Vous êtes sur la page 1sur 30

BAB I.

TINJAUAN PUSTAKA PROLAPS REKTUM

1.1 Definisi Prolaps rektum adalah penonjolan mukosa rektum (parsial) atau dinding rektum (ketebalan penuh) dari anus dalam beberapa derajat (Grace & Borley, 2006). Prosidensia atau prolaps rektum yang berupa keluarnya seluruh tebal dinding rektum harus dibedakan dari prolaps mukosa yang dapat terjadi pada hemoroid intern. Kausa prolaps rektum pada orang dewasa umumnya akibat kurangnya daya tahan jaringan penunjang rektum yang biasanya disertai dengan peninggian tekanan intraabdomen. Penunjang rektum terdiri dari mensenterium dorsal, lipatan peritoneum, berbagai fasia, dan m. Levator rektum. Bagian puborektum dari m. Levator melipatkan rektum sehingga rektum dan anus membentuk sudut tajam. Prolaps rektum pada anak ditemukan sebagai kelainan bawaan atau karena kebiasaan menahan fesesnya. Pada orang dewasa, prolaps kadang disebabkan oleh cedera m. Puborektalis atau paralisis otot panggul (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

1.2 Anatomi dan Fisiologi Anorektum Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum berasal dari entoderm. Karena perbedaan asal anus dan rektum ini maka perdarahan, persarafan, serta penyaliran vena dan limfnya berbeda juga, demikian pula epitel yang menutupinya. Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Nyeri bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum, sementara fisura anus nyeri sekali (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang v. Iliaka. Distribusi ini menjadi penting dalam upaya memahami cara penyebaran keganasan dan infeksi serta terbentuknya hemoroid. Sistem limf dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limf sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limf paraaorta melalui kelenjar limf iliaka interna, sedangkan limf yang berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar inguinal (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 sentimeter. Sumbunya mengarah ke ventrokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut yang nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat. Pada saat defekasi sudut ini menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum garis mukokutan, linea pektinata, atau linea dentata. Di daerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang terjadi di sini dapat menimbulkan abses anorektum yang dapat membentuk fistel. Lekukan antarsfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok dubur; dan menunjukkan batas antara sfingter intern dan sfingter ekstern (garis Hilton) (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Gambar 1.1 Anatomi Anorektum

Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern dan sfingter ekstern. Sisi posterior dan lateral cincin ini berbentuk dari fusi sfingter intern, otot longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis), dan komponen m.sfingter eksternus. M. Sfingter internus terdiri atas serabut otot polos, sedangkan m.sfingter eksternus terdiri atas serabut otot lurik

(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

1.2.1 Perdarahan Arteri Arteri hemoroidalis superior adalah kelanjutan langsung a. Mesenterika inferior. Arteri ini membagi diri menjadi dua cabang utama: kiri dan kanan. Cabang yang kanan bercabang lagi. Letak ketiga cabang terakhir ini mungkin dapat menjelaskan letak hemoroid dalam yang khas yaitu dua buah di setiap perempat sebelah kanan dan sebuah di perempat lateral kiri (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Arteri hemoroidalis medialis merupakan percabangan anterior a.iliaka interna, sedangkan a. Hemoroidalis inferior adalah cabang a. Pudenda interna. Anastomosis antara arkade pembuluh inferior dan superior merupakan sirkulasi kolateral yang mempunyai makna penting pada tindak bedah atau sumbatan aterosklerotik di daerah percabangan aorta dan a. Iliaka. Anastomosis tersebut ke pembuluh kolateral hemoroid inferior dapat menjamin pendarahan di kedua ekstremitas bawah (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Pendarahan di pleksus hemoroidalis merupakan kolateral luas dan kaya sekali darah sehingga perdarahan dari hemoroid intern menghasilkan darah segar yang berwarna merah dan bukan darah vena warna kebiruan (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

1.2.2 Pendarahan Vena Vena Hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. Lienalis ke vena porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum dapat

menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati, sedangkan embolus septik dapat menyebabkan pileflebitis. V. Hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam v. Pudenda interna dan ke dalam v. Iliaka interna dan sistem kava. Pembesaran v. Hemoroidalis dapat menimbulkan keluhan hemoroid(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

1.2.3 Penyaliran Limf Pembuluh limf dari kanalis membentuk pleksus halus yang menyalirkan isinya menuju ke kelenjar inguinal, selanjutnya dari sini cairan limf terus mengalir sampai ke kelenjar lim iliaka. Infeksi dan tumor ganas di daerah anus dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh limf dari rektum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. Hemoroidalis superior dan melanjut ke kelenjar limf mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limf ini (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Gambar 1.2 Pendarahan dan Penyaliran Limf Rektum

1.2.4 Persarafan Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan sistem parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior dan dari sistem parasakral yang terbentuk dari ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga, dan keempat. Unsur simpatis pleksus ini menuju ke arah struktur genital dan serabut otot polos yang mengendalikan emisi air mani dan ejakulasi. Persarafan parasimpatik (nervi eregente) berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat. Serabut saraf ini menuju ke jaringan erektil penis dan klitoris serta mengendalikan ereksi dengan cara mengatur aliran darah ke dalam jaringan ini. Oleh karena itu, cedera saraf yang terjadi pada waktu operasi radikal panggul seperti ekstirpasi radikal rektum atau uterus, dapat menyebabkan gangguan fungsi vesika urinaria dan gangguan fungsi seksual ( Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Muskulus puborektal mempertahankan sudut anorektum; otot ini mempertajam sudut tersebut bila meregang dan meluruskan usus bila mengendur.

Gambar 1.3 Sudut Anorektum

1.2.5 Kontinensia Kontinensia anus bergantung pada konsistensi feses, tekanan di dalam anus, tekanan di dalam rektum, dan sudut anorektal. Makin encer feses, makin sukar untuk menahannya di dalam usus. Tekanan pada suasana istirahat di dalam anus berkisar antara 25-100 mmHg dan di dalam rektum antara 5-20 mm Hg. Jika sudut antara rektum dan anus lebih dari 80 derajat, feses sukar dipertahankan (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
5

1.2.6 Defekasi Pada suasana normal, rektum kosong. Pemindahan feses dari kolon sigmoid ke dalam rektum kadang-kadang dicetuskan oleh makan, terutama pada bayi. Bila isi sigmoid masuk ke dalam rektum, dirasakan oleh rektum dan menimbulkan keinginan untuk defekasi. Rektum mempunyai kemampuan khas untuk mengenal dan memisahkan bahan padat, cair, dan gas (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Sikap badan sewaktu defekasi, yaitu sikap duduk atau jongkok, memegang peranan yang berarti. Defekasi terjadi akibat refleks peristalsis rektum, dibantu oleh mengedan dan relaksasi sfingter anus ekstern (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Syarat untuk defekasi normal ialah persarafan sensibel untuk sensasi isi rektum dan persarafan sfingter anus untuk konstraksi dan relaksasi yang utuh, peristalsis kolon dan rektum tidak terganggu, dan struktur anatomi organ panggul yang utuh (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

1.2.7 Pemeriksaan Proktologi Hampir semua gangguan atau penyakit pada anorektum dapat dibuat diagnosanya berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik termasuk inspeksi dan palpadi daerah perianus serta pemeriksaan rektal secara digital, pemeriksaan anoskopi, dan pemeriksaan proktosigmoidoskopi (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

1.3 Epidemiologi Pada orang dewasa, kondisi ini jauh lebih umum di kalangan wanita, dengan rasio perempuan : laki-laki 6:1. Pada pria, prevalensi tidak berhubungan dengan usia (Brunicardi, 2010). Perempuan berusia 50 tahun dan lebih tua memiliki enam kali lebih mungkin menderita prolaps rektal dibandingkan lakilaki. Usia puncak insiden yaitu dekade ketujuh pada wanita, sedangkan laki-laki relatif sedikit menderita sindrom dapat menderita prolaps pada usia 40 tahun atau kurang. Salah satu ciri mencolok dari pasien laki-laki muda adalah kecenderungan mereka untuk memiliki gangguan psikiatri, dan banyak yang dimasukkan ke

lembaga. Pasien laki-laki muda dengan procidentia juga cenderung untuk mengambil obat konstipasi dan melaporkan gejala signifikan yang berkaitan dengan bowel function (Fry et al, 2008).

1.4 Etiologi Etiologi prolaps rektum menurut Grace & Borley (2006) yaitu intususepsi rektum, tonus sfingter anus yang buruk, sering mengedan, trauma dasar pelvis. Sebagian besar informasi tentang bagaimana pasien menderita prolaps rektum berdasarkan pada pengamatan karakteristik klinis dari mereka yang menderita masalah. Kondisi tersebut didokumentasikan di Corpus Hippocrates, dan sejak saat itu, deskripsi dari kedua etiologi dan prosedur perbaikan sudah banyak. Namun, dua teori yang bersaing dari prolaps rektum tidak berubah. Alexis Moschcowitz mengusulkan pada tahun 1912 bahwa prolaps rektum disebabkan oleh sliding herniasi kavum Douglas melalui fasia dasar panggul ke dalam aspek anterior rektum. Teorinya didasarkan pada kenyataan bahwa dasar panggul pada pasien prolaps yang mobile dan unsupported dan pada observasi struktur yang berdekatan lainnya kadang-kadang dapat terlihat bersama komponen rektal yang prolaps. Dengan munculnya defecography pada tahun 1968, bagaimanapun, Broden dan Snellman mampu menunjukkan secara meyakinkan bahwa procidentia pada dasarnya adalah sebuah intussusception full-thickness rektal dimulai sekitar 3 inci di atas garis dentate dan extending melampaui ambang anal. Kedua penjelasan mempertimbangkan kelemahan dasar panggul dalam kasus prolaps rektum, konsep herniasi, dan pengamatan bahwa ada fitur anatomi abnormal yang mencirikan kondisi ini (Fry et al, 2008)

Penyebab prolaps rektum (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Anak Kelainan bawaan: Gangguan faal sfingter o Meningokel o Agenesia sakrum Malformasi anorektal setelah anoplastik/rektoplastik vesika ektopik Dewasa Kurangnya daya tahan jaringan/sistem penunjang rektum: Pasca bedah perineum atau alat kelamin perempuan \ Kelainan neurologik Kelemahan otot o Usia lanjut o Keadaan gizi kurang Peninggian tekanan intra abdomen Otot dasar panggul hipotonik o Gizi kurang Obstipasi

1.5 Gejala Gejala prolaps rektum termasuk tenesmus, sensasi adanya jaringan menonjol dari anus yang mungkin atau tidak mungkin secara spontan berkurang, dan sensasi tidak lengkapnya evakuasi. Mucus discharge dan leakage mungkin menyertai tonjolan tersebut. Pasien juga memiliki banyak keluhan fungsional, dari inkontinensia dan diare sampai konstipasi dan obstruksi outlet (Brunicardi, 2010). Pasien dengan prolaps rektum (rectal procidentia) mengeluhkan keluarnya lendir, inkontinensia progresif, nyeri, dan pendarahan, dan setelah tanya jawab secara langsung, mereka melaporkan bahwa rektum jatuh keluar (Doherty, 2009). Sebelum intervensi operatif, riwayat penyakit sebelumnya, pemeriksaan fisik, dan kolonoskopi harus dilakukan. Tiga puluh lima persen pasien dengan prolaps rektum mengeluh inkontinensia urin, dan 15% memiliki prolaps vagina
8

vault yang signifikan. Gejala ini akan membutuhkan evaluasi dan intervensi bedah potensi multidisiplin (Fry et al, 2008). Pasien dengan prolaps sering ditemukan memiliki karakteristik anatomik yang spesifik. Diastasis dari levator ani, kedalaman cul-de-sak yang abnormal, kolon sigmoid redundant, anal sfingter patulous, dan kurangnya perlekatan rectal sakral telah sering dideskripsikan (Fry et al, 2008). Review laporan yang besar menjelaskan faktor predisposisi dalam beberapa observasi. Konstipasi kronik atau seumur hidup dengan komponen mengedan muncul pada lebih dari 50% pasien. 50% dengan riwayat diare. Bertentangan dengan asumsi umum konstipasi adalah konsekuensi multiparitas, 35% pasien dengan prolaps rektal adalah nulipara. Sekali prolaps muncul, inkontinensia feses menjadi fitur gejala yang predominan, terjadi pada 50% sampai 75% kasus. Neuropati pudendal proximal bilateral muncul pada pasien prolaps inkontinen dan bertanggung jawab pada denervasi atrofi muskulus sfingter eksternal. Penemuan ini menjadi dasar dari sebagian besar gangguan dasar panggul. Kerusakan nervus pudendal dapat disebabkan trauma langsung (obstretic injury), penyakit kronis misalnya diabetes, proses neoplastik yang menyebabkan kerusakan akar nervus sakral (Fry et al, 2008). Gejala progesi prolaps sebagai proses terjadinya prolaps. Seringkali, prolaps awalnya muncul dengan defekasi atau mengedan, hanya timbul secara spontan dan berkurang sesudahnya. Pasien mendeskripsikan massa atau benjolan besar yang oleh mereka mungkin harus mendorong kembali setelah defekasi. Presentasi keluhan mungkin inkontinensia tinja secara bersamaan yang ditimbulkan oleh prolaps, atau sensasi kelembaban kronis dan drainase lendir di daerah perineum. Prolapses minimal atau spontan direduksi dapat berkembang menjadi kronis prolaps rektum membutuhkan digital reduction. Kronis prolaps rektum mukosa dapat menebal atau ulserasi dan menyebabkan perdarahan yang signifikan. Kadang-kadang, gambaran prolaps rektum dapat dramatis ketika segmen prolaps menjadi inkarserata di bawah level sfingter anal. Terapi berupa operasi emergensi diindikasikan dalam situasi ini (Fry et al, 2008).

Gambar 1.4 Prosidensia atau Prolaps Rektum

1.6 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dari pasien dengan prolaps rektum akut tidak sulit. Massa eksternal besar dari jaringan prolaps dengan cincin konsentris mukosa akan tampak. Namun, diagnosis pada pasien dengan riwayat prolaps tetapi tanpa prolaps aktif mungkin lebih sulit. Mungkin perlu untuk memberikan enema, memungkinkan pasien untuk evakuasi, dan kemudian memeriksa perineum. Hal ini sering menyebabkan prolaps, memungkinkan untuk diagnosis yang akan dibuat di ruangan. Alternatifnya adalah demonstrasi pada prolaps defecography. Pemeriksaan digital dapat mengungkapkan penurunan atau absennya tonus sfingter. Anoscopy biasanya mengungkapkan hilangnya jaringan hemoroid normal. Bagian atas distal mukosa rektal kehilangan warna merah muda gelap pada bantal anal dan muncul merah muda, menyerupai normal lebih proksimal mukosa rektal sampai ke garis dentate. Prolaps rektum biasanya didiagnosis pada pemeriksaan fisik tanpa perlu pengujian lebih lanjut (Doherty, 2009).

10

1.7 Pemeriksaan Penunjang Evaluasi preoperatif menyeluruh, termasuk colonic transit studies, manometri anorektal, tes saraf motorik pudenda terminal latency, elektromiografi (EMG), dan cinedefecography, mungkin bermanfaat. Kolon harus dievaluasi dengan colonoscopy atau air-contrast barium enema untuk menyingkirkan diagnosa neoplasma atau penyakit divertikular. Kondisi kardiopulmonar harus dievaluasi secara menyeluruh karena komorbiditas mungkin mempengaruhi pilihan prosedur pembedahan (Brunicardi, 2010). Jika diagnosis dicurigai dari sejarah, tetapi tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik, konfirmasi dapat diperoleh dengan meminta pasien untuk menghasilkan prolaps dengan mengedan sementara di toilet. Inspeksi perineum dengan pasien dalam posisi duduk atau jongkok sangat membantu untuk tujuan ini. Dalam hal prolaps masih sulit dipahami, defecography, teknik yang dijelaskan di bagian Testing dan Evaluasi, dapat mengungkapkan masalah (Fry et al, 2008). Meskipun jarang, neoplasma dapat membentuk lead point untuk intussusception rektum. Untuk alasan ini, dan karena kelompok usia ini memiliki insiden tertinggi neoplasia kolorektal, kolonoskopi atau barium enema harus mendahului operasi. Sebuah temuan yang signifikan pada pemeriksaan colonoscopic dapat mengubah pendekatan operasi (Fry et al, 2008). Manometry anal dan pudendal nerve terminal motor latencies dapat diperiksa sebelum operasi untuk mengevaluasi lebih lanjut gejala inkontinensia. Namun, hasil tes jarang mengubah strategi operasi. Sebuah temuan dari peningkatan periode konduksi saraf (kerusakan saraf) mungkin memiliki prognostik pasca operasi yang signifikan untuk kontinensia, meskipun penelitian lebih banyak diperlukan untuk mengkonfirmasi hal ini. Pasien dengan bukti kerusakan saraf mungkin memiliki tingkat inkontinensia yang lebih tinggi setelah koreksi bedah prolaps. Penurunan anal squeeze atau resting pressures diharapkan dengan kondisi ini dan dapat mendahului perkembangan aktual prolaps. Studi manometric rutin untuk prolaps yang jelas biasanya tidak dilakukan (Fry et al, 2008).

11

1.8 Prolaps pada Anak Pencetus timbulnya kelainan ini ialah mengedan waktu defekasi pada anak dengan obstipasi kronik atau pada anak dengan diare kronik karena sindroma malabsorpsi, atau konsdisi malnutrisi. Anak sehat yang sangat aktif main sering segan defekasi, ia selalu menahan defekasi, sehingga kalau terpaksa defekasi feses dikeluarkan secara mendadak dengan tenaga tinggi mengakibatkan mukosa rektum terdorong ke luar lubang anus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Kadang prolaps disebabkan oleh kelainan organik seperti terjadi pada prolaps rektum akibat paresis sfingter anus pada meningokel atau agenesis sakrum, otot dasar panggul hipotonik akibat kurang gizi, atau pascanoplastik atau rektoplastik pada malformasi anorektal akibat mukosa rektum yang berlebihan. Pada vesika ektopik, sering ditemukan prolaps dari rektum karena simfisis pubis terpisah jauh, sedangkan origo otot puborektalis terletak di situ (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Gambaran klinis. Umumnya anak dengan prolaps rektum mempunyai susunan anatomi yang normal. Mukosa rektum keluar saat defekasi dan masuk kembali tanpa menimbulkan nyeri, kadang diperlukan dorongan tangan. Pada sebagian pasien, mukosa yang prolaps tersebut tidak dapat kembali walau didorong. Hal ini akan menimbulkan udem, nyeri, dan acapkali berdarah (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Diagnosis banding. Pada rektum prolaps atau ujung distal dari invaginasi menonjol ke luar anus. Keadaan ini dapat dibedakan dari prolaps rektum dengan memasukkan jari di antara dinding anus yang keluar dengan cincin anus di tempat adanya rongga yang dalam (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Pengobatan. Diberikan pelunak feses beberapa minggu agar tekanan mengedan berkurang. Cara defekasi sebaiknya duduk, tidak jongkok untuk mengurangi tekanan pada waktu mengedan. Perbaikan keadaan umum dan nutrisi merupakan dasar pengobatan. Bila perlu tindakan bedah (yang jarang diperlukan), dapat dilakukan cara Thiersch, yaitu jahitan melingkar subkutan pada sfingter ekstern dua rangkap (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

12

1.9 Prolaps Rektum pada Orang Dewasa Pada permulaan, prolaps masih kecil, tetapi bila tambah besar makin sukar untuk melakukan reposisi. Prolaps tambah berat karena udem, sehingga makin besar dan sama sekali tidak dapat dimasukkan lagi karena rangsangan dan bendungan mukus serta keluarnya darah. Sfingter anus menjadi longgar dan hipotonik sehingga terjadi inkontinensia feses (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Pada pemeriksaan stadium permulaan terdapat penonjolan dengan lipatan mukosa konsentrik. Pemeriksaan harus dilengkapi dengan endoskopi dan/atau foto Rntgen kolon untuk menyingkirkan penyakit kolon kausal dan pemeriksaan neurologik untuk kausa neurologik. Gambaran klinis berupa sekret mukus, perdarahan, tenesmus, prolaps yang jelas (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Diagnosis prolaps rektum (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Penonjolan rektum dari anus Inkontinensia tinja parsial atau total Pengeluaran mukus

1.10 Diagnosis banding Prolaps rektum harus dibedakan dari penyakit hemoroid. Prolaps rektum dipandang sebagai cincin sirkumferensial uninterrupte mukosa, sedangkan prolaps hemoroid akan terlihat sebagai prolapsing jaringan dengan alur yang mendalam antara bidang prolapsing jaringan edematous (Doherty, 2009). Sebuah pitfall yang umum dalam diagnosis prolaps rektum adalah potensi kebingungan dengan prolapsed incarcerated internal hemoroids. Kondisi ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan dekat dari arah lipatan jaringan yang prolaps. Dalam kasus prolaps rektum, lipatan selalu konsentris, sedangkan jaringan hemoroid terdapat radial invaginations yang mendefinisikan bantal hemoroid. Prolaps, hemoroid inkarserata menghasilkan rasa sakit yang hebat dan dapat disertai dengan demam dan retensi urin. Kecuali inkarserata, prolaps rektum mudah direduksi dan tidak menyakitkan (Fry et al, 2008).

13

1.11 Komplikasi Komplikasi termasuk progresi intussusception untuk prolaps, cedera saraf dari prolaps atau mengedan kronis, descending perineum syndrome, perdarahan, dan inkontinensia. Sebuah prolaps rektum berat dapat menjadi sangat edematous yang tidak dapat dikurangi, dan bisa berkembang menjadi iskemia dan gangren (Doherty, 2009).

1.12 Terapi Penanganan non bedah pada orang dewasa muda dan anak diberikan diit berserat untuk memperlancar defekasi. Kadang dianjurkan latihan otot dasar panggul (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Penanganan bedah pada orang dewasa dan orang tua dapat dilakukan melalui laparotomi atau melalui perineum. Pada operasi Thiers dipasang pita dari bahan sintetik atau benda lain subkutan di sekitar anus dan diikat sehingga menyebabkan konstriksi anus yang mencegah prolaps. Keuntungannya ialah operasi ringan, tetapi terdapat penyulit impaksi feses, infeksi, dan erosi pita ke dalam rektum (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Terapi utama untuk prolaps rektum adalah operasi, dan lebih dari 100 prosedur yang berbeda telah dijelaskan untuk mengobati kondisi ini. Operasi dapat dikategorikan sebagai abdominal atau perineal. Operasi abdominal memiliki tiga pendekatan utama: (a) reduksi hernia perineal dan penutupan cul-de-sac (operasi Moschcowitz s), (b) fiksasi rektum, baik dengan prosthetic sling (Ripstein dan Wells rectopexy) atau dengan suture rectopexy, atau (c) reseksi redundan kolon sigmoid. Dalam beberapa kasus, reseksi dikombinasikan dengan rectal fixation (resection rectopexy). Rectopexy abdominal dengan atau tanpa reseksi juga semakin banyak dilakukan dengan laparoskopi. Pendekatan perineum telah berfokus pada pengetatan anus dengan berbagai bahan prostetik, reefing mukosa rektal (Delorme prosedur), atau resecting bowel prolaps dari perineum (perineal rectosigmoidectomy atau prosedur Altemeier) (Brunicardi, 2010).

14

Gambar 1.5 Transabdominal proctopexy untuk prolaps rektum. Rektum dimobilisasi penuh dijahit ke fasia presacral. A. Anterior view. B. Lateral view. Jika diinginkan, kolektomi sigmoid dapat dilakukan bersamaan dengan reseksi redundant kolon.

Gambar 1.6 Rectosigmoidectomy perineal terlihat pada posisi litotomi. A. Sebuah insisi melingkar dibuat 2 cm proksimal ke garis dentate. B. Refleksi peritoneal anterior dibuka. C. Mesenterium dibagi dan diligasi. D. Peritoneum dijahit pada dinding usus. E. Reseksi bowel. F. Dilakukan anastomosis handsewn.

15

Jumlah prosedur yang dijelaskan dalam literatur secara historis dan dalam beberapa kali itu banyak. Lebih dari 50 jenis perbaikan telah didokumentasikansebagian besar dari kepentingan sejarah saja. Pendekatan umumnya termasuk anal encirclement, reseksi mukosa, proctosigmoidectomy perineum, reseksi anterior dengan atau tanpa rectopexy, rectopexy saja, dan sejumlah prosedur yang melibatkan penggunaan mesh sintetis ditempelkan pada fasia presacral. Antusiasme yang jelas dan kecerdikan ahli bedah dalam upaya mereka untuk menentukan operasi prolaps yang ideal hanya berfungsi untuk menyoroti elusiveness. Dua pendekatan predominan, abdominal dan perineal, yang dipertimbangkan dalam operasi repair prolaps rektum. Pendekatan bedah ditentukan oleh komorbiditas pasien, preferensi dan pengalaman dokter spesialis bedah, dan usia pasien. Pada umumnya dipercaya hasil pendekatan perineal adalah berkurangnya morbiditas perioperatif dan rasa sakit dan mengurangi lama tinggal di rumah sakit. Keuntungan ini, sampai saat ini, telah dianggap diimbangi dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Data terakhir tidak jelas pada titik ini dan operasi perineum benar dilaksanakan bisa menghasilkan hasil jangka panjang yang sama dengan prosedur abdominal. Hal ini akan diklarifikasi oleh studi jangka panjang berkelanjutan. Munculnya pilihan laparoskopi juga dapat memberikan keuntungan, tapi untuk saat ini, data pasien yang kambuh sedikit (Fry et al, 2008). Prosedur abdominal memiliki tingkat kekambuhan yang lebih rendah dan preservasi kapasitas reservoir rektum tetapi mempunyai risiko lebih dan memiliki insiden yang lebih tinggi dari kontipasi pasca operasi. Prosedur perineal menghindari anastomosis intra-abdominal tetapi menghilangkan rektum, sehingga menghilangkan reservoir rektum, tetapi memiliki tingkat kekambuhan lebih tinggi. Prosedur abdominal umumnya lebih disukai pada pasien berisiko rendah aktif di bawah usia 50 dan pada mereka yang memerlukan prosedur abdominal lainnya secara simultan (Doherty, 2009). Perbaikan Ripstein memiliki banyak pendukung dan melibatkan penempatan prosthetic mesh di sekitar mobilized rectum dengan perlekatan dari mesh ke fasia presacral di bawah promontor sakral. Tingkat kekambuhan untuk

16

prosedur ini berkisar dari 2,3% menjadi 5%. Usus secara mekanis disiapkan untuk prosedur ini dengan glikol polietilen atau larutan sodium fosfat. Prosedur ini melibatkan mobilisasi rektum pada kedua sisi posterior sampai ke coccyx. Ripstein menggambarkan divisi bagian atas ligamen rektal lateral, tetapi yang lain menganjurkan meninggalkan mereka sepenuhnya intact karena tingkat konstipasi pasca operasi sepenuhnya 50% lebih besar pada pasien dengan divisi lateral stalks. Setelah mobilisasi rektum, sebuah band 5-cm mesh rektangular ditempatkan di sekitar aspek anterior pada tingkat dari refleksi peritoneal, dan kedua sisi mesh dijahit dengan jahitan nonabsorbable ke fasia presacral, sekitar 1 cm dari garis tengah. Jahitan digunakan untuk mengamankan mesh ke anterior rektum, dan rektum ditarik ke atas dan posterior. Berbagai bahan telah direkomendasikan untuk mengamankan rektum, termasuk fasia lata autologous, produk nonabsorbable sintetis seperti Marlex (Davol, Inc anak perusahaan CR Bard, Inc Cranston, RI), Teflon (EI duPont de Nemours & Co, Wilmington, DE), dan absorbable prosthetics seperti asam polyglycolic. Tingkat kekambuhan untuk semua bahan ini kurang dari 10%, meskipun tindak lanjut kali dan kriteria evaluasi antara studi telah bervariasi, dan perbandingan yang ketat tidak dapat dibuat. Komplikasi termasuk obstruksi usus besar, erosi mesh melalui usus, cedera ureter atau fibrosis, obstruksi usus kecil, fistula rektovaginal, dan fecal impaction. Tingkat morbiditas pascaoperasi adalah 20%, tetapi sebagian besar komplikasi ini kecil. Meskipun hasil rectopexy mesh adalah perbaikan yang signifikan dalam inkontinensia tinja (50%), tidak ada operasi prolaps rektum harus menganjurkan sebagai prosedur untuk memulihkan kontinensia, dan pasien, khususnya mereka dengan prolaps selama lebih dari 2 tahun, harus memperingatkan kemungkinan bahwa inkontinensia bisa persisten (Fry et al, 2008). Sebuah komplikasi yang signifikan dari operasi ini adalah insidensi konstipasi yang memiliki onset baru atau makin memburuk. Lima belas persen pasien mengalami konstipasi untuk pertama kalinya setelah Ripstein rectopexy, dan setidaknya 50% dari mereka yang konstipasi sebelum operasi bertambah buruk. Meskipun beberapa dari kesulitan-kesulitan ini dikaitkan dengan

17

komplikasi dari prosedur seperti striktur mesh, obstruksi pada level perbaikan, atau disfungsi rektal mengikuti divisi lateral stalk, subset dari pasien akan ditemukan memiliki slow-transit constipation mencirikan gangguan motilitas global. Beberapa penulis menganjurkan penelitian transit secara rutin yang preoperative untuk menyeleksi pasien keluar, tetapi biasanya riwayat usus yang baik kebiasaan akan cukup. Etiologi berat, tak henti-hentinya konstipasi pasca operasi atau masalah obstruksi harus diselidiki dengan barium enema dan mungkin dengan studi usus kecil. Striktur, obstruksi, adhesi, dan fistula dapat diidentifikasi oleh radiograf (Fry et al, 2008). Serat, cairan, dan pelunak feses berguna dalam pengelolaan konstipasi fungsional menyusul repair prolaps rektum dari jenis apa pun. Kadang-kadang, mild laxative seperti susu magnesium, magnesium sitrat, atau polyethylene glycol-based therapies mungkin diperlukan untuk periode singkat. Terapi yang lebih baru untuk konstipasi melibatkan oral 5-HT4 agonis reseptor (maleat tegaserod) dan terbukti berharga dalam pengobatan jangka pendek pada masalah ini (Fry et al, 2008). Prosedur Wells adalah teknik mesh alternatif yang mengurangi insiden obstruksi rektal dengan menghilangkan penempatan anterior mesh. Mesh ditempelkan pada aspek posterior fasia propria rektal dan kemudian ke fasia presacral seperti telah dijelaskan sebelumnya. Ivalon (polivinil alkohol) spons adalah metode yang pada satu titik itu populer di kalangan ahli bedah Eropa, tetapi sejak kehilangan minat. Spons ditempatkan di pelvis posterior yang dalam dengan cara yang mirip dengan teknik Wells. Bahkan, Wells awalnya menjelaskan prosedur ini. Meskipun hasil tingkat kekambuhan pasca operasi telah sebagus yang melibatkan mesh nonabsorbable sintetis, dan melaporkan gangguan evakuasinya rendah, fitur mengganggu dari spons Ivalon yaitu tingginya kejadian abses pelvis yang memerlukan removal spons. Meskipun alkohol polivinil adalah sarcoma-produsing carcinogen pada tikus, efek ini belum terbukti pada manusia (Fry et al, 2008). Rektopeksia yang dilakukan melalui laparotomi bukan merupakan operasi yang ringan. Rektum dimobilisasi dari panggul dan dilepaskan dari jaringan

18

sekitarnya, kemudian ditarik ke atas dan difiksasi kepada sakrum. Fiksasi rektum atau rektopeksi ini dapat dilakukan dengan bahan teflon atau jahitan mersilen. Kadang dilakukan sigmoidektomi dan kolon desendens dianastomosis dengan sisa rektum (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Karena prolaps rektum terjadi paling sering pada wanita lanjut usia, pilihan operasi sebagian bergantung pada kondisi medis pasien secara keseluruhan Rectopexy abdominal (dengan atau tanpa reseksi sigmoid) menawarkan perbaikan yang paling tahan lama, dengan kekambuhan terjadi pada kurang dari 10% pasien. Rectosigmoidectomy perineal menghindari operasi abdominal dan mungkin lebih baik pada pasien berisiko tinggi, tetapi berkaitan dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Reefing mukosa rektal efektif untuk pasien dengan prolaps terbatas. Anal encirclement procedures pada umumnya telah ditinggalkan (Brunicardi, 2010). Prosedur perut untuk pasien dengan intussusception parah atau prolaps rektum dengan fungsi sfingter normal yaitu reseksi sigmoid dengan atau tanpa rectopexy dan rectopexy saja. Kedua operasi-rectopexy atau reseksi-

membutuhkan mobilisasi lengkap dari seluruh rektum ke pelvic floor untuk menghindari intussusception distal (Doherty, 2009). Rectopexy reseksi adalah teknik pertama yang dijelaskan oleh Frykman dan Goldberg pada tahun 1969 dan dipopulerkan di Amerika Serikat dalam 30 tahun terakhir (Gambar 50-65). Kurangnya mesh artificial, kemudahan pengoperasian, dan reduksi kolon sigmoid redundant adalah atraksi prinsip dari prosedur. Tingkat kekambuhan rendah, berkisar antara 2% sampai 5%, dan tingkat komplikasi mayor berkisar dari 0% sampai 20% dan berhubungan baik dengan obstruksi atau anastomotic leak. Pada dasarnya, kolon sigmoid dan rektum mobilisasi sampai tingkat levatores. Ligamen lateral dibagi, diangkat dari panggul dalam, dan dijahit ke fasia presacral. Mesenterium dari kolon sigmoid kemudian dibagi, dengan preservasi arteri mesenterika inferior, dan sebuat tension-free anastomosis dibuat. Sebuah versi revisi dari prosedur ini melibatkan preservasi lateral stalk dan unilateral fastening mesenterium rektal sampai sakrum pada level promontori sakral. Reseksi sigmoid adalah fitur yang unik dan kontroversial dari

19

prosedur ini. Hal ini tampaknya untuk mengurangi konstipasi sebesar 50% pada mereka yang mengeluh pre operasi dari gejala ini dalam beberapa studi. Lainnya berpendapat bahwa sigmoidectomy adalah operasi yang inadekuat untuk masalah motilitas kronis yang mempengaruhi seluruh usus dan pasien itu harus dievaluasi secara formal sebelum operasi dan subtotal colectomy dianjurkan jika inersia kolon terdeteksi. Menariknya, pada pasien yang mengeluh inkontinensia sebelum operasi, gejala ini konsisten membaik pada sekitar 35%, bahkan dengan reseksi sigmoid. Sebuah varian dari prosedur ini melibatkan forgoing reseksi sigmoid pada mereka yang melaporkan tidak ada riwayat konstipasi dan yang dominan adalah keluhan inkontinensia fecal (Fry et al, 2008).

Gambar 1.7 Reseksi anterior dengan rectopexy, atau prosedur Frykman-Goldberg, untuk prolaps rektum. A, Setelah mobilisasi penuh dengan diseksi tajam, jaringan lateral dinding rektum swept away laterally. B, Reseksi kolon sigmoid redundant. C, anastomosis selesai, dan jahitan rectopexy ditempatkan. (Dari Gordon PL, Nivatvongs S [eds]:.. Prinsip dan Praktek Bedah untuk Rektum, Colon, dan Anus, 2nd ed St Louis, Medical Kualitas Publishing, 1999)

Rectopexy bertujuan untuk mengamankan rektum ke cekungan sakral. Ini dapat dilakukan dengan jahitan atau bahan prostetik seperti polypropylene mesh (Marlex), Gore-Tex, atau asam polyglycolic atau mesh polyglactin (Dexon atau

20

Vicryl). Banyak penelitian telah menunjukkan tingkat komplikasi yang lebih tinggi dengan prosthetics, tingkat kontinensia lebih rendah, dan tidak ada perbedaan dalam kekambuhan, menunjukkan bahwa suture rectopexy itu lebih baik. Suture rectopexy dilakukan dengan heavy nonabsorbable suture, melekatkan rektum ke cekungan sakral. Jahitan dapat ditempatkan melalui ligamen lateral atau melalui propria muskularis dari rektum (Doherty, 2009). Penambahan reseksi sigmoid pada saat rectopexy menurunkan tingkat kekambuhan dan kejadian konstipasi pasca operasi tanpa meningkatkan morbiditas. Rectopexy mengoreksi mobilitas rektum tetapi tidak memperbaiki gangguan yang mendasarinya untuk pasien dengan pelvic floor dysfunction atau konstipasi kronis. Reseksi sigmoid menghilangkan intususeptum dan mobile portion of colon. Dengan demikian, pada pasien konstipasi atau pasien dengan kolon sigmoid redundant, reseksi yang lebih baik adalah fiksasi saja (Doherty, 2009). Metode laparoskopi untuk repair prolaps rektum melibatkan fiksasi, dengan atau tanpa reseksi. Pasien mungkin mengalami sedikit rasa sakit dan kembali lebih cepat dari fungsi bowel dan memiliki durasi yang lebih singkat dibandingkan pasien rawat inap dengan pendekatan abdominal terbuka (Doherty, 2009). Operasi perineum untuk prolaps rektum terdiri dari anal encirclement, prosedur Delorme transanal, dan prosedur Altemeier. Anal encirclement memiliki aplikasi terbatas dan harus dilakukan secara selektif hanya pada pasien dengan risiko operasi yang sangat tinggi atau harapan hidup yang terbatas. Prosedur Thiersch yang asli yakni menempatkan silver wire di sekitar sfingter eksternal pada lemak iskiorektalis. Sekarang synthetic mesh atau tabung silikon digunakan sebagai pengganti wire. Foreign body menciptakan obstruksi outlet, dan laksatif atau enema yang diperlukan untuk evakuasi rektum. Erosi dari bahan asing ke dalam rektum dan infeksi adalah komplikasi signifikan yang membatasi kegunaan teknik ini (Doherty, 2009). Prosedur Delorme pada dasarnya adalah sebuah proctectomy mukosa dengan lipatan dari prolapsing dinding rektum. Diseksi dimulai 1-2 cm di atas

21

garis dentate dan dibawa ke apex segmen prolapsing, di mana mukosa yang diamputasi. Otot ini reefed dengan 4-8 heavy absorbable sutures, dan mukosa yang reapproximated dengan jahitan atau stapler sirkular (Doherty, 2009). Proctosigmoidectomy perineal pertama kali diperkenalkan oleh Mikulicz pada 1899 dan pengobatan favorit yang tetap untuk prolaps di Eropa selama bertahun-tahun. Miles menganjurkan prosedur ini di Inggris, dan itu dipromosikan di Amerika Serikat oleh Altemeier di University of Cincinnati. Sebagai pendekatan abdominal mendapat minat, terutama karena tingkat kekambuhan yang berkurang, pendekatan perineal itu semakin hanya diperuntukkan bagi mereka dengan risiko operasi tertinggi. Namun, minat baru dalam teknik ini disertai studi terbaru yang menunjukkan tingkat kekambuhan berkurang, dan sejumlah ahli bedah merasa bahwa pertimbangan yang kuat harus diberikan untuk teknik ini ketika memperbaiki prolaps pada pria muda yang memiliki peningkatan risiko untuk cedera saraf otonom yang mengakibatkan impotensi (Fry et al, 2008). Prosedur Altemeier menggabungkan proctosigmoidectomy perineal dengan levatoroplasty anterior (Gambar 50-66). Prosedur yang terakhir dilakukan untuk memperbaiki diastasis levator umumnya terkait dengan kondisi ini. Secara teoritis, restorasi kontinensia fecal ditingkatkan oleh manuver tambahan. Seperti biasa, usus besar secara mekanis dibersihkan. Pasien ditempatkan dalam posisi prone jackknife, dan kateter Foley ditempatkan. Mukosa rektum secara serial digenggam dengan Babcock atau klem Allis sampai prolaps full-thickness ditunjukkan. Sebuah insisi full-thickness sirkumferensial dibuat 1,5 cm proksimal ke garis dentate. Refleksi peritoneal rendah biasanya diinsisi secara anterior dan masuk rongga peritoneal. Mesenterium dari rektum dan kolon sigmoid secara berurutan dijepit dan diikat sampai tidak ada usus redundant yang menetap. Transeksi kolon pada saat ini, dan anastomosis dibentuk antara kolon dan kanal anus dengan jahitan atau staples (Fry et al, 2008).

22

Gambar 1.8 Altemeier rectosigmoidectomy perineal. A, Insisi sirkumferensial rektum proksimal ke garis dentate. B, Delivery rektum dan kolon sigmoid berlebihan. C, Ligasi suplai darah ke rektum. D, Penempatan purse-string suture pada bowel proksimal dan eksisi kolon dan rektum berlebihan. Whip stitch ditempatkan pada ujung rektum. E, proksimal purse-string suture diamankan di sekitar poros tengah. F, usus proksimal maju melalui anus dan distal purse-string terikat. G, Aproksimasi landasan untuk cartridge dan aktivasi stapler. H, Anastomosis komplit. (Dari Gordon PL, Nivatvongs S [eds]: Prinsip dan Praktek Bedah untuk Rektum, Colon, dan Anus, 2nd ed St Louis:.. Kualitas Medis Publishing, 1999)

Pasien menjalani proctosigmoidectomy perineal secara umum lebih tua dan dengan komorbiditas signifikan lebih dari mereka yang dianggap dengan repair abdominal. Tingkat komplikasi kurang dari 10%, dan tingkat kekambuhan telah dilaporkan setinggi 16%, meskipun, seperti yang disebutkan, seri terbaru menunjukkan tingkat kekambuhan secara signifikan lebih rendah. Komplikasi meliputi perdarahan dari staple atau suture line, abses pelvis, dan jarang, dehiscence dari suture line, dengan eviserasi perineal. Kurangnya insisi abdominal, nyeri berkurang, dan mengurangi lama rawat inap membuat prosedur ini menjadi pilihan yang menarik (Fry et al, 2008). Prosedur Altemeier adalah complete proctectomy dan sering

sigmoidectomy parsial. Apex segmen prolapsing dipindah dan ditempatkan pada traksi, dan insisi full-thickness dibuat kira-kira 1 cm di atas garis dentate.

23

Rektumnya everted. Diseksi ini dibawa ke deep cul-de-sac anterior. Secara lateral dan posterior, supply vascular ke rektum diambil dengan elektrokauter atau klem bila diperlukan. Diseksi ini dilakukan sampai ke midline mesorectum dan mesenterium sigmoid sampai redundant segment of bowel telah sepenuhnya dimobilisasi. Jika levatoroplasty yang direncanakan, hal ini sangat mudah dilakukan saat ini dengan heavy absorbable suture. Levatoroplasty plicates otototot dasar panggul dan menambah kontinensia dengan peningkatan sudut anorektal. Transeksi bowel proksimal, excising redundant portion, dan anastomosis hand-sewn (heavy absorbable suture) atau stapled dilakukan (Doherty, 2009). Kembalinya fungsi sfingter dan inkontinensia selesai pada 65% pasien yang mengompol pre operasi, tetapi tidak ada cara untuk memprediksi siapa yang akan merespon. Mereka yang tidak kembali fungsi sfingternya tidak akan mentolerir reseksi sigmoid. Oleh karena itu, proctectomy perineal dan peningkatan sfingter posterior yang direkomendasikan pada pasien ini. Rekonstruksi posterior dapat mengubah sudut rektum atau menghalangi outlet cukup untuk memberi kontinensia. Individu dengan intussusception parah dan mereka yang memiliki prolaps rektum tanpa disfungsi sfingter harus melakukannya dengan baik baik dengan abdominal atau pendekatan perineal (Doherty, 2009). Anal encirclement adalah salah satu teknik bedah tertua untuk gambaran prolaps rektum. Thiersch menjelaskan silver wire anal encirclement pada tahun 1891. Sejak saat itu, telah dicoba dengan berbagai bahan, termasuk stainless stell wire, mesh nonabsorbable, small Silastic bands, jahitan nilon, dan polypropylene. Teknik ini disediakan oleh sebagian besar ahli bedah untuk pasien risiko bedah tertinggi karena dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Dengan pasien pada posisi prone jackknife atau posisi litotomi, daerah anal sterilely prepped and draped. Dua insisi kecil lateral dibuat, dan kawat atau jahitan diperkenalkan dengan curved needle sampai menjadi satu dan membawa keluar yang lain. Hal ini diulang, dan simpul terikat dan dipendam secara lateral. Orifisium harus nyaman tetapi harus mudah dilewati jari telunjuk. Anal encirclement tidak memperbaiki inkontinensia

24

fecal terkait dengan prolaps, dan tingkat kekambuhan tinggi (> 30%). Selain itu, meskipun angka kematian 0%, tingkat morbiditasnya tinggi. Erosi dari wire ke sfingter, pembentukan fistula anovaginal, prolaps rektum inkarserasi, impaksi fecal, dan infeksi dapat terjadi. Tingkat reoperative dari 7% menjadi 59% dilaporkan dalam literatur. Keamanan teknik anestesi saat ini dan morbiditas yang rendah dan keberhasilan fungsional relatif proctectomy perineum telah membuat anal encirclement, untuk sebagian besar, sebuah prosedur dari masa lalu (Fry et al, 2008).

1.13 Prognosa Terapi nonoperative (diet tinggi serat, defecation training untuk menghindari mengejan, dan laksatif atau enema) efektif pada sebagian besar pasien (Brunicardi, 2010). Pendekatan abdominal dikaitkan dengan sekitar tingkat kekambuhan 10%. Pendekatan perineum dikaitkan dengan tingkat kekambuhan 20-30%. Reoperation untuk yang kambuh mungkin setelah pendekatan yang lain tetapi mungkin secara teknis lebih mudah dari perineum jika reseksi abdomen belum pernah dilakukan (Doherty, 2009).

25

BAB II. LAPORAN KASUS PROLAPS REKTUM

2.1 Identitas pasien Nama Umur Jenis kelamin Alamat Suku bangsa Agama MR MRS : Tn. A : 57 tahun : Laki-laki : Candijati Arjasa : Jawa : Islam : 404301 : 30 September 2012

Tanggal pemeriksaan : 1 Oktober 2012 2.2 Keluhan Utama Keluar benjolan dari dubur 2.3 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh dari duburnya keluar benjolan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya benjolan dapat keluar masuk saat pasien BAB. Sebelumnya, pasien sering mengedan saat BAB. Benjolan keluar kecil (sedikit) kemudian keluar besar dan tidak bisa masuk lagi. Pasien bisa BAB tapi bentuknya kecil-kecil hitam, bisa flatus, tidak mual dan muntah. Pasien lalu pergi ke PKM Arjasa lalu dirujuk ke RS. dr Soebandi. 2.4 Riwayat Penyakit Dahulu 2.5 Riwayat Pengobatan 2.6 Riwayat Penyakit Keluarga -

26

2.7 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : sedang Tanda-tanda vital : TD = 130 / 60 mmHg N = 86x / menit RR = 24x / menit T = 36,5 C Kesadaran: Compos mentis

Kepala / Leher : a / i / c / d = - / - / - / Status Generalis : Thorax: Cor : S1S2 tunggal Pulmo : Ves +/+, Rh - / - , Wh - / Abdomen: flat, BU +, timpani, soepel, nyeri tekan di R. Suprapubik. Extremitas: akral hangat dan tidak ada oedem pada keempat ekstremitas. Status lokalis: R. Anal: benjolan 20 x 15 cm padat, kenyal, tidak bisa masuk. 2.8 Diagnosis: Prolaps Rekti 2.9 Planing: Pro reposisi rekti dengan posisi litotomi Inf. RL 1500 cc/24 jam Inj. Antrain 3x1 amp Inj. Ranitidin 3x1 amp Diazepam drip dalam pz 100 cc 40 tp

2.10 Hasil Laboratorium Darah Lengkap Hb Lekosit Hematokrit Trombosit LFT SGOT SGPT Elektrolit Natrium Kalium : 136,4 : 3,81 : 22 mg / dL : 30 mg / dL : 14,3 gr / dL : 10,0 x 10 / L : 45,5% : 349 x 10 / L

27

Chlorida Calsium Magnesium Fosfor RFT

: 102,7 : 1,99 : 0,91 : 0,96

Kreatinin serum: 1,1 BUN Urea Asam Urat : 21 : 45 : 4,7

Kadar gula darah sewaktu: 103 stik

2.11 Laporan Operasi Tanggal : 30 September 2012 Diagnosa pre operasi : Prolaps rekti Diagnosa post operasi : Prolaps rekti post reposisi Operasi Uraian pembedahan Informed consent Pasien Litotomi trendelenburg Di dapatkan prolaps rekti 20 x 15 cm Dilakukan reposisi Diberi tampon kasa Instruksi post operasi Cek lab lengkap + thorax foto untuk persiapan op pro recto pexy elektif Infus RL 20 tpm Inj. Ceftriaxone 2x1 gram 1 hari Inj. antrain 3x1 amp Inj. Ranitidin 3 x 1 amp : Reposisi

28

2.12 Pemeriksaan tanggal 1 Oktober 2012 S : nyeri di daerah anus O : KU : sedang Vital Sign Kesadaran : Compos mentis : TD = 120 / 80 mmHg N = 80 x / menit Kepala / leher : a / i / c / d : - / - / - / Status generalis: R. thoracalis: Cor : S1S2 tunggal RR = 20 x / menit tax = 36,5C

Pulmo : Ves +/+, Rh - / - , Wh - / Status lokalis : Anus A : Prolaps rekti post reposisi H1 P : Inf. RL 1500 cc/24 jam Inj. Antrain 3 x 1 amp Inj. Ranitidin 3 x 1 amp Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr Pro Rectopexy elektif Jangan mengedan Ganti tampon Pasien pulang paksa pada hari Senin tanggal 1 Oktober 2012

29

BAB III. DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi. F. 2010. Schwartz's Principles of Surgery, Ninth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2. Doherty. G. 2009. Current Diagnosis & Treatment: Surgery, 13e. The McGraw-Hill Companies. 3. Fry. R, Mahmoud. N, Maron. D, Ross. H, Rombeau. J. 2008. Colon and Rectum in Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunder Elsevier. 4. Grace. P & Borley. N. 2006. At a Glance: Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga. 5. Sjamsuhidajat. R & Jong. W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

30

Vous aimerez peut-être aussi