Vous êtes sur la page 1sur 16

1

PROBLEMATIKA UJIAN NASIONAL A. Pendahuluan Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) di SD, SMP dan SMA masih terus berlanjut. Kedua belah pihak, pemerintah dan anggota masyarakat, tetap berpegang pada argumentasinya masing-masing. Masyarakat luas dari berbagai kalangan, mulai dari para siswa, orang tua siswa, praktisi pendidikan, pengamat pendidikan, akademisi (ahli pendidikan), sampai pada anggota legislatif (DPR), memrotes, dan tidak setuju dengan penyelenggaraan UN. Sekalipun dengan perspektif dan kepentingan yang berbeda, namun mereka sepakat bahwa dampak dari penyelenggaraan UN ini lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para praktisi pendidikan merasakan penyelenggaran UN menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan; sedangkan sebagian anggota legislatif yang menolak, menilai pelaksanaan UN berdasarkan PP No.19/2005 bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dimana dalam UU Sisdiknas otoritas evaluasi hasil belajar diberikan kepada pendidik, namun pada PP No.19/2005 No.19/2005 pasal 58 kewenangan tersebut ditugaskan pemerintah kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dalam penyelenggaraan UN bekerjasama dengan instansi terkait didaerah. Banyak kejadian yang terjadi akibat UN, diantaranya kasus siswa bunuh diri akibat gagal UN yaitu Endang Lestari Siswi SMPN 1 Kerjo Karang Anyar Jawa tengah pada 23 Juni 2006; AN, warga desa Purwa Hamba, Kecamatan Suradadi, Kecamatan Tegal, Jawa Tengah (27/06/06) menenggak racun setelah dinyatakan tidak lulus UN padahal prestasi belajarnya cukup baik. (ginapriani.wordpress.com) Namun demikian, meskipun hampir semua menolaknya, pemerintah tetap berjalan dengan rencananya untuk menyelenggarakan UN. Pemerintah seakan

tidak peduli dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh masyarakat luas. Upaya untuk mendorong motivasi belajar siswa dan meningkatkan kualitas pendidikan kita adalah alasan yang dilontarkan oleh pemerintah untuk tetap menyelenggarakan UN. Berbagai keberatan yang dilontarkan oleh masyarakat luas terhadap penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi perhatian yang serius. Berdasarkan fakta yang ada tampak bahwa UN berdampak negatif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan kita akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan. Dari pendahuluan di atas maka permasalahan yang diambil dalam makalah ini adalah: 1. Apasajakah tujuan dilaksanakan UN? 2. Apasajakah landasan hukum diterapkannya UN dalam sistem pendidikan nasional? 3. Apa sajakah kriteria kelulusan UN? 4. Bagaimanakah dampak negatif yang terjadi sebagai akibat diterapkannya UN? 5. Apa sajakah alternatif solusi yang bisa ditawarkan dalam rangka mengganti evaluasi secara nasional tipe UN? B. Pembahasan 1. Pelaksanaan UN Sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 2001 kita telah mengenal apa yang disebut dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) yaitu merupakan suatu penilaian akhir terhadap sebuah jenjang pendidikan untuk menentukan kelulusan atau ketamatan seseorang. EBTA ini berlaku bagi jenjang pendidikan dari SD, SMP/yang sederajat, SMU dan

SMK/yang sederajat. EBTA terbagi menjadi dua macam yaitu soal yang berasal dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Pusat atau yang disebut dengan istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), dan berasal dari Depdiknas Pusat tetapi menjadi kewenangan dari pihak sekolah masing-masing yang disebut dengan EBTA sekolah. Sejalan dengan perkembangan pendidikan dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan maka sejak tahun ajaran 2001/2002 istilah EBTA diganti dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) atau sekarang UN. Untuk jenjang SD/MI/SDLB sesuai dengan Permendiknas no 2 tahun 20011 yang sebelumnya bernama Ujian akhir Sekolah yang Berstandar Nasional (UASBN) juga berubah nama menjadi UN. Pada tahun ajaran 2002/2003 UN tetap diselenggarakan bahkan hingga sekarang, namun beberapa perubahan dalam setiap tahunnya, terutama menyangkut jumlah mata pelajaran, standar nilai, dan lainnya. 2. Pengertian UN Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (UU No. 20 tahun 2003). Sedangkan menurut peraturan menteri pendidikan nasional nomor 75 tahun 2009 pasal 1 ayat 1, UN adalah kegiatan pengukuran kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Adapun UN menurut Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4, dijadikan pertimbangan untuk: a) penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan, b) seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya, c) pemetaan mutu satuan dan/ atau program pendidikan, d) akreditasi satuan pendidikan, dan e) pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun seharusnya evaluasi mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih

banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. 3. Dasar Hukum UN yang menjadi landasan atau dasar pelaksanaan UN adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. b. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 63 ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: 1) penilaian hasil belajar oleh pendidik; 2) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan 3) penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Pasal 66 ayat (1): Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional. Pasal 66 ayat (2): UN dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.

Pasal 66 ayat (3): UN diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. Pasal 68: Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; 2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; 3) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; 4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pasal 69 ayat (1): Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. (Draf-revisi 20 Desember 2011). Pasal 69 ayat (2): Setiap peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti satu kali Ujian Nasional tanpa dipungut biaya. Pasal 69 ayat (3): Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti UN setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Repulbik Indonesia Nomor 59 tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidkan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK. Permendiknas No 2 tahun 2011. Tentang Ujian Sekolah dan Ujian Nasional SD/MI/SDLB. 4. Kriteria Kelulusan UN Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2011 pasal 6 yaitu: ayat (1) a. SD/MI dan SDLB ditetapkan oleh satuan pendidikan dalam rapat dewan guru; b. SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan oleh Menteri; berdasarkan perolehan NA. (2) NA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan Nilai UN, dengan pembobotan 40% untuk Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60% untuk Nilai UN. (3) Peserta didik SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMALB, dan SMK dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua NA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol). Sebagaimana yang tertera pada pasal 72 PP 19/2005, peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: 1) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; 2) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. 3) lulus ujian sekolah/ madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 4) lulus UN. Keempat kriteria kelulusan peserta didik dalam satuan pendidikan di atas harus dipenuhi oleh peserta didik. Apabila salah

satu kriteria tidak terpenuhi, peserta didik dinyatakan tidak lulus dari satuan pendidikan. 5. Tujuan dan Fungsi UN Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Permendiknas No. 75 tahun 2009 pasal 2, UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat Nasional, provinsi, kabupaten, sampai di tingkat sekolah. Fungsi UN sama halnya dengan tujuan dari UN, fungsi UN pun telah tercantum dalam permendiknas No. 75 tahun 2009 pasal 2, yaitu hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: a) pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; b) seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; c) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; d) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Menurut Khaerudin (http://www.ilmu pendidikan.net/2012/10/28), berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, diantaranya: 1. Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Tahun 2005 2007 pada tingkat SMP dan SMA, hanya mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Tahun 2008 untuk tingkat SMA ada penambahan mata pelajaran dan berbeda antara jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Untuk SMA jurusan IPA, akan ditambah mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi; Untuk jurusan IPS ditambah mata pelajaran Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi, dan untuk jurusan Bahasa ditambah mata pelajaran Sastra Indonesia, Bahasa asing lain, dan Antropologi/Sejarah Budaya. Selain itu, pada tahun 2008 juga dilaksanakan UN untuk tingkat SD, dengan mata

pelajaran yang diuji adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan psikomotorik. 2. Proses pembelajaran yang tidak bermakna Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soalsoal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran. 3. Upaya-upaya yang tidak fair Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak sedikit

oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang setinggi-tingginya. Sekolah membentuk Tim Sukses untuk mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM Kepmendiknas 053/U/2001, Guru memberi contekkan kepada siswa adalah suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para siswanya dan prosentase kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Bila ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal) kita. Manusia yang berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur. 4. Hanya ranah kognitif yang terukur UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai. 5. Keputusan yang tidak fair

10

Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP dan SMA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental, karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes. 6. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin Di samping sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan favorit akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas. Untuk mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi bentuk tes yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise). Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non

11

tes. Dan ini tidak (mungkin) dilakukan dengan UN, karena untuk melakukan itu harus dilakukan secara berkelanjutan. Pembatasan aspek yang dievaluasi melalui UN, yang hanya mengukur prestasi akademik yang hanya mengukur penguasaan pengetahuan, berakibat pada proses pembelajaran yang terjadi di sekolah pun menjadi berfokus pada pengembangan ranah kognitif. Aspek-aspek afektif, seperti berakhlak mulia, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab menjadi terabaikan. Pendidikan di sekolah telah melupakan fungsi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Disorientasi pembelajaran, sebagai akibat dari penyesuaian dengan tuntutan UN juga terjadi pada fokus perhatian para siswa dan orang tua terhadap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Mata pelajaran yang di-UN-kan mendapatkan prioritas utama dan sekaligus mendapat porsi yang lebih besar dalam proses belajar siswa. Seolah-olah hanya ketiga mata pelajaran itu saja yang penting. Padahal penetapan mata pelajaran yang ditetapkan di sekolah didasarkan pada kebutuhan pencapaian tujuan pendidikan yang lebih luas. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya melalui pengembangan pendekatan dan strategi pembelajaran. Berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran telah dikenalkan, diujicobakan dan juga dilatihkan pada para guru, seperti pendekatan CBSA, Keterampilan Proses, sampai pada PAKEM. Berbagai inovasi tersebut memang dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar yang dialami siswa, karena proses belajar yang berkualitas pada akhirnya akan mendorong mutu hasil belajar siswa. Dengan pendekatan dan strategi pembelajaran yang inovatif diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang menyenangkan, menstimulasi pengembangan potensi diri siswa, jauh dari tekanan dan stres, dan mendorong siswa belajar menemukan. Model pembelajaran seperti inilah sebenarnya yang diharapakan terjadi sehingga pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu pendidikan diselenggarakan secara

12

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; pasal 4 ayat (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; serta pasal 4 ayat (4) yang menyatakan Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Namun sayang, berbagai upaya tersebut kembali kandas pada saat akan dilaksanakan di kelas. Bukan karena para guru tidak mampu melaksanakan berbagai pendekatan tersebut, tetapi karena terbentur dengan tuntutan dan ukuran keberhasilan belajar yang menggunakan nilai UN. Guru lebih suka menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan nilai UN. Strategi pembelajaran yang di dalamnya menggunakan metode drilling dianggap efektif untuk mengkondisikan proses belajar siswa agar siap dan mampu menghadapi UN dengan baik. Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar sesuai dengan apa yang akan diujikan dalam ujian. Bila soal-soal dalam ujian menuntut mereka untuk hafal banyak hal, maka proses belajar yang dilakukannya adalah dengan cara menghafal. Bila kita kaji dari sudut pandang yuridis formal penyelenggaraan UN, terdapat sejumlah catatan yang perlu mendapat perhatian serius. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sementara pasal 59 ayat 1 menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kedua pasal ini telah membagi tugas yang jelas antara pendidik dan pemerintah dalam penyelenggaraan evaluasi pendidikan di sekolah. Pendidik bertugas mengevaluasi proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolanya, baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya. Mengacu pada aturan ini, jelas penyelenggaraan UN sebagaimana dilakukan selama ini telah mengambil alih tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pendidik. D. Penutup

13

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya UN segera ditinggalkan. Walaupun UN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengukur mutu pendidikan secara nasional serta memiliki landasaan hukum yang jelas. Namun, ada beberapa landasan hukum yang masih bertentangan. Selain itu, UN juga telah membawa dampak negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah diantaranya: terjadinya disorientasi pendidikan khususnya mata pelajaran di sekolah, proses pembelajaran yang tidak bermakna, upaya-upaya yang tidak fair untuk mencapai target kelulusan 100%, hanya ranah kognitif yang terukur, keputusan yang tidak fair dimana UN dijadikan penentu kelulusan, dan menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin. Dengan menyelenggarakan UN, menyebabkan pemerintah melanggar UU No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 pasal 59 ayat 1. Pemerintah telah mengambil alih tugas pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik, sementara tugasnya sendiri untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola tidak dilakukannya. Dari pengalaman UN yang telah dilakukan selama ini, juga terdapat berbagai kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali kelanjutan penyelenggaraan UN. Berbagai kecurangan tersebut jelas akan berdampak negatif pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan kita. Dengan demikian agar sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi dan mengurangi adanya kecurangan maka solusi yang ditawarkan penulis sebagai pengganti UN adalah menggunakan standar kelulusan dengan sistem seperti dulu yaitu berapapun hasil ujian nasional anak akan tetap lulus dan ini tidak akan membuat guru untuk membantu siswanya untuk lulus. Karena dalam hal kelulusan yang lebih tau tentang siswanya adalah gurunya atau pendidiknya sendiri bukan negara. Atau dengan kata lain, UN tetap dilaksanakan, hanya dalam rumus pelulusan tidak harus seragam, tiap sekolah bisa memililih kriteria pelulusan yang tepat. Kriteria rumus pelulusan tersebut ditentukan oleh pemerintah (hal ini pernah dilakukan ketika Ebtanas terkahir diberlalukan).

14

DAFTAR PUSTAKA Badrun, 2009. Dampak Ujian Nasional. Diunduh dari http://Staff uny.ac.id/sites/default/files. Pada 27 Oktober 2012 pukul 19.30. Gina. Ujian Nasional. Diunduh dari Http://ginapriani.wordpress.com. Pada 27 Oktober 2012 pukul 20.00. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan BSNP, 2011. Tanya Jawab UN 2012. Diunduh dari Http:// draf-revisi 2012.pdf. pada 27 oktober 2012 pukul 08.00 Khaerudin, Ujian Nasional dan Kualitas Pendidikan Kita. Diunduh dari http://www.ilmu pendidikan.net/2012/10/28. Pada 27 Oktober 2012 pukul
19.00.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 75 Tahun 2007. Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2009/2010. Diunduh dari Http://yuskos.wordpress.com / 2009/11/07. Pada 27 Oktober 2012 pukul 20.15. Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005. Standar Nasional Pendidikan. Diunduh dari Http://wrksitb.id/app/images/files_produk_ hukum/PP_19_2005.pdt. pada 26 Oktober 2012 pukul 19.30. Permendiknas No 2 tahun 2011. Ujian Sekolah dan Ujian Nasional TP 2010/2011. Diunduh dari dindikJatim.net/UN/Permendiknas no 2 Th 2011/pdf . Pada 26 Oktober 2012 pukul 09.00. Undang-Undang No 20 Tahun 2003. Standar Penilaian Pendidikan. Diunduh dari Http:// Fiffhgllar.wordpress.com./2010/09/30. pada 27 Oktober 2012 pukul 09.00.

15

PROBLEMATIKA UJIAN NASIONAL (Makalah)

Mata Kuliah: Landasan Ilmu Pendidikan Dosen Pengampu: Dr. Imam Sujadi, M.Si.

Oleh: Ari Suningsih (S851208008) Binti Anisaul Khasanah (S851208012)

16

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012


ABSTRAK

Berpikir tingkat tinggi (High Order Thinking) adalah berpikir pada tingkat lebih tinggi daripada sekedar menghafalkan fakta atau mengatakan sesuatu kepada seseorang persis seperti sesuatu itu diceritakan kepada kita. Peningkatan daya saing antar bangsa ini merupakan kebutuhan untuk mengetahui segala perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan penguasaan yang memadai bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena tu, tidak heran jika berbagai bangsa dapat kita saksikan sangat antusias berlomba dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan , termasuk menciptakan, mengembangkan, dan menggunakannya dalam rangka mencapai kesuksesan yang kompetitif. Kurikuklum 2013 berorientasi pada perkembangan globalisasi dunia yang didalamnya terdapat kemajuan teknologi informasi, masalah lingkungan hidup, serta kebangkitan industri kreatif dan budaya.

Keywords : High Order Thinking, Daya Saing Bangsa, Kurikulum 2013.

Vous aimerez peut-être aussi