Vous êtes sur la page 1sur 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit yang berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helint dibagi menjadi: a. NEMATHELMINTHES (cacing gilik) (nema=benang) b. PLATYHELMINTHES (cacing pipih) Stadium dewasa cacing-cacing yang temasuk Nemathelminthes (kelas Nematoda)

berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alatalat. Cacing ini mempunyai alat kelamin terpisah. Pembagian Nematoda menjadi Nematoda usus yang hidup di rongga usus dan Nematoda jaringan yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh. Cacing dewasa yang termasuk Plathelminthes dibagi menjadi kelas Trematoda (cacing daun) dan kelas Cestoda (cacing pita). Cacing Trematoda berbentuk daun, badannya tidak bersegmen, mempunyai alat pencernaan. Cacing Cestoda mempunyai badan yang berbentu pita dan terdiri dari skoleks, leher dan badan (strobila) yang bersegmen (proglotid) , makanan diserap melalui (kutikulum) badan. Nematoda mepunyai jumlah spesies yang terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-parasit. Morfologi dan daur hidup Besar dan panjang cacing Nematoda beragam, ada yang beberapa milimeter dan ada pula yang melebihi satu meter. Cacing ini mempunyai kepala, ekor, dinding dan rongga badan dan alat-alat lain yang agak lengkap. Biasanya sisem pencernaan, eksresi dan reproduksi terpisah. Pada umumnya cacing bertelur, tetapi ada juga yang vivipar dan yang berkembang biak secara partenogenesis.

Cacing dewasa tidak bertambah banyak di dalam badan manusia. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau larva sebanyak 20 sampai 20.000 butir sehari. Telur atau larva ini dikeluarkan dari badan hospes dengan tinja. Larva biasanya mengalami pertumbuhan dengan pergantian kulit. Bentuk infektif dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara, ada yang masuk secara aktif , ada pula yang tertelan atau dimasukkan vektor melalui gigitan . Dalam Nematoda usus, manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus.

Sebagiam besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Ascaris lumbricoides
2.1.1. Klasifikasi ilmiah Kingdom Filum Kelas Ordo Familia Genus Spesies : Animalia : Nematoda : Secernentea : Ascaridia : Ascarididae : Ascaris : A. Lumbricoides : Ascaris lumbricoides

Nama binominal

2.1.2. Hospes dan distribusi penyakit Hospes atau inang dari Askaris lumbricoides adalah manusia. Di manusia, larva Ascaris akan berkembang menjadi dewasa dan mengadakan kopulasi serta akhirnya bertelur. Askariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang Ascaris lumbricoides. Askariasis adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit. Penyakit ini sifatnya kosmopolit, terdapat hampir di seluruh dunia. Prevalensi askariasis sekitar 70-80%. 2.1.3. Morfologi Cacing Ascaris lumbricoides memiliki 2 stadium dalam perkembangannya, yaitu : 1. Telur Stadium telur spesies ini berbentuk bulat oval dan ukurannya berkisar antara besarnya kurang lebih 60x45 mikron, bentuk oval melebar, mempunyai lapisan tebal dan berbenjol-benjol berwarna coklat keemasan untuk telur yang dibuahi, sedang yang tidak dibuahi 90x40 mikron lebih oval dengan lapisan berbenjol yang kadang ada kadang tidak jelas.. Telur Ascaris lumbricoides sangat khas dengan susunan dinding telurnya yang relatif tebal dengan bagian luar yang berbenjol-benjol. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Dinding telur tersebut tersusun atas tiga lapisan, yaitu : a. Lapisan luar yang tebal dari bahan albuminoid yang bersifat impermiabel. b. Lapisan tengah dari bahan hialin bersifat impermiabel (

lapisan ini yang memberi bentuk telur ). c. Lapisan paling dalam dari bahan vitelline bersifat sangat

impermiabel sebagai pelapis sel telurnya.

Cacing betina bertelur dan terdapat 4 macam telur : a. Telur fertile corticated (dibuahi, berkotika). Berbetuk oval sampai bulat, berukuran sekitar 70 mikron. Berkulit ganda dengan batas jelas. Kulit bagian luar
4

berkortika (dilapisi albumin) berwarna coklat karena menyerap warna albumin. Kulit bagian dalam halus, tebal, tidak berwarna sampai berwarna kuning pucat. Telur berisi masa bulat bergranula. Pada bagian kutub terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk mirip bulan sabit.

b. Telur fertile decorticated (dibuahi, tidak berkortika). Morfologinya mirip dengan telur fertile berkortika, tetapi kulit bagian luar tidak dilapisi albumin.

c. Telur unfertile corticated (tidak dibuahi, berkortika). Berbentuk telur memanjang elips atau tidak teratur) berukuran sekitar 80x5 mikron. Berkulit ganda dengan batas tidak jelas, kulit bagian luar dilapisi albumin yang

permukaannya tidak rata dan berwarna coklat. Kulit bagian dalam tipis,dapat tampak satu atau dua garis. Isi telur dipenuhi butiran-butiran bulat, besar, dan sangat membias. Pada daerah kutubnya tidak berongga udara.

d. Telur unfertile decorticated (tidak dibuahi, tidak berkortika). Morfologinya mirip telur unfertile corticated, tetapi bagian luar tidak diapisi albumin. Kulit halus tipis, tampak sebagai garis ganda dan tidak berwarna.

Telur stadium dibuahi, decorticated (pembesaran 40 x 10), tanpa lapisan albuminoid berisi : (a) satu sel, (b) morula, (c) larva infektif.

2. Bentuk dewasa. Pada stadium dewasa, cacing spesies ini dapat dibedakan jenis kelaminnya. Biasanya jenis betina memiliki ukuran yang relatif lebih besar dibandingkan jantan. Pada bagian kepala (anterior) terdapat 3 buah bibir yang memiliki sensor papillae, satu pada mediodorsal dan 2 buah pada ventrolateral. Diantara 3 bibir tersebut terdapat bucal cavity yang berbentuk trianguler dan berfungsi sebagai mulut. Jenis kelamin jantan memiliki ukuran panjang berkisar antara 10 30 cm sedangkan diameternya antara 2 4 mm. Pada bagian posterior ekornya melingkar ke arah ventral dan memiliki 2 buah spikula. Sedangkan jenis kelamin betina panjang badannya berkisar antara 20 35 cm dengan diameter tubuh antara 3 6 mm. Bagian ekornya relatif lurus dan runcing. Cacing dewasa bentuknya silindris, dengan bagian anterior meruncing. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya.

Mulut Ascaris lumbrecoides

2.1.4. Siklus hidup

10

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari. Selama proses migrasi tersebut larva tumbuh dari ukuran 200 m sampai 300 m. Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke eksofagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai kedalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Hanya larva yang mencapai moulting yang ke 4 yang dapat hidup menjadi dewasa.Umur cacing dewasa kira-kira dua tahun. Cacing dewasa akan melakukan perkawinan sehingga cacing betina akan gravid dan bertelur. Seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 4 minggu untuk tumbuh menjadi bentuk infektif. Pada saat buang air besar telur keluar bersama faeces dalam keadaan belum membelah. Untuk menjadi infektif diperlukan pematangan ditanah yang lembab dan teduh selama 20-24 hari dengan suhu optimum 30 oC. Jumlah telur A.lumbricoides yang cukup besar dan dapat hidup selama jangka waktu 6 tahun maka larvanya dapat tersebar dimana-mana, menyebar melalui tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang mengandung telur A.lumbricoides infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing A.lumbricoides hanya dapat menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung dengan kulit.

11

Telur A.lumbricoides yang baru dilepaskan ke tinja. Tampak dengan gambaran yang berwarna coklat muda atau tua. Interferens kontras 400x. Pembesaran 5,4x

Telur A.lumbricoides yang sedang membelah. Proses ini secara langsung terjadi di tanah dan menyebabkan bentuk larva. Interferens kontras 400x. Pembesaran 5,4x.

Telur berembrio A.lumbricoides. Sarungnya telah diganti oleh bahan kimia guna melihat isinya lebih jelas. Larva sedang keluar dari telur ke tengah. Interferens kontras 400x. Pembesaran 5,4x.

12

2.1.5. Patologi klinik Gejala klinis akan ditunjukkan pada stadium larva maupun dewasa. Pada infeksi biasa , penderita mengandung 10-20 ekor cacing, sering tidak ada gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui setelah pemeriksaan tinja rutin atau karena cacing dewasa keluar bersama tinja. Pada stadium larva, A.lumbricoides dapat menyebabkan gejala ringan di hati dan di paru-paru akan menyebabkan sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan reaksi jaringan yang hebat dapat terjadi di sekitar larva di hati dan paru disertai infiltrasi eosinofil, makrofag dan sel-sel epiteloid, hal ini disebut Pneumonitis

Ascaris yang juga disertai reaksi alergik berupa dispneu, batuk kering atau berdahak, mengi, ronkhi kasar dan demam, eosinofilia sementara disertai adanya bercak atau infiltrat pulmoner pada rontgen foto. Gambaran infiltrat pulmoner yang tampak pada rontgen foto dengan disertai adanya eosinofilia disebut sindroma Loeffler. Bercak atau infiltrat tersebut akan menghilang pada kurang lebih 3 minggu.

Pada fase intestinal urtikaria dan asam dapat terus berlangsung

Larva A.lumbricoides di paru

Pada stadium dewasa, di usus cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak nafsu makan, muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual. Bila cacing masuk ke saluran empedu makan dapat menyebabkan kolik atau ikterus. Bila

13

cacing dewasa kemudian masuk menembus peritoneum badan atau abdomen maka dapat menyebabkan akut abdomen. Infeksi cacing gelang di usus besar gejalanya tidak jelas. Pada infeksi massif dapat terjadi gangguan saluran cerna yang serius antara lain obstruksi total saluran cerna. Cacing gelang dapat bermigrasi ke organ tubuh lainnya misalnya saluran empedu dan menyumbat lumen sehingga berakibat fatal. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Sering kali infeksi ini baru diketahui setelah cacing keluar spontan bersama tinja atau dimuntahkan.

Bila cacing dalam jumlah besar menggumpal dalam usus dapat terjadi obstruksi usus (ileus), yang merupakan kedaruratan dan penderita perlu dirujuk ke rumah sakit.

14

Patogenesis yang disebabkan infeksi A.lumbricoides dihubungkan dengan: 1. Respon imun hospes 2. Efek migrasi larva 3. Efek mekanik cacing dewasa 4. Defisiensi gizi akibat keberadaan cacing dewasa. Meskipun dalam perjalanan larva melalui hati dan paru tidak menimbulkan gejala tetapi bila jumlah larvanya cukup banyak akan menimbulkan pneumonitis. Ketika larva menembus paru mungkin akan menimbulkan sedikit kerusakan pada epitel bronkus, bila hal ini berlanjut bukan tidak mungkin menimbulkan reaksi jaringan yang hebat. Pada anak-anak terutama dibawah 5 tahun menyebabkan defisiensi gizi berat karena jumlah cacing yang banyak. Akibat langsung berupa: 1. Meningkatnya nitrogen dalam tinja 2. Meningkatnya lemak dalam tinja 3. Kegagalan absorbsi karbohidrat. Setiap 20 cacing dewasa, per hari akan merampas 2,8 gram karbohidrat dan o,7 gram protein sehingga terutama pada anak-anak seringkali menimbulkan perut buncit, pucat, lesu, rambut jarang berwarna merah, serta badan kurus, apalagi jika anak sebelumnya menderita undernutrisi. Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga dapat menimbulkan keadaan anemi.

2.1.6. Patomekanisme Gejala & Tanda pada Kasus 1. Batuk-batuk selama 3 minggu Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.

15

Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50/100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis. Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi. Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai 16.000 sampai 24.000 cm per menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan diameter trakea sampai 80%. 2. Refleks Batuk Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama yaitu reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen dan efektor. Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma. Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus, yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma. Serabut aferen membawa rangsang ini ke pusat batuk yang terletak di medula oblongata, di dekat pusat pernapasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut16

serabut eferen nervus vagus, frenikus, interkostal dan lumbar, trigeminus, fasialis, hipoglosus dan nervus lainnya menuju ke efektor. Efektor ini terdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal dan lain-lain. Di daerah efektor inilah mekanisme batuk kemudian terjadi. Jika dihubungkan dengan skenario, batuk yang terjadi dikarenakan perkembang biakan larva yang melewati bronkus, trakea, laring, dan faring serta esofagus merangsang resptor batuk yang ada pada saluran napas tersebut merangsang N.Vagus untuk mengalirkan reseptor tersebut ke medulla oblongata dan akhirnya merangsang nucleus otak, khususnya pusat batuk. 3. Demam Ringan Demam atau febris merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan suhu tubuh, dimana suhu tersebut melebihi dari suhu tubuh normal (>37,2oC). Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh. Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme, yaitu cacing Ascaris lumbricoides) kedalam tubuh kita. Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini
17

dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/menggigil. Adanya proses mengigil (pergerakan otot rangka) ini ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak dan terjadilah demam. 4. BAB cair Ketika larva cacing Ascaris lumbricoides masuk ke dalam tubuh manusis melalui makanan yang akhirnya masuk ke dalam usus, maka di dalam usus akan terjadi reaksi inflamasi agar tetap terjadi pertahanan tubuh pada tubuh hospes. Saat terjadi reaksi inflamai dalam usus maka terjadi peningkatan sekresi cairan dan elektrolit yang akhirnya akan menyebabkan isis rongga dalam usus meningkat dan ankhirnya BAB cair (diare). 5. Sakit Perut Sakit perut dapat dihubungkan karena terjadinya penumpukan cacing dalam usus yang pada dasarnya daur hidup larva dalam usus akan mengembangbiakan cacing sebanyak 20 sampai 20.000, dan dapat juga terjadi karena sifat Ascaris lumbricoides yang dapat merusak usus dengan cara memakan protein-protein yang masuk melalui makanan dari hospes sehingga menyebabkan gerakan peristaltik pada usus berlebihan. 6. Berat Badan Berkurang Berat badan berkurang terjadi karena hubungan antara anoreksia, BAB cair dan sakit perut. 7. Eosinofil 15% Jika dilihat pada kadar normalnya yang sebesar 1-4% pada kasus di skenario ini terjadi eosinofilia. Eosinofilia adalah tingginya rasio eosinofil di dalam plasma darah. Eosinofilia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan respon terhadap suatu penyakit. Peningkatan jumlah eosinofil dalam darah dipicu sekresi interleukin-5 oleh sel T, mastosit dan makrofag, biasanya menunjukkan respon yang tepat terhadap sel-sel abnormal, parasit atau bahan-bahan penyebab reaksi alergi (alergen). Pada awalnya eosinofil terjadi pada sumsum tulang. Tetapi setelah dibuat di dalam sumsum tulang, eosinofil akan memasuki aliran darah dan tinggal dalam darah hanya beberapa jam, kemudian masuk ke dalam jaringan di seluruh tubuh. Jika suatu bahan
18

asing masuk ke dalam tubuh, akan terdeteksi oleh limfosit dan neutrofil, yang akan melepaskan bahan untuk menarik eosinofil ke daerah ini. Eosinofil kemudian melepaskan bahan racun yang dapat membunuh parasit dan menghancurkan sel-sel yang abnormal. 8. Infiltrat Adanya infiltrat pada pada saat pemeriksaan paru-paru pasien karena ketika terjadi daur hidup cacing pada tubuh manusia, cacing tersebut melewati paru-paru dan membuat kerusakan pada paru-paru sehingga sel leukosit yang ada di paru-paru menggumpan dan membentuk konsolidasi.

2.1.7. Diagnosis Dari gejala klinis saja seringkali susah untuk menegakkan diagnosis, karena tidak ada gejala klinis yang spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis A.lumbricoides ditegakkan berdasarkan menemukan cacing dalam tinja (melalui pemeriksaan langsung atau metode konsentrasi), larva dalam sputum, cacing dewasa keluar dari mulut, anus, atau dari hidung. Tingkat infeksi Askariasis dapat ditentukan dengan memeriksa jumlah telur per gram tinja atau jumlah cacing betina yang ada dalam tubuh penderita.
Tabel 5.1 Hubungan antara tingkat infeksi Ascariasis dengan jumlah telur per gram tinjadan jumlah cacing betina. (Sumber: Parasitic Diseases Programme, WHO, geneva,1981)

No. 1. 2. 3.

Beratnya ascariasis Ringan Sedang Berat

Jumlah telur per gram tinja Kurang dari 7000 7000-35.000 Lebih dari 35.000

Jumlah cacing betina 5 atau kurang 6-25 Lebih 25

Satu ekor cacaing betina per hari menghasilkan lebih kurang 200.000 telur, atau 2000-3000 telur per gram tinja. Jika infeksi hanya oleh cacing jantan atau cacing

19

yang belum dewasa sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja penderita, untuk diagnosis dianjurkan dilakukan pemeriksaan thorax foto. 2.1.8. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat, diantaranya:

Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal (maksimal 1 gram) Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg 2 x sehari selama tiga hari berturutturut (untuk semua umur)

Albendazol 400 mg dosis tunggal oral (untuk semua umur), tetapi tidak boleh digunakan selama hamil.

Piperazin citrate 150 mg/kg dosis awal, diikuti dengan 6 dosis 65 mg/kg setiap 12 jam. Pada kasus obstruksi partial, beberapa ahli menyarankan terapi alternative dengan

Piperazine citrate, yang menyebabkan neuromuscular paralisis (melumpuhkan) cacing dan ekspulsi dari cacing. Biasanya tersedia dalam sirup dan diberikan melalui NGT. Namun perlu diingat Piperazine dan Pyrantel pamoat bekerja saling berlawanan (antagonist) dan jangan diberikan bersamaan. Untuk kasus obstruksi mungkin diperlukan rawat inap. Operasi laparotomy mungkin diperlukan untuk kasus obstruksi yang berat. Oksantel-pirantel pamoat adalah obat yang digunakan untuk infeksi campuran A.lumbricoides dan T.trichiura. Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu:

Obat mudah diterima masyarakat Aturan pemakaian sederhana Mempunyai efek samping yang minim Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing harganya murah

2.1.9. Prognosis

20

Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik. Tanpa pengobatan infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara 70-90%.

2.1.10. Epidemiologi Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak-anak. Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan yang baik. Pemakaian jamban keluarga dapat memutus rantai siklus hidup Ascaris lumbricoides ini. Pada umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita pada anak-anak, jika dibandingkan dengan orang dewasa frekuensinya lebih rendah. Hal ini disebabkan karena kesadaran akan kebersihan dan kesehatan pada anak-anak masih rendah atau mereka belum memikirkan sampai sejauh itu. Sehingga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu,manusia justru akan menambah polusi lingkungan sekitarnya. Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemik. Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23 oC sampai 30 oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.

21

2.1.11. Pencegahan Untuk pencegahan terinfeksi oleh Ascaris lumbricoides diantaranya dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:

Pengobatan masal 6 bulan sekali di daerah endemik atau di daerah yang rawan askariasis.

Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti: a. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. b. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun. c. Sayuran segar (mentah) yang akan dimakan sebagai lalapan, harus dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun. d. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air. e. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. f. Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar.

Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan obat cacing.

Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit . Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.
22

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar yang menginfeksi manusia. Hospes atau inang dari Ascaris lumbricoides adalah manusia. Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Cacing betina menghasilkan sekitar 20.000 telur per harinya. Ada 3 macam telur yang mungkin ditemukan, yaitu: 1. 2. 3. telur yang dibuahi telur yang mengalami dekortikasi telur yang tidak dibuahi Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari dengan suhu optimum 30C, bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris. Telur infektif berembrio, bersama makanan akan tertelan sampai ke lambung dan bergerak menuju usus halus. Larva akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah dan beredar mengikuti sistem peredaran. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus. Di usus, larva akan menjadi cacing dewasa kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya. Seluruh proses ini membutuhkan waktu 8-12 minggu. Pada stadium dewasa, cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak nafsu makan, muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat, diantaranya:
23

Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal (maksimal 1 gram) Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg 2 x sehari selama tiga hari berturut-

turut (untuk semua umur) Albendazol 400 mg dosis tunggal oral (untuk semua umur), tetapi tidak boleh

digunakan selama hamil. Piperazin citrate 150 mg/kg dosis awal, diikuti dengan 6 dosis 65 mg/kg setiap 12 jam. Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu: Obat mudah diterima masyarakat Aturan pemakaian sederhana Mempunyai efek samping yang minim Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing Harganya murah

24

Vous aimerez peut-être aussi