Vous êtes sur la page 1sur 5

- Al-Ikhwan.net - http://www.al-ikhwan.

net -
Urgensi Arkanul Bai’ah Dalam Amal Siyasi
Posted By Al-Ikhwan.net On 27 April 2009 @ 15:47 In Risalah Nukhbawiyah | No
Comments

Pengembangan Arkanul Bai’ah Dan Aplikasinya


Keberimanan terhadap Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah SWT memang
sudah final. Tetapi, pemahaman manusia terhadap Islam tidak dapat dikatakan sudah
mencapai final sehingga berhenti pada satu titik.
Jalan-jalan untuk mencapai pemahaman Islam dalam konteks syumuliyah dan
takamuliyahnya adalah jalan-jalan yang sangat panjang dan beragam. Setiap zaman
dan keadaan memerlukan penyajian tersendiri dari ajaran Islam yang maha dalam
maknanya ini. Firman Allah SWT,
‫ِي‬
َ ‫ِن‬
‫ْس‬‫َ ال‬
ُ ‫َع‬‫َ ل‬
‫ّ ال‬
ّ ‫َإن‬
‫َا و‬
‫َن‬‫ُل‬
‫ُب‬‫ْ س‬
‫ُم‬‫ّه‬
‫َن‬‫ِي‬
‫ْد‬‫َه‬
‫َن‬‫َا ل‬
‫ِين‬
‫ُوا ف‬
‫َد‬‫َاه‬
‫َ ج‬
‫ِين‬
‫ّذ‬‫َال‬
‫و‬
“Orang-orang yang berjihad di jalan Kami sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-
Ankabuut: 69)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan walladziina jaahduu fiinaa
adalah Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan pengikutnya sampai hari kiamat nanti.
Sedangkan yang dimaksud subulanaa adalah jalan-jalan untuk urusan dunia dan
akhirat.
Terkait dengan hadits tentang Mu’adz bin Jabbal yang diutus oleh Rasulullah SAW ke
negeri Yaman dan menyatakan akan melakukan ijtihad apabila tidak diperoleh nash
dalam Al-Quran dan As-Sunnah dalam memutuskan perkara, banyak yang menekankan
bahwasanya pintu ijtihad belum tertutup. Dari waktu ke waktu muncul ulama-ulama
besar dengan pikiran dan pendapatnya yang segar dan baru berdasarkan pemahaman
mereka tentang nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Sebagian kelompok hanya memperhatikan aspek fiqh dalam masalah pembukaan ijtihad
dari masa ke masa ini. Tetapi, sesungguhnya lapangan ijtihad itu luas, tidak
sekadar masalah fiqh saja tetapi di dalam berbagai bidang yang terkait dengan
urusan dunia dan akhirat.
Seharusnya kejumudan juga tidak terjadi pada aktivis kebangkitan Islam sebagaimana
disampaikan Yusuf Qaradhawi, “Imam Hasan Al- Banna bukanlah seorang yang
jumud/statis tetapi justru progresif dan dinamis. Ia selalu memanfaatkan semua
yang ada di sekekelilingnya, melakukan dinamisasi diri dan dakwahnya. Seandainya
ia berumur panjang kita tidak tahu apa yang akan diperbuatnya. Sebab itu saudara-
saudara dan pengikutnya tidak boleh statis dalam berbagai sarana, metode, ataupun
bagian pemikirannya.”
Pemahaman yang terlalu kaku dengan pendapat yang terkait dengan situasi
kontekstual tertentu akan menyebabkan seorang aktivis dakwah tidak mampu
berinteraksi dengan problema yang dihadapinya pada masa kini.
Demikian pula arkanul bai’ah yang disusun oleh Imam Hasan Al- Banna bukanlah
sesuatu yang bersifat mati atau jumud sehingga ia akan menjadi masa lalu dari para
kader dakwah. Padahal ia harus membaca, memahami, dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari yang terus berjalan. Interaksi formal dengan arkanul bai’ah
sebagai sebuah pengantar ke dalam pergaulan jama’ah dakwah mungkin saja telah
berlalu satu, dua, lima, sepuluh, atau dua puluh tahun yang lalu. Namun secara
nilai penghayatan terhadap arkanul bai’ah terjadi setiap saat dalam berbagai
lapangan medan dakwah. Penghayatan tersebut diharapkan justru semakin mendalam
dari hari ke hari.
Oleh karena itu, rukun al-fahm (pemahaman) harus terus dikembangkan mengikuti
jalan dakwah menuju ke-syumuliyah-an dan ke-takamuliyah-an. Begitu juga rukun
ikhlas. Kualitas dan kapasitas ikhlas kita harus terus-menerus dikembangkan
mengikuti perjalanan dakwah yang terus diperlebar ruang lingkupnya sesuai dengan
tuntutan syumuliyah dan takamuliyah dakwah kita.
Begitu juga kualitas dan kapasitas amal kita, jihad kita, tadhiyah (pengorbanan)
kita, tha’ah (ketaatan) kita, tsabat (kekokohan) kita, tajarrud (kesungguhan)
kita, al-ukhuwah (persaudaraan) kita, dan tsiqah (kekokohan) kita harus terus-
menerus dikembangkan.
Seharusnya peningkatan kualitas dan kapasitas interaksi dengan arkanul bai’ah
mendahului ekspansi dakwah yang dilakukan agar arkanul bai’ah itu menjadi pemicu,
pemacu, dan pemecut bagi akselerasi gerakan dakwah itu sendiri agar arkanul bai’ah
itu mempercepat tercapainya ahdafu da’wah (sasaran-sasaran dakwah) dan ghayatu
da’wah (tujuan-tujuan dakwah).
Interaksi dengan arkanul bai’ah sangat berpengaruh terhadap kualitas komitmen
kepada dakwah dan kepada jamaah. Begitu interaksi dengan rukun-rukun itu
tertinggal dan terhenti pada pada satu titik, maka komitmen yang dihasilkannya
tidak mumpuni lagi untuk menyambut ekspansi dakwah yang terus-menerus berkembang.
Politik Dan Dakwah: Pandangan Hasan Al-Banna
Dakwah tidak dapat dipisahkan dari politik (siyasah) karena tujuan dakwah itu
sendiri adalah untuk pengendalian (siyasah) sebagaimana firman Allah SWT,
‫ِي‬
‫ّذ‬‫َ ال‬
‫َل‬‫ْس‬
‫ُ أر‬
‫َه‬‫ُول‬
‫َس‬‫َى ر‬
‫ُد‬‫ِال‬
ْ ‫ِ ب‬
‫ِين‬
‫َد‬‫ّ و‬
‫َق‬‫ُ ال‬
ْ ‫َه‬‫ِر‬
‫ْه‬‫ُظ‬
‫ِي‬‫َى ل‬
‫َل‬‫ِ ع‬
‫ّين‬
‫ِ الد‬
‫ّه‬‫ُل‬
‫َى ك‬
‫َف‬‫َك‬
‫ِ و‬
‫ِال‬
ّ ‫ًا ب‬
‫ِيد‬
‫َه‬‫ش‬

َُ
‫و‬ ‫ه‬
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar
dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Al-Fath:
28)
Kehadiran Islam dalam wujud sebuah institusi yang mengendalikan telah menjadi
obsesi dari Imam Syahid Hasan Al-Banna sebagaimana ungkapannya yang disampaikan
kepada para pemuda, “Adalah sangat mengherankan sebuah paham seperti komunisme
memiliki negara yang melindunginya, yang mendakwahkan ajarannya, yang menegakkan
prinsip-prinsipnya, dan menggiring masyarakat untuk menuju ke sana. Demikian juga
paham fasisme dan Nazism, keduanya memiliki bangsa yang mensucikan ajarannya,
berjuang untuk menegakkannya, menanamkan kebanggaan kepada para pengikutnya,
menundukkan seluruh ideologi bangsa-bangsa untuk mengekor kepadanya. Dan lebih
mengherankan lagi, kita dapati berbagai ragam ideologi sosial politik di dunia ini
bersatu untuk menjadi pendukung setianya. Mereka perjuangkan tegaknya dengan jiwa,
pikiran, pena, harta benda, dan kesungguhan yang paripurna, hidup dan mati
dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya, kita tidak mendapatkan tegaknya suatu
pemerintahan Islam yang bekerja untuk menegakkan kewajiban dakwah Islam, yang
menghimpun berbagai sisi positif yang ada di seluruh aliran ideologi dan membuang
sisi negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh bangsa sebagai ideologi
alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan jelas bagi seluruh persoalan
umat manusia.”
Dalam kesempatan lain Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “Sesungguhnya seorang muslim
tidak sempurna keislamannya kecuali jika ia bertindak sebagai politisi.
Pandangannya jauh ke depan terhadap persoalan umatnya, memperhatikan dan
menginginkan kebaikannya. Meskipun demikian, dapat juga saya katakan bahwa
pernyataan ini tidak dinyatakan oleh Islam. Setiap organisasi Islam hendaknya
menyatakan dalam program-programnya bahwa ia memberi perhatian kepada persoalan
politik ummatnya. Jika tidak demikian, maka ia sendiri yang sesungguhnya butuh
untuk memahami makna Islam.”
Suatu catatan penting dari Imam Hasan Al-Banna adalah peringatannya tentang adanya
pemahaman yang sempit bahwa jika disebut dengan politik maka orang-orang akan
segera membayangkan sebuah partai politik. Politik yang dimaksudkannya bukanlah
sekadar sebuah partai politik, tetapi keseluruhan aktivitas dakwah yang dilakukan
untuk mengurusi nasib umat hingga mengangkat mereka ke kedudukan sebagaimana yang
diperintahkan Al-Quran di tengah-tengah manusia.
Bahkan, terhadap partai politik yang berkembang saat itu Al-Banna mempunyai
kritikan-kritikan yang mendasar, “Ikhwanul Muslimun berkeyakinan bahwa partai-
partai politik yang ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif.
Sebagian besar didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum ….
Ikhwan juga berkeyakinan bahwa partai-partai yang ada hingga kini belum dapat
menentukan program dan manhajnya secara pasti … Ikhwan berkeyakinan bahwa hizbiyah
(sistem kepartaian) yang seperti itu akan merusak seluruh tatanan kehidupan,
memberangus kemaslahatan, merusak akhlaq, dan memporakporandakan kesatuan umat.”
Korelasi Amal Siyasi Dengan Arkanul Bai’ah
Amal siyasi sebagai bagian penting dari keseluruhan amal Islami harus mendapat
perhatian serius dari para aktivis dakwah dan baiat mereka kepada jalan dakwah
adalah baiat mereka pula kepada amal siyasi.
Dakwah Islam tidak menyerukan sikap memisahkan diri dari persoalan-persoalan
kemasyarakatan yang ada dalam tubuh umat Islam. Jika pun terdapat upaya-upaya
memilah lingkungan kehidupan para aktivis dakwah dari masyarakat umum, maka
tujuannya bukan untuk lari dari masyarakat yang menjadi tanggungjawab dakwahnya.
Tetapi, hal itu dilakukan hanya untuk konsolidasi internal mereka agar memiliki
kekuatan yang lebih besar dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat
tersebut. Atau, agar mereka tidak tergelincir karena tarikan-tarikan dahsyat
kemaksiatan sehingga ia akhirnya justru menjadi bagian dari persoalan tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang
sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa
yang membelakangi mereka di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya adalah neraka jahannam.
Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfaal: 16)
Kepahaman tentang amal siyasi yang dikembangkan pada saat ini boleh jadi berbeda
dengan sebelumnya karena perbedaan-perbedaan situasi dan kondisi yang
menyertainya. Pandangan Imam Hasan Al-Banna tentang sistem kepartaian yang
menyebabkan beliau tidak mendirikan partai politik, tetapi membolehkan kesertaan
dalam pemilihan umum telah diposisikan secara aktual dalam beberapa kurun
terakhir. Partai-partai politik dalam berbagai bentuknya telah berdiri dan diusung
oleh para aktivis dakwah di berbagai negara dalam rangka amal siyasi mereka
berdasarkan syura-syura yang mereka lakukan.
Amal siyasi yang dilakukan bukanlah sekadar untuk meraih kekuasaan dan mencapai
kedudukan-kedudukan tinggi dalam pemerintahan, tetapi semata-mata ditujukan bagi
penegakan hukum-hukum Allah SWT di dalam masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan yang telah digariskan-Nya. Inilah rukun ikhlas yang akan menjauhkan
aktivis dakwah dari perangkap kediktatoran, korupsi, dan kesombongan tatkala
meraih suatu kedudukan dalam kekuasaan.
Setiap aktivis menyadari sungguh-sungguh dengan kefahamannya dan keikhlasannya
bahwa amal siyasi yang dilakukannya adalah bagian dari kerja besar dari tangga-
tangga mihwar ta’sisi, mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, mihwar muasasi dan mihwar
dauli. Dalam kaitan koalisi kerja teknis Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “Tidaklah
mengapa menggunakan orang-orang non-muslim –jika keadaan darurat- asalkan bukan
untuk posisi jabatan strategis (dalam pemerintahan).”
Kesungguhan dalam kerja siyasi adalah bagian dari jihad yang harus dilakukan.
Kesungguhan itu akan terjadi jika aktivis dakwah menghargai dan mematuhi jalan
dakwah yang telah digariskan berdasarkan syura. Tidak boleh ada seorang pun yang
bermalas-malasan dalam bidang ini hanya lantaran ia merasa bukan bidangnya atau
tidak sependapat dengan hasil-hasil syura.
Apapun yang disumbangkan dalam amal siyasi, mulai dari harta sampai dengan jiwa,
adalah bagian dari ruhul tadhiyah (jiwa pengorbanan) di jalan dakwah. Tidak ada
istilah mati sia-sia dalam suatu amal siyasi karena seluruh pengorbanannya harus
diyakini akan dihisab oleh Allah SWT dengan timbangan kebaikan dakwah.
Ketaatan dalam janji setia aktivis dakwah adalah ketaatan yang penuh selama masih
dalam jalan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan yang bersifat setengah-
setengah, misalnya hanya kepada perintah-perintah atau kesepakatan-kesepakatan
dalam bidang sosial saja, sedang dalam politik ia membangkang. Termasuk dalam
perkataan fil makrah (dalam keadaan tidak menyenangkan) adalah ketaatan kepada
hal-hal yang ketika bersyura kita tidak sependapat dengan hasil keputusannya.
Keteguhan (tsabat) adalah bagian penting dalam dakwah ini dan lebih istimewa lagi
dalam amal siyasi. Jika dalam amal ij’timaiy mungkin banyak pujian yang datang
tetapi dalam amal siyasi kondisinya terbalik, banyak orang yang merasa terancam
dengan kehadiran dakwah dan Islam di panggung politik, banyak orang yang apriori
dan bahkan memusuhinya sebagai bagian dari konspirasi global yang sudah terjadi
sejak masa Nabi Muhammad SAW.
Resiko-resiko yang diterima tanpa ada keteguhan akan menjadi dasar penyesalan atas
keputusan yang telah disepakati, padahal waktu adalah bagian dari solusi.
Keberhasilan perjuangan seringkali tidak dapat diukur dalam waktu yang pendek.
Amal siyasi yang diperjuangkan adalah amal siyasi yang islami. Ini adalah komitmen
yang tidak boleh berubah, meskipun tawaran-tawaran berbagai ideologi sangat banyak
dalam dunia politik. Manhaj Islam sedemikian terang benderangnya, dan oleh
karenanya aktivis dakwah tidak akan terjebak pada pemikiran dan metode yang tidak
jelas hanya karena ketidaksabarannya bekerja dengan waktu. Ini adalah makna
tajarrud (kemurnian total) dalam arkanul bai’ah yang sepuluh.
Dunia politik adalah dunia yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga banyak
orang mengatakan “politik itu kotor”. Perkataan itu sesungguhnya tidak benar
karena dunia sosial, perdagangan, bahkan dunia dakwah itu sendiri dapat saja
menjadi “kotor” oleh perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang tidak
bertanggungjawab. Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak
perpecahan, persengketaan, permusuhan di antara teman, intrik dan fitnah terjadi
di dunia politik.
Oleh karena itu, jika rukun ukhuwah diabaikan dan tidak bekerja maksimal dalam
amal siyasi, semua kemungkinan dan kekhawatiran itu dapat juga terjadi pada diri
kita.
Terakhir, perlu direnungkan makna tsiqah yakni menyiapkan rasa puas kepada
pemimpin atas kapasitas kepemimpinannya dan maupun keikhlasan, dengan kepuasan
yang mendalam yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan, dan
ketaatan. Semakin jauh jenjang organisasi dari titik pusat pengambil keputusan
rukun tsiqah ini akan semakin signifikan dalam membangun komitmen.
Tentu, rukun ini tidak menghilangkan fungsi pemimpin sebagai guru dan pembimbing
kepada para anggota sehingga kepuasan itu hadir dengan penuh qanaah tidak
terpaksa. Keputusan-keputusan dalam amal siyasi dalam kadar tertentu kadangkala
memang begitu rumit karena demikian kompleksnya persoalan yang dihadapi.
Ketsiqahan di antara aktivis dakwah dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
degradasi soliditas karena adanya keputusan-keputusan qiyadah yang belum
terpahami.
Kontribusi Komitmen Bai’ah Aktual Dalam Dakwah
Kekuatan interaksi terhadap arkanul bai’ah akan dapat mempertahankan penampilan
kinerja dan manhaj amaliy aktivis dakwah sehingga bisa diandalkan dalam persaingan
antar aliran, antar ahzab (partai-partai) dengan aneka ragam mabadi (ideology).
Insya Allah dengan komitmen interaktif yang kontinyu terhadap arkanul bai’ah
jamaah dakwah akan mempunyai mazhhar (penampilan) yang sanggup menghadapi
tantangan rivalitas yang semakin tajam antar aliran ideologis dan antarpemikiran
yang ada di lapangan.
Ustadz Hilmi Aminuddin menyatakan mazhhar jamaah yang diharapkan tumbuh dan
berkembang dari interaksi dengan arkanul bai’ah yang terus-menerus itu ialah:
Pertama, mazhhar atsbatu mauqifan (penampilan dalam kekokohan sikap) yakni sikap
yang paling teguh di antara sikap-sikap yang ditampilkan oleh golongan-golongan,
madzhab-madzhab dan aliran-aliran lain. Sikap yang tidak mudzabdzab, (plin-plan),
yang tidak mencla-mencle, yang tidak memble menghadapi tantangan-tantangan yang
semakin kuat dan terang-terangan.
Sekali lagi, tantangan yang semakin terang-terangan mengingat kita sekarang ada di
era jahriyah (keterbukaan). Sikap teguh kita harus ditampilkan secara penuh dalam
kinerja, performance dakwah jamaah, dan partai kita. Kekokohan sikap adalah
tampilan awal yang merupakan buah dari kekuatan yang ditumbuhkan oleh aqidah kita.
Kedua, mazhar arhabu shadran. Keteguhan sikap itu tidak melahirkan sikap yang kaku
karena selain ada aqidah yang rasikh, aqidah yang kuat, tetapi juga ada akhlaqul
karimah yang akan melahirkan arhabu shadran (kelapangan dada). Di atas kekokohan
sikap itu kita paling bisa dan paling sanggup berlapang dada dalam menghadapi
realitas kehidupan, dalam menghadapi tantangan, dalam bermuamalah menghadapi
berbagai sikap-sikap lain. Termasuk ketika kita berinteraksi dengan sesama
kelompok Islam yang kebetulan mereka belum satu manhaj dengan kita dengan
perlakuan dan sikap-sikap mereka yang tidak menyenangkan.
Ketiga, mazhar a’maqu fikran (penampilan kedalaman dalam berfikir) dalam
menghadapi aneka situasi dan kondisi sehingga kita tidak meresponnya secara
is’tijaliyah (ketergesa-gesaan). Kita selalu berfikir secara mutaanni (sangat
mendalam) dan mutama’in (intens), dalam menentukan langkah-langkah kita dengan
proses dan prosedur yang benar yang sudah kita sepakati bersama. Tidak boleh ada
satupun keputusan jamaah ini yang tanpa melalui proses a’maqu fikran yang dalam
prakteknya kita wujudkan dalam wadah syura yang selalu kita jaga. Sehingga tidak
ada alasan dari kita untuk tidak mendukung sikap yang diambil oleh jamaah, karena
proses dan prosedur yang diambil sudah benar dengan tetap tidak terburu-buru.
Keempat, dalam memandang fenomena kehidupan dan perjuangan ini kita harus
mempunyai mazhhar awsa’ nazharan (penampilan dengan pandangan yang lebih luas).
Kita harus mempunyai pandangan yang sangat luas, seluas ufuq yang bisa dijangkau
oleh mata kita. Kita tidak boleh mempunyai pandangan mutajamid (pandangan
kebekuan) yang sempit, hizbiyah (mengagungkan golongan) dan madzhabiyah
(mengagungkan aliran). Kita harus memiliki pandangan yang sangat luas karena
sasaran dari dakwah yang sudah dicanangkan adalah bina-ul fard (peminaan
individu), bina-ul mujtama’ (peminaan masyarakat), bina-ud daulah (pembangunan
negara), bina-ul khilafah (pembangunan khilfah) hingga ustadziyatul ‘alam
(sokoguru semesta alam).
Di sana kita harus memancangkan rahmatan lil ‘alamin sehingga setiap makhluk
hidup–bukan manusia saja–merasakan sentuhan rahmat dari kita. Tidak mungkin kita
melakukan itu bila kita tidak mempunyai pandangan yang sangat luas terhadap
kehidupan ini.
Kelima, kita harus didukung dengan mazhhar ansyathu ‘amalan (penampilan sebagai
pihak yang paling giat bekerja). Karena mazhhar-mazhhar sebelumnya harus
dibuktikan dalam ansyathu ‘amalan (kegiatan kerja). Hendaknya beramal paling keras
dan menjadi aktivis/amilin yang paling giat, efektif dalam mengarahkan tenaga dan
potensinya serta langkah-langkahnya selalu terarah dengan tepat (khutuwat al-
athifah). Itu adalah refleksi dari aqidah dan fikrah kita.
Keenam, begitu juga kita menyadari sepenuhnya bahwa syumuliyatul Islam tidak
mungkin diperjuangkan secara individual, tapi harus diperjuangkan secara jama’iy
(kolektif). Maka, kita pun harus menampilkan secara struktural ashlabu tanzhiman
(organisasi yang paling solid dan kokoh bagaikan baja). Tanzhim kita tanzhim yang
kokoh tidak gampang reot oleh benturan-benturan yang diarahkan oleh lawan-lawan,
musuh-musuh, pesaing-pesaing, atau oleh orang-orang yang belum memahami dakwah
kita.
Kita tetap teguh. Keputusan jamaah tidak pernah dihasilkan oleh pressure, tekanan,
ancaman apapun. Semuanya, yang penting, proses prosedur berjalan maka kita
putuskan dengan mengabaikan tekanan dari manapun. Ini sebagai pembuktian dari
ashlabu tanzhiman.
Ikhwan dan akhwat fillah, pada akhirnya yang ketujuh adalah mazhhar aktsaru naf’an
(penampilan sebagai pihak yang paling banyak memberi manfaat). Dulu sering saya
katakan bahwa kita dituntut oleh Allah SWT untuk menjadi orang-orang yang
produktif menghasilkan kebajikan-kebajikan. Sebab, pada dasarnya secara fitriyah
kita sudah menjadi orang-orang yang konsumtif. Kalau masalah konsumtif tidak perlu
didorong, tidak perlu diprogram, karena sudah menjadi tabiat dasar. Begitu lahir
kita mengkonsumsi kebajikan ibu, kebajikan ayah, kebajikan saudara-saudara kita,
kebajikan tetangga-tetangga yang menimang-nimang kita. Wallahu a’lam.

Vous aimerez peut-être aussi