Vous êtes sur la page 1sur 13

PEMBAHASAN ASMA BRONKIAL

1. Definisi Asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan napas pendek. (Patofisiologi, Sylvia volume 2: 2006) Asma adalah penyakit infllamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai macam sel dalam mekanismenya sehingga meningkatkan hiperresponsif bronkus yang mnyebabkan gejala mengi, sesak, rasa berat di dada dan batuk yang timbul terutama pada malam menjelang pagi (Depkes 2010) 2. Prevalensi Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa kanakkanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi berkisar antara 5-7 %. 3. Klasifikasi Sangat sukar membedakan satu jenis asama dengan asma yang lain. Dahulu dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (instrinsik). Asma alergik terutama munculnya pada waktu kanak-kanak, mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe I terhadap alergen. Sedangkan asma dikatakan asma instrinsik bila tidak ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun klasifikasi tersebut pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan nonalergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu asma

ekstrinsik, asma instrinsik, dan asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruksi kronik. 5. Patogenesis Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan. 1. Asma sebagai penyakit inflamasi Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik. Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan terebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell = sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th. Sel Th ini akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrien, platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin, dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan

permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
2

2. Hipereaktivitas saluran napas Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang, yaitu:

Inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.

Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkodilatasi lebih mudah terjadi.

Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf parasimpatis.

Gangguan Instrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga berperan pada HSN.

Obstruksi Saluran Napas. Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas diduga ikut berperan pada HSN. 6. Patofisiologi Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan iflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu
3

fungsional (KRF). Dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi. Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga daerah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut, yaitu gangguan ventilasi berupa hipoventilasi, ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak serta dengan sirkulasi darah paru, dan gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

7. Gambaran Klinis Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis. 8. Diagnosis Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batukbatuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan.

Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu: 1. Infeksi virus saluran napas: influenza 2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang. 3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi. 4. Kegiatan jasmani: lari. 5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi. 6. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-steroid. 7. Lingkungan kerja: uap zat kimia. 8. Polusi udara: asap rokok. 9. Pengawet makanan; sulfit. 10. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis. 9. Pemeriksaan Fisik Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. 1. Pemeriksaan Penunjang 1. Spirometri Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 atau KVP sebanyak 20% menunjukkan diagnosis asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan.

Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian. Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bilaberlangsung lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruksi kronik. 2. Uji Provokasi Bronkus Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya

hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%. Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi terhadap alergen yang diuji. 3. Pemeriksaan Sputum Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus. 4. Pemeriksaan Eosinofil Total

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan paien asma. 5. Uji Kulit Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya. 6. Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgE Spesifik dalam Sputum Kagunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong atofi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya. 7. Foto Dada Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain. 8. Analisis Gas Darah Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik. 1. Komplikasi 1. Pneumotoraks 2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis 3. Atelektasis 4. Aspergillosis bronkopulmoner alergik
8

5. Gagal napas 6. Bronkitis 7. Fraktur iga Penatalaksaan 1. Mencegah Ikatan Alergen IgE 1. Menghindari alergen, tampaknya sederhana tetapi sering sukar dilakukan 2. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih diragukan. 2. Mencegah Penglepasan Mediator Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan. Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi, meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma instrinsik dan asma karena kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan mediator. 3. Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator 1. Simpatomimetik: 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler) atau nebulizer; 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anakatau dewasa muda. 2. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan.
9

3. Kortikosteroid. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan. 4. Antikolinergik (ipatropium bromida) terutama dipakai sebagai suplemen

bronkodilator agonis beta 2. 4. Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut. Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada baik dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut atau kronik. Pengobatan Asma Menurut GINA (Global Initiative for Asthma) 1. Penyuluhan kepada pasien 2. Penilaian derajat beratnya asma 3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan 4. Perencanaan obat-obat jangka panjang Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan yaitu obat-obat anti asma, pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga, pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien. 1. Obat-obat anti asma. Pada dasarnya dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma yang berfungsi:

Pencegah (controller) yaitu obat-obat yan dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat antiinflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti-inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat-obat antialergi, bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat tersebut
10

mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Obat antiinflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibandingkan bronkodilator. Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral,dan obat-obat anti alergi.

Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 kerja pendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma episodik. Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau Ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin maupun agonis beta 2 dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan sirup.

2. Berdasarkan pengobatan farmakologis sistemik anak tangga, maka menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat; 1. Asma intermiten Gambaran klinis sebelum pengobatan
o o

Gejala intemiten (kurang dari sekali seminggu) Serangan singkat (beberapa jam sampai hari)
11

o o o

Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan Di antara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20 %. Obat yang dapat dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral

2. Asma persisten ringan Gambaran klinis sebelum pengobatan


o o o o

Gejala lebih dari 1x seminggu, tetapi kurang dari 1x per hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur Serangan asma malam lebih dari 2x/sebulan Nilai APE atau VEP1 antara >80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30 %. Obat yang digunakan setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu

3. Asma persisten sedang Gambaran klinis sebelum pengobatan


Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur Serangan asma malam lebih dari 1x seminggu Setiap hari menggunakan beta 2 agonis hirup Nilai APE atau VEP1 antara 60- 80% dari nilai prediksi, variabilitas >30 %. Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan bronkodiltor kerja panjang.

4. Asma persisten berat


Gejala terus-menerus, sering mendapat serangan Gejala asma malam sering Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma Nilai APE atau VEP1 < 60% dari nilai prediksi, variabilitas >30 %.
12

Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah, dosis tinggi, kortikosterois hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid jangka panjang. 5. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma) untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani 6. Berobat secara teratur Pasien dirujuk 1. Pasien dengan risiko tinggi kematian karena asma 2. Serangan asma berat APE < 60 % nilai prediksi 3. Respons bronkodilator tidak segera, dan bila ada respons hanya bertahan < 3 jam 4. Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah pengobatan kortikosteroid 5. Gejala asma makin memburuk.

13

Vous aimerez peut-être aussi