Vous êtes sur la page 1sur 9

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP INDUSTRI PARIWISATA LOKAL: WISATA MEETING, INCENTIVE, CONVENTION, EXHIBITION (MICE) DI KOTA SURABAYA TAHUN

2008 2011

Globalisasi yang berdampak pada perkembangan di bidang teknologi dan sarana informasi komunikasi ini memengaruhi pola pikir masyarakat pada suatu negara, sehingga dapat memicu terjadinya migrasi penduduk negara tersebut. Hadirnya migrasi yang semakin berkembang pesat di era globalisasi ini menunjukkan bahwa mobilitas penduduk yang terjadi pun kian berkembang pesat pula. Mobilitas yang terjadi tidaklah selalu bersifat permanen mengingat masyarakat melakukan perjalanannya tidak selalu bersifat permanen. Contoh dari migrasi yang bersifat tidak permanen adalah perjalanan yang dilakukan oleh para turis/wisatawan.1 Shaw dan Williams menambahkan bahwa pariwisata merupakan salah satu contoh kuat dari fenomena globalisasi dengan menggunakan skala geografis. Hal ini bisa dilihat dari terjadinya perjalanan dan perdagangan yang berkembang pesat daripada yang seharusnya, dengan terjadinya interaksi spasial antar satu tempat dengan tempat lain yang lebih jauh dan juga terciptanya lingkaran yang lebih luas dari sebelumnya. 2 Fenomena globalisasi yang seperti ini berkontribusi secara signifikan dalam penyebaran turis hingga pada tempat terjauh di planet ini, sehingga mengarah pada penyusutan pleasure periphery sebagai sebuah tren, yang dengan kata lain, menuju masyarakat tunggal dunia (single world society).3 Konsekuensi dari proses globalisasi yang demikian ini, seperti perluasan jangkauan kegiatan yang tidak terbatas pada satu negara saja, berpengaruh terhadap perkembangan kepariwisataan dunia, yang berimplikasi pada dunia pariwisata Indonesia.4 Berkenaan dengan fenomena globalisasi yang menyebabkan peningkatan mobilitas wisatawan dan penyebaran turis/wisatawan di seluruh dunia, terdapat peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia pada umumnya dan Kota Surabaya pada khususnya. Pada tahun 2008 terdapat 48,417 wisatawan mancanegara yang datang ke
1

Saskia Sassen, The De Facto Transnationalizing of Immigration Policy, dalam Globalization and Its Discontents: Essays on the New Mobility of People and Money, the New Press, New York, 1998, hlm. 5-30.
2

Shaw & Williams, loc. cit. A.K. Bhatia, International Tourism Management, Sterling Publishers, Pvt, Ltd, New Delhi, 2006, hlm. 46-48.

I Putu Gelgel, Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS-WTO), Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1.

Surabaya. Sedangkan pada tahun 2009 jumlah tersebut meningkat menjadi 136,539 wisatawan, 116,829 wisatawan pada tahun 2010 dan 83,247 pada tahun 2011 .5 Diantara para wisatawan mancanegara tersebut, pada tahun 2008, sebanyak 63% memiliki maksud dan tujuan untuk melakukan perjalanan bisnis, dinas dan konvensi. Prosentase tersebut terus meningkat pada tahun berikutnya, 82% pada tahun 2009, 84% pada tahun 2010 hingga pada tahun 2011, sebanyak 85% wisatawan mancanegara memiliki maksud dan tujuan untuk melakukan perjalanan bisnis, dinas dan konvensi berkunjung ke Surabaya.6 Sebagai respon terhadap semakin meningkatnya kebutuhan wisatawan mancanegara akan sarana dan prasarana kegiatan MICE (wisata konvensi), pemerintah Indonesia kian mengembangkan potensi pariwisata dalam bidang MICE. Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 10 daerah tujuan wisata MICE di Indonesia salah satunya adalah Kota Surabaya.7 Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya memiliki peranan penting dalam pariwisata Indonesia, khususnya menyambut program Visit Indonesia Year 2008. Upaya promosi di dalam dan luar negeri semakin gencar diadakan. Namun, beberapa obyek wisata masih tampak kotor, tidak terawat dan melakukan promosi asal-asalan. Di Surabaya masih jarang dijumpai wisatawan mancanegara berjalan-jalan di jalan protokol di Kota Surabaya, seperti halnya yang terjadi di Bali atau Jogjakarta.8 Kondisi Surabaya yang tidak kondusif disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama, kurangnya variasi produk. Dengan kondisi potensi wisata alam dan budaya yang selama ini dimiliki Surabaya, tidak banyak pelaku pariwisata yang mampu membuat paket-paket tour yang menjual aset wisata Kota Surabaya. Paket city tour yang seringkali dijual hanyalah mengunjungi tempat-tempat wisata di Surabaya tanpa memberikan makna lebih di balik perjalanan itu. Kedua, lemahnya manajemen di kawasan wisata di Surabaya, khususnya masalah kebersihan dan keamanan. Sebagian besar tempat wisata di Surabaya dikelola oleh Pemerintah Kota (Pemkot) melalui UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah). Kesadaran akan kualitas tempat wisata, baik dari segi tampilan, penataan ruang, kebersihan toilet maupun
5

Laporan Jumlah Wisatawan Mancanegara / Wisatawan Nusantara di Kota Surabaya tahun 2008 - 2010. Arsip Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya.
6

Ibid.

R. Widodo Djati Sasongko, Kesiapan Surabaya Sebagai Daerah Tujuan Wisata MICE dalam Rangka Meningkatkan Kunjungan Wisatawan, Indonesian Scientific Journal, vol. 2, no. 2, Juni 2008, hlm. 71, diakses 15 Maret 2012, Indonesian Scientific Journal Database.
8

Anon., Pariwisata Surabaya dan Entrepreneurship, Ciputra, 2010, diakses 30 Juni 2012, <http://www.ciputra.org/node/92/pariwisata-surabaya-dan-entrepreneurship.htm>

keamanan, kerap diabaikan. Ketiga, minimnya fasilitas pendukung wisatawan dalam kota. Fasilitas pendukung bertujuan untuk mempermudah wisatawan, asing khususnya, bergerak dari satu tempat ke tempat lain secara mandiri tanpa bantuan dari travel agent. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah informasi akurat tentang tempat-tempat yang menarik di Surabaya yang bisa diakses dengan mudah, semacam Tourist Information Center. Kesadaran akan kualitas tempat wisata, baik dari segi tampilan, penataan ruang, kebersihan toilet maupun keamanan, kerap diabaikan. Sementara, 3 hal sangat dibutuhkan oleh wisatawan, yaitu kebersihan, keamanan dan keakuratan informasi.9 Fenomena globalisasi membawa dampak pada meningkatnya mobilitas masyarakat dunia untuk mengunjungi wilayah-wilayah tujuannya di berbagai belahan dunia, termasuk di dalamnya Kota Surabaya di Indonesia. Sebagian besar dari mereka merupakan konsumen dari produk wisata konvensi, jika dilihat dari maksud tujuan mereka yang datang untuk melakukan aktivitas MICE. Menghadapi hal tersebut Surabaya melakukan pengembanganpengembangan tertentu, terutama pada sarana dan prasarana MICE. Usaha untuk mengembangkan fasilitas MICE ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan mancanegara yang membutuhkan sarana dan prasarana MICE. Menurut Susan Strange, bahwa globalisasi terjadi pada berbagai tingkatan, salah satunya adalah tingkat material life. Tingkat material life yang dimaksud di sini adalah terciptanya struktur produksi global yang menentukan barang dan jasa apa yang dihasilkan oleh negara untuk kelangsungan dan kenikmatan hidup. Produksi barang dan jasa itu berorientasi ke pasar global dan tidak hanya terbatas pada pasar nasional saja.10 Hubungan saling ketergantungan dalam sistem perekonomian menyebabkan sistem nasional cenderung menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi global (global economy). Aktivitas ekonomi berlangsung dalam gerak arus barang, jasa dan uang di dunia secara dinamis sesuai dengan prinsip ekonomi.11 Salah satu produk jasa yang diproduksi untuk berorientasi ke pasar global adalah pariwisata. Pariwisata memiliki porsi yang besar dan merupakan aspek penting dalam proses

Ibid.

10

Susan Strange, Casino Capitalism, Manchester University Press, Manchester, 1997, dikutip dalam Halwani, op.cit., hlm. 227.
11

Halwani, op.cit., hlm. 226.

globalisasi.12 Hal ini dikarenakan pada dasarnya, globalisasi melibatkan terjadinya pertukaran dan aliran serta muatan intelektual dalam hal produk (barang dan jasa), ilmu pengetahuan, nilai-nilai, seperti halnya manusia, pada skala global.13 Sedangkan yang terjadi pada sektor pariwisata adalah hal yang tidak jauh berbeda. Mengutip definisi dari World Tourism Organization (WTO), Chawla menuliskan bahwa: tourism is the activity of people who travel to places outside their customary surroundings and stay there for leisure, business or other purposes for no longer than one year without interruption pariwisata merupakan aktivitas sekelompok orang yang bepergian menuju tempat di luar lingkungan mereka dan tinggal di tempat tersebut untuk tujuan leisure, bisnis atau tujuantujuan lain yang tidak memakan waktu lebih dari satu tahun.14 Jadi seperti halnya praktek globalisasi (yang memiliki ciri menjangkau wilayah lain, yang dimana menghasilkan pertukaran mata uang, produk-produk dan informasi, mendorong terjadinya perdagangan internasional, perjalanan dan komunikasi) pariwisata juga memiliki ciri khas tersebut. Dalam konteks ekspor, segala hal yang menarik datangnya turis/wisatawan merupakan bentuk lain dari sebuah komoditas dalam sebuah jaringan yang tersebar secara lintas batas.15 Dengan masuknya arus globalisasi dan terbukanya pasar lokal, maka terjadi pertemuan antara kebutuhan konsumen global dengan produk-produk baik barang maupun jasa yang tersedia di pasar lokal. Bertemunya dua hal tersebut merupakan bentuk dari glokalisasi, seperti yang dinyatakan oleh Richard Tiplady, Tiplady mendefinisikan glokalisasi sebagai sebuah cara di mana ide-ide dan struktur-struktur yang berada pada tingkat global diadaptasi dan disesuaikan oleh kenyataan yang ada di daerah lokal.16

12

A.P. Cheater, Globalisation and the new technologies of knowing: Anthropological calculus or chaos? Dalam M. Strathern (ed.), Shifting Contexts: Transformations in Anthropological Knowledge , Routledge, London, 1995, dikutip dalam Donald V.L. Macleod, Tourism, Globalisation and Cultural Change, Channel View Publications, Clevedon, 2004, hlm. 4.
13

Macleod, loc. cit. Romila Chawla, Global Tourism, Sonali Publications, New Delhi, hlm. 13. Macleod, op. cit., hlm. 6

14

15

16

Richard Tiplady, World Difference: global mission at the pic n mix counter, Paternoster Press, 2003, diakses 22 April 2012, <http://www.tiplady.org.uk/pdfs/bookTiplady.pdf>

Sedangkan Robertson mendefinisikan glokalisasi sebagai sebuah proses yang terbentuk dari mendekatkan (nilai/unsur) global dan lokal untuk kemudian menghasilkan sebuah perpaduan. Dalam dunia bisnis ide ini diadopsi untuk mengarahkan kepada (proses) lokalisasi global.17 Lebih khusus, glokalisasi adalah pengadapatasian/penyesuaian produkproduk (lokal) hingga sedemikian rupa agar bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen di pasar asing (global).18 Terkait dengan hubungan antara globalisasi dan lokalisasi, Rosenau mengutip perspektif dari ORiordian dan Church:19 Globalization and localization unite at all spatial scales. There is little, and may be nothing, that is global that does not have some sort of local manifestation. And each local manifestation changes the global context. Place centredness is the amalgam of global change and local identity. Every place reveals itself at variety of scales. Local perceptions are shaped by global influences, the combinations of which process local actions. These in turn are fuelled by local aspirations, many of which are the product of global images and expectations. All these local activities accumulate to create chaotic but global outcomes Pada dasarnya ORiordian dan Church menyampaikan bahwa globalisasi dan lokalisasi adalah dua hal yang merupakan satu kesatuan pada tiap skala spasial. Hal ini dikarenakan tidak ada satupun isu global yang tidak memiliki pengejawantahan lokal. Persepsi dan tindakan-tindakan lokal dibentuk oleh pengaruh global. Hal ini didorong oleh aspirasi lokal, yang banyak diantaranya merupakan produk dari harapan dan gambaran global. Semua aktivitas lokal ini berakumulasi untuk menciptakan hasil yang bersifat global.20 Dalam hal ini The Glocal Forum dalam jurnalnya yang berjudul The Glocalization Manifesto menempatkan kota dan pihak berwenang sebagai aktor utama dalam glokalisasi.
17

Roland Robertson, Globalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity in Featherstone, Lash, and Robertson (eds) Global Modernities, Sage, London, 1995 , hlm. 28, dikutip dalam Khondker, Glocalization as Globalization: Evolution of Sociological Concept, Bangladesh e-Journal of Sociology, vol. 1, no. 2, July 2004, hlm. 4, diakses 22 April 2012, <http://www.cpi.hr/download/links/hr/4298.pdf>
18

Anonim, Global Media Global Culture: Glocalization, 6 Mei 2010, diakses 21 April 2012, <drop.theunluckydip.com/stuff/global2.pdf>
19

Tim ORiordan and Chris Church, Synthesis and Content, in Tim ORiordan (ed.), Globalism, Localism and Identity: Fresh Perspectives on the Transition to Sustainability, Earthscan, London, 2001 dikutip dalam James N. Rosenau, Distant Proximities, Princeton University Press, New Jersey, 2003, hlm. 4
20

Ibid.

Kota, pada kenyataannya, memiliki beberapa kelebihan; hubungan dengan pemerintah dan badan-badan administratif bisa berinteraksi secara langsung pada tingkat kota. Kota juga merupakan representasi dari mesin inovasi dan perkembangan ekonomi; kota juga seringkali merupakan pusat identitas budaya dan perubahan sosial dan reformasi institusi. Dengan kata lain, kota memiliki peranan yang baru dan cukup kuat untuk berperan dalam glokalisasi.21 Meneruskan pernyataan ORiordian dan Church mengenai hubungan spasial antara globalisasi dan lokalisasi, di mana persepsi dan aksi lokal merupakan bentukan dari pengaruh global, Rosenau muncul dengan Theory of Change (Teori Perubahan). Teori ini kemudian bisa menjelaskan tentang persepsi dan tindakan-tindakan lokal yang dilakukan sebuah kota yang merupakan pusat identitas budaya dan perubahan sosial. 22 Selebihnya, teori perubahan ini tidak mungkin berkembang jika tidak terjadi adanya hubungan antara micro-macro dalam konteks dinamika glokalisasi. Micro agents dan macro structures akan selamanya saling berinteraksi. Salah satu dari keduanya pastilah memiliki inisiatif dan yang lain akan mengikutinya, seperti contohnya bagaimana bentuk sekelompok masyarakat pada skala mikro merupakan bentukan dari struktur yang ada pada skala makro. Mengenai interaksi antara micro-macro Rosenau memfokuskan pandangannya kepada dua tipe aktor, yang disebut, sekelompok individu pada micro level dan kolektifitas pada macro level. Terdapat tiga tipe kelompok (sekelompok individu) yang Rosenau sebutkan berada pada tingkat mikro, di mana salah satunya adalah sekelompok individu yang merupakan sekumpulan pemimpin dan elit politik. Mereka memiliki kapabilitas untuk bisa menghadapi dan mengambil keputusan mengenai apa yang terjadi pada tingkat makro. Sekumpulan individu tersebut (yang berada pada tingkat mikro) bisa berupa pemerintahan yang terstruktur pada skala lokal, perusahaan, organisasi internasional, nongovernmental organizations (NGO), kelompok etnis minoritas, kelompok kepentingan, dan seterusnya.23 Untuk lebih dalam memahami interaksi mikro-makro dibutuhkan skema konseptual yang menentukan tren dinamika makro dan membedakan beragam aktor mikro yang terbentuk serta merupakan respon dari dinamika makro. Rosenau menawarkan sebuah skema
21

The Glocal Forum, The Glocalization Manifesto, The Glocal Forum, September 2004, hlm. 6, diakses 22 April 2012, <glocalforum.flyer.it/?id=197&id_p=193&lng=en>
22

Rosenau, op. cit., hlm. 20-21 Ibid., hlm. 22-27

23

komprehensif yang terdiri dari dua tingakatan, diantaranya adalah: delapan dinamika makro utama (terdiri dari microelectronic technologies, skill revolution, organizational explosion, bifurcation of global structures, mobility upheaval, weakening of territoriality, states, and sovereignty, authority crises, globalization of national economies) dan dua belas dunia yang terbagi dalam dunia global, privat dan lokal. Penelitian ini akan difokuskan kepada interaksi antara dinamika makro dalam hal mobility upheaval dan dunia lokal yang bisa disebut juga sebagai micro agents. Local worlds terdiri dari beberapa kategori, diantaranya adalah: insular locals, resistant locals, exclusionary locals, dan affirmative locals.24 Terkait dengan bahasan yang diteliti dalam penelitian ini, maka peneliti akan memfokuskan pada affirmative locals.25 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kota dan pihak berwenang merupakan salah satu aktor utama dalam glokalisasi yang juga merupakan aktor tingkat mikro dalam local worlds. Dalam hal ini, Pemerintah Kota dan masyarakat di sekitarnya melakukan beberapa usaha dan strategi agar kotanya menjadi kota yang berkualitas. Salah satu dari strategi yang bisa dilakukan adalah branding strategy. Branding Strategy dilakukan di hampir seluruh kota utama di dunia, ini juga merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk menciptakan atmosfer yang kondusif sebagai kota yang menjadi destinasi dari para wisatawan. Selain itu, Parkenson dan Saunders juga menyampaikan bahwa beberapa kota melakukan strategi branding untuk meningkatkan daya tariknya dalam hal pariwisata maupun bisnis.26 Brand yang dimaksudkan di sini (yang dimiliki oleh sebuah kota) bukan merupakan sebuah produk atau jasa yang didasarkan pada market power, brand dari sebuah kota didasarkan pada sebuah kebutuhan untuk meningkatkan sektor perekonomiannya

24

Four Local Worlds terdiri dari; Insular Locals yaitu mereka yang terisolasi dari perkembangan yang terjadi di dunia, mereka berpikir dan bekerja sebatas wilayah geografis mereka; Resistant Locals yaitu mereka yang berpikir bahwa globalisasi merupakan hal yang bersifat mengancam dan oleh karena itu mereka memiliki pemikiran bahwa globalisasi adalah suatu hal yang pantas untuk dilawan; Exclusionary Locals yaitu mereka yang menyadari adanya konektivitas antara globalisasi dan masyarakat lokal, namun sikap mereka terhadap globalisasi lebih mengarah kepada ketidakpedulian, tidak melawan dan tidak mengisolasi diri; Affirmative Locals adalah mereka yang menerima ide globalisasi, terbuka terhadap dinamika makro, mereka bahkan menganggap bahwa beberapa keuntungan dan kesejahtaraan, kelebihan dalam mengakses informasi, kesempatan untuk melakukan perjalanan di luar wilayahnya bisa didapat dengan menerima dan membuka diri terhadap globalisasi.
25

Rosenau, op. cit., hlm. 38-45 & 52-53.

26

B. Parkerson & J. Saunders, City Branding: Can Goods and Services Branding Mod els Be Used to Brand Cities, Place Branding, Vol. 01, No. 03, 2004, hlm. 242-264

dan untuk menarik para turis dan investor.27 Lebih lanjut mengenai city branding Hudson dan Hawkins juga menyatakan bahwa strategi ini merupakan elemen yang penting bagi sebuah kota dalam prosesnya untuk mencapai posisi yang lebih baik dari sebelumnya.28 Dalam membangun brand daerah yang solid diperlukan adanya perumusan strategi yang disebut dengan strategic place triangle yang mencakup tiga hal kunci yang terdiri dari sembilan elemen.29 Dari kesembilan elemen tersebut terdapat tiga komponen inti yaitu: penetapan Positioning, pengembangan Diferensiasi dan upaya membangun Merek (brand).30 Dengan menggunakan strategi ini secara maksimal, maka city branding yang dihasilkan akan memberikan daya tarik yang cukup besar bagi turis asing untuk datang ke suatu kota (sebagai tujuan wisata) dan juga bisa menambah kekuatan ekonominya. Dari data-data yang peneliti dapatkan, mengenai meningkatnya kebutuhan wisatawan mancanegara terhadap MICE, terlihat bahwa arus globalisasi berupa dinamika makro mobility upheaval yang membawa kebutuhan akan MICE memengaruhi Kota Surabaya sebagai affirmative local dalam mengembangkan industri wisata konvensinya. Dari sekian banyak jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kota Surabaya sebagian besar dari mereka memiliki kebutuhan MICE. Untuk merespon hal ini Surabaya memposisikan dirinya sebagai affirmative local dengan membuka diri terhadap masuknya sejumlah wisatawan mancanegara berkebutuhan MICE tersebut. Keterbukaan dan respon positif Surabaya tersebut bisa dilihat melalui: kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengembangkan wisata MICE, perbaikan infrastruktur pendukung MICE oleh Pemerintah Kota Surabaya, pembangunan sarana fisik MICE, pengembangan sektor non-fisik yang dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat Kota Surabaya. Pengembangan yang dilakukan oleh Kota Surabaya dalam rangka merespon masuknya wisatawan mancanegara tersebut sesuai dengan theory of change yang menyatakan bahwa interaksi antara dinamika makro dan aktor mikro akan mengakibatkan terjadinya
27

Philip Kotler, Opinion Pieces: Where is Place Branding Heading?, Place Branding, Vol. 01, No. 01, 2004, hlm. 12-35
28

M. Hudson & N. Hawkins, A Tale of Two Cities A Commentary on Historic and Current Marketing Strategies Used By The Liverpool and Glasgow Regions, Place Branding, Vol. 02, No. 02, 2006, hlm. 155
29

Sesuai dengan penamaannya, Strategic Place Triangle mencakup tiga hal kunci. Pertama adalah Strategi yang mencakup Segmentasi-Targeting-Positioning. Kedua adalah Taktik yang mencakup Diferensiasi-Marketing Mix-Selling. Dan yang ketiga adalah Value yang mencakup Brand-Servis-Proses.
30

Hermawan Kartajaya & Yuswohady, Attracting Tourists Traders Investors: Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonom, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 6

perubahan dan reaksi pada level mikro. Diantara perubahan dan reaksi Kota Surabaya tersebut adalah: pembangunan dan pengembangan baik sektor fisik maupun non-fisik yang bertujuan untuk merespon dan memenuhi kebutuhan wisatawan mancanegara yang datang ke Surabaya untuk melakukan aktivitas MICE dan ditambahkannya identitas Kota Konvensi (selain Kota Pahlawan) melalui Sparkling Surabaya sebagai city branding Kota Surabaya. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Kota Surabaya menunjukkan sikapnya sesuai dengan ciri khas affirmative locals. Kota Surabaya tidak hanya menunjukkan keterbukaannya terhadap datangnya wisatawan mancanegara sebagai wujud masuknya arus globalisasi melalui mobility upheaval, bahkan lebih jauh Kota Surabaya melakukan reaksi dan strategi untuk mengembangkan sektor wisata konvensinya. Reaksi dan strategi tersebut dilakukan Surabaya untuk mendapatkan keuntungan dari adanya fenomena globalisasi berupa mobility upheaval yang membawa kebutuhan MICE. Pengembangan dan pembangunan yang dilakukan Kota Surabaya tidak hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan mancanegara saja, hal tersebut juga dilakukan untuk menggali potensi daerah yang ada khususnya dalam bidang industri wisata konvensi. Kota Surabaya juga bertujuan untuk mempromosikan dirinya sebagai Kota Konvensi, kota yang sangat representatif untuk melakukan aktivitas MICE hingga pada tingkat internasional. Terwujudnya Sparkling Surabaya sebagai city branding yang matang merupakan hasil integrasi yang kuat antara Pemkot, pihak swasta dan masyarakat Kota Surabaya. Sparkling Surabaya merupakan merek yang dibuat untuk Kota Surabaya yang sedang dikembangkan dan disosialisasikan. Selain sebagai brand yang merespon besarnya kebutuhan wisatawan mancanegara terhadap MICE, Sparkling Surabaya secara khusus bertujuan untuk memperkuat identitas Surabaya sebagai Kota Konvensi yang nantinya bisa semakin dikenal oleh masyarakat internasional.

Vous aimerez peut-être aussi