Vous êtes sur la page 1sur 12

ASKEP TRAUMA SPINAL

A. KONSEP TEORI 1. DEFINISI Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997). Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang sering kali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau dibawahnya maka akan dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. (Doengoes, 1999; 338) Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis. (smeltzer, 2001 ; ) Trauma tulang belakang adalah cedera pada tulang belakang (biasanya mengenai servikal dan lumbal) yang ditandai dengan memar, robeknya bagaian pada tulang belakang akibat luka tusuk atau fraktur/ dislokasi di kolumna spinalis. (ENA, 2000 ; 426) Trauma spinal cord adalah cedera yang mengakibatkan fungsi konduksi saraf terganggu, reflex dan fungsi motorik berkurang, terjadi perubahan sensasi, dan syok neurogenik. (Campbell, 2004 ; 130)

2. PENYEBAB Adapun penyebab dari trauma servikal dan spinal antara lain : a. Seseorang yang terpeleset di lantai, b. Menyelam di air yang dangkal. c. Terlempar dari kuda atau motor d. Jatuh dari ketinggian dalam posisi berdiri e. Kecelakaan motor. f. Terjatuh.Anak-anak yang memakai sabuk bahu yang tidak sesuai di sekitar leher.Leher tergantung.(Campbell, 2004 ; 131)

Berikut ini adalah mekanisme cedera tumpul spinal menurut Campbell (2004 ; 131) : a. Hiperektensi Kepala dan leher bergerak ke belakang / hiperektensi secara berlebihan. b. Hiperfleksi Kepala di atas dada bergerak ke depan / heperfleksi dengan berlebihan. c. Kompresi Bobot tubuh dari kepala hingga pelvis mengakibatkan penekanan pada leher atau batang tubuh. d. Rotasi Rotasi yang berlebih dari batang tubuh atau kepala dan leher sehingga terjadi pergerakan berlawanan arah dari kolumna spinalis. e. Penekanan ke samping f. Pergerakan ke samping yang berlebih menyebabkan pergeseran dari kolumna spinalis. g. Distraksi Peregangan yang berlebihan dan kolumna spinalis dan spinal cord.

3. TANDA DAN GEJALA Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai berikut: a. Pernapasan dangkal b. penggunaan otot-otot pernapasan c. pergerakan dinding dada d. Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg) e. Bradikardi f. Kulit teraba hangat dan kering g. Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan) h. Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak. i. Kehilangan sensasi j. terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia

adanya spasme otot, kekakuan

Menurut menurut Campbell (2004 ; 133) 1. Kelemahan otot 2. Adanya deformitas tulang belakang 3. Adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak 4. Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera 5. Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, 6. Terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)

4. PATHWAY

Nyeri akut

Pola napas tidak efektif Gangguan Eliminasi

5. KLASIFIKASI Holdsworth membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut : 1) Cedera fleksi Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, dan selanjutnya dapat menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra dan

mengakibatkan wedge fracture (teardrop fracture). Cedera semacam ini dikategorikan sebagai cedera yang stabil 2) Cedera fleksi-rotasi Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang juga prosesus artikularis, selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera yang paling tidak stabil. 3) Cedera ekstensi Cedera ekstensi biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi pada daerah leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini masih tergolong stabil. 4) Cedera kompresi vertikal (vertical compression) Cedera kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan burst fracture. 5) Cedera robek langsung (direct shearing) Cedera robek biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta ruptur ligamen.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG a. Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi b. CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas c. MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal d. Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru e. Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi) f. Tomogram g. Mielogram h. Odontoid View Films i. Spinal Films (lateral and oblique) (ENA, 2000 ; 427)

7. KOMPLIKASI Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok. (Wikipedia, Maret, 2009)

8. PENATALAKSANAAN PENGOBATANNYA

KEGAWATDARURATAN

DAN

TERAPI

1. Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation) 2. Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw

thrust. Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring.
3. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,

imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.


4. Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 C7) dengan

menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan selimut di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
5. Menyediakan oksigen tambahan. 6. Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri. 7. Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan. 8. Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari

hipotensi dan bradikardi.


9. Meningkatkan aliran balik vena ke jantung. 10. Berikan antiemboli 11. Tinggikan ekstremitas bawah 12. Gunakan baju antisyok.Meningkatkan tekanan darah 13. Monitor volume infuse

14. Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi) 15. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala

bradikardi.
16. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy. 17. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina. 18. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord :

steroid dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah kejadian.
19. Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien. 20. Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika

ada indikasi.
21. memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih. 22. Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus. 23. Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan). 24. Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara konsisten

untuk menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.


25. Melibatkan

orang

terdekat

untuk

mendukung

proses

penyembuhan

(ENA, 2000 ; 427)

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN PENGKAJIAN PRIMER Data Subyektif : 1) Riwayat Penyakit Sekarang a. Mekanisme Cedera b. Kemampuan Neurologi c. Status Neurologi d. Kestabilan Bergerak e. Riwayat Kesehatan Masa Lalu f. Keadaan Jantung dan pernapasan g. Penyakit Kronis

2) Data Obyektif a. Airway Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga mengganggu jalan napas b. Breathing Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada c. Circulation Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan) d. Disability Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi, kelemahan otot

PENGKAJIAN SEKUNDER a. Exposure Adanya deformitas tulang belakang b. Five Intervensi Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru Sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi) c. Give Comfort Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak d. Head to Toe Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera Dada : Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal

Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)

Ekstrimitas

terjadi

paralisis,

paraparesis,

paraplegia

atau

quadriparesis/quadriplegia e. Inspeksi Back / Posterior Surface Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea,terdapat otot bantu napas 2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal 3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis 4. Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik ditandai dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.

D. INTERVENSI 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea,terdapat otot bantu napas Tujuan keperawatan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 215 menit, diharapkan pola napas pasien efektif dengan kriteria hasil: a. Pasien melaporkan sesak napas berkurang b. Pernapasan teratur c. Takipnea tidak ada d. Pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri e. Tanda vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah 110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC) f. Tidak ada penggunaan otot bantu napas Intervensi Mandiri :

1. Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC R/ : Perubahan pola nafas dapat mempengaruhi tanda-tanda vital 2. Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan. R/ : Pengembangan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan gangguan pola nafas 3. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi

R/ : Mempermudah ekspansi paru 4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang. R/ : Stabilisasi tulang servikal Kolaborasi : 1. Berikan oksigen sesuai indikasi R/ : Oksigen yang adekuat dapat menghindari resiko kerusakan jaringan 2. Berikan obat sesuai indikasi R/ : Medikasi yang tepat dapat mempengaruhi ventilasi pernapasan

2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal.

Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 35 menit diharapkan perfusi jaringan adekuat dengan kriteria hasil : a. Nadi teraba kuat b. Tingkat kesadaran composmentis c. Sianosis atau pucat tidak ada d. Nadi Teraba lemah, terdapat sianosis, e. Akral teraba hangat f. CRT < 2 detik g. GCS 13-15 h. AGD normal

Intervensi : 1. Atur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring. R/ : Untuk mempertahankan ABC dan mencegah terjadi obstruksi jalan napas 2. Atur suhu ruangan R/ : Untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy. 3. Tinggikan ekstremitas bawah R/ : Meningkatkan aliran balik vena ke jantung. 4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang R/ : Stabilisasi tulang servikal 5. Sediakan oksigen dengan nasal canul untuk mengatasi hipoksia R/: Mencukupi kebutuhan oksigen tubuh dan oksigen juga dapat menurunkan terjadinya sickling. 6. Ukur tanda-tanda vital R/: Perubahan tanda-tanda vital seperti bradikardi akibat dari kompensasi jantung terhadap penurunan fungsi hemoglobin 7. Pantau adanya ketidakadekuatan perfusi : Peningkatan rasa nyeri Kapilari refill . 2 detik Kulit : dingin dan pucat Penurunanan output urine

R/: Menunjukkan adanya ketidakadekuatan perfusi jaringan 8. Pantau GCS R/: Penurunan perfusi terutama di otak dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran 9. Awasi pemeriksaan AGD R/: Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan

3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis Tujuan keperawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 15 menit diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil : a. Tanda-tanda vital dalam batas normal (Nadi 60-100 x/menit),(Suhu 36,5-37,5), (Tekanan Darah 110-140/60-90 mmHg),(RR 16-20 x/menit) b. Penurunan skala nyeri( skala 0-10) c. Wajah pasien tampak tidak meringis Intervensi: 1. Kaji PQRST pasien : R/: pengkajian yang tepat dapat membantu dalam memberikan intervensi yang tepat. 2. Pantau tanda-tanda vital R/: nyeri bersifat proinflamasi sehingga dapat mempengaruhi tanda-tanda vital. 3. Berikan analgesic untuk menurunkan nyeri R/ : Analgetik dapat mengurangi nyeri yang berat (memberikan kenyamanan pada pasien) 4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang. R/ : Stabilisasi tulang belakang untuk mengurangi nyeri yang timbul jika tulang belakang digerakkan.

Vous aimerez peut-être aussi