Vous êtes sur la page 1sur 27

PERSALINAN NORMAL

OBSTETRI GINEKOLOGI

OLEH
NECEL
2009

FKUNMUL ♥♥♥
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan dan persalinan merupakan hal yang wajar terjadi pada seorang
perempuan. Kedua hal tersebut berperan penting dalam proses reproduksi guna
mempertahankan kelestarian spesies manusia. Meskipun merupakan suatu hal
yang fisiologis, kehamilan dan persalinan memiliki banyak resiko yang dapat
membahayakan nyawa ibu dan janinnya.
Seorang ibu ketika akan mendekati waktu kelahiran bayi perlu untuk
mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin. Persiapan yang perlu
dilakukan adalah memilih tempat bersalin yang memadai dan nyaman, dan
memilih tenaga kesehatan yang akan menolong proses bersalin. Tenaga kesehatan
yang dianjurkan pemerintah dalam menolong persalinan misalnya dukun beranak
terlatih, bidan dan dokter. Permasalahan ketersediaan tenaga kesehatan tersebut
tidak menjadi masalah pada daerah kota atau desa yang mudah terjangkau tetapi
menjadi masalah bagi desa-desa yang terpencil atau terisolir dimana tenaga
penolong persalinan tidak memiliki pengetahuan persalinan yang cukup baik
dalam hal teknik persalinan maupun kebersihan proses persalinan. Pada masa
sekarang pemerintah mengusahakan seiring dengan semakin banyaknya lulusan
tenaga terlatih menyebarkan secara merata ke daerah-daerah terpencil para tenaga
penolong persalinan tersebut.
Angka kematian ibu di Indonesia pada saat persalinan tergolong tinggi
diantara negara berkembang. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena angka
kematian ibu adalah satu parameter yang menunjukkan kualitas pelayanan
kesehatan suatu negara. Hal ini mengakibatkan pentingnya bagi seorang tenaga
kesehatan khususnya dokter dalam memandu suatu pimpinan persalinan. Seorang
dokter dituntut memiliki kompetensi untuk mendiagnosis dan melakukan tindakan
penanganan suatu persalinan normal.
Dengan semakin berkembangnya ilmu kedokteran khususnya ilmu
mengenai obstetri dan ginekologi maka semakin berkembang pula teknik-teknik
dalam persalinan untuk mencegah kematian dan komplikasi akibat persalinan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengenalan Persalinan

Pimpinan Persalinan Normal

Persalinan normal adalah persalinan lewat vagina. Pada persalinan


normal, proses persalinan diawali dengan rasa mulas dan keluarnya lendir
bercampur darah dari vagina. Rasa mulas dan nyeri (his) biasanya datang
secara teratur, semakin lama semakin kuat dan semakin nyeri, sampai anak
berhasil dilahirkan. Proses kelahiran anak diikuti oleh kelahiran ari-ari.
Seringkali jalan lahir mengalami robekan (ruptur perineum) dan butuh
beberapa jahitan untuk memperbaikinya. (Paisal, 2007)

Suatu pimpinan persalinan normal dilakukan dengan syarat-syarat:

1. Adanya Penolong Yang Terampil


a. Seorang pemberi asuhan yang profesional
b. Memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk:
- Menatalaksana persalinan, kelahiran dan masa nifas
- Dapat mengenali komplikasi-komplikasi
- Mendiagnosis, menatalaksana atau merujuk ibu atau bayi ke tingkat
asuhan yang lebih tinggi jika terjadi komplikasi yang memerlukan
intervensi di luar kompetensi pemberi asuhan
c. Dapat melakukan semua intervensi dasar kebidanan

2. Kesiapan Menghadapi Persalinan dan Kesiapan Menghadapi


Komplikasi Bagi Pemberi Asuhan
a. Mendiagnosis dan menatalaksana masalah dan komplikasi dengan sesuai
dan tepat waktu
b. Mengatur rujukan ke tingkat yang lebih tinggi bila diperlukan
c. Memberikan konseling yang berpusat pada ibu tentang kesiapan
menghadapi persalinan dan kelahiran serta kesiapan menghadapi
komplikasinya
d. Mendidik masyarakat mengenai kesiapan menghadapi persalinan dan
kelahiran serta kesiapan menghadapi komplikasinya

3. Kesiapan Menghadapi Komplikasi Bagi Pemberi Asuhan


a. Mengenali dan merespon tanda-tanda bahaya
b. Menyusun rencana serta menentukan siapa yang berwenang untuk
mengambil keputusan di saat keadaan darurat
c. Membuat rencana untuk segera dapat mengakses dana (tabungan atau dana
masyarakat)
d. Mengidentifikasi dan merencanakan upaya yang harus dilakukan untuk
mendapatkan darah atau donor darah dengan segera bila diperlukan.
(Anonim, 2005)

Pengenalan Persalinan

Wanita hamil yang telah mendekati hari perkiraan pelahiran bayi wajib
untuk mengetahui tanda-tanda persalinan. Wanita hamil harus segera melapor
pada awal persalinan daripada menunda-nunda sampai waktu kelahiran telah
dekat karena kekhawatiran mengalami persalinan palsu. Penting bagi seorang
tenaga kesehatan untuk mendiagnosa apakah yang terjadi adalah persalinan
sejati (sebenarnya) ataukah persalinan palsu. Persalinan sejati didiagnosis
apabila kontraksi yang menimbulkan nyeri (his) disertai oleh pendataran
lengkap serviks, bloody show (darah lendir), atau pecahnya keruban. Wanita
dengan tanda-tanda ini diharuskan melahirkan bayi dalam waktu 12 jam.
(Cunningham, et.al 2006)
Tabel perbedaan persalinan sejati dan sebenarnya

Yang diamati Persalinan sejati Persalinan palsu


teratur Tidak teratur
Interval kontraksi
Secara bertahap memendek Tetap dan lama
Intensitas kontraksi Secara bertahap meningkat Tetap tidak berubah
Letak nyeri Punggung dan abdomen Perut bawah
Pembukaan serviks ada Tidak ada
Nyeri hilang dengan tidak Ya
sedasi
Jika dari hasil pemeriksaan di atas belum dapat dipastikan apakah persalinan
sejati atau palsu maka dilakukan observasi ibu tersebut sambil memeriksa
keadaan umum ibu dan janin melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
(tekanan darah, suhu, dan denyut nadi). Setiap ibu yang masuk ke unit bersalin
dilakukan suatu surveillans janin (pemeriksaan janin waktu masuk) meliputi:

- uji nonstress (NST): penilaian ada tidaknya akselerasi denyut jantung janin
dengan gerakan janin
- uji stress kontraksi (CST): penilaian frekuensi denyut jantung janin
sebelum, selama, dan setelah kontraksi uterus jika psaien telah in partu

Dengan pemeriksaan di atas dapat ditentukan apakah terdapat gawat janin atau
tidak. Pada kasus persalinan palsu dan telah dilakukan tes di atas dan hasilnya
normal maka ibu dapat dipulangkan dari unit bersalin. Jika terdapat hasil yang
tidak normal maka ibu harus dirawat untuk memperbaiki keadaan ibu dan
janinnya. (Cunningham, et.al, 2006)

Persalinan normal terbagi dalam 4 fase (kala), yaitu:

Kala 1 : waktu untuk pembukaan serviks sampai pada pembukaan lengkap


10 cm. Mengawasi wanita in-partu sebaik-baiknya. Serta menanamkan
semangat diri kepada wanita ini bahwa proses persalinan adalah fisiologis.
Tanamkan rasa percaya diri dan percaya pada penolong
Kala 2 : kala pengeluaran janin, waktu uterus dengan kekuatan his
ditambah kekuatan mengedan mendorong janin keluar hingga lahir. Pada
umumnya kepala janin telah masuk ruang panggul. Ketuban yang menonjol
biasanya akan pecah sendiri. Bila belum pecah, harus dipecahkan. His
datang lebih sering dan lebih kuat, lalu timbullah his mengedan. Penolong
harus telah siap untuk memimpin persalinan

Kala 3 : waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri. Pengawasan pada


kala pelepasan dan pengeluaran ini cukup penting, karena kelalaian dapat
mengakibatkan resiko pendarahan yang dapat engakibatkan kematian.
Biasanya, uri akan lahir spontan dalam 15-30 menit, dapat ditunggu hingga
1 jam, tetapi tidak boleh ditunggu bila terjadi banyak pendarahan

Kala 4 : mulai dari lahirnya uri selama 1-2 jam. Merupakan kala
pengawasan seteah uri lahir 1-2 jam. Darah yang keluar harus ditakar
sebaik-baiknya. Kehilangan darah pada persalinan adalah biasa disebabkan
oleh luka karena pelepasan uri dan perobekan pada serviks dan perinium.
Rata-rata dalam batas normal jumlah pendarahan adalah 250cc. Biasanya
100-300cc. Bila pendarahan sudah lebih dari 500cc, ini sudah dianggap
abnormal. Harus dicari sebabnya (Cunningham, et. al, 2006)

B. Pemeriksaan per Vaginam

Paling sering, kecuali kalau sudah ada perdarahan yg lebih dari darah lendir,
pemeriksaan vagina dgn kondisi aseptik dilakukan untuk mengetahui hal2
berikut:

a. Penipisan servix
b. Dilatasi servix
c. Posisi servix
d. Bagian presentasi
e. Stasi
f. Deteksi pecahnya selaput ketuban
Pemeriksaan Vagina

Pemeriksaan ini harus dilakukan secara halus dan hati-hati serta


menyeluruh dalam keadaan aseptis menggunakan sarung tangan. Sementara
pasien berada dalam posisi lithotomi atau posisi dorsal oleh karena dengan
posisi tersebut pemeriksaan dan orientasi akan lebih mudah dilakukan. Selain
itu pula, posisi ini juga merupakan posisi terbaik untuk menentukan imbangan
antara bagian terendah janin dengan panggul. Dalam pemeriksaan vagina ada
beberapa hal yang dapat diperiksa diantaranya :

1. Palpasi Cervix,
Dengan melakukan palpasi cervix kita dapat menentukan
 Apakah cervix lunak / kenyal?
 Apakah cervix tipis dan mendatar atau tebal dan panjang?
 Apakah cervix mudah di dilatasikan / tidak?
 Apakah cervix tertutup atau terbuka? Kalau terbuka, perkirakan lebarnya
diameter cincin cervix.
2. Presentasi, yaitu dapat ditentukan :
 Apakah presentasinya – kepala, bokong, atau bahu?
 Apakah ada caput succendaneum? Dan apakah kecil atau besar?
 Sampai dimana turunnya bagian terendah janin? Dimanakah kedudukan
bgaian terendah janin (bukan caput succendaneum) terhadap garis spina
ischiadica kanan – kiri ?
Kalau di atas garis, maka stasiunnya : -1, -2, atau -3 cm. Kalau di
bawahnya : +1, +2, atau +3 cm.

3. Kedudukan, dapat diketahui :


 Kalau presentasinya bokong, dimanakah sacrumnya? Dan kaki dalam
keadaan fleksi atau extensi?
 Pada presentasi kepala carilah sutura sagitalisnya. Bagaimanakah
arahnya? Pada diameter panggul anteroposterior, oblique atau transversa?
 Apakah sutura sagitalis ada di tengah antara pubis dengan sacrum
(synclitismus) ; dekat promontorium (asynclitismus anterior) ; atau dekat
symphysis pubis (asynclitismus posterior)?
 Apakah bregma di kanan ata kiri ? anterior atau posterior ? (bregma
berbentuk baji dan merupakan pertemuan empat buah suture).
 Dimanakah fontanella posterior ? (fontanella berbentuk huruf Y dan
mempunyai tiga suturae).
 Apakah kepala dalam keadaan fleksi (occiput lebih rendah daripada
sinciput) atau ekstensi (sinciput lebih rendah dari occiput) ?
 Pada kasus-kasus kesulitan dalam mencari suturae, palpasi telinga dapat
membantu menetapkan arah sutura sagitalis dan dengan demikian juga
diameter anteroposterior sumbu panjang kepala. Tragus menunjuk ke
arah muka.
4. Ketuban
Terabanya kantung ketuban merupakan bukti bahwa ketuban masih utuh.
Keluarnya cairan, meconium, dan rambut janin yang dapat dijepit dengan
sebuah klem, semua itu menunjukkan bahwa ketuban telah pecah.

5. Penilaian panggul secara umum, adalah untuk menilai :


 Dapatkah promontorium diraba? Conjugata diagonalis dapat diukur
secara klinis. Conjugata diagonalis adalah jarak antara tepi bawah
symphysis pubis dengan promontorium dan panjang rata-ratanya adalah
12,5 cm. Pada pemeriksaan vaginal diraba promontorium. Setelah ujung
jari distal jari-jari mencapai promontorium maka titik tempat bagian
proksimal jari-jari bersentuhan dengan angulus subpubicus diberi tanda.
Kemudian jari-jari dikeluarkan dari vagina dan kemudian kedua titik
tersebut diukur. Dengan mengurangi panjang conjugata diagonalis 1,5
cm, maka diperoleh ukuran conjugata obstetrica. Umumnya
promontorium tidak dapat diraba dan ini diterima sebagai bukti bahwa
diameter anteroposterior PAP adekuat. Apabila promontorium teraba dan
conjugata obstetrica diduga pendek maka harus dilakukan pelvimetri
dengan sinar tembus.
 Apakah bentuk PAP simetris?
 Apakah spina ischiadica menonjol dan posterior?
 Apakah sacrum panjang dan lurus atau pendek dan cekung?
 Apakah dinding samping sejajar atau konvergen?
 Apakah incisura ischiadica lebar / sempit?
 Apakah ada penonjolan tulang atau jaringan lunak ke dalam cavum
pelvis?
 Bagaimana lebarnya angulus subpubicus ? Jarak antara tuber ischiadicum
(rata-rata 10, 5 cm) secara kasar dapat diukur dengan meletakkan tinju
diantara tuber ischiadicum kanan dan kiri. Kalau ini dapat dikerjakan
maka diameter transversa PBP dianggap adekuat.
 Apakah jaringan-jaringan lunak dan perineum lemas dan elastis atau
keras dan kaku?
6. Hubungan Fetopelvik
 Bagaimana persesuaian antara bagian terendah dan panggul?
 Apabila engagement belum terjadi, maka dapatkah bagian terendah
didorong masuk panggul dengan tekanan pada fundus dan suprapubis?
 Apakah bagian terendah menonjol diatas symphysis?
(Hakimi, 1996)

C. Penatalaksanaan Partus Kala 1


Pemeriksaan fisik umum yang belum dilakukan harus diselesaikan
sesegera mungkin setelah pasien masuk rawat inap. Yang paling baik,
seorang dokter dapat membuat kesimpulan tentang normalnya kehamilan
tersebut apabila semua pemeriksaan, termasuk tinjauan ulang rekan medis
dan laboratium, sudah dilaksanakan. Sebuah rencana yang rasional untuk
memantau persalinan kemudian dapat ditegakkan berdasarkan kepentingan
janin dan ibunya. Bila tidak ada kelainan yang ditemukan atau diduga, si ibu
harus diyakinkan bahwa semuanya beres. Meskipun durasi rata-rata
persalinan kala satu pada wanita nulipara adalah sekitar 7 jam dan wanita
para sekitar 4 jam, terdapat variasi individual yang besar. Oleh karena itu,
pernyataan pasti lamanya persalinan tidaklah bijaksana

Pemantauan kesejahteraan janin selama persalinan. Untuk mendapatkan


hasil akhir kehamilan yang optimal, harus dibuat program yang tersusun rapi
untuk memberikan surveilans ketat tentang kesejahteraan ibu dan janin
selama persalanin. Semua observasi harus dicatat secara tepat. Frekuensi,
intesitas, dan lamanya kontraksi uterus, serta respons denyut jantung janin
terhadap kontraksi tersebut harus diperhatikan benar. Aspek-aspek ini dapat
dievaluasi dengan tepat dalam urutan yang logis.

Frekuensi Denyut Jantung Janin. Frekuensi denyut jantung janin dapat


diketahui dengan stetoskop yang sesuai atau salah satu di antara berbagai
macam alat ultrasonik Doppler. Perubahan frekuensi denyut jantung janin
yang kemungkinan besar berbahaya bagi janin hampir selalu dapat ditemukan
setelah kontraksi uterus. Karena itu, jantung janin wajib diperiksa dengan
auskultasi segera setalah terjadi kontraksi. Untuk menghindari kebingungan
antara kerja jantung ibu dan janinnya, denyut nadi ibunya hendaknya dihitung
pada saat menghitung frekuensi denyut jantung janin. Bila tidak, takikardia
ibu mungkin disalahartikan sebagai frekuensi denyut jantung janin normal.

Resiko, bahaya, atau gawat janin-yaitu hilangnya kesejahteraan janin-dicugai


apabila frekuensi denyut jantung janin yang diukur segera setelah kontraksi
berulang kali berada di bawah 110 denyut per menit. Gawat janin sangat
mungkin terjadi apabila denyut jantung terdengar kurang dari 100 denyut per
menit sekalipun ada perbaikan hitung detak jantung menjadi 110 sampai 160
denyut per menit sebelum kontraksi berikutnya. Apabila setelah kontraksi
ditemukan deselerasi semacam ini, persalinan tahap selanjutnya, jika
dimungkinkan, paling baik dimonitor secara elektronik
America Academy of Pediatrics dan America College of Obstetricians and
Gynecologists (1997) merekomendasikan bahwa selama persalainan kala I,
bila tidak ditemukan adanya kelainan, jantung janin harus diperikasa segera
setelah kontraksi setidaknya setiap 30 menit, kemudian setiap 15 menit pada
persalinan kala II. Jika digunakan pemantauan elektronik kontinu, grafik
dinilai sekurangnya setiap 30 menit selama persalinan kala I dan setidaknya
setiap 15 menit selama persalinan kala II. Untuk ibu hamil yang beresiko,
auskultasi dilakukan setiap 15 menit selama persalinan kala I dan setiap 5
menit selama persalinan kala II. Pemantauan elektronik kontinu dapat
digunakan dengan penilaian grafik setiap 15 menit selama persalinan kala II.

KONTRAKSI UTERUS. Dengan melakukan penekanan ringan oleh telapak


tangan diatas uterus, pemeriksa dapat menentukan waktu dimulainya
kontraksi. Intensitas kontraksi diukur berdasarkan derajat ketegangan yang
dicapai uterus. Pada puncak kontraksi efektif, jari atau ibu jari tangan tidak
dapat menekan uterus. Selanjutnya, dicatat waktu ketika kontraksi tersebut
menghilang. Urutan ini diulangi untuk mengevaluasi frekuensi, durasi, dan
intensitas kontraksi uterus. Yang paling baik adalah mengukur kontraksi
uterus dengan menyebut derajat ketegangan atau resistensi terhadap indentasi.

Pemantauan Dan Penatalaksanaan Ibu Dan Selama Persalinan

TANDA VITAL IBU. Suhu, denyut nadi, tekanan darah ibu dievaluasi
setidaknya setiap 4 jam (Tabel13-3). Jika selaput ketuban telah pecah lama
sebelum awitan persalinan, atau jika terjadi kenaikan suhu ambang, suhu
diperiksa tiap jam. Selain itu, bila terjadi pecah ketuban yang lama-lebih dari
18 jam-disarankan untuk memberikan antibiotik profilaksis terhadap infeksi
steptokokus grup B. (American College of Obstetricians and
Gynecologists,1996).

PEMERIKSAAN VAGINA SELANJUTNYA. Pada persalinan kala satu,


perlunya pemeriksaan vagina selanjutnya untuk mengetahui status serviks dan
station serta posisi bagian terbawah akan sangat bervariasi (Tabel13-3). Bila
selaput ketuban pecah, pemeriksaan hendaknya diulangi secara cepat jika
pada pemeriksaan sebelumnya kepal janin belum cakap (engaged). Frekuensi
denyut jantung janin harus diperiksa segera dan pada kontrasi uterus
berikutnya untuk mendeteksi kompresi tali pusat yang tidak diketahui. Di
Parkland Hospital, pemeriksaan panggul sering dilakukan secara periodik
dengan interval 2-3 jam untuk menilai kemajuan persalinan

ASUPAN ORAL. Makanan harus ditunda pemberiannya selama proses


persalainan aktif. Waktu pengosongan lambung memanjang secara nyata saat
proses persalinan berlangsung dan diberikan obat analgesik. Sebagai
akibatnya, makanan dan sebagian besar obat yang dimakan tetap berada di
lambung dan tidak diabsorpsi; melainkan, dapat dimuntahkan dan teraspirasi
Terdapat kecenderungan memberikan cairan dengan jumlah yang terbatas
untuk wanita in partu (Tabel13-3). Guyton dan Gibbs (1994) mengadakan
suatu penelitian mengenai pemberian cairan sebanyak 150 mL per oral 2 jam
sebelum pembedahan elektif. Insiden aspirasi tidak terpengaruh. Belum jelas
apakah penelitian ini dapat diterapkan pada wanita in partu, yang berisiko
menjalani seksio sesarea segera setiap saat.

CAIRAN INTRAVENA. Meskipun telah menjadi kebiasaan di banyak rumah


sakit untuk memasang sistem infus intravena secara rutin pada awal
persalinan, jarang ada ibu hamil normal yang benar-benar memerlukannya,
setidaknya sampai analgesia diberikan. Sistem infus intravena
menguntungkan selama masa nifas dini untuk memberikan oksitosin
profilaksis dan seringkali bersifat terapeutikketika terjadi atonia uteri. Selain
itu, persalinan yang lebih lama, pemberian glukosa, natrium dan air untuk
wanita yang sedang berpuasa dengan kecepatan 60 sampai 120 ml per jam,
efektif untuk mencegah dehidrasi dan asidosis (Tabel13-3).
Tabel 13-3. Rekomendasi Pimpinan Persalinan Kala I dan II Normal pada
Wanita tanpa Faktor Risiko Anestetik, Medis atau Obstetris

1. Tanda vital ibu diperiksa sekurang-kurangnya setiap 4 jam.


2. Pemeriksaan vagina periodik menggunakan pelumas larut-air dan steril;
hindari antiseptik povidon-iodin dan heksaklorofen.
3. Diizinkan untuk minim cairan jernih, kadang-kadang potongan es batu,
sedikit demi sedikit dan memakai pelembab bibir. Hidrasi intravena
diindikasikan bila persalinan memanjang.
4. Si ibu harus mempunyai pilihan untuk dapat berjalan-jalan selama
persalinan kala I.
5. Pereda nyeri harus bergantung pada kebutuhan dan keinginan si ibu.
Dari American Academy of Pediatrics dan American College of Obstetricians and
Gynecologists, 1997, dengan izin.

POSISI IBU SELAMA PERSALINAN. Ibu yang dalam proses bersalin tidak
perlu berbaring di tempat tidur pada awal persalinan. Sebuah kursi yang
nyaman mungkin lebih bermanfaat secara psikologis. Di tempat tidur, ibu
hendaknya diperolehkan mengambil posisi yang rasanya enak, paling sering
adalah berbaring miring. Ibu tidak harus ditahan pada posisi terlentang.
Bloom dkk. (1998) melakukan percobaan acak untuk berjalan selama
persalinan pada 1000 wanita dengan kehamilan risiko rendah. Mereka
menemukan bahwa berjalan tidak mempercepat atau mengganggu persalinan
aktif dan tidak berbahaya.

ANALGESIA. Seperti tercantum pada Tabel13-3, analgesi paling sering


mulai diberikan berdasarkan rasa nyeri pada wanita yang bersangkutan. Jenis
analgesia, jumlahnya, dan frekuensi pemberian hendaknya didasarkan pada
kebutuhan untuk menghilangkan nyeri di satu pihak, dan kemungkinan
melahirkan bayi yang sakit di lain pihak
Penetapan waktu, metoda pemberian, dan ukuran dosis awal serta lanjutan
obat-obat analgesik yang bekerja secara sistemik sangat didasarkan pada
interval waktu yang diharapkan sampai pelahiran. Oleh karenanya,
pemeriksaan vagina berulang sebelum memberikan analgetik lebih banyak
sering kali dapat diterima. Dengan munculnya gelaja-gejala khas persalinan
kala dua, yaitu dorongan untuk mengejan, status serviks dan bagian terbawah
janin harus dievaluasi kembali.

AMNIOTOMI. Bila selaput ketuban masih utuh, ada dorongan yang besar-
bahkan pada persalinan normal sekalipun-untuk melakukan amniotomi.
Manfaat yang diperkirakan adalah persalinan bertambah cepat, deteksi dini
kasus pencemaran mekonium pada cairan amnion, dan kesempatan untuk
memasang elektroda ke janin serta memasukkan pressure catheter ke dalam
rongga uterus. Jika amniotomi dilakukan, harus diupayakan menggunakan
teknik aseptik. Yang penting, kepala janin harus tetap berada di serviks dan
tidak dikeluarkan dari panggul selama prosedur; karena tindakan seperti itu
akan menyebabkan prolaps tali pusat.

FUNGSI KANDUNG KEMIH. Distensi kandung kemih harus dihindarkan


karena dapat mengakibatkan persalinan macet dan selanjutnya menimbulkan
hipotonia serta infeksi kandung kemih. Setiap melakukan pemeriksaan
abdomen, daerah suprapubik hendaknya diinspeksi dan dipalpasi untuk
mendeteksi pengisian kandung kemih. Jika kandung kemih dengan mudah
dapat dilihat dan dipalpasi di atas simfisis, wanita tersebut dianjurkan untuk
berkemih. Sewaktu-waktu ibu diperbolehkan untuk berjalan dengan bantuan
ke toilet dan berhasil berkemih, sekalipun ibu tidak dapat berkemih di tempat
tidur. Jika kandung kencing terdistensi dan tidak dapat berkemih,
diindikasikan kateterisasi intermiten

(Cunningham et. al, 2006)


D. Kala II

Kala II mulai bila pembukaan serviks lengkap. Umumnya pada akhir


kala I atau permulaan kala II dengan kepala janin sudah masuk dalam ruang
panggul, ketuban pecah sendiri. Bila ketuban belum pecah spontan, ketuban
harus dipecahkan (amniotomi). Kadang-kadang pada permulaan kala II ini
wanita tersebut ingin muntah disertai rasa ingin mengedan kuat. His akan
timbul lebih sering dan merupakan tenaga pendorong janin. Disamping his,
wanita tersebut harus dipimpin meneran (untuk membuat kontraksi dinding
abdomen dan diafragma menekan uterus) pada waktu his. Di luar his denyut
jantung janin harus sering diawasi. Ada 2 cara mengedan :

1. Wanita tersebut dalam letak berbaring merangkul kedua pahanya sampai


batas siku. Kepala sedikit diangkat, sehingga dagu mendekati dada dan ia
dapat melihat perutnya.
2. Sikap seperti di atas, tetapi badan dalam posisi miring ke kanan atau kiri
tergantung pada letak punggung anak. Hanya satu kaki dirangkul, yakni
kaki yang berada di atas. Posisi yang menggulung ini memang fisiologis.
Posisi ini baik dilakukan bila putaran paksi dalam belum sempurna. Dokter
atau penolong persalinan berdiri pada sisi kanan wanita tersebut.
Bila kepala janin telah sampai pada dasar panggung, vulva mulai
membuka. Rambut kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak
mulai meregang. Perineum mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai
membuka. Anus pada mulanya bulat berubah berbentuk "D" dan tampak
dinding depan rektum. Perineum ditahan dengan tangan kanan sebaiknya
dengan kassa steril, bila tidak ditahan akan robek (Ruptura perinei)
(Winkjosastro, 2006)

Dianjurkan untuk melakukan episiotomi (insisi pada perineum dengan


gunting) pada primigravida dan pada perineum kaku. Episiotomi dilakukan
pada saat perineum tipis dan kepala tidak masuk kembali ke dalam vagina.
Ketika kepala janin akan mengadakan defleksi dengan suboksiput di bawah
simfisis sebagai hipomoklion, sebaiknya tangan kiri menahan bagian belakang
kepala dengan maksud agar gerakan defleksi tidak terlalu cepat. Dengan
demikian, ruptura perinei dapat dihindarkan. Untuk mengawasi ruptura
perineum ini posisi miring (Sims position) lebih menguntungkan dibandingkan
posisi biasa. Akan tetapi, bila perineum jelas telah tipis dan menunjukkan
akan timbul ruptura perinei, maka sebaiknya dilakukan epistotomi,. Dikenal :
a). epistotomi mediana (pada garis tengah, baik dilakukan pada multipara), b).
epistotomi mediolateralis (pada garis tengah dan diperluas ke lateral saat
mendekati anus, baik dilakukan pada primi), dan c). epistotomi lateralis
(langsung miring terhadap sumbu perineum, dapat memberikan pembukaan
yang terbesar, kadang dilakukan pada keadaan direncanakan ekstraksi forceps
atau ekstraksi vakum) (Winkjosastro, 2006)

Gambar: Berbagai Jenis Epistotomi

Keuntungan epistotomi mediana ialah tidak menimbulkan perdarahan


banyak dan penjahitan kembali lebih mudah, sehingga sembuh per primam
dan hampir tidak berbekas. Bahayanya ialah dapat menimbulkan ruptura
perinei totalis (robekan perineum tembus sampai m.sfingter ani, bahkan
kadang sampai mukosa rektum).Perawatan ruptura perinei totalis harus
dikerjakan serapi-rapinya, agar jangan sampai gagal dan timbul inkontinensia
alvi. Untuk menghindarkan robekan perineum dapat dilakukan perasat Ritgen
: bila perinuem meregang dan menipis, tangan kiri menahan dan menekan
bagiana belakang kepala janin ke arah anus. Tangan kanan pada perineum,
dengan ujung-ujung jari tangan kanan tersebut melalui kulit perineum dicoba
menggait dagu janin dan ditekan ke arah simfisis dengan hati-hati. Dengan
demikian, kepala janin dilahirkan perlahan-lahan ke luar. Setelah kepala lahir
diperhatikan apakah tali pusat melilit leher janin. Lilitan dapat dilonggarkan
dan bila sukar dapat dilepaskan dengan menjepit tali pusat dengan 2 cunam
Kocher kemudian dipotong diantaranya dengan gunting yang tumpul ujungnya
(Winkjosastro, 2006).

Gambar: Manuver Ritgen

E. Kelahiran spontan
Pada waktu kepala meregangkan vulva dan perineum pada saat
kontraksi sehingga cukup untuk membuka introitus vagina menjadi
berdiameter sekitar 5 cm, perlu memasang duk steril dengan satu tangan untuk
melindungi introitus dari anus dan kemudian menekan ke depan pada dagu
janin melalui perineum tepat di depan coccygis, sementara tangan lainnya
memberikan tekanan di atas pada occiput. Kepala dilahirkan secara berlahan
dengan basis occiput berputar di tepi bawah symphisis pubis sebagai titik
tumpu, sementara bregma (fontanela anterior), dahi dan wajah berturut-turut
terlihat di perineum. Setelah kepala lahir, kepala mengadakan putaran paksi
luar ke arah letak punggung janin. Usaha selanjutnya melahirkan bahu janin.
Mula-mula lahirkan bahu depan, dengan kedua telapak tangan pada samping
kiri dan kanan kepala janin. Kepala janin ditarik perlahan kearah anus
sehingga lahir bahu depan, tarikan tidak boleh terlalu keras dan kasar oleh
karena dapat menimbulkan robekan pada muskulus sternokleidomastoidues.
Kemudian, kepala janin diangkat kearah simfisis untuk melahirkan bahu
belakang.
Setelah kedua bahu janin dapat dilahirkan, maka usaha selanjutnya ialah
melahirkan badan janin, trokanter anterior dan disusul trokanter posterior.
Dengan kedua tangan di bawah ketiak janin dan sebagaian di atas dipunggung
atas berturut-turut dilahirkan badan janin, trokanter anterior dan trokanter
posterior.
Setelah janin lahir, bayi sehat dan normal akan segera menarik napas
dan langsung menangis keras. Kemudian bayi diletakkan dengan kepala ke
bawah kira-kira membentuk sudut 30 derajat dengan bidang datar.
Lendir pada jalan napas segera dibersihkan atau diisap dengan
pengisap lendir. Tali pusat dipotong 5-10 cm dari umbilikus diantara 2 cunam
Kocher. Bila kemungkinan akan melakukan exchange transfusion pada bayi
maka pemotongan tali pusat diperpanjang sampai antara 10-15cm. Ujung tali
pusat bagian bayi didesinfeksi dan diikat kuat. Hal ini harus diperhatikan
benar karena bila ikatan kurang kuat, ikatan dapat terlepas dan perdarahan dari
tali pusat masih dapat terjadi yang membahayakan bayi tersebut. Kemudian
diperhatikan kandung kencing ibu. Bila penuh, dilakukan pengosongan
kandung kencing, sedapat-dapatnya wanita bersangkutan disuruh kencing
sendiri. Kandung kencing yang penuh dapat menimbulkan atonia uteri dan
mengganggu pelepasan plasenta yang berarti menimbulkan perdarahan
postpartum. (Winkjosastro, 2006)

F. Janin terlilit tali pusat

Tali pusat yang melilit janin bisa memicu kematian. Tetapi ternyata
lilitan tali pusat tidaklah terlalu membahayakan. Lilitan tali pusat menjadi
bahaya ketika memasuki proses persalinan dan terjadi kontraksi rahim
(mulas) dan kepala janin mulai turun memasuki saluran persalinan. Lilitan tali
pusat menjadi semakin erat dan menyebabkan penekanan atau kompresi pada
pembuluh-pembuluh darah tali pusat. Akibatnya, suplai darah yang
mengandung oksigen dan zat makanan ke bayi akan berkurang,
mengakibatkan bayi menjadi sesak atau hipoksia.

Sebab Janin terlilit tali pusat

Pada usia kehamilan sebelum 8 bulan umumnya kepala janin belum


memasuki bagian atas panggul. Pada saat itu ukuran bayi relatif masih kecil
dan jumlah air ketuban banyak sehingga memungkinkan bayi terlilit tali pusat.
Pada kehamilan kembar dan air ketuban berlebihan atau polihidramnion
kemungkinan bayi terlilit tali pusat meningkat. Tali pusat yang panjang dapat
menyebabkan bayi terlilit. Panjang tali pusat bayi rata-rata 50 sampai 60 cm.
Namun tiap bayi mempunyai panjang tali pusat berbeda-beda. Dikatakan
panjang jika melebihi 100 cm dan dikatakan pendek jika panjangnya kurang
dari 30 cm.

Penyebab bayi meninggal karena tali pusat

Puntiran tali pusat secara berulang-ulang ke satu arah. Biasanya terjadi


pada trimester pertama atau kedua. Ini mengakibatkan arus darah dari ibu ke
janin melalui tali pusat tersumbat total. Karena dalam usia kehamilan tersebut
umumnya bayi masih bergerak dengan bebas. Lilitan tali pusat pada bayi
terlalu erat sampai dua atau tiga lilitan. Hal tersebut menyebabkan kompresi
tali pusat sehingga janin mengalami kekurangan oksigen

Penanganan

Memberikan oksigen pada ibu dalam posisi miring. Namun, bila


persalinan masih akan berlangsung lama dan detak jantung janin semakin
lambat (bradikardia), persalinan harus segera diakhiri dengan tindakan
operasi caesar. Melalui pemeriksaan teratur dengan bantuan USG untukk
melihat apakah ada gambaran tali pusat di sekitar leher. Namun, tidak dapat
dipastikan sepenuhnya bahwa tali pusat tersebut melilit leher janin atau tidak.
Apalagi untuk menilai erat atau tidaknya lilitan. Namun, dengan USG
berwarna (collor dopper) atau USG 3 dimensi, Anda dapat lebih memastikan
tali pusat tersebut melilit atau tidak di leher janin, serta menilai erat tidaknya
lilitan tersebut.

Tanda tanda bayi terlilit tali pusat

Pada bayi dengan usia kehamilan lebih dari 34 minggu, namun bagian
terendah janin (kepala atau bokong) belum memasuki bagian atas rongga
panggul. Pada janin letak sungsang atau lintang yang menetap meskipun telah
dilakukan usaha untuk memutar janin (Versi luar/knee chest position) perlu
dicurigai pula adanya lilitan tali pusat. Tanda penurunan detak jantung janin di
bawah normal, terutama pada saat kontraksi rahim. (Conectique, 2008)

G. Pelahiran Bahu

Setelah lahir, kepala jatuh ke posterior, sehingga wajah hampir


menempel ke anus. Oksiput segera memutar kearah salah satu paha ibunya
sehingga kepala mengambil posisi melintang. Gerakan-gerakan restitusi
selanjutnya (rotasi eksterna) menunjukkan bahwa diameter biakromion
(diameter transversal dada) telah memutar menyesuaikan dengan diameter
anteroposterior panggul. Paling sering, bahu terlihat di vulva tepat setelah
rotasi eksternal dan lahir spontan. Kadangkala, terjadi pelambatan dan
tampaknya perlu dianjurkan ekstraksi segera. Pada keadaan itu, sisi kepala
dipegang dengan kedua tangan dan lakukan traksi kearah bawah secara
perlahan, dilakukan sampai bahu anterior terlihat dibawah arkus pubis.
Beberapa praktisi lebih memilih melahirkan bahu anterior sebelum menghisap
nasofaring atau memeriksa tali pusat untuk menghindari distosia bahu. Lalu,
dengan gerakan keatas bahu posterior dilahirkan. (Cunningham, et.al, 2006)
Sisa badan hampir selalu mengikuti bahu tanpa kesulitan, tetapi pada
kasus persalinan yang berkepanjangan, pelahiran badan dapat dipercepat
dengan tarikan sedang pada kepala dan tekanan sedang pada fundus uteri.
Mengaitkan jari-jari di aksila hendaknya dihindari, karena akan mencederai
saraf ekstremitas superior sehingga menimbulkan paralisis sementara atau
mungkin permanen. Selanjutnya, traksi hendaknya hanya dikerjakan searah
sumbu panjang bayi karena kalau ditarik miring dapat menyebabkan
tertekuknya leher dan peregangan belebihan pleksus brakialis. (Cunningham,
et.al, 2006)

H.Membersihkan nasofaring

Membersihkan nasofaring dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan


aspirasi debris cairan amnion dan darah yang mungkin terjadi setelah dada
lahir dan bayi menarik nafas, wajah cepat-cepat diusap dan lubang hidung
serta mulut bayi diaspirasi. (Cunningham, et.al, 2006)

Teknik Intubasi

Kepala janin dalam posisi menghadap ke atas. Laringoskop dimasukkan


ke dalam sisi dalam mulut, kemudian diarahkan ke posterior ke arah orofaring
kemudian laringoskop digerakkan secara perlahan ke dalam ruangan di antara
dasar lidah dan epiglottis. Elevasi perlahan ujung laaringoskop akan
mengangkat ujung epiglotis serta memajankan glottis dan pita suara. Pipa
endotrakeal dimasukkan melaui sisi kanan mulut dan dimasukkan melalui pita
suara sampai bahu pipa mencapai glotis. Ukuran pipa endutrakeal harus sesuai
dengan janin. Langkah yang diambil untuk memastikan pipa berada dalam
trakea dan bukan di esofagus adalah dengan mendengarkan bunyi napas atau
suara gurgling jika udara dimasukkan ke dalam lambung. Setiap benda asing
yang menghalangi pipa endotrakea harus segera disingkirkan dengan cara
pengisapan. Mekonium, darah, mucus dan debris tertentu pada cairan amnion
atau pada jalan lahir mungkin telah dihisap in utero atau saat melalui jalan
lahir. (Cunningham, et.al, 2006)

I. Pemotongan Tali Pusat

Tali pusat dipotong di antara dua klem seperti yang dipasang 4 atau 5 cm
dari abdomen janin dan kemudian satu klem tali pusat dipasang 2 atau 3 cm
dari abdomen janin. Sebaiknya dalam memilih klem, gunakan klem plastik
yang aman, efisien, mudah disterilkan dan tidak terlalu mahal. (Cunningham,
et.al, 2006)

Saat yang tepat mengklem tali pusat


Jika setelah lahir, bayi ditempatkan setinggi introitus vagina atau di
bawahnya selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasenta tidak segera disumbat
dengan klem tali pusat, sekitar 80 ml darah dapat berpindah dari plasenta ke
janin. Satu keuntungan dari transfusi plasenta tersebut adalah fakta bahwa
hemoglobin pada 80 ml darah plasenta yang berpindah ke bayi tersebut,
memberikan 50 mg besi sebagai simpanan bayi dan tentu saja mengurangi
frekuensi anemia gizi besi pada masa bayi.

Pada percepatan perusakan eritrosit, seperti yang terjadi pada alloimunisasi


ibu, bilirubin yang terbentuk dari eritrosit tambahan tersebut ikut memperberat
bahaya hiperbilirubinemi. Meskipun secara teori risiko beban sirkulasi yang
berlebihan akibat hipervolemia berat mengkhawatirkan, terutama pada bayi
prematur dan pertumbuhan terhambat, tambahan darah plasenta ke dalam
sirkulasi bayi tersebut biasanya tidak menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu
mengklem tali pusat setelah pembersihan saluran nafas bayi pertama kali
selesai biasanya memerlukan waktu 30 detik. Bayi tidak dinaikkan di atas
introitus pada persalinan pervaginam, juga tidak terlalu tinggi di atas dinding
abdomen ibu pada seksio sesarea. (Cunningham, et. al, 2006)

J. Penatalaksanaan Kala III Persalinan

Partus kala III disebut kala uri. Kelalaian dalam memimpin kala III dapat
mengakibatkan kematian karena perdarahan. Kala uri dimulai sejak bayi lahir
lengkap sampai plasenta lahir lengkap. Ada 2 tingkat pada kelahiran plasenta,
yaitu :
1. melepasnya plasenta dari implantasinya pada dinding uterus
2. pengeluaran plasenta dari dalam kavum uteri
(Winkjosastro, 2006)

Seperti telah dikemukakan, setelah janin lahir, uterus masih mengadakan


kontraksi yang mengakibatkan penciutan permukaan kavum uteri. Akibatnya
plasenta akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari
tengah (sentral menurut Schultze) atau dari pinggir plasenta (marginal menurut
Mahews-Duncan) atau serempak dari tengah dan dari pinggir plasenta. Cara
yang pertama ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina
(tanda ini dikemukakan oleh Ahlfeld) tanpa adanya perdarahan per vaginam,
sedangkan cara yang kedua ditandai adanya perdarahan dari vagina apabila
plasenta mulai terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml, bila lebih
maka hal ini patologis. (Winkjosastro, 2006)

Segera setelah bayi lahir, tinggi fundus uteri dan konsistensinya


hendaknya dipastikan. Selama uterus tetap kencang dan tidak ada perdarahan
yang luar biasa, menunggu dengan waspada sampai plasenta terlepas biasa
dilakukan. Jangan dilakukan masase; tangan hanya diletakkan di atas fundus,
untuk memastikan bahwa organ tersebut tidak menjadi atonik dan terisi darah
dibelakang plasenta yang terlepas (Cunningham, et.al , 2006)

Tanda-tanda pelepasan plasenta

Karena usaha-usaha untuk mengeluarkan plasenta sebelum terlepas sia-sia


saja dan mungkin berbahaya, yang paling penting adalah mengenali tanda-
tanda pelepasan plasenta sebagai berikut:

1. Uterus menjadi globular, dan biasanya lebih kencang. Tanda ini terlihat
paling awal.
2. Sering ada pancaran darah mendadak
3. Uterus naik di abomen karena plasenta yang telah terlepas, berjalan turun
masuk ke segmen bawah uterus dan vagina, serta massanya mendorong
uterus ke atas.
4. Tali pusat keluar lebih panjang dari vagina, yang menunjukkan bahwa
plasenta telah turun. (Cunningham & et, 2006)
Tanda-tanda ini kadang-kadang terlihat dalam waktu 1 menit setelah bayi
lahir dan biasanya dalam 5 menit. Kalau plasenta sudah lepas, dokter harus
memastikan bahwa uterus tetap berkontraksi kuat. Ibu boleh diminta untuk
mengejan dan tekanan intraabdominal yang ditimbulkan mungkin cukup untuk
mendorong plasenta. Kalau upaya ini gagal atau kalau pengeluaran spontan
tidak mungkin karena anestesi, dan setelah memastikan bahwa uterus
berkontraksi kuat, tekan fundus uteri dengan tangan untuk mendorong plasenta
yang sudah terlepas ke dalam vagina (Cunningham, et. al, 2006)

Kelahiran plasenta

Pengeluaran plasenta jangan dipaksakan sebelum pelepasan plasenta karena


ditakutkan menyebabkan inversio uteri. Pada saat uterus ditekan, tali pusat
tetap tegang. Uterus diangkat ke arah atas dengan tangan diatas abdomen.
Manuver ini diulangi beberapa kali sampai plasenta mencapai introitus. Saat
plasenta melewati introitus, penekanan pada uterus dihentikan. Plasenta
kemudian secara perlahan dikeluarkan dari introitus. Traksi pada tali pusat
tidak dibenarkan untuk menarik plasenta keluar dari uterus. Membran yang
melekat dilepaskan dari perlekatannya untuk mencegah terjadi robek atau
tertahan di jalan lahir. Apabila membran mulai robek, pegang robekan tersebut
dengan klem dan tarik perlahan. Permukaan maternal plasenta harus diperiksa
dengan hati-hati untuk memastikan bahwa tidak ada bagian plasenta yang
tertinggal di uterus. (Cunningham, et.al, 2006)

K. Kala IV

Plasenta, selaput ketuban, dan tali pusat hendaknya diperiksa


kelengkapannya dan kelainan – kelainan yang ada. Satu jam segera setelah
kelahiran plasenta adalah masa kritis dan disebut oleh beberapa ahli obstetri
sebagai persalinan “kala empat”. (Cunningham, et. al, 2006)
Hal ini dimasudkan agar dokter, bidan, atau penolong persalinan masih
mendampingi wanita selesainya bersalin, sekurang – kurangnya 1 jam
postpartum. Dengan cara ini diharapkan kecelakaan – kecelakaan karena
perdarahan postpartum dapat dikurangi atau dihindarkan. Sebelum
meninggalkan wanita postpartum, harus diperhatikan 7 pokok penting:

1. Kontraksi uterus harus baik


2. Tidak ada perdarahan dari vagina atau perdarahan – perdarahan dalam alat
genitalia lainnya
3. Plasenta dan selaput ketuban harus telah lahir lengkap
4. Kandung kencing harus kosong
5. Luka –luka pada perineum terawat dengan baik dan tidak ada hematoma
6. Bayi dalam keadaan baik
7. Ibu dalam keadaan baik. Nadi dan tekanan darah normal, tidak ada
pengaduan sakit kepala atau enek. Adanya frekuensi nadi yang menurun
dengan volume yang baik adalah suatu gejala baik. (Winkjosastro, 2006)
Sekalipun diberikan oksitosin, perdarahan postpartum akibat atonia uterus
paling mungkin terjadi pada saat ini (satu jam setelah plasenta lahir lengkap).
Uterus harus sering diperiksa selama masa ini. Demikian pula, daerah
perineum harus sering diperiksa untuk mendeteksi perdarahan yang banyak.
American Academy of Pediatrics dan American College of Obsetricians and
Gynecologist (1997) merekomendasikan untuk mencatat tekanan darah dan
denyut nadi segera setelah melahirkan dan setiap 15 menit selama satu jam
pertama setelah melahirkan. (Cunningham, et. al, 2006)
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2005). Pelatihan APN. Retrieved October 18, 2008, from Instalasi
Kesehatan Reproduksi Pemalang: http://kesehatanreproduksi.tripod.com/apn.html

Conectique. (2008). Pregnancy-Waspadai, Janin Terlilit Tali Pusat. Retrieved


October 19, 2008, from Conectique-connecting women:
http://www.conectique.com

Cunningham, et. al. (2006). Obstetri Williams. Jakarta. Jakarta: EGC.

Hakimi, M. (1996). Harry Oxon Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi


Persalinan Human Labor and Birth. Jakarta: Yayasan Essentia Medica.

Paisal. (2007, October 20). Persalinan: Operasi Sesar atau Normal. Retrieved
Oktober 19, 2008, from Warta Medika:
http://www.wartamedika.com/2007/10/persalinan-operasi-sesar-atau-
normal.html>Persalinan : Operasi Sesar atau Normal?

Winkjosastro, H. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.
Trims 4 downloading.
See the next chapter of necel publication

Made under authority of Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman`s student

For further information please visit:


necel.wordpress.com

Copyright © necel 2009

Free to distributed and copied as if nothing of part of this document isn`t deleted
or changed.

Vous aimerez peut-être aussi