Vous êtes sur la page 1sur 27

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi kronik dari saluran nafas yang ditandai dengan peningkatan respon dari saluran trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Manifestasinya berupa penyempitan saluran nafas yang reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan dan secara klinis ditandai dengan paroxysm dyspnea, batuk dan mengi. Asma adalah penyakit episodik, dengan eksaserbasi akut dengan disertai periode bebas gejala. Biasanya serangan berlangsung singkat beberapa menit sampai jam dan pasien biasanya sembuh seperti keadaan sebelum serangan. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan kesulitan bernafas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran nafas, dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan hipertrofi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respons terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran nafas.(1,2) Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%, 4-5% penderita asma di Amerika Serikat dan jumlah yang sama juga dilaporkan dari berbagai negara lain. Sekitar kasus asma terjadi sebelum usia 10 tahun dan sisanya sebelum usia 40 tahun. Pada masa anak-anak penderita laki-laki 2:1 dibanding perempuan tapi sekitar usia 30 tahun jumlah penderita kurang lebih sama. (1,2)

ETIOLOGI/FAKTOR PENCETUS
Dari etiologinya asma merupakan suatu penyakit yang heterogen. Asma sendiri dapat dibagi menjadi dua macam menurut etiologinya : 1. Alergi asma Sering berhubungan dengan riwayat alergi pada keluarga seperti rhinitis, urtikaria, dan ekzema dengan peningkatan level IgE di serum dan respon positif pada test provokasi yang melibatkan inhalasi dari antigen spesifik. 2. Idiosyncratic asma Pada pasien ini asma timbul tanpa adanya riwayat alergi pada keluarga, dengan negatif skin test dan normal serum level dari IgE. Pada beberapa penderita asma ada pula yang tidak dapat dimasukkan pada kedua kategori diatas. Secara umum asma yang memiliki onset lebih awal akan memiliki komponen alergi yang kuat, sedangkan asma yang timbul belakangan cenderung menjadi nonalergi atau memiliki kombinasi etiologi. Pada pasien ini asma timbul tanpa adanya riwayat alergi pada keluarga dengan negatif skin test dan normal serum level dari IgE. Pada beberapa penderita asma ada pula yang tidak dapat dimasukkan pada kedua kategori diatas. Secara umum asma yang memiliki onset lebih awal akan memiliki komponen alergi yang kuat, sedangkan asma yang timbul belakangan cenderung menjadi nonalergi atau memiliki kombinasi etiologi. (1) Setiap penderita asma memiliki faktor pencetus yang berbeda pada masingmasing penderita, masing-masing memiliki faktor pencetus yang unik. Ada banyak faktor resiko untuk terjadinya asma beberapa diantaranya adalah : (3) 1. Adanya riwayat personal atau keluarga yang menderita asma, atau alergi. 2. Memiliki paru-paru yang lebih kecil 3. Tidak menerima ASI 4. Terpapar pada antigen indoor berlebihan. 5. Ventilasi yang buruk pada rumah 6. Infeksi sistem respirasi yang lebih awal pada masa kehidupan 7. Vaksinasi

8. Exercise induced asma 9. Aspirin induced asma 10. GERD 11. Asam lambung yang rendah 12. Alergi makanan 13. Permeabilitas usus yang meningkat 14. Defisiensi nutrien terutama antioksidan, vitamin B6 dan magnesium 15. Tartazine merupakan pencetus asma terutama pada anak-anak. 16. Bahan tambahan makanan dan pengawet makanan 17. Jamur di sistem gastrointestinal seperti candida albican 18. Dehidrasi Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi kronik dan respon saluran nafas yang berlebihan. Kalor, rubor, tumor, dolor, function laesa dan infiltrasi sel-sel radang dijumpai pada asma, baik yang alergik maupun non-alergik . (2) Keadaan inflamasi dan hiperaktivitas saluran nafas dicapai oleh jalur imunologis yang terutama di dominasi oleh IGE dan jalur saraf otonom. Pada jalur ini, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells) dan akan dikomunikasikan kepada sel Th (T helper) Sel T ini akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE , serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (Lt), plaktelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin(Tx) yang akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular,edema saluran nafas, infiltasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hiperaktifitas saluran nafas. Selain itu juga terdapat jalur non alergic yang selain merangsang sel inflamasi juga merangsang sistem saraf otonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hiperaktifitas saluran nafas. Pada penyakit asma terdapat hiperaktifitas saluran nafas yang diduga didapat sejak lahir atau pada waktu dewasa. Keadaan yang dapat meningkatkan hiperaktifitas saluran nafas seseorang yaitu : inflamasi saluran nafas, kerusakan

epitel, mekanisme neurologis yang menyebabkan peningkatan respon saraf parasimpatis, gangguan intrinsik yang menyebabkan hipertrofi otot polos dan obstruksi saluran nafas. (2,4) Pada penyakit asma terdapat ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal selama pernafasan terutama pada saat ekspirasi. Hal ini terjadi karena obstruksi saluran nafas pada asma yang merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Hal ini megakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak dan tidak bisa diekspirasi. Hal ini dicerminkan dengan rendahnya FEV1 (volume udara yang dihasilkan sewaktu usaha membuang nafas dengan paksa pada detik pertama). Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional dan pasien akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan ini diperlukan otot-otot bantu pernafasan. Tergantung pada beratnya penyakit, gangguan ini mungkin tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan perasaan iritasi pada trakea. Pada kasus lain gangguan pernafasan kadang-kadang tidak dapat diatasi. Penyempitan saluran nafas yang besar dapat menimbukan mengi. Pada penyempitan saluran nafas yang kecil, gejala batuk dan sesak lebih dominan. Mengi diakibatkan karena turbulensi arus udara dan getaran ke bronkus. Penyempitan saluran nafas pada asma tidak merata di seluruh bagian paru. Pada daerah yang kurang mendapat ventilasi, darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran karbondioksida menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Peningkatan produksi CO2 yang disertai penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) sehingga terjadi asidosis respiratorik. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Pada asma tanpa komplikasi, batuk hanya mencolok sewaktu serangan mereda, batuk membantu mengeluarkan sekret yang terkumpul. Di antara

serangan asma yang khas penderita bebas mengi dan gejala walaupun reaktifitas bronkus meningkat. Pada asma kronik, masa tanpa serangan mungkin dapat menghilang, sehingga mengakibatkan keadaan asma yang terus menerus dan sering disertai infeksi sekunder. Secara fungsional, saluran nafas penderita asma bertindak seakan-akan persarafan adrenergik beta tidak kompeten. Pengaruh bronkokonstriktor yang secara normal diketahui diperantarai saraf parasimpatik dan adrenergik alfa cenderung menonjol. Hal ini menyebabkan bronkokonstriksi pada saluran nafas pasien asma. Hal hal inilah yang terjadi pada asma.
(4)

About asthma (what is asthma) January 2003 Http://www. Asthma.ca/adults/about/what is asthma.php

MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala asma tergantung dari berat ringannya penyakit. Mulai dari yang ringan, intermittent, sampai kronik, berat, dan asma yang fatal. 1. Batuk Merupakan hasil dari kombinasi penyempitan saluran nafas, hipersekresi mukus, dan hiperresponsive dari neural afferent yang merupakan salah satu proses inflamasi saluran nafas. Dan bisa juga disebabkan oleh karena proses inflamasi non spesifik dari infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme batuk ini bertujuan untuk mengeluarkan mukus yang tertimbun dalam saluran pernafasan. 2. Wheezing (mengi)

Disebabkan adanya kontraksi otot polos bersama hipersekresi dan retensi mukus yang menyebabkan berkurangnya diameter saluranh nafas sehingga terbentuk turbulensi dari aliran udara. Intensitas wheezing (mengi) tidak berhubungan dengan beratnya penyempitan saluran pernafasan. 3. Dispnea dan sesak nafas Dapat dilihat dari adanya penggunaan otot-otot bantu nafas untuk menanggulangi peningkatan tahanan jalan nafas. 4. Tachypnea dan Tachycardia Biasanya terdapat pada eksaserbasi akut, tidak ada pada asma yang ringan. 5. Pulsus Paradoxus Adanya penurunan tekanan sistolik >10 mmHg sewaktu inspirasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari hiperinflasi paru yang menyebabkan peningkatan pengisian ventrikel kiri, kemudian peningkatan venous return ke ventrikel kanan. Sehingga meningkatkan volume end diastolic selama inspirasi. Akibatnya septum intra ventricular bergeser kekiri, yang kemudian mempengaruhi pengisian dan pengeluaran ventrikel kiri dimana terjadi pengurangan dari output dan akhirnya terjadi penurunan tekanan sistolik selama inspirasi. 6. Hypoxemia Akibat adanya ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi oleh karena obstruksi jalan nafas. 7. Hypercapnea dan Acidosis Respiratorik Terjadi pada asma yang ringan sampai moderate, dimana ventilasi normal atau meningkat dan tekanan arterial PCO2 normal atau turun. Pada serangan berat obstruksi saluran nafas tetap atau meningkat, sehingga terjadi penggunaan otototot bantu nafas lebih banyak. Akibatnya terjadi hipoventilasi yang kemudian menyebabkan hypercapnea dan acidosis respiratorik. 8. Adanya defek obstruktif pada uji fungsi paru Pada asma ringan uji fungsi parunya diluar serangan adalah normal. Saat serangan : terjadi penurunan FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 second) terjadi penurunan FEV1/FVC(FEV1%) (FVC= Forced Vital Capacity)

Expiratory Floe Rate yang meningkat

9. Hiperresponsive dari Bronchial Adanya hiperresponsif pada Bronchial Provocation Test untuk semua pasien asma. Hiperresponsif dari bronkial dapat diketahui dari : 1. Adanya penurunan FEV1 sebanyak 20% pada tes provokasi (dengan methacoline dan histamin) sedangkan pada orang normal hanya menyebabkan penurunan FEV1 sebanyak 5%. 2. Adanya peningkatan FEV1 sebanyak 20% setelah diberikan obat bronkidilator inhalasi. (5) Tipikal perjalanan penyakit : 1. Permulaan sesak nafas pada aktivitas berat wheezing (mengi) ringan batuk sesak nafas pada aktivitas ringan sehingga pasien beristirahat batuk ringan, biasanya lebih parah saat malam hari (udara dingin) atau selama berolahraga 3. Berat Habitus : Penderita bernafas dengan cepat dan dalam dengan ekspirasi lebih lama Duduk dengan tangan menyangga ke depan Retraksi otot-otot sternal Adanya hiperinflasi dari dada Batuk Gelisah Sianosis ringan (6) batuk-batuk sesak nafas saat istirahat (6,7,8,9,10) diikuti mengi dan sesak nafas saat istirahat

2. Proses lanjut -

Faktor pemicu:

1. Intrinsik atau non alergik - infeksi dari tractus respiratorius bagian atas 2. Ekstrinsik atau alegik - Inhalan: yang masuk melelui saluran pernafasan, contohnya: debu rumah bahan-bahan serpihan kulit yang terlepas dari binatang (anjing, kucing, kuda, dll) serpihan dari spora jamur serbuk-serbuk bunga dll

- Ingestan: masuk melalui mulut, misalnya: makanan: susu, telur, ikan, dll pewarna makanan yang berwarna kuning: tartrazine yang biasanya terdapat pada sirup, keju, permen, dll obat-obatan: aspirin, bloker contoh propanol (Inderal), obat-obat non steroid seperti ibuprofen, naproxen, dll (berhubungan dengan kimia tubuh yaitu prostaglandin yang berperan penting dlam mengontrol efek pada paru pasien asma.) - Kontaktan : masuk melalui kontak dengan kulit, contohnya: salep logam perhiasan jam tangan, dll monoxide, Sulfur dioxide.

- Lingkungan dan polusi udara seperti Nitrogen dioxide, Carbon - Olahraga dan emotional stress (factor psikologis) - Tertawa terbahak-bahak atau berbicara terlalu banyak (11,12)

DIAGNOSA
Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala klasik seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Serangan asma dapat timbul

berulang-ulang dengan masa remisi diantaranya. Serangan dapat cepat hilang dengan pengobatan, tetapi kadang-kadang dapat pula hilang secara spontan. Asma dapat pula menjadi kronik sehingga keluhan terjadi terus menerus. Pada anamnesa dapat kita temukan : adanya riwayat asma sebelumnya riwayat penyakit alergi, seperti rhinitis alergika, debu riwayat keluarga menderita alergi riwayat keluarga asma faktor pencetus serangan seperti bekerja keras,udara dingin (13) gejala memburuk pada malam hari, saat beraktivitas, atau saat teriritasi oleh agen alergen(15) Penemuan pada pemeriksaan fisik tergantung dari derajat obstruksi jalan nafas : Inspeksi : Snap diagnosa ( dispnea, wajah ketakutan, hunger of air, cuping hidung kembang kempis, otot sternocleidomastoideus tegang, mulut terbuka, duduk badan condong kedepan seakan-akan menyambut udara, tangan terbuka) Ekspirasi memanjang Mengi Hiperinflasi dada Takikardi Pernafasan cepat Sianosis (13) Nasal sekresi, sinusitis, rhrinitis, atau nasal polyps(15) Atopik dermatitis atau ekzema atau masalah alergi kulit(15)

Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam mendiagnosa asma, maka untuk menegakkan diagnosa asma kita harus memperhatikan :(16) 1. adanya episodic symptom dari obstruksi jalan nafas 2. adanya obstruksi jalan nafas yang reversible 3. kita harus menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain seperti COPD dan obstruksi laring, aspirasi atau cystic fibrosis pada anakanak(16)

Dalam praktek tidak sering ditemukan kesulitan dalam mendiagnosa asma, tetapi banyak pula pasien yang bukan asma menimbulkan mengi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang : (13) 1. Spirometri, untuk menunjukkan obstruksi jalan nafas reversibel Cara yang paling cepat dan sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler/nebulizer) golongan adrenergic. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak >20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respons aerosol bronkodilator >20% tidak berarti ada asma. Hal tersebut dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal, atau mendekati normal sehingga kenaikan FEV1 atau FVC tidak melebihi 20%. Respons mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi jalan nafas yang berat, oleh karena obat tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang akhir, mungkin diperlukan pengobatan kombinasi adrenergic, teofilin, dan bahkan kortikosteroid untuk 2-3 minggu. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosa, tetapi juga untuk menilai berat ringannya obstruksi dan efektivitas pengobatan. Banyak penderita asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini akan mengakibatkan mudahnya serangan asma timbul kembali bahkan menjadi kronik. 2. Test provokasi bronkus, untuk menunjukkan adanya Pemeriksaan kadar Ig E total hiper-reaktivitas bronkus Test ini tidak dilakukan bila obstruksi jalan nafas yang reversibel dapat dilakukan dengan cara spirometri. Beberpa contoh test ini : test provokasi histamin, metakolin, allergen test provokasi kegiatan jasmani hiperventilasi dengan udara dingin inhalasi dengan aqua destilata Penurunan FEV 1 sebesar 20% / lebih setelah test provokasi adalah bermakna. 3. Pemeriksaan test kulit

Untuk menunjukkan adanya antibody Ig E spesifik dalam tubuh. Test ini hanya menyokong anamnesa, karena allergen yang menunjukkan test kulit positif tidak selalu menunjukkan penyebab asma, aebaliknya test kulit yang negative tidak selalu berarti tidak ada factor kerentanan kulit. 4. Pemeriksaan kadar Ig E total dan Ig E spesifik dalam serum Pemeriksaan kadar Ig E total hanya berguna untuk menyokong penyakit atopi. Pemeriksaan Ig E spesifik lebih berarti dan dilakukan terutama bila test kulit tidak dapat dikerjakan atau jika hasilnya kurang dapat dipercaya. 5. Pemeriksaan radiologi Pada umunya foto dadanya adalah normal. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik paru seperti pneumothoraks, pneumomediastinum,atelektasis, dll. 6. Analisa gas darah Hanya dilakukan pada penderita asma serangan berat, dimana dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis respiratorik. 7. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah Pada pasien asma, test ini cenderung meningkat yang dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang diperlukan, dan untuk membedakan asma dari bronchitis kronik. 8. Pemeriksaan sputum Untuk melihat adanya eosinofil Kristal Charcot Leyden Spiral Churschmann (13) Beberapa keadaan yang dapat dipakai sebagai petunjuk untuk diagnosa asma : a. Gejala batuk dan wheezing yang memburuk pada malam hari. Pada penyakit bronchitis kronis, tidak terdapat perburukan gejala diwaktu malam. b. Beberapa penderita mengalami perburukan karena merokok atau asap rokok pada waktu terjadi eksaserbasi c. Antara waktu serangan terdapat masa tanpa gejala d. Pada asma kronik gejala berfluktuasi tetapi selalu ada

e. Sering dijumpai keadaan Exercise-induced asma yaitu timbul sesak nafas disertai mengi yang berlangsung sampai kira-kira 30 menit setelah selesai melakukan latihan selama lebih kurang 5 menit f. Timbul gejala beberapa menit sesudah terjadi paparan terhadap allergen seperti debu rumah, tepung sari, kutu binatang, obatobatan, atau makanan g. Didapatkan faktor presipitasi antara lain seperti infeksi, debu, udara dingin, gas iritan dan faktor emosi. (14)

DIAGNOSA BANDING (1)


Obstruksi Saluran Napas Atas oleh Tumor atau Edema Laring Biasanya pasien dengan penyakit ini akan menunjukan gejala stridor dan suara pernapasan yang keras di daerah trakea.Untuk memastikan diagnosa diperlukan laringoskopi atau bronkoskopi. Disfungsi Glottis Pasien dengan disfungsi glottis mengalami penyempitan glottis saat inspirasi dan ekspirasi, yang menyebabkan terjadinya serangan episodik oleh karena tertutupnya saluran napas.Untuk memastikan diagnosa dilakukan pemeriksaan glottis saat gejala disfungsi glottis muncul.Bila tidak ditemukan kelainan, maka diagnosis disfungsi glottis dapat disingkirkan. Penyakit Endobronkial seperti Aspirasi Benda Asing, Neoplasma atau Stenosis Bronkial Wheezing menetap yang terlokalisir di dada sehubungan dengan batuk yang paroksismal mengindikasikan penyakit ini. Gagal Jantung Kiri Tanda dan gejala penyakit gagal jantung kiri kadang-kadang dapat menyerupai asma. Namun pada gagal jantung kiri ditemukan adanya ronki basah halus di basal paru, irama gallop dan tanda-tanda penyakit jantung kiri lainnya. Bronkitis Kronik Pada penyakit ini ditemukan riwayat batuk kronis yang berdahak. Emboli Paru Berulang Pada pemeriksaan fungsi paru ditemukan obstruksi saluran napas perifer dengan scan paru abnormal. Namun untuk memastikan diagnosa diperlukan angiografi paru.

KOMPLIKASI

(2)

Obstruksi yang terjadi pada asma akan menyebabkan udara sulit diekspirasikan sehingga semakin lama semakin banyak udara yang terperangkap dalam alveoli,hal ini akan terus mempertinggi tahanan

didalamnya,sampai suatu saat akan mengakibatkan rupturnya dinding alveolus. Udara yang keluar menyusup melalui ruang intertisial menuju sentral, akan menimbulkan penumpukan udara pada ruang mediastinum yang disebut pneumodiastinum, juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema subkutis. Apabila tekanan intrapulmonal yang tinggi menimbulkan rupture lapisan pleura,udara akan masuk ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Aspergilosis bronkopulmoner alergik merupakan salah satu komplikasi asma yang merupakan kondisi dimana seseorang dengan asma memiliki hipereosinofilia,Ig-E anti aspergilus,dan infiltrat pada paru.Aspergilosis jarang terjadi karena imunitas tubuh biasanya mampu mengatasi infeksi tersebut,kecuali pada orang dengan kelainan sistem imun. Beberapa komplikasi lain dari asma seperti : bronkitis, atelektasis, gagal napas, serta fraktur iga, dapat pula terjadi. Rectus sheath hematoma yang disebabkan batuk paroksismal saat serangan akut, dan cylothorax akibat pemakaian ventilator, merupakan komplikasi yang jarang dijumpai. Pada anak-anak, asma yang tidak diterapi dengan baik dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan paru permanen yang pada akhirnya akan menimbulkan gejala asmatik kronis untuk sisa hidupnya (2) .

Klasifikasi Berat Ringan Asma


Nelson: Asthma, in Textbook of Pediatrics, 16th ed, Behrman, Kliegman, Jenson (eds). Philadelphia, Saunders Company, 2000. pp 670676.

PENATALAKSANAAN ASMA JANGKA PANJANG DAN SERANGAN AKUT ASMA


Tanda klinis sebelum pengobatan Step 4 Berat Persisten Step 3 Sedang Persisten Step 2 Ringan Persisten Step 1 Ringan Intermiten Gejala Timbul gejala terus-menerus Aktivitas fisik terbatas Eksaserbasi sering Timbul gejala setiap hari Menggunakan 2-agonist mula kerja cepat setiap hari Eksaserbasi mengganggu aktivitas Eksaserbasi 2 kali seminggu; dapat berlangsung selama berhari-hari Gejala >2 kali seminggu namun <1 kali sehari Eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas Gejala 2 kali seminggu Di antara eksaserbasi tidak timbul gejala (asimptomatik) dan PEF normal Eksaserbasi ringan (beberapa jam hingga beberapa hari); intensitas dapat bervariasi Gejala malam hari Sering Fungsi paru

PEF 60%

>1 kali seminggu

PEF >60%

>2 kali sebulan

PEF 80%

2 kali sebulan

PEF 80%

Yang pertama kali yang harus kita lakukan pada saat ada pasien yang terkena serangan asma adalah menilai derajat serangan asma. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan riwayat hidup, pemeriksaan fisik, nilai faal paru dan hasil laboratorium dari si penderita. Yang kemudian kita sesuaikan dengan kriteria asma yang telah ditentukan. Dalam menatalaksana serangan akut asma, sebagai langkah awal, dapat kita berikan (20) : oksigen dengan saturasi > 90% sebanyak 5 liter kita berikan agonis -2 agonis inhalasi short acting 3x / 20 menit injeksi adrenalin 0,3 mg subcutan injeksi terbutalin 0,25 mg subcutan aminofilin bolus i.v 5-6 mg/kg BB (jika sudah digunakan dalam 12 jam sebelumnya, cukup diberikan setengah dosis) kortikosteroid (metilprednison mulai dari 60 mg dalam dosis terbagi secara i.v)

kemudian tetapkan, apakah respons terhadap terapi baik dengan cara ditemukan keadaan-keadaan dimana respons terapi menetap selama 1 jam setelah pengobatan, pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan normal, dan arus puncak ekspirasi (APE) > 70%. Setelah serangan asma mereda, tetap diberikan agonis -2 inhalasi, antikolinergik dan kortikosteroid (cukup 2 hari lalu diganti peroral). Berikan oksigen 5 liter /menit dengan saturasi >90%, infus aminofilin per-drip. Semua obat-obatan ini diberikan sambil dilakukan pemantauan APE, saturasi oksigen dan tanda-tanda vital. Bila sudah diklasifikasikan, baru diberikan penatalaksanaan asma jangka panjang. Beberapa macam terapi yang dapat diberikan pada saat serangan akut (20) : 1. Oksigen 2. Bronkodilator Merupakan terapi utama dalam serangan asma akut. Lebih efektif dengan -2 agonis inhalasi. a. Albuterol.(proventil, ventolin) Obat ini bekerja dengan menstimulasi reseptor pada otot halus yang melapisi bronkus sehingga menyebabkan relaksasi pada otot tersebut(18). Obat ini tersedia dalam bentuk sirup, tablet, spray dan solutio nebulizer. Penggunaan nebulizer lebih efektif daripada spray dalam mengobati serangan asma sedang. Efek samping utama dari albuterol adalah hasil dari efek stimulan seperti mempercepat denyut jantung, palitasi, tremor, gemetar, gelisah , hiperaktivitas, iritabilitas, dan insomnia, bahkan dapat memprovokasi terjadinya wheezing dengan mengiritasi saluran nafas. Selain albuterol ada pula obat lain yang memiliki efek yang sama seperti metaproterenol (alupent, Metaprel), Pirbuterol(maxair), terbutaline, isotharine, dan isoproterenol. Metaproterenol tersedia dalam bentuk sirup, tablet, spray dan solutio nebulizer. Pirbuterol tersedia dalam bentuk spray. Terbutaline tersedia dalam bentuk spray, tablet, dan injeksi. Bentuk injeksi dapat menghilangkan bronkospasme pada situasi darurat. Isoetharine tersedia dalam bentuk spray dan solutio nebulizer. Obat ini memiliki efek stimulan terhadap jantung

yang

lebih

besar

dibandingkan

dengan

obat

lainnya.

Penggunaan obat ini sangat dibatasi karena efek sampingnya. Beberapa penderita asma kronik memiliki respon yang lebih baik dengan isoetharine dibandingkan dengan obat lain. Isoroterenol tersedia dalam bentuk spray, tablet, dan solutio nebulizer Memiliki efek seperti isoetharine dan merupakan bronkodilator poten yang dapat digunakan secara intravena namun dalam pengawasan yang ketat. (18) Digunakan dangan cara Metered Dose Inhaler (MDI) atau Nebulizer. Untuk serangan asma akut dari yang ringan sampai sedang, pengobatan pertama dimulai dengan 6-12 puff albuterol via MDI atau 2,5 mg via nebulizer dan diulang tiap 20 menit sampai tercapai tanda-tanda perbaikkan atau toksik. Untuk serangan yang berat diberikan albuterol 2,5-5,0 mg denganipratropim bromida 0,5 mg via nebulizer tiap 20 menit. Albuterol dapat diberikan hingga 10,0-15,0 mg lebih dari 1 jam ternyata lebih efektif pada serangan asma berat. b. Penggunaan bronkodilator parenteral. Tidak diperlukan jika medikasi secara inhalasi dapat dilakukan dengan cepat. Terapinya adalah Epinefrin 0,3 mg diencerkan dengan larutan 1:1000 subcutan tiap 20 menit hingga 3 kali pemberian. Pemakaian obat ini sebaiknya dipantau dengan EKG. . Epinefrin memiliki efek samping yang sama dengan isoetharine dan isoproterenol. Saat ini tersedia dalam bentuk auto injektor yang bisa digunakan sendiri untuk reaksi alergi akut dan asma akut. Alat ini digunakan untuk menghilangkan gejala akut scara sementara untuk selanjutnya mencari bantuan medis bukan sebagai terapi pengganti. (18) 3. kortikosteroid sistemik. Suatu resolusi yang cepat untuk serangan asma berat. a. metilprednisolon. Merupakan pilihan utama untuk terapi intravena. Dosisnya adalah 125 mg pada saat serangan. Dosis ideal 40-60 mg

intravena tiap 6 jam. Sedangkan pada kortikosteroid oral (Prednison) dosisnya adalah 60 mg tiap 6-8 jam. b. penurunan dosis kortikosteroid sebaiknya setelah terbukti adanya perbaikan c. agar tercapai respons terapeutik yang maksimal (biasanya 36-48 jam). Biasanya diberikan kortikosteroid oral untuk dosis 1 hari, kemudian diturunkan perlahan-lahan setiap hari. Penurunan selam 7- 14 hari disertai dengan kortikosteroid inhalasi biasanya memberikan hasil yang maksimal. 4. Metilxantin. Secara umum obat ini tidak dianjurkan karena hanya memberikan efek bronkodilatasi yang sangat ringan. Jika terapi terhadap serangan asma akut telah mencapai sasaran dan tetap stabil minimal selama 3 bulan, maka dapat dilakukan pengurangan dosis sehingga tercapai dosis maksimal dan hasil yang maksimal. Ajarkan pasien untuk mengenali tanda-tanda perburukan (awal serangan) dan cara untuk mengatasinya. Pada asma persisten dari yang berat sampai dengan ringan diberikan 2 macam terapi yaitu pengontrol harian dan pelega. Sedangkan pada asma intermiten cukup diberikan pelega saja. Pada asma persisten berat, pengontrol yang diberikan adalah

kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, agonis -2 inhalasi dan obat-obat berikut bila perlu yaitu teofilin lepas lambat, agonis -2 oral, antileukotrien (montelukast 10 mg PO qd dan zafirlukast 20 mg PO bid) dan kortikosteroid oral. Obat pelega (kalau diperlukan yang diberikan adalah agonis -2 short acting, dengan alternatif kombinasi teofilin dan agonis -2 short acting dosis rendah oral. Asma persisten sedang. Obat pengontrol harian adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan agonis -2 long acting. Alternatif untuk pengontrol harian adalah kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis sedang dengan teofilin lepas lambat/agonis -2 long acting oral/antileukotrien atau cukup dengan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi. Obat pelega (kalau diperlukan) adalah

agonis -2 inhalasi short acting alternatifnya adalah kombinasi teofilin dan agonis -2 short acting dosis rendah oral. Sedangkan pada asma persisten ringan obat pengontrol harian yang dapat diberikan kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan alternatif teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien. Obat pelega ( kalau diperlukan) agonis -2 inhalasi short acting dengan alternatif kombinasi teofilin dan agonis -2 short acting dosis rendah oral. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid inhalasi maupun leukotrien inhibitor menunjukkan hasil yang sama efektifnya sebagai obat pengontrol harian pada penderita asma persisten, namun dalam suatu penelitian yang membandingkan antara penggunaan fluticasone 88mcg/hari dengan leukotrien inhibitor (montelukast 10 mg/hari) menunjukkan perbaikan yang lebih efektif pada funsi paru dan gejala asma. Tidak ada perbedaan dalam jumlah banyaknya eksersebasi asma pada penderita yang menggunakan flucotisone ataupun montelukast.kortikostroid inhalasi merupakan agen anti inflamasi yang lebih poten dibandingkan dengan leukotrien inhibitor. (19) Pada asma intermiten, obat pengontrol harian tidak dibutuhkan. Hanya obat pelega saja yaitu agonis -2 inhalasi short acting (contohnya adalah albuterol 2-3 puff) dengan alternatif kombinasi teofilin dan agonis -2 short acting dosis rendah oral. Penelitian terbaru menunjukkan penggunaan secara teratur dari salmeterol dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan fungsi paru dan gejala asma dapat terkontrol pada penanganan dalam jangka 24 minggu. Tidak terdapat hiperresponsif bronkus yang meningkat atau kehilangan pertahanan bronkus pada 24 minggu yang terlihat dari terapi lanjutan selama 4 minggu. (17) TABEL PERBANDINGAN DOSIS KORTIKOSTEROID INHALASI
Bittman, Castro M, Allergy and immunology. In : Ahya SN, Flood K, Wilkins 2001 : 247-251 , 2001 Triancinolone (100 g/puff) 4-10 puff 10-20 puff >20 puff Paranjothi S, editions, The Washington Manual of Medical Therapeutics 30 th ed Missouri : Lippincott William &

Beclomethason

dipro-

4-12 puff: 42 g

12-20 puff

>20 puff

pionate(42, 64g/puff)

Budesonide Turbuhaler (DPI: 200 g/dose)

1-2 inhalasi

2-3 inhalasi

>3 inhalasi

Flunisolide (250 g/puff) Fluticasone MDI:44,110,220g/puff DPI:20,100,250g/dose

2-4 puff

4-8 puff

>8 puff

2-6 puff: 44 g 2 puff: 100 g 2-6 inhalasi: 50 g

2-6 puff: 100 g 3-6 inhalasi: 100 g

>6 puff: 100 g >3 puff: 220 g >6 inhalasi: 100 g >2 inhalasi: 250 g

Penggunaan kortikosteroid inhalasi juga dapat menimbulkan efek samping sistemik namun tentunya lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan kortikosteroid jenis lain. Biomarker yang sering digunakan untuk mengontrol efek sistemik dari kortikosteroid inhalasi adalah serum kortisol, metabolitnya sendiri, dan serum osteocalcin. Kortikosteroid inhalasi seperti fluticasone dan budesonide hampir sempurna di inaktivasi dengan jalur metabolisme pertama di hati. (17) Penelitian menunjukkan bahwa keuntungan maksimum dari terapi

kortikosteroid inhalasi didapat dengan menggunakan dosis rendah flucotisone (88 mcg/hari) atau dosis medium beclomethasone (672 mcg/hari). Tidak ada keuntungan lebih yang didapat dengan menaikkan dosis flucotisone menjadi dosis medium atau tinggi. Pemberian dosis rendah flucotisone juga memberikan keuntungan berupa pembatasan efek samping sistemik yang berupa supresi cortisol, namun hal ini hanya efektif bagi penderita asma yang agak ringan dan tidak efektif bagi penderita asma sedang maupun berat. (17) Penanganan Asma Bertahap Pasien Dewasa dan Anak Usia > 5 Tahun
Nelson: Asthma, in Textbook of Pediatrics, 16th ed, Behrman, Kliegman, Jenson (eds). Philadelphia, Saunders Company, 2000. pp 670-676.

Step turun Apabila pengobatan terautr setiap 1 hingga 6 bulan; memungkinkan pengobatan dikurangi secara bertahap. Kontrol Jangka Panjang Pengobatan harian: Anti-inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis tinggi) DAN Bronkodilator mula kerja lama lama: 2agonist inhalasi, teofilin, atau 2-agonist tablet DAN Kortikosteroid tablet atau sirup jangka panjang Pengobatan harian: Anti-inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis sedang) ATAU Kortikosteroid inhalasi (dosis sedang-ringan) dan tambahkan bronkodilator mula kerja lama; 2-agonist, teofilin, 2-agonist tablet Pengobatan Harian: Anti inflamasi: kortikosteroid inhalasi (dosis rendah) atau kromolin atau nedokromil Teofilin, Zileuton untuk pasien 12 tahun, Montelukast untuk pasien 6 tahun

Step naik Apabila kontrol tidak teratur, pertimbangkan untuk menaikkan step. Pertama-tama, periksa teknik pengobatan, ketaatan dalam berobat, dan kontrol lingkungan pasien. Edukasi Step 2 dan 3 ditambah: Konsultasi individual

Pengobatan Cepat Bronkodilator mula kerja cepat: 2-agonist inhalasi sesuai kebutuhan Intensitas pengobatan tergantung dari beratringannya eksaserbasi Penggunaan 2-agonist inhalasi mula kerja cepat secara harian, sebagai indikasi kebutuhan tambahan terapi kontrol jangka panjang Bronkodilator mula kerja cepat: 2-agonist inhalasi sesuai kebutuhan Intensitas pengobatan tergantung dari berat-ringannya eksaserbasi Penggunaan 2agonist inhalasi mula kerja cepat secara harian, sebagai indikasi kebutuhan tambahan terapi kontrol jangka panjang Bronkodilator mula kerja cepat: 2-agonist inhalasi sesuai kebutuhan Intensitas pengobatan tergantung dari berat-ringannya eksaserbasi Penggunaan 2agonist inhalasi mula kerja cepat secara harian, sebagai indikasi kebutuhan tambahan terapi kontrol jangka panjang Bronkodilator mula kerja cepat: 2-agonist inhalasi sesuai kebutuhan Intensitas pengobatan tergantung dari beratringannya eksaserbasi Penggunaan 2-agonist inhalasi mula kerja cepat secara harian, sebagai indikasi kebutuhan tambahan terapi kontrol jangka panjang

Step 4 Berat Persisten

Step 3 Sedang Persisten

Step 1 ditambah: Mengajarkan pasien memonitor sendiri Edukasi kelompok bila ada Mengulang dan memperbarui perencanaan tatalaksana sendiri

Step 2 Ringan Persisten

Step 1 ditambah: Mengajarkan pasien memonitor sendiri Edukasi kelompok bila ada Mengulang dan memperbarui perencanaan tatalaksana sendiri

Tidak diperlukan pengobatan harian

Step 1 Ringan Intermiten

Mengajarkan fakta dasar tentang asma Mengajarkan penggunaan inhaler/spacer Mendiskusikan garis besar pengobatan Membuat rencana tatalaksana sendiri Membuat rencana tindakan untuk penyelamatan Mendiskusikan pengukuran kontrol lingkungan untuk mencegah pemaparan terhadap alergen dan iritan yang sudah diketahui

Tujuan dari terapi farmakologi pada asma adalah (16) 1.mengontrol gejala kronik dan nokturnal 2.menunjang fungsi paru mendekati normal 3.mencegah episode akut asma 4.mencegah efak samping dari pengobatan asma 5.pemberian regimen obat yang paling efektif bagi penderita 6.meningkatkan mutu aktivitas normal seperti olahraga Selain pengobatan, pencegahan juga merupakan hal yang sangat penting. Hal yang harus diperhatikan adalah kualitas udara dan tindakan yang tepat untuk menghindari pemicu serangan asma. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa tips untuk mencegah serangan asma didalam rumah (21) : - Hindari mikroorganisme yang dapat menyebabkan serangan asma dengan cara mengatur kelembaban dan ventilasi dalam rumah. Kita juga harus menghindari tungau-tungau yang biasa ada pada kasur, sofa dan sebagainya dangan cara membersihkan rumah dengan teratur. Kita juga harus mengawasi hewan peliharaan karena bulu-bulu dari hewan peliharaan (misalnya anjing, kucing dan hewan peliharaan lainnya yang berbulu). Asap rokok dan asap kayu bakar juga dapat memicu serangan asma. Dan pemasangan filter udara juga dianjurkan agar tercipta kualitas udara yang baik didalam rumah. - Nutrisi yang baik adalah dasar dari usaha kita untuk mengontrol asma. Manusia dengan asma atau alergi cenderung untuk memiliki defisiensi nutrisi tertentu yang berhubungan dengan kondisi mereka. Dengan intake makanan yang sesuai maka segala defisiensi dapat diatasi. . Suplementasi nutrisi seperti seperti vitamin c, vitamin e, carotein, vitamin B6, vitamin B12, magnesium, zinc, dan selenium menunjukkan efektivitas dalam penanganan asma.
(3)

Selain

itu penderita asma juga diharapkan sangat memperhatikan makanan mereka. Penderita asma harus cukup minum air , menghindari makanan yang dapat menimbulkan serangan akut asma, mengkonsumsi asam lemak esensial anti inflamasi dalam minyak ikan. (3) Pasien dengan pengobatan asma dengan kortikosteroid oral maupun inhalasi meningkatkan resiko osteoporosis. Karena itu asupan kalsium sangat

berguna untuk membentuk tulang yang kuat. Ketika kalsium di intake berbarengan dengan vitamin D yang membantu penyerapan kalsium dapat menurunkan resiko osteoporosis. asupan yang dianjurkan untuk intake kalsium adalah 1500 mg dengan 800 IU vitamin D setiap hari. Makanlah makanan yang berkalsium seperti tahu, kismis, sarden, salmon dan sayuran hijau dengan batangnya seperti brokoli dan sebagainya. Suplemen kalsium dapat menolong untuk mencapai asupan kalsium yang dianjurkan. Hindari suplemen yang mengandung tulang, cangkang kerang karena mereka dapat mengandung bahan-bahan yang toksis. Kita bisa mengurangi asma dan alergi saluran pernafasan dengan menebalkan produksi mukus di paru-paru. Hal ini dapat dilakukan dengan cara yang cukup sederhana yaitu minum air yang banyak. Air mineral yang mengandung kalsium dapat menolong untuk untuk meningkatkan baik cairan dan kalsium. Penelitian telah menunjukkan bahwa asam lemak omega 3 efektif dalam mengurangi gejala asma. Penelitian yang lain menemukan bahwa anak-anak yang secara teratur makan ikan segar yang mengandung asam lemak omega 3-4 kali lebih jarang terserang asma jika dibandingkan dengan anak yang jarang makan ikan. Para ilmuwan berspekulasi bahwa asam lemak omega 3 mengurangi peradangan dan kepekaan jalan nafas. Hasil yang diharapkan dari penatalaksanaan asma adalah: (16) 1.minimal atau tidak adanya gejala kronik pada siang atau malam hari (seperti batuk atau mengi) 2.minimal atau tidak adanya eksaserbasi 3.tidak adanya kunjungan darurat ke rumah sakit 4.kebutuhan minimal short acting beta-agonist (<1x/hari ) 5.tidak ada pembatasan aktivitas fisik termasuk olahraga 6.PEFR(peak expiratory flow rate) variasi >=80% dari nilai yang terbaik 7.tidak ada efek samping dari terapi farmakologi

KESIMPULAN
Asma bronkiale adalah penyakit inflamasi kronik dari saluran nafas yang ditandai dengan peningkatan respon dari saluran trakeobronkial terhadap berbagai rangsangan. Manifestasinya berupa penyempitan saluran nafas yang reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan dan secara klinis ditandai dengan paroxysmal dyspnea, batuk dan mengi. (1) Asma adalah penyakit episodik, dengan eksaserbasi akut dengan disertai periode bebas gejala. Biasanya serangan berlangsung singkat beberapa menit sampai jam dan pasien biasanya sembuh seperti keadaan sebelum serangan. Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. (2) Dasar patogenesis asma adalah hiperiritabilitas non-spesifik cabang trakeobronkial, hal ini disebabkan karena proses inflamasi subakut persisten pada saluran pernafasan, sehingga timbul keadaan klinis dan fisiologis yang terjadi dari interaksi antara sel-sel inflamasi dan sel-sel residen pada epitel permukaan saluran pernafasan, mediator inflamasi, dan sitokin. Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala klasik seperti sesak nafas, batuk dan mengi. Yang pertama kali yang harus kita lakukan pada saat ada pasien yang terkena serangan asma adalah menilai derajat serangan asma. (13) Pada anak-anak, asma yang tidak diterapi dengan baik dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan paru permanen yang pada akhirnya akan menimbulkan gejala asmatik kronis untuk sisa hidupnya. Dengan pengobatan yang baik, asma bronkiale dapat dikontrol dengan baik pula.

DAFTAR PUSTAKA

1. McFadden ER Jr. Asthma. In : Braunwald Eugene, Fauci Anthony S, Kasper Dennis L, et al, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 15thed.Vol II. USA : McGraw-Hill Companies, 2001 : 1456-1463 2. Heru Sundaru, Asma Bronkial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi III, Jakarta : Balai Penerbit FKUI,2001:26-21 3. Connecticut center for health http://www.connecticutcenterforhealth.com/asthma.html 4. William R, Solomon, Asma Bronkial: Alergi dan lain-lain. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, jilid I, edisi IV, Jakarta, EGC, 1994:151-149. 5. Thomas J. Prendergast,MD, Stephen J. Ruoss, MD. Pulmonary Disease. Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine. 4th ed. United States: Appleton & Lange, 2003: 240-238 6. http://www.temtreatment.com/images/disease/bronchialasthma-htm. 7. http://www.CNI.co.id/Asma.htm 8. http://www.geocities.com/info2006/penyakit/Asma.htm 9. http://www.holisticvetcare.com/Bronchial-Asma.htm 10. http://www.mondobiotech.com/1-products-asthma3.htm 11. A E Tattersfield, A J Knox, J R Britton, I P Hall. Asthma. Lancet 2002 ;360 : 1313-22 12. http://www.internethealthlibrary.com/healthproblems/Asma.htm 13. Karnen Baratawidjaja. Asma Bronkial. In: Soeparman, Sarwono Waspadji, editors. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1998: 33-32 14. Faisal Yunus, Hadiarto Mangunnegoro,. Penatalaksanaan Asma Bronkial. In: Faisal Yunus, Menaldi Rasmin, Achmad Hudoyo, Achmad Mulawarman, Boedi Swidarmoko, editors. Pulmonologi Klinik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1992: 131 15. NIH Asthma Guidelines and Standard, http://www.getasthmaney.ORG/NIH_Guidelines.asp

16. New England S of med,guidelines for diagnosis and management of asthma, oktober 2002 http://www.securityhealth.org/guidelines/asthma.pdf 17. Broide David H.MB,CHB, Researchers review ACRN progress in optimizing treatment for asthma, medscape portals 2001 http://www.medscape.com/viewarticle/420358 18.Silberstein,Warren P.M.D, treatment 06/16/97 http://www.mindspring.com/-dr.warren/asthma2.htm 19.RR Rosenthal, effect of long term salmeterol therapy compared with as needed albuterol use on airway hyperresponsiveness, medscape pulmonary medicine 4 (1) 2000 http://www.medscape.com/viewarticle/436228 20.Bittman, Castro M, Allergy and immunology. In : Ahya SN, Flood K, Paranjothi S, editions, The Washington Manual of Medical Therapeutics 30 th ed Missouri : Lippincott William & Wilkins 2001 : 247-251 , 2001 21. http://health.yahoo.com/heallth/centris/asthma/900:html of asthma.part1,

Vous aimerez peut-être aussi