Vous êtes sur la page 1sur 4

ASMA Definisi Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemennya.

Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik ini berhubungan dengan obstruksi jalan nafas yang luas.

Epidemiologi Pada penelitian ISAAC mendapatkan prevalensi gejala asma dalam 12 bulan berdasarkan kuisioner tertulis di beberapa negara, Indonesia berada pada urutan paling rendah dalam prevalensi asma. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, asma, bronkitis kronis, dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.

Patogenesis Asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akutyang terdiri dari asma tipe cepat dan asma tipe lambat Asma tipe cepat, pada tipe ini alergen akan berikatan dengan IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi ini akan mengeluarkan performed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostagladin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodiulatasi. Asma tipe lambat, reaksinya akn timbul antara 6 9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

Pada inflamasi kronik, berbagai sel terlibat dan teraktivasi, sel tersebut adalah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus. Jenis limfosit T yang berperan dalam asma ialah limfosit T CD4+, kemudian akan mengeluarkan sitokin-sitokin lainnya berupa IL-4 yang berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-3 menginduksi sel limfosit B mensitesis IgE. Serta IL-3, IL-5 dan GM-CSF berperan pada maturisasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Selain pengaktivan limfosit T, sel epitel juga teraktivasi, mengalami sheeding dan mengekspresikan molekul adhesi,

endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Pada saluran nafas penderita asma juga ditemukan eosinofil dalam keadaan teraktivasi, granul protein yang dikandung eosinophil ini bersifat toksik terhadap epitel saluran nafas. Cross linking reseptor IgE dengan faktor pada sel mast mengaktifkan sel mast kemudian terjadi degranulasi sel mast dan melepaskan sitokinsitokin yang telah disebutkan sebelumnya. Makrofag juga berperan dalam pelepasan mediatormediator inflamasi lainnya berupa leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain itu makrofag juga berperan dalam proses airway remodeling melalui sekresi growth promoting factor untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-. Proses inflamasi kronik dan pelepasan berbagai mediator-mediator inflamasi akan menimbulkan kerusakan jaringan, dan secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan yang menghasilkan perbaikan dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel baru sehingga lamakelamaan akan menimbulkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme yang sangat kompleks dan mekanismenya belum banyak diketahui dikenal dengan airway remodeling yang merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat dari inflamasi yang terus menerus. Perubahan-perubahan struktur yang terjadi selama proses airway remodeling adalah hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan nafas, hipertrofi dan hiperflasia kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal, pembuluh darah meningkat, matriks ekstraseluler fungsinya meningkat, perubahan struktur parenkim, peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis. Konsekuensi dari airway remodeling ini adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktivitas jalan nafas, regangan jalan nafas, dan obstruksi jalan nafas.

Faktor Risiko

Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang memepengaruhi untuk berkembangnya asma, alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi untuk terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernafasan (virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga.

Diagnosis Gejala penyakit yang ditemukan berupa: Bersifat episodik, seringkali reversible dengan atau tanpa pengobatan Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak, gejala timbul atau memburuk terutama pada malam hari atau dini hari Diawali dengan faktor pencetus yang bersifat individu Respon terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit: Riwayat keluarga (atopi) Riwayat alergi Penyakit lain yang memberatkan Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik Kelainan pemeriksaan fisik paling sering ditemukan adalah adanya mengi pada auskultasi. Walaupun dalam pemeriksaan, kadang terdengar normal. Pada serangan ringan, hanya terdengar mengi pada waktu ekspirasi paksa. Pada keadaan serangan, kontarksi otot polos saluran nafas, edema dan hipersekresidapat menyumbat saluran nafas, maka sebagai kompensasinya, penderita bernafas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnyabsaluran nafas. Hal itu meningkatkan kerja pernafasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi dan

hiperinflasi. Pada seranagn yang sangat berat, mengi dapat tidak terdengar, tapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan pengguanaan otot bantu pernafasan. Spirometri Pada pengukuran spirometri, Volume Ekspirasi Paksa pada detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui standar prosedur. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil data nilai tertinggi dari 2 -3 nilai yang reproducible dan acceptable. Adanya obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosa asma: Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau Vep1 < 80% nilai prediksi Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan atau setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10 14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu Menilai derajad berat asma.

Sumber: Mangunnegoro, Hadiarto dkk. 2002. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Vous aimerez peut-être aussi