikit pertolongan. Sikap apati dan

kecenderungan menarik diri yang merupakan gambaran di semua fase, mulai timbul di fase ini. Ciri-cirinya: Gangguan Kognitif dan memori: Bingung, lupa nama dan kata-kata dan menghindar berbicara untuk mencegah kesalahan. Mengulang pertanyaan dan kalimat. Lupa kisah hidup mereka sendiri dan peristiwa yang baru terjadi. Kurang mampu untuk mengorganisasikan dan merencanakan sesuatu serta untuk berpikir logik. Menarik diri dari lingkungan sosial dan tantangan-tantangan mental. Disorientasi waktu dan tempat; dapat tersesat di tempat-tempat yang familiar. Gangguan berkomunikasi mulai timbul: Mulai mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri mereka sendiri. Kadang tidak mampu untuk berbicara dengan benar meski masih dapat berespon dan bereaksi terhadap apa yang dikatakan kepada mereka ataupun terhadap humor yang dilontarkan. Mengalami kesulitan untuk memahami bahan bacaan Perubahan kepribadian mulai timbul: Apatis, menarik diri dan menghindari orang lain. Cemas, agitasi dan iritabel. Tidak sensitif terhadap perasaan orang lain Gampang marah terhadap hal-hal yang mendatangkan frustasi, rasa lelah, ataupun kejutan. Perilaku yang aneh mulai timbul: Mencari dan menimbun benda-benda yang tidak berharga. Lupa makan secara teratur ataupun hanya makan satu jenis makanan saja.

b. Fase menengah (sedang). Gambaran utama dari fase ini adalah penurunan fungsi dari berbagai sistem tubuh pada saat yang bersamaan dan membuat ketergantungan pada orang lain yang merawat menjadi meningkat. Gangguan kognitif dan memori makin memberat, kepribadian mulai berubah dan masalah-masalah fisik mulai meningkat. Muncul sikap agresif, halusinasi dan paranoid. Ciri-cirinya: Gangguan Kognitif dan memori yang signifikan: Lupa kisah hidupnya sendiri dan peristiwa yang baru terjadi.

Mengalami kesulitan untuk mengingat nama dan wajah teman dan keluarga. Tapi masih dapat membedakan wajah yang familiar dengannya dari yang tidak dikenalnya.

Masih mengingat nama sendiritapi kesulitan untuk mengingat alamat dan nomer telefon. Tidak dapat berpikir logik secara jernih. Tidak dapat mengatur pembicaraan mereka sendiri Tidak dapat lagi mengikuti instruksi oral maupun tulisan. Masalah keuangan dan aritmetika semakin meningkat.

Terputus dari realitas. Tidak mengenal diri sendiri di depan cermin dan dapat menganggap suatu cerita di televisi sebagai suatu kenyataan. Disorientasi cuaca, hari dan waktu.

Gangguan berkomunikasi: Mengalami kesulitan dalam berbicara, memahami, membaca dan menulis. Mengulang-ulang cerita, kata-kata, pertanyaan dan bahasa tubuh. Masih dapat membaca tapi tidak berespon dengan tepat terhadap materi bacaannya. Kesulitan menyelesaikan kalimat. Perubahan kepribadian mulai signifikan: Apatis, menarik diri, curiga, paranoid (seperti menuduh pasangan berhianat atau anggota keluarga ada yang mencuri). Cemas, agitasi dan iritabel, agresif dan mengancam. Halusinasi dan delusi muncul. Dapat melihat, mendengar, mencium dan mengecap sesuatu yang tidak nyata. Perilaku aneh yang timbul: Perilaku seksual yang menyimpang (seperti: menganggap orang lain sebagai pasangannya dan bermasturbasi di depan umum). Berbicara sendiri (hampir sepertiga hingga setengah penderita alzheimer berbicara sendiri). Perubahan siklus tidur yang normal (terjaga sepnajang malam, tidur sepanjang siang). Peningkatan dependensi: Dapat makan sendiri, tapi butuh bantuan untuk makan dan minum yang cukup.

Membutuhkan bantuan untuk berpakaian yang sesuai dengan cuaca atau situasi. Membutuhkan bantuan untuk menyisir rambut, mandi, sikat gigi, dan menggunakan toilet. Tidak dapat lagi ditinggalkan sendiri dengan aman (dapat meracuni diri sendiri, membakar diri sendiri).

Penurunan kontrol sadar: Inkontinensia uri dan feses. Tidak merasa nyaman duduk di kursi atau di toilet.

c. Fase Lanjut (berat) Pada fase ini dapat dijumpai kemunduran kepribadian, gejala kognittif dan fisik memberat. Tingkah laku yang liar di fase awal perkembangan penyakit berubah menjadi lebih tumpul. Beberap ciri khasnya: Kognitif dan memori yang makin memburuk: Tidak mengenali lagi orang yang familiar, termasuk istri dan anggota keluarga yang lain. Kemampuan komunikasi benar-benar lenyap: Tampak merasa tidak nyaman. Tapi dapat berteriak bila disentuh ataupun bergerak. Tidak mampu untuk tersenyum dan berkata-kata, atau berbicara cengan inkoheren. Tidak dapat menulis dan memahami material bacaan. Kontrol sadar terhadap tubuh hilang: Tidak dapat mengontrol gerakan, otot-otot terasa kaku. Inkontinensia urin dan fecal komplit. Tidak dapat berjalan, berdiri, sit up, ataipunmengangkat kepala tanpa bantuan orang lain. Tidak dapat menelan makanan dengan mudah, sering tersedak. Dependensi komplit terhadap orang lain: Membutuhkan bantuan di segala aktivitas hidupnya. Membuthkan perawatan sepanjang waktu.

Penurunan dearajat kesehatan yang bermakna: Sering terjadi infeksi, kejang-kejang, penurunan berat badan, kulit menjadi tipis dan gampang luka serta adanya refleks-refleks abnormal.

Tubuh melemah: Menolak makan atau minum, berhenti kencing, tidak dapat berespon terhadap lingkungan. Hanya dapat merasakan dingin dan rasa tidak nyaman, serta hanya berespon minimal terhadap sentuhan. Kelelahan dan tidur yang berlebihan. Organ-organ sensoris tidak berfungsi lagi; bila organ sensoris masih berfungsi, otak tidak mampu menerima input. Perubahan kepribadian: Apatis, menarik diri. Kepribadian yang tumpul.

Perilaku yang aneh: Menyentuh sesuatu benda berulang-ulang.

7. Pemeriksaan fisik Keadaan umum: Klien dengan penyakit Alzheimer umumnya mengalami penurunan kesadaran sesuai dengan degenerasi neuron kolinergik dan proses senilisme. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernafasan a. B1 (Breathing). Gangguan fungsi pernafasan : Berkaitan dengan hipoventilasi inaktifitas, aspirasi makanan atau saliva dan berkurangnya fungsi pembersihan saluran nafas. Inspeksi: di dapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, dan penggunaan otot Bantu nafas. Palpasi : Traktil premitus seimbang kanan dan kiri Perkusi : adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor, ronkhi, pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas. b. B2 (Blood) Hipotensi postural : berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan juga gangguan pada pengaturan tekanan darah oleh sistem persarafan otonom. c. B3 (Brain) Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan dengan pengkajian pada sistem lainnya.

Inspeksi umum, didapatkan berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku. Pengkajian Tingkat Kesadaran: Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan juga bergantung pada perubahan status kognitif klien. Pengkajian fungsi serebral: Status mental : biasanya status mental klien mengalami perubahan yang berhubungan dengan penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pengkajian Saraf kranial. Pengkajian saraf ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII : Saraf I. Biasanya pada klien penyakit alzherimer tidak ada kelaianan fungsi penciuman Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan, yaitu sesuai dengan keadaan usia lanjut biasanya klien dengan alzheimer mengalami keturunan ketajaman penglihatan Saraf III, IV dan VI. Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses senilis serta penurunan aliran darah regional Saraf IX dan X. Kesulitan dalam menelan makanan yang berhubungan dengan perubahan status kognitif Saraf XI. Tidak atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada vasikulasi dan indera pengecapan normal Pengkajian sistem Motorik Inspeksi umum pada tahap lanjut klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada fungsi motorik secara umum. Tonus Otot. Didapatkan meningkat. Keseimbangan dan Koordinasi. Didapatkan mengalami gangguan karena adanya perubahan status kognitif dan ketidakkooperatifan klien dengan metode pemeriksaan. Pengkajian Refleks Pada tahap lanjut penyakit alzheimer sering mengalami kehilangan refleks postural, apabila klien mencoba untuk berdiri dengan kepala cenderung ke

depan dan berjalan dengan gaya berjalan seperti didorong. Kesulitan dalam berputar dan hilangnya keseimbangan (salah satunya ke depan atau ke belakang) dapat menyebabkan klien sering jatuh. Pengkajian Sistem sensorik Sesuai barlanjutnya usia, klien dengan penyakit alzheimer mengalami penurunan terhadap sensasi sensorik secara progresif. Penurunan sensori yang ada merupakan hasil dari neuropati perifer yang dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien secara umum. 8. Pemeriksaan diagnostic/ penunjang Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut: a. Neuropatologi Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan : atropi yang bilateral, simetris lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).

Kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari : 1) Neurofibrillary tangles (NFT) Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia. 2) Senile plaque (SP) Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amiloid prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21. Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer. densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer. 3) Degenerasi neuron Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama

didapatkan pada neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia nigra. Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis. Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi merupakan harapan dalam pengobatan penyakit alzheimer. 4) Perubahan vakuoler Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP , perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak 5) Lewy body Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal, gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit alzheimer. b. Pemeriksaan Neuropsikologik Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena : 1. Adanya defisit kognisi: berhubungan dgn demensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal. 2. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif : untuk membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri

3. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab. c. CT Scan dan MRI Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. CT Scan : Menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental MRI : peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii. MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus. EEG Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatka perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik PET (Positron Emission Tomography) Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan : penurunan aliran darah metabolisme O2 glukosa didaerah serebral

SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin. Laboratorium darah Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit

demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skrining antibody yang dilakukan secara selektif. (Yulfran, 2009) 9. Diagnosis/ kriteria diagnosis 10. Therapy/ tindakan penanganan Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. a) Pengobatan simptomatik: 1. Inhibitor kolinesterase Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral Contoh: fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine), donepezil (Aricept), galantamin (Razadyne), & rivastigmin Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung ESO: memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan penderita Alzheimer, mual & muntah, bradikardi, HCl, dan nafsu makan. 2. Thiamin Pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Contoh: thiamin hydrochloride. Dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral. Tujuan: perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama. 3. Nootropik Nootropik merupakan obat psikotropik. Tujuan: memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna. 4. Klonidin Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal.

Contoh: klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis Dosis : maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu Tujuan: kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif

5. Haloperiodol Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi : Gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku: Pemberian oral Haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut Bila penderita Alzheimer menderita depresi berikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari) 6. Acetyl L-Carnitine (ALC) Merupakan suatu substrat endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan bantuan enzym ALC transferase. Tujuan : meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Dosis:1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan Efek: memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif (Yulfran, 2009) 11. Komplikasi Dengan semakin berkembangnya penyakit Alzheimer, pengidapnya akan kehilangan kemampuan untuk menjaga dirinya. Hal inilah yang mernbuat pengidap Alzheimer rentan terhadap beberapa masalah kesehatan.Kehilangan memori, penilaian gangguan kognitif dan perubahan lain yang disebabkan oleh Alzheimer, dapat mempersulit pengobatan untuk kondisi kesehatan lainnya. Seseorang dengan penyakit Alzheimer mungkin tidak dapat:
1. 2. 3. 4.

Komunikasikan bahwa ia mengalami sakit - misalnya, dari masalah gigi Laporan gejala penyakit lain Mengikuti rencana pengobatan yang diresepkan Perhatikan atau menggambarkan efek samping pengobatan Sebagai penyakit Alzheimer berlangsung, perubahan otak mulai mempengaruhi

fungsi fisik seperti menelan, keseimbangan usus, dan dan kontrol kandung kemih. Efek ini dapat meningkatkan kerentanan terhadap masalah kesehatan tambahan seperti:
1.

Kesulitan pneumonia dan infeksi lain. Menelan dapat menyebabkan orang dengan penyakit Alzheimer menghirup (aspirasi) makanan atau cairan ke dalam saluran udara dan paru-paru, yang dapat menyebabkan pneumonia. Ketidakmampuan untuk

mengendalikan pengosongan kandung kemih (urinary incontinence) mungkin memerlukan penempatan tabung untuk mengeringkan dan mengumpulkan urin (kateter urin). Setelah kateter meningkatkan risiko infeksi saluran kencing, yang dapat menyebabkan lebih-serius, infeksi yang mengancam jiwa.
2.

Cedera karena jatuh. Orang dengan Alzheimer menjadi semakin rentan untuk jatuh. Jatuh dapat menyebabkan patah tulang. Selain itu, jatuh adalah penyebab umum dari cedera kepala serius, seperti gegar otak atau perdarahan di otak.

3.

Inkontinensia adalah gejala umum dari tengah dan penyakit tahap akhir Alzheimer. Pada saat seseorang menderita kerugian total dari fungsi kandung kemih, kateter urin kadang-kadang digunakan. Kateter dapat memperkenalkan bakteri ke dalam tubuh menyebabkan infeksi saluran kemih (ISK). Pasien dengan penyakit Alzheimer juga tidak bisa ke toilet sendiri sebagai sering atau dengan penggunaan yang tepat dari kebersihan, yang menghasilkan pembentukan ISK. Gejala ISK termasuk urin gelap berwarna kuning, bau yang kuat dari urin, sedimen dalam urin dan penurunan buang air kecil. Pasien Alzheimer tidak dapat berkomunikasi rasa sakit atau ketidaknyamanan umumnya terkait dengan ISK. Tanda pasien sebuah Alzheimer memiliki ISK termasuk kebingungan, lesu dan gelisah menurut Dr Monika Karlekar dari Vanderbilt University. Penyakit Alzheimer adalah tidak umum penyebab spesifik kematian - berbagai

komplikasi dan kondisi sekunder terjadi menyebabkan kesehatan menurun dengan cepat dalam tahap akhir dari penyakit. B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian

2. Diagnose keperawatan

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. EGC Price, SA, Wilson,LM. (1994). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama. Edisi 4. Jakarta. EGC Smeltzer, Bare (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC Swearingen. (1996). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. K\Jakarta. EGC Carpenito Lynda Juall .(2001) Buku Saku Diagnosa Keperawatan ,Edisi 8. Jakarta. EGC Martha&Kelly. (2010). Diagnosa Keperawatan Nanda, Yogyakarta. Digna Pustaka

Vous aimerez peut-être aussi