Vous êtes sur la page 1sur 32

Mala_Kastellorios

Education, Healty and reaps the fruit of here

Beranda

Total Tayangan Laman


8181

About Me

myhusband.mywife Selalu dan akan menyayangi_nya sampai akhir hayat Lihat profil lengkapku

Blog Archive

2011 (16) o November (12) Perubahan Psikologi pada Lansia Askep Hipotiroidisme Promosi Kesehatan ( Didalam Gedung Puskesmas) Askep Hipofungsi Adrenokortikal ( Penyakit Addison... Askep Child Abuse (Kekerasan pada Anak) Vaksinasi

Penyakit Menular BABPEMBAHASANGIZI PADA PENDERITA HIV / AIDS Askep Leukemia Askep Leukemia Askep Hipertrofi Kelenjar Tiroid Askep Prenatal Juni (4)

...

On Clock Share it Fish Followers


Senin, 07 November 2011

Askep Child Abuse (Kekerasan pada Anak)


BAB PEMBAHASAN

A. DEFINISI Pada awalnya terminologi tindak kekerasan atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Ibnu Anshori, 2007) melaporkan kasus berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh dalam Anshori, 2007). Kasus yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen. Henry (dalam Anshori, 2007) menyebut kasus penelentaran dan

penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain. Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Anshori, 2007). Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah. Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi

orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum. Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru. Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk

penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang. Hoesin (2006) melihat kekerasan terhadap anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak. dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas penegak hukum. Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah

orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk terhadap anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka. Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.

Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.

B. KLASIFIKASI CHILD ABUSE Macam macam Child Abuse :

Emotional Abuse, Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror, mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan menyebabkan kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional anak. Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan. Indikator perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul ).

Physical Abuse Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai

tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa luka memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan. Indikator fisik luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut, cakaran. Indikator perilaku waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah, menipu, berbohong, mencuri.

Neglect Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya. Indikator fisikkelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya perhatian, masalah kesehatan yang tidak ditangani.

Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.

Sexual Abuse Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak. Indikator fisik , kesulitan untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam, nyeri atau gatal di area genital, memar atau perdarahan di area genital / rektal, berpenyakit kelamin. Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak sesuai dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif / berperilaku yang menggairahkan, penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif ( misal: ngompol ).

Sedangkan menurut para ahli yang lain, sebagai berikut : Terry E. Lawson (dalam harian-pikiran.rakyat.com, 2006), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu. Verbal abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, kamu bodoh, kamu cerewet, dsb. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal jika semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode. Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Eksploitasi seksual pada anak adalah ketergantungan, perkembangan seksual aktivitas yang tidak matur pada anak dan orang dewasa, dimana mereka tidak sepenuhnya secara komprenhensif dan tidak mampu untuk memberikan persetujuan karena bertentangan dengan hal yang tabu di keluarga. Menurut Moore (dalam Nataliani, 2004), kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, antara lain kekerasan fisik, seksual dan emosional. Purbani (2003) mengatakan kekerasan dalam rumah tangga baik dilakukan oleh suami kepada istrinya atau orang tua terhadap anaknya bisa berbentuk fisik atau nonfisik. Kekerasan nonfisik bisa berbentuk verbal seperti pelecehan, penghinaan, mencuekin (mendiamkan) istri, atau bentuk lain seperti tidak membiayai selama berbulan-bulan, sedangkan kekerasan fisik bisa berbentuk pemukulan, penjambakan, dll. Sedangkan Patilima (2003) menganggap bahwa kekerasan pada anak merupakan perlakuan yang salah. Hamid mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala

perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental. Perlakuan salah menurut DR. Irwanto (dalam Hamid, 2003), dapat digolongkan ke dalam berbagai kategori menurut dampak dari perlakuan, yaitu: 1. Perlakuan salah secara seksual; 2. Perlakuan salah secara fisik; dan 3. Perlakuan salah secara mental.

Bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam Undang-undang no. 23 tahun 2004 (www.kowani.or.id) mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dimana ingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi suami, isteri dan anak, yaitu; 1. Kekerasan fisik; Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat; 2. Kekerasan psikis adalah; Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; 3. Kekerasan seksual adalah kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetapkan dalam lingkup hidup rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, 4. Penelantaran rumah tangga. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Menurut Sitohang (2004), bentuk-bentuk kekerasan pada anak meliputi;

1. Penganiayaan fisik, Non Accidental injury mulai dari ringan bruiser laserasi sampai pada trauma neurologic yang berat dan kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun; 2. Penelantaran anak/kelalaian, yaitu kegiatan atau behavior yang langsung dapat menyebabkan efek merusak pada kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya; 3. Penganiayaan emosional yaitu ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain; 4. Penganiayaan seksual, mempergunakan pendekatan persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk mengajak berperilaku/mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan kegiatan seperti : aktivitas seksual (oral genital, genital, anal atau sodomi) termasuk incest.

C. ETIOLOGI Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse, yaitu: 1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya. 2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama, padahal pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin. 3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya

tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.

Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih besar untuk melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer). Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah: Stress yang berasal dari anak. a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan anak lain yang mempunyai fisik yang sempurna. b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak bertemperamen lemah. d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya dan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang kuat antara anak angkat dan orang tua.

Stress keluarga a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup. Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus mengorbankan keluarga. b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku anak. c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua. d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb.

Stress berasal dari orang tua, a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain. b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah pada masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai bentuk pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya. c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat orangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi memenuhi kebutuhan anak, orangtua cenderung menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan kekerasan.

D. DAMPAK CHILD ABUSE


Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga

menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf. Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya. Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse), antara lain; 1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anakanaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia; 2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri; 3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

4. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang. 5. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan

lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

Berdasarkan uraian diatas dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain; a. Kerusakan fisik atau luka fisik; b. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif c. Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri; d. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dll; e. Pendidikan anak yang terabaikan Anak yang mengalami kekerasan/ penganiayaan akan berakibat panjang. Mereka akan mengalami gangguan belajar, retardasi mental, gangguan perkembangan temasuk

perkembangan bahasa, bicara, motorik halusnya. Dalam penelitian juga diperoleh bahwa IQ anak yang mengalami kekerasan/penganiayaan akan rendah daripada yang tidak. Mereka juga mengalami gangguan dalam konsep diri dan hubungan sosial. Teman-teman menganggap mereka sebagai anak yang suka menyendiri atau pembuat onar. Hal ini akan berlanjut hingga dewasa, dalam memilih pasangan hidup.

E. MANIFESTASI KLINIS Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya. Kematian.

Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu: Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak mendaapat perlakuan salah. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu: Kecerdasan Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik. Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi. Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.

Emosi Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri. Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb. Konsep diri Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri. Agresif Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.

Hubungan social Pada anak2 ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau perbuatan2 kriminal lainnya. Akibat dari penganiayaan seksual Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain: - Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus. Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah laku. - Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak. - Sindrom munchausen Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala: Gejala yang tidak biasa/tidak spesifik Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa Tingkah laku orangtua yang berlebihan.

F. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENGANIAYAAN PADA ANAK Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan kesehatan tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child abuse. Hal yang dapat dilakukan oleh perawat adalah dengan memberikan pendidikan kepada keluarga tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, serta cara menghadapi stress saat menjadi orang tua. Browne mengemukakan, setidaknya skrening melibatkan 3 orang perawat yang akan datang pada 9 bulan pertama kehidupan. Pada kunjungan pertama dilakukan pengkajian atas adanya faktor yang berhubungan dengan abuse dan neglect, Pada kunjungan selanjutnya perawat

mengexplorasi persepsi orang tua tentang tentang anak dan stressor si keluarga. Pada kunjungan ke tiga perawat melihat kembali tentang kebiasaan bayi dan

pengasuhannya. Mengamati pertumbuhan dan perkembangannya, dan membantu orang tua untuk mengenali perkembangan yang sesuai dengan usia anak. Orang tua yang beresiko menjadi abusive parents akan memiliki perkiraan yang tidak realistik tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, misalnya bayi berusia 6 bulan dianggap harus didisiplinkan karena tidak dapat mengikuti toilet training. (Smith and Maurer, 1995) Selain hal di atas, perawat juga hendaknya mengamati hubungan antara orang tua dengan anak. Salah satu indikator kunci adalah kurangnya bonding antara ibu dan anak. . Bila bonding lemah, maka perawat dapat meningkatkan pegasuhan dan kepercayaan diri orang tua sebagai pengasuh anak. Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak adalah melalui:

1. Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat. a. Prevensi Individu - Pendidikan kehidupan keluarga di sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat - Pendidikan pada anak tentang cara penyelesaian konflik - Pendidikan seksual pada remaja yang beresiko - Pendidikan perawatan bayi bagi remaja yang merawat bayi - Pelayanan referensi perawatan jiwa - Pelatihan bagi tenaga profesional untuk deteksi dini perilaku kekerasan. primer-tujuan: promosi orangtua dan keluarga sejahtera.

Keluarga - Kelas persiapan menjadi orangtua di RS, sekolah, institusi di masyarakat - Memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orangtua baru - Rujuk orangtua baru pada perawat Puskesmas untuk tindak lanjut (follow up)

- Pelayanan sosial untuk keluarga Komunitas - Pendidikan kesehatan tentang kekerasan dalam keluarga - Mengurangi media yang berisi kekerasan - Mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat, seperti: pelayanan krisis, tempat penampungan anak/keluarga/usia lanjut/wanita yang dianiaya - Kontrol pemegang senjata api dan tajam

b. Prevensi sekunder-tujuan: diagnosa dan tindakan bagi keluarga yang stress Individu Pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian kekerasan pada keluarga pada tiap pelayanan kesehatan - Rencana penyelamatan diri bagi korban secara adekuat - Pengetahuan tentang hukuman untuk meminta bantuan dan perlindungan - Tempat perawatan atau Foster home untuk korban

Keluarga - Pelayanan masyarakat untuk individu dan keluarga - Rujuk pada kelompok pendukung di masyarakat (self-help-group). Misalnya: kelompok pemerhati keluarga sejahtera - Rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang memberikan pelayanan pada korban.

Komunitas - Semua profesi kesehatan terampil memberikan pelayanan pada korban dengan standar prosedur dalam menolong korban - Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi respon, melaporkan, pelayanan kasus, koordinasi dengan penegak hukum/dinas sosial untuk pelayanan segera. - Tim pemeriksa mayat akibat kecelakaan/cedera khususnya bayi dan anak. - Peran serta pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah setempat. - Pendekatan epidemiologi untuk evaluasi - Kontrol pemegang senjata api dan tajam

c. Prevensi tertier-tujuan: redukasi dan rehabilitasi keluarga dengan kekerasan Individu - Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi korban - Konseling profesional pada individu

Keluarga - Reedukasi orangtua dalam pola asuh anak - Konseling profesional bagi keluarga - Self-help-group (kelompok peduli)

Komunitas - Foster home, tempat perlindungan - Peran serta pemerintah - follow up pada kasus penganiayaan dan kekerasan - Kontrol pemegang senjata api dan tajam

2. Pendidikan Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang sangat pribadi, yaitu penis, vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut sifatnya sangat pribadi dan harud dijaga agar tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu meningkatkan keamanan anak di sekolah. Sikap atau cara mendidik anak juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi aniaya emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda2 aniaya fisik dan pengabaian perawatan pada anak.

3. Penegak hukum dan keamanan Hendaknya UU no.4 thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan secara konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II pasal 2 menyebutkan bahwa anak berhak atas perlindungan

terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

4. Media massa Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh artikel2 pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada anak baik jangka pendek maupun jangka panjang diberitakan agar program pencegahan lebih ditekankan.

G. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CHILD ABUSE A. Pengkajian Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda adanya kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse di atas). Saat abuse terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak, kemudian menginterview anak. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau saudaranya untuk beberapa waktu. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah psikiatrik. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian) Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis kelamin anak yang dilahirkan. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak. Kaji respon psikologis pada trauma Kaji keadekuatan dan adanya support system Situasi Keluarga.

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa keperawatan berkaitan dengan child abuse, antara lain: a. Psikososial - Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau - Gagal tumbuh dengan baik - Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan psikososial - With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa

b. Muskuloskeletal - Fraktur - Dislokasi - Keseleo (sprain)

c. Genito Urinaria - Infeksi saluran kemih - Perdarahan per vagina - Luka pada vagina/penis - Nyeri waktu miksi - Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.

d. Integumen - Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok) - Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi - Adanya tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan - Bengkak.

EVALUASI DIAGNOSTIK Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium. 1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

a. Penganiayaan fisik. Tanda patogomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa: - Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung. - Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam air panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat aliran listrik seperti oven atau setrika. - Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda. - Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada penganiayaan anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2 tahun. b. Pengabaian Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan kegagalan mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi respons baik terhadap pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak. Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik. Tidak mampu imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga mencakup kelalaian merawat kesehatan gigi dan mulut anak sehingga mengalami kerusakan gigi.

c. Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari: - Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina. - Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis. - Pubertas prematur pada wanita Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya, binatang, atau objek tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan umur anak serta tingkah laku yang menggairahkan. - Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada orang dewasa, mimpi buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri, depresi, gangguan stres post-traumatik, prostitusi, gangguan makan, dsb.

2. Laboratorium

Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada penganiayaan seksual, dilakukan pemeriksaan: - Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah penganiayaan seksual. - Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk genokokus - Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B - Analisa rambut pubis 3. Radiologi Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada anak, yaitu untuk: o Identifiaksi fokus dari jejas o Dokumentasi

Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5 tahun hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan adanya penyaniayaan fisik. CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma kepala yang berat. - MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid. - Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan seksual.

B. Diagnosa Keperawatan Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan berhubungan dengan Harga diri rendah, baik pada orang tua atau anak.

Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis. Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping keluarga inefektif.

C. Intervensi Keperawatan Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan Tujuan umum : klien tidak mencederai diri / orang lain / lingkungan. Tujuan khusus : Klien dapat membina hubungan saling percaya. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekekerasan yang biasa dilakukan. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. .Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif. Klien dapat mendemonstrasikan sikap perilaku kekerasan. Klien dapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan. Klien dapat menggunakan obat yang benar.

Tindakan keperawatan : 1. Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan tenang, observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati. Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya. 2. Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya. Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif. 3. Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.

4. Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel. Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian masalah yang konstruktif pula. 5. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien. Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan untuk intervensi. 6. Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien. Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan. 7. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien. 8. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya. 9. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai. Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan masalahnya. 10. Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien. Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif. 11. Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan. Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah. 12. Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat. Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif. 13. Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat. Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri klien. 14. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat. Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga. Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan. Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar diberi kesabaran. Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.

15. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien. Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. 16. Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih. Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan. 17. Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut. Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat. 18. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut. Rasional : meningkatkan harga diri klien. 19. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah. Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi. 20. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini. Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien. 21. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien. Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam perubahan perilaku klien. 22. Jelaskan cara-cara merawat klien. Terkait dengan cara mengontrol perilaku kekerasan secara konstruktif. Sikap tenang, bicara tenang dan jelas. Bantu keluarga mengenal penyebab marah. Rasional : meningkatkan pengetahuan keluarga dalam merawat klien secara bersama. 23. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien. Rasional : mengetahui sejauh mana keluarga menggunakan cara yang dianjurkan. 24. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi. Rasional : mengetahui respon keluarga dalam merawat klien. 25. Jelaskan pada klien dan keluarga jenis-jenis obat yang diminum klien seperti : CPZ, haloperidol, Artame. Rasional : menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang obat dan fungsinya. 26. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter.

Rasional : memberikan informasi pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.

Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain : Tujuan khusus : Klien dapat membina hubungan saling percaya. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang positif yang dimiliki. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan. Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Tindakan keperawatan : 1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik. Rasional : hubungan saling percaya memungkinkan klien terbuka pada perawat dan sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya. 2. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien. Rasional : mengidentifikasi hal-hal positif yang masih dimiliki klien. 3. Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian negatif. Rasional : pemberian penilaian negatif dapat menurunkan semangat klien dalam hidupnya. 4. Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif klien. Rasional : meningkatkan harga diri klien. 5. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan. Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat digunakan. 6. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya di rumah sakit. Rasional : mengidentifikasi kemampuan yang masih dapat dilanjutkan. 7. Berikan pujian. Rasional : meningkatkan harga diri dan merasa diperhatikan.

8. Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit. Rasional : agar klien dapat melakukan kegiatan yang realistis sesuai kemampuan yang dimiliki. 9. Bantu klien melakukannya jika perlu beri contoh. Rasional : menuntun klien dalam melakukan kegiatan. 10. Beri pujian atas keberhasilan klien. Rasional : meningkatkan motivasi untuk berbuat lebih baik. 11. Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih. Rasional : mengidentifikasi klien agar berlatih secara teratur. 12. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan. Rasional : tujuan utama dalam penghayatan pasien adalah membuatnya menggunakan respon koping mal adaptif dengan yang lebih adaptif. 13. Beri pujian atas keberhasilan klien. Rasional : meningkatkan harga diri klien. 14. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan dirumah. Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.

Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis. Psikoterapeutik. Bina hubungan saling percaya Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat dan waktu interaksi dan tujuan. Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien, untuk menunjukkan penghargaan yang tulus. Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien tidak akan diberitahukan kepada orang lain yang tidak berkepentingan. Selalu memperhatikan kebutuhan klien.

Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai istilah yang sederhana

Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas dan teratur. Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan perawat. Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaanya

Kenal dan dukung kelebihan klien Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa digunakan klien, cara menceritakan perasaanya kepada orang lain yang terdekat/dipercaya. Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif Dukung koping klien yang konstruktif Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.

Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal terapi. Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin. Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien. Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara bertahap, dimulai dari klien dengan perawat, kemudian dengan dua perawat, kemudian ditambah dengan satu klien dan seterusnya. Libatkan klien dalam aktivitas kelompok. Pendidikan kesehatan Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan kata-kata seperti dengan menulis, menangis, menggambar, berolah-raga, bermain musik, cara berhubungan dengan orang lain : keuntungan berhubungan dengan orang lain. Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri. Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan hubungan dengan klien. Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam aktivitas dilingkungan masyarakat.

Kegiatan hidup sehari-hari Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat melaksanakannya sendiri. Bimbing klien berpakaian yang rapi Batasi kesempatan untuk tidur Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat kabar, radio dan televisi. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien. Terapi Somatik Beri obat sesuai dengan prinsip lima benar (benar klien, obat,dosis, waktu dan cara) Pantau reaksi obat Catat pemberian obat antipsikotik yang telah dilaksanakan. Pastikan apakah obat yang telah diminum, periksa tempat-tempat yang memungkinkan klien menyimpan obat. Lingkungan Terapeutik Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun orang lain dari ruangan. Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam jangka waktu yang lama. Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di ruangan.

Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping keluarga inefektif. Tujuan umum : Koping adatif dapat dilakukan dengan optimal. Tujuan khusus : Keluarga dapat mengenal masalah dalam keluarga dan

menyelesaikannya dengan tindakan yang tepat. intervensi

1. Identifikasi dengan keluarga tentang prilaku maladaptif . Rasional : Keluarga mengenal dan mengungkapkan serta menerima perasaannya sehingga mempermudah pemberian asuhan kepada anak dengan benar. 2. Beri reinforcement positif atas tindakan keluarga yang adaptif. Rasional : Untuk memotivasi keluarga dalam mengasuh anak secara baik dan benar tanpa menghakimi dan menyalahkan anak atas keadaan yang buruk. 3. Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan yang semestinya terhadap anak. Rasional : Memberikan gambaran tentang tindakan yang semestinya dapat

dilaksanakan keluarga terhadap anak. 4. Diskusikan dengan keluarga tentang pentingnya peran orang tua sebagai status pendukung dalam proses tumbuh kembang anak. Rasional : Memberikan kejelasan dan memotivasi keluarga untuk meningkatkan peran sertanya dalam pengasuhan dan proses tumbuh kembang anaknya. 5. Kolaborasi dalam pemberian pendidikan keluarga terhadap orang tua. Rasional :Dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keluarga ( orang tua ),tentang pentingnya peran orang tua dalam tumbuh kembang anak,memiliki pengetahuan tentang metode pengasuhan yang baik,dan menanamkan kesadaran untuk menerima anaknya dalam keadaan apapun.

BAB III

PENUTUP KESIMPULAN Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikis. Dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain; Kerusakan fisik atau luka fisik; Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif; memiliki perilaku menyimpang, Pendidikan anak yang terabaikan. Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan retina akibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam lainnya. Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu: Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan pada anak dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan kesehatan tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child abuse. B. SARAN Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan kita tentang Asuhan Keperawatan Child Abuse. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi. Terima Kasih,,.

Diposkan oleh myhusband.mywife di 06.16 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook 0 komentar: Poskan Komentar Posting Lebih Baru Posting Lama

Langganan: Poskan Komentar (Atom) @ 2011 Mala_Kastellorios; Many thanks to: Blogger Templates / Web Design Company / SEO / Technology Blog

Vous aimerez peut-être aussi