Vous êtes sur la page 1sur 6

ARBITRASE

Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat. Pada saat ini, terdapat sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999). Arbitrase diangggap memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan cara litigasi, oleh karena itu dalam praktek para pelaku bisnis dan dunia usaha ada kecenderungan untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Adapun beberapa keunggulannya antara lain : 1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative 3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai maalah yang disengketakan, jujur dan adil. 4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dan 5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini : As compared with the court system, the main advantages clained for arbitration are : 1. quicker resolution of disputes 2. lower costs in time and money to the parties, and 3. the availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute.

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas, tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Di antara kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis atau dagang yang bersifat internasional. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum. Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan ADR adalah : a. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI. b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada. c. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya. d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya. e. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.

CONTOH ARTIKEL MENGENAI ARBITRASE

PROBLEMATIKA EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA


Bagaimana dengan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia? Masalah-masalah apa saja yang paling sering ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia?
Walaupun penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah dikenal di dalam hukum Indonesia, namun sebelum Republik Indonesia meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award (Konvensi New York) melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 (Keppres No. 34/1981), tidak ada putusan lembaga arbitrase internasional (asing) yang dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia. Hal ini karena adanya asas kedaultan / soverenitas di dalam ketentuan Pasal 463 Reglement Rechtsvoordering (RV) yang mengatur bahwa putusan pengadilan asing tidak dapat dieksekusi di Indonesia.

Setelah ratifikasi Konvensi New York, idealnya tidak akan ditemukan lagi masalah yang signifikan untuk mengeksekusi putusan arbitrase asing (internasional) di Republik Indonesia, karena Pasal III Konvensi New York mengatur bahwa eksekusi putusan arbitrase asing dari negara peserta konvensi tidak boleh lebih sulit daripada eksekusi putusan arbitrase domestik. Pada prinsipnya hanya ada 3 (tiga) hal yang dapat menghalangi putusan arbitrase internasional dieksekusi di Indonesia, yaitu: (i) putusan arbitrase internasional tersebut belum final; (ii) putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum; dan (iii) putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan sengketa perdagangan. Artinya selama putusan arbitrase internasional dapat memenuhi ketiga hal di atas, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan/atau Mahkamah Agung harus memberikan pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional. Namun, faktanya dari masa berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 Tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, sampai pengundangan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ( UU Arbitrase) banyak sekali putusan arbitrase internasional yang ditolak pelaksanaan di Indonesia dinyatakan bertentangan dengan ketertiban umum yang berlaku di Indonesia. Selama ini cukup banyak istilah yang dapat digunakan untuk mendefinisikan mengenai ketertiban umum, namun telah disepakati batasan ketertiban umum adalah sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa. Masalahnya kesan yang timbul dalam praktek selama ini adalah penggunaan ketertiban umum lebih dikarenakan Pengadilan Indonesia masih melihat putusan arbitrase internasional sebagai produk negara asing, yang harus disikapi dengan extra hati-hati, atau dalam istilah Alm. Sudargo Gautama, terdapat sikap uneasiness dalam memberikan pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional. Walaupun memiliki tujuan yang baik, namun ketergantungan lembaga arbitrase (nasional maupun internasional) untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan menunjukan bahwa sebenarnya lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusan yang telah dikeluarkan. Selain itu juga menunjukan adanya intervensi dari negara melalui pengadilan untuk mengesampingkan putusan arbitrase internasional apabila berseberangan dengan kepentingan politiknya.

Gas Defisit, Indonesia Bisa Mengadu Ke Arbitrase Internasional

A. Qoyum Tjandranegara Abraham Lagaligo abraham@majalahtambang.com Jakarta TAMBANG. Meski pemenuhan kebutuhan gas nasional masih jauh dari harapan, namun pemerintah belum bisa menyetop ekspor gas. Pasalnya, para produsen gas di dalam negeri masih terikat kontrak jangka panjang, untuk pengiriman gas ke luar negeri. Mengatasi

dilema ini, sebenarnya pemerintah atau instansi terkait, bisa mengadu ke Arbitrase Internasional. Kan nggak fair kita penghasil tapi mengalami defisit gas. Kita bisa mengadukan hal ini Arbitrase Internasional, ujar pengamat migas, A. Qoyum Tjandranegara. Qoyum mengatakan, seharusnya pemerintah bisa bersikap tegas terhadap kontrak-kontrak jangka panjang untuk ekspor gas. Bagi yang kontraknya masih berlaku, dihargai. Tapi bagi yang sudah habis kontraknya, jangan diperpanjang lagi. Terlebih, ujarnya, kebijakan ekspor gas telah merugikan Indonesia dalam jumlah sangat besar. Akibat gas banyak diekspor, konsumen di dalam negeri harus terus menggunakan bahan bakar minyak (BBM) yang diimpor dengan harga sangat mahal. Suatu hal yang sangat tidak adil, ketika gas dikirim ke China dengan harga 3,8 dolar. Sedangkan ada industri di dalam negeri yang sangat membutuhkan dan siap membeli dengan harga 6 7 dolar, tidak diberi, ujarnya kepada Majalah TAMBANG, Rabu, 10 Maret 2010. Kalau alasannya karena sudah ada kontrak jangka panjang, maka kita bisa mengadu ke Arbitrase Internasional. Kita bisa memperkarakan, karena gas dikirim ke luar negeri dengan hara murah, sementara konsumen di dalam negeri kelabakan mencari gas yang mengalami defisit. Selain itu, semua orang tahu harga gas hanya setengah dari harga bahan bakar minyak (BBM). Seharusnya sudah sejak 1997 Indonesia menghentikan ekspor gas, dan menggunakannya untuk keperluan di dalam negeri. Mengingat saat itu produksi minyak Indonesia sudah tidak memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan kita harus impor. Saya yakin kalau pemerintah atau BP Migas mau ngomong (mengadu) ke arbitrase internasional, terpecahkan masalah itu. Kita ini kan negeri penghasil, harus diutamakan dong, tegas Qoyum.

Badan Arbitrase Kenamaan Australia Tandatangani Kesepakatan Internasional Bersejarah


Date: Tuesday, May 25, 2010 08:54 GMT SYDNEY, Australia, 25 Mei /Medianet International-AsiaNet/ Badan arbitrase (perwasitan) komersial kenamaan di Australia, Australian Centre for International Commercial Arbitration (ACICA), dan lembaga antar-pemerintah paling tua di dunia bagi penyelesaian sengketa internasional, Permanent Court of Arbitration (PCA), telah menandatangani kesepakatan guna mendorong pemanfaatan dan pendidikan perwasitan di Asia-Pasifik.

Persetujuan bersejarah itu ditandatangani setelah tawaran oleh PCA kepada pemerintah Australia untuk memasuki Host Country Agreement, yang akan menyediakan PCA hak istimewa dan kekebalan yang sama dengan yang diperoleh PCA di markasnya di Den Haag, Belanda. Pemerintah negara bagian dan federal Australia saat ini sedang mengkaji peraturan guna mendorong posisi Australia sebagai pusat perwasitan global yang menarik dan bersaing. Presiden ACICA Profesor Doug Jones AM mengatakan, Kesepakatan ini mengakui keahlian perwasitan Australia di pasar internasional dan kami sangat ingin bekerja sama secara erat dengan PCA terutama di wilayah Asia-Pasifik. Wakil Sekretaris Jenderal PCA Brooks W Daly mengatakan, ACICA telah memainkan peran penting dalam menegakkan Australia sebagai jurisdiksi utama dalam pengembangan perwasitan internasional. Karena PCA diminta untuk lebih sering menangani banyak kasus di wilayah Asia Pasifik, kami berharap kerja sama dengan ACIC akan menjadi sumber daya yang sangat besar, baik melalui keahlian yang dihimpun ACICA maupun melalui fasilitas baru dengar-pendapatnya yang luar biasa di Sydney. Perincian mengenai kesepakatan itu diumumkan Selasa di Rio de Janeiro, tepat sebelum pembukaan Kongres Global International Council for Commercial Arbitration (ICCA). Kontak: Gianna Totaro ACICA Media Relations +61 438 337 328 gtotaro@acica.org.au Australian Centre for International Commercial Arbitration The Australian Centre for International Commercial Arbitration (ACICA) adalah satu-satunya lembaga arbitrase (perwasitan) internasional di Australia, yang didirikan pada 1985 sebagai perusahaan umum nir-laba. Anggota lembaga itu meliputi ahli akademika dan praktisi terkemukan dunia di bidang perwasitan komersial domestik dan internasional. ACICA bertujuan mendidik, meningkatkan dan mendorong pemanfaatan perwasitan komersial internasional sebagai sarana penyelesaian sengketa, dan mendorong Sydney dan Australia sebagai kedudukan perwasitan internasional. www.acica.org.au Permanent Court of Arbitration (PCA)/Cour Permanente DArbitrage

Permanent Court of Arbitration (PCA) didirikan pada 1899 sebagai salah satu pelaksanaan dari Hague Peace Conference, yang pertama, yang membuatnya jadi lembaga antar-pemerintah paling tua bagi penyelesaian sengketa internasional. PCA bertempat di Peace Palace di Den Haag, yang dibangun khusus bagi Pengadilan tersebut pada 1913, dengan sumbangan dari Andrew Carnegie dan menyediakan layanan bagi penyelesaian sengketa yang melibatkan beragam negara, kesatuan negara, organisasi antar-pemerintah dan pihak swasta. Pada awal 1980-an, PCA membantu menetapkan layanan administratif mengenai Pengadilan Klaim Iran-Amerika Serikat. Badan tersebut juga menangani berbagai kasus yang muncul dari kesepakatan internasional (termasuk kesepakatan penanaman modal bilateral dan multilateral), dan kesepakatan lain yang diwakili; sengketa mengenai perbatasan wilayah dan laut, kedaulatan, hak asasi manusia, penanaman modal internasional (perwasitan penanam modal-negara), dan berbagai masalah yang berkaitan dengan perdagangan regional serta internasional. www.pca-cpa.org SUMBER: Australian Centre for Commercial International Arbitration

Vous aimerez peut-être aussi