Vous êtes sur la page 1sur 34

BAB I STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN Nama Umur : : Tn. A 34 tahun Laki-laki Baru Pawenang RT/RW 02/23 Cianjur Penjual di pasar 25 Mei 2013, Pukul 15.47 WIB 583***

Jenis kelamin : Alamat Pekerjaan Tgl MRS No RM Dirawat ANAMNESA Autoanamnesa : : : :

: Ruang Kenanga

Keluhan Utama Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari Riwayat Penyakit Sekarang Os MRS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah, nyeri terus menerus. Nyeri awalnya dirasakan diulu hati seperti sakit maag, kemudian nyeri perut menjalar perut ke kanan bawah, nyeri perut menetap diperut kanan bawah, di bagian perut lain terasa nyeri tetapi tidak seberat di perut kanan bawah, nyeri dirasakan bertambah berat bila bergerak dan batuk, perut terasa tegang, kembung (-), mual (+), muntah (-), Buang air besar dan buang air kecil lancar, kentut (+). Os. Mengalami demam dihari pertama sakit dan di hari kedua os tidak demam. Riwayat Penyakit Dahulu Os pernah mengalami hal seperti ini sejak 4 bulan yang lalu, dianjurkan oleh dokter yang memeriksa di operasi namun Os belum melakukan. Dan keluhan timbul kembali 2 hari SMRS. hipertensi disangkal. Riwayat penyakit diabetes disangkal, dan

Riwayat Penyakit Keluarga Dikeluarga Os tidak ada yang menderita hal seperti ini. Riwayat Pengobatan Os sudah berobat ke puskesmas sebelumnya hanya diberikan obat anti nyeri. Riwayat Psikososial Os jarang makan makanan berserat terutama buah atau sayur. Riwayat Alergi Os tidak tahu ada alergi terhadap obat atau tidak.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran composmentis Vital Sign TD HR RR : 110/70 mmHg : 72x/menit : 20x/menit : (E4 V5 M6) GCS 15

Suhu : 37o C Status Generalis Kepala : Normochepal Mata THT Leher : Diameter Pupil Refleks pupil Konjungtiva Sklera : : : 3 mm/3 mm : +/+, isokor : anemis -/: ikterik -/-

Dalam batas normal Pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)

Thorax : Paru-paru Inspeksi : Normochest, pergerakan dada simetris, tidak ada luka bekas operasi Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-),

vokal fremitus sama simetris dekstra sinistra. Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi : vesikular (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), stridor (-/-)

Jantung BJ I dan II murni regular Murmur (-), gallops (-) Abdomen : (status lokalis) Ekstremitas atas : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-) Ekstremitas bawah : akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-) Status Lokalis At regio abdomen Inspeksi : Abdomen tampak

cembung, asites (-), luka bekas operasi (-) Auskultasi Palpasi : Bising usus (+) menurun : defans muskuler (+), nyeri

tekan diepigastrium, nyeri tekan perut kanan bawah (+), tidak teraba massa , rovsing sign (+), psoas sign (+), obturator sign (+), Blumberg sign (+) Perkusi : Timpani seluruh kuadran abdomen

PEMERIKSAAN PENUNJANG Hematologi Rutin


Hasil Hemaglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit MCV MCH MCHC RD-SD PDW MPV Differential LYM % MXD % NEU % Absolut LYM # MDX# NEU# 1.8 0.2 12.9 1.00 1.43 0 1.2 1.8 7.6 10^3/L 10^3/L 10^3/L 11.2 0.9 87.3 26 36 0 11 40 70 % % % 14.4 47.2 5.06 15.9 256 93.3 28.5 30.5 12.1 17.5 3.2 Nilai Normal 13.5 17.5 37 47 4.2 5.4 4.8 10.8 150 450 80 94 27 31 33 37 10 15 9-14 8 12 Satuan g/dL % 10^6/L 10^3/L 10^3/L fL Pg % fL fL fL

Urinalisa
Pemeriksaan Kimia Urin Warna Kejernihan Berat jenis pH Nitrit Protein urin Protein Urin Kuning Agak keruh 1.000 5.0 Negative Negative Negative Kuning Jernih 1.013 1.030 4.6 8 Negative Negative Negative mg/dL mg/dL mg/dL Hasil Nilai Rujukan Satuan

Glukosa (Reduksi) Keton Urobilinogen Bilirubin Eritrosit Leukosit Mikroskopis Lekosit Eritrosit Epitel Kristal Silinder

Negative Negative 4/2+ 1/1+ 10/1+ Negatif 45 34 34 Neagtif Negative

Negatif Negative Normal Negatif Negatif Negative 14 01 Negative Negative Negative

UE Negative Normal Negative Negative Negative

/LPB /LPB

RESUME Tn.A 34 tahun MRS dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari, nyeri terus menerus, Nyeri awalnya dirasakan diulu hati seperti sakit maag, kemudian nyeri perut berpindah ke kanan bawah, nyeri perut menetap diperut kanan bawah, di bagian perut lain terasa nyeri tetapi tidak seberat di perut kanan bawah, nyeri dirasakan bertambah berat bila bergerak dan batuk, perut terasa tegang, mual (+), demam (+). Os pernah mengalami hal yang sama 4 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Tanda-tanda vital Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 72x/menit, pernafasan 20x/menit dan suhu 37o C. Pada pemeriksaan abdomen di dapatkan, Abdomen tampak cembung, auskultasi bising usus (+) menurun, Palpasi Defans muskuler (+), nyeri tekan diepigastrium (+), nyeri tekan perut kanan bawah (+), rovsing sign (+), psoas sign (+), obturator sign (+), Blumberg sign (+), Perkusi Timpani seluruh kuadran abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 15.900 ribu.

ANALISA KASUS Identitas : Laki laki, 34 tahun Anamnesis : Keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari, nyeri terus menerus, Nyeri awalnya dirasakan diulu hati seperti sakit maag, kemudian nyeri perut berpindah ke kanan bawah, nyeri perut menetap diperut kanan bawah, di bagian perut lain terasa nyeri tetapi tidak seberat di perut kanan bawah, nyeri dirasakan bertambah berat bila bergerak dan batuk, perut terasa tegang, mual (+), demam (+) Os pernah mengalami hal yang sama 4 bulan yang lalu. Pemeriksaan Fisik : Status lokalis a/r abdomen . Abdomen tampak cembung, auskultasi bising usus (+) menurun, Palpasi Defans muskuler (+), nyeri tekan diepigastrium (+), nyeri tekan perut kanan bawah (+), rovsing sign (+), psoas sign (+), obturator sign (+), Blumberg sign (+), Perkusi Timpani seluruh kuadran abdomen. Pemeriksaan Laboratorium : Leukosit 15.900

Bedasarkan keluhan utama pasien dari hasil anamnesis, kemungkinan penyakit dengan keluhan nyeri perut kanan bawah adalah : Peritonitis Difussa ec Appendiksitis perforasi Appendiksitis akut Appendiksitis kronik Gastroenteritis

Kemungkinan diagnosis yang disingkirkan : Appendiksitis akut Appendiksitis kronik Gastroenteritis

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat dibuat Assesment :

Peritonitis difussa ec appendiks perforasi Penatalaksanaan : Laparatomi eksplorasi dan appendiktomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PERITONITIS

2.1

Definisi Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan

pembungkus visera dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa). 2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis. 3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri

sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Molekul-molekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui stomata kecil. Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix

(intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).

2.2 Anatomi Dinding Abdomen

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Banyaknya vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI XII dan n. Lumbalis I.

2.3 ETIOLOGI Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.

10

Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium

Tuberculosa.

Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung).

Area sumber Esofagus

Penyebab Keganasan Trauma Iatrogenik Sindrom Boerhaave

Lambung

Perforasi ulkus peptikum Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma gastrointestinal) Trauma Iatrogenik

Duodenum

Perforasi ulkus peptikum Trauma (tumpul dan penetrasi) Iatrogenik

Traktus bilier

Kolesistitis Perforasi batu dari kandung empedu Keganasan Kista duktus koledokus Trauma Iatrogenik

Pankreas

Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu empedu) Trauma Iatrogenik

Kolon asendens

Iskemia kolon Hernia inkarserata

11

Obstruksi loop Penyakit Crohn Keganasan Divertikulum Meckel Trauma Kolon apendiks desendens dan Iskemia kolon Divertikulitis Keganasan Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn Apendisitis Volvulus kolon Trauma Iatrogenik Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease Keganasan Trauma

* Keterangan, Penyebab iatrogenik umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas, termasuk pankreas, saluran empedu, dan kolon. Kadang bisa juga berasal dari trauma endoskopi. Jahitan operasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi) seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (mis. apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko ini dapat meningkat hingga lebih dari 50% pada penyakit kolon gangren dan perforasi viseral. Setelah operasi trauma abdomen juga dapat mengakibatkan peritonitis sekunder dan abses. Risiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses juga makin tinggi dengan adanya keterlibatan duodenum, pankreas, perforasi kolon, kontaminsai peritoneal, syok perioperatif, dan transfusi yang masif.

12

Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites. Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur beberapa mikroorganisme. Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif. Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan

13

diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini. Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais. Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului dengan asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB. Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahanbahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.

14

PEMBAHASAN APPENDIKS
A. Apendiks Vermiformis 1. Anatomi

Apendiks vermiformis pada manusia merupakan struktur tubular yang rudimenter dan tanpa fungsi yang jelas. Apendiks berkembang dari posteromedial sekum dengan panjang bervariasi dengan ratarata antara 6-10 cm dan diameter sekitar 0,5-0,8 cm. Posisi apendiks dalam rongga abdomen juga bervariasi, tersering berada posterior dari sekum atau kolon asendens. Hampir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum, dan mesoapendiks (mesenter dari apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinu disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks. Apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung dari apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivat cabang inferior dari arteri iliocoli yang merupakan cabang trunkus mesenteric superior. Selain arteri apendikular yang memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena

15

apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena mesenteric superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal. Drainase limfatik berjalan ke nodus limfe regional seperti nodus limfatik ileocoli. Persarafan apendiks merupakan cabang dari nervus vagus dan pleksus mesenteric superior.

Permukaan eksternal apendiks tampak halus dan berwarna merah kecoklatan hingga kelabu. Permukaan dalam atau mukosa secara umum sama seperti mukosa kolon, berwarna kuning muda dengan gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen folikel limfoid ini mengakibatkan lumen dari apendiks seringkali berbentuk irregular (stellata) pada potongan melintang dengan diameter 1-3 cm. 2. Perkembangan Embriologi Apendiks vermiformis berasal dari struktur primordial yakni divertikulum sekal yang muncul pada janin berusia 6 minggu. Bagian proksimal dari divertikulum ini membentuk sekum sedangkan bagian distal atau apeks terus memanjang membentuk apendiks. Pada anakanak peralihan antara sekum dan apendiks tidak sejelas pada orang dewasa, dan apendiks tampak disebelah inferior dari sekum, berbeda pada orang dewasa dimana peralihan lebih jelas dan apendiks berada disisi posteromedial dari sekum. Perkembangan embriologis yang 16

abnormal dapat mengakibatkan agenesis, hipoplasia, duplifikasi atau bahkan triplikasi dari apendiks. Duplifikasi dari apendiks sering diasosiasikan dengan anomali kongenital lain yang mengancam jiwa. Letak apendiks

1. Preileal 2. Postileal 3. Promontoric 4. Pelvic 5. Subcecal 6. Paracolic or prececal 7. Histologi Komposisi histologi dari apendiks serupa dengan usus besar , terdiri dari empat lapisan yakni mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Mukosa apendiks terdiri dari selapis epitel di permukaan. Pada epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel-sel goblet, sel-sel neuro endokrin, dan beberapa sel paneth. Lamina propia dari mukosa adalah lapisan seluler dengan banyak komponen sel-sel migratory, dan agregasi limfoid. Berbeda dengan di usus besar dimana limfoid folikel tersebar, pada apendiks folikel limfoid ini sangat banyak dijumpai terutama pada apendiks individu berusia muda. Seringkali, folikel limfoid ini mengubah kontur lumen dari apendiks. Lapisan terluar dari mukosa 17

adalah muskularis mukosa, yang merupakan lapisan fibromuskuler yang kurang berkembang pada apendiks. Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan ini tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin, serta fibroblast. Lapisan submukosa juga dapat mengandung sel-sel migratori seperti makrofag, sel-sel limfoid, sel-sel plasma serta sel mast. Pembuluh darah dan limfe merupakan komponen yang dominan pada lapisan ini. Pembuluh limfatik terdapat jelas di bawah dasar dari folikel limfoid. Di lapisan ini juga terdapat struktur neural berupa pleksus Meissner. Pleksus saraf in terdiri dari ganglia, sel-sel ganglion, kumpulan neuron dengan prosesusnya, dan sel Schwann yang saling berinterkoneksi membentuk jaringan saraf di lapisan submukosa. Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa , merupakan lapisan muskularis eksterna dari apendiks. Lapisan ini terpisah menjadi 2 bagian, yakni lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal di sebelah luar. Pada lapisan ini sering terlihat degenerasi granular sitoplasmik eosinofilik terutama pada lapisan sirkular. Di antara dua lapisan otot ini terdapat pleksus mienterik atau pleksus Auerbach, yang serupa secara morfologi dan fungsi dengan pleksus Meissner di lapisan submukosa. Sebagai tambahan, pembuluh limfatik dan pembuluh darah juga terdapat pada lapisan ini. Lapisan terluar dari apendiks adalah lapisan serosa, diantara lapisan serosa dan muskularis eksterna terdapat region subserosal, yang terdiri dari jaringan penyambung longgar, pembuluh darah, limfe dan saraf. Lapisan serosa sendiri merupakan selapis sel-sel mesotelial kuboidal, yang terdapat pada lapisan tipis jaringan fibrosa. 8. Fisiologi Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir I muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

18

Imunoglobulin sekretoar dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah igA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limf di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

B. Appendisitis 1. Definisi Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendiks disebut juga umbai cacing. 2. Epidemiologi Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun, diduga disebabkan oleh meningkatnya

penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi. 3. Etiologi Etiologi apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus di samping hyperplasia jaringan limf, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba histolytica.

19

Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan

mempermudah timbulnya apendisitis akut. Berikut appendiksitis, adalah organsme yang dapat menyebabkan akut

4. Patologi Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk masa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri saecara lambat. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan berbentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan di sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan

20

keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai eksaserbasi akut. 5. Patofisiologi Apendisitis disebabkan mula-mula oleh sumbatan lumen. Obstruksi lumen apendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan. Sumbatan lumen apendiks menyebabkan keluhan sakit di sekitar umbilikus dan epigastrium, nausea dan muntah. Proses selanjutnya ialah invasi kuman E.coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularis dan akhirnya ke peritoneum parietalis sehingga terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Suhu tubuh mulai naik. Gangren dinding apendiks disebabkan oleh oklusi pembuluh darah dinding apendiks akibat distensi lumen apendiks. Bila tekanan intralumen terus meningkat terjadi perforasi dengan ditandai kenaikan suhu tubuh menigkat dan menetap tinggi. Tahapan peradangan apendisitis: Apendisitis akuta (sederhana, artinya tanpa perforasi) Apendisitis akuta perforata (termasuk apendisitis gangrenosa, karena gangren dinding apendiks sebenarnnya sudah terjadi mikroperforasi). 6. Gambaran klinis Apendisitis akut memiliki gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas

21

letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah sisi perut kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan atau kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya hanya sering rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada orang berusia lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga

22

keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke region lumbal kanan. Kemungkinan Appendisitis dapat dipastikan dengan menggunakan skala Alvarado.Sistem skoring ini dibuat untuk membantu penegakkan diagnose Appendisitis. Pada tabel terdapat indikator spesifik untuk mengidentifikasi.Pasien dengan skor 9 atau 10 hampir pasti Appendisitis.Pasien dengan skor 7 atau 8 kemungkinan Appendisitis. Pasien dengan skor 5 atau 6 belum pasti Appendisitis tetapi diobservasi lagi, apabila gejala menurun, sudah pasti bukan Appendisitis, jika gejala meningkat, kemungkinan Appendisitis. Pasien dengan skr 0-4 bukan Appendisitis tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itu adalah Appendisitis.

Pemeriksaan pada appendiksitis Rovsings sign Psoas sign atau Obraztsovas sign Obturator sign Dunphys sign Ten Horn sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan. Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah. Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina. Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada

23

Kocher (Kosher)s sign

Sitkovskiy (Rosenstein)s sign Bartomier-Michelsons sign Aure-Rozanovas sign

Blumberg sign

korda spermatic kanan Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri Nyeri yang semakin bertambah pada kuadran kanan bawah pada pasien dibaringkan pada sisi kiri dibandingkan dengan posisi terlentang Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit trianglekanan (akan positif Shchetkin-Bloombergs sign) Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba

7. Diagnosa Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus diarahkan untuk mendiagnosis apendisitis dan mengeklusi diagnosis altrenatif seperti gastroenteritis viral, konstipasi, infeksi saluran kemih, sindrom hemolitik-uremik, Henoch-Schnlein purpura, adenitis mensenterik, osteomielitis pelvis, abses psoas, dan penyakit tuboovarian (kehamilan ektopik, kista ovarium, Pelvic inflamator disease, ovarian torsion. Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi yang meliputi ekspresi pasien dan keadaan abdomen. Pada auskultasi bising usus normal atau meningkat pada awal apendisitis, dan bising melemah jika terjadi perforasi. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar C. bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rectal sampai 1C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masa atau abses periapendikuler. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. 24

Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adnaya rasa nyeri. Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu : hamil trimester II dan III akan bergeser kekanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari apendiks. Peristalsis colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang dicurigai apendisitis biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap dan urinalisis. Peran utama pemeriksaan laboratorium ini adalah untuk mengekslusi diagnosis alternatif seperti infeksi saluran kemih, sindrim hemolitikuremik, Henoch-Schnlein purpura. Leukositosis moderat biasanya sering terjadi pada pasien (75%) dengan apendisitis dengan jumlah leukosit bekisar antara 10.000 18.000 sel /mL dengan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh sel polimorfonuklear. Sekalipun demikian, tidak adanya leukositosis tidak menutup kemungkinan terhadap apendisitis akut. Pada urinalisis terdapat peningkatan berat jenis urin, terkadang ditemukan hematuria, piuria, dan albuminuria. Obat-obatan seperti antibiotik dan steroid dapat mempengaruhi hasil laboratorium.

Pada pemeriksaan radiologi, foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 97 %), terutama untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. 25

Pemeriksaan psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus yang merupakan dinding panggul pada posisi terlentang akan meimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.

Pemeriksaan Radiologi Foto polos abdomen dilakukan apabila dari hasil pemeriksaan riwayat sakit dan pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan, mungkin terlihat ileal ataupun caecal ileus (gambaran garis permukaan cairan-udara di sekum atau ileum). Patognomonik bila terlihat gambaran fekilit. Foto polos pada apendisitis perforasi: o Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat terbatas di kuadran kanan bawah o Penebalan dinding usus di sekitar letak apendiks, seperti sekum dan ileum. o Garis lemak pra peritoneal menghilang; o Skoliosis ke kanan; o Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah infeksi. Gambaran tersebut di atas seperti gambaran pertonitis pada umumnya, artinya dapat disebabkan oleh bermacam-macam kausa. Apabila foto terlihat gambaran fekalit maka gambaran seperti tersebut di atas patognomonik akibat apendisitis.

Laboratorium

26

Pemeriksaan darah: lekosist ringan umumnya pada apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya lekositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri. Pemeriksaan urin: sedimen dapat normal atau terdapat lekosit dan eritrosit > normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. 8. Diagnosis Banding Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. a. Gastroenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. b. Demam Dengue Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit yang meningkat. c. Limpadenitis Mesenterika Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis yang ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan. d. Kelainan ovulasi Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul terlebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari. e. Infeksi panggul Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita

27

biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus dilayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding. f. Kehamilan diluar kandungan Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentsis didapatkan darah. g. Kista ovarium terpuntir Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, ultrasonografi dapat menentukan diagnosis. h. Endometriosis eksterna Endometriosis di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar. i. Urolitiasis pielum/ureter kanan Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapt memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan dan piura. Penyakit saluran cerna lainnya. Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks. 9. Terapi

28

1. Apendisitis perforasi Persiapan prabedah: pemasangan sonde lambung dan tindakan dekompresi. Rehidrasi. Penurunan suhu tubuh. Antibiotika dengan spektrum luas, dosis cukup, diberikan secara intravena. 2. Apendisitis dengan penyulit peritonitis umum Umumnya pasien dalam kondisi buruk. Tampak septik dan dalam kondisi hipovolemi serta hipertensi. Hipovolemi diakibatkan oleh puasa lama, muntah dan pemusatan cairan di daerah proses radang, seperti udem organ intraperitoneal, dinding abdomen dan pengumpulan cairan dalam rongga usus dan rongga peritoneal. Persiapan prabedah: Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin Rehidrasi Antibiotika dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena Obat-obat penurun panas, phenergen sebagai anti

menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh-pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai. Tekhnik insici pada operasi appendiks Insisi Grid Iron (McBurney Incision) Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi parallel dengan otot oblikus eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang menghubungkan spina liaka anterior superior kanan dan umbilikus.

29

Lanz transverse incision Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi transversal pada garis miklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik dari pada insisi grid iron.

Rutherford Morissons incision (insisi suprainguinal) Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney. Dilakukan jika apendiks terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.

Low Midline Incision Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis umum.

Insisi paramedian kanan bawah Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di bawah umbilikus sampai di atas pubis.

30

APENDISITIS PERFORATA

Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak kecil), dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks. Dilaporkan insidens perforasi 60% pada penderita di atas usia 60 tahun. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Diagnosis Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan; peristalsis usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik. Abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai abses. Ultrasonografi dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pnuemonia basal, atau efusi pleura. Ultrasonografi dan foto rontgen dada akan membantu membedakannya. Tatalaksana Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman Gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparatomi dengan insisi yang panjang supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran

31

fibrin yang adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong nanah. Karena ada kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan penyalir subfasia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak ada infeksi. Pada anak tidak usah dipasang penyalir intraperitoneal karena justru menyebabkan

komplikasi infeksi lebih sering.

Apendisitis Rekurens Diagnosis, apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi, dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Risiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%. Insidens apendisitis rekurens adalah 10% dari spesimen apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.

Apendisitis Kronik o Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendektomi. o Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 %.

32

Infiltral apendiks Proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum di sekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur 5 tahun atau lebih; daya tahan tubuh tekah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang. Terapi 1. Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif dengan ditandai dengan: a. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi; b. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis; c. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri. 2. Massa apendiks dengan proses radang yang telaah mereda dengan ditandai dengan: a. Umumnya pasien berumur 5 tahun atau lebih; b. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi; c. Pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri teakan ringan; d. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotika dan istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.

33

DAFTAR PUSTAKA E-book. Brunicardi, F. Charles. Schwartzs Principles of Surgery, ninth edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. 2010 Chapter 30 J.Zinner Michael, Stanley W Asshley. Abdominal Operations. 11st Edison. Skandalakis JE, Colborn GL, Weidman TA, et al. Editors. Skandalakis Surgical Anatomy. USA: McGrawHill. 2004 Russell RCG, Williams NS, Bulstrode CJK. Editors. Bailey and Loves Short Practice of Surgery. 24th Ed. London: Arnold. 2004.

34

Vous aimerez peut-être aussi