Vous êtes sur la page 1sur 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit yang sering ditemukan atau dijumpai.

Berdasarkan studi epidimologi prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 9 42 % dan secara konstan meningkat dalam beberapa tahun terakhir (Settipane RA dkk, 2007). Prevalensi rinitis alergi di Eropa Barat sebesar 20% 5 pada anak dan dewasa. Sedangkan di Amerika Utara dan Korea 10-20% Jepang 10%, Thailand 20% dan di New Zealand 25 %. Di Bandung prevalensi rinitis alergi pada umur di atas 10 tahun sebesar 5,8%. Di Semarang didapatkan prevalensi gejala rinitis alergi pada anak sekolah usia 13-14 tahun sebesar 18,6% (Denny Satria Utama 2010). Rinitis alergi sering dijumpai bersama-sama dengan asma bronkial. Keadaan tersebut sesuai dengan konsep one airway one diseases (Bousquet, 2001). Sedangkan asma bronkial merupakan gangguan saluran nafas yang ditandai dengan mengi, batuk, dan sesak di dada (Rengganis, 2008). Di Amerika Serikat sekitar 20-40% pasien rinitis alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya. Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun 1984 di AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rinitis alergi juga memiliki gejala asma bronkial, atau sekitar 3-5% dari total populasi (Effy Huriyati, Al Hafiz, 2008).

WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma (Kartasasmita, 2010). Berdasarkan beberapa data tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Rinitis Alergi dengan asma bronkial di RSUD dr. Saiful Anwar Malang Periode 1 Januari 31 Desember 2011.

1.2 Rumusan Masalah Adakah hubungan rinitis alergi dengan asma bronkial di RSUD dr. Saiful Anwar periode 1 Januari 31 Desember 2011 ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara rinitis alergi dengan asma bronkial di RSUD dr. Saiful Anwar Malang Periode 1 Januari 31 Desember 2011.

1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui usia penderita rinitis alergi di RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 31 Desember 2011. 2. Untuk mengetahui jenis kelamin penderita rinitis alergi di RSUD Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 31 Desember 2011.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Masyarakat Memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan terhadap masyarakat umum tentang hubungan rinitis alergi dengan asma bronkial sehingga masyarakat dapat mengetahui dan melakukan pencegahan.

1.4.2 Klinis Sebagai tambahan informasi dan pedoman pencegahan serta penanganan rinitis alergi dan asma bronkial.

1.4.3 Akademis 1. Penelitian ini diharapakan dapat menjadi data dan referensi untuk penelitan selanjutnya. 2. Menambah informasi dan wawasan ilmu pengetahuan tentang penelitian ilmu kesehatan. 3. Sebagai sarana untuk menginplementasikan ilmu yang telah dipelajari dan diteliti, khususnya di bidang kedokteran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma Bronkial 2.1.1 Definisi Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari (Purnomo, 2008). Sedangkan definisi menurut WHO asma adalah keadaan kronis yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran nafas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang (Berianto Agustian, Moh.Habib, 2011). 2.1.2 Penyebab asma bronkial Secara umum faktor risiko asma menurut Iris Rengganis (2008) dipengaruhi atas faktor genetik, Faktor lingkungan dan faktor lain.

1. Faktor genetik A. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. B. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. C. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi
3

menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. D. Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan A. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). B. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

3. Faktor lain A. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. B. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. C. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain. D. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

E. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. F. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan G. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. H. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

2.1.3 Patofisiologi Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis ini dianggap berperan penting dalam mekanisme terjadinya asma. Pada anak dengan riwayat atopi memiliki kecenderungan sistem imun spesifik bergeser ke arah proalergi, yaitu T helper 2 (Th 2) (Leung,2008). Sehingga asma bronkial sebenarnya merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada paparan pertama, adanya antigen yang masuk akan ditangkap oleh sel APC, terutama sel dendritik, dan akan dipresentasikan ke sel limfosit. Dan karena adanya faktor atopik mengakibatkan Th 2 yang teraktivasi dan menyebabkan terlepasnya sitokin. IL 4 dan IL 13 yang menginduksi sel B mensintesis IgE (Santoso, 2008). Saat ada paparan kedua, mengakibatkan adanya reaksi inflamasi akut dan jika berlanjut menjadi inflamasi kronik. Inflamasi akut disebabkan terikatnya IgE pada sel mast dan terjadinya degranulasi sel mast tersebut (PDPI, 2004).

Hal ini menyebabkan adanya 3 kemungkinan, yaitu: respon asma cepat, respon asma cepat dan diikuti respon asma lambat, atau respon asma lambat saja. Respon asma cepat terjadi kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan dan berlangsung 1-2 jam. Pada reaksi cepat terjadi pelepasan mediator oleh sel mast/ basofil yaitu preformed mediator seperti histamin dan newly generated mediator seperti leukotrin, ECF, dan prostaglandin. Peristiwa ini mengakibatkan penyempitan bronkus dengan segera, spasme otot polos bronkus, inflamasi edema, dan hipersekresi. Sedangkan pada respon lambat terjadi sekitar 4-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 12-48 jam (Santoso, 2008). Hipereaktivitas bronkus akibat respon lambat dapat berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan bulan. Teraktivasinya sel-sel inflamasi tadi mengakibatkan inflamasi kronik yang menimbulkan kerusakan jaringan, terutama epitel, secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan yang akan menghasilkan perbaikan jaringan. Sehingga terjadi proses yang terdiri dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan nafas, peningkatan kelenjar mukus, terjadinya fibrosis, matriks ekstraseluler meningkat, dan perubahan struktur parenkim. (Konsekuensi klinis dari remodeling ini adalah bronkospasme yang parah, peningkatan sekresi mukus, pengurangan elastisitas jalan nafas, dan obstruksi jalan nafas. Sehingga kekerapan asma akibat faktor lingkungan akan memperburuk asma yang sudah terjadi (PDPI, 2004). Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. (Iris Rengganis,
2008) 6

2.1.4 Klasifikasi Berdasarkan penyebabnya, asma bronkial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Asma ekstrinsik Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi penderita terhadap alergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat. (Purnomo, 2008).

2. Asma intrinsik (non Alergik) Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kondisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan. (Purnomo, 2008).

3. Asma gabungan Banyak pasien menderita asma gabungan, yang terdiri dari komponen-komponen asma ekstrinsik dan intrinsic (Wilson, 2006). Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) yang dikutip oleh Purnomo (2008) penggolongan asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu: 1. Asma Intermiten (asma jarang) - Gejala kurang dari seminggu - Serangan singkat - Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan - FEV 1 atau PEV > 80% - PEF atau FEV 1 variabilitas 20% 30% 2. Asma mild persistent (asma persisten ringan) - Gejala lebih dari sekali seminggu - Serangan mengganggu aktivitas dan tidur - Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
7

- FEV 1 atau PEV > 80% - PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% 30% 3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang) - Gejala setiap hari - Serangan mengganggu aktivitas dan tidur - Gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu - FEV 1 atau PEV 60% 80% - PEF atau FEV 1 variabilitas > 30% 4. Asma severe persistent (asma persisten berat) - Gejala setiap hari - Serangan terus menerus - Gejala pada malam hari setiap hari - Terjadi pembatasan aktivitas fisik - FEV 1 atau PEF = 60% - PEF atau FEV variabilitas > 30%

2.1.5 Gambaran klinis Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan seiring gejala yang tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin (Nency, 2011) Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien
8

dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis. (Nency, 2011)

2.1.6 Diagnosis Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang (iris rengganis, 2008). A. Anamnesis Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan baubauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. B. Pemeriksaan Klinis Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan ; mengi, ekspirasi memanjang. C. Pemeriksaan Penunjang A. Spirometer Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
9

B. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. C. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. D. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). E. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. F. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
10

droplet

ekstrak

alergen

spesifik

dapat

menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

2.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: A. Pereda (reliever), yaitu bagaimana kita meredakan serangan atau gejala asma yang timbul (Santoso, 2008). B. Pengendali (controller) yaitu bagaimana kita mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik. Pemakaian obat terus menerus dalam jangka waktu lama, bergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan (Santoso, 2008)

Menurut Ninda Devita (2011) Obat-obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana asma antara lain: 1. Agonis 2-Adrenergik Golongan 2-agonis terbagi dua, yaitu: kerja lambat dan kerja cepat. Golongan kerja cepat, seperti salbutamol; terbutalin; atau pirbeterol, digunakan untuk serangan asma. Sedangkan golongan kerja lambat, seperti salmeterol dan formeterol, digunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi, tidak digunakan sebagai monoterapi (Santoso, 2008). Mekanisme kerja 2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran nafas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas vaskular, dan menghambat kerja sel mast (PDPI, 2004). 2-agonis tersedia dalam bentuk inhalasi ataupun oral. Untuk inhalasi terdapat dalam bentuk metered dose inhaler, dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (drypowder inhaler) (Santoso, 2008).
11

Pemberian inhalasi lebih dianjurkan karena lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004). Efek samping yang dapat timbul yaitu rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, hipokalemia (PDPI, 2004).

2. Metilxantin Golongan metilxantin digunakan sebagai penggganti 2-agonis. Metilxantin lepas lambat (teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma dan juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena (aminofilin) (Santoso, 2008). Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Efek samping yang dapat timbul adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebih dapat terjadi konvulsi (Santoso, 2008).

3. Kortikosteroid Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma (PDPI, 2004). Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi, penghambatan kebocoran pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan peningkatan kerja respon -reseptor (Santoso, 2008). Kortikosteroid dapat diberikan secara inhalasi ataupun oral (PDPI, 2004). Steroid inhalasi lebih sering digunakan karena efek samping yang minimal, yaitu kandidiasis orofaring dan batuk (Santoso, 2008). Jika dengan steroid inhalasi asma tidak terkontrol, lebih baik ditambah dengan obot pengontrol lain daripada menaikkan dosis (PDPI, 2004). Dan steroid oral diberikan pada asma berat yang tidak terkontol dengan steroid inhalasi (PDPI, 2004). 4. Kromolin Yang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan nedokromil sodium. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Kromolin diberikan secara inhalasi. Efek samping yang rimbul berupa batuk atau rasa obat yang tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004)

12

5. Obat lain Adrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia 2 -agonis. Sedangkan antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan asma, namun kerjanya tidak terlalu poten dibandingkan 2-agonis kerja cepat. Sebagai pengendali asma juga terdapat golongan antihistamin seperti ketotifen. Obat asma yang relatif baru adalah leukotriene modifiers yang mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis leukotrien dan memblok reseptor. Penatalaksanaan Asma tergantung atas beratnya serangan, berdasarkan anjuran WHO penatalaksanaan asma secara global (GINA: Global Initiative For Asthma) yaitu : 1. Penyuluhan kepada pasien Karena asma memerlukan pengobatan jangka panjang, sehingga diperlukan kerjasama antara pasien, keluarga serta tenaga kesehatannya. Antara lain denga menghindari asap rokok, keluarga dengan asma dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu, seperti kucing, anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan dan penghindaran kelembaban kamar perlu bagi yang sensitif debu rumah dan tunganya. (Supriyatno, 2010)

2. Penilaian derajat beratnya asma Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala, pemeriksaan uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma yang tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya obstruksi salura napas. (Nency Irma Indriana Sylvia, 2011)

3. Perencanaan obat-obat jangka panjang Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan : A. Obat-obat anti asma B. Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
13

C. Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien (Nency, 2011). 4. Merencanakan pengobatan masa akut dan berobat secara teratur Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahanlahan dalam jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor pencetus.

Tujuan pengobatan serangan asma yaitu: 1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera 2) Mengatasi hipoksemia 3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin 4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya 5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-cara mengatasi dan mencegah serangan asma (Nency, 2011). Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma pada umumnya memerlukan pengawasanyang teratur dari tenaga kesehatan. Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara menghindari faktor pencetus serta oenggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin jarang (Nency, 2011). 2.2 Rinitis Alergi 2.2.1 Definisi Rinitis alergi merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu. Alergen pemicu dapat berupa komponen udara yang terhirup (aeroalergen/alergen inhalan) maupun dari makanan yang dikonsumsi (alergen ingestan). Gambaran klinis yang khas pada rinitis alergi yaitu adanya keluhan hidung gatal, hidung tersumbat yang diikuti serangan bersin frekuen dan keluarnya ingus cair yang cukup banyak (Denny Satria Utama, 2010).

14

2.2.2 Penyebab rinitis alergi Menurut Denny Satria Utama (2010), penyebab rinitis alergi dapat berupa faktor nonalergen/iritan dan faktor alergen. Faktor non-alergen antara lain suhu udara yang rendah, udara lingkungan yang lembab, serta gaya hidup. Sedangkan faktor alergen terdiri dari aeroalergen dan alergen ingestan. 1. Faktor Non-Alergen A. Suhu dan kelembaban udara Larry GA dan Thomas AE pada penelitiannya menyatakan bahwa suhu udara berkisar 2325C serta 75% kelembaban relatif merupakan suasana yang sangat baik untuk hidup dan berkembangnya aeroalergen dari kecoa serta dust mite. Tungau debu rumah (dust mite) dapat berkembang paling baik pada suhu 25C dengan kelembaban rerata 65-75%. Sama keadaannya dengan kecoa dimana lingkungan dengan kelembaban lebih dari 65% sangat disukai oleh kecoa. Suhu rerata di Indonesia sekitar 23-30C dengan kelembaban rerata 68%. Suhu rerata di Provinsi Jawa Timur, khususnya Malang berkisar 23-32C dengan kelembaban relatif 54-78% sehingga memungkinkan tungau debu rumah dan kecoa dapat berkembang dengan baik. B. Gaya hidup Penelitian di Amerika utara, Asia dan Afrika Selatan menunjukan bahwa prevalensi penyakit atopi dan rinitis alergi lebih tinggi di daerah perkotaan dari pada daerah pedesaan. Ditemukan pula bahwa anak peternak/petani mempunyai rinitis alergi yang lebih sedikit dibanding yang lain. Hal ini mendukung bahwa gaya hidup di pedesaan dapat melindungi anak-anak dari penyakit alergi. Aktivitas hidup sehari-hari yang lebih menghabiskan waktu di dalam suatu ruangan seperti petugas perpustakaan, pengarsipan dan administrator dimana akumulasi debu lebih mudah terjadi dibandingkan petugas yang bekerja di luar ruangan ataupun di lapangan maka lebih mudah terstimulasi untuk terjadinya rinitis alergi.

15

2. Faktor Alergen A. Debu rumah (house dust) Faktor eksternal utama penyebab timbulnya rinitis alergi adalah debu rumah. Dalam hal ini bukanlah debu rumah itu sendiri yang menyebabkan secara langsung sebagai alergen tetapi komponen yang terdapat dalam debu rumah itu sendiri (Denny Satria Utama, 2010). B. Tungau debu rumah (house dust mite/mite culture) Terdapat 2 spesies besar tungau debu rumah yang dihubungkan dengan rinitis alergi, yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus (TDRDpt). Telah cukup lama diketahui bahwa di daerah-daerah dengan kelembaban udara tinggi, komponen debu rumah utama adalah tungau debu rumah spesies TDR-Dpt. Dugaan TDR-Dpt sebagai alergen utama rinitis alergi didukung penelitian yang menyimpulkan bahwa pada pasien dengan gejala rinitis alergi terdapat hubungan positif antara hasil tes kulit dengan alergen TDR-Dpt dan kadar IgE spesifik TDR-Dpt yang ditemukan dalam serum darah. Prevalensi IgE tertinggi adalah 24 kDa group I protein TDR-Dpt 1 & Der-f 1 dan 14 kDa group II protein TDR-Dpt 2 & Der-f 2. Paparan alergen luar rumah merupakan faktor resiko yang lebih besar untuk rinitis seasonal (Denny Satria Utama, 2010). Tungau debu rumah hidupnya membutuhkan oksigenasi dan kelembaban tertentu serta mengkonsumsi detritus atau sisik kulit yang terdapat pada lingkungan rumah. Dalam berkembang biak, tungau debu rumah dapat berkembang paling baik pada suhu 25C dengan kelembaban rerata 75%. Pada suhu kurang dari 15C ataupun lebih dari 35C, maka perkembangan tungau debu rumah akan jauh lebih lambat (Denny Satria Utama, 2010). Dalam memutus atau untuk memperlambat kembang biak tungau debu rumah, ada tiga hal yang dapat dilakukan yaitu menurunkan populasi, mengurangi level alergen serta meminimalisir kontak manusia dengan faktor tungau debu rumah. Dengan mempertahankan kelembaban relatif sekitar 50% (menggunakan

dehumidifiers dan air conditioners) merupakan hal yang sangat dianjurkan untuk menurunkan populasi dan level alergen karena tungau debu rumah sangat membutuhkan sumber air dari kelembaban udara sekitar yang dievaporasi dari
16

permukaan tubuhnya sehingga hal ini merupakan faktor kunci yang sangat berpengaruh pada tungau debu rumah (Denny Satria Utama, 2010). Alergen dari tungau debu rumah adalah feces serta tubuh dari tungau debu rumah itu sendiri. Habitat tungau debu rumah sering terdapat pada bantal kapuk, sofa, selimut serta karpet yang lembab. Rains pada penelitiannya menyatakan bahwa bantal kapuk (non feathers) mengandung lima kali lipat alergen dibandingkan bantal yang menggunakan bulu (feathers) (Denny Satria Utama, 2010). Dianjurkan untuk mencuci selimut serta karpet sekurang-kurangnya seminggu sekali dengan air hangat (minimal 55C) serta menambahkan benzyl benzoat 0,03% untuk membunuh atau menghilangkan tungau debu rumah. Chang pada penelitiannya menyatakan bahwa tungau debu rumah dapat mati pada pencucian kering 60C selama 10 menit. Apabila tidak memungkinkan dapat dilakukan vacuming dengan menggunakan dua lapis vacuum bags yang dilakukan minimal seminggu sekali (Denny Satria Utama, 2010). C. Kecoa Komponen alergen pada kecoa hampir sama dengan tungau debu rumah, yaitu feces serta tubuh dari kecoa itu sendiri. Sering pada anamnesis pasien menyatakan hampir tidak ada sama sekali kecoa disekitar rumahnya, meskipun demikian bila terlihat satu kecoa saja berarti terdapat sarang atau populasi kecoa di sekitar rumah. Alergen dari kecoa dapat memicu asma dan rinitis alergi pada individu yang sensitif. Kecoa hidup di tempat yang lembab, lingkungan yang kotor serta akses yang mudah terhadap sisa-sisa makanan atau sampah. Kecoa dapat masuk ke dalam rumah melalui retakan dinding, jendela ataupun ventilasi udara serta saluran pembuangan (Denny Satria Utama, 2010). Kecoa mengeluarkan sekret berwarna kecoklatan serta berbau yang menempel pada dinding atau lantai. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain membersihkan serta mengeluarkan sampah dari dalam rumah sesering mungkin, membersihkan piring ataupun alat-alat masak segera setelah digunakan, membersihkan debris kecoa dengan segera, mengeringkan genangan air dari saluran pembuangan yang bocor serta mempertahankan kelembaban udara relatif kurang dari 50% (Denny Satria Utama, 2010).
17

D. Hewan peliharaan (Pets) Hewan peliharaan yang tersering di dalam rumah adalah anjing dan kucing. Alergen dari hewan peliharaan dapat berupa sisik kulit yang mati (ketombe), liur (saliva), urine dan tinja. Rambut ataupun bulu dari hewan peliharaan tidak signifikan sebagai alergen. Hewan peliharaan lain yang juga sering sebagai alergen antara lain, burung dan hamster (rodent). Hewan peliharaan tanpa rambut/bulu seperti kura-kura, reptil serta ikan jarang menyebabkan alergi atau sebagai alergen. Apabila seseorang menderita alergi terhadap hewan peliharaan maka tidak efektif bila hanya membatasi lingkungan dari kontak terhadap hewan peliharaan sebab alergen dapat dibawa melalui baju yang terpapar dengan alergen melalui udara (Denny Satria Utama, 2010). Dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk eliminasi dari alergen meskipun hewan peliharaan telah dikeluarkan dari rumah serta lantai rumah telah dibersihkan secara

tetap melayang di udara. Selain hal tersebut, alergen yang dijatuhkan berupa liur atau kotoran dari anjing dan kucing cukup lengket menempel pada dinding atau lantai rumah. Menggunakan vacum cleaner dianjurkan untuk mengurangi level alergen di lingkungan rumah (Denny Satria Utama, 2010).

2.2.3 Patofisiologi

Rhinitis alergi diawali oleh sensitisasi dan selanjutnya diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdapat 2 fase, yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL). RAFC berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya, sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam setelah kontak dengan alergen, dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah kontak dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (Syarif Al Hadramy, 2010). Pada kontak pertama dengan alergen, makrofag dan monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap alergen yang menempel pada mukosa hidung. Setelah itu sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan sel
18

T helper (Th 0) untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 4 dan IL 13 yang akan diikat oleh reseptornya pada permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi IgE (Syarif Al Hadramy, 2010). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat di permukaan sel mastosit dan basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini aktif. Bila mukosa yang telah terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) sel mastosit dan basofil. Akibatnya adalah lepasnya mediatormediator kimia yang telah terbentuk, terutama histamine (Syarif Al Hadramy, 2010). Terlepasnya histamine inilah yang menyebabkan terjadi bersin-bersin dan rasa gatal akibat rangsangan histamine pada reseptor H-1 pada nervus vidianus, selain itu histamine juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet hipersekresi dan permeabilitas kapile meningkat sehingga terjadi rhinorea. Gejala hidung tersumbat diakibatkan adanya vasodilatasi sinusoid (Syarif Al Hadramy, 2010) Pada RAFL, sel mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan epitel target. Respon ini berlanjut hingga mencapai puncak 6-8 jam setelah kontak. Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin (IL 3,IL 4, IL 5), granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung (Syarif Al Hadramy, 2010).
2.2.4 Klasifikasi

Menurut Hanny Fadhila dan Afrida Aryani Nst (2011), Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi : 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.

19

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, Tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan. Menurut WHO initiative ARIA yang di kutip Hanny Fadhila dan Afrida Aryani Nst (2011) Rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1. Intermitten (kadang-kadang): Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.2.5 Gejala Klinis Serangan bersin-bersin, hidung tersumbat, keluar ingus encer, bening, banyak. Serangan terjadi terutama bila pada pagi/udara dingin, kontak dengan debu, atau alergen lain. Juga dapat disertai gatal pada hidung dan mata, serta terkadang lakrimasi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sclera dan konjungtiva merah, daerah gelap pada periorbita, pembengkakan sedang hingga nyata dari konka nasalis yang berwarna pucat hingga keunguan, sekret hidung yang encer, bening, dan banyak (Syarif Al Hadramy, 2010).

2.2.6 Diagnosis Diagnosis Rinitis Alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Denny Satria Utama, 2010), 1. Anamnesis Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa dan hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis. Gejala rinitis alergi yang khas adalah bersin-bersin, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Gejala lain adalah rinore yang encer dan banyak, hidung tesumbat, hidung dan mata gatal, disertai lakrimasi. Sering gejala yang timbul tidak
20

lengkap terutama pada anak-anak. Kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan pasien. (Denny Satria Utama, 2010) 2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livide disertai adanya sekret encer yang banyak. Gejala spesifik lain yaitu warna kehitaman pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan yang terjadi karena adanya stasis dari vena akibat edema mukosa hidung dan sinus disebut allergic shiners. Pada anak-anak yang sering mengusap-usap hidung dengan punggung tangan ke atas karena gatal dapat terjadi allergic salute. (Denny Satria Utama, 2010) Keadaan mengusap-usap hidung lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease. Keadaan dimana mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi disebut facies adenoid atau sad looking face. Keadaan dinding posterior faring tampak granuler dan edema sedangkan dinding lateral faring menebal disebut cobblestone appearance serta lidah tampak seperti gambaran peta disebut geographic tongue. (Denny Satria Utama, 2010). 3. Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada. A. Uji kulit cukit (Skin Prick Test). Tes ini mudah dilakukan untuk mengetahui jenis alergen penyebab alergi. Pemeriksaan ini dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak-anak. Tes ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik. Akan lebih ideal jika bisa dilakukan Intradermal Test atau Skin End Point Titration Test bila fasilitas tersedia (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). B. IgE serum total. Kadar meningkat hanya didapati pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Kadar IgE normal tidak menyingkirkan rinitis alergi. Kadar dapat meningkat pada infeksi parasit, penyakit kulit dan menurun pada imunodefisiensi. Pemeriksaan

21

ini masih dipakai sebagai pemeriksaan penyaring tetapi tidak untuk diagnostic (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). C. IgE serum spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan penunjang diagnosis rinitis alergi seperti tes kulit cukit selalu menghasilkan hasil negatif tapi dengan gejala klinis yang positif. Sejak ditemukan teknik RAST (Radioallergosorbent test) pada tahun 1967, teknik pemeriksaan IgE serum spesifik disempurnakan dan komputerisasi sehingga pemeriksaan menjadi lebih efektif dan sensitif tanpa kehilangan spesifisitasnya, seperti Phadebas RAST, Modified RAST, Pharmacia CAP system dan lain-lain. Waktu pemeriksaan lebih singkat dari 2-3 hari menjadi kurang dari 3 jam saja (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). D. Pemeriksaan sitologis atau histologis, bila diperlukan untuk menindaklanjuti respon terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). E. Tes provokasi hidung (Nasal Challenge Test) Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negative (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). F. Foto polos sinus paranasal/CT Scan/MRi. Dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal, seperti adakah komplikasi rinosinusitis, menilai respon terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). 2.2.7 Penatalaksanaan Secara garis besar, penatalaksanaan rinitis alergi terdiri dari 3 cara yaitu menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan imunoterapi (Abla Ghanie, 2011). 1. Farmakoterapi Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam kombinasi
22

atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (nonsedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. (Hanny Fadhila, Afrida Aryani Nst 2011) 2. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. (Hanny Fadhila, Afrida Aryani Nst 2011)

3. Edukasi Pasien Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang merupakan allergen. (Hanny Fadhila, Afrida Aryani Nst 2011)

2.3

Mekanisme Yang Mendasari Hubungan Rinitis Alergi dengan Asma Bronkial Rinitis alergi dan asma bronkial, keduanya merupakan manifestasi dari adanya proses inflamasi di sistem saluran nafas yang berkelanjutan (Continous Airway System). Reaksi inflamasi pada hidung dapat memperberat asma melalui mekanisme yang belum begitu jelas diketahui. Perubahan yang terjadi pada hidung akibat alergen menyebabkan respon non spesifik terhadap otot-otot bronkus. Berbagai teori telah diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis dan asma ini, antara lain : 1. Neural (nasal-bronchial) reflex. Setiap inflamasi pada hidung, ada efek yang terjadi bersamaan pada daerah bronkus. Dari penelitian yang dilakukan oleh Fontanari dkk, yang memberikan stimulus pada hidung dengan air sangat dingin
23

(es). Didapatkan meningkatnya ketahanan dari racheobronchial tree dan paru, sehingga tidak respon terhadap anestesi topikal dan bronkodilator inhalasi (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). 2. Drainase post-nasal bahan-bahan inflamasi atau mediator dari hidung ke saluran nafas bawah. Huxley dkk melakukan percobaan dengan memberikan marker atau label pada sekret hidung penderita rinitis alergi, didapatkan peningkatan jumlah bahan-bahan inflamasi hidung tersebut di organ paru (terjadi aspirasi paru) (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). 3. Absorpsi sel-sel inflamasi atau mediator-mediator dari hidung ke sirkulasi sistemik dan akhirnya ke bronkus dan paru (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011). 4. Efek tidak langsung dari pernafasan melalui mulut akibat obstruksi hidung adalah menurunkan fungsi penyaringan, pelembaban dan penghangatan udara di hidung. Udara yang kering dan banyak mengandung alergen langsung masuk melalui mulut dan menempel di saluran nafas bawah (bronkus dan paru) (Effy Huriyati, Al Hafiz 2011).

24

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep

Rinitis Alergi

Obstruksi Hidung
Bernafas Lewat Mulut

Absorpsi sel-sel inflamasi

Serum Immunoglobulin E (IgE)

Jumlah bahanbahan inflamasi

Masuk Ke Saluran Nafas Bawah

Alergen Masuk & Menempel di Saluran Nafas Bawah

Reaktivasi Asma Bronkial


Keterangan : = Di teliti = Tidak diteliti

25

Rinitis alergi menyebabkan obstruksi hidung sehingga terjadi pernafasan melalui mulut yang memiliki efek yang secara tidak langsung menurunkan fungsi penyaringan, pelembaban dan penghangatan udara di hidung, Sehingga menyebabkan udara yang kering dan banyak mengandung alergen langsung masuk dan menempel pada saluran pernafasan bawah. Saluran pernafasan bawah menjadi terganggu dan terjadi peningkatan jumlah bahan-bahan inflamasi (sekret) pada hidung. Absorpsi sel-sel inflamasi atau mediator-mediator dari hidung ke sirkulasi sistemik dapat secar langsung masuk ke organ pernafasan bawah. Pasien rinitis alergi juga akan mengalami peningkatan serum immunoglobin E (IgE), dan akan terjadi Up regulation yang akan meningkatkan pengeluaran mediator inflamasi pada saluran pernafasan bawah yang bisa menimbulkan asma bronkial. 3.2 Hipotesis Terdapat hubungan antara rinitis alergi dengan asma bronkial di RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 31 Desember 2011.

26

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah observsional analitik dengan melakukan pendekatan Cross Sectional. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. Saiful Anwar Malang pada bulan Maret April 2012. 4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang ke RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 31 Desember 2011 dengan diagnosis rinitis alergi. 4.3.2 Sampel Sampel pada penelitian ini adalah pasien rinitis alergi yang memenuhi criteria inklusi dan ekslusi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cara total sampling dengan sampel sebanyak 78 orang. 4.3.3 Kriteria Sampel Penelitian 4.3.3.1 Kriteria Inklusi : Pasien rawat jalan dengan diagnosis rinitis alergi yang sudah menjalani tes alergi (skin prick test) yang datang ke poli RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 31 Desember 2011. 4.3.3.2 Kriteria Ekslusi : 1. Pasien Rinitis alergi yang tidak melakukan tes alergi dan yang melakukan tes alergin namun bukan tes cukit kulit (skin prick test). 2. Pasien yang memiliki penyakit paru selain asma bronkial misalnya bronchitis kronis, emfisema paru, pneumonia, tuberculosis, tumor paru. 3. Data rekam medis tidak lengkap dan tidak akurat.

27

4.3.4 Identifikasi Variabel Pada penelitian ini, variable bebas adalah Rinitis Alergi dan variable tergantungnya Asma Bronkial. 4.3.5 Definisi Operasional A. Rinitis Alergi Adalah suatu penyakit dengan gejala klinis hidung tersumbat, bersin-bersin dan beringus yang sesuai dengan diagnosis rinitis alergi yang sudah dibuktikan dengan hasil skin prick test positif berdasarkan catatan rekam medis.

B. Asma Bronkial Adalah suatu penyakit dengan gejala batuk, sesak nafas, mengi (wheezing), yang sesuai dengan diagnosis asma bronkial berdasarkan catatan rekam medis.

4.4

Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar pengumpulan data dan data sekunder dari rekam medis pasien rawat jalan yang menderita rinitis alergi di RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 31 Desember 2011.

28

4.5

Alur Penelitian

Rumah Sakit RSUD dr. Saiful Anwar

Rekam Medis

Populasi

Sampel

Kriteria Sampel Penelitian

Analisis Hasil
4.6 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Data penelitian yang dikumpulkan merupakan data sekunder hasil rekam medis hubungan rinitis alergi dengan asma bronkial yang melakukan rawat jalan dan telah melakukan skin prick test dengan menggunakan metode cross section di RSUD dr. Saiful Anwar Malang periode 1 Januari 31 Desember 2011.

4.7

Analisis Data Data yang diperoleh dari catatan rekam medis diuji kemaknaannya dengan menggunakan uji chi square dan disajikan dalan bentuk table.

29

BAB V ETIKA PENELITIAN

Etika penelitian yang harus ditaati adalah sebagai berikut: 1. Permohonan izin ke Dekan Fakultas Kedokteran Sebelum penelitian, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada dekan Fakultas Kedokteran. Jika disetujui maka penelitian dapat dilanjutkan.

2. Inform Consent Lembar perstujuan diberikan kepada subjek yang diteliti. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah penelitian. Jika menolak untuk diikutsertakan dalam penelitian, peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.

3. Anonimity (Tanpa Nama) Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak responden pada lembar pengumpulan data, cukup diberi initial. mencantumkan nama

4. Confidentialy Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

5. Biaya ditanggung peneliti Peneliti menanggung seluruh biaya penelitian tanpa mengenakan biaya sedikitpun pada respoden.

30

DAFTAR PUSTAKA

Berianto Agustian, Moh. Habib, 2011. Seorang Perempuan Berusia 36 Tahun Datang dengan Keluhan Sesak yang Semakin Hebat Sejak 1 Hari SMRS, Laporan kasus, Universitas Sriwijaya, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Mohammad Hoesin, Palembang. Bosquet Jean, Cauwenberge Paul Van, 2001. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma In Collaboration with the World Health Organization.

(http://www.thepcrj.org/journ/vol11_1/0018_0019_bosquet.pdf). Denny Satria Utama, 2010. Hubungan antara Jenis Aeroalergen dengan Manisfestasi Klinis Rinitis Alergika, Tesis, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Dr. Hj. Abla Ghanie, Sp. THT-KL (K), 2007. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini, Temu Ilmiah Akbar Lustrum IX (Dies Natalies Ke 45), Karya Ilmiah, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang. Effy Huriyati, Al Hafiz, 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial, Departeman Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, RSUP Dr. M. Djamil, Padang. Hanny Fadhila, Afrida Aryani Nst, 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan Klinis, Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, RSU Pirngadi, Medan. Iris Rengganis, 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kartasasmita Cissy B, 2010. Epidemiologi Asma Anak dalam : Resirologi Anak Edisi I, Badan Penerbit IDAI, Jakarta.

31

Leung D.Y.M., 2008. Allergy and the Immunologic Basic of Atopic Disease, Nelson Textbook of Pediatric, 18 Edition, Elsevier, Philadelphia. Nency Irma Indriana, 2011. Tinjauan Pustaka Asma Bronkhiale, Kepantieraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ninda Devita, 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004. Asma: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Purnomo, 2008. Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Asma Bronkial Pada Anak, Studi Kasus di RS Kabupaten Kudus, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Santoso, H., 2008. Asma Bronkial, Buku Ajar Alergi-Immunologi Anak, Edisi 2, Balai Penerbit IDAI, Jakarta. Settipane RA, Charnock DR, 2007. Epidemiology of rhinitis: allergic and nonallergic, Department of Medicine, Brown Medical School, Providence, Rhode Island, USA. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17153005). Supriyatno Bambang, 2010. Pencegahan Asma Dalam : Respirologi Anak, Edisi I, Badan Penerbit IDAI, Jakarta. Syarif Al Hadramy, 2010. Rhinitis Alergi, (http://www.ilc.insancendekia.org/04-

2010/601/rhinitis-alergi/) Wilson Lorraine M, 2006. Pola Obstruktif Pada Penyakit Pernapasan dalam : Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi VI, Jakarta.

32

Vous aimerez peut-être aussi