Vous êtes sur la page 1sur 29

HEPATITIS KRONIK

Definisi : adalah hepatitis yang berlangsung lebih dari 6 bulan Artinya dalam kurun waktu 6 bulan kelainan fisik dan biokimiawi belum kembali normal. Diagnosis : diagnosis pasti Hepatitis Kronik (HK) hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi. Namun adanya hepatitis kronik dapat dikenali secara klinik. Anamnestik keluhan utamanya adalah lemah badan, mual, nafsu makan menurun, rasa tidak enak pada perut kanan atas. Banyak penderita yang tidak menunjukkan keluhan (asimptomatis). Kelainan fisik dapat berupa hepatomegali, splenomegali (jarang), icterus. Pada pemeriksaan laboratorik kelainan yang sering adalah kenaikan enzim transaminase . Disamping itu sering dijumpai sero-marker virus hepatitis misalnya HBsAg atau anti HCV. Pemeriksaan USG dapat membantu diagnosis yaitu dengan gambaran sonografi penyakit hati kronik. Tetapi tidak jarang didapatkan kasus HK secara histologik meskipun tidak didapatkan kelainan USG yang khas.

Klasifikasi Hepatitis Kronik berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Pembagian secara klasik dibagi menjadi : I . Hepatitis Kronik Persisten (HKP) II . Hepatitis Kronik Aktif (HKA) Pembagian terbaru ditambahkan III. Hepatitis Kronik Lobular (HKL). Hepatitis Kronik Persisten (HKP) ditandai adanya peradangan yang terbatas di daerah segi tiga portal tanpa adanya peradangan periportal maupun nekrosis. Hepatitis kronik Aktif (HKA) ditandai dengan adanya peradangan, nekrosis dan fibrosis Hepatitis Kronik Lobularis (HKL) ditandai adanya nekrosis dan peradangan minimal diluar segi tiga portal yang bersifat fokal. HKP mempunyai prognosis yang baik, sedang HKA cenderung untuk menjadi cirrhosis hepatis. Pembagian HK menjadi tiga kelompok lebih sesuai untuk evaluasi penderita dengan penyakit hati auto imun, dan pembagian HK secara klasik lebih sesuai untuk evaluasi penderita Hepatitis Kronik akibat Hepatitis virus B dan Hepatitis virus C.

Infeksi Virus Hepatitis B Kronik


Definisi : bila pada seorang individu didapatkan HBsAg positif selama 6 bulan maka dikatakan individu tersebut menderita infeksi virus hepatitis B kronik. Definisi ini didasarkan atas fakta bahwa pada Hepatitis B akut HBsAg paling lama positif selama 6 bulan (Nielson, 1971) Faktor resiko terpenting untuk terjadinya infeksi HBV kronik adalah umur penderita pada waktu terkena infeksi. Bila infeksi terjadi pada waktu neonatus maka 90% bayi tersebut akan mengalami infeksi kronik. Bila infeksi terjadi pada umur 1-5 tahun maka infeksi kronik akan terjadi pada 25-50%. Sedangkan kronisitas hanya terjadi pada 5-10% individu yang terkena infeksi pada usia dewasa (Mc Mahon, 1985).

Gambaran histologi : Gambaran histologi hepatitis B kronik sama dengan hepatitis kronik pada umumnya. Untuk menilai derajad keparahan penyakit harus dilihat tingkat replikasi virus. Secara histologik tingkat replikasi HBV dapat dilihat dari banyaknya partikel HBcAg dalam jaringan hati. Karena itu pengecatan immunohistokimia untuk melihat HBcAg dalam jaringan hati penting artinya. HBcAg dapat dilihat dalam inti sel hati.

HBsAg Healthy Carrier = Pengidap HBsAg Sehat. Definisi : adalah individu yang HBsAg positif yang tidak menunjukkan keluhan dan gejala penyakit hati, serta test fungsi liver yang normal. Sebagian dari pengidap HBsAg sehat pada biopsi hati menunjukkan kelainan hati (Sherlock dan Dooley,1997). Gambaran histologik pengidap HBsAg sehat tampak adanya jaringan hati yang relatif sehat dengan kerusakan minimal, dan sering tampak sel2 dengan gambaran ground glass (Hadziyannis et.al, 1973). Sel2 tersebut ternyata banyak mengandung partikel HBsAg dalam sitoplasmanya. Partikel HBsAg tersebut dapat dilihat dengan pengecatan ORCEIN atau VICTORIA BLUE.

EPIDEMIOLOGI. Infeksi hepatitis B kronik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang diseluruh dunia. Di Amerika dan Eropa 15-25% dari penderita infeksi hepatitis B kronik akan meninggal karena sirosis atau hepatoma. Penelitian di Taiwan pria Cina dengan HBsAg positif antara 40-50% ( Beasley, 1982) WHO membagi daerah menurut tingginya prevalensi infeksi HBV, menjadi 3 kelompok : daerah dengan prevalensi tinggi, sedang dan rendah ( Kane et al,1990). Daerah dengan endemisitas tinggi : penularan utama terjadi pada masa perinatal dan masa anak2. Batas terendah frekwensi HBsAg 10-15%. Daerah2 tersebut : Afrika, Asia timur, India, Cina, pulau2 dilautan Pacifik lembah Amazone, pesisir artik, sebagian negara2 timur tengah dan Asia kecil serta kepulauan Karibia.

Daerah endemis sedang : penularan pada masa perinatal dan masa anak2 jarang. Frekwensi HBsAg dalam populasi 2-10%. Daerah2 tersebut antara lain : Eropa Selatan, Eropa Timur, sebagian Rusia, sebagian negara Timur Tengah, Asia Barat sampai India, Jepang, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Daerah endemisitas rendah : Frekwensi HBsAg dalam populasi kurang dari 2%. Penularan utama terjadi pada masa dewasa, penularan pada masa perinatal dan masa anak2 sangat jarang. Daerah-daerah endemisitas tersebut : Amerika Utara, Eropa Barat, sebagian Rusia, Amerika Selatan, Australia dan Selandia Baru.

Cara Penularan Infeksi HBV : - penularan melalui kulit : melalui tusukan yang jelas misalnya : suntikan, transfusi darah atau produk dari darah, tatoo dll. : melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, mi salnya melalui goresan atau abrasi kulit, peradangan kulit dll. - penularan melalui selaput lendir : selaput lendir mulut, mata, hidung saluran makan bagian bawah dan selaput lendir genitalia. - penularan perinatal : dari ibu hamil yang mengidap infeksi HBV ke pada bayi yang dilahirkannya. - penularan infeksi HBV vertikal : dari ibu hamil HBsAg positif kepada bayi yang dikandungnya, dapat terjadi sebelum kelahiran atau prena tal (in utero), selama persalinan (perinatal) atau setelah persalinan (post natal)

Gejala dan perjalanan klinik (Natural History) infeksi HBV kronik. Sebagian besar penderita infeksi HBV kronik tidak mengalami keluhan, keluhan2 yang kadang2 ada misalnya lemah, lelah, anoreksia. Ada tiga fase perjalanan klinik infeksi HBV kronik, yaitu : 1. Fase immune tolerance 2. Fase immune clearance 3. Fase residual HBV integration (sumber dari : Guan and YU, 1997 ; Chen, 1997)

1. Pada fase immune tolerance replikasi virus masih tinggi yang tampak dari tingginya titer HBsAg, HBeAg yang positif dan HBV DNA dalam titer yang tinggi, dengan parameter biokimia yang normal. Perubahan histologik minimal atau dalam bentuk Hepatitis Kronik Persisten. 2. Pada fase immune clearance replikasi virus menurun, titer HBsAg rendah HBeAg masih positif dan anti HBe bisa sudah positif atau masih negatif. Pemeriksaan biokimia menunjukkan gejala hepatitis, sedang histologik menunjukkan tanda2 Hepatitis Kronik Aktif. 3. Pada fase residual HBV integration sudah tidak ada tanda2 replikasi HBV. HBsAg positif titer rendah, HBeAg negatif, anti HBe positif. Biokimia normal atau bila ada berupa kadar albumin yang rendah. Histologik perubahan minimal atau sirosis. Bisa didapatkan hepatoma.

PENATALAKSANAAN INFEKSI HBV KRONIK. Tujuan terapi : 1. Mengurangi kemungkinan penularan HBV 2. Eradikasi HBV. 3. Mencegah sirosis dan hepatoma. 4. Menghilangkan keluhan dan gejala, perbaikan faal hati

Titik akhir yang ideal dalam eradikasi HBV adalah negatifnya HBV-DNA dengan pemeriksaan yang paling peka yaitu dengan PCR. Namun tujuan ini seringkali sulit dicapai, oleh karena itu titik akhir yang lebih realistis yaitu negatifnya HBV-DNA dengan metode hibridisasi. Hilangnya HBsAg secara spontan pada infeksi HBV akut menunjukkan kesembuhan dan prognosa yang baik. Tetapi hilangnya HBsAg secara spontan pada infeksi HBV kronik tidak selalu menunjukkan prognosa yang baik. Ini disebabkan pada penderita infeksi HBV kronik, dimana HBsAg sudah negatif masih mungkin masih ada viremia. Dan individu2 tersebut masih mungkin mengalami komplikasi. Untuk mereka masih diperlukan monitoring alfa fetoprotein dan USG untuk deteksi dini hepatoma (Huo et.al.1998; McMahon, 1998). Penatalaksanaan carrier HBV sehat : dilakukan follow-up setiap 6 bulan atau setiap tahun untuk memeriksa test fungsi hati. Bila kadar transaminase normal dilakukan kontrol 6 bulan lagi. Untuk diagnosis dini timbulnya hepatoma dianjurkan pemeriksaan alfa fetoprotein setiap tahun untuk carrier HBsAg sehat.

Beberapa pertimbangan pada pengelolaan HKB


1.

2.

Nilai HBV-DNA serum 105 copies/ml atau kira-kira 20.000 IU/ml merupakan batas terendah untuk permulaan terapi. Pertimbangannya adalah HBV-DNA di bawah nilai tersebut tidak berkorelasi dengan progresifitas penyakit atau batas aman untuk tidak berlanjut menjadi penyakit hati berat. Yang harus diperhatikan adalah HKB dengan anti HBe positif sering mempunyai nilai HBV-DNA yang berfluktuasi. Nilai ALT sebaiknya dua kali atau lebih di atas nilai normal. Bila ALT normal sedangkan HBV-DNA dan HBeAg positif, bisa kemungkinan : a. Masih berada pada fase imunotoleran sehingga tidak memerlukan terapi antivirus segera b. Berada pada fase imunoaktif, sehingga terapi anti viral harus diberikan.

Penatalaksanaan infeksi hepatitis B kronik. Ada tiga macam bentuk pengobatan terhadap infeksi HBV kronik : 1. Penggunaan obat2 yang mencegah proses replikasi virus, misalnya : interferon, acyclovir, ribavirin, phosponoformic acid (PFA), intercalating agent (quinacrine), adenine arabinoside, lamivudine Dari golongan ini yang digunakan interferon dan adenine arabinoside (Scullard GH et al, 1981, Smith CL et al, 1983) dan lamivudine. 2. Penggunaan obat2 immunomodulator, misalnya : plasmaparesis, hepatitis immune RNA, levamisole, Bacillus Calmette Guerrin, immunosupresif. Dari golongan ini yang digunakan dan berkhasiat baik : immune RNA immuno supresif (Hoffnagle JH, 1985) 3. Biological Response Modifiers : misalnya Thymosin alfa. INTERFERON (IFN). Interferon adalah suatu kelompok protein intraseluler yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi oleh beberapa macam sel. IFN Alfa diproduksi oleh limfosit-B, IFN Beta diproduksi oleh monosit fibroepitelial dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit- T. Produksi interferon dirangsang oleh berbagai macam stimuli terutama infeksi virus.

Khasiat Interferon : - anti viral - immunomodulator - anti fibrotik - antiproliferatif. IFN tidak memiliki khasiat antiviral langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat anti viral. Tujuan utama terapi interferon pada hepatitis kronis adalah menekan se cara permanen replikasi virus atau membasminya sehingga dapat mencapai keadaan remisi penyakitnya. Indikasi pemberian IFN umumnya diberikan pada stadium replikasi dari perjalanan hepatitis B kronik, yang ditandai dengan kenaikan transaminase, HBeAg dan HBV DNA serum yang positif selama observasi 6 bulan (Perillo RP, 1989)

Beberapa faktor yang dapat memperkirakan keberhasilan terapi hepatitis B kronik dengan IFN alfa : - kadar transaminase yang tinggi (> 100 IU/L) - kadar HBV DNA yang rendah (< 100 pg/ml) - penyakit belum lama - anamnestik pernah mengalami hepatitis akut - wanita - etnik non Asia - tak ada penyakit lain yang berat (gagal ginjal, immunodepresi, AIDS) (menurut Hoofnagle, 1995).

Efek Immunomodulasi dari IFN. IFN mempunyai efek mengekspresikan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel2 hepatosit yang terkena infeksi HBV yang biasanya juga mengekspresikan antigen sasaran (target antigen) dari HBV pada membran hepatosit. Side efek IFN : lemah, lesu, demam (sering menggigil), rambut rontok, depresi atau gangguan emosi. Sedangkan efek anti proliferatif dari IFN dapat menimbulkan lekopenia dan thrombocytopenia (Maddrey,1993). Pengobatan dihentikan/diturunkan dosisnya bila lekosit < 1000/mm3 dan thrombocyt < 50.000/mm3.

Dosis dan lama pemberian IFN : untuk Hepatitis B kronik IFN diberikan dengan dosis 5-10 juta Unit 3 kali seminggu selama 3-6 bulan. Keberhasilan terapi ditunjukkan dengan adanya ALT yang normal dan hilangnya HBeAg dan HBV-DNA. Hasil terapi IFN untuk Hepatitis B kronik masih jauh dari memuaskan. Diperkirakan bahwa hilangnya HBeAg dan HBV-DNA hanya sekitar 30-40% kasus yang diterapi, dan diperkirakan 10-15% responder akan mengalami reaktifasi. Pada penderita yang tidak diterapi penyembuhan spontan sekitar 10-15% (Liaw,1997).

Respon penderita hepatitis B kronik terhadap terapi IFN alfa. Berbagai macam respon hepatitis B kronik terhadap IFN alfa : a. Respon komplit : replikasi HBV ditekan, HBsAg menghilang, dan umumnya muncul anti-HBs. b. Respon tidak komplit : replikasi HBV berhasil ditekan, HBV-DNA ne gatif, HBeAg negatif, anti HBe positif tetapi HBsAg tetap positif. Hal ini terjadi pada kasus dimana telah terjadi integrasi HBV-DNA da lam DNA hepatosit. c. Tidak ada respon. Replikasi HBV tidak berhasil ditekan. Baik HBVDNA maupun HBeAg tetap positif.

Kelainan extrahepatik pada terapi hepatitis kronik B dengan IFN : dapat menyebabkan glomerulonephritis membranosa dan poliarteritis nodosa Kontraindikasi pemberian IFN : pada sirosis dekompensata, depresi. Pemberian IFN dapat mencegah hepatoma. Pada penelitian dengan pemberian IFN dosis 3 juta Unit setiap hari selama 10 hari, yang diulang dengan interval 12 minggu dapat mencegah hepatoma pada penderita sirosis dengan HBsAg positif. (Oon, 1997). Untuk meningkatkan angka keberhasilan terapi hepatitis B kronik dengan IFN, yaitu dengan meningkatkan lamanya pemberian IFN. Misal nya dari pemberian 10 juta unit 3 kali seminggu selama 16 minggu men jadi 32 minggu.

THYMOSIN ALFA I : Thymosin adalah suatu jenis sitokin yang dalam keadaan alami ada dalam ekstrak thymus. Sekarang sudah tersedia sediaan peroral dan parenteral. Efek obat ini dapat merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian obat ini pada penderita hepatitis B kronik dapat menurunkan replikasi HBV dan menurunkan kadar atau menghilangkan HBV-DNA. Keunggulan obat ini dibandingkan dengan IFN tidak adanya efek samping seperti pada IFN. Kombinasi dengan IFN akan meningkatkan efektifitas interferon (Gish dan Keefe, 1995: Guan dan Yu, 1997).

ANALOG NUKLEOSID : Nukleosid diperlukan untuk pembentukan RNA dalam proses replikasi virus. Analog nukleosid adalah suatu zat yang sangat mirip dengan nukleosid, sehingga kalau diberikan maka akan terjadi persaingan dengan nukleosid dengan akibat replikasi virus yang bersangkutan terganggu. Analog nukleosid yang diketahui dapat menghambat replikasi HBV adalah Lamivudin, Famciclovir dan Ganciclovir.

Terapi Lamivudin pada hepatitis B kronik : Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3 thiacytidine yang merupakan suatu analog nukleosid. Nukleosid berfungsi dalam pembentukan pregenom, sehingga analog nukleosid akan bersaing dengan nukleosid sesungguhnya.

Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam siklus replikasi HBV. Lamivudin mencegah adanya infeksi hepatosit yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel2 yang telah terinfeksi karena pada sel2 yang telah terinfeksi DNA ada dalam keadaan covalent closed circular (cccDNA). Karena itu setelah obat dihentikan maka titer HBV-DNA akan kembali lagi seperti semula karena sel2 yang telah terinfeksi akhirnya memproduksi virus lagi.

Efek farmakologis Lamivudin pada penderita hepatitis B kronik : - menurunkan kadar HBV-DNA - menurunkan kadar HBeAg dan HBsAg - serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe (8%) - perbaikan gambaran klinis (terutama penderita dengan sirosis), penurunan kadar SGPT, kenaikan kadar albumin dan penurunan ascites dan oedem. - perbaikan gambaran histologi. Penderita hepatitis B kronik yang diberikan pengobatan dengan Lamivudin perlu dilakukan monitoring setelah pengobatan dihentikan karena kemungkinan adanya reaktifasi infeksi HBV.

Infeksi virus hepatitis C kronik


Epidemiologi infeksi hepatitis C : Menurut WHO kira2 1% penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis C. Pre valensi dari antibodi terhadap virus hepatitis C (VHC) pada donor darah bervariasi dari sekitar 0.2% di Eropa utara sampai 1.5% di Jepang dan Eropa selatan. Prevalensi 17.5% di Kamerun dan 6% di Afrika. Prevalensi VHC pada penderita haemofilia dan penyalahgunaan obat terlarang dapat mencapai 90%. Resiko terinfeksi VHC melalui hubungan seksual rendah. Transmisi secara horisontal memegang peranan penting dibandingkan dengan transmisi secara vertical. Prevalensi infeksi VHC pada anak2 rendah. Transmisi infeksi VHC adalah secara parenteral dan perkutan. Infeksi hepatitis C 50-70% menjadi kronis. Kejadian sirosis hati dan hepatoma pada penderita yang terinfeksi virus hepatitis C banyak dilaporkan. Resiko kumulatif pertahun terhadap timbulnya hepatoma kira kira sekitar 1% pada penderita tanpa sirosis dan 3-10% pada penderita sirosis hati.

Pengobatan Hepatitis C kronik : Digunakan interferon alfa dan beta serta kombinasi dengan Ribavirin. Keberhasilan pengobatan dengan interferon bervariasi. Pada umumnya 50% dari kasus ALT dapat menjadi normal selama pengobatan. Setelah pengobatan dihentikan, kurang lebih hanya 1525% yang berhasil. Keberhasilan terapi dipengaruhi genotip virus, derajat viremia, umur pejamu status immunologi serta adanya sirosis.

Pengobatan standar yang dianjurkan pada penderita HCK adalah : Kombinasi Peg-IFN + RBV kecuali khusus genotipe 2 dan 3 dapat digunakan kombinasi IFN standar + RBV. Tujuan pengobatan pada penderita HCK : 1. Tujuan primer (sembuh): eradikasi virus, proses nekroinflamasi dan fibrosis berhenti, dan keluhan/gejala hilang. 2. Tujuan sekunder: menghambat/mencegah progresifitas penyakit, yaitu fibrosis sirosis, sirosis hati dekompensata, karsinoma hati.

Ukuran keberhasilan pengobatan adalah : Tercapainya respon virologik menetap, yaitu HCV-RNA tidak terdeteksi dalam darah penderita setelah 6 bulan berakhirnya terapi anti viral, perbaikan temuan histopatologi (nekroinflamasi berhenti dan regresi fibrosis hati), dan kualitas hidup penderita meningkat. Syarat terapi anti viral : 1. Bersedia mematuhi program terapi 2. Hati kompensata 3. Tidak ada kontra indikasi obat 4. Tidak ada penyakit penyerta yang berat 5. Tidak hamil (bersedia tidak hamil selama terapi) 6. Berhenti minum alkohol dan narkoba 7. Usia 18-70 tahun (relatif) 8. Nilai ALT abnormal atau normal dengan pertimbangan khusus

Obat anti viral

Rekomendasi terapi HCK adalah kombinasi suntik interferon (IFN) standar atau pegylated interferon dengan ribavirin (RBV). Dosis yang dianjurkan : 1. Dosis IFN standar 3-5 juta unit, suntik seminggu 3 kali 2. Dosis Peg-IFN alfa-2a dosis 180 g (satu dosis); alfa2b 1,5 g/kgBB/kali suntik seminggu sekali 3. Dosis RBV berdasarkan berat badan (diberikan tiap hari dengan dosis dua kali sehari): BB < 55 kg : 800 mg/hari BB 56-75 kg : 1000 mg/hari BB > 75 kg : 1200 mg/hari 4. Jangka terapi: pada genotipe 1 & 4 selama 48 minggu; genotipe 2 & 3 : 24 minggu.

Vous aimerez peut-être aussi