Vous êtes sur la page 1sur 15

Akalasia Idiopatik (Primer)

ABSTRAK Akalasia idiopatik merupakan suatu kelaianan motorik esofagus primer yang ditandai dengan aperistaltik dan abnormalitas relaksasi dari sphincter bawah esogafus sebagai respon reflek menelan. Akalasia ini termasuk penyakit yang jarang, insiden pertahun sekitar 1/100.000 dengan prevalensi 1/10.000. Penyakit ini dapat menyerang usia berapapun, dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi, biasanya penyakit ini terdiagnosis pada umur 25 sampai 60 tahun. Penyakit ini ditandai dengan adanya kesulitan menelan yang menonjol terhadap makanan padat maupun cair, regurgitasi ringan, dan sakit dada. Berat badan turun (biasanya antara 5 sampai 10 kg) terjadi pada banyak tetapi tidak semua pasien. Dada terasa terbakar terjadi pada 27%-42% pasien akalasia. Penyebabnya tidak diketahui. Beberapa kasus dalam suatu keluarga pernah dilaporkan, tetapi kejadian pada suatu keluarga yang cukup jarang dijumpai ini tidak mendukung hipotesis bahwa faktor genetik berperan penting sebagai etiologi. Hubungan antara akalasia dengan dengan infeksi virus dan auto antibody yang menyerang plexus myenterikus telah dilaporkan, tetapi hubungan pastinya masih belum jelas. Diagnosis penyakit ini berdasarkan riwayat penyakit, radiografi (barium esophagogram), dan tes motilitas esofagus (manometri esofagus). Pemeriksaan endoskopi juga penting untuk mengeliminasi malignansi sebagai penyebab akalasia. Pengobatan secara paliatif ketat. Pilihan penatalaksaan modern atau dengan operasi (pneumatic dilatation, myotomi, agen farmakologi) ditujukan pada penurunan tekanan LES dan memfasilitasi pengosongan esofagus dengan gravitasi dan tekanan hidrostatik daripada makanan dan minuman yang tertahan. Walaupun, penyakit ini tidak bisa disembuhkan secara permanen, penatalaksanaan paliatif yang baik tersedia pada lebih dari 90% pasien. LATAR BELAKANG Definisi dan epidemiologi

Akalasia idiopatik (primer) merupakan kelainan motorik esofagus yang etiologi belum diketahui, ditandai dengan aperistaltik esofagus dan relaksasi abnormal sphincter bawah esofagus / lower esophageal sphincter (LES) sebagai respon dari reflek menelan [1-4]. Penyakit ini sangat langka dengan angka insidensi pertahun sekitar 1/100.000 dan prevalensi 10/100.000 [5]. Tetapi, cukup sering untuk dapat ditemui paling tidak sekali oleh setiap ahli gastroenterologi. Sejarah Akalasia pertama kali dideskripsikan dan disebut oleh Sir Thomas Willis pada tahun 1674, dimana ia menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh hilangnya inhibisi normal pada bagian distal esofagus [6]. Sejak itu, perkembangan teknik diagnosis baru mencetuskan ide baru terhadap etiologi dan patofisiologi penyakit ini yang mengarah kepada berbagai teori dalam mengidentifikasi gangguan motorik pada regio di esofagus. Bagaimanapun, penyebab awal masih sukar dipahami [3,6,7]. Beberapa studi telah menunjukkan perbandingan kejadian akalasia yang sama pada pria dan wanita. Penyakit ini ditandai dengan disfagia yang menonjol terhadap makanan padat dan cair, regurgitasi ringan, dan sakit dada. Diagnosis akalasia relatif mudah untuk ditegakkan dengan riwayat perjalanan penyakit yang lengkap, radiografi (barium esofagogram), dan tes motilitas esofagus. Pemeriksaan endoskopi penting untuk menghilangkan kecurigaan malignansi sebagai penyebab dari akalasia [8]. Karena degenerasi neuron adalah proses yang irreversibel, penatalaksanaan akalasia hanya paliatif. Pilihan terapi medis dan operasi ditujukan pada gangguan motorik yang diketahui dengan baik. Sehingga terapi ditargetkan pada penurunan tekanan LES dan memfasilitasi pengosongan esofagus dengan gravitasi dan tekanan hidrostatik dari makanan dan cairan yang tertahan [8-12]. Pilihan terapi ini diantaranya pneumatic dilation, myotomi, dan yang lebih ringan efeknya yaitu dengan agen farmakologi [11,13]. Dalam literatur ini, kami akan menjelaskan dengan detail patofisiologi, etiologi, diagnosis, dan pilihan penatalaksanaan untuk gangguan motorik esofagus ini.

Presentasi Klinis Akalasia merupakan gangguan motorik esofagus yang paling banyak diselidiki [4,7]. Penyakit ini dapat terjadi pada usia berapapun, namun paling sering antara usia 25 sampai 60 tahun. Disfagia progresif dari makanan padat sampai cair (82%-100%) merupakan gejala klinis pertama dari akalasia [13]. Walaupun disfagia dapat terjadi pada pasien dengan gangguan motorik esofagus yang lain, gejala ini merupakan ciri paling khas dari akalasia dan paling menuju kearah diagnosis. Regurgitasi yang tidak berespon dengan proton pump inhibitor (PPI), dan penurunan berat badan dapat dilihat pada 30% sampai 90% pasien. Material yang teregurgitasi dapat tertahan pada esofagus yang melebar, terutama bila dalam posisi supinasi pada malam hari, dapat menyebabkan aspirasi. Penurunan berat badan (biasanya antara 5 sampai 10 kg) tidak ditemukan pada semua pasien. Nyeri dada merupakan salah satu gejala yang muncul pada pasien dengan akalasia (17%95%). Terjadinya gejala ini tidak terkait dengan tekanan LES [4,13]. Nyeri dada terlihat sebagai satu-satunya gejala yang dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin [4, 14-16], nyeri dada dilaporkan 1,7 kali sering pada wanita dibandingkan dengan pria dengan akalasia [15]. Rasa panas di dada merupakan gejala utama dari gastroesophageal reflux disease (GERD), dapat juga terjadi namun tidak sering (27%-43%) pada pasien akalasia. Meskipun rata-rata tekanan LES pada pasien akalasia dengan gejala rasa panas di dada lebih rendah dibandingan dengan pasien tanpa gejala tersebut [17]. Gejala ini lebih cenderung terkait dengan produksi asam laktat yang berasal dari makanan yang tertahan atau material asam yang tertelan seperti minuman berkarbonasi [1]. Kesulitan bersendawa juga terjadi pda 85% pasien, dan hal ini disebabkan karena adanya defek relaksasi sphincter atas esofagus / upper esophageal sphincter. Informasi adanya risiko kanker pada akalasia tidaklah cukup. Terdapat banyak penelitian dalam hal ini dan sebagian besar dari studi tersebut menunjukkan adanya peningkata risiko

yang signifikan [18]. Bagaimanapun, biasanya tdak ada rekomendasi untuk pasien survailans akalasia untuk kanker esofagus. Patofisiologi Akalasia Idiopatik Dinding esofagus bagian distal dan LES diinervasi oleh neuron post ganglion, terdiri dari neuron eksitatori dan inhibisi. Neuron eksitatori melepaskan asetilkolin sedangkan neuron inhibisi melepaskan nitrit oxide (NO) dan vasoactive intestinal polypeptide (VIP), menghasilkan kontraksi dan relaksasi esofagus dan LES [3]. NO dan VIP yang dilepaskan oleh neuron inhibisi merupakan target dalam kasus akalasia idiopatik. Hilangnya neuron inhibisi ini pada dinding ekstrinsik atau intrinsik menyebabkan hilangnya manometrik, dan terjadi kegagalan relaksasi sehingga peristaltik esofagus juga ikut gagal [3,4,19]. Beberapa studi pada hewan dan manusia [20,21] telah menunjukkan bahwa penyebab ekstrinsik seperti lesi yang berlokasi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat memproduksi manometrik yang ditemukan pada akalasia. Abnormalitas serat nervus vagus diluar SSP juga terkait dengan penyakit akalasia; bagaimanapun, abnormalitas inervasi ekstrinsik jarang ditemukan pada pasien dengan akalasia [22-24] dan mungkin hal tersebut bukan merupakan mekanisme primer penyakit. Sebaliknya, hilangnya intrinsik dari neuron myentericus inhibisi pada esofagus dan LES pada pasien dengan akalasia telah dilaporkan sebagai faktor yang paling berperan dalam patofisiologi akalasia. Hasil studi [25-27] menunjukkan bahwa hilangnya sekresi NO dan VIP dari neuron dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara neuron eksitatori dan inhibisi di plexus myentericus, mengakibatkan perubahan irreversibel manometrik pada pasien. Studi morfologi tentang plexus myentericus esofagus telah mengonfirmasi bahwa terdapat hilangnya sel ganglion myentericus pada penyakit akalasia [28,29]. Dalam studi tersebut, hilangnya sel ganglion diikuti dengan inflamasi dan pada kasus yang parah, nervus myentericus telah digantikan dengan jaringan kolagen.

Etiologi Akalasia Idiopatik Familial Terdapatnya kasus-kasus dalam satu keluarga menunjukkan akalasia adalah penyakit yang diturunkan [30-33]. Kasus-kasus dalam satu keluarga telah banyak terlihat pada populasi anak-anak, antara saudara kandung dan dalam beberapa kasus pada kembar monozigot [30,31]. Terdapat beberapa laporan mengenai orang tua dan anaknya terkait dengan akalasia [32]. Dengan demikian, bukti-bukti ini menunjukkan penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif [30,33], jarangnya kejadian munculnya penyakit ini dalam satu keluarga tidak mendukung hipotesis bahwa genetik merupakan faktor etiologi yang signifikan. Sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa predisposisi genetic pada individu meningkatkan kemungkinan individu tersebut terkena akalasia setelah terpapar faktor lingkungan umum dapat memegang peranan penting dalam pathogenesis [3]. Infeksi Beberapa penelitian telah menujukkan adanya kemungkinan keterkaitan antara infeksi virus dan akalasia [34,35]. Dalam studi tersebut, berbagai antibodi terhadap virus dalam serum pasien dengan akalasia dan orang normal diukur. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa hanya antibodi terhadap virus campak dan varisela zoster yang ditemukan paling tinggi pada pasien dengan akalasia. Disisi lain, secara klinis tidak semua pasien yang terinfeksi virus campak dan varisela zoster akan menjadi akalasia [3]. Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR), penelitian lain [36,37] telah menunjukkan bahwa tidak ada bukti adanya produk virus di dalam jaringan esofagus pasien akalasia. Sebagai tambahan, meskipun beberapa studi menunjukkan terdapatnya infeksi virus, hal tersebut tetap tidak bisa menegakkan perannya dalam hubungan dengan akalasia [3]. Sehingga, etiologi infeksi pada pasien akalasia tetap merupakan hal yang belum jelas. Autoimun Meningkatnya prevalensi antibodi yang bersirkulasi pada pleksus myenterikus pada beberapa pasien akalasia menimbulkan sugesti bahwa adanya peran auto-antibodi dalam

pathogenesis terjadinya penyakit ini [38,39]; Meski demikian, penelitian terkini yang dilakukan oleh Moses et al [40] menunjukkan bahwa antibodi yang bersirkulasi tersebut pada dasarnya lebih mengarah kepada hasil dari reaksi non-spesifik terhadap proses penyakit bukan sebagai kausa/penyebab. Ide ini didukung oleh terdeteksinya antibodi yang sama pada pasien tanpa akalasia. Penelitian ultra-struktur [41-42] pada jaringan esofagus pasien akalasia menunjukkan adanya infiltrat inflamasi disekitar neuron myenterikus, dimana pada grup kontrol (normal) tidak terdapat infiltrate inflamasi pada neuron myenterikus-nya. Penelitian multipel kasus-kontrol [43-46] telah melaporkan adanya keterkaitan secara signifikan dengan antigen HLA kelas II pada akalasia idiopatik. Dalam studi yang paling baru [46] juga menunjukkan bahwa pasien akalasia dengan dengan alel HLA memiliki prevalensi jumlah antibodi anti-myenterikus yang lebih tinggi, dimana hal ini mendukung teori etiologi autoimun [3]. Keterkaitan dengan HLA ini juga menunjukkan adanya predisposisi imunogenetik pada akalasia idiopatik; bagaimanapun, hal ini sebaiknya ditanggapi dengan hati-hati bahwasannya tidak semua pasien akalasia terkait antigen HLA. Diagnosis dan diagnosis banding Diagnosis akalasia idiopatik relatif mudah dengan adanya riwayat medis yang baik, radiografi, dan test motilitas esofagus. Riwayat Pada stadium awal penyakit, keluhan disfagia dapat muncul dengan sangat halus dan dapat dimisinterpretasikan sebagai dyspepsia, buruknya pengosongan lambung, atau stress. Adanya keluhan dada terasa panas (heartburn) karena makanan yang tertahan dapat ditambahkan dalam keragu-raguan ini. Seiring dengan berkembangnya penyakit, kesulitan menelan secara khas terjadi ketika menelan makanan padat maupun cair. Disfagia lebih condong kepada kesulitan menelan makanan padat dibanding cair. Untuk meringankan keluhan dalam proses mencerna makanan, pasien biasanya mengubah kebisaan makannya:

makan lebih lambat, atau menggunakan maneuver tertentu seperti mengangkat tangan, atau melengkungkan punggung. Manometri esofagus Manometri merupakan standar emas (gold standard) untuk menegakkan diagnosis akalasia. Aperistaltik selalu muncul pada esofagus. Menelan kering dan basah diikuti dengan kontraksi serentak (simultan) [1]. Amplitudo kontraksi rendah (10-40 mmHg) dan berulang pada banyak kasus [6] (gambar 1). LES menunjukkan tekanan yang tinggi saat istirahat dan gagal untuk relaksasi, atau hanya sedikit relaksasi saat menelan (gambar 1). Sebanyak 40% pasien dengan akalasia memiliki tekanan LES yang normal (10-40 mmHg); Namun, tekanan LES yang rendah tidak terlihat pada pasien dengan akalasia yang tidak diobati [47]. Akalasia yang kuat dideskripsikan pada tahun 1957 sebagai bagian dari akalasia dengan amplitudo kontraksi yang tinggi (>37 mmHg), dilatasi minimal esofagus, kontraksi tersier yang menonjol, dan insidensi sakit dada yang tinggi. Dalam studi terkini yang membandingkan antara pasien dengan akalasia klasik dan akalasia kuat menunjukkan akuratnya manometrik original dan deskripsi radiografi dari akalasia kuat. Namun, insidensi sakit dada pada kedua grup sama saja. Timed barium esophagogram Barium swallow pertama digunakan oleh Ventrappen et al [49] pada pasien akalasia untuk menentukan penyebab menetapnya gejala setelah pengobatan dengan pneumatic dilation (pelebaran pneumatik). Hal ini memberikan sugesti bahwa barium esofagogram dengan fluoroskopi adalah diagnosis tunggal terbaik untuk akalasia. Karakteristik akalasia pada barium esofagogram adalah hilangnya peristaltik primer pada dua pertiga distal esofagus, buruknya pengosongan dengan retensi makanan dan saliva menghasilkan gambaran airfluid level di bagian atas barium. Pada stadium kronik dari penyakit ini, terdapat dilatasi esofagus atau sigmoid berbelok-belok, dan terkadang pada kasus yang lebih parah, adanya dilatasi masif pada esofagus [1]. Penemuan khas pada akalasia adalah berupa gambaran

lancip dan halus pada esofagus bagian bawah yang menyebabkan penutupan LES, menyerupai paruh burung (gambar 2). Pada tahun 1997 de Oliveira et al [50] mendeskripsikan timed barium esophagogram sebagai teknik barium yang simpel, non-invasif, dan tersedia secara luas untuk mengevaluasi pengosongan esofagus pada pasien dengan akalasia. Pengambilan gambar pada teknik ini diambil pada menit 1, 2, dan 5 setelah menelan barium terakhir. Tujuan pengambilan film saat menit kedua tersebut adalah untuk menilai pengosongan sementara. Teknik ini sangat mudah untuk diinterpretasikan karena baik radiologist dan gastroenterologist dapat sama-sama menilai pengosongan esofagus dengan akurat. Pengosongan dapat dinilai dari lamanya waktu, banyaknya barium, atau secara kualitatif dengan melihat pengosongannya. Metode ini juga dapat untuk memprediksi keberhasilan terapi pada pasien dengan akalasia, dimana akan didiskusikan nanti [12,50]. Endoskopi Semua pasien dengan kecurigaan akalasia harus melalui pemeriksaan endoskopi upper gastrointestinal untuk menyingkirkan pseudoakalasia. Pseudoakalasia merupakan hasil dari adanya tumor pada esophagogastric junction, sehingga, area ini harus dievaluasi dengan hati-hati saat prosedur dilakukan [1,3]. Pada endoskopi, lumen esofagus dapat tampak normal, atau melebar, atonik, dan seringkali berkelok-kelok. Mukosa tampak normal, namun terkadang menebal atau rapuh disertai ulserasi superficial sekunder karena retensi dan statis esofagus yang kronis atau terdapat kandida esofagitis. LES tertutup walaupun dengan insuflasi udara, tetapi endoskopi dapat melewati area ini dengan penekanan yang lembut dan kuat. Jika curiga adanya tumor karena cepatnya progres dari gejala dan tanda yang muncul, atau perlu tekanan yang berlebihan untuk membuka LES, pemeriksaan endoskopi ulang dengan biopsi, ultrasound endoskopi dan CT scan thorax wajib dilakukan.

Manajemen Kendatipun beberapa pengetahuan berusaha menemukan patofisiologi dari akalasia, etiologi dari penyakit ini masih belum diketahui; sehingga, tidak heran apabila penatalaksanaan untuk penyakit ini pun seluruhnya bersifat paliatif. Jika tidak ditangani, penyakit ini dapat menimbulkan stasis yang progresif dan dilatasi esofagus, bila hal tersebut terjadi akan mengakibatkan meningkatnya risiko aspirasi, penurunan berat badan, dan malnutrisi. Tujuan dari pilihan terapi untuk akalasia untuk akalasia saat ini adalah menurunkan tonus LES, melepaskan obstruksi fungsional ke transit esofagus, dan memfasilitasi pengosongan esofagus dengan gravitasi. Tujuan ini dapat dicapai dengan metode non operasi seperti relaksan otot tradisional, denervasi kimia (botulinum toxin), dan dilatasi pneumatik, atau operasi myotomi. Metode ini bervariasi sesuai dengan tingkat invasifnya dan efek samping nya [10,51]. Penatalaksanaan farmakologis Agen farmakologi digunakan untuk akalasia paling banyak adalah relaksan otot polos yang bekerja dengan mengurangi tonus/tekanan LES. Penyekat kanal kalsium (calcium channel blocker) dan long-acting nitrat adalah dua obat yang paling sering digunakan [52,53]. Selain itu yang jarang digunakan diantaranya antikolinergik (atropine, dicyclomine, cimetropium, bromide), agonis beta-adrenergik (terbutaline), dan teofilin [13]. Nifedipin merupakan salah satu penyekat kanal kalsium yang paling banyak dipelajari untuk pengobatan akalasia. Obat ini tersedia dalam sediaan formulasi sublingual, menghasilkan penyerapan cepat sehingga respon klinis juga cepat. Banyak studi menunjukkanbahwa waktu maksimal nifedipin sublingual untuk memberikan efek adalah 20 sampai 45 menit; oleh karena itu nifedipin (10-30 mg) direkomendasikan untuk diberikan secara sublingual 30 sampai 45 menit sebelum makan dan sebelum tidur [13]. Efikasi dari nifedipin sangat bervariasi (0% sampai 75% dalam percobaan klinis), dengan efek samping dilaporkan sampai 30% dari seluruh pasien [10,13].

Isosorbid dinitrat sublingual juga efektif dalam menurunkan tekanan LES pada pasien dengan akalasia, menghasikan perbaikan gejala pada 53% sampai 87% pasien. Efek dari nitrat lebih cepat daripada nifedipin, tetapi memiliki durasi yang lebih singkat; sehingga Isosorbid dinitrat sublingual (5 mg) (Isordil) biasanya diberikan 10 sampai 15 menit sebelum makan [13]. Dalam studi perbandingan efek antara isosorbid dinitrat sublingual dan nifedipin sublingual, kedua obat tersebut menurunkan tekanan LES, tetapi efek nitrat sedikit lebih baik dibandingkan dengan nifedipin (65% vs 49% respectively) [53]. Agen farmakologi jarang memberikan efek jangka panjang dalam meredakan gejala yang memuaskan dan saat ini hanya digunakan pada pasien yang bukan termasuk kandidat untuk dilakukannya dilatasi pneumatic atau operasi. Obat tersebut juga dapat digunakan saat merencanakan tahapan (stage) untuk terapi yang lebih efektif. Pengobatan dengan Botulinum toxic Botulinum toxin (BT) pertama digunakan untuk pasien dengan akalasia oleh Pasricha dan koleganya [2,54,55]. Secara rasional, injeksi BT pada LES akan menurunkan tekanan dan tonus LES dan memperbaiki pengosongan pasif esofagus oleh proses penyeimbangan balik hilangnya neuron inhibisi pada plexus myentericus secara selektif [2,10]. BoTx A 80-100 unit diinjeksikan melalui 5 mm jarum sclerotherapy ke LES. Aliquot setara 20 sampai 50 unit toksin diinjeksikan ke setiap kuadran dari LES. Injeksi tunggal BT, dapat menghilangkan gejala yang telah dilaporkan pada hampir 80% dari seluruh pasien. Setelah 6 bulan, 50% pasien dapat tetap remisi [1,2,55,56], sedangkan yang lainnya mungkin membutuhkan injeksi ulang, atau penatalaksanaan lain seperti dilatasi pneumatic atau operasi myotomi [1,55,56]. Tabel 1 merefleksikan respon gejala dengan persen penurunan tekanan LES setelah pengobatan dengan injeksi BT diatas 12 bulan yang berhasil dikumpulkan dari banyak penelitian. Hanya ada beberapa studi mengenai efikasi jangka panjang injeksi BT. Penelitian awal randomize trial menemukan penilaian kesuksesan terapi BT sebesar 32% pada pasien

akalasia [2]. Annese et al [57] melaporkan penilaian kesuksesan sebesar 68% selama 24 bulan setelah diberikan injeksi BT berulang, sedangkan Patricha et al [58] melaporkan penilaian efikasi sebesar 30% setelah follow up kurang lebih selama 2 tahun. Injeksi BT tampak sangat simpel dan aman, tanpa adanya risiko perforasi. Sakit dada ringan dilaporkan hanya pada beberapa kasus setelah injeksi, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi yang spesifik. Namun, dokter bedah melaporkan bahwa myotomi lebih sukar dilakukan pada pasien dengan injeksi BT berulang dikarenakan meningkatnya perlengkatan lapisan-lapisan otot [51]. Evaluasi post pengobatan mengungkapkan bahwa tekanan LES sebelum diobati, besarnya kontraksi esofagus, lamanya sakit tidak bisa digunakan untuk memprediksi hasil dari injeksi BT. Sebaliknya, usia mudah dan jenis kelamin laki-laki diketahui dapat mempengaruhi hasil pengobatan [58,59]. Hilangnya gejala diketahui bertahan sampai 1-2 tahun dengan injeksi tunggal pada orang tua [8,9]. Perbedaan regimen BT, dua injeksi 100 unit BT 1 bulan terasa memberikan jadwal terapi yang lebih efektif [57]. Tujuh puluh enam persen pasien yang memberikan respon pada injeksi pertama, akan berespon pada injeksi kedual namun, respon terhadap injeksi yang lebih banyak biasanya menurun akibat pembentukan antibody melawan protein BT. Secara keseluruhan, BT direkomendasikan dan lebih efektif digunakan sebagai terapi pada pasien yang lebih tua, dimana dilatasi dan atau operasi memberikan risiko tinggi, atau pada pasien dengan penyakit komorbid yang bukan merupakan kandidat untuk PD atau myotomi. Dilatasi pneumatic Pneumatic dilation (PD) merupakan pilihan pengobatan non-operasi yang paling efektif untuk pasien dengan akalasia [6]. PD menggunakan udara untuk melebarkan lumen esofagus dan memisahkan serat otot sirkular LES [1]. Dilator yang paling banyak digunakan adalah dilator balon yang tidak radioopaque polyethylene Microvasive Rigiflex yang dapat di lewati diatas kawat dan dilator Witzel.

Balon rigiflex tersedia dalam 3 dameter (3,0; 3,5; dan 40 cm). tidak hanya prosedurnya yang memerlukan sedasi, tetapi juga seluruh kandidat PD harus juga sebagai kandidat terapi dengan operasi, sebagaimana 5% pasien membutuhkan intervensi bedah karena perforasi. PD dengan diameter 3 cm biasanya digunakan lebih dulu. Pemakaian ini memberikan laporan sebesar 50% sampai 93% pasien merasa puas dengan gejala yang hilang [13]. Dalam kasus kambuhnya gejala, graded PD (peningkatan ukuran diameter balon) dapat memperbaiki respon klinik. Secara kumulatif, dilatasi dengan balon diameter 3,0-, 3,5-, dan 4,0- cm memberikan hasil yang sangat baik dalam menghilangkan gejala pada 74%, 86%, dan 90% secara berurutan dari seluruh pasien yang dirawat, dan rata-rata follow up 1,6 tahun [13]. Dari beberapa studi prospektif pada efikasi PD jangka panjang, Eckardt et al mengikuti 54 pasien yang berurutan diobati dengan PD setiap 2 tahun [59] dan melaporkan bahwa ketika follow up pasien diperpanjang (median 13,8 tahun), keseluruhan kesembuhan selama 5 tahun 40% dan 10 tahun kesembuhan 36% telah diawasi. Mereka menemukan bahwa penggunaan dilatasi berulang hanya akan memberikan sedikit perbaikan respon klinis [60]. Studi lain menunjukkan respon perbaikan gejala yang sangat baik pada 50-89% pasien yang telah di follow up sampai 4 tahun [13,61,62]. Meskipun PD merupakan prosedur rawat jalan yang dilakukan dibawah standar sedasi endoskopi, tetap terdapat sedikit risiko perforasi yang signifikan. Keseluruhan perforasi denan baon Rigiflex dlaporkan sebanyak 2% [13]. Pengetahuan terkini telah membawa kita untuk membuat beberapa prediksi mengenai hasil dari dilatasi pneumatic. Angka kegagalan PD ditunjukkan lebih tinggi pada anak-anak dan dewasa dibandinkan pada pasien yang lebih tua. Penelitian terkini juga menunjukkan peran predictor untuk usia dan jenis kelamin, pada pria usia muda tidak memberikan hasil yang sama baiknya dengan 3,0 cm balon Rigiflex [63]. Vela et al [64], mengonfirmasi hasil observasi tersebut. Terdapat juga bukti bahwa tekanan setelah terapi tekanan LES kurang dari atau sama dengan 15 mmHg yang menunjukkan hasil kesuksesan terapi [61]. Studi dengan radionuclide masih dalam keragu-raguan. Pengosongan esofagus dalam penelitian

dengan radionuclide pada dua pasien post terapi menunjukkan keterkaitan dengan perbaikan gejala [65], namun dalam studi yang lebih besar, metode ini gagal mempertahankan perannya dalam memprediksi kesuksesan terapi [59,66,67]. Studi terkini [12,61,68,69] menunjukkan timed barium esophagogram merupakan predictor terbaik untuk menentukan keberhasilan post terapi PD. Kami menemuka bahwa hampir 70% pasien, tinggi kolom barium saat menit ke lima post terapi terkait dengan perbaikan gejala (grup cordant), dimana yang lain menunjukkan buruknya pengosongan esofagus meskipun terdapat laporan perbaikan gejala yang signifikan (grup discordant). Hampir seluruh pasien dari grup discordant gagal pengobatan dalam 1 tahun setelah terapi, sedangkan 77% grup cordant tetap dalam kesembuhan dari gejala hingga lebih dari 6 tahun dalam follow up [12]. Bagaimanapun, hal ini menunjukkan bahwa timed barium esophagogram tidak haya menilai keberhasilan post terapi, tetapi juga memprediksi respon buruk terhadap terapi jika pasien mengalami retensi barium post dilatasi pneumatic. Operasi cardiomyotomi Manajemen operasi akalasia melibatkan prosedur Heller Myotomi (HM), dikombinasikan dengan prosedur anti refluks (Toupet atau Dor). Selama bertahun-tahun operasi ini telah dilakukan melalui laparotomi, sering dengan penambahan fundoplikasi, atau melalui torakotomi kiri [79]. Namun, adanya operasi dengan tingkat invasif yang minimal (laparoskopik myotomi) telah menghasilkan beberapa keuntungan seperti visualisasi superior dari gastroesofagal junction, kemampuannya dalam menambahkan prosedur anti refluks, dan masa rawat inap yang lebih pendek (2 hari dibandingkan 5-7 hari), penurunan morbiditas, cepatnya pemulihan dan dapat kembali menjalani aktivitas sehari-hari [13,70]. Akumulasi respon klinik yang baik ini sampai 94% untuk laparoskopik cardiomyotomi dalam waktu yang singkat. Studi tentang hasil jangka panjang dari myotomi dirangkum dalam tabel 2. Kekurangan terbanyak dari prosedur myotomi ini adalah myotomi yang tidak komplit dan kemungkinan terjadinya GERD yang signifikan. Tabel 2 juga menunjukkan penilaian perkembangan GERD setelah myotomi yang telah dilaporkan dalam banyak studi.

Penatalaksanaan yang dipilih setelah myotomi gagal adalah PD. Studi terkini pada pasien akalasia yang tidak tertangani dan pasien dengan kegagalan myotomi dilaporkan tidak meningkatkan risiko perforasi dengan melakukan PD setelah prosedur Heller myotomi. Namun, studi ini juga mengindikasikan bahwa selain tekanan LES, pasien yang diberikan PD setelah gagal myotomi tidak memberikan hasil sebaik pasien akalasia yang belum ditangani [11]. Pada akhirnya, operasi laparoskopi pada pasien akalasia diindikasikan sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan esofagus yang terpelintir, diverkulum esofagus, atau mengalami operasi sebelumnya pada gastroesofagal junction. Perbandingan prosedur Beberapa percobaan randomize trial menunjukkan bahwa dilatasi pneumatic lebih efektif dibandingkan dengan botulinum toxin [2,71,72]. Dalam studi kami, menunjukkan bahwa terapi efektif dalam 1 bulan, tetapi PD memberikan hasil perbaikan gejala yang lebih baik dalam 12 bulan dibandingkan BT (70% vs 32%, berurutan) [2]. Penemuan ini mengindikasikan bahwa botulinum toxin lebih inferior dibandingkan dengan BT dalam mempertahankan perbaikan gejala. Studi tentang cost-effectiveness juga menunjukkan bahwa pengobatan dengan PD jangka panjang lebih cost-effectcive dibandingkan dengan BT [73]/ Perbandingan antara PD dan HM juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil diawal pemberian dan keberhasilan terapi mengalami penurunan seiring waktu (90% vs 89%, berurutan selama 6 bulan, sampai 44% vs 56% selama 6 tahun) [64]. Banyak penilitian juga menunjukkan bahwa laparoskopik myotomi tidak cost-effective karena harganya terlalu mahal di awal [73]. Namun, terapi modalitas yang efektif pada pasien dengan akalasia yang telah gagal berespon terhadap PD, kemudian dengan remisi 10 tahun sekaligus myotomi menunjukkan nilai 77% dibandingkan 72% dan 45% pasien yang berhasil diobati dengan PD tunggal dan pasien yang dilakukan beberapa dilatasi, secara berurutan. Bagaimanapun untuk membuat keputusan tentang penanganan akalasia, pasien

harus diikutsertakan dalam diskusi yang jujur tentang efikasi, komplikasi yang mungkin, termasuk dalam hal cost-effective. Kesimpulan Akalasia merupakan gangguan motorik esofagus yang ditandai dengan disfagia, regurgitasi, dan sakit dada. Meskipun penyakit ini tidak bisa disembuhkan secara permanen, terapi paliatif yang baik tersedia untuk lebih dari 90% pasien. Sebagai hasil dari terapi dilatasi pneumatic dan laparoskopi Heller myotomi, sebagian besar pasien dengan akalasia dapat memilih diantara kedua pengobatan ini. Injeksi botulinum toxin secara endoskopi ke LES biasanya dilakukan untuk pasien yang lebih tua, atau pasien yang bukan merupakan kandidat dilatasi pneumatic dan operasi. Pada pasien yang tidak responsif dengan dilatasi penumatik, myotomi esofagus via laparoskopi dapat diberikan dan menjadi pilihan. Jika myotomi gagal, pengulangan dilatasi pneumatic harus dilakukan.

Vous aimerez peut-être aussi