Vous êtes sur la page 1sur 15

URBAN TOURISM MERUPAKAN SALAH SATU KONSEP PEMBANGUNAN PARIWISATA YANG SESUAI UNTUK ACEH KARENA TERKONTROL, TERKENDALI

DAN MUDAH DIAWASI

OLEH Drs. Helmy Ali, MM Widyaiswara Madya BKPP Aceh

Pendahuluan Seiring dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan perekonomian dunia sekarang, kehidupan manusia cenderung telah berubah. Kepariwisataan yang dulunya merupakan aktivitas masyarakat kelas atas dan bangsawan yang berduit, kini sudah menjadi bagian dari kebutuhan sebagian besar umat manusia. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah wisatawan dunia yang melakukan perjalanan wisata ke berbagai pelosok dunia dari tahun ke tahun. Dalam tahun 2005 jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 892 juta orang dengan pengeluaran lebih kurang USD 616 juta. Dalam tahun 2020, WTO memprediksikan jumlah tersebut akan meningkat menjadi 1,602 milyar orang dengan pengeluaran lebih kurang sebesar USD 1,4 milyar. Fenomena di atas meyakinkan banyak pihak, termasuk PBB, World Bank. WTO, dll. bahwa pariwisata dapat memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan ekonomi rakyat di dunia. Mengapa ? orang-orang yang melakukan perjalanan memerlukan sejumlah kebutuhan seperti transportasi, akomodasi, makan-minum, porter, pemandu, money changer, health service, cendera-mata, dll. Kebutuhan-kebutuhan wisatawan tersebut merupakan peluang usaha bagi masyarakat penerima wisatawan yang melibatkan dirinya dengan kegiatan wisata tersebut. 1

Uluran tangan masyarakat setempat dalam membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan wisatawan tersebut merupakan peluang usaha bagi mereka dalam memperoleh penghasilan. Makin besar jumlah wisatawan yang datang, makin besar pula volume kebutuhan sehingga semakin besar peluang usaha yang terbuka. Sekitar awal abad XX, aktivitas perjalanan wisata hanya dilakukan oleh kaum elit di Eropa, namun kemudian berkembang menjadi lebih meluas, tanpa kecuali. Perkembangan-nya bahkan telah menjalar hingga ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Perkembangan kepariwisataan di Indonesia terus mengalami kemajuan; jika beberapa tahun lalu, Daerah Tujuan Wisata di Indonesia hanya dikenal Bali, Yokyakarta, Jakarta dan beberapa DTW lain, namun kini telah hadir 10 DTW unggulan beyond Bali seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya Barat (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2008). Dari segi jumlah pengunjung, Indonesia berhasil mendatangkan 6 juta orang wisatawan mancanegara dalam tahun 2010. Dalam tahun 2011 ditargetkan sebanyak 7 juta orang dan bahkan yang datang jumlahnya diatas target yaitu sebanyak 7,6 juta orang (Laporan Menteri Pariwisata pada Malam Tahun Baru 2012). Di sisi lain, Provinsi Aceh sejak tahun 1985 sudah berupaya mengembangkan Meskipun kepariwisataannya masih walaupun belum berjalan secara kinerja alami. yang

kemajuannya

menunjukkan

menggembirakan, terutama dilihat dari kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat; bahkan, Aceh juga belum

mampu menempatkan dirinya dalam daftar Daerah Tujuan Wisata (DTW) unggulan Indonesia (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tanggal 18 Oktober 2008), namun jumlah kunjungan wisata ke daerah ini terus mengalami peningkatan secara signifikan. Dipandang dari segi potensi pariwisata, Aceh memiliki peluang yang sangat besar untuk pembangunan, meskipun kemajuannya masih berada pada titik yang masih rendah sehingga belum terdaftar sebagai salah satu daerah pemasuk wisatawan terbesar di Indonesia. Menurut Prof. DR. A. Rahman Lubis, M.Sc. persoalan diatas terletak pada kelemahan dalam mengolah potensi menjadi komponen produk pariwisata yang menarik, mengelola dan memasarkannya. Padahal ketiga hal itu merupakan kunci bagi memungkinkannya Aceh menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang handal. Disamping itu agar kemajuan pariwisata Aceh sustainable (terus berlanjut) perlu dipertahankan popularitas sebagai DTW dengan cara menciptakan kesan (image) agar pengunjung meninggalkan Aceh dengan kesan yang baik sehingga terbentuk brand Image. Image tersebut dapat dibangun melalui nilai (value) yang diperoleh wisatawan pada saat mereka berkunjung. Hal itu dapat dikembangkan melalui pengelolaan dan

pemasaran produk wisata yang berorientasi pada pasar dan fokus pada kebutuhan serta keinginan pasar (A. Rahman Lubis, 2001). Terlepas dari berbagai permasalahan dan komentar, ada saran yang diusulkan. Sudah menjadi pengetahuan umum, Aceh sudah lama dijuluki Serambi Mekkah, dan langkah pembangunan pariwisata seolah-olah

terbelenggu predikat tersebut. Padahal, sebenarnya, dalam bisnis pariwisata julukan itu merupakan modal dalam mendatangkan wisatawan. Hanya saja,

konsepsi pembangunan pariwisata harus diarahkan pada bentuk

pariwisata

yang tidak merusak tatanan nilai-nilai agama, budaya dan adat. Untuk itulah melalui kertas ini di usulkan konsep pembangunan pariwisata Aceh, dengan konsep Urban Tourism yaitu Pariwisata Dalam Kota. Hal ini masuk akal, karena: Pertama, aktivitas urban tourism berada di dalam kota dan wisatawan yang datang terkonsentrasi di dalam kota. Hampir semua perangkat daerah, sosial kemasyarakatan dan swasta pada umumnya juga terpusat di dalam kota. Dengan demikian pariwisata yang

pengembangannya terpusat di dalam kota akan banyak yang melihat dan mengawasinya. Petugas polisi, polisi pamong praja dan polisi syariah, misalnya tidak perlu jauh-jauh harus bertugas mengawasi aktivitas pariwisata. Dengan demikian pariwisata kota (urban tourism) mudah diawasi sehingga

kemungkinan terjadinya pelanggaran sangat kecil jika dibandingkan dengan pariwisata yang dikembangkan jauh di desa sana (resort tourism). Kedua, pola pembangunan urban tourism dapat melahirkan linkage (hubungan) daya tarik wisata antar daerah di Aceh sehingga terwujudnya jalur perjalanan (itinarary) wisata yang menarik. Hal ini akan membentuk sinerji daya tarik satu daerah (kabupaten) dengan daerah lain, sehingga membentuk sebuah daya tarik wisata yang sangat beragam dan diminati oleh banyak segmen pasar. Ketiga, wisatawan yang datang membawa nilai-nilai budaya mereka sendiri yang jauh berbeda dengan budaya masyarakat kita. Mereka tidak ada niat, memang, untuk memperkosa budaya kita, akan tetapi tanpa sengaja di dalam mempraktekkan budaya mereka terjadi kebiasaan-kebiasaan yang

berbeda dengan kita. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya polusi nilai-nilai budaya dan norma-norma agama kita. Berikut kita mencoba membahas konsepsi pembangunan pariwisata kota (urban tourism) dengan mengambil contoh beberapa negara yang sudah berhasil memajukan kepariwisataannya. II. Konsepsi Pariwisata Kota (Urban Tourism) Sebenarnya, pariwisata kota (urban tourism) bukanlah konsep baru dalam dunia pariwisata. Di negara-negara maju, Eropa dan Amerika, konsep pariwisata kota (urban tourism) telah berkembang sejak puluhan tahun yang silam. Bahkan, pada awal pembangunan pariwisata di duniapun, konsep pariwisata kota adalah yang lebih dulu diperkenalkan. Ada beberapa alasan mengapa pariwisata lebih dulu lahir di kota dibandingkan dengan di pedesaan. Pertama, kesiapan sarana dan prasarana pendukung dan penunjang pariwisata jauh lebih duluan tersedia di kota dibandingkan di desa. Kedua, volume pasar (konsumen) local lebih banyak terdapat di kota dibandingkan di desa. Jikapun pariwisata dibangun di desa, konsumennya juga berasal dari kota. Ketiga, ketersediaan kemudahan bagi wisatawan lebih terjamin di kota dibandingkan di desa. Keempat, mungkin dari segi keamanan lingkungan dari gangguan hewan liar juga lebih terjamin di kota dibandingkan di desa. Kelima, konsumen dari luar daerah/ luar negeri lebih memilih untuk berkunjung ke Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang obyek-obyek wisatanya terdapat di kota, (mungkin dari segi alasan kemudahan, kenyamanan dan keamanan).

III. Daya Tarik Urban Tourism Mungkin tidak ada yang memungkiri bahwa Singapore adalah contoh sukses pembangunan pariwisata kota (urban tourism) di Asia Tenggara. Untuk kepentingan pariwisata kota (urban tourism), Singapore memanfaatkan bangunan-bangunan kuno (peninggalan Belanda) dan bersejarah sebagai daya tarik wisata. The Supreme Court, yang terletak di St. Andrews Road, yang dibangun tahun 1939, misalnya, masih berdiri kokoh dengan pilar-pilarnya bergaya Eropa. Begitu juga dengan Raffles hotel yang telah direnovasi dengan tetap mempertahankan gaya arsitektur Eropah. Di sepanjang water front Singapore river, rumah-rumah tua berlantai tiga direnovasi dan berubah fungsi menjadi hotel dan restauran. Disamping itu, hampir di setiap sudut kota terdapat bangunan kuno yang terdiri dari kuil Cina dan Hindu, gereja dan masjid. Tidak ada kesan menyeramkan dari bangunan-bangunan itu karena sudah dilakukan perbaikan, (renovasi) dan pemugaran sehingga terlihat segar dan menarik bagi para wisatawan. Penduduk Singapore yang berjumlah + 3,5 juta jiwa dan sangat hiterogen. Kelompok mayoritas terdiri dari etnis China (76%), Melayu (14%) dan India (7%), disamping itu, banyak etnis lain yang datang ke sana seiring dengan kemajuan negara itu. Kondisi multikultur tersebut menambah keunikan

Singapore karena memberikan kontribusi bagi penampilan wajah kota, mulai dari arsitektur, kesenian, kuliner, hingga cendera mata kearah yang lebih baik dan beraneka ragam. Meskipun tidak semata-mata terfokus pada tepi pantai dengan panorama yang indah seperti yang ada di Indonesia, Singapore mampu menjadi

Destinasi Impian bagi para wisatawan termasuk dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dll. Orchards Road, yang dulunya kebun pala kini telah berubah menjadi surganya mereka yang berbelanja (shoppers paradise). Disana terdapat barisan mall-mall megah dan shopping centre yang penuh dengan barang-barang dari seluruh dunia. Singapore juga tidak pernah sepi dari acara-acara (events) yang mengundang banyak orang dari seluruh dunia. Acara-acara (events) itu seperti atraksi kesenian, festival budaya, kompetisi olah raga, fashion show, MICE (meeting, incentive, conference and exhibition), dll. Semuanya menjadikan Singapore Daerah Tujuan Wisata (DTW) bagi mereka yang terkait atau tertarik dengan acara-acara tsb. Untuk mendukung pembangunan pariwisata kota (urban tourism), Singapore melakukan langkah-langkah berikut. Pertama, membuat

(mendesign) master plan pembangunan kota yang sangat baik, terarah, operasional dan dapat dipertanggung jawabkan (bukan asal buat !). Kedua, merancang dan meningkatkan kualitas infra struktur dan supra struktur, sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi, listrik, air bersih, dsb. Disamping itu, dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramah tamahan & kenangan (Sapta Pesona istilahnya Indonesia), sehingga mendarah daging di kalangan masyarakat Singapore. Hal ini terlihat dari pola hidup, tingkah laku, dan kebiasaan masyarakat. Disana hampir tidak diperlukan papan

pengumuman untuk memperingatkan warganya agar tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan, berjualan di mana-mana, dsb. apalagi

larangan merusak taman, membangun tempat tinggal tanpa izin yang dapat melahirkan wajah kota yang kumuh, jorok dan semerawut. Yang lebih menarik, penduduk Singapore hanya sedikit yang beragama Islam, namun aktivitas prostitusi (pelacuran) tidak termasuk dalam brand image pariwisata Singapora ! Jika ada para hidung belang yang mencari tempat prostitusi, justru mereka pergi ke Batam atau kota lain di Indonesia, negara kita yang konon khabar 85 % penduduknya beragama Islam, masyaallah ! Kita tidak berkiblat pada urban tourism Singapore, memang ! Namun kita hanya mencontohi sedikit dari negara itu. Singapore pernah hilang popularitas pariwisatanya sekitar tahun 1970an akibat penghancuran gedung-gedung tua, sehingga jumlah wisatawan ke sana merosot tajam. Hal itu membuat pemerintah Singapore sadar akan pentingnya pelestarian warisan budaya (cultural heritage) bagi kemajuan pariwisata. Bangunan-bangunan itu mampu merajut hubungan sejarah antara Singapore dengan negara-negara pemilik budaya itu, dan bangunan-bangunan tua itu menjadi daya tarik utama pariwisata Singapura ! Kemudian, Pemerintah Singapore mengundang ahli dari USA untuk mendesign ulang dan merenovasi kembali bangunan-bangunan lama yang memiliki nilai seni dan arkiologis itu. Akhirnya dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, Singapore bangkit lagi dan bisa menenggelamkan popularitas kepariwisataan negara-negara lain di sekitarnya termasuk Indonesia, Malaysia dan Thailand. Ada juga kota lain yang mampu membuat pariwisata kotanya (urban tourism) begitu spektakuler, contohnya Istambul (Turki). Kota itu tidak hanya mengandalkan blue mosque, aya sofia, istana Osmaniah, museum, bazar dan

berbagai obyek heritage lainnya. Disamping itu, Istambul juga memanfaatkan Selat Bosphoros, yang terletak di pinggir kota Istambul, sebagai bagian dari daya tarik wisatanya. Puluhan bahkan ratusan kapal wisata hilir-mudik melintasi jetty-jetty yang memang dibangun untuk tempat merapatnya kapal-kapal wisata tsb. Sungguh atraksi wisata air di Selat Bosphoros merupakan salah satu upaya mengawinkan urban tourism dan nature tourism dengan terencana. Melihat potensi yang ada di tempat kita, seperti bangunan-bangunan kuno peninggalan kolonial, jauh lebih banyak dan sama indahnya dengan yang ada di Singapore. Yang berbeda hanya kita menghancurkan bangunan-bangunan itu dan menggantikan dengan bangunan-bangunan baru dengan fungsi yang berbeda seperti toko, kantor, dll. Dengan kata lain, kota-kota di Aceh

sebenarnya memiliki banyak sekali bangunan bersejarah yang dapat dijadikan daya tarik pariwisata kota (urban tourism), namun para pejabat di negeri ini menghancur-kannya untuk tujuan uang !. Oleh karena itu, mari kita selamatkan dan manfaatkan yg tersisa atau merenovasi kembali yang telah dihancurkan itu kalau bisa ! IV. Strategi Pembangunan Aktivitas pariwisata identik dengan aktivitas ekonomi, karena aktivitas pariwisata, baik disengaja atau tidak, menggerakkan roda perekonomian (rakyat dan daerah). Jadi, tidak salah jika para ahli mengukur tingkat keberhasilan pembangunan pariwisata dengan berapa besar dampak yang ditimbulkan terhadap perkembangan ekonomi di daerah itu. Seandainya pembangunan pariwisata tidak memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, maka itu menandakan bahwa pembangunan pariwisata gagal !

Jika kita, memang, tertarik untuk membangun pariwisata kota dengan memanfaatkan potensi peninggalan sejarah yang ada, langkah pertama yang harus diambil adalah dikeluarkannya SK Walikota/Bupati dengan persetujuan DPRD tentang kebijakan dan kommitmen untuk menata, merenovasi dan membangun kembali bangunan-bangunan kuno (bersejarah) untuk tujuan pariwisata. Tanpa kebijakan dan kommitmen tersebut rasanya pembangunan yang direncanakan akan sulit berhasil karena penghancuran dan perubahan fungsi bangunan yang ada akan terus berlanjut dan rencana seperti ini hanya menjadi bualan di warung kopi yang tidak ada manfaatnya. Langkah kedua, membuat master plan pembangunan yang baik, terarah, dan menjadi pedomen bagi pemanfaatan bangunan kuno untuk tujuan pariwisata. Sasaran pokok yang ingin dicapai adalah bagaimana membangun bangunan-bangunan kuno itu menjadi daya tarik pariwisata kota (urban tourism) yang mampu menarik perhatian calon wisatawan terutama yang ada hubungan emosional dengan bangunan-bangunan itu. Untuk itu, dalam merancang produk urban tourism perlu diperhatikan hal-hal berikut : a. Komponen produk pariwisata kota (urban tourism) hendaklah ditata (dipersiapkan) berdasarkan analisa pasar yang dibuat sebelum dilakukan pembangunan. Untuk menentukan calon konsumen perlu dijawab pertanyaan Siapa Calon Konsumen ?, Kemudian bagaimana selera mereka, dan bukan dibangun berdasarkan selera produsen; ingat konsepsi penyiapan produk pariwisata adalah Sell what the costomers want, not what you have or you think is good). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. J. L. Jenkins: any successful business operation or activity must be market oriented. A market oriented

10

organization will be outward looking toward the needs and wants of its customers (Jenkins, J.L., 1990). b. Pembangunan obyek urban tourism perlu dipertimbangkan daya dukung (carrying capacity). Lahan yang sempit, dengan daya dukung yang terbatas tidak mungkin dikembangkan obyek urban tourism. Adapun daya dukung yang ideal untuk obyek wisata urban tourism dapat dipedomani pada konsep pembangunan pariwisata menurut WTO

(1992), yaitu: taman kota 15-70 orang/ha, hutan 15 org/ha, lapangan golf 10-15 org/ha, taman rekreasi 60-200 orang/ha, memancing (Fishing) 530 orag/ha, dll. (WTO, 1992). Yang menjadi catatan adalah carrying capacity obyek wisata sejarah (heritage) dapat disamakan dengan taman kota ! c. Produk urban tourism yang dijual hendaklah yang kondisinya benarbenar sudah layak jual. Jangan menjual produk pariwisata kota (urban tourism) yang belum jadi (belum layak jual) sehingga wisatawan belum dapat menikmati obyek itu secara maksimal, dan hal ini akan menimbulkan dampak buruk bagi kemajuan mendatang. d. Komponen daya tarik pariwisata kota (urban tourism) hendaknya variatif, sehingga wisatawan tidak disuguhkan hal-hal yang sama (monoton) di semua obyek yang ada (kemana wisatawan dibawa kondisinya sama, misalnya obyek urban tourism yang ada di kota Banda Aceh sekarang kondisinya sangat monoton dan tidak tertata dengan baik. Alangkah menariknya jika kondisi komponen obyek wisata diberikan nuansa tambahan dengan menampilkan daya tarik yang berbeda (sebagai obyek itu di masa

11

contoh dapat dilihat penataan urban tourism yang ada di Singapore, Thailand dan Malaysia). e. Tersedianya SDM yang professional, dan jika mengandalkan SDM yang sudah ada tetapi tidak dapat memenuhi kriteria, maka, dipastikan akan menimbulkan permasalahan dalam memajukan obyek itu selanjutnya. Paling tidak jika SDM yang sudah ada dipertahankan hendaklah dilakukan pemberdayaan atau langkah langkah peningkatan kualitas melalui pelatihan-pelatihan dan magang sehingga mereka mampu

melaksanakan tugas-tugas dengan baik. Disamaping itu, dapat juga dilakukan rekrutmen SDM baru dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai. f. Citra produk pariwisata kota (urban tourism) yang dijual hendaklah selalu dipelihara agar wisatawan yang berkunjung mendapat kesan yang baik sehingga timbul minat untuk kembali lagi di masa yang akan datang atau paling tidak akan memberitahukan rekan-rekannya, saudara, family, dll. tentang kondisi produk wisata kita. g. Terciptanya Masyarakat Sadar Wisata di sekitar obyek wisata. Pembangunan suatu obyek wisata tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan masyarakat di sekitar obyek itu. Mereka seharusnya berperan dalam menciptakan suasana kondusif, aman dan nyaman di daerah itu. Salah satu aktivitas pariwisata kota (urban toursm) adalah membawa wisatawan berkeliling dalam wilayah kota untuk melihat obyek-obyek wisata yang ada. Bus wisata, minibus, bahkan sado atau becak bisa saja digunakan sebagai sarana transportasi (tergantung jumlah wisatawan). Prasarana jalan yang baik, lingkungan yang bersih, indah dan rapi, pertokoan, bangunan-

12

bangunan tua, monument, museum, taman, bangunan bersejarah bahkan makam kuno (bersejarah) menjadi daya tarik urban tourism. Disamping itu, berbagai event seperti budaya, olah raga, atraksi ketrampilan, dll. semuanya dapat dikemas untuk memperkaya daya tarik urban tourism. Bahkan, tempat jajanan khusus, misalnya, jika ditata dan dikelola dengan baik dapat menjadi daya tarik tambahan bagi urban tourism. Banda Aceh yang sangat dekat dengan laut, bahkan memiliki sungai yang membelah kota merupakan potensi tersendiri untuk menambah menu pariwisata kota (urban tourism). Memang, di daerah kita pembangunan urban tourism dihadapkan dengan masalah lahan yang ada. Hampir semua potensi obyek wisata urban tourism di daerah kita hanya memiliki sedikit sekali lahan dan tidak mungkin untuk dilakukan pembangunan seperti diharapkan. Kepemilikan lahan-lahan obyek sejarah, budaya, taman kota, bahkan pinggir sungai dan pinggir laut banyak yang sudah memiliki sertifikat hak milik. Kita, heran, memang, mengapa bangunan-bangunan dan tanah tersebut menjadi milik perorangan padahal dulu sebenarnya merupakan bagian dari milik pemerintah/kerajaan atau kolonial. Oleh karena itu, karena lahan di sekitar obyek urban tourism sudah merupakan milik perorangan (pribadi), maka pemanfaatannya mesti mengikuti prosedur yang berlaku. Langkah-langkah tersebut boleh jadi melalui ganti rugi, bagi hasil atau dengan pengikut sertaan modal usaha, yang kesemuanya

dapat ditetapkan melalui musyawarah dan mupakat anatar pemerintah dan pemilik lahan tersebut.

13

V. Penutup Demikianlah sekelumit pemikiran tentang Urban Tourism untuk menjadi acuan pemikiran kita bersama. Yang benar datang dari Allah dan yang salah adalah hasil pemikiran manusia. Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi kemajuan Provinsi Aceh di masa yang akan datang. Akhirnya kepada Allah jualah kita semua berserah diri dan memohon ampun atas segala kesalahan dan kekeliruan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hambanya yang berguna bagi orang lain, bukan sebaliknya, penyebab segala bentuk bencana dan kerusakan di bumi ini. Amin ya rabbal alamin.

14

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A.J. Burkart & S. Medlik (1988), Tourism, Past, Present and Future. London: Heinemann. Chalik, E.A. (1992), Dasar-Dasar Pengetahuan Pariwisata. Jakarta: Penerbit Bakti Membangun. Dinas Pariwisata Prop. Bali, (1987), Bali Tourism Development Corporation, Bali: Percetakan Gapura. Gunn, Clara A. (1989), Tourism Planning, New York, USA: Cranne Russak Hadinoto, Kusudianto, (1996), Perencanaan Pariwisata, Jakarta, UI Press. Pengembangan Destinasi

Jenkins, Prof. J.L., (1990), Tourism Marketing, Malborne, Fritz Press Lundberg, Donald E. (1997), Terjemahan; Ekonomi Pariwisata, Jakarta: PT. Grammedia Lubis, A. Rahman, Prof. DR. (2001), Buku Laporan Akhir: Analisis Pasar Pariwisata Aceh di Malaysia, Thailand dan Singapore, Banda cAceh, Dinas Pariwisata Aceh Murphy, Peter E. (1985), Developing Urban Tourism, New York: Methuwen Ltd. Pendit, Nyoman S. (1997), Pariwisata, sebuah Study, Analisa dan Informasi, Jakarta: PT. Jembatan Reily, Robert T. (1982), Urban Tourism: Theory and Concept, Illinois: Publishers Inc. Soemarwoto, Otto, (1986), Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Pariwisata, Jakarta, Bumi Wahana. Schmell, G.A. (1987), Tourism Promotion, London: Tourism Press. Wahab, Salah. (1989),Manajemen Kepariwisataan, Jakarta: PT. Pradnya Paramita. ------- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. ------- Undang- Undang N0. 9 Tahun 1990, tentang kepariwisataan, Jakarta: PT Aneka Ilmu.

15

Vous aimerez peut-être aussi