Vous êtes sur la page 1sur 2

1. Identification of Key Issues Di tahun 1990-an, Konsumsi Carbonated soft drinks (CSD) di U.

S mengalami penurunan selama dua tahun berturut-turut dan pengiriman ke seluruh dunia melambat baik Coke maupun Pepsi. Sebagai tanggapan, kedua perusahaan mulai memodifikasi bottling, harga, dan strategi merek. Keduanya memandang pasar internasional berkembang dan mengalami pertumbuhan, serta melakukan perluasan portofolio merek mereka untuk memasukkan minuman non-carbonated, seperti: teh, jus, sport drinks, dan air minuman kemasan. 2. Problems Adanya penurunan volume penjualan pada CSD, dengan persentase 0.2% di tahun 2000, menjadi hanya dibawah 10 miliar. Pertumbuhan yang lambat sangat kontras bila dibandingkan pada tahun 1980-an di U.S. Bersamaan itu pula, krisis keuangan di berbagai belahan dunia, menyebabkan industri bottlers (coke dan pepsi) mengalami over-invested dan kurang dimanfaatkan (under-utilized). Pada awal 1990an pula, bottlers menerapkan strategi low price dalam chanel supermarket untuk bersaing lebih efektif dengan kualitas tinggi dan low price store brands. Perang harga telah mendorong harga soda ke titik di mana bottling tidak bisa mendapatkan pengembalian yang layak pada penjualan di supermarket. 3. Opportunities Adanya pengenalan produk baru, baik dari Coke maupun Pepsi, baverages non carbonated, dengan salah satu caranya melakukan ekspansi bisnis baik pada Pepsi maupun Coca Cola. Industri yang digeluti oleh Pepsi, seperti: Pizza hut (1978), Toco Bell (1986), KFC (1986), Mengembangkan produk minuman Gatorade (2000), begitu pula dengan Coca Cola, mengadakan kerjasama dengan Burger King dan McDonalds, bermain pada industri minuman, seperti: Minute Maid. 4. Alternative Approaches to Problems Mengelola proses value chain yang sedang dijalankan kedua perusahaan: consentrate producer, bottlers, retail channels,dan suppliers. 5. Recommendation Memanfaatkan jaringan distribusi dan bottlers dengan produk-produk sesuai dengan perkembangan pasar (non baverages). Masalah saat ini muncul, tidak se-istimewa dulu, kalo dulu racikan carbonate hanya beberapa orang tertentu, namun saat ini sudah banyak orang yang dapat meracik carbonate. Coke dan Pepsi memegang hampir 75% seluruh pasar dan 25% memiliki lokal CSD atau merk non CSD. Perubahan pasar yang tidak berubah, kemungkinan pasar cenderung stagnan. Terbukti biaya marketing dan advertising semakin besar. Pertanyaan: 1. Apa aspek struktur menguntungkan?

industri

yang membuat concentrate producers sehingga

Membutuhkan investasi modal lebih kecil pada mesin, overhead, atau tenaga kerja dan kentungan concentrate memegang rahasia resep pembuatan Cola. 2. Bandingkan secara ekonomis antara bisnis concentrate dan bottlers, mengapa keuntungan sangat berbeda jauh?

Hal. 1 dari 2

Dari segi investasi bottling lebih besar, untuk cover seluruh amerika perlu banyak pabrik sedangkan concentrate hanya satu. Bottling harus mempunyai jaringan distribusi yang luas keretailers sehingga biaya distribusi lebih tinggi. 3. Bagaimana Coke dan Pepsi menjaga value chain mereka? Dengan menjaga hubungan pendekatan dengan para bottlers, retailers, dan suppliers, seperti memberikan adanya diskon, perbaruan perjanjanjian seiring dengan perkembangan bisnis. 4. Bagaimana persaingan Coke dan Pepsi ini mempengaruhi setiap keuntungan pada tiap value chain? Karena Coke dan Pepsi bersaing harga dan bagaimana meningkatkan penjualan, maka seperti adanya diskon khusus bagi supermarket, sedangkan disisi suplier ditekan akan besarnya profitnya. 5. Dengan kondisi permintaan yang cenderung tetap dan pertumbuhan non-carbonate drinks, bagaimana Coke dan Pepsi menjaga profitabilitasnya? Hal yang dapat dilakukan adalah mengakuisisi perusahaan-perusahaan lain, yang terkait dengan support bisnis dan pelebaran penjualan di luar US.

Hal. 2 dari 2

Vous aimerez peut-être aussi