Vous êtes sur la page 1sur 6

PE dan DVT merupakan 2 presentasi klinis dari tromboembolisme vena dan memilki faktor predisposisi yang sama.

Pada kasus terbanyak PE merupakan konsekuensi dari DVT. Diantara pasien dengan DVT proksimal, sekitar 50 % memiliki asosiasi klinis dengan scan paru dengan penampakan PE. Pada 70% pasien dengan PE, DVT dapat ditemukan di ekstrimitas bawah bila menggunakan pemeriksaan dengan metode yang sensitif. Epidemiologi dari tromboembolisme vena belakangan ini telah dikaji. Meskipun DVT dan PE merupakan manifestasi dari satu penyakit tromboembolisme vena, PE memiliki penampakan yang berbeda bila dibandingkan dengan DVT. Resiko kematian yang berhubungan dengan episode inisial akut atau rekuren pada PE lebih hebat jika dibandingakan dengan pada DVT.Merujuk kepada studi kohort prospektif, fatality rate dari kasus akut PE berkisar antara 7 hingga 11 %. Selain itu, episode rekuren PE yang berasal dari PE sekitar 3 kali lipat dibandingkandengan yang berasal dari DVT (sekitar 60% setelah PE dibandingkan dengan 20 % setelahDVT).Prevalensi dari PE diantara orang-orang yang dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat,yang mengacu pada data antara 1979 sampai 1999, adalah 0,4 %. Meskipun hanya sekitar 40-53 dari 100.000 orang yang didiagnosa PE dalam setahun, insidens tahunan di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 600.000 kasus.

Etiologi Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut Virchow 1856 meliputi adanya aliran darah yang lambat, kerusakan dinding pembuluh darah vena, serta keadaan darah yang mudah membeku. Aliran darah lambat dapat ditemukan pada beberapa keadaan seperti misalnya pasien mengalami tirah baring yang cukup lama, kegemukan, varises serta gagal jantung kongestif. Darah yang mengalir lambat memberi kesempatan lebih banyak untuk membeku.Kerusakan dinding pembuluh darah vena terjadi misalnya akibat operasi, trauma pembuluh darahserta luka bakar. Adanya kerusakan endotel pembuluh vena menyebabkan dikeluarkannya bahanyang dapat mengaktifkan faktor pembekuan darah dan kemudian dimulailah proses pembekuandarah. Keadaan darah mudah membeku juga merupakan faktor predisposisi terjadinya trombus,misalnya keganasan, polisitemia vera, anemia hemolitik, anemia sel sabit, trauma dada, kelainan jantung bawaan, plenektomi dengan trombositosis, hemosistinuria, penggunaan obat kontrasepsioral serta trombositopati. Selain hal-hal diatas, trombosis vena juga lebih mudah terjadi padakeadaan peningkatan faktor V, VII, fibrinogen abnormal, defisiensi antitrombin II, menurunnyakadar aktivator plasminogen pada endotel

vena

atau

menurunnya

pengeluaran

aktivator plasminogen

akibat

berbagai

rangsangan, defisiensi protein C, defisiensi protein S.

Faktor Risiko Faktor Risiko yang didapat . Faktor-faktor risiko diatas dapat meningkatkan risiko terjadinya trombosis vena dalam akut danemboli paru. Pada operasi-operasi pada patah bagian panggul serta operasi tumor, faktor risikonya sangatlah tinggi, sama halnya dengan trauma dan luka pada batang otak. Penggunaanobat dapat pula menyebabkan tromboembolisme. Penurunan mobilitas juga dapat meningkatkan risiko tersebut, walaupun tingkatan dan lamanya pengurangan mobilitas tersebut tidak dapatdijelaskan dengan jelas. Faktor risiko terjadinya suatu tromboembolisme meningkat setelah usia40 tahun. Pada pasien dengan kondisi kanker, efek prokoagulan dapat pula meningkatkan risikokejadian tromboembolisme, dimana bisa terjadi obstruksi pada vena oleh tumor, penurunanmobilitas, serta kemoterapi. Antibodi anti fosfolipid berhubungan pula dengan trombosis dankejadiannya yang berulang.Penyakit Genetik dan Faktor Risiko terjadinya tromboembolismeDefisiensi protein C, protein S serta antitrombin dapat meningkatkan risiko trombosis dankejadian tromboembolisme. Faktor V leiden yang menyebabkan aktivasi dari protein C yangresisten, merupakan faktor risiko genetik yang paling sering pada trombofilian. Trias Virchowyang merupakan faktor risiko terjadinya suatu trombolisme ( statis, luka pada vena dan hiperkoagubilitas) masih berhubungan, menggambarkan pengaruh dari genetik dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan lingkungan.

Patogenesis Trombus berasal dari pembuluh darah arteri dan vena. Trombus arteri terjadi karenarusaknya dinding pembuluh darah arteri (lapisan intima). Trombus vena terjadi terutama karenaaliran darah vena yang lambat, selain dapat pula karena pembekuan darah dalam vena bila adakerusakan endotel vena. Trombus vena berasal dari pecahan trombus besar yang kemudianterbawa aliran vena. Biasanya trombus vena berisi partikel-partikel fibrin, eritrosit sertatrombosit. Ukurannya bervariasi, bisa dari beberapa milimeter sampai sebesar lumen venanyasendiri. Biasanya trombus makin bertambah besar oleh tumpukan trombus lain yang kecil-kecil.Adanya perlambatan aliran darah vena akan makin mempercepat terbentuknya trombus yanglebih besar. Adanya kerusakan dinding pembuluh vena jarang menimbulkan trombus vena.Kondisi darah yang mudah membeku juga amat berpengaruh pada pembentukkan trombus. Faktor-faktor penting yang berperan adalah diaktifkannya faktor-faktor pembekuan darah oleh kolagen, endotoksin dan prokoagulan dari jaringan maligna, selanjutnya tromboplastin dilepaskan kedalam peredaran darah dan pembekuan darah intravaskular mudah terjadi. Keadaan ini sering ditemukan pada persalinan, operasi dan trauma pada organ-organ tubuh. Secara umum dapat dikatakan bahwa tromboemboli paru merupakan komplikasi trombosis vena dalam pada tungkai bawah atau di tempat lain (jantung kanan, vena besar di pelvis dan lain-lain). Trombus yang lepas ikut aliran darah vena ke jantung kanan dan sesudah mencapai sirkulasi pulmonal tersangkut pada beberapa cabang arteri pulmonalis, dapat menimbulkan obstruksi total atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut. Trombus pada vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi tromboemboli, tetapi kira 80% nya akan mengalami pencairan spontan. Trombus primer pada aliran arteri pulmonalis atau cabang-cabangnya jarang terjadi.Dari penelitian klinis dan eksperimental pada binatang diketahui bahwa infark paru jarang terjadi pada pasien yang mengalami tromboemboli paru. Diketahui bahwa hanya 10% kasus emboli paru pada manusia diikuti terjadinya infark paru.. Mengapa pada paru jarang terjadi infark paru sesudah ada emboli paru, karena jaringan paru memperoleh oksigen lewat tiga cara, yaitu : dari sirkulasi arteri pulmonalis, dari sirkulasi arteri bronkialis dan dari saluran udara pernapasan. Infark paru akan lebih mudah terjadi apabila terdapat gangguan pada arteri bronkialis disertai gangguan pada saluran udara pernapasan. Mekanisme terjadinya infark paru sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Infark paru sering pada gagal jantung dengan jelas. Infark paru sering terjadi pada gagal jantung, penyakit paru

obstruksi kronik dan renjatan yang berlangsung lama. Gagal jantung dan renjatan yang berlangsung lama akan diikuti dengan menurunnya aliran darah ke dalam arteri bronkialis yang kemudian memudahkan terjadinya suatu infark paru. Pada pasien penyakit paru obstruktif kronik terjadi perubahan atau hilangnya struktur normal arteri bronkialis, yang selanjtnya jugamemudahnya terjadinya infark paru. Infark paru juga dapat terjadi pada pasien vaskulitis danemboli septik. Vaskulitis yang terjadi pada arteri bronkialis menimbulkan peradangan dantrombosis dan kemudian terjadi suatu infarkparu karena proses radang yang ditimbulkan oleh mikroorganisme yang dapat menimbulkan nekrosis inflamasi.Pada infark paru,hemostisis timbul setelah 12 jam terjadinya emboli paru dan sesudah 24 jam daerah infark menjadi terbatas dikelilingi oleh daerah paru yang sehat karena adanyakonsolidasi perdarahan dan atelektasis. Selanjutnya sel-sel septum intraalveoli mengalaminekrosis dengan oembengkakan dan menghilangnya struktur histologis. Dua minggu sesudahnya mulai terjadinya perubahan dengan adanya penetrasi kapiler-kapiler baru dari daerah paru yangsehat ke arah paru yang terkena infark. Perdarahan secara pelan-pelan mulai terserap dan jaringan yang nekrosis diganti dengan jaringan ikat yang selanjutnya menjadi jaringan parut.Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya jaringan parut bergantung pada luasnya infark. Makinluas infark. Makin luas infark makin lama terjadinya jaringan parut. Patofisiologi Satu dari komponen trias virchow ( stasis, hiperkoagulabilitas dan cedera intimal ),menggambarkan hampir semua pasien dengan emboli paru. Risiko penyakit meningkat sejalandengan bertambahnya usia. Faktor idiopatik ikut terlibat dalam salah satu faktor yangmenyebabkan keadaan protrombotik. Trombosis vena dalam paling sering berasal dari vena yang berasal dari tungkai bawah dan biasanya menyebar ke bagian proksimal sebelum akhirnyamengalami embolisasi. Ada beberapa emboli yang berasal langsung dari trombus vena yangterdapat di tungkai bawah, sekitar 95% trombus mengalami embolisasi ke paruparu danmelepaskan diri dari vena dalam bagian proksimal bagian bawah kaki ( termasuk bagian atasvena poplitea). Trombosis yang berkembang di vena subklavia aksilaris disebabkan olehmunculnya kateter pada vena sentral, biasanya terdapat pada pasien dengan penyakit yang ganasdan trombosis pada ekstremitas atas yang diinfuksi oleh aktivitas. Kejadian hipoksemiamenstimulasi saraf-saraf simpatik yang mengakibatkan vasokonstriksi di pembuluh-pembuluhdarah sistemik, meningkatkan vena balik dan strok volume. Pada emboli yang masih masif,kardiak output biasanya berkurang akan tetapi terus-menerus meningkat tekanan pada atriumkanannya. Peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal menghalangi

aliran darah ventrikel kanan sehingga mengurangi beban dari ventrikel kiri. Sekitar 25% hingga 30% oklusi darivaskular oleh emboli berhubungan dengan peningkatan tekanan di arteri pulmonalis. Dengan keadaan lebih lanjut seperti obstruksi pembuluh darah, hipoksemia yang memburuk, stimulasi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Lebih dari 50% obstruksi yangterdapat pada arteri pulmonalis biasanya muncul sebelum terdapat peningkatan yang besar daritekanan arteri pulmonalis. Ketika obstruksi yang terdapat pada sirkulasi arteri pulmonalis makinmembesar, ventrikel kanan harus menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 50mmHg dan rata-rata tekanan arteri pulmonalis lebih dari 40 mmHg untuk mempertahankan perfusi pulmonal. Pasien dengan penyakit kardiopulmonal sering terjadi kerusakan substansial pada kardiak outputnya dibandingkan dengan orang dengan kondisi tubuh yang normal.

Vous aimerez peut-être aussi