Vous êtes sur la page 1sur 5

ASPEK KUALITAS DAN KEMANJURAN OBAT HERBAL (HERBAL MEDICINE)

Oleh : Moch. Amrun Hidayat, S.SI.,Apt.


Staf Pengajar Program Studi Farmasi Universitas Jember : Disampaikan dalam seminar Pengenalan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Binaan/ TOGA Kerjasama antara Kantor Linkungan Hidup Kab. Bondowoso dan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jember, Tanggal 4 Oktober 2004 di Bondowoso.

PENDAHULUAN Obat herbal atau Herbal Medicine merupakan salah satu komponen pengobatan tradisional yang seringkali tertukar dengan istilah pengobatan alternatif atau pengobatan komplementer (Complementary and Alternative Medicine = CAM). Istilah Traditional Medicine atau obat tradisional telah digunakan oleh WHO (Badan Kesehatan Dunia), sedangkan istilah CAM digunakan di Amerika Serikat. Akupuntur, refleksiologi dan tehnik pengobatan lain termasuk dalam CAM (Darmansjah, 2001). Obat herbal telah diterima secara luas di negara berkembang dan di negara maju. Menurut WHO, hingga 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal. Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat. Adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu seperti kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. WHO merekomendasikan pengobatan tradisional (termasuk obat herbal) dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker (Iskandar, 2004). Indonesia adalah negara terbesar kedua setelah Brazil dalam hal kekayaan keaneragaman hayati dan merupakan negara terbesar pertama apabila biota laut diperhitungkan. Dari sekitar 30ribu jenis tumbuhan yang ada di Indonesia tersebut, lebih dari 1000 jenis dimanfaatkan untuk pengobatan. Oleh karena itu sebenarnya Indonesia sangat kaya akan bahan obat yang berasal dari alam. Tumbuhan obat tersebut sudah sejak lama dimanfaatkan masyakarakat kita dalam upaya penyembuhan dan pencegahan penyakit, peningkatan daya tahan tubuh serta mengembalikan kesegaran atau kekuatan tubuh (Anonim-a, 2000) Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Terbuktidari adanya berbagai naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak Pabbura (Sulawesi selatan), dokumen serat primbon jampi, serat racikan boreh Wulang Ndalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Sukandar, 2004) Setiap suku bangsa (Etnis) di Indonesia memiliki banyak sekali ramuan khas obat Tradisional/ Obat Asli Indonesia yang dikenal sebagai jamu. Sebagian besar ramuan tersebut diproduksi dan dipasarkan oleh industri Obat Tradisional yang digunakan dalam swa medikasi (Self Medication). Para peneliti di perguruan tinggi, lembaga penelitian maupun industri telah melakukan penelitian tentang khasiat Obat Tradisional/ Obat Asli Indonesia tersebut. Akan tetapi karena hasil penelitian tersebut kebanyakan masih berupa makalah atau kertas kerja dan belum merupakan satu kesatuan informasi yang lengkap tentang tumbuhan atau ramuan Obat Asli Indonesia, masyarakat dan profesi kesehatan masih sering menemui kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang khasiat, kegunaan, keamanan dan cara penggunaan suatu jenis tumbuhan atau ramuan Obat Asli Indonesia secara utuh (Anonim-a, 2000).

DEFINISI WHO memberikan beberapa definisi berkaitan dengan obat Herbal diantaranya : Herbal Medicinal product, herbal drugs dan herbal drug preparation. Herbal drugs adalah tumbuhan atau bagian tumbuhan yang belum mengalami proses lebih lanjut. Herbal drug preparation atau sediaan obat herbal adalah rajangan, serbuk, ekstrak (termasuk ekstrak murni), tingtur, minyak lemak, minyak atsiri, resin atau gom tumbuhan obat. Herbal medicinal product atau produk obat herbal merupakan suatu produk yang memiliki komponen aktif herbal drugs atau herbal drug preparations (Keller, 1999). Di Inggris, dikenal istilah herbal remedy yang mengacu pada nama sediaan herbal yang diperdagangkan, sedangkan istilah herbal ingredients menunjukkan komposisi tumbuhan obat yang ada dalam produk tersebut. Istilah herbal constituent digunakan untuk menunjukkan konstituen/ kandungan kimia spesifik di dalam tumbuhan obat tersebut. Sebagai contoh, Valerian tablet adalah suatu herbal remedy, berisi tumbuhan Valerian sebagai herbal ingredient dan valtrate sebagai herbal constituent valerian (Newall et al., 1996). Contoh produk dalam negeri adalah tablet Curcuma (SOHO). Tablet Curcuma adalah herbal remedy, temulawak ( Curcuma xanthorrhyza) adalah herbal ingredient, serta curcumin sebagai herbal constituent. Di negara-negara ASEAN dikenal definisi Herbal Medicine for Primary Health Care yakni : sediaan galenik dan atau sediaan yang berasal dari bahan tumbuhan yang tervalidasi secara ilmiah melalui berbagai uji klinik atau diketahui aman dan efektif berdasarkan pengalaman (Anonim, 1993) Di Indonesia, secara umum obat herbal dapat dibagi menjadi 2 kelompok (Sukandar, 2004; Sinaga, 2004; Handayani dan Suharmiati, 2002) yakni : 1. Jamu (Empirical based herbal medicine) Di dalam Permenkes RI No. 246/Per/V/1990 dan Undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan terdapat definisi obat tradisional, yakni bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sedian galenik atau campuran dari bahanbahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Di Indonesia, istilah obat tradisional lebih mengacu kepada jamu. Menurut Sidik (1994) jamu memiliki beberapa karakter yakni : a) berkaitan erat dengan masyarakat dan kultur setempat; b) tidak memiliki standard bahan baku, formulasi, produksi dan kontrol kualitas; c) menggunakan bahan tanaman yang tumbuh di lingkungan sekitar; d) digunakan secara turun-temurun (Vantomme et al, 2002). Secara farmakologi, khasiat jamu hanya berdasarkan pengalaman empirik dan belum memiliki landasan ilmiah sehingga klaim khasiat tidak boleh menggunakan istilah seperti : analgesik, diuretik, hipertensi, dan lain sebagainya. Bahan baku jamu adalah simplisia : yakni bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengejahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Pada umumnya yang dimaksud dengan simplisia adalah simplisia nabati yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau exudat tanaman. Exudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni (anonim-a, 1990). Sebagian besar jamu mengandung lebih dari 5 macam simplisia. Bentuk sediaan jamu biasanya berupa rajangan atau serbuk untuk direbus atau diseduh. Bentuk sediaan medicinal tea atau teh obat termasuk jamu. Pembuatan teh obat dilakukan dengan cara menuangkan air mendidih ke simplisia, diamkan 5-10 menit dan disaring (anonim-a, 2000). Contoh teh obat klasik adalah wedang polo, sedangkan teh obat modern misalnya slimming tea (Mutika Ratu). Di luar negeri, teh obat diberi nama berdasarkan

simplisia/ tumbuhan obat yang digunakan. Misalnya : fennel tea (dari fennel = adas) (Schulz et al, 1998) 2. Ekstrak terstandar (Scientific based herbal medicine) Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Sebagai cairan penyari digunakan air, eter, etanol atau campuran etanol dan air (Anonim-a, 2000). Dalam literatur lain disebutkan definisi ekstrak, yakni sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim-b, 1995). Ekstrak terstandar sering disebut sebagai sediaan galenika. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan agar bahan sesedikit mungkin terkena panas. Ekstrk cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masingmasing monografi tiap mL ekstrak mengandung senyawa aktif dari lig simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening diendaptuangkan (dekantasi) (Anonim-b, 2000) Memasuki abad ke-21 sebagai era globalisasi, perkembangan tehnologi dan bentuk pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia dalam pelayanan kesehatan sudah mengenal serta menggunakan konsep ekstrak. Iptek kefarmasian telh berkembang pula dalam bidang ekstraksi, analisis dan teknologi proses sehingga dapat menerima ekstrak sebagai bahan yang dapat dipertanggungjawabkan mutu dan keajegan kandungan kimianya. Inilah yang disebut sebagai paradigma ekstrak terstandard, baik sebagai bahan baku, bahan antara maupun produk. Kemajuan biologi molekuler, kultur sel serta biomedik lainnya telah dikembangkan untuk menguji respon biologis hingga respon klinis terapi dengan ekstrak sebagai model multi komponen (Anonim-b, 2000). Contoh ekstrak terstandar misalnya : ekstrak ginseng G115. 3. Fitofarmaka (clinica based herbal medicine) Dulu, fitofarmaka dikenal sebagai obat kelompok fitoterapi (Anonim, 1985). Di dalam Permenkes No. 760/Menkes/Per/IX/1992 terdapat definisi fitofarmaka, yakni sediaan obat dan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku. Bentuk sediaan fitofarmaka merupakan bentuk sediaan farmasi pada umumnya seperti : serbuk, pil, kapsul, tablet, sirup, sediaan dispersi (suspensi, emulsi), salep, krim, linimen dan supositoria sehingga persyaratan sediaan farmasi pada umumnya juga berlaku pada fitofarmaka. Menurut peraturan, komposisi fitofarmaka hendaknya terdiri dari satu simplisia atau sediaan galenik. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, komposisinya tidak lebih dari 5 macam simplisia atau sediaan galenik. Dalam fitofarmaka, sediaan obat dibuat dari sediaan galenik yang sudah dibakukan mulai bahan baku, ekstrak total, ekstrak murni sampai ekstrak fraksinasi dengan menggunakan prosedur pembuatan yang dibakukan (Yuliani, 2001). Secara farmakologi, kasiat fitofarmaka berdasarkan data klinik sehingga klaim khasiat boleh menggunakan istilah medis seperti obat hasil sintesis kimia. Contoh fitofarmaka misalnya Xgra dan Tensigard (Phapros)

PENGEMBANGAN OBAT BARU Sebelum dapat digunakan untuk pengobatan, setiap calon obat harus lolos serangkaian uji yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan oleh badan pemberi ijin. Hal ini berlaku baik terhadap obat hasil sintesis kimia maupun obat herbal yang berasal dari alam. Berbagai uji tersebut, yakni : (Zunilda dkk, 1995; Machin, 1992; Anonim, 1985) : 1. Penapisan Biologi (Biological screening) Penguian ini dilakukan secara in vitro dan in vivo dengan menggunakan model hewan coba untuk mengetahui efek farmakologi calon obat, misalnya : analgesik, antihipertensi, anti kanker dan lain sebagainya. Uji ini sering disebut sebagai uji farmakologi eksperimental. 2. Pengujian Toksisitas, meliputi : uji toksisitas akut, sub akut, kronik, dan khusus. Uji toksisitas merupakan persyaratan formal keamanan calon obat untuk pemakaian pada manusia. Uji ini dilakukan terhadap 3 spesies hewan (2 rodent dan 1 non rodent). Untuk mengetahui toksisitas (potensi keracunan) calon obat. Di akhir pengujian, hewan coba dibunuh dan diperiksa patologi organ dan jaringan seperti, hati, jantung, paru dam lain sebagainya. Uji penapisan biologi dan uji toksisitas disebut juga uji pra klinik. Uji toksisitas meruakan cara potensial untuk mengevaluasi : Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis. Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas) Pertumbuhan tumor (onkogenisitas dan karsinogenisitas) Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas (Sukandar, 2004) 3. Pengujian klinik pada manusia, yang terbagi menjadi empat fase, yaitu : Fase 1 : Calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan coba juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. : Calon obat diuji pada pasien terbatas tanpa kelompok kontrol.

Fase II awal

Fase II akhir : Calon obat diuji pada pasien terbatas dengan kontrol serta persyaratanpersyaratan yang ketat (Explanatory trials). Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan. Fase III : Merupakan uji klinik formal dan defiatif yang melibatkan pasien dalam jumlah besar. Obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. : merupakan uji pasca pemasaran (post marketed test) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras. Uji ini dilakukan dalam jangka waktu yang lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah penggunaan hasil studi fase IV dievaluasi, masih memunkinkan untuk obat ditarik dari peredaran jika membahayakan kesehatan.

Fase IV

Keputusan untuk mengetahui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), di Amerika Serikat oleh Food and Drug Administration (FDA), di Eropa oleh European Agency for the Evaluation of Medicinal Product (EMEA), dan lain sebagainya. Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut,

industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji pra klinik dan uji klinik dengan bentuk produknya dan indikasi yang diajukan. Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada, merubah dosis atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan indikasi yang sudah ada; harus di daftarkan ke badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi (Sukandar, 2004) ASPEK KUALITAS Kualitas suatu obat herbal sangat tergantung pada komponen utamanya yang dapat berupa simplisia nabati atau ekstrak. Komponen utama tersebut merupakan campuran multi komponen yang kompleks. Seringkali komponen yang bertanggung jawab terhadap aktivasi farmakologi (dalam hal ini kemanjuran) suatu obat herbal tidak diketahui secara pasti atau hanya dapat dijelaskan sebagian sehingga tidaklah mudah mengontrol kualitasnya secara pasti seperti halnya bahan obat hasil sintesis kimia (Newall et al, 1996). Namun demikian, mengontrol kualitas bahan baku (simplisia) adalah langkah awal yang baik untuk menjamin kualitas obat herbal. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas simplisia adalah sebagai berikut : 1. Otentisitas dan Reproduksibilitas Pada saat pembuatan simplisia sangatlah mungkin untuk tercemar oleh tumbuhan lain yang berhubungan dengan tumbuhan bahan simplisia. Otentisitas (keaslian)simplisia harus ditentukan secara pasti; tidak hanya identitas botani tetapi juga reprodusibilitas dari batch ke batch. Identitas botani ditetapkan dengan uji makroskoppis dan mikroskopis simplisia. Hasil pengujian dapat dibandingkan dengan baku pembanding (simplisia standard) 2. Bagian tumbuhan yang digunakan 3. Lingkungan

Vous aimerez peut-être aussi