Vous êtes sur la page 1sur 15

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cedera Kepala

LANDASAN TEORITIS PENYAKIT A. Pengertian Trauma / cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

B. Etiologi Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. Cedera akibat kekerasan.

C. Patofisiologi Cedera Kepala

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. D. Klasifikasi Cedera kepala menurut patofisiologinya dibagi menjadi dua : 1. Cedera Kepala Primer Adalah kelainan patologi otak yang timbul akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi decelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi : a) Gegar kepala ringan b) Memar otak c) Laserasi

2. Cedera Kepala Sekunder Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma. Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti : a) b) c) d) e) f) Hipotensi sistemik Hipoksia Hiperkapnea Udema otak Komplikasi pernapasan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

Cedera kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS): 1. Cedera Kepala Ringan GCS 13 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. 2. Cedera kepala Sedang GCS 9 12 Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. 3. Cedera Kepala Berat GCS 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. Proses-proses fisiologi yang abnormal: a) Kejang-kejang b) Gangguan saluran nafas c) Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
-

edema fokal atau difusi hematoma epidural hematoma subdural

hematoma intraserebral over hidrasi Sepsis/septik syok Anemia Syok

Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cedera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Perdarahan yang sering ditemukan: a) Epidural hematom: Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis. Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu. b) Subdural hematoma Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil. Perdarahan intraserebral Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala:

Nyeri

kepala,

penurunan

kesadaran, komplikasi

pernapasan,

hemiplegi

kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital. c) Perdarahan subarachnoid: Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk. Penatalaksanaan Cedera Kepala Konservatif Bedrest total Pemberian obat-obatan Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.

LANDASAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Cedera Kepala 1. Primary Survey a. b. Airway Breathing Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. Pola Pernapasan Karena nurofisiologis pernapasan sangat komplek, kerusakan neurologis dapat menimbulkan masalah pada beberapa tingkat. Beberapa lokasi pada hemisverserebral mengatur control volunteer terhadap otot yang digunakan pada pernapsan, pada sinkronisasi dan koordinasi sereblum pada upaya otot. Serebrum

juga mempunyai beberapa control terhadap frekuensi dan irama pernapasan. Nucleus pada pons dan area otak tengah dari batang otak. Mengatur automatisasi pernapasan. Sel-sel pada area ini, bertanggungjawab pada perubahan kecil dari pH dan kandungan oksigen disekitar darah dan jaringan. Pusat ini bias dicederai oleh PTIK dan hipoksia serta oleh trauma langsung atau interupsi aliran darah. Trauma serebral yang mengubah tindakan kesadaran biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal. Factor ini akhirnya dapat menimbulkan gagal peranapsan yang mengakibatkan laju mortalitas tinggi diantara pasien cedera kepala. Pola pernapasan berbeda dapat diidentifikasi bila terdapat disfungsi intracranial. Pernapsan Cheyne-stokes adalah pernapsan periodic dimana setiap pernapsan meningkat sampai puncak dan kemudian menurun sampai keadaan apnea. Fase hiperpnea biasanya lebih panjang dari pada fase apnea. Pola nafas cheyne-stokes dapat hasil normal dari proses penuan bila terjadi pada orang lansia selama tidur. Pola pernapsan seperti ini dapat juga terlihat pada pasien dengan lesi bilateral yang terletak dalam hemisverserebral. Pada cedera otak traumatic, awitan pernapsan cheyne-stokes mungkin karena herniasi hemisver serebral melalui tentorium, mengandalkan penyimpangan kondisi neurologis. Herniasi ini juga menyebabkan kompresi otak tengah dan hipoventilasi neurogenik sentral akan teramati. Hiperventilasi ini terus menerus teratur, cepat dan dalam. Ini biasanya disebabkan oleh lesi diatas otak tengah. Pernapsan Apnea ditandai dengan pernapasan yang berhenti dalam waktu yang lama saat inspirasi dan ekspirasi penuh. Etiologi dari pola napsa ini adalah hilangnya semua control serebrum dan serebelum terhadap pernapasan, dengan fungsi pernapasan hanya pada tingkat batang otak. Pernapasan Cluster dapat terlihat jika lesi tinggi pada medulla dan rendah pada pons. Pola pernapsan ini tampak sebagai menarik napas paksa dengan penghentian secara tidak teratur. Pusat kritis dari inspirasi dan ekspirasi terletak pada medulla oblongata. Adanya perluasan lesi intrakranial dengan cepat, seperti hemoragi serebelum, dapat menekan medulla oblongata dan akan menimbulkan pernapsan ataksia.

Ini secara total merupakan napas tidak teratur yang terdiri dari baik pernapsan dalam dan dangkal berhubungan dengan penghentian tidak teratur. Bila pola pernapasan ini terjadi ventilator harus tersedia karena baik irama pernapsan maupun kontinuitas pernapasan dapat diperkirakan. Blood: Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). Brain Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. Blader Pada cidera Bowel kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. Bone Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. Pemeriksaan Diagnostik: CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial. Prioritas perawatan pada Cedera Kepala: 1. memaksimalkan perfusi/fungsi otak 2. mencegah komplikasi 3. pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal. 4. mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga 5. pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi. Diagnosa Keperawatan Pada Cedera Kepala: 1) Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)

2) 3) 4) 5)

Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis). Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis. Kerusakan mobilitas imobilisasi. fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring,

6)

Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)

7)

Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.

8) 9)

Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

Rencana Tindakan Keperawatan Pada Cedera Kepala 1) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung) Tujuan: Mempertahankan motorik/sensorik. Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK Intervensi : 1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK. tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi

Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif. 2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS. Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP. 3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya. Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III). 4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu. Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK. 5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa. Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral. 6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang. Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK. 7. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan. Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK. 8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.

9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK. 10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi. Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK. 11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik. Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen. 2) Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial. Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif. Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal Intervensi: 1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan. Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis. 2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.

Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi. 3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas. 4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar. Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis. 5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret. Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan. 6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel. Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru. 7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi. 8. Lakukan ronsen thoraks ulang. Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni. 9. Berikan oksigen. Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik. 10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya. 3) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS) Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi. Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu. Intervensi : 1. 2. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi. Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya. 3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran). Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera. 4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum. Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis. 5. Berikan antibiotik sesuai indikasi. CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial. Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

Daftar Pustaka
Abdul Hafid. 1989. Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI Traumatologi , Surabaya Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC Long; BC and Phipps WJ. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company. Asikin Z . 1991. Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta. Harsono . 1993. Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press

Vous aimerez peut-être aussi