Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Disusun Oleh: Nama NIM Jurusan : Muhamad Adnan Firdaus : F0309046 : Akutansi B
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Di antara tujuan penyusun adalah untuk memberikan informasi mengenai Ekonomi Syariah, Ekonomi Liberal, Ekonomi Kapitalis, Ekonomi Sosialis . Dasar penulisan dilakukan untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Asistensi Agama Islam. Akhirnya, penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
formalitas belaka mengingat standardisasi skill dan capabilities orang-orang didalamnya tidak jelas. Dewan yang diharapkan dapat berkomitmen penuh dalam mengawasi produk, konsep, kinerja, maupun policy lembaga syariah kinerjanya sering mengecewakan. Anggota-anggotanya yang masih didominasi kyai-kyai sepuh, dirasa kurang mampu mengikuti pergerakan dan perkembangan ekonomi syariah yang bergerak dengan sangat cepatnya. Di lembaga syariah sendiri, penunjukan dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) juga masih bias. Prinsip syariah, sejatinya membutuhkan 70% moral heavy, baru diikuti dengan knowledge dan appearance. Namun pada prakteknya, mereka justru dijejali hafalan-hafalan berbahasa arab dan diikutkan pelatihan instan. Terkadang etika bisnis dan konsep islami belum dikuasai secara komprehensif. Celakanya, kekurangan-kekurangan ini makin diperburuk dengan sikap lembaga keuangan yang ada. Mereka memandang syariah semata-mata sebagai peluang pasar yang layak dimanfaatkan. Tindakan ini tentunya merupakan kejahatan ekonomi karena produk syariah menjadi alat para kapitalis untuk mengeduk untung sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Keberpihakan dan komitmen mereka terhadap kelangsungan dan perkembangan syariah itu sendiri masih patut dipertanyakan. Lebih parah lagi, beberapa bank membuka divisi syariah hanya untuk nasabah privat yang memiliki dana tak kurang dari Rp 500 juta. Jika demikian, tentunya keberpihakan lembaga keuangan menjadi diskriminatif dan tak lagi berperan pada kelangsungan hidup kaum grass root. Kapitalisme, dalam hal ini, dibalut dengan simbolsimbol syariah untuk kepentingan pemilik modal.
boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
Konsep Ekonomi Islam Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsipprinsipnya, di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi. Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya,
kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh. Karena itu suatu sistem ekonomi tidak dapat diharapkan untuk menyiapkan, misalnya, komposisi khusus barang-barang ekspor di negara tertentu, fungsi produksi yang praktis bermanfaat atau secara matematik dapat dikelola, atau rumusan mengenai bagaimana memperbesar fungsi-fungsi tuntutan individual dalam tuntutan yang berskala nasional. Komponen-komponen teori ekonomi seperti itu tidak dapat diawali dengan sistem tersebut karena komponen-komponen itu timbul dalam aplikasi praktis sistem tersebut dalam tatanan berbagai kondisi yang ada. Dengan melihat kondisi-kondisi ini dan dalam kerangka sistem ekonomi yang berlakulah unsur-unsur teori ekonomi seperti bisa dikembangkan, diuji dan diteorisasikan. Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas "sistem ekonomi Islam" sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi
itu hanya sedikit menyinggung mengenai kajian sisterm ekonomi, sama sebagaimana kajian terhadap tatabahasa yang hanya sedikit menyinggung pembentukan keterampilan berpidato saja Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari Hukum (Fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (Fiqhul-Mu'malat) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat Muslim Ekonomi Islam dibatasi oleh Hukum Dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh, atau bahkan lebih banyak, terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya. Tidak adanya pembedaan antara Fiqhul-Mu'amalat dan ekonomi Islam seperti itu merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam. Beberapa buah buku menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam ekonomi, sedangkan buku-buku lain mengkaji ekonomi Islam dari sudut pandang fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi kadang-kadang berubah menjadi pernyataan kembali hukum Islam mengenai beberapa jenis makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap sejum1ah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil maknanya sebagai kajian tentang hak pemilikan dalam Islam yang tidak difokuskan pada perilaku perusahaan sebagai unit produktif. Hal lain yang tidak menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam peristilahan Fiqhul-Mu'amalat adalah bahwa ancangan seperti itu, pada dasarnya, terpecah-pecah dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi. Barangkali hal inilah yang menjadi sebab tidak adanya teori moneter makroekonomik dalam semua literatur mengenai ekonomi Islam.
Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka-jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi (itu sendiri). Baru sedikit yang dilakukan untuk menampilkan sejarah pemikiran ekonomi Islam. Hal ini tidak menguntungkan karena sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin politik muslim sudah mengembangkan gagasan-gagasan ekonomik mereka sedemikian rupa sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam yang sebenarnya. Penelitian diperlukan untuk menampilkan pemikiran ekonomi dari para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (meninggal th. 182 H), Yahya bin Adam (meninggal th. 303 H), al-Gazali (meninggal tahun 505 H), Ibnu Rusyd (meninggal th. 595 H), al-'Izz bin 'Abd al-Salam (meninggal th. 660 H), al-Farabi (meninggal th. 339 H), Ibnu Taimiyyah (meninggal th. 728 H), al-Maqrizi (meninggal th. 845 H), Ibnu Khaldun (meninggal th. 808 H), dan banyak lainnya lagi. Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak dan di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya. Kajian terhadap perkembangan historik ekonomi Islam itu merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti sangat penting, terutama dalam bidang kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Namun peringatan terhadap adanya dua bahaya perlu dikemukakan bila aspek historik Islam itu diteliti. Pertama, bahaya kejumbuhan antara teori dengan aplikasi-aplikasinya, dan kedua,
pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya pertama muncul ketika para pemikir ekonomi Muslim modem tidak membedakan secara jelas antara konsepsi Islam dan aplikasi-aplikasi historiknya. Hal ini tampak sangat jelas dalam cakupan keuangan negara, karena hampir semua buku mengenai keuangan negara yang ada dalam perpustakaan Islam kontemporer menganggap sumber-sumber negara sebagai sumber-sumber yang ada pada masa negara Islam besar, sejak masa 'Umar bin Khattab sampai masa Harun al-Rasyid. Sedikit sekali perhatian diberikan kepada pengembangan teori tentang keuangan negara yang didasarkan atas Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini tercermin dalam penampilan histori keuangan negara dalam Islam yang sedikit sekali memberikan ksempatan untuk menguji aplikabilitasnya pada saat sekarang karena karena adanya perubahan suasana di semua negara Islam. Bahaya kedua muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik. Rancangan historik dalam kajian terhadap ekonomi Islam itu kadang-kadang diterapkan dalam kaitannya dengan masyarakat-masyarakat Muslim masa sekarang. Hal ini tercermin dalam ekonomi Islam yang hanya berbicara tentang harta dan penghasilan, konsumsi yang tidak semestinya dan sebagainya, bukan mengenai penanggulangan mekanisme makroekonomik dari sistem ekonomi Islam itu. Tidak diragukan bahwa beberapa persoalan di negara-negara Islam sekarang ternyata serius dan penting, dan bahwa persoalan-persoalan tersebut seharusnya dibahas dalam kerangka ekonomi Islam itu, namun bila sistem ekonomi Islam itu merupakan sistem yang pokok bahasannya, misalnya, nasionalisasi industri dan penataan pemilikan tanah (land reform), lantas apa yang akan terjadi setelah semuanya ini berhasil diraih? Apa yang bisa dilakukan oleh
sistem seperti, katakanlah, untuk industri yang telah dirasionalisasi atau tanah yang (pemilikannya) telah ditata kembali itu? Batas-batas antara sistem ekonomi Islam yang bisa diaplikasikan terhadap perekonomian yang sehat dengan pertumbuhan yang normal, di satu pihak, dan tindakantindakan darurat yang dapat diambil oleh para pejabat penanggungjawab bidang perekonomian untuk membahas masalah sementara seperti peran ketidakadilan dalam distribusi barang-barang, atau kemiskinan, di pihak lain, seharusnya diberi demarkasi (juga). Tanpa demarkasi seperti itu, ekonomi Islam akan menjadi kajian parsial terhadap gejala-gejala peralihan yang akan menimbulkan pemborosan setelah pembangunan negara-negara Islam itu, ini tidak berarti bahwa persoalan-persoalan seperti persoalanpersoalan pembangunan itu tidak boleh mendapatkan perhatian langsung dari para ahli ekonomi Islam itu, melainkan harus diartikan bahwa persoalan-persoalan ini harus ditanggulangi dalam kerangka teori umum ekonomi Islam yang mempertahankan relevansinya dengan semua tahap pembangunan ekonomi dan suasana politik. Diversifikasi literatur Islam modem mengenai ekonomi timbul dari kesulitan inheren dalam jenis kajian ini. Sama sekali tidak ada "Teori Ekonomi Islam" yang tertulis dalam pengertiannya yang ketat. Selain itu, bahkan mungkin banyak orang berkeberatan dengan digunakannya istilah "Teori Ekonomi" itu dengan alasan bahwa bila suatu teori adalah penafsiran terhadap beberapa aspek realitas, berarti bisa terdapat banyak teori yang bernafaskan nilai-nilai filosofik Islam dalam penafsiran terhadap realitas ekonomi. Ketidakjelasan diantara kedua pandangan ini telah mendorong sejumlah penulis untuk menampilkan pandangan yang sangat sempit mengenai filsafat ekonomi Islam dan membingkainya dengan cara sangat terbatas yang tidak sesuai dengan implikasi-implikasi teoretik nilai-nilai filsafat ini. (Upaya pertama untuk menetapkan demarkasi batas-batas antara filsafat ekonomi dalam Islam dan teori-teori ekonomi dari para penulis bidang ekonomi dilakukan oleh as-Sadr pada tahun 1964. Dia diikuti oleh M.N. Siddiqi pada tahun 1971.
Kesulitan tipe kedua dihadapi tidak hanya oleh penelitian di bidang ekonomi Islam tetapi oleh semua kajian yang membahas berbagai aspek sosial Islam, ia muncul dari hakikat sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Al-Qur'an dan Sunnah Al-Qur'an merupakan firman (kalam) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi kehidupan perilaku manusia, Kitab Suci itu tidak tersusun dalam bagian dan bab, yang masing-masing membahas, kehidupan manusia seperti Hukum, Politik, Ekonomi dan sebagainya, dan juga tidak diberi judul-judul di dapat menemukan berbagai aplikasi dan aturan yang bersumber daripadanya. Kadang-kadang ia merupakan rincian yang tepat, misalnya, dalam kaitannya hukum waris. Dalam hal-hal lain ia hanya menyinggung pemecahan secara garis besar, yang menunjukkan bahwa seharusnya para 'ulama' dan pemikir Muslim dapat mengembangkan dan melengkapi rincian-rincian yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip ini dan dengan memperhatikan situasi yang ada. Mengancang dan mengembangkan teori-teori semacam itu adalah tugas para sarjana Muslim, dan hasil-hasil yang diperoleh dari upaya-upaya ini tidak dapat dikaitkan baik dengan Allah maupun dengan Al-Qur'an. Yang dapat dikemukakan mengenai hal ini bahwa ia adalah pandangan (sarjana-sarjana) Muslim tetapi bukan pandangan Islam, karena berbagai akibat dari situasi mereka terhadap teoretisasi tersebut tidak dapat diingkari. Selain itu mereka tidak memiliki otoritas untuk menafsirkannya. Memang tidak ada seorang pun memiliki hak istimewa seperti itu. Sumber kedua, yaitu Sunnah, adalah pemahaman dan aplikasi Nabi terhadap Al-Qur'an. Kesulitan yang ditampilkan oleh sumber ini timbul dari kenyataan bahwa Nabi ketika itu, pada saat yang sama, adalah juga kepala negara. Karena itu sangat sulit untuk dibedakan antara sikapsikapnya terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an yang bersifat permanen dan mengikat untuk selama-lamanya, dan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan berbagai situasi di masa hayatnya, disamping kesulitan tersebut di atas. Upaya pertama yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengangkat rincian-rincian yang rumit megenai bidang ekonomi dari dalam Al-Qur'an dan Sunnah itu ke dalam teori dilakukan pada tahun 1964, lagi-lagi, oleh as-Sadr.
Pernyataan terakhir dalam bagian metodologi ini akan membahas alat-alat analisis. Literatur Islam yang ada sekarang nengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode. Pertama adalah metode deduksi dan kedua metode pemikiran etrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, Fl-lqalta', dan sangat dikenal di kalangan mereka, diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis Muslim kontemporer yang merasakan tekanan: kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat Muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.
Ekonomi Liberalis
Mengawali Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 ini ada isu penting yang diusung
pasangan capres-cawapres, yakni isu ekonomi. Dalam visi-misi pasangan caprescawapres terlihat jelas masalah ekonomi mendapat porsi khusus.
Pasangan SBY-Boediono (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Boediono), misalnya, mengatakan tidak akan menyerahkan perekonomian kepada pasar bebas. Akan ada campurtangan negara, meski tidak boleh terlalu jauh, karena hal itu akan mematikan sektor swasta. Namun, masih hangat dalam ingatan kita, pada tahun 1996-1998, ketika Boediono menjabat sebagai Direktur I BI urusan analisa kredit, terkucurlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 400 triliun. Kemudian ketika Boediono menjadi Kepala Bappenas, dalam masa itu terkucurlah dana rekap perbankan Rp 600 triliun. Ironisnya, para obligor BLBI justru diberikan Release and Discharge alias dibebaskan dari masalah hukum. Akhirnya, rakyatlah yang harus membayarnya hingga tahun 2032. Kita juga tidak lupa, tahun 2001-2004 ketika Boediono menjadi Menkeu, keluarlah kebijakan privatisasi dan divestasi yang ugal-ugalan. Banyak aset strategis yang dilego: Indosat, BCA, dll.
Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto berkomitmen membangun ekonomi kerakyatan. Di depan Kadin Indonesia, JK berjanji akan mewujudkan ekonomi mandiri, dalam
pengertian ekonomi yang memberdayakan seluruh kekuatan bangsa, terlepas dari ketergantungan asing (Republika, 19/5/209). Namun, kita pun tahu, selama pemerintahan SBY-JK, JK dianggap berperan banyak dalam mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang juga tak kalah liberalnya, seperti menaikkan harga BBM di atas 100 persen yang jelas-jelas membebani rakyat. Adapun pasangan Megawati-Prabowo sepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan. Bahkan pasangan ini sudah berbagi tugas, Prabowo ditugaskan menangani masalah perekonomian untuk fokus membangun ekonomi kerakyatan dan kebangkitan ekonomi rakyat (Kompas, 19/5/2009). Namun, kita pun tidak mungkin lupa, pada masa kepemimpinan Megawati pula, aset-aset negara banyak dijual atas nama privatisasi.
Semua pasangan memang mengedepankan isu ekonomi. Namun menurut Prof. Dr. Adi Sulistyono, apa yang mereka sampaikan masih sebatas wacana. Belum ada penyampaian solusi nyata untuk mengatasi persoalan ekonomi bangsa ini ( Kompas, 18/5/2009). Begitu pula janji mewujudkan ekonomi yang mandiri dan berdaulat. Janji itu juga masih terlihat sekadar janji kosong. Pasalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa utang, khususnya utang luar negeri, adalah pintu masuk bagi campur tangan asing untuk menyetir perekonomian negeri ini. Nah, sampai saat ini belum ada pasangan yang secara tegas bertekad untuk menutup pintu itu. Sepanjang pemerintahan SBY-JK saja, utang luar negeri Indonesia bertambah rata-rata Rp 80 triliun pertahun. Artinya, selama kepemimpinan SBY-JK, hanya dalam lima tahun, utang Indonesia bertambah kurang-lebih Rp 240 triliun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang pada era Orde Baru, yakni Rp 1.500 triliun dalam jangka 32 tahun atau sekitar Rp 46,875 triliun pertahun (Kau.or.id, 9/4/2009).
Padahal mewujudkan ekonomi yang berdaulat dan mandiri meniscayakan penghentian campur tangan asing. Langkah pertamanya adalah menutup pintu masuknya campur tangan asing itu, yaitu utang luar negeri. Baru setelah itu campur tangan asing yang sudah terlanjur masuk dibereskan dan dibersihkan. Jika langkah ini belum diupayakan, jangan berharap ekonomi berdaulat dan mandiri bisa diwujudkan. Akhirnya, semua yang dikampanyekan oleh para capres-cawapres seputar kemandirian ekonomi hanya akan menjadi pepesan kosong.
Apalagi bangunan hukum yang menjadi pondasi dan pemandu perekonomian negeri ini memang sudah bercorak liberal. Hal itu seperti yang terwujud dalam berbagai undang-undang berbau liberal seperti UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Migas dan UU yang mengamanatkan privatisasi (penjualan aset negara, khususnya kepada pihak asing) dan sebagainya. Karena itu, untuk membangun ekonomi yang tidak lagi berhaluan neoliberal, bangunan hukum yang bercorak liberal itu harus dihilangkan. Sebagai gantinya dibuat bangunan hukum yang menjadi pondasi sistem perekonomian baru. Itulah sistem ekonomi Islam. Hanya dengan Sistem Ekonomi Islam Kesejahteraan bagi seluruh rakyat sangat dipengaruhi oleh distribusi (penyebaran) kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Kesejahteraan yang merata akan terus menjadi mimpi dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Pasalnya, Kapitalisme dibangun di atas asumsi dasar, bahwa persoalan utama ekonomi adalah kelangkaan barang dan jasa. Solusinya adalah produksi, bukan distribusi. Konsekuensinya, yang menjadi fokusnya adalah pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan ekonomi. Selain itu, kesejahteraan juga berkaitan dengan pengaturan kepemilikan secara tepat. Kesejahtaraan juga terus menjadi mimpi jika berusaha diwujudkan melalui ideologi dan sistem ekonomi Sosialisme yang dibangun di atas ide dasar pemberangusan kepemilikan individu. Kesejahteraan yang merata hanya akan bisa diwujudkan melalui ideologi dan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam dibangun di atas ide dasar bahwa masalah utama ekonomi terkait dengan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Distribusi ini erat kaitannya dengan konsep kepemilikan. Untuk itu, Islam mengatur kepemilikan yang membenarkan kepemilikan individu dan mengaturnya sehingga individu tetap bisa memiliki harta dan terdorong untuk memproduksi dan mendapatkan harta. Islam juga mengatur kepemilikan dengan menetapkan harta-harta tertentu seperti fasilitas umum serta barang tambang yang melimpah, hutan, laut, sungai dsb sebagai milik umum. Dalam hal ini, seluruh rakyat berserikat atas kepemilikan harta itu dan berhak mendapatkan manfaatnya. Harta milik umum itu diserahkan pengelolaannya kepada negara mewakili rakyat. Seluruh hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat baik
dalam bentuk produknya, atau dalam bentuk pelayanan mulai kesehatan gratis, pendidikan gratis, pembangunan jalan, infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Semua itu bisa dibiayai dari hasil pengelolaan harta kekayaan milik umum itu. Ketika pendidikan, pelayanan kesehatan serta berbagai pelayanan dan fasilitas umum itu dijamin oleh negara dan bisa diakses oleh seluruh rakyat, Muslim maupun non-Muslim, maka jelas hal itu sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sebaliknya, hal itu mustahil bisa diwujudkan dalam sistem Kapitalisme sekarang. Pasalnya, sebagian besar sumberdaya alamyang menjadi sumber utama pemasukan negara untuk membiayai semua kebutuhan rakyatsering malah dijual kepada pihak asing atas nama privatisasi yang telah diamanatkan undang-undang. Itulah yang terjadi di Indonesia saat ini Selain itu, untuk mewujudkan ekonomi yang pro-rakyat jelas penciptaan lapangan kerja menjadi sangat penting. Dalam sistem Islam hal itu bisa diwujudkan melalui pembangunan berbagai infrastruktur, pengelolaan dan pemeliharaan fasilitas dan pelayanan umum. Lapangan kerja akan lebih banyak terbuka lagi oleh individu/swasta dengan bisnis atau usaha yang dijalankannya. Karena itu, penciptaan iklim usaha yang bagus juga sangat penting. Di sinilah pentingnya ada bangunan hukum dan sistem politik yang selaras. Iklim usaha yang bagus akan terwujud jika birokrasinya sederhana, tidak berbelit dan tidak dihambat dengan berbagai macam pungutan. Syaikh Taqiyuddin anNabhani di dalam an-Nizhm al-Hukmi f al-Islm halaman 211 menyatakan, bahwa dalam Islam politik administrasi/birokrasi instansi didasarkan pada prinsip: sederhana dalam sistem/aturan, kecepatan menyelesaikan aktivitas dan profesionalisme pelaksananya. Ini merupakan bentuk ihsn dalam beraktivitas yang dituntut oleh syariah. Rasul saw. bersabda: