Vous êtes sur la page 1sur 6

2.1.

Definisi

Gangguan bipolar adalah suatu gangguan yang ditandai dengan perubahan mood antara rasa girang yang ekstrem dan depresi yang parah. Orang dengan gangguan bipolar (bipolar disorder) bagaikan mengendarai suatu roller coaster emosional, berayun dari satu ketinggian rasa girang kedalam depresi tanpa adanya penyebab eksternal. Episode pertama berupa manik atau depresi (Semium,2006).

2.2. Etiologi

Faktor Biologis Pada dasarnya ada beberapa tipe gangguan jiwa bipolar, yaitu: 1) Gangguan Bipolar Tipe I. Gangguan perasaan sangat mengganggu sehingga penderita kesulitan mengikuti sekolah atau pekerjaan, dan pertemanan. Ketika dalam kondisi mania, penderita ini sering dalam kondisi berat dan berbahaya. 2) Gangguan jiwa Bipolar Tipe II. Pada Tipe II, kondisi perasaan tidak seberat Tipe I sehingga penderita masih bisa berfungsi melaksanakan kegiatan harian rutin. Penderita mudah tersinggung. Ketika perasaan naik., penderita hanya mencapai tingkat hipomania. Pada Tipe II, kondisi depresi biasanya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan kondisi hipomania-nya. 3) Gangguan Cyclothymic, juga dikenal sebagai cyclothymia. Merupakan bentuk ringan dari Gangguan jiwa bipolar. Kondisi mania dan depresi bisa mengganggu, namun tidak seberat pada Gangguan Bipolar I dan Tipe II. Gejala Gangguan Jiwa Bipolar bervariasi antara satu orang dengan lainnya. Pada sebagian orang, masalah timbul ketika dalam kondisi mania, pada orang lain masalah timbul pada kondisi depresi. kadang kadang gejala mania dan depresi muncul bersamaan. Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memiliki peranan yang penting dalam mengendalikan emosi kita (Nevid,2003). Dalam otak terdapat substansi biokimiawi yaitu neurotransmitter yang berfungsi sebagai pembawa pesan komunikasi antar neuron di otak. Jika neurotransmiter ini berada pada tingkat yang normal, otak akan bekerja secara harmonis. Berdasarkan riset, kekurangan neurotransmiter serotonin, norepinefrin dan dopamin dapat menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika neurotransmiter ini berlebih dapat menjadi penyebab gangguan manik. Selain itu antidepresan trisiklik dapat memicu mania (Nevid,2003).

Serotonin adalah neurotransmiter aminergic yang paling sering dihubungkan dengan depresi. Penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi. Pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di cairan serebrospinalnya. Pada penggunaan antidepresan jangka panjang terjadi penurunan jumlah tempat ambilan kembali serotonin (Nevid,2003). Dopamin juga diperkirakan memiliki peranan dalam menyebabkan depresi. Data menunjukkan aktivitas dopamin yang menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Obat yang menurunkan kadar dopamin seperti reserpine dan pada penyakit yang mengalami penurunan dopamin seperti parkinson disertai juga dengan gejala depresi. Obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin seperti tyrosine, amphetamine dan bupropion menurunkan gejala depresi. Disfungsi jalur dopamin mesolimbik dan hipoaktivitas reseptor dopamin tipe 1 (D1) terjadi pada depresi (Nevid,2003). Obat-obatan yang mempengaruhi sistem neurotransmiter seperti kokain akan memperparah mania. Agen lain yang dapat memperburuk mania termasuk L-dopa, yang berpengaruh pada reuptake dopamin dan serotonin. Calsium channel blocker yang digunakan untuk mengobati mania dapat mengganggu regulasi kalsium di neuron. Gangguan regulasi kalsium ini dapat menyebabkan transmisi glutaminergik yang berlebihan dan iskemia pembuluh darah (Nevid,2003). Neurotransmiter lain seperti GABA dan peptida neuroaktif seperti vasopresin dan opiat endogen juga berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa penelitian menyatakan bahwa sistem pembawa kedua (second messenger) seperti adenylate cyclase, phosphatidylinositol dan regulasi kalsium mungkin memiliki relevansi dengan penyebab gangguan mood (Nevid,2003). Regulasi abnormal pada sumbu neuroendokrin mungkin dikarenakan fungsi abnormal neuron yang mengandung amine biogenik. Secara teoritis, disregulasi pada sumbu neuroendokrin seperti sumbu tiroid dan adrenal terlibat dalam gangguan mood. Pasien dengan gangguan mood mengalami penurunan sekresi melatonin nokturnal, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH dan LH serta penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Nevid,2003).

Faktor Genetik Seseorang yang memiliki keluarga dengan gangguan mood memiliki resiko lebih besar menderita gangguan mood daripada masyarakat pada umumnya. Tidak semua orang yang dalam keluarganya terdapat anggota keluarga yang menderita depresi secara otomatis

akan terkena depresi, namun diperlukan suatu kejadian atau peristiwa yang dapat memicu terjadinya depresi. Pengaruh gen lebih besar pada depresi berat dibandingkan depresi ringan dan lebih berpengaruh pada individu muda dibanding individu yang lebih tua. Penelitian oleh Kendler (1992) dari Departemen Psikiatri Virginia Commonwealth University menunjukkan bahwa resiko depresi sebesar 70% karena faktor genetik, 20% karena faktor lingkungan dan 10% karena akibat langsung dari depresi berat (Semium,2006). Pada penelitian keluarga ditemukan bahwa keluarga derajat pertama dari penderita gangguan bipolar I kemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar untuk menderita gangguan bipolar I, dan 2 sampai 10 kali lebih besar untuk menderita gangguan depresi berat dibanding kelompok kontrol. Keluarga derajat pertama pasien dengan gangguan depresif berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar untuk menderita gangguan bipolar I, dan 2 sampai 3 kali lebih besar untuk menderita gangguan depresif berat dibanding kelompok control (Semium,2006). Kemungkinan untuk menderita gangguan mood menurun jika derajat hubungan keluarga melebar. Contohnya, keluarga derajat kedua seperti sepupu lebih kecil kemungkinannya daripada keluarga derajat pertama seperti kakak misalnya untuk menderita gangguan mood. Sekitar 50% pasien dengan gangguan bipolar I memiliki orang tua dengan gangguan mood terutama depresi. Jika orang tua menderita gangguan bipolar I maka kemungkinan anaknya menderita gangguan mood sebesar 25%. Jika kedua orang tua menderita gangguan bipolar I maka kemungkinan anaknya menderita gangguan mood adalah 50-75% (Semium,2006). Pada penelitian adopsi, anak biologis dari orang tua dengan gangguan mood tetap beresiko terkena gangguan mood walaupun mereka telah dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan mood. Orang tua biologis dari anak adopsi dengan gangguan mood mempunyai prevalensi gangguan mood yang sama dengan orang tua dari anak dengan gangguan mood yang tidak diadopsi. Prevalensi gangguan mood pada orang tua angkat sama dengan prevalensi pada populasi umumnya (Lubis, 2009). Pada penelitian saudara kembar, angka kejadian gangguan bipolar I pada kedua saudara kembar monozigot adalah 33-90% dan untuk gangguan depresif berat, angka kejadian pada kedua saudara kembar monozigot adalah 50%. Pada kembar dizigot angkanya berkisar 5-25% untuk menderita gangguan bipolar I dan 10-25% untuk penderita gangguan depresif berat (Semium,2006).

Faktor Psikososial Telah lama diamati bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress sering mendahului episode pertama pada gangguan mood. Beberapa klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memainkan peranan penting dalam depresi (Semium,2006). Beberapa artikel menjelaskan hubungan antara fungsi keluarga dengan onset serta perjalanan gangguan mood khususnya gangguan depresif berat. Ada bukti bahwa individu yang kehilangan ibu saat masih muda memiliki resiko lebih besar terkena depresi. Pada pola pengasuhan, orang tua yang menuntut dan kritis, menghargai kesuksesan dan menolak semua kegagalan membuat anak mudah terserang depresi di masa depan. Anak yang menderita penyiksaan fisik atau seksual membuat seseorang mudah terkena depresi sewaktu dewasa (Lubis, 2009). Aspek-aspek kepribadian juga mempengaruhi kerentanan terhadap depresi dan tinggi rendahnya depresi yang dialami seseorang. Tipe kepribadian tertentu seperti dependen, obsesif kompulsif, histerikal, antisosial dan paranoid beresiko mengalami depresi (Lubis, 2009). Menurut Gordon Parker, seseorang yang mengalami kecemasan tingkat tinggi, mudah terpengaruh, pemalu, suka mengkritik diri sendiri, memiliki harga diri yang rendah, hipersensitif, perfeksionis dan memusatkan perhatian pada diri sendiri (self focused) memiliki resiko terkena depresi (Lubis, 2009). Sigmund Freud menyatakan suatu hubungan antara kehilangan objek dengan melankolia. Ia menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena identifikasi terhadap objek yang hilang. Menurut Melanie Klein, siklus manik depresif merupakan pencerminan kegagalan pada masa kanak-kanak untuk mendapat introjeksi mencintai. Pasien depresi menderita karena mereka memiliki objek cinta yang dihancurkan oleh mereka sendiri. Klein memandang mania sebagai tindakan defensif yang disusun untuk mengidealisasi orang lain, menyangkal adanya agresi atau destruktivitas terhadap orang lain danmengembalikan objek cinta yang hilang (Lubis, 2009). E Bibring memandang depresi sebagai suatu afek yang berasal dari ketegangan dalam ego antara aspirasi seseorang dengan kenyataan yang ada. Pasien yang terdepresi menyadari bahwa mereka tidak hidup dengan ideal sehingga mereka merasa putus asa dan tidak berdaya. Menurut Heinz Kohut, orang yang terdepresi merasakan suatu ketidaklengkapan dan putus asa kerena tidak menerima respon yang diinginkan (Lubis, 2009). Menurut teori kognitif, interpretasi yang keliru dalam menilai pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimis dan keputusasaan yang terus-menerus berhubungan

dengan depresi. Pandangan negatif yang terus dipelajari selanjutnya akan menimbulkan perasaan depresi (Lubis, 2009).

2.3. Epidemiologi & Faktor Resiko

Gangguan bipolar I adalah gangguan yang lebih jarang daripada gangguan depresif berat, dengan prevelensi seumur hidup adalah 2 %, sama dengan angka skizofrenia. Karena semakin dimengerti bahwa perjalanan penyakit gangguan bipolar I tidak sebaik perjalanan penyakit gangguan depresif berat, biaya gangguan bipolar I untuk pasien, keluarganya dan masyarakat cukup besar (DEPKES,1993). Jenis kelamin Alasan adanya perbedaan telah didalilkan sebagai melibatkan perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial bagi wanita dan laki laki, dan model prilaku tentang keputusan yang dipelajari. Namun gangguan bipolar I mempunyai prevalensi yang sama bagi laki laki dan perempuan. Usia Pada umumnya, onset gangguan bipolar I awal daripada onset gangguan depresif berat. Usia untuk gangguan bipolar I terentang dari masa anak anak ( seawalnya usia 5 atau 6 tahun ) sampai 50 tahun atau bahkan lebih lanjut pada kasus yang jarang, dengan rata rata usia adalah 30 tahun. Ras Prevalensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras keras lain. Tetapi, klinisi cenderung kurang mendiagnosis gangguan mood dan terlalu mendiagnosis skizofrenia pada pasien yang mempunyai latar belakang rasial yang berbeda dengan dirinya. Status perkawinan Gangguan bipolar I adalah lebih sering pada orang yang bercerai dan hidup sendirian daripada orang yang menikah, tetapi perbedaan tersebut mungkin mencerminkan onset awal dan percekcokan perkawinan yang diakibatkannya yang karakteristik untuk gangguan tersebut. Pertimbangan sosiekonomi dan kultur Gangguan bipolar I adalah lebih sering pada orang yang tidak lulus dari perguruan tinggi daripada lulus perguruan tinggi, kemungkinnan mencerminkan usia onset yang relative awal untuk gangguan tersebut.

Penanadaan bipolar I adalah serupa dengan apa yang dikenal sebagai gangguan bipolar yaitu suatu didroma dengan kumpulan gejala mania yang lengkap selama perjalanan gangguan. Episode manik tunggal Recurrent

Gangguan bipolar relatif tidak umum terjadi, dengan angka prevalensi semasa hidup yang dilaporkan oleh survei komunitas berkisar antara 0,4 % hingga 1,6 % untuk gangguan bipolar I dan sekitar 0,5 % untuk gangguan bipolar II. Gangguan bipolar biasanya berkembang di sekitar usia 20 tahun baik pada pria maupun wanita. Dan hanya sekitar 1 dari 3 orang dengan gangguan bipolar yang mendapatkan penanganan. Sayangnya, sekitar 1 dari 5 orang yang tidak mendapat penanganan kemudian melakukan bunuh diri (DEPKES,1993). Tidak seperti depresi mayor, prevalensi gangguan bipolar I tampak hampir sama pada pria dan wanita. Namun, pada pria, onset dari gangguan bipolar I biasanya dimulai dengan suatu episode manik, sementara pada wanita, biasanya dimulai dengan suatu episode depresi mayor. Alasan yang mendasari perbedaan gender ini tetap tidak diketahui. Sedangkan gangguan bipolar II terlihat lebih umum terjadi pada wanita (DEPKES,1993). Terkadang terdapat kasus yang melibatkan periode perputaran yang cepat dimana individu mengalami dua atau lebih putaran penuh maniak dan depresi dalam waktu satu tahun tanpa adanya periode normal yang menyelingi. Perputaran yang cepat relatif tidak umum, namun lebih sering terjadi diantara wanita dibanding pria. Hal ini biasanya terbatas dalam jangka waktu satu tahun atau kurang, namun diasosiasikan dengan fungsi sosial dan pekerjaan yang lebih buruk serta risiko yang lebih tinggi untuk kambuh (DEPKES,1993).

DAPUS

Semium, Yustinus.2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Penerbit Kasinius. Depkes RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta : Departemen Kesehatan. Lubis NL. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., & Greene Beverly. 2003. Psikologi Abnormal edisi kelima jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Vous aimerez peut-être aussi