Vous êtes sur la page 1sur 30

B AB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Peritonium merupakan mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epithelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Dari kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritoneum. Peritonium merupakan rongga tempat melekatnya organ-organ dalam khususnya organ-organ pencernaan. Berdasarkan sifat (vaskularisasi) dan fungsi dari peritonium, maka dengan adanya kelainan pada organ-organ yang terdapat pada rongga peritonium, akan mempengaruhi dinding atau rongga peritonium itu sendiri, seperti pada apendisitis perforasi, perdarahan intraabdomen, obstruksi dan strangulasi jalan cerna. Pada keadaan atau penyakit tersebut, sering menampakkan adanya gejala akut yang sering disebut gawat abdomen, keadaan ini memerlukan penaggulangan segera yang sering berupa tindakan pembedahan. Peritonitis merupakan peradangan peritonium, selaput tipis yang melapisi dinding abdomen dan meliputi organ-organ dalam, peradangan sering disebabkan oleh bakteri atau infeksi jamur membran ini. Peritonium primer disebabkan oleh penyebaran infeksi dari darah atau kelenjar getah bening ke peritonium, pada kasus primer ini, 90% kasus infeksi disebabkan oleh mikroba, 40% oleh bakteri gram negative, E.Coli 7%, Klebsiela, pneumonia, spesies pseudomonas, proteus dan gram negatif lain sebanyak 20%, sementara bakteri gram positif yakni 15%, jenis steptococus, dan golongan stapylococus 3%. Jenis yang lebih umum

dari peritonitis, yang disebut peritonitis sekunder, disebabkan oleh infeksi gastrointestinal (apendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan duodenum, perforasi kolon) atau saluran bilier, kedua kasus peritonitis sangat serius dan dapat mengancam kehidupan jika tidak dirawat dengan cepat. Pada keadaan normal, peritonium resisten terhadap infeksi bakteri, tetapi adanya keadaan seperti kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun dan adanya benda asing atau enzim pecerna aktif, merupakan faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penaggulangan tergantung dari

kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

B. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian peritonitis? 2. Apa penyebab atau etiologi dari peritonitis? 3. Bagaimanakah tanda dan gejala dari peritonitis? 4. Bagaimana perjalanan penyakit atau patofisiologi dari peritonitis? 5. Pemeriksaan diagnostik pada peritonitis? 6. Bagaimana penatalaksanaan pada peritonitis?

C. Tujuan 1. Tujuan Umum

Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat, cermat dan benar pada kasus peritonitis. 2. Tujuan Khusus 1. Dapat melakukan pengkajian, analisis dan sintesis masalah keperawatan. 2. Menentukan rencana tindakan atau intervensi keperawatan secara tepat. 3. Melakukan tindakan keperawatan dengan baik dan benar. 4. Mampu mengevalusai tindakan keperawatan yang telah diberikan secara lengkap, akurat dan relevan

BAB II KONSEP TEORITIS

A. Definisi Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran limpa. Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membran serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalam nya. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnya melalui perforasi usus seperti ruptur appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang iritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empedu atau laserasi hepar. Pada wanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba fallopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. Pada saat ini penanganan peritonitis dan abses peritoneal melingkupi pendekatan multimodal yang berhubungan juga dengan perbaikan pada faktor penyebab, administrasi antibiotik, dan terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder dikarenakan kegagalan sistem organ.

B. Etiologi 1) Infeksi bakteri a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal b. Appendisitis yang meradang dan perforasi c. Tukak peptik (lambung / dudenum)

d. Tukak thypoid e. Tukan disentri amuba / colitis f. Tukak pada tumor g. Salpingitis h. Divertikulitis Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii. 2) Faktor ekstrinsik (dari luar) a. Operasi yang tidak steril b. Trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa, ruptur hati

C. Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pitapita fibrosa, yang akan dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,

produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami

bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga oedem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.

D. Klasifikasi Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Peritonitis bakterial primer Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Spesifik : misalnya Tuberculosis

2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari: - Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal. - Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi appendisitis. dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya

c. Peritonitis tersier, misalnya: - Peritonitis yang disebabkan oleh jamur - Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

d. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis: - Aseptik/steril peritonitis - Granulomatous peritonitis - Hiperlipidemik peritonitis - Talkum peritonitis

E. Tanda dan Gejala Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya

10

trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatrik.

F. Manifestasi Klinis Diagnosis peritonitis biasanya didapatkan secara klinis. Umumnya semua pasien hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen. Nyerinya dapat akut maupun kronis. Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul dengan tidak terlokalisasi dengan baik (peritoneum visceral) yang kemudian berkembang menetap, makin parah dan makin terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses infeksi tidak terbendung, nyeri akan menjadi difus. Pada beberapa penyakit penyebab (seperti perforasi gaster, pakreatitis akut yang berat, iskemi intestin) nyeri abdomen dapat tergeneralisasi dari awal. Anoreksia dan nausea sering muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri abdomen. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Pada pemeriksan fisik, pasien dengan peritonitis sering tampak tidak sehat dan pada keadaan berbahaya. Demam dengan temperatur melebihi 38C dapat ditemukan, tapi pasien dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan hipotermia. Takikardi muncul akibat mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit, demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal. Dengan dehidrasi yang progresif, pasien akan menjadi hipotensi, yang menunjukan penurunan output urin dan dengan peritonitis berat. Pada pemeriksaan abdomen, pada dasarnya semua pasien menunjukan adanya tenderness pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis sebaiknya pasien sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien dapat lebih relaksasi pada

11

dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada peritonitis dan nyeri abdomen difus yang berat) titik tenderness maksimal atau atau referred rebound tenderness terletak pada tempat proses patologis. Pada banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen. Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau antisipasi pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi peritoneal. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan memfleksikan pinggulnya untuk mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen terkadang distensi, dengan suara usus hipoaktif hingga tidak terdengar. Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen. Massa peradangan lunak yang terletak pada anterion kanan mungkin mengindikasikan appendisitis dan anterio fullness dan fluktuasi dapat mengindikasikan sebuah abses cul de sac. Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual dan vaginal dapat mengarahkan pada differential diagnosis penyakit inflamasi pelvis (seperti endometritis, salfingo-oovoritis, abses tuba ovarii). Tapi temuannya kerap sulit untuk diinterpretasikan sebagai peritonitis berat. Pada saat mengevaluasi pasien dengan dugaan infeksi peritoneal, melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap adalah hal yang sangat penting. Prosesus thoracic dengan iritasi diafragma (seperti empiema), proses ekstraperitoneal (seperti pyelonephritis, cystitis, retensi urin akut), dan proses dinding abdomen (seperti infeksi, hematoma recti) dapat terlihat seperti tandatanda maupun gejala peritonitis. Sering kali hasil dan temuan pemeriksaan klinis sama sekali tidak reliable pada pasien dengan immunosupresi yang berarti (seperti pasien diabetes berat, pengguna steroid, status post-transplantasi, HIV), pada pasien dengan perubahan status mental (seperti cedera kepala,

12

ensepalopati toksik, shock sepsis, agen analgesik), pada pasien paraplegi dan apda pasien usia lanjut. Dengan infeksi peritoneal dalam yang terlokalisasi, demam dengan atau tanpa peningkatan hitung WBC mungkin satu-satunya tanda yang ditemukan. Kebanyakan pasien dengan TP menunjukan hanya gejala vagal dan mungkin afebril..

G. Penatalaksanaan 1. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus. 2. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan dapat diupayakan. 3. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses.

H. Komplikasi 1. Eviserasi Luka 2. Pembentukan abses

I. Pemeriksaan Penunjang 1. Test laboratorium


o

Leukositosis

13

Hematokrit meningkat

2. X. Ray Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :


o o o

Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis. Usus halus dan usus besar dilatasi. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

14

J. WOC (Web Of Caucion) Peritonitis

Infeksi bakteri (E.coli, streptokokus aureus,enterokokus)

Faktor ekstrinsik (operasi tidak steril,trauma kecelakaan)

Luka abdomen Invasi bakteri Robekan pada usus Eksudat fibrinosa Rupture usus Abses Resiko penyebaran infeksi

Peritonitis

Infeksi peritoneum

Peradangan

Prognosis penyakit

15

Suhu tubuh Obstruksi usus meningkat

Penekanan / mendesak jaringan Klien tampak Klien bertanya Tanya tentang penyakitnya Degranulasi sel mast Ansietas Pelepasan mediator kimia

Akumulasi gas dan cairan dalam lumen proksimal dari obstruksi Hipertermi

Cedera sel

gelisah

Mual dan Muntah

Susah BAB Nociseptor

Kurang pengetahuan

Resiko tinggi Kekurangan volume cairan

Konstipasi

Medulla spinalis

Korteks serebri Anoreksia

16

Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan

Nyeri Akut

17

K. Asuhan Keperawatan Teoritis Peritonitis

1. Pengkajian Data Subyektif 1) Pasien mengatakan nyeri didaerah perutnya, nyeri sedang 2) Pasien mengatakan mual dan muntah 3) Pasien mengatakan tidak nafsu makan 4) Pasien mengatakan demam 5) Pasien mengatakan badannya meriang 6) Pasien mengatakan susah buang air besar 7) Pasien mengatakan dadanya berdebar-debar, pusing dan nafasnya cepat 8) pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya Data Obyektif 1) Pasien tampak meringis 2) Mukosa mulut pasien kering 3) Turgor kulit pasien buruk 4) Pasien tampak gelisah 5) Pasien tampak lemas 6) Badan pasien teraba panas 7) RR pasien meningkat 8) Nadi pasien meningkat 9) Tekanan Darah pasien meningkat 10) Berat badan pasien menurun 11) Perut pasien kembung

18

2. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut yang berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen/peritoneal (distensi abdomen) yang ditandai dengan pasien mengatakan nyeri pada bagian abdomen, pasien tampak meringis kesakitan. 2. Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi ditandai dengan pasien mengatakan demam, badan pasien teraba panas. 3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus ditandai dengan pasien mengatakan sembelit, terdapat benjolan dikuadran bawah atau pelvis. 4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prognosis penyakitnya ditandai dengan pasien bertanya-tanya tentang penyakitnya.

19

3. Perencanaan No. 1. Dx Keperawatan Nyeri akut yang berhubungan dengan akumulasi cairan dalam rongga abdomen/peritoneal (distensi abdomen) Tujuan dan Kriteria Hasil Tujuan : nyeri pasien dapat berkurang dengan Kriteria Hasil: 1.Skala nyeri berkurang 2.Pasien tidak meringis 3.TTV pasien normal - RR = 16-20 x / menit - TD = 120/80 mmHg - Nadi = 80-100 x/menit 1. Kaji skala nyeri pasien dengan metode PQRST 1. Mengetahui penyebab, skala nyeri, kualitas, lokasi, gejala dan periode nyeri yang dialami pasien sehingga dapat memberikan penanganan yang sesuai dengan keadaan pasien Rencana Keperawatan Mandiri Rasional Mandiri

2. Kaji TTV pasien terutama nadi,RR dan tekanan darah

2. Sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya

3. Pertahankan posisi semi fowler sesuai indikasi

3. Memudahkan drainase cairan/luka karena gravitasi dan membantu


20

meminimalkan nyeri karena gerakan.

4. Ajarkan penggunaan manajemen nyeri, tehnik keadaan hangat

4. Agar pasien dapat menggunakan tehniktehnik meningkatkan nafsu makan pasien.

5. Berikan tindakan kenyamanan contoh pijatan punggung, nafas dalam,latihan relaksasi/visualisasi

5. Meningkatkan relaksasi dan mungkin meningkatkan kemampuan koping pasien dengan memfokuskan kembali perhatian.

Kolaborasi

Kolaborasi 6. Menurunkan laju metabolik dan iritasi usus karena toksin sirkulasi/local yang membantu
21

6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik

menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.

2.

Hipertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi.

Tujuan : suhu tubuh pasien kembali normal dengan Kriteria Hasil: 1. Suhu tubuh pasien normal (36,5-370 C) 2. Pasien tidak meriang 3. Kulit tidak teraba hangat

Mandiri

Mandiri 1. Sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.

1. Kaji TTV, terutama suhu tubuh pasien

2. Berikan

kompres

hangat

2.

Perpindahan

panas

pada daerah dahi dan ketiak

secara konduksi dari tubuh kompres, membantu mempercepat penurunan suhu tubuh pasien. pasien ke akan

3. Anjurkan

pasien

untuk

3. Mengatasi pengeluaran cairan melalui keringat akibat peningkatan

mengkonsumsi cairan dalam jumlah yang cukup (15002000 ml)

suhu tubuh.
22

Kolaborasi 4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik

Kolaborasi 4. Membantu mempercepat penurunan suhu tubuh

3.

Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus.

Tujuan : BAB pasien lancar dengan Kriteria Hasil: 1. BAB pasien teratasi 2. Peristaltik normal 3. Perut tidak kembung

Mandiri 1. Catat adanya distensi abdomen dan auskultasi peristaltic usus.

Mandiri 1. Distensi dan hilangnya peristaltic usus merupakan tanda fungsi defekasi hilang

2. Anjurkan pasien untuk miring kanan dan miring kiri

2. Untuk menstimulasi peristaltic yang memfasilitasi kemungkinan terbentuknya flatus

3. Beri pasien makanan yang mengandung serat

3. Makanan berserat dapat melembekkan feses

23

Kolaborasi 4. Kolaborasi dalam pemberian huknah/lavement dan obat supositoria

Kolaborasi 4. Untuk memperlancar keluarnya feses.

4 Kurang pengetahuan . berhubungan dengan prognosis penyakitnya.

Tujuan : pengetahuan pasien tentang penyakitnya bertambah dengan Kriteria Hasil: 1. Pasien tidak bertanyatanya lagi tentang penyakitnya. 2. Pasien mengerti dan memahami tentang penyakitnya

Mandiri 1. Dorong pasien untuk

Mandiri 1. Pasien termotivasi

menanyakan hal-hal yang ingin diketahui mengenai penyakitnya.

untuk bertanya tentang hal-hal yang ingin dia ketahui mengenai

penyakitnya, sehingga pengetahuannya dapat bertambah. 2. Pengetahuan tentang pasien

2. Berikan informasi mengenai hal-hal yang ingin diketahui pasien penyakitnya. mengenai

penyakitnya

dapat bertambah.

24

3. Tanyakan kembali kepada pasien tentang hal-hal yang telah dijelaskan perawat

3.

Mengetahui

tingkat

pemahaman pasien.

25

4. Implementasi Implementasi merupakan tindakan yang sudah dilaksanakan dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan independent, interdependent, dan dependent. Implementasi disesuaikan dengan rencana keperawatan atau intervensi yang telah di buat atau di susun. 5. Evaluasi 1) Nyeri pasien berkurang 2) Suhu tubuh pasien kembali normal 3) Konstipasi pasien teratasi 4) Pengetahuan pasien tentang penyakitnya dapat bertambah

26

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa: Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat diantara dualpisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis. Peritonitis dapat disebabkan oleh: Infeksi bakteri, secara langsung dari luar, secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
27

B. Saran 1. Laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan acuan dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy. 2. Instansi rumah sakit mampu menggunakan laporan asuhan keperawatan perawat pelatihan ICU sebagaimana mestinya, dan guna menunjang pelayanan keperawatan yang optimal. 3. Perawat pelatihan ICU selanjutnya diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan pada klien peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy dengan pertimbagan ALOS (Average Lenght Of Stay) yang lebih pendek dan meminimalkan INOS (Infeksi Nosokomial).

28

DAFTAR PUSTAKA

Doegoes, M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: ECG Smeltzer, Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta: EGC Mansjoer, Arif, DKK. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

29

30

Vous aimerez peut-être aussi