Vous êtes sur la page 1sur 6

AQIDAH ULAMA SALAF

a. Pendahuluan

Aqidah adalah pokok ajaran Islam, layaknya sebuah bangunan yang membutuhkan
pondasi maka aqidah bagaikan pondasi agama ini. Aqidah inilah yang senantiasa ditanamkan
oleh Rasulullah kepada para sahabatnya sebelum ajaran-ajaran yang lainnya. Salah seorang
sahabat mengatakan:
َ َ َ َ ‫كُنَا ونحن فتيان حزاورة ٌ تعل َّمنا اْليمان قَب‬
‫ن‬ ْ ّ ‫ما تَعَل‬
َ ‫منَا القرءا‬ َّ َ ‫ن فَل‬
َ ‫القرءَا‬ َ ّ ‫ن نَتَعَل‬
‫م‬ ْ ‫لأ‬ ْ َ َ ِْ َ ْ ََ َِ َ َ ُ َْ ِ ُ ْ ََ ّ
‫مانًا‬
َ ْ ‫اْزدَدْنَا بِهِ إِي‬
“Ketika kami masih belia (usia menjelang baligh), kami belajar keimanan sebelum belajar al
Qur’an, ketika kami belajar al Qur’an semakin menambah keimanan kami”. (HR. Ibn
Hibban)

Karenanya, masalah prinsip ini hendaklah kita pahami dengan benar. Kesalahan dalam
memahami aqidah berdampak sangat fatal. Fenomena yang belakangan banyak mendapat
respon dari berbagai kalangan yaitu tentang aliran Ahmadiyah, pada prinsipnya mereka telah
menyalahi aqidah Islam. Apapun alasannya, tidaklah dapat dibenarkan keyakinan yang
membolehkan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad karena al Qur’an telah mengatakan:

‫ن‬
َ ْ ‫م النَبِيِّي‬
َ َ ‫خات‬
َ ‫سوْل اللهِ َو‬
ُ ‫ولكن َر‬
“Dan akan tetapi dia (Muhammad) adalah utusan Allah dan penutup para Nabi” (QS. Al
Ahzab: 40)

Rasulullah juga bersabda:

َ ْ‫م بِي النَّبِيُّو‬


‫ن‬ َ ِ ‫خت‬
ُ ‫َو‬
“Dan ditutup denganku para nabi” (HR. Muslim)

Mereka yang menyalahi dasar-dasar aqidah maka telah menyimpang dari ajaran Islam yang
benar dan mereka yang menyimpang dari Islam bagaimana mungkin menganggap diri
mereka muslim.

Karena pentingnya masalah Aqidah ini maka hendaknya kita berikan


perhatian yang lebih dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lainnya. Kaidah
agama mengatakan: “Kemulyaan sebuah ilmu dipandang dari sudut
pembahasannya”. Dan pembahasan ilmu Aqidah berkenaan tentang ma’rifah
kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak ada yang lebih mulia dibandingkan Allah dan
Rasul-Nya. Karenanya ilmu Aqidah lebih mulia dibandingkan ilmu-ilmu lainnya.

1
b. Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah

Untuk memahami Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah maka hendaknya kita merujuk
pada ayat muhkamat (ayat yang jelas maknanya). Banyak sekali ayat-ayat muhkamat yang
bisa kita jadikan rujukan di antaranya adalah firman Allah ta’ala:

ٌ‫يء‬
ْ ‫ش‬ ِ َ‫س ك‬
َ ِ‫مثْلِه‬ َ ْ ‫لي‬
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuataupun dari makhluk-Nya” (QS. Syura: 11)

Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama
sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak ada makna lain dari ayat tersebut, semua ulama
sepakat bahwa artinya adalah tanzih (mensucikan Allah dari penyerupaan terhadap makhluk-
Nya). Bahkan golongan Wahhabiyah juga tidak dapat mengalihkan makna ayat di atas kepada
makna lain. Karenanya, apapun yang ada pada makhluk-Nya maka Allah tidak dapat disifati
dengannya. Makhluk-Nya bertempat maka Allah tidak bertempat, makhluk-Nya berarah
maka Allah tidak berarah, begitu juga dengan sifat-sifat makhluk yang lainnya tidak boleh
Allah disifati dengannya. Karenanya Aqidah Ahlussunnah mengatakan Allah ada tanpa
tempat dan tanpa arah serta tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Inilah
di antara dasar Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang belakangan terkenal dengan sebutan
Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Rasulullah bersabda:

ُ‫ي ٌء غَيُْره‬ َ ‫ن‬


ْ ‫ش‬ ْ َ ‫ه وَل‬
ْ ُ ‫م يَك‬ َ ‫كَا‬
ُ ‫ن الل‬
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selainnya”
(HR. al Bukhari, al Bayhaqy dan Ibn al Jarud)

Dapat kita pahami dari hadits di atas bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin,
cahaya, kegelapan, ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar), langit, manusia, jin, malaikat,
waktu, tempat dan arah. Berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak
membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa
tempat dan arah, karena berubah adalah tanda yang menunjukkan bahwa sesuatu itu baru.
Inilah di antara pokok Aqidah Ahlussunnah yang wajib kita pahami.

c. Siapakah Ahlussunnah wal Jama’ah?

Mayoritas umat ini berada pada yang benar, mayoritas umat ini beraqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah. Rasulullah bersabda:
َ ْ
ِ ‫ن فِي النَّارِ َووَا‬
‫حدَة ٌ فِي‬ َ ْ‫سبْعُو‬
َ َ‫ن و‬
ِ ‫ ثِنْتَا‬,‫ن‬
َ ْ ‫سبْعِي‬ ٍ َ ‫ى ثَل‬
َ َ‫ث و‬ َ ‫ستَفْتَرِقُ عَل‬
َ ‫ة‬َ ّ ‫مل‬
ِ ‫ن هَذِهِ ال‬َّ ِ ‫وَإ‬
‫ة‬
ُ َ‫ماع‬
َ ‫ج‬َ ‫ي اْل‬
َ ِ‫جنَّةِ وَه‬َ ‫ال‬
“Dan sesungguhnya agama Islam ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72
golongan masuk neraka dan hanya satu golongan yang selamat yaitu mayoritas umat”

Hadits di atas menyebutkan bahwa golonga yang selamat adalah al Jama’ah. Para
ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan al Jama’ah adalah mayoritas umat.
Artinya 72 golongan yang dikatakan Rasul masuk neraka apabila dibandingkan dengan
golongan yang selamat, maka golongan yang satu ini lebih banyak dari pada 72 golongan
tersebut. Golongan yang selamat adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Siapakah Ahlussunnah
yang dimaksud?.

Al Hafizh Murtadha al Zabidi seorang ulama madzhab Hanafi mengatakan: “Apabila


disebut Ahlussunnah wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asya’irah (pengikut al
Imam al Asy’ari) dan al Maturidiyah (pengikut al Imam al Maturidi). Al Khayali mengatakan
dalam Hasyiyahnya terhadap kitab Syar al Aqaid: “al Asya’irah adalah Ahlussunnah wal
Jama’ah ini adalah pendapat yang masyhur di negara Mesir, Maroko, Al Jazair, Pakistan,
India, Iraq, Siria, Lebanon, Yordania, Palestina dan penjuru negara lainnya, adapun di negara
pecahan Uni Soviet seperti Kazakstan, Usbekistan, Turkemenistan, Chechnya, Bosnia dan
negara-negara di sekitarnya Ahlussunnah di sana adalah pengikut al Maturidiyah.”1

Al Imam Taj al Din al Subki dalam kitab Thabaqatnya menyebutkan dalil yang
digunakan oleh ulama-ulama kita dari hadits shahih yang menyebutkan bahwa Abu al Hasan
dan golongannya sesuai dengan ajaran sunnah Rasulullah dan jalan mereka adalah jalan
surga.2 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al Imam al Bukhari bahwasanya Rasulullah
mengatakan:
ْ
ُ َ ‫حبُّوْن‬
‫ه‬ ْ ُ‫حبُّه‬
ِ ُ ‫م وَي‬ ِ ُ ‫ه بِقَوْم ٍ ي‬ َ َ‫ف‬
َ ْ‫سو‬
ُ ‫ف يَأتِي الل‬
Ketika turun ayat ini Rasulullah menunjuk kepada Abu Musa al Asy’ari beliau
mengatakan: “Mereka adalah kaumnya ini”.
al Hafizh al Baihaqy mengatakan bahwa sabda Rasul di atas sengaja ditujukan kepada
kaumnya Abu musa bahwa mereka adalah kaum yang dicintai Allah dan mereka mencintai
Allah dikarenakan Rasulullah mengetahui kebenaran iman mereka dan keteguhan keyakinan
mereka dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam masalah aqidah sesuai dengan al
Qur’an dan Sunnah.

Jadi jelas, bahwa Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah golongan Ahlussunnah wal
Jama’ah. Tidak sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian kelompok bahwa Asy’ariyah
dan Maturidiyah adalah golongan sesat. Adakah pendapat ulama salaf yang menyebutkan
bahwa mereka (Asy’ariyah dan Maturidiyah) adalah golongan sesat?!.

d. Aqidah Ahlussunnah Adalah Aqidah Ulama Salaf

Istilah salaf adalah sebutan bagi mereka yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah.
1 Murtadha al Zabidi, Ithaf al Sadah al Muttaqin, (Beirut: Dar al Fikr), juz 2, hal. 6-
7
2 Taj al Din al Subki, Thabaqat al Syafi’iyyah, (Beirut: Dar al Ma’rifah), juz 3 hal. 36

3
Tiga abad pertama tersebut adalah sebaik-baik abad dan umat Islam yang hidup pada masa
tersebut secara global adalah sebaik-baik umat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
َ َ ُ َ َ ُ
ْ ُ‫ن يَلُوْنَه‬
‫م‬ َ ْ ‫م ال ّذِي‬ ْ ُ‫ن يَلُوْنَه‬
ّ ‫مث‬ َ ْ ‫م ال ّذِي‬
ّ ‫ن قَْرنِي ث‬
ِ ‫رو‬
ْ ُ ُ‫خيُْر الق‬
َ
“Sebaik-baik abad adalah abdku kemudian abad mereka yang datang setelahnya kemudian
abad mereka yang datang setelanya”3
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa para ulama
yang hidup pada tiga abad pertama adalah sebaik-baik ulama. Karenanya dalam masalah
agama kita banyak merujuk pada mereka. Baik dalam masalah Aqidah maupun dalam
masalah Fiqih. Karena di samping menguasai sumber-sumber ajaran Aqidah mereka juga
sebagai rujukan dalam masalah Fiqih. Sebut saja al Imam Abu Hanifah (80-150H) seorang
mujtahid pendiri madzhab juga banyak menulis kitab yang membahas masalah Aqidah, di
antaranya al Fiqh al Akbar, al Fiqh al Absat, al Washiyah, al ‘Alim wa Muta’allim, al Risalah
dan Khamsah Rasail fi al Aqidah.4

Al Imam Abu manshur al Maturidi (W 333H), salah satu Imam Ahlussunnah wal
Jama’ah. Beliau di samping terkenal keilmuannya dalam masalah Aqidah beliau juga belajar
ilmu fiqh Madzhab Hanafi. Beliau belajar kepada Abu Nashr al ‘Iyadhi dan Abu Bakr al
Juzjani, keduanya adalah murid Abu Sulaiman al Juzjani. Abu Sulaiman al Juzjani adalah
murid dari Abu Yusuf al Qadhi dan Muhammad al Syaibani, keduanya adalah murid al Imam
Abu Hanifah. Karenanya kitab-kitab yang menulis biografi al Imam al Maturidi menyebutkan
bahwa beliau bermadzhab Hanafy.5 Permasalahan-permasalahan Aqidah yang terdapat dalam
karya al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dan al Imam Abu Manshur al Maturidy diambil dari
pokok-pokok Aqidah para Imam madzhab. Al Asy’ari banyak merujuk pada madzhab al
Imam Malik dan al Imam al Syafi’i, sedangkan al Maturidi banyak merujuk pada nash-nash
madzhab Abu Hanifah.6

Al Imam Abu Ja’far al Thahawi (227- 321H) penulis al Aqidah al Thahawiyah pernah
belajar fiqih pada al Imam al Muzani salah seorang murid al Imam Syafi’i. Kemudian setelah
itu belajar madzhab Hanafi pada Abu Ja’far Ahmad ibn Abi ‘Imran, karena beliau
menyebutkan dalam muqaddimah kitab al Aqidah al Thahawiyah: “Ini adalah penjelasan
Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah berdasarkan madzhab ulama fiqih: Abu Hanifah al Nu’man
ibn Tsabit al Kufi7, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim al Anshari8 dan Abu Abdillah Muhammad
ibn al Hasan al Syaibany”9.

3 Hadits tersebut diriwayatkan oleh al Imam al Tirmidzi dalam kitab Sunannya,


Kitab al Fitan – Bab Tentang Abad ke Tiga-.
4 Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, (Beirut: Dar al Masyari’), h. 22
5 Jam’un min al Ulama, Al Jawhar al Tsamin, (Beirut: Dar al Masyari’), h. 212-213
6 Murtadha al Zabidi, Ithaf al Sadah al Muttaqin, (Beirut: Dar al Fikr), juz 2, hal.
13
7 Seorang Imam Mujtahid pendiri madzhab Hanafi lahir 80 H dan wafat pada 150
H dan dimakamkan di Baghdad.
8 Seorang Mujtahid dan Kadi, beliau adalah salah seorang murid Abu Hanifah
yang paling cerdas. Lahir pada 113 H dan wafat pada 182 H.
9 Seorang Imam Mujtahid, murid sekaligus teman Abu Hanifah. Beliau mengarang
banyak kitab. Lahir pada 135 H dan wafat pada 189 H.
Penyebutan nama tiga ulama madzhab pada muqaddimah kitabnya dimaksudkan
bahwa dalam menjelaskan aqidah Ahlussunnah beliau mengikuti metode yang telah digagas
oleh tiga ulama madzahb tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa al Imam Abu Ja’far hanya
ingin menyebutkan aqidah ulama madzhab Hanafi saja, akan tetapi beliau dengan tegas
mengatakan bahwa aqidah yang beliau tulis adalah Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara
keseluruhan. Terbukti bahwa Aqidah Thahawiyah dipelajari dan diajarkan oleh para ulama
Ahlussunnah dari generasi ke generasi. Sebut saja hampir 20 ulama Ahlussunnah yang
menulis syarah dari kitab tersebut.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa para ulama salaf disamping mereka


mendalami masalah Aqidah merekapun juga mengikuti salah satu madzhab fiqh yang ada.
Bahkan dua Imam besar yang menjadi pendiri Asy’ariyah dan Maturidiyah tidak terlepas dari
nash-nash ulama madzhab fiqh.

e. Penutup

Apa yang telah penulis paparkan di atas adalah Aqidah para ulama salaf, itulah aqidah
Ahlussunnah yang sesungguhnya. Merekapun juga bermadzhab sebagaimana kita umat Islam
Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i. Karenanya, kita dapat menilai siapakah salafi
(mereka yang mengikuti ajaran para ulama salaf) yang sesungguhnya?, bukan sekedar klaim
tapi pada dasarnya mereka menyalahi ajaran ulama salaf. Apalagi berkeyakinan bahwa
mengikuti salah satu madzhab termasuk kufur.10 Bagaimana mungkin seseorang yang
memahami agama Islam secara terbatas harus berijtihad sendiri dalam masalah ibadahnya?!.
Padahal para ulama sekaliber al Imam al Ghozali, al Bayhaqy, Ibn Hajar al Asqalani dan al
Suyuthi semua menyebutkan bahwa mereka menganut madzhab Syafi’i. Bukankah tidak
semua sahabat Nabi dapat berijtihad?, kalau seandainya semuanya berijtihad pasti mereka
tidak akan bertanya kepada sahabat lainnya. Apabila itu yang terjadi pada para sahabat dan
ulama-ulama salaf, bagaimana dengan tukang becak, sopir angkot, kuli bangunan, buruh
rumah tangga, dan lain-lain, akankah mereka berijtihad sendiri dan diharamkan
bermadzhab?!. Sungguh picik pemikiran mereka yang menganggap bermadzhab adalah
perbuatan dosa. Maka selayaknya sebutan salafi yang selama ini mereka dengungkan
berganti dengan sebutan talafi (golongan perusak).

Semoga kita diperteguhkan oleh Allah dalam Aqidah Rasul-Nya, Aqidah Ahlussunnah
wal Jama’ah. Amin.

Untuk konfirmasi: zainulmuflihin@yahoo.co.id

10 Lihat Muhammad Sulthan al Ma’shumi al Makky, Hal al Muslim Mulzamun bit


Tiba’i Madzhabin Mu’ayyanin min al Madzahib al Arba’ah, h. 6 dia sebutkan bahwa orang
yang bermadzhab harus disuruh bertaubat kalau tidak mau bertaubat maka dibunuh,
dan 11 dia mengatakan: Apabila ditelusuri dengan benar permasalahan madzhab maka
sesungguhnya madzhab tersebut berkembang dan menyebar karena bantuan musuh
Islam.

Vous aimerez peut-être aussi