Vous êtes sur la page 1sur 14

ABSTRAK

Background: Domestic violence is every act of persons, mainly women, which resulted in the incidence of misery or suffering physical, sexual, psychological, and/or neglect households including the threat to commit acts, coercion, or deprivation of liberty is against the law in the sphere of the household. Acts of violence on the wife in the household is a serious social problem, but poorly received response from society and law enforcers for several reasons: first, the absence of an accurate criminal statistics, second: acts of violence on the wife in the household has a very personal scope, related to the purity and harmony of the household (sanctitive of the home), third: acts of violence on his wife deemed reasonable for the rights of the husband as the leader and head of the family, 4th: acts of violence on the wife in the household going on in legal institutions i.e. marriage. Design: Case Report. Methods: interviewing victims and seeing the results of visum. Case presentation: a woman getting a physical and psychological violence from her husband divorced her husband and sued, but sue her husband behind his wife alleged child neglect. Discussion and conclusion: the physical Impact of DOMESTIC VIOLENCE on his wife because it can affect the development of the social relations, psychic and reviewed from the law and Islam. Keyword: Domestic Violence, Wife Abuse, Physical Abuse

LATAR BELAKANG Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memiliki situasi yang lebih spesifik dan bersifat pribadi karena terdapat dalam rumah tangga. Pengertian dari KDRT adalah setiap perbutatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 ayat 1 dalam Undang-undang Penghapusan Dampak KDRT). Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi, berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala

keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan.1 Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.2 Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang

menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural lakilaki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.1 Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.2 Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi
2

sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik sehingga tujuan pembuatan case report untuk membahas dampak fisik akibat KDRT dalam hukum dan islam.3 DESKRIPSI KASUS S dan R bertemu pertama kali pada tahun 1996. Mereka bertemu saat menjalani pendidikan di Universitas. Keterlibatan S dan R dalam beberapa kegiatan kampus membuat hubungan mereka semakin dekat. Beberapa tahun kemudian, R secara resmi meminta S untuk menjadi kekasihnya. Pada awalnya, hubungan mereka ditentang oleh orangtua S. Menurut penuturan S, R gigih melakukan pendekatan kepada keluarganya hingga akhirnya orangtua S merestui hubungan mereka dengan syarat. S menikah dengan R pada tahun 2000. Setelah dua bulan pernikahan, ia mengandung anak pertama, laki-laki bernama HN yang saat ini berusia 9 tahun. Pada tahun 2004, ia melahirkan putra kedua, bernama MH yang saat ini berusia 5 tahun. Menurut S, awal kehidupan rumah tangganya berjalan lancar. Setelah 2 bulan tinggal di rumah orang tua S, mereka kemudian pindah ke rumah kakak A. Satu orang adik laki-laki R pun ikut menumpang hidup dengan mereka. Setelah berjalan kurang lebih tiga tahun, S merasa rumah tangganya tidak selalu harmonis. Ia beberapa kali menerima perlakuan kasar dari R. S pertama kali mendapatkan perlakuan kasar dari R pada tahun 2003. Pada saat itu, S dan R beserta keluarga R berencana berlibur ke Bandung. Oleh karena hari sudah menjelang siang, S menyarankan alternatif tempat yang lebih dekat seperti Puncak. Hal tersebut membuat R menudingnya sebagai istri yang tidak patuh pada suami lalu menampar S beberapa kali dan meninju mata kanannya hingga merah. S mengaku merasa kaget dengan sikap R yang demikian.

Sekitar akhir tahun 2003, kekerasan kembali terjadi saat hendak menghadiri acara keluarga di rumah tante S. Menurut cerita S, ditengah perjalanan R menghentikan mobil, kemudian mencekik leher dan memukuli kakinya. S merasa bahwa peristiwa itu terjadi dikarenakan R tidak mau menghadiri acara tersebut. Setelah tangisan S berhenti, R melanjutkan perjalanan. S mengaku merasa sangat tegang hingga menyebabkan penyakit empedunya kambuh. Ia berkali-kali muntah pada keesokan paginya dan meminta R untuk membawanya ke rumah sakit. S lalu dirawat di UGD.

Pada tahun 2004, S merasakan perubahan pada sikap R. Ia mengatakan bahwa R tidak pernah memberikannya nafkah batin. R sering pulang larut malam, dan terkadang tidak pulang sama sekali dengan alsan menginap di rumah teman. Ia juga sering dinas ke luar kota pada akhir pekan. Saat berpergian, r tidak mau mengatakannya waktu pulangnya, hotel tempat menginap dan pergi dengan siapa. Ketika S menanyakan hal tersebut, R mengatakan bahwa ia tidak mau dikekang karena pekerjaannya menuntut demikian. Perubahan sikap R tersebut membuat S merasa curiga bahwa R telah melakukan perselingkuhan. Pada awalnya pertemuan, S mengaku tidak mempunyai bukti yang kuat untuk menanyakan langsung kepada R mengenai perselingkuhannya. Tetapi, pada pertemuan terakhir S mengakui bahwa ia telah memiliki bukti mengenai perselingkuhan suaminya, berupa foto wanita, struk pembayaran baju wanita, dan SMS. Namun, ia merasa belum bisa menerima kenyataan bahwa suaminya telah berselingkuh.

Pada tahun 2005, S dan R bertengkar. R tiba-tiba menampar S yang tengah menggendong anak keduanya yang masih bayi hingga terjatuh. S terjatuh di tempat tidur. Meski S merasa terkejut, ia berupaya menjaga anaknya agar tidak jatuh. S tidak mengingat perihal yang menyebabkan mereka bertengkar. Pada tahun 2007, R menampar, menjambak rambut, serta beberapa kali memukuli badan S. Menurut S, pada saat itu R memintanya mengecek harga bahan bangunan untuk keperluan pembangunan rumah mereka. Namun, S tidak mendapatkan hasil sesuai dengan harapan R karena harga bahan bangunan pada saat itu sedang tidak stabil. R menuduh S tidak menjalankan tugasnya tersebut dengan sungguhsungguh.

Pada tanggal 4 September 2009, R menegur S saat makan sahur karena dirinya hanya diam dan tidak duduk disamping R. Saat itu S beralasan harus menyuapi anak yang ikut sahur. S mengaku bahwa ia bersikap demikian karena merasa lelah dan letih, dimana ia harus melayani keluarga R yang saat itu sedang berkunjung sambil mengurus kepindahan ke rumah yang baru selesai di bangun. Namun, R tidak bisa menerima alasannya tersebut sehingga mereka berdebat. R menjadi emosi dan dengan tiba-tiba melemparkan gelas ke dahinya sehingga darahpun mengucur membasahi wajah. S menjadi panik dan berteriak, begitupun dengan R. R lalu memeluk tubuh dan mengigit kuping S sembari membawanya ke kamar yang terletak diatas. Pada saat mereka sampai dilantai atas, anak mereka tiba-tiba berlari ke arah R sambil menangis dan memukul-mukul ayahnya itu, lalu berlari ke kamar neneknya. Sesampai di kamar, S berusaha menenangkan diri dan membersihkan darah pada luka di wajahnya,
4

sedangkan R hanya menangis. Kemudian S dibawa ke rumah sakit. Peristiwa ini diketahui oleh pihak keluarga S sehingga menimbulkan kemarahan. Namun, pada akhirnya kedua keluarga, pihak R dan S, berdamai dengan membuat surat perjanjian bermaterai.

Berdasarkan penuturan S, R mulai kembali membentak dirinya beberapa minggu setelah kejadian. Ian pun melarang S menemui keluarganya, serta membatasinya untuk berhubungan melalui telepon. R hanya mengijinkan S menemui keluarganya jika bersamanya. Menurut S, R hampir tidak ada untuk dirinya. Pada 6 Maret 2010, R membentak S dan mengatakan kepada dirinya agar pulang ke rumah orang tua karena sudah tidak bisa menjadi istri lagi. S merasa R mengusir dirinya. S merasa tidak tahan dengan perlakuan R, lalu berkemas dan pulang ke rumah orangtuanya bersama dengan kedua anaknya.

S mengakui bahwa R tidak selalu memperlakukannya secara kasar. S merasa R lebih perhatian terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa kekerasan walau tidak berlangsung lama. Pada awal pertemuan, S mengungkapkan bahwa R meminta maaf ketika melakukan kekerasan terhadap dirinya. Namun, pada pertemuan terakhir S mengatakan bahwa R tidak pernah mengucapkan kata maaf kepada dirinya. Selain itu, S merasa R membatasi gerak-geriknya dalam berwiraswasta. Awalnya, R menyutujui S untuk membuka usaha namun setelah berjalan R meminta dirinya untuk berhenti dan fokus kembali kepada keluarga. S merasa sikap R yang demikian tidak beralasan karena ia tetap menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga meskipun membuka usaha.

DISKUSI Dalam Undang-undang PKDRT menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik dimana pengertian domestik tidak hanya konotasinya dalam hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu, tapi juga hubungan darah atau bahkan seorang pekerja rumah tangga menjadi pihak yang dilindungi. Oleh sebab itu Undang-undang KDRT mengatur dalam pasal
5

2 ayat 1, lingkup rumah tangga termasuk tersebut meliputi a) suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri) ; b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar, dan besan) ; dan/atau c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). Bentuk kekerasan dalam rumah tangga diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Selain bentuk kekerasan yang disebutkan diatas terdapat istilah Penelantaran rumah tangga tentang seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.1 Kekerasan fisik meliputi (UU PKDRT pasal 6): Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis meliputi (UU PKDRT pasal 7): Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Dalam kasus ini suami telah melakukan kekerasan secara fisik, istri sering mendapat kekerasan fisik jika tidak menuruti semua kehendaknya, apabila tidak patuh akan dipukul, dicekik atau ditampar. Korban KDRT biasanya enggan/tidak melaporkan kejadian karena menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga atau takut untuk melapor. Sanksi pidana yang dikenakan kepada pelaku KDRT : Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja. Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual. Ketentuan pidana yang dikenakan pada kasus kekersan fisik: Pasal 44 1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan. fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). 3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). 4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
7

kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pada kasus ini suami terjerat pasal 44 ayat 4 karena telah memukul, menjambak menampar. Dan sang suami terkena pasal berlipat karena telah menyebabkan kecacatan fisik dan luka berat dikenai pasa 44 ayat 2 yang menyebabkan kecacatan fisik atau luka berat. Selain itu, pelaku KDRT dapat juga dijerat dengan KUHP terutama tentang penganiayaan. Dalam hal ini, penganiayaan yang menimbulkan luka, baik ringan, sedang, maupun berat. Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka sedang dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (pasal 351 (1) atau 353 (1)). Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1))3 Pasal 351 1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun. (KUHP 90). 3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. (KUHP 338). 4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. 5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum (KUHP 37, 53, 184, 353, 356, 487).

Pasal 352 1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,00. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya,

bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya. 2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. (KUHP 37, 53, 70, 184).

Pasal 353 1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. 2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. (KUHP 90). 3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. (KUHP 37, 338, 340, 352, 355, 487).

Pasal 354 1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (KUHP 90, 351-2). 2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya sepuluh tahun. (KUHP 37, 90, 338, 351-2, 356, 487).

Pasal 355 1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. 2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun. (KUHP 35, 37, 336, 340, 351-3, 353, 356, 487).

Pasal 356 Hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah sepertiganya: 1) Jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya (suaminya) atau anakanya. (KUHP 91, 307). 2) Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab ia menjalankan pekerjaan yang sah. (KUHP 92, 211, 316).

3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusakkan jiwa atau kesehatan orang. (KUHP 35, 37, 357).

Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa luka atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu. KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang luka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terusmenerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Dengan demikian keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang.3 Pada komunitas muslim ada anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukanlah suatu kejahatan. Hal ini didasarkan atas kesalahan memahami penafsiran Q.S. 4 (An Nisaa ayat 34) yang berbunyi :

Laki-laki adalah pemimpin (qawwam) atas perempuan karena Allah melebihkan sebagian dari mereka yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka (untuk perempuan) sebab itu perempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri di balik pembelakangan suaminya. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan-jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.
10

Ayat ini adalah yang meyakininya sebagai dasar bagi suami untuk memukul isteri dalam rangka mendidik terutama jika isterinya itu dianggap membangkang (nusyuz) terhadapnya. Namun, jika dilihat pada konteks rumusan kalimat dari surat An-Nisaa tersebut tidak ditemukan ada hak untuk suami memukul isterinya dengan dalih perannya sebagai pemberi nafkah. Kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah ini memberikan kekuasaan lebih kepada suami atas isterinya. Kedudukan ini dengan sendirinya semakin menciptakan ketergantungan para isteri (setidaknya secara ekonomi) kepada suaminya.4 Selama ini orang beranggapan bahwa ajaran agama juga berperan dalam memperbolehkan seorang suami bertindak kasar kepada istri, namun tidak benaran ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab itu. Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya bersabda, La tadhirbu imaallah! maknanya, Jangan kalian pukul kaum perempuan!. Dalam hadits yang lain beliau menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang berbuat baik pada istrinya. 4 Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi bin Sabrah dari ayahnya dari kakekn ya, bahwa Rasulullah bersabda: Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya. (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)3

Pukulan yang boleh diberikan suami kepada istrinya adalah pukulan yang tidak menyakitkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim. Ibnu Abbas mengatakan, Dipukul dengan menggunakan kayu siwak (kayu untuk alat gosok gigi, AH).Allahu alam.4 Dengan demikian dalam hukum Islam jelas pukulan tadi di terapkan kepada Anak atau isteri tidak sampai menyakiti badan mereka!. Itu pun dengan syarat Isteri atau anak jelasjelas melanggar syariat Agama. Bukan karena tidak di bikinan minuman langsung main pukul atau hal lain yang bukan urusan Agama.

11

KESIMPULAN Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Dalam kasus ini disimpulkan bahwa istri mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk fisik dan psikologis. Dampak psikologis tersebut berupa kecemasan dan rasa tidak nyaman yang dirasakannya. Ia masih merasa sedih setiap mengingat peristiwa kekerasan yang terjadi. Menjadi kurang terbuka dan tidak percaya diri untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial sehingga menarik diri. Ia pun merasa sulit berkonsentrasi saat kondisi emosinya labil akibat mengingat peristiwa yang menimpanya. Selain itu pandangannya terhadap pernikahan menjadi negatif. Dan adapula dampak kecacatan fisik istri akibat lemaparan gelas yang mengenai wajah. Dan terapkanlah ajaran-ajaran agama islam dalam keluarga agar tercipta keluarga yang Sakinah, Mawardah, Warrahmah. Dan Rasulullah pun melarang memukul istri yang menyebabkan kesakitan. SARAN Saran yang dapat diberikan untuk menghindari KDRT adalah sebaiknya hindari pertengkaran, selalu menjalin komunikasi yang baik antara suami dengan istri, dengan begitu rasa saling percaya akan tercipta sehingga terbentuklah keluarga yang harmonis. Sebaiknya suami jangan terlalu memposisikan diri sebagai penguasa dalam rumah tangga, melainkan

12

memposisikan diri sebagai pemimpin yang arif dalam rumah tangga. Amalkanlah ajaran agama Islam, karena disana terdapat adab-adab berhubungan suami-istri yang baik. AKNOWLEDGEMENT Saya mengucapakan terimakasih kepada Allah yang atas berkat dan rahmatnya Saya bisa menyelesaikan case report ini. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada LPSK. Tak lupa Saya juga mengucapakan terimakasih kepada pembimbing tutor yaitu dr.Rita Murnikusumawati Sp.M yang membimbing blok kepeminatan KDRT kelompok 4 sehingga case report dapat dibuat dengan hasil yang memuaskan. Terima kasih kepada orang tua saya yang terus mensupport. Terima kasih kepada semua anggota kelompok 4 KDRT, terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya.

13

DAFTAR PUSTAKA 1. Hasbianto, Elli N. Kehidupan 2. Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi. Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com. 3. Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com. 4. Al-Quran dan Hadist (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram

14

Vous aimerez peut-être aussi