Vous êtes sur la page 1sur 105

Vol. 2 No.

2 Januari 2009
ISSN : 1411-268x

Visi jurnalisme publik dalam demokratisasi Mursito


politik

Quo-vadis kekerabatan Malaysia-Indonesia? Musafir Kelana &


Abubakar Eby Hara

Perang dalam tata kehidupan antarbangsa Totok Sarsito

The economic strategies Pursued by Moro Shamsuddin L. Taya


Islamic Liberation Front (MILF) for self-
determination in the Southern Philippines

The importance and functional role of Hisham Dzakaria &


qualitative audience analysis within the Nuraini Yusoff
stakeholders of Malaysia screen industry

Proposionalitas anggota DPRD: Kajian Dwi Tiyanto


terhadap proses perekrutan anggota DPRD
hasil Pemilu 2004 di Kabupaten Wonogiri

Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan Surisno Satrijo Utomo


mahasiswa Program D3 Komunikasi Terapan
FISIP Universitas Sebelas Maret

Peranan teknologi komunikasi terhadap Sutopo


perubahan sosia

Communication as culture Pamela Nilan

Online learning and the quality of learning Sri Hastjarjo


in journalism course

Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008 Widodo Muktiyo

Jurnal Jurusan Ilmu Komunikasi


Volume Nomor Halaman Januari ISSN:
Komunikasi
2 2 91-189 2009 1411-268x Fak. Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Massa Universitas Sebelas Maret
Jurnal
Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 ISSN : 1411-268x

Diterbitkan oleh:
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Jurnal Komunikasi Massa
Terbit dua kali setahun

Hak cipta dilindungi Undang-undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi dalam pelbagai bentuk medium
baik cetakan, elektronik, maupun mekanik.

ISSN: 1411-268x

Diterbitkan oleh
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret

Desain dan tata letak oleh Sri Hastjarjo

ii Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Jurnal
Komunikasi Massa Vol. 2 No. 2 Januari 2009
ISSN: 1411-268x

DEWAN REDAKSI DAFTAR ISI

Pemimpin Redaksi Visi jurnalisme publik dalam demokratisasi


Dra. Prahastiwi Utari, M.Si., Ph.D. politik .................................................................. 91
Mursito
Redaktur Pelaksana
Drs. Hamid Arifin, M.Si. Quo-vadis kekerabatan Malaysia-Indonesia? ..... 97
Tanti Hermawati, S.Sos., M.Si. Musafir Kelana & Abubakar Eby Hara

Sekretaris Redaksi Perang dalam tata kehidupan antarbangsa .......... 112


Mahfud Ansori, S.Sos. Totok Sarsito
The economic strategies Pursued by Moro Islamic
Redaktur Ahli Liberation Front (MILF) for self-determination
Drs. Pawito, Ph.D. in the Southern Philippines ................................. 127
Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D. Shamsuddin L. Taya
Susanto Karthubij, S.Sos., M.Si.
The importance and functional role of qualitative
Mitra Bestari audience analysis within the stakeholders of
Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D. Malaysia screen industry ..................................... 139
(Universitas Indonesia) Hisham Dzakaria and Nuraini Yusoff
Prof. Dr. Dedy Mulyana
Proposionalitas anggota DPRD: Kajian terhadap
(Universitas Padjajaran)
proses perekrutan anggota DPRD hasil Pemilu
A/Prof. Pamela Nilan, Ph.D.
2004 di Kabupaten Wonogiri .............................. 146
(University of Newcastle, Australia)
Dwi Tiyanto
Alamat Redaksi Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
Jurusan Ilmu Komunikasi mahasiswa Program D3 Komunikasi Terapan
FISIP Universitas Sebelas Maret FISIP Universitas Sebelas Maret ......................... 155
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Surisno Satrijo Utomo
Tel./Fax. +62 271 632478.
Email: jkm-uns@yahoo.com Peranan teknologi komunikasi terhadap perubahan
sosial .................................................................... 159
Pemasar/Sirkulasi Sutopo
Budi Aryanto, Tel. +62 271 632478 Communication as culture ................................... 165
Pamela Nilan
Jurnal Komunikasi Massa terbit dua Online learning and the quality of learning in
kali dalam setahun, diterbitkan oleh Ju- journalism course ................................................ 172
rusan Ilmu Komunikasi FISIP Univer- Sri Hastjarjo
sitas Sebelas Maret Surakarta sebagai
media wacana intelektualitas bagi pe- Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008 ....... 182
ngembangan Ilmu Komunikasi. Widodo Muktiyo
Dewan Redaksi mengundang para pe-
ngajar, peneliti, dan praktisi bidang ko-
munikasi dan media massa untuk me-
ngirimkan tulisan baik berupa artikel il-
miah maupun hasil penelitian. Syarat
penulisan artikel tercantum di halaman
sampul belakang. Dewan Redaksi ber-
hak menyeleksi dan mengedit naskah
tanpa mengurangi esensi isi.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 iii


iv Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 91-96

Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Mursito BM
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak
Radio dan televisi bersinergi dengan telepon, kemudian membangun sebuah institusi
yang populer disebut “dialog interaktif”. Di bawah payung kebebasan, ketiganya
menggerakkan demokrasi. Publik radio atau televisi, yang di masa Orde Baru dibuat
“diam”, kini dirangsang untuk aktif berbicara. Kebebasan dan telepon membuat
akses publik ke media menjadi semakin besar, membuat orang yang kritis dan aktif
menjadi semakin banyak. Jurnalisme publik mendapatkan ”tempatnya” dalam
proses demokratisasi ini. Yakni membangun realitas berdasarkan agenda publik,
yang berarti “mendekatkan jarak” antara realitas media dengan realitas empirik.
Kata kunci: jurnalisme publik; bajir informasi; konstruksi realitas

Pendahuluan lain. Saya mungkin memerlukan waktu satu ta-


hun atau lebih sebab saya harus pergi secara fi-
Masyarakat post-industrial adalah ma- sik keliling dunia, berjalan kaki bergantian de-
syarakat yang sebagian besar warganya bekerja ngan naik perahu layar.
di sektor informasi. Seseorang mengungkapkan Neil Postman dalam bukunya “Menghi-
klaim ini dengan nada bangga, tetapi seseorang bur Diri Sampai Mati” memberi catatan kritis
yang lain dengan rasa skeptis. Namun keduanya tentang situasi banjir informasi ini. Ada feno-
sama-sama merasakan adanya limpahan infor- mena yang ia sebut informasi bebas konteks
masi yang demikian banyak ke masyarakat, ha- bahwa nilai informasi tak perlu dikaitkan de-
sil pasokan media. Situasi ini lazim diformula- ngan fungsi apapun yang dapat dilayaninya da-
sikan sebagai “banjir informasi” segala macam lam pengambilan keputusan sosial-politik. Ni-
informasi mengalir ke rumah kita, banyak seka- lai informasi tersebut dapat berupa aktualitas,
li, menggenangi lingkungan kita. daya tarik, dan rasa ingin tahu yang ditimbul-
Mereka yang mendapat banyak manfaat kan. Informasi menjadi komoditas, sesuatu
dari banjir informasi ini membuat ilustrasi begi- yang dapat dibeli dan dijual tanpa hubungan de-
ni; Jika sekarang saya memerlukan informasi ngan kegunaan maupun maknanya (Postman,
tentang model rumah dari pelbagai bangsa di 1995:76). Ungkapan terkenal dari Coleridge,
seluruh dunia, dengan cepat akan saya dapat- yang dikutip Postman, yakni “begitu banyak air
kan. Saya pergi ke perpustakan, atau membuka di mana-mana tanpa ada yang bisa diminum”,
pel-bagai situs internet. Dalam waktu dua atau dapat dijadikan metafor mengenai lingkungan
tiga jam informasi itu terkumpul, sekeranjang. informasi yang terdekontekstualisir: dalam la-
Tetapi jika hal yang sama saya lakukan, kata- utan informasi, hanya sedikit yang dapat di-gu-
kanlah 100 tahun yang lalu, keadaannya akan nakan.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 91


Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Tesisnya adalah, informasi mendapat- tidak pada posisi dominan (tidak sebagaimana
kan posisi pentingnya dari kemungkinan ada- yang kita lihat di media cetak); kita melihat se-
nya tindak yang diambil berdasarkan informasi buah institusi media yang mereduksi hampir
yang diterimanya. Dengan rumusan lain: ratio semua programnya menjadi bernuansa hiburan.
informasi - aksi. Dari sekian banyak informasi Namun tidak berarti tidak ada peluang, meski-
yang disampaikan media, informasi apa (saja) pun sulit. Kita akan telisik fenomena-fenomena
yang membuat kita bertindak? Beberapa di an- yang memungkinkan kita bisa mewujudkan mi-
taranya dapat kita catat. Berita tentang kenaikan si pendidikan pemilih ini, kemudian kita disku-
harga bensin yang diberlakukan mulai nanti sikan.
malam pukul 00.00, contohnya, membuat mo-
Jurnalisme (dan Forum) Publik
bil-mobil, temasuk yang mewah, berkerumun
di sekitar SPBU; berita tentang tsunami di Aceh Radio dan televisi, kini, bersinergi de-
dan gempa bumi di Yogya menggerakkan aksi ngan telepon, kemudian membangun sebuah in-
kemanusiaan. Ada aksi setelah menerima infor- stitusi yang populer disebut “dialog interaktif”.
masi. Tetapi kita tahu, jauh lebih banyak infor- Di bawah payung kebebasan, ketiganya meng-
masi media yang tidak melahirkan tindakan. gerakkan demokrasi. Publik radio atau televisi,
Selain banjir informasi, ada problem se- yang di masa Orde Baru dibuat “diam”, kini di-
rius pada media, khususnya televisi, mengenai rangsang untuk aktif berbicara. Seorang “rakyat
program informasinya. Jurnalisme memilahkan biasa”, melalui telepon dari rumah, bisa berde-
dengan tegas fakta dan opini, seperti yang ma- bat dengan para pakar atau politisi dan disiarkan
sih kita lihat di koran. Tetapi infotainmen yang secara langsung media televisi atau radio. Ada
diklaim sebagai program jurnalisme mengabur- semangat baru, ada greget untuk berpendapat
kan batas keduanya. Jurnalisme bekerja berba- dan berbeda pendapat. Dari sini wacana publik
sis fakta tetapi infotainmen membuat gosip di- dibangun.
berlakukan sebagai fakta. Jurnalisme media ce- Fenomena ini terjadi di mana-mana, dari
tak menggunakan simbol huruf-huruf tersusun pusat hingga ke daerah, dari topik resep masak-
sebagai media pengantar informasi, infotain- an hingga ke topik politik yang panas. Di bebe-
men memakai perempuan berpakaian “model rapa radio swasta dan radio Pemda di Solo, dia-
tertentu” sebagai “media” informasinya. Jur- log interaktif mengambil waktu diantara pemu-
nalisme menggunakan kata kunci obyektivitas, taran kaset wayang kulit. RRI, nasional dan lo-
infotaimen menggunakan kata kunci menarik. kal, secara rutin menyelenggarakan dialog in-
Jurnalisme merangsang intelektualitas, info- teraktif, dengan pelbagai topik yang didasarkan
tainmen memprovokasi emosi dan nafsu. pada berita media (news peg). Dialog interaktif
Jika kita melihat layar monitor televisi, telah menjadi “budaya media” baru di kalangan
akan terlihat hal yang menarik bagi seseorang, media penyiaran, baik radio maupun televisi.
tetapi absurd bagi seseorang yang lain. Di bagi- Kita sedang menyaksikan masyarakat
an atas, di sudut kiri ada logo stasiun TV ber- yang sedang menggunakan haknya dan menja-
sangkutan, sementara di sudut kanan ada infor- lankan sebuah peran penting: partisipasi (poli-
masi mengenai program yang ditawarkan. Di tik). Kebebasan dan telepon telah membuat me-
bagian bawah, tertayang news sticker, disusul dia massa berubah, dari “searah” (one way) ke
di atasnya ada iklan; Di atasnya lagi adalah cap- “dua arah” (two way) interaktif. Dari siaran
tion program berita, atau teks film asing. Maka, tunda ke siaran langsung. Kebebasan dan tele-
seseorang yang lain lagi mengibaratkan menon- pon membuat akses publik ke media menjadi
ton televisi seperti menikmati makanan ringan: semakin besar, membuat orang yang kritis dan
rasanya ramai-ramai. aktif menjadi semakin banyak. Tidak hanya da-
Deskripsi singkat situasi media televisi lam pengertian rakyat menjadi subyek berita,
ini dimaksudkan sebagai pengantar, tetapi juga tetapi juga warga masyarakat “memberitakan
bahan pertimbangan, bagaimana kita memposi- dirinya” ke media.
sikan misi pendidikan pemilih melalui media Yang pertama perlu digarisbawahi dari
elektronika. Kita akan berhadapan dengan kul- fenomena empirik di atas adalah peran tekno-
tur televisi kita yang karakter jurnalismenya se- logi telepon dan radio atau televisi yang ter-
dikit terpapar di atas; kita dihadapkan pada nyata menjadi lebih produktif ketika dioperasi-
situasi yang menempatkan program jurnalistik onalkan pada setting masyarakat bebas. Yang

92 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

kedua, dialog interaktif tercipta karena topik membaca liputan acara-acara yang sudah ter-
yang ditetapkan menarik minat publik. Ia dimi- jadwal, pembeberan penyimpangan, atau repor-
nati berkat isu yang dipilih dalam pemberitaan tase tentang suatu kecenderungan yang ber-
media sesuai dengan minat publik. Dengan kata kembang. Saat publik mulai beraksi terhadap
lain, agenda media sesuai dengan agenda pub- pembeberan ini, suara publik pun mengisi ko-
lik, atau agenda media mencerminkan ageda munitasdi acara radio yang menyiarkan telepon
publik. dari pemirsa, acara bincang-bincang televisi,
Ketiga, dialog interaktif adalah bukti opini pada halaman op-ed (opinion and editor-
bahwa kalau ada akses langsung ke media, pub- ial page). Saat suara-suara itu terdengar oleh
lik akan “masuk” memanfaatkannya. Ketika yang berwenang, mereka menaruh perhatian
media ditekan, seperti yang terjadi di era Orde untuk memahami perkembangan opini publik
Baru, media akan berfikir seribu kali untuk seputar suatu subyek.
memberikan akses langsung ke publik. Media Persoalannya adalah, ada “prinsip” da-
terpaksa menyeleksi dan mengedit dengan ketat lam jurnalisme yang bisa jadi kurang mendu-
setiap opini yang dijadikan berita. Meluasnya kung kehendak untuk membangun forum pub-
akses langsung publik ke media elektronika ju- lik ini. Dalam memproduksi berita, media akan
ga kita saksikan melalui apa yang di media ce- memilih peristiwa berdasarkan kriteria yang
tak dikenal sebagai “surat pembaca”, katakan- dikenal sebagai news value. Salah satu yang
lah “suara pemirsa”, bisa lewat telepon kabel, masuk dalam kriteria ini adalah prominence
short message service (SMS) telepon seluler, (berhubungan dengan ketenaran). Dalam pil-
atau e-mail. Berita-berita tentang pemilihan gu- kada, para balon dan calon kepala daerah tentu
bernur harus bisa menciptakan suasana di mana lebih banyak diberitakan karena lebih promi-
publik aktif berakses langsung ke media, meng- nence ketimbang anggota publik.
gunakan “forum” yang media wajib menye- Di sisi lain, media bekerja untuk kepen-
diakan. tingan publik. Bahkan ketika ada konflik antara
Fenomena ini, fenomena dibukanya ak- elit dan publik, media harus “berfihak” untuk
ses langsung media, sungguh sesuai benar de- “membela” kepentingan publik. Keberfihakan
ngan “anjuran” Bill Kovach (2001: 172) bahwa kepada publik harus diperjuangkan dengan me-
media harus menciptakan dan menjadikan diri- nyuarakan kepentingan publik melalui berita-
nya sebagai forum publik. Berita-beritanya ha- beritanya. Inilah salah satu argumen penting-
rus merangsang publik untuk berdialog, berdis- nya kita mengembangkan jurnalisme publik
kusi, baik di forum-forum masyarakat maupun (public journalism).
di forum yang ada dan diciptakan media. Di sini ada paradoks antara berita yang
Kovach memaparkan proses terbentuk- hanya berdasarkan kriteria news value dan prin-
nya forum publik begini; Ini dimulai dari lapor- sip jurnalisme publik. Pada berita yang menda-
an awal yang di dalamnya wartawan meng- sarkan pada news value, pers seakan-akan “ber-
ingatkan publik akan sesuatu peristiwa atau fihak” kepada elit. Ia hanya memberitakan to-
kondisi di komunitas misalnya ada keributan koh-tokoh yang masuk dalam kriteria promi-
antar pendukung kandidat gubenur. Laporan ini nence. Pada kampanye pilkada, berita-berita
bisa saja berisi analisis yang menyebutkan dam- media akan dipenuhi oleh para kandidat kepala
pak yang mungkin timbul. Konteks mungkin daerah beserta peristiwa yang “diciptakannya”
dihadirkan untuk perbandingan atau kontras, jika prominence menjadi kriteria utamanya da-
dan editorial yang membarenginya bisa saja lam kebijakan pemberitaannya. Artinya, media
mengevaluasi informasi tersebut. Kolumnis berfihak kepada elit.
mungkin menghadirkan komentar pribadi un- Kesan lain yang bisa muncul adalah, me-
tuk persoalan ini. dia bersifat “pasif” karena hanya memberitakan
Semua bentuk medium yang dipakai peristiwa yang sifatnya “given”. Ini berbeda de-
wartawan sehari-hari bisa berfungsi untuk men- ngan jurnalisme publik, yang menuntut aktif
ciptakan forum di mana publik diingatkan akan dalam “menggali” aspirasi publik. Dikatakan
masalah-masalah penting mereka sedemikian “menggali” karena aspirasi publik tidak sema-
rupa sehingga mendorong warga untuk membu- nifest aspirasi elit yang dengan mudah ditemu-
at penilaian dan mengambil sikap. Rasa ingin kan. Maka, pers dituntut aktif mendorong war-
tahu membuat orang bertanya-tanya sesudah ga negara untuk berpartisipasi dan terlibat da-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 93


Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

lam wacana mengenai public affair. Alat untuk menjalankan pendidikan itu adalah
Dengan jurnalisme publik, agenda media jurnalisme. Seperti diketahui, jurnalisme ada-
tidak ditentukan oleh para elit tetapi ditentukan lah kegiatan pengelolaan informasi mengum-
oleh media berdasarkan public affair. Pada titik pulkan merumuskan, dan memformat peristiwa
ini kita akan melihat aktualisasi media sebagai menjadi berita. Nilai-nilai, etika, dan kaidah,
“kekuatan keempat”. Media akan mengguna- tentu menjadi pegangan. Persoalannya adalah,
kan kekuatannya untuk mengembangkan iklim bagaimana jurnalisme bisa menjalankan fungsi
diskusi publik, yang bisa dimulai dengan me- pendidikan jika tugasnya hanya terbatas pada
nyediakan “ruang publik” di media itu sendiri. mengelola berita?
Rubrik-rubrik yang berhubungan dengan akses Memang terbatas. Pendidikan yang dila-
publik ke media diperluas, sehingga “suara pu- kukan media terbatas pada upaya mengendali-
blik” akan lebih dominan ketimbang suara elit. kan dan mengarahkan efek penyiaran informa-
Pada tahapan lanjut, ketika ruang publik si. Artinya, setiap informasi yang disiarkan
politis belum terbentuk di masyarakat, media media dipilih dan diformat demikian rupa se-
mensponsori diskusi-diskusi publik. Dengan hingga menimbulkan efek seperti yang diharap-
kata lain, medialah yang membantu mencipta- kan. Pada umumnya yang diharapkan efek pe-
kan ruang publik politis di masyarakat. Jika nyiaran informasi adalah pemahaman, kesa-
ruang publik politis ini benar-benar memenuhi daran, dan tindakan. Informasi tentang pilkada,
syarat inklusif, egaliter, dan bebas tekanan umpamanya, menimbulkan efek pemahaman,
maka media mendapat bahan pemberitaan yang kesadaran, dan tindakan memilih; dapat men-
memungkinkannya menerapkan jurnalisme ciptakan suasana persaingan yang sehat, memi-
publik. nimalisasi konflik dan tindak kekerasan. Dan,
Jurnalisme publik bisa strategis peran- seperti dipaparkan di atas, berita-beritanya
annya dalam memilih pemimpin (gubernur) mampu merangsang publik untuk berwacana
yang tepat dalam Pilkada. Kenapa? Karena dalam forum-forum yang diciptakan media.
agenda media dalam jurnalisme publik berang- Dalam praktik tentu tak sesederhana itu.
kat dari agenda publik, yang didapatkannya dari Bagaimana jurnalisme dapat melakukan
diskusi publik di ruang publik politis, bukan pekerjaan itu? Jawabnya ada pada esensi jurnal-
“agenda kandidat kepala daerah.” Jika diskusi isme: bagaimana jurnalisme mengkonstruksi
publik itu mengenai pilkada, maka agenda dis- peristiwa menjadi berita; bagaimana jurnalisme
kusi lebih ditekankan pada identifikasi perma- mentransformasi realitas empirik menjadi re-
salahan di daerah itu dan solusinya yang harus alitas simbolik. Jurnalisme memiliki infrastruk-
dikerjakan kepala daerah, serta kreteria kepala tur untuk melakukan pekerjan itu. Kita diskusi-
daerah seperti apa yang bisa menyelesaiakan kan elemen-elemennya, serta proses bagaimana
permasalahan itu. Hasilnya adalah opini publik. realitas empirik itu menjadi realitas simbolik,
Proses terciptanya opini publik ini selalu yang berarti juga realitas media.
diberitakan media, sehingga publik juga tahu Berita adalah laporan tentang peristiwa,
perkembangannya. Dengan opini publik berupa bukan peristiwanya itu sendiri. Dengan definisi
kriteria, maka rakyat akan mendapat “pegang- ini hendak dikatakan, peristiwa tidak sama de-
an” untuk menentukan pilihannya. Para kandid- ngan berita. Suatu kejadian besar ledakan bom
at yang muncul akan dinilai berdasarkan krite- di mal, misalnya tetap akan menjadi kejadian
ria opini publik itu. Dalam kondisi demikian, dan tidak menjadi berita jika tidak ada warta-
media menghadapi problem netralitas dalam wan yang dapat meliput dan menyiarkannya di
pilkada. Melalui pemberitaan proses terbentuk- media. Dengan bahasa lain, berita adalah (hasil)
nya opini publik, tidak bisa tidak media akan konstruksi fakta dengan berdasarkan prisip-
“kelihatan” berfihak pada kandidat gubernur prinsip jurnalisme.
tertentu, yang sesuai dengan kriteria yang di- Klausa “berita tidak sama dengan peristi-
bentuk oleh opini publik. Tetapi apa salahnya wa” tidak hanya berarti berubahnya realitas em-
berfihak jika keberfihakan itu pada publik. pirik menjadi realitas simbolik, tetapi juga ber-
arti tereduksinya fakta oleh faktor-faktor yang
Konstruksi Realitas
oleh jurnalisme ditetapkan sebagai syarat. Yang
Media memiliki fungsi pendidikan, tentu utama adalah, fakta dalam suatu peristiwa dise-
juga termasuk pendidikan untuk para pemilih. leksi oleh apa yang dikenal sebagai news value,

94 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

yakni fakta-fakta yang diasumsikan wartawan Bahaya yang mungkin timbul adalah, pe-
bernilai bagi publik. Dengan “hukum” ini, ha- madatan berita mengandung resiko lepasnya
nya peristiwa atau fakta bagian dari peristiwa fakta dari peristiwa. Fakta dilepas dari konteks-
tertentu saja yang dapat dijadikan berita. Kon- nya. Tayangan televisi tentang unjuk rasa di
sekuensinya, sesungguhnya peristiwa-peristi- Abenpura beberapa waktu yang lalu bisa dijadi-
wa yang disiarkan media hanya bagian kecil sa- kan contoh. Perkelahian adalah fakta, sedang
ja dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Konse- peristiwanya adalah konflik mengenai kebera-
kuenasinya lagi, sulit untuk mengatakan, berita daan Free Port. Jika hanya fakta perkelahian sa-
di media merupakan representasi dari situasi ja yang ditayangkan, pemirsa akan kehilangan
masyarakat. konteks, akan sulit untuk memahami konflik di
Kecenderungan yang lain adalah adanya Abepura secara utuh.
“pemadatan berita.” Lester Markel dari New Lantas, bagaimana proses konstruksi pe-
York Times membuat metafor (Rivers, 1994: ristiwa menjadi berita? Siapa yang paling ber-
98). Jika wartawan mengumpulkan 50 fakta, peran dalam proses konstruksi terebut? Yang
katanya, ia akan memilih 12 untuk diserahkan paling berperan adalah komunikator profesi-
dalam beritanya. Jadi, ia menyisihkan 38 fakta. onal (DeFleur/Dennis, 1988: 23), yakni “orang-
Kemudian, wartawan tadi atau redakturnya me- orang media” itu sendiri atau dari institusi lain
nentukan mana dari 12 fakta itu yang sebaiknya yang membentuk pesan dalam suatu format
ditempatkan dalam alinea pertama dari berita- yang dapat ditransmisikan melalui media mas-
nya. Dengan demikian menonjolkan satu fakta sa. Mereka adalah para spesialis yang memiliki
di atas 11 yang lain. Berikutnya, redaktur me- keahlian khusus di bidangnya, seperti para pro-
nentukan di halaman satu atau di halaman dua duser, editor, reporter, wartawan, redaktur, dan
belas berita itu akan ditempatkan. Bila ditem- bagian teknis, yang mengorganisiasi, mengedit,
patkan di halaman satu, berita itu akan menarik dan menyebarkan informasi, hiburan, drama,
perhatian berlipat ganda dibandingkan bila di- dan bentuk isi media yang lain. Umumnya me-
tempatkan di halaman dua belas. reka ada di rumah produksi (production house),
Tentu saja kita tahu, angka 12 atau 50 perusahaan atau biro iklan.
atau berapapun sekadar contoh, untuk meng- Dengan proses yang rumit dan kompleks
gambarkan proporsi fakta yang terkumpul dan ini, membuat media memiliki realitasnya sendi-
yang dipangkas. Banyak fakta yang dipangkas ri, berbeda dengan realitas dalam komunikasi
karena alasan keterbatasan ruang dan waktu. interpersonal. Media telah mengubah per-
Televisi dibatasi oleh waktu, koran dibatasi ru- cakapan natural dalam komunikasi interperso-
ang. Di sisi lain, berita memang “hanya” meru- nal, realitas sehari-hari, menjadi apa yang oleh
pakan potongan peristiwa. Berita tidak dapat Postman disebut “konversasi”. Demikian dah-
mengcover seluruh peristiwa, bukan hanya ka- syatnya media dapat mengubah bahkan mem-
rena keterbatasan ruang dan waktu, tetapi juga produksi realitas sehingga Postman (1995:18-
karena berita adalah realitas simbolik, yang tak 19) sampai mengatakan: bentuk konversasi me-
bisa sepenuhnya merepresentasikan realitas nyeleksi substansinya. Mirip dengan itu adalah
empirik. premis McLuhan: the media is the message.
Pemadatan berita yang berlebihan bisa Medium mendefinisikan perilaku komunikasi
menjadi masalah, sama halnya dengan peliput- seseorang, menjadikan seseorang sebagai bagi-
an yang berlebihan. Sebagian kritikus menuduh an dari konversasi. Bahasa media dengan demi-
media terlalu memperhatikan masalah seksual, kian adalah konversasi.
kejahatan, dan kekerasan. Berita mengenai Dalam menngkonstruksi fakta, prinsip
skandal tokoh penghibur bisa mekar melebihi yang paling sering disebut adalah obyektivitas.
isi yang selayaknya diliput. Wartawan mudah Tugas jurnalisme media adalah menyajikan
tergoda untuk memperuncing fakta-fakta de- fakta yang obyektif, yang tidak dicampuri opini
ngan menghilangkan frasa dari sebuah kutipan, wartawannya. Obyektivitas berita sering difa-
memfokuskan suatu detail yang kecil tapi me- hami seperti itu, bahwa berita yang obyektif
nyentil, atau dengan memancing kutipan-kutip- adalah berita yang disamping berdasarkan fakta
an yang provokatif. Berita remeh temeh soal di lapangan, juga fakta yang tidak dimasuki opi-
perceraian artis bisa memakan waktu berhari- ni wartawan. Tentu saja kita setuju. Namun
hari di program infotainmen kita. mungkinkah obyektivitas semacam itu?

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 95


Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik

Obyektivitas dalam jurnalisme merupa- laiannya tentang fakta harus dicek “kebenaran-
kan sebuah “aturan main” tentang representasi nya” lewat infrastruktur jurnalisme yang lain.
fakta. Intinya tetap pada pengelolaan fakta, fak- Observasi dan investigasi, misalnya.
tualitas, yang memiliki dimensi kebenaran dan Nilai-nilai jurnalisme yang lain adalah,
relevansi. Fakta dalam berita harus benar, da- kita memberi informasi yang mereka butuhkan
lam arti lengkap dan akurat. Substansi peristiwa untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat
terliput. dan kewarganegaraan. Memberikan apa yang
Tetapi berita juga sering memuat fakta dibutuhkan masyarakat berarti meliputi semua
yang tidak ada relevansinya dengan pokok soal aspek kehidupan masyarakat, tentang hak dan
yang diberitakan. Sebagai misal, dua orang so- kewajibannya sebagai warganegara. Rakyat
pir angkot berkelahi karena rebutan penum- perlu tahu informasi yang dibutuhkan untuk
pang, seorang di antaranya tertusuk senjata ta- memutuskan, misalnya, siapa yang memimpin
jam hingga meninggal. Dalam berita tentu dise- negeri ini. Media juga memiliki peran memban-
butkan fakta-fakta yang relevan dengan perkara tu masyarakat “mengerti dunia.” Media perlu
ituidentitas keduanya, duduk selehnya perkara, memberi informasi sehingga rakyat tahu ten-
dan sebagainya. Tetapi ketika dalam berita itu tang kehidupannya dalam konteks social, poli-
disebutkan asal etnis dan agama yang kebetulan tik, kultural yang lebih luas. Media menjelaskan
berbeda dari dua sopir itu, berita jadi bias. Apa sistem sosial, sistem politik, kultur yang ada di
relevansinya rebutan penumpang dengan latar komunitas atau dunia lain yang berbeda dengan
belakang etnis atau agama? Ini bisa menyulut lingkungannya. Tujuannya bukan menunjuk-
konflik lanjutan. kan “keanehannya” melainkan menyebarkan
Dimensi obyektivitas lain yang paling pengertian.
sering disebut adalah keberimbangan (cover Yang harus diingat adalah, media tidak
both side) atau fairness dan netralitas. Berita hanya menyiarkan informasi yang diperuntuk-
yang obyektif adalah berita yang menggunakan kan khusus bagi suatu komunitas atau kelom-
sumber-sumber yang berimbang agar didapat pok tertentu. Media massa bersifat umum, arti-
netralitas. Kasus Raju, anak yang bertengkar nya ditujukan kepada umum, sehingga kepada-
dengan tetangganya kemudian ditahan satu ru- nya media ditujukan. Dengan demikian, infor-
angan dengan tahanan orang dewasa, bisa dija- masi tentang suatu komunitas suku atau kelom-
dikan contoh. Di televisi, kita hanya melihat pok penganut agama, misalnya bukan hanya di-
tayangan Saju yang menangis di gendongan baca oleh kelompok itu tetapi juga dibaca oleh
ayahnya karena takut masuk ruang pengadilan, semua audiens. Media juga bukan mediator da-
atau simpati tokoh atas teraniayanya anak ini. lam konflik dua kelompok pendukung kandidat
Kita tak pernah menyaksikan tayangan “fihak” gubernur, misalnya. Oleh karena itu, tanggung-
lawan bertengkar Saju. Ini tidak fair. jawabnya bukan kepada dua kelompok yang
berkonflik sebagaimana tanggungjawab medi-
Penutup
ator. Media bertanggungjawab kepada audiens
Tugas media adalah membantu mendefi- keseluruhan.
nisikan komunitas. Membantu merumuskan,
bukan merumuskan. Media tidak bisa meng-
ambil keputusan sendirian dalam merumuskan Daftar Pustaka
komunitas ini. Relitas yang hendak dijadikan DeFleur, D. (1988). Understanding Mass Com-
berita harus merupakan hasil kerjasama media munication. Boston: Houghton Mifflin.
dengan publiknya. Dengan kata lain, realitas Kovach, B. & Rosentiel, T. (2001). Elemen-
media adalah hasil rumusan intersubyektivitas Elemen Jurnalisme. Jakarta: Institut Studi
media, sumber berita, fakta peristiwa, opini Arus Informasi dan Kedutaan Besar Ame-
warga, dan mereka yang terlibat dalam peristi- rika Serikat.
wa itu. Jika demikian, fakta hasil intersubyek- Postman, Nl. (1995). Menghibur Diri Sampai
tivitas memungkinkan digalinya “kebenaran” Mati. Jakarta: Sinar Harapan.
di balik fakta. Dalam bahasa Peter du Toit Rivers, W.L. & Mathews, C. (1994). Etika Me-
(2000:10), “kita mencari fakta, baik fakta sebe- dia Massa. Jakarta: Gramedia.
narnya maupun kebenaran di balik fakta”. Per- Toit, P. (2000). Reportase untuk Perdamaian.
nyataan sunber berita tentang fakta bukan peni- Jakarta: Internews.

96 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 97-111

Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Musafir Kelana & Abubakar Eby Hara


Fakulti Pengajian Antarabangsa Universiti Utara Malaysia

Abstrak
Prinsip kekerabatan atau kinship dipandang penting dalam hubungan dua negara
serumpun Indonesia-Malaysia. Namun di balik asumsi umum ini, jarang ada kajian
yang membahas masalah ini secara spesifik dan proposional. Dalam paper ini, para
penulis melihat bahwa konsep kekerabatan tidak dapat difahami sebagai sebuah
konsep yang indah terlepas dari konteks hubungan yang berlaku. Dalam konteks
kedaulatan sebagai negara merdeka, kinship seringkali tidak bermakna, namun
dalam konteks kerjasama kawasan, prinsip keserumpunan sebenarnya merupakan
salah satu cara yang telah membantu diplomasi kerjasama yang saling menghormati
dan tenggang rasa, baik antara Malaysia dan Indonesia maupun dalam kerjasama
ASEAN. Para penulis juga melihat bahwa kekerabatan bisa menjadi landasan
kerjasama Malaysia-Indonesia untuk jangka panjang. Dengan prinsip serumpun,
kedua-dua negara dapat membuat suatu visi bersama untuk membangun
kesejahteraan bersama. Visi ini bukan suatu utopia karena dalam sejarahnya kedua-
dua negara pernah saling membantu dan menyokong satu sama lain dalam bidang
pendidikan misalnya. Sumber daya, baik manusia maupun sumber daya alam yang
kaya, boleh saling melengkapi di masa depan terutama untuk menghadapi cabaran
dunia internasional. Namun visi jangka panjang ini seringkali terganggu oleh
kepentingan jangka pendek di kedua-dua negara yang memanfaatkan berbagai isu
seperti pekerja dan masalah sosial mereka untuk kepentingan politik kelompok
semasa. Untuk mengatasi hal ini sebuah payung kerjasama jangka panjang berupa
'visi kerjasama serumpun 2050' misalnya perlu segera dirintis.

Kata kunci: kekerabatan Indonesia-Malaysia, visi bersama, kesejahteraan bersama, visi


kerjasama serumpun 2050.

Pendahuluan
Hubungan Malaysia-Indonesia ini sering mimpin kedua negara. Para pengamat di Malay-
dilihat sebagai hal yang unik karena adanya hu- sia pun suka menggunakan istilah ini, yang ma-
bungan budaya, kekerabatan dan sejarah yang na Malaysia menganggap Indonesia sebagai
dekat antara kedua-duanya. Istilah-istilah yang abang (big brother) dan sebagai adik, Malaysia
dipakai seperti hubungan 'adik-beradik', 'kawan kadang-kadang perlu meminta nasehat kepada
1
dalam suka dan duka' (Fachir 2007), kemudian abangnya. Karena adik beradik pula lah mereka
bak kata pepatah 'dekat di mata, dekat di hati' sering terlibat pertengkaran yang tentu saja
(Ayip 2007), menandakan suatu hubungan yang akan diselesaikan secara kekeluargaan (Liow
akrab dan mencerminkan suasana kejiwaan pe- 2005: 26; Ishak 2007).

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 97


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

Pada satu sisi kondisi kekerabatan ini gai masalah dan ketegangan sering terjadi seca-
nampaknya melahirkan sentimen dan kecende- ra berulang. Masalah itu bisa dipicu soal perba-
rungan positif dalam hubungan kedua-dua ne- tasan, soal persaingan di kawasan, masalah per-
gara. Sejak mereka berkuasa tahun 2005 sampai sepsi yang berbeda tentang kawasan dan juga
November 2007 misalnya, Perdana Menteri, soal para pekerja Indonesia di Malaysia. Seja-
Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi, sudah rah menunjukkan dua negara pernah meng-
tujuh kali melawat Indonesia; manakala Presi- alami Konfrontasi yang serius semasa Sukarno,
den Susilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa kemudian sengketa yang dipicu soal Tenaga
tahun 2004 pula telah empat kali mengunjungi Kerja Indonesia (TKI), setelah itu ada kete-
Malaysia, dan Timbalan Presiden, Jusuf Kalla gangan karena pulau Sipadan dan Ligitan yang
telah tujuh kali melawat negara ini (Ayip, kini menjadi milik Malaysia. Paling akhir ada-
2007). Di tahun 2007 Badawi mendapatkan lah soal klaim terhadap blok laut Ambalat. Ma-
bintang mahaputra Adi Pradana yang merupa- salah-masalah seputar TKI dan Ambalat masih
kan bintang tertinggi yang diberikan kepada pe- menjadi api dalam sekam yang bisa memanas
mimpin negara asing oleh Indonesia. Sebelum- setiap saat.
nya Badawi juga datang mengucapkan pidato Kenyataan bahwa ketegangan sering ber-
Doctor Honoris Causa (Dr. HC) tentang Islam laku antara kedua-dua negara, menimbulkan
Hadari di salah satu Universitas Islam terkemu- pertanyaan seberapa jauh konsep kekerabatan
ka Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hida- sebenarnya bisa dipakai dan berlaku dalam
yatullah, Jakarta. Dalam kunjungan ke Jakarta, menjelaskan hubungan kedua-dua negara. De-
PM Badawi menyebutkan hubungan persauda- ngan kata lain, seberapa jauh kah persaudaraan
raan negara serumpun itu ibarat dua kawan di dan kekerabatan bisa menggatasi kesenjangan
masa senang dan susah (Kompas, 22 Februari (gap) dan jurang perbedaan di antara kedua-dua
2007). Dari pihak Indonesia, Wakil Presiden negara berdaulat ini? Potensi apa kah yang da-
Yusuf Kalla juga mendapat gelar Dr. HC dari pat dikembangkan dari konsep kekerabatan
Universiti Malaya. yang memang sudah ada sejak lama di kedua-
Namun pada sisi lain, kekerabatan ini se- dua negara? Makalah ini mencoba menjawab
ring pula melahirkan sentimen negatif dalam pertanyaan-pertanyaan ini.
hubungan Indonesia-Malaysia. Dalam level Asumsi utama dari tulisan ini adalah bah-
masyarakat ketegangan sering terjadi. Masya- wa konsep kekerabatan atau serumpun memang
rakat Indonesia melakukan protes terhadap apa memiliki kegunaan terbatas dalam hubungan
yang sering dipandang sebagai kesewenang- kedua-dua negara dan lebih tepat dilihat sebagai
wenangan, pelecehan dan penghinaan Malaysia sebuah alat diplomasi dalam hubungan kedua-
terhadap bangsa Indonesia dalam beberapa ka- dua negara dan bukan sebagai tujuan. Konsep
sus seperti pemukulan, penyiksaan tenaga ker- kekerabatan cenderung tidak berlaku dan kehi-
ja, penangkapan orang Indonesia di Malaysia langan makna ketika kedua-dua negara mene-
dan penggunaan hasil karya bangsa Indonesia gakkan kedaulatan. Namun sebagai sebuah alat
tanpa izin. Sementara di kalangan masyarakat diplomasi, dalam kadar tertentu kekerabatan
Malaysia, hal-hal ini dianggap sebagai hal bia- dapat berkembang menjadi bagian dari kultur
sa, atau mungkin wajar untuk menertibkan strategis (strategic culture)2 dalam hubungan
orang Indonesia yang dikenal mereka sebagai kedua-dua negara. Hubungan kekerabatan juga
bangsa yang tidak kenal aturan, sering melaku- bisa menjadi landasan bagi pengembangan visi
kan kejahatan dan selalu menimbulkan masalah strategis untuk menghadapi cabaran globalisasi
sosial di negeri mereka. Dalam anggapan seba- di hadapan kedua-dua negara.
gian masyarakat Malaysia, kalau bukan karena Makalah ini dibagi empat bagian. Bagian
ada hal-hal berkaitan dengan imigran ini, negeri pertama adalah perbincangan tentang konsep
mereka seharusnya aman dan tertib. kekerabatan dalam hubungan Indonesia-Ma-
Dengan demikian, di sebalik persepsi ke- laysia. Diikuti dengan pembahasan tentang hu-
serumpunan yang indah dalam kata-kata, dalam bungan antara kinship dengan kedaulatan. Ba-
praktek dan sejarah hubungan Indonesia-Ma- gian ketiga melihat potensi kinship sebagai ba-
laysia, sebetulnya realitas hubungan seperti gian dari stragic cultures kedua-dua negara.
yang terjadi sekarang sangat kompleks. Berba- Bagian keempat adalah tentang kinship dan po-

98 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

tensi yang dapat dikembangkan dalam memba- an ini, sebagaimana akan dijelaskan, memiliki
ngun hubungan kedua-dua negara di masa men- keterbatasan dalam menjelaskan hubungan ke-
datang. dua-dua negara, namun pendekatan kedua lebih
kuat untuk menjelaskan makna kekerabatan da-
Konsep Kekerabatan: dari Melayu ke
lam hubungan Malaysia-Indonesia.
Serumpun Sebagai sebuah realitas, memang tidak
Dalam istilah sosiologis hubungan yang dapat dipungkiri ada hubungan kekerabatan se-
bersifat persaudaraan yang ditandai dengan per- rumpun kedua-dua negara. Kedua-dua negara
samaan budaya dan juga keturunan sering dise- memiliki kaitan darah (blood-brotherhood), bu-
but dengan hubungan kinship atau kekerabatan. daya dan hubungan famili, dan karena itu sering
Orang sering menganggap fenomena demikian disebut juga sebagai negara serumpun. Persa-
sebagai unik karena jarang dijumpai di dunia maan budaya antara orang Melayu di kedua-dua
internasional. Namun demikian sebenarnya ada negara paling terasa di hampir semua daerah
beberapa negara yang berhubungan darah dan Melayu Malaysia dan di daerah seperti Suma-
budaya seperti Jerman Barat dan Timur, Viet- tera serta sebagian Kalimantan di Indonesia.
nam Utara dan Selatan, lalu Yaman Utara dan Orang-orang keturunan Indonesia pun banyak
Selatan yang kini semua telah bersatu kembali. yang menjadi warga negara dan menjadi orang
Negara-negara Arab yang terpecah dalam ba- penting di Malaysia. Hikayat-hikayat lama juga
nyak negara, Korea Utara dan Selatan juga se- menceritakan satu kawasan Melayu yang meli-
betulnya berada dalam satu kekerabatan. Tetapi puti Malaysia dan sebagian Indonesia. Lebih ja-
negara-negara yang disebut terakhir ini tetap uh lagi bahkan Wallace dalam Zain (2003: 130)
mempertahankan identitas masing-masing bah- mentakrifkan bahwa yang disebut Melayu bu-
kan ikatan kekerabatan emosional di negara-ne- kan saja meliputi Malaysia dan Indonesia, teta-
gara itu telah hampir hilang karena kuatnya so- pi juga keseluruhan rantau Asia Tenggara sam-
sialisasi sebagai negara-negara berdaulat dalam pai ke Pulau Solomon di Tenggara dan Luzon di
membentuk identitas, nasionalisme, ideologi Utara. Mereka disebut Melayu karena mempu-
dan sentimen lainnnya. Dengan kata lain nega- nyai ciri-ciri fisik yang sama dan akar aksara
ra-negara ini tidak melihat kinship sebagai bagi- (huruf abjad) yang sama sejak jaman Sriwijaya
an utama dari budaya strategis yang dikem- dulu (Zain 2003).
bangkan mereka. Namun dalam pemahaman konsep keke-
Dalam hubungan Malaysia-Indonesia, rabatan sebagai sebuah realitas, sejak awal kon-
konsep 'kekerabatan kakak beradik' atau 'teman sep ini sebenarnya mudah memicu kemarahan
dalam suka duka' berkaitan dengan konsep- (rentan) terhadap manipulasi dan politisasi. Isti-
konsep budaya yang saat ini mulai menjadi per- lah Melayu semakin berubah makna semantik-
hatian para pengaji studi hubungan internasio- nya terutama ketika Indonesia dan Malaysia
nal. Namun konsep kinship sering disalahme- atau Persekutuan Tanah Melayu menjadi negara
ngerti sebagai akan berpengaruh langsung ter- merdeka. Definisi Melayu menjadi lebih sempit
hadap hubungan dua negara. Konsep ini mesti- lagi ketika di Malaysia ia dibatasi hanya pada
nya diletakkan dalam suatu konteks mengapa ia mereka yang mengamalkan budaya Melayu dan
menjadi penting, tidak penting atau berpotensi beragama Islam, karena kepentingan kelom-
untuk menjadi penting. Ia menjadi penting ter- pok-kelompok politik di dalam negeri negara
gantung interpretasi dominan yang tercipta pa- itu. Perluasan makna Melayu seperti asal-usul-
da satu masa dan konteks tertentu. nya yang luas menjadi tidak mungkin lagi kare-
Sejauh ini ada dua interpretasi tentang na akan ditentang oleh kelompok politik seperti
konsep kekerabatan. Yang pertama adalah meli- UMNO yang mendapatkan keuntungan politik
hat konsep ini sebagai sebuah situasi nyata de- dari definisi sempit Melayu sekarang.
ngan analogi keluarga dan dianggap signifikan Jadi cukup jelas bahwa konsep Melayu
dalam hubungan kedua-dua negara. Yang kedua dan kekerabatan Melayu tidak dapat difahami
adalah melihat konsep ini secara dinamik seba- secara esensial lagi karena perkembangan yang
gai sesuatu yang selalu berkembang dengan in- ada. Sejalan dengan itu konsep kekerabatan j-
terpretasi yang berbeda, baik di Indonesia mau- uga seringkali dijadikan sebagai sopan-santun
pun Malaysia. Walaupun kedua-dua pemaham- (basa-basi) politik dan alat untuk mencapai tu-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 99


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

juan tertentu. Jepang sebagai contoh pernah cangkan tentang bentuk kerjasama negara mer-
memanipulasi konsep persaudaraan, untuk tu- deka di Nusantara. Walaupun masing-masing
juan menguasai Asia Tenggara. Istilah kekera- kelompok mengajukan penamaan yang berbeda
batan misalnya digunakan oleh Jepang sebagai yakni Melayu Raya, Indonesia Raya dan kemu-
Saudara Tua bagi negara-negaraAsia. Tetapi sa- dian juga Nusantara, di baliknya ada asumsi
ngat jelas istilah itu hanya dipakai sebagai janji bahwa mereka adalah serumpun (Liow 2005:
palsu Jepang untuk manipulasi dan alat legiti- 23). Istilah Dunia Melayu menggambarkan le-
masi bagi kehadiran Jepang sebagai penjajah di bih kuat lagi kedekatan kinship ini. Di sini pada
Asia. Itu adalah bagian dari ambisi Jepang un- mulanya setidaknya dalam cita-cita ada hal
tuk menciptakan wilayahAsia Timur Raya. konkrit yang ingin dicapai dalam konsep se-
Walaupun istilah kakak adik yang dipa- rumpun Melayu ini.
kai dalam hubungan Malaysia-Indonesia tidak Namun kemudian kedua-dua konsep itu
mengacu pada istilah yang dipakai Jepang, kon- tidak berjalan sesuai dengan keinginan mereka
sep ini melukiskan suasana yang sangat terbatas karena kedua-dua negara mengembangkan
dan tidak menjelaskan keadaan dari hubungan konsepsi sendiri-sendiri dalam membentuk ne-
kedua-dua negara. Dalam istilah kakak adik di- gara. Indonesia yang terdiri dari banyak pulau
asumsikan adanya suasana dalam satu keluarga dan suku tidak mengembangkan konsep ini ka-
atau serumpun. Dalam asumsi demikian, ba- rena megesankan afiliasi etnik tertentu saja. Su-
nyak persoalan bisa diselesaikan secara kekelu- ku Melayu adalah satu kelompok suku di Indo-
argaan dan tenggang rasa. Ketegangan yang nesia yang terdapat di pulau Sumatera dan Kali-
muncul dianggap sebagai bagian dari masalah mantan. Sementara di Malaysia, ada klaim ter-
keluarga yang bisa terjadi. Adalah hal biasa ka- hadap keutamaan bumiputra dalam cita-cita po-
lau adik dianggap merajuk kepada abangnya, litik di negara itu. Penyempitan konsep Melayu
sebaliknya kalau abang marah, itu juga diang- di Malaysia dirasakan penting bagi justifikasi
gap wajar karena dia dianggap saudara lebih kekuasaan di negara multirasial ini.
tua. Pendekatan kedua ini mencoba menje-
Dari pandangan ini, sebenarnya konsep laskan bahwa kinship terus mengalami interpre-
ini hanya terbatas sebagai alat untuk meng- tasi dan reinterpretasi yang berbeda antara to-
ingatkan bahwa kita ini masih kerabat sehingga koh di kedua-dua negara. Karena reinterpretasi
harus mengatasi konflik. Namun konsep ini ti- yang berlanjut terus ini, para pengamat seperti
dak dapat mencegah konflik, seperti pada masa Liow (2003: xii), menyimpulkan bahwa konsep
Soekarno, masalah pekerja dan soal sengketa kekerabatan tidak bisa menjelaskan atau tidak
kepulauan. Dengan demikian sulit untuk men- ada kaitannya dengan perdamaian dan konflik
cari hubungan kausal secara langsung antara antara Indonesia dan Malaysia. Dengan kata la-
konsep kekerabatan ini dengan harmoni atau- in kekerabatan Melayu bisa tetap ada, tetapi hu-
pun konflik dalam hubungan kedua-dua Nega- bungan kedua-dua negara adalah masalah lain
ra. yang sulit dijelaskan dari aspek kinship ini.
Interpretasi kedua-dua tentang kinship Pemahaman dan pendekatan Liow yang
adalah lebih kuat karena ia melihat konsep ini melihat konsep kekerabatan secara dinamik
secara anjal (fleksible) sesuai dengan interpre- adalah menarik dan bisa menjadi acuan dalam
tasi dominan para pembuat keputusan di kedua- memahami makna kekerabatan, tetapi kesim-
dua Negara. Konsep itu berkembang menuruti pulannya tentang pengaruh kekerabatan perlu
para penafsirnya di kedua-dua negara. Dalam dikaji ulang. Dalam menjelaskan hubungan
perjalanannya konsep kekerabatan pada awal- Malaysia-Indonesia, Liow membatasi diri pada
nya paling konkrit ditafsirkan oleh para pejuang interpretasi tentang keserumpunan berdasarkan
kemerdekaan kedua-dua negara. Para tokoh ini kemelayuan yang kemudian baginya menjadi
bersimpati satu dengan lainnya dalam melawan kurang penting karena penyempitan konsep ke-
penjajah. Pada tahun 1940-an di Malaysia, ada melayuan. Satu hal penting dalam perkembang-
misalnya Burhanudin Al-Helmy, Ibrahim Ya- an interpretasi konsep kekerabatan dan kese-
koob, Ahmad Boestaman, Mokhtaruddin La- rumpunan Melayu adalah mulai hilangnya atau
sso; dan, di Indonesia Muhammad Yamin, Mo- penyempitan istilah Melayu itu sendiri dalam
hammad Hatta dan Sukarno yang membin- wacana hubungan kedua-dua negara. Namun

100 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

ada satu hal penting yang dilupakan disini yaitu merdeka adalah negara berdaulat mutlak. Keda-
istilah keserempunan Melayu memang perla- ulatan di sini difahami sebagai suatu proses se-
han-lahan hilang namun keserumpunan dalam hingga tercipta otoritas dan kekuatan negara
pengertian lebih luas mulai berkembang dalam masing-masing negara dalam mewujudkan ci-
memahami hubungan Indonesia-Malaysia. Ke- ta-cita nasional mereka. Perjalanan sejarah In-
serumpunan tetaplah diakui dan menjadi latar donesia dan Malaysia ditandai dengan persa-
belakang hubungan kedua-dua negara. Kedua- ingan dan perebutan dalam menegakkan keda-
dua negara secara implisit mengakui keberada- ulatan, baik wilayah maupun otoritas sebagai
an keserumpunan itu yang tercermin dalam ka- negara merdeka.
ta-kata seperti hubungan dalam suka dan duka, Sebagai negara bekas jajahan, pemerin-
abang dan adik, atau dekat di mata dekat di hati. tah di kedua-dua negara harus memperjuang-
Dalam kata-kata itu kata-kata keserumpunan kan kedaulatan, baik ke dalam maupun ke luar.
Melayu hanya menjadi latar belakang historis Di dalam negeri, mereka harus mengkonsolida-
yang semakin jarang digunakan. Ia kini telah si diri sehingga otoritas pemerintahan bisa te-
bertransformasi ke dalam hubungan keserum- gak dan persatuan nasional bisa diwujudkan.
punan Malaysia dan Indonesia sebagai sebuah Mereka harus memastikan bahwa negara benar-
negara dan tidak lagi terbatas pada konsep ke- benar berdaulat sehingga tidak ada lagi ancam-
melayuan. an pemisahan diri atau separatisme. Ke luar ne-
Transformasi konsep kekerabatan Mela- geri, negara-negara ini juga menata hubungan
yu menjadi konsep serumpun saja ini berjalan dengan negara lain sehingga keselamatan dan
secara kontinyu seiring sejalan dengan pe- keamanan negara bisa terjamin dari serangan
nyempitan istilah Melayu dan perkembangan luar.
kedua-dua negara untuk menegakkan kedau- Pengalaman sejarah kedua-dua negara
latan masing-masing, dan dalam pergaulan me- dalam menegakkan kedaulatan negara berbeda.
reka sebagai negara merdeka di kawasan. Kon- Dalam kaitan dengan pembentukan negara ber-
sep keserumpunan atau kekerabatan Melayu se- daulat, hubungan kekerabatan memang pernah
makin sirna terutama seiring dengan berkem- secara signifikan menjadi salah satu faktor stra-
bangnya kedua-dua negara menjadi negara ber- tegis yang mempengaruhi hubungan kedua-dua
daulat penuh. negara. Kekerabatan paling kuat ketika benih-
Untuk melihat perkembangan konsep ke- benih nasionalisme muncul di negara-negara
kerabatan dalam hubungan kedua-dua negara, ini yaitu ketika mereka melawan penjajah untuk
konsep ini mesti diletakkan dalam konteks di mecapai kemerdekaan. Persaudaran Melayu di-
mana ia digunakan. Dalam tulisan ini kekera- cerminkan dengan keinginan untuk membentuk
batan akan ditempatkan dalam konteks kerang- Melayu Raya sebagai negara merdeka yang me-
ka penguatan kedaulatan dan dalam pemben- liputi pula Indonesia. Demikian juga ada cita-
tukan budaya strategis oleh kedua-dua negara. cita Indonesia Raya di mana Melayu menjadi
Kinship dengan kata-kata 'Melayu' adalah salah bagian dari negara merdeka itu.
satu faktor yang tidak mendapatkan tempat da- Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, cita-
lam penguatan kedaulatan negara, namun ia da- cita itu tidak pernah terwujud. Perjuangan ke-
lam pengertian luas kekerabatan antar negara merdekaan ala revolusi sosial yang banyak me-
mempunyai potensi dalam pembentukan strate- ngorbankan jiwa dan lebih jauh lagi menggusur
gic cultures kedua-dua negara, terutama seba- feodalisme di Indonesia, kurang mendapat sim-
gai alat dalam diplomasi regional. pati dari mayoritas masyarakat di Malaysia. Se-
jalan dengan ini sebagaimana diungkapkan di
Kekerabatan dan Kedaulatan atas penyempitan istilah Melayu ini pun terjadi.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia-Ma- Melayu hanya mewakili sebagian suku di In-
laysia, kedaulatan mendapatkan sosialisasi donesia sedangkan di Malaysia, Melayu didefi-
yang kuat dan menjadi aspek penting sehingga nisikan secara lebih sempit lagi secara politik.
mengalahkan aspek lain, termasuk kekerabatan Dengan penyempitan makna Melayu ini, pe-
dalam pembentukan identitas kedua-dua nega- ngaruh keserumpunan Melayu menjadi kurang
ra. Dalam tulisan ini kedaulatan diartikan bukan relevan dalam hubungan kedua-dua negara.
dalam bentuk yang sudah jadi bahwa negara Walaupun perlahan mengalami perubahan, wa-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 101


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

cana hubungan kedua-dua negara bertransfor- land. Dalam ide ZOPFAN pada awalnya Malay-
masi tidak lagi menggunakan istilah keserum- sia menghendaki suatu jaminan dari negara-ne-
punan Melayu tetapi hubungan normal sebagai gara besar ini terhadap zona damai diASEAN.
dua negara yang berdaulat. Indonesia sebaliknya melihat bahwa
Yang terjadi kemudian adalah perbedaan ASEAN harus mandiri dalam menjaga kestabil-
persepsi dalam penguatan kedaulatan ini. Indo- an kawasan. ASEAN bagi Indonesia harus be-
nesia memandang kedaulatan Malaysia seha- bas dari pengaruh asing melalui kekuatan nega-
rusnya diperoleh melalui perjuangan yang ge- ra-negara anggota sendiri. Konsep wawasan na-
nuine dengan melawan penjajah, bukan dengan sional dan wawasan regional menjelaskan pent-
mendapatkan hadiah dari penjajah. Ini kemu- ingnya kekuatan dari kalangan negara per nega-
dian berlanjut kepada Konfrontasi yang dimo- ra untuk mencegah ancaman dan campur tangan
tori oleh Sukarno. Dalam konfrontasi, Sukarno asing terhadap kawasan ini.
yang marah dengan demonstrasi besar-besaran Kesatuan dan integritas wilayah merupa-
anti Indonesia seperti penistaan gambar dirinya, kan warisan sejarah yang sampai kini melekat
bendera Indonesia dan lambang negara, me- kuat dalam pandangan politik Indonesia. Indo-
minta dukungan masyarakat untuk mengga- nesia sangat khawatir akan negaranya yang ka-
nyang Malaysia (Sulaiman 2007). Di sebalik ya dengan berbagai pulau dan rawan infiltrasi.
kampanye itu, terdapat tujuan berganda, yaitu Weinsten (1976) mengistilahkan pandangan elit
selain mendiskreditkan Malaysia sekaligus ju- tentang Indonesia itu, sebagai seperti seorang
ga untuk membangun kesatuan dalam negeri gadis yang ingin digoda oleh banyak negara la-
dengan mengandaikan musuh dari luar ini. Su- in. Dalam konteks ini lah kedaulatan Indonesia
karno melakukan itu untuk menunjukkan wiba- atas pulau-pulau di garis perbatasan lautnya
wa Indonesia dan untuk memberikan kebang- menjadi kekhawatiran besar. Lepasnya Sipadan
gaan kepada rakyat Indonesia akan kekuatan re- dan Ligitan misalnya sangat disesali oleh ba-
volusi mereka. nyak orang Indonesia. Lepasnya kedua-dua pu-
Dalam perspektif kedaulatan pula, ke- lau itu sempat menyulut emosi masyarakat wa-
dua-dua Negara juga berbeda haluan ketika Ma- laupun tidak sampai menyebabkan konfrontasi
laysia bersimpati kepada kelompok-kelompok di kedua-dua negara. Demikian juga sengketa
luar Jakarta untuk mendapatkan hak yang lebih perbatasan laut di blok Ambalat telah memba-
besar dari pusat di tahun 1955-1960. Hubungan kar nasionalisme banyak orang Indonesia. Me-
erat antara partai Islam Masyumi Indonesia de- dia Indonesia misalnya melaporkan peristiwa
ngan tokoh-tokoh Islam di Malaysia, telah itu dengan liputan yang luas dan membakar pe-
membuat banyak kalangan di Malaysia bersim- rasaan nasionalisme masyarakat. Militer Indo-
pati terhadap pemberontakan daerah-daerah nesia juga sudah siap untuk diterjunkan bila ada
terhadap pusat di tahun 1955-an. konfrontasi militer. Pulau-pulau di garis perba-
Strategi untuk memperkuat otoritas dan tasan luar menjadi concern banyak pihak di In-
kedaulatan juga berbeda dalam menata ke- donesia walaupun mereka kadangkala frustrasi
amanan kawasan Asia Tenggara. Memang In- dengan ketidakmampuan untuk menjaganya
donesia dan Malaysia adalah pendukung utama karena kekurangan teknologi dan kapal-kapal
dalam pembentukan ASEAN karena melalui perang.
ASEAN kerjasama dan penyelesaian masalah Langkah-langkah Malaysia apalagi sete-
bisa dikembangkan di kawasan. Mereka juga lah lepasnya Sipadan dan Ligitan selalu dipan-
memegang teguh prinsip-prinsipASEAN untuk dang curiga oleh masyarakat umum dan media
menghormati kedaulatan masing-masing nega- Indonesia. Setelah kedua-dua pulau itu, mereka
ra. Namun dalam hal mempersepsikan ancaman menganggap bahwa Ambalat merupakan target
terhadap ASEAN, kedua-dua negara mempu- berikutnya dari Malaysia. Tidak mengherankan
nyai persepsi yang berbeda. Malaysia bagaima- ketika terjadi peningkatan dinamika di laut itu
napun melihat pentingnya kekuatan besar se- karena Malaysia memberikan izin bagi perusa-
perti Inggris dan Amerika Serikat dalam menja- haan minyak Amerika untuk mengeksplorasi
ga kestabilan. Ini dicerminkan dalam Pakta Li- minyak di blok Ambalat kekhawatiran itu tam-
ma Negara yang ditandatangani Malaysia, Si- bah besar. Ini diikuti pula dengan ketegangan di
ngapura dengan AS, Australia dan New Zea- seputar wilayah laut itu dan terjadinya sedikit

102 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

benturan antar kapal Malaysia dan Indonesia. di dalam negeri Malaysia dewasa ini. Di Malay-
Peristiwa itu memicu protes rakyat, demonstra- sia kedaulatan negara antara lain diperkuat an-
si anti Malaysia di depan Kedutaan Besar Ma- tara lain dengan memperlihatkan bahwa perso-
laysia di Jakarta. alan-persoalan seperti kejahatan di dalam nege-
Di Malaysia peristiwa ini tidak dipan- ri banyak terjadi karena para pendatang yang
dang sebagai suatu masalah serius karena ada bekerja di negara itu. Pendatang yang bekerja
anggapan bahwa yang dilakukan adalah dalam dilaporkan oleh media misalnya sebagai sum-
kepentingan ekonomi dan masih dalam batas ber masalah sosial di negara itu. Laporan-lapor-
wilayah Malaysia. Media Malaysia pun tidak an media misalnya menyebutkan bahwa sebagi-
punya kepedulian yang berlebih untuk masalah an besar jumlah tahanan adalah para pekerja
ini. Mereka melaporkan peristiwa itu dengan termasuk pekerja tanpa izin dari Indonesia. Ju-
wajar. Tentu saja ini wajar dalam konteks Ma- dul laporan itu misalnya “25.000 Pekerja Indo-
laysia karena sebetulnya tujuan utama mereka nesia bawa Penyakit Setiap Tahun”, "Pekerja
adalah ekonomi dan keuntungan bagi negara, Asing Biadab", "Orang Indon Mengganas".
dan tidak dilihat dari konteks nasionalisme. Akibat pemberitaan itu telah menciptakan opini
Bagi pihak Indonesia, tindakan seperti negatif di kalangan masyarakat Malaysia terha-
ini dipandang sebagai bagian dari upaya untuk dap orang Indonesia. (Kompas, 9 November
mengambil tanah dan menghancurkan keda- 2007); walaupun sebetulnya seperti diberitakan
ulatan RI. Dalam konteks Indonesia, demikian Berita Harian, 17 November 2007, jauh lebih
tingginya kekhawatiran itu, sehingga sulit difi- banyak warga Malaysia sendiri yang melaku-
kirkan secara jernih siapa yang lebih berhak kan kejahatan, karena ternyta kejahatan yang
atas daerah itu. Karena hal itu tidak penting lagi, dilakukan oleh orang asing kurang dari 3% (Li-
yang penting adalah adanya ancaman territorial hat juga Berita Harian 17 November 2007)3.
yang dilakukan oleh Malaysia. Dari kasus ini, Namun penggambaran media yang berulang-
dalam konteks kedaulatan, kekerabatan sering- ulang, seolah-olah menunjukkan bahwa orang-
kali tidak memiliki makna. Pada masa Sukarno, orang asing ini hanya mengacaukan dan meru-
banyak orang melihat bahwa politik Konfron- sak masyarakat Malaysia.
tasinya dilakukan untuk mengalihkan persoalan Laporan-laporan ini tentu saja untuk
kesatuan Indonesia yang begitu rumit sebagai konsumsi dalam negeri dan kepentingan politik
negara baru dan kesulitan untuk membangun sesaat, tapi dalam jangka panjang mengimpli-
negara itu sesuai janji kemerdekaan. Malaysia kasikan sikap antipati terhadap semua orang In-
dijadikan musuh bersama atau the other secara donesia. Bangsa Malaysia menjadi yakin bah-
efektif untuk menggalang dan memobilisasi ke- wa Malaysia yang berdaulat dan teratur dengan
kuatan bersama di dalam negeri. baik telah dikacaukan oleh para pendatang. Ti-
Malaysia semasa Konfrontasi telah disa- dak ada sisi positif yang diungkapkan dari keda-
makan oleh Soekarno dengan kekuatan impe- tangan para pekerja ini dalam membantu proses
rialis. Kemerdekaannya yang tidak melalui per- pembangunan Malaysia, karena ini bisa menga-
lawanan dan revolusi dilihat sebagai bagian dari caukan persepsi antara Malaysia yang baik dan
konspirasi kekuatan imperialisme dan kolonial- teratur dan mereka para pendatang yang mem-
isme negara-negara Barat untuk mengepung buat kacau. Dengan demikian, di dalam negeri,
negara-negara penentang penjajahan (anti-co- yang asing yaitu para pendatang digambarkan
lonialism) seperti Indonesia. Kontras yang di- sebagai sumber masalah dari masyarakat Ma-
ciptakan Sukarno ini merupakan kelanjutan da- laysia yang seharusnya baik dan bermartabat.
ri penciptaan lawan yang pada gilirannya diha- Perihal kehadiran pekerja asing termasuk tena-
rapkan akan menyatukan kekuatan dalaman ga kerja Indonesia turut memberi kontribusi be-
(internal) di Indonesia, dan untuk sementara sar dalam pembangunan di Malaysia.
waktu rakyat dapat melupakan penderitan hi-
Dari sudut positif, kehadiran pekerja asing
dup dan kesulitan ekonomi. Mereka mengkon- terbukti banyak membantu negara [Malay-
solidasi diri dan bersatu di belakang Soekarno sia]. Mercu tanda Menara Berkembar Petro-
dengan nasionalisme, idealisme dan semangat nas, Menara KL, Litar F1 Sepang, Stadium
revolusi. Nasional Bukit Jalil dan Pusat Pentadbiran
Hal yang kurang lebih sama juga berlaku Kerajaan Persekutuan di Putrajaya tidak akan

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 103


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

4
jadi kenyataan tanpa adanya pekerja asing. mengandalkan kekuatan diri sendiri. Mengan-
Proses penguatan kedaulatan ke dalam dalkan kekuatan asing akan membuat indepen-
ini, dengan demikian menunjukkan bahwa ni- densi terombang ambing dan menjadi permain-
lai-nilai kekerabatan tidak bermakna sama se- an kekuatan besar, yang justru akan memper-
kali. Kekerabatan memang ada sebagai sebuah mudah infiltrasi kekuatan asing itu ke bumi In-
realitas namun dalam perkembangannya ia ti- donesia. Ini tertuang dalam deklarasi politik lu-
dak diberi makna yang penting dalam pejalanan ar negeri negara ini yaitu bebas dan aktif yang
pembentukan negara berdaulat Malaysia dan bermakna bahwa Indonesia bebas dari dalam
Indonesia. Bahkan perbedaan yang besar dalam melakukan pilihan politik internasional tetapi
bagaimana kedaulatan harus diperkuat menye- juga aktif mempromosikan perdamaian. Kemu-
babkan ketegangan hubungan kedua-dua nega- dian prinsip ini dirumuskan dalam konsep wa-
ra tersebut. wasan nusantara oleh rejim Orde Baru.
Seperti diungkapkan di muka strategic
Kekerabatan, Diplomasi dan Strategic culture menyangkut 'collectives and shared at-
Culture titudes and beliefs' atau kolektivitas, kebersa-
Strategic culture ada sebuah konsep ten- maan, nilai-nilai dan sikap yang dipilih oleh
tang prilaku suatu negara yang lebih kompleks suatu negara dalam melihat hubungan dengan
daripada konsep rasionalitas keamanan yang negara lain. Nilai-nilai ini dianut oleh sebagian
mengandaikan selalu adanya ancaman dari besar dari elit dan massa di negara itu yang ter-
negara lain. Menurut Hoffmann dan Longhurst bentuk lewat perjalanan sejarah mereka meng-
(1999: 145-146) ada empat asumsi dasar stra- hadapi cabaran dari persekitaran, baik yang
tegic culture: berasal dari dalam maupun dari luar. Nilai-nilai
itu menentukan apakah mereka akan misalnya
'Firstly, a strategic culture approach em-
melakukan konfrontasi atau bersikap damai de-
phasises national specific attributes of secu-
rity approaches and policies as deriving from ngan membina kerjasama dalam menghadapi
historical experiences thus cancelling out the negara lain. Terdapat beberapa negara di dunia
notion of a universal assumed rationality. Se- memilih jalan konfrontatif dalam hubungan in-
condly, strategic culture is about collectives ternasional. Amerika Serikat misalnya melaku-
and their shared attitudes and beliefs, whe- kan politik pembendungan (containment) ter-
ther that be military establishments, policy hadap Uni Soviet; dan pada ketika ini, politik
communities or entire societies. Thirdly, it is
pembendungan ini dilakukan terhadap negara-
continuities and discernible trends across
time and contexts rather than change that is negara yang mereka anggap membangkang dan
focused upon, change is generally portrayed mendukung terorisme. Di kawasanAsia Selatan
as gradual in the absence of dramatic shocks dan Timur Tengah, konfrontasi lebih menonjol
and trauma. Finally, strategic culture is seen daripada kolaborasi. Demikian juga di Asia Ti-
as intimate to behaviour, acting as a milieu mur terutama antara dua Korea. Pilihan-pilihan
through which information is received, me- konfrontasi ini terbentuk dalam perjalanan seja-
diated and processed in to appropriate res- rah dan sikap yang berkembang itu dianut oleh
ponses.
sebagian besar dari elit dan massa ketika meng-
Dalam konteks ini, budaya strategis In- hadapi negara-negara tentangganya itu.
donesia dan Malaysia dalam sejarahnya walau- Secara umum Malaysia dan Indonesia
pun singkat cukup berbeda. Selama 63 tahun In- dan juga negara-negara Asia Tenggara umum-
donesia merdeka dan 50 tahun Malaysia merde- nya berhasil mengembangkan kultur strategis
ka pengalaman sejarah yang membentuk buda- yang lebih bersifat harmoni daripada konfron-
ya strategis kedua-dua negara berbeda. Indone- tasi. Ini tentu saja tidak lepas dari perjalanan se-
sia disosialisasikan kepada keadaaan tentang jarah mereka semenjak kemerdekaan. Apakah
negerinya yang rentan dalam menghadapi pe- ada peranan kekerabatan dalam menentukan pi-
ngaruh asing. Kerentananan itu seringkali di- lihan kerjasama? Peranannya barangkali secara
perparah oleh rasa khawatir dan frustrasi karena tidak langsung memberikan kondisi bagi dia-
ketidakmampuan untuk melindungi diri. Tetapi log-dialog yang akrab dan intensif bagi negara-
dalam sejarahnya untuk mengatasi ini Indone- negara di kawasan ini. Negara-negara di kawas-
sia tidak mau meminta bantuan asing tapi harus an ini merasa sebagai bagian dari satu kawasan

104 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

yang bertentangga. Mereka memiliki kultur serumpun. Di sebalik proses ini, tentu saja
Asia atau mungkin kultur Melayu kalau mau, background kekerabatan menjadi salah satu
secara umum dan menganggap bahwa hidup faktor yang membuat komunikasi tidak pernah
bertetangga yang baik adalah penting. putus antara kedua-dua negara. Lagi pula Tun
Dalam konteks ini, hubungan Indonesia- Abdul Razak dan Adam Malik, tokoh utama di
Malaysia juga menjadi lebih dekat karena ada- sebalik perdamaian itu, adalah dua saudara se-
nya aspek kekerabatan. Ada dialog yang sangat pupu jauh.
intensif antara pemimpin kedua-dua negara. Ia Terlepas dari siapa yang diuntungkan da-
memberikan kesempatan untuk dialog dan ko- lam menggunakan konsep kekerabatan dalam
munikasi secara lebih akrab. Konfrontasi dalam diplomasinya, dalam perkembangannya, nega-
konteks ini bisa dianggap sebagai sebuah kon- ra-negara ASEAN juga mengembangkan me-
tradiksi dari hubungan kekerabatan dan berten- kanisme dialog dalam menyelesaikan persoal-
tangan dengan prinsip hidup bertetangga. Pro- an-persoalan mereka. Sedikit banyak unsur-un-
ses dialog menemui jalan buntu karena ambisi sur budaya seperti konsensus, persaudaraan,
pemimpin kedua-dua negara yang begitu kuat. musyawarah dan mufakat dan pertemuan-per-
Sebaliknya unsur kekerabatan bisa di- temuan informal yang populer di mayarakat
maknai secara positif untuk mengembangkan Melayu Indonesia dan Malaysia menjadi cara
dialog bagi perdamaian. Pengakhiran Konfron- dalam menyelesaikan perbedaan di antara me-
tasi kedua-dua negara di tahun 1966 tidak terle- reka. Dengan kata lain ini menjadi semacam bu-
pas dari dialog-dialog dan dimungkinkan untuk daya strategis yang dikembangkanASEAN.
berakhir dengan baik dan damai karena adanya Cara demikian kemudian sering dikenal
unsur kekerabatan ini. Banyak pengamat misal- dengan istilah 'ASEAN way'. Tentu saja tidak
nya sangat heran, konflik bertahun-tahun yang semua 'ASEAN way' ini positif, tetapi dalam
penuh kebencian dengan istilah-istilah seperti hal-hal tertentu cara ini cukup efektif untuk
'ganyang Malaysia' dan juga clash militer yang mendinginkan (cooling down) suasana panas
serius di perbatasan Kalimantan, selesai dalam yang terjadi antara anggota ASEAN. ASEAN
pertemuan dua hari antara Menteri Luar Negeri dalam menyelesaikan suatu masalah yang kon-
Adam Malik dan rekannya Tun Abdul Razak di troversial biasanya mendiamkannya sampai di-
Bangkok. Bahkan pengakhiran itu tanpa ada ngin sebelum melakukan tindakan yang sering-
perjanjian yang ditandatangani dengan jelas kali tanpa ada solusi. Solusi diharapkan muncul
(Time, 10 June 1966). Ini tentunya berbeda bersamaan dengan perjalanan waktu dan diha-
kalau konflik terjadi melibatkan dua negara rapkan ada solusi damai yang nantinya dapat
yang tidak memiliki ikatan kekerabatan. Nega- diterima oleh semua pihak. Kalau keadaan me-
ra-negara ini tentu meminta jaminan yang jelas nguntungkan tentu saja solusi damai bisa di-
bahwa peristiwa yang sama tidak akan berlaku kembangkan tetapi bilamana berlaku krisis da-
lagi. Dalam konflik Indonesia dengan Cina mi- lam hubungan antar negara ASEAN atau de-
salnya, pemerintahan Orde Baru di Indonesia ngan Negara lainnya, sebuah solusi damai bisa
misalnya tidak mau membuka hubungan diplo- semakin jauh. Lewat mekanisme ini ASEAN
matik dengan negara tirai bambu itu sampai misalnya dapat mendinginkan suasana panas
Cina menyatakan secara resmi bahwa mereka dalam konflik Sabah antara Malaysia dan Fili-
tidak lagi mendukung gerakan-gerakan komu- pina demikian juga konflik perebutan kepulau-
nis di Indonesia. an Spratley di Laut Cina Selatan dan juga masa-
Terhadap keheranan bahwa konflik de- lah-maslah di perbatasan Malaysia dan Thai-
ngan Indonesia bisa berakhir dengan begitu ce- land, walaupun belum ada solusi yang jelas ter-
pat, Menlu Malaysia hanya berujar bahwa ini hadap soal-soal itu.
lah cara kami, cara Asia dalam menyelesaikan Cara menyelesaikan konflik demikian
masalah (Ishak, 2007). Seorang pegawai Ma- juga mengandalkan dialog-dialog dan perun-
laysia pernah menyatakan bahwa konflik sebe- dingan terus menerus yang bisa menimbulkan
lum ini sebenarnya adalah konflik antara unsur saling kepercayaan antara pemimpin-pemim-
Komunis dan non-Komunis yang secara tersirat pin negara ini, walaupun kadangkala tanpa
(implisit) hendak memberi justifikasi bahwa mencapai kata sepakat. Masyarakat keamanan
Konfrontasi bukan konflik antara dua negara atau security community di ASEAN misalnya

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 105


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

tercipta karena mereka para pemimpin ini per- kan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua
caya satu sama lain. ASEAN security commu- negara yang berasingan satu dengan lain, bukan
nity misalnya tidak dibuat dalam kerangka per- sebuah negara serumpun. Dalam konteks ini is-
janjian keamanan sebagaimana umum terjadi tilah yang tepat adalah 'kita adalah kerabat tapi
untuk masyarakat keamanan di Barat. masing-masing kita juga berdaulat'.
Dalam konteks kawasan, relevansi dari Dapatkah konsep kekerabatan atau kese-
konsep kekerabatan, dengan demikian adalah rumpunan Melayu ini dikembangkan lebih ja-
sebagai alat dan mekanisme dalam mendorong uh? Dalam pertanyaan yang lebih konseptual,
dialog-dialog yang bermanfaat ini. Indonesia Boleh kah 'Visi Serumpun' (Visions of “Serum-
dan Malaysia agaknya memanfaatkan kede- pun”) atau 'Wawasan Serumpun' yang populer
katan kekerabatan ini terutama dalam perkem- semasa Tun Abdul Razak dan Suharto dikem-
bangan hubungan semasa PMAbdullah Badawi bangkan? Dalam mengelaborasi jawaban terha-
dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di In- dap pertanyaan ini ada beberapa hal yang perlu
donesia untuk meningkatkan dialog di antara dibahas.
mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa komuni- Poin pertama adalah bahwa sebagai dua
kasi di tingkat elite antara kedua-dua negara sa- negara bertetangga, kedua-dua negara berde-
ngat intensif, sehingga tercipta semacam hot- katan secara geografis, punya ikatan budaya
line antara pemimpin kedua-dua negara yang yang tak dapat dielakkan, karena sejak zaman
sangat penting bila ada krisis. Dalam banyak dahulu kala sehingga era globalisasi ketika ini
hal intensitas hubungan dan komunikasi elite banyak masalah di sektiar kedua-dua negara
ini bisa meredakan kalau tidak mengatasi se- berkaitan satu sama lain. Dahulu kedua-dua ne-
jumlah persoalan dalam hubungan kedua-dua gara adalah bahagian dari kerajaan-kerajaan di
negara. Tentu saja hotline juga bisa tercipta wa- nusantara seperti Majapahit, Melaka dan Johor
laupun dua buah negara tidak mempunyai hu- (Ghazali, 2007). Ini sebuah keadaan yang bisa
bungan kekerabatan sama sekali. Tetapi bila ada saja dianggap tidak penting tapi tidak dapat di-
landasan kekerabatan proses ini bisa lebih mu- elakkan atau ibarat sebuah ungkapan 'you can
lus lagi. choose your friends but not your neighbours'
(Thamrin, 2007). Pada masa kini bukan saja
Kinship dan 'Visi Serumpun' ke depan arus pekerja dan migran tapi juga arus budaya
Makalah ini melihat bahwa konsep kin- pop masuk ke Malaysia dari Indonesia. Para pe-
ship atau kekerabatan mestinya diletakkan se- labur dari Malaysia juga semakin ramai datang
cara proporsional dalam hubungan kedua-dua ke Indonesia demikian juga para pelancong.
negara. Kesalahan dalam memahami kinship Bisa dipastikan di masa datang kondisi hubung-
adalah bahwa konsep ini sering difahami akan an ini makin kompleks. Ia tidak hanya terbatas
mempengaruhi secara langsung hubungan In- kepada pemerintah dengan pemerintah saja te-
donesia dan Malaysia. Ini kesimpulan yang ter- tapi pemerintah dengan masyarakat di kedua-
buru-buru karena konsep kinship, baru memi- dua negara. Karena kedekatan geografis ini ber-
liki makna kalau kita melihatnya dalam suatu bagai masalah tidak akan terelakkan akan berla-
konteks yang dilakukan oleh kedua-dua negara. ku dalam hubungan kedua-dua negara. Kedua-
Dalam makalah ini kinship diletakkan dalam dua negara mungkin tidak menyukai hal ini,
konteks penguatan kedaulatan dan dalam kon- tapi letak geografis itu telah menjadi takdir
teks pembentukan budaya strategis kedua-dua yang ditentukan Tuhan.
negara. Kinship agaknya tidak diperhitungkan Melihat fakta sejarah, geografis dan hu-
bila dua negara ini berbicara dalam konteks pe- bungan sejak lama ini, dalam konteks hubungan
nguatan kedaulatan negara, sebuah konsep Indonesia-Malaysia bagaimanapun juga kese-
yang sangat penting bagi dua negara yang baru rumpunan atau kinship ini tetap menginforma-
merdeka. Dalam konteks penguatan kedaulat- sikan banyak segi dan keputusan dalam hu-
an, ada kecenderungan pada satu negara untuk bungan kedua-dua negara. Dari fakta yang se-
mensosialisasikan negara lain sebagai asing derhana misalnya dapat dikatakan bahwa para
atau alien bahkan membawa persoalan bagi ke- pemrotes terhadap kebijakan Malaysia
utuhan dan keharmonian masyarakat mereka. menggunakan hasil karya bangsa Indonesia
Laporan-laporan media seringkali menunjuk- ataupun dalam perlakuan terhadap pekerja

106 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

asing maupun orang Indonesia di Malaysia, pa- itu untuk disinergikan bersama.
da umumnya diinformasikan oleh sentimen ke- Visi serumpun semasa Tun Abdul Razak
kerabatan ini. Mereka secara emosional mem- pada tahun 1967-1975 terasa pendek dan sangat
protes negara tetangga yang tidak lagi menghar- dilandasi oleh semacam euforia setelah kon-
gai saudara tuanya. Sentimen yang muncul di frontasi yang pahit. Masa itu memang sering di-
kalangan para chauvinist ini adalah anggapan sebut sebagai tahun-tahun emas hubungan da-
bahwa saudaranya ini kini tidak tahu diri. Tanpa rah Indonesia-Malaysia (Yong, 2003), namun ia
ada sentimen seperti ini sikap para chauvinist dilandasi oleh trauma konfrontasi, yang mana
ini tidak lah terlalu galak. Misalnya terhadap kemudian dalam banyak hal Malaysia mencoba
pencurian hasil-hasil karya Indonesia misalnya untuk memahami bahkan konsultasi dengan Ja-
oleh Singapura, Jepang, Belanda atau lembaga karta dalam isu-isu penting untuk kestabilan ka-
Smithsonian Amerika misalnya, reaksi yang di- wasan. Hubungan yang akrab demikian tidak
lakukan oleh orang Indonesia tidak lah sekeras berlanjut pada masa selanjutnya karena kehen-
terhadap Malaysia (Daery, 2007). Bahkan ter- dak Malaysia dan semua negara merdeka juga
hadap hilangnya pulau-pulau Indonesia karena untuk mengembangkan identitas dan rasa per-
diambil pasirnya oleh Singapura (Utusan Ma- caya diri sendiri di dunia internasional terlepas
laysia, 17 November 2007), tidak ada protes dari bayang-bayang pengaruh negara lain.
yang dramatis seperti kalau itu berlaku karena Dengan demikian, dan ini adalah poin
perlakuan Malaysia. ketiga, visi serumpun yang dapat dirintis adalah
Pada fihak lain, Malaysia pun agaknya visi yang dapat memberikan peluang dan ruang
menganggap bahwa banyak khazanah budaya bagi kebebasan dan identitas masing-masing
di Nusantara ini adalah warisan serumpun. Me- negara untuk berkembang, namun mengarah
reka mungkin tidak menyadari bahwa produk- kepada satu tujuan yang saling mendukung satu
produk budaya yang telah menjadi bagian dari sama lain. Tujuan itu adalah kesejahteraan dan
kehidupan masyarakat adalah berasal dari In- keamanan bagi masing-masing negara. Sebagai
donesia. Lagu kebangsaan Negaraku misalnya dua negara serumpun yang memiliki banyak ke-
diklaim berasal dari Indonesia, namun menurut samaan budaya dan 'blood brotherhod', adalah
sastrawan Zawawi Imron, lagu itu sesungguh- wajar kalau satu negara ingin melihat negara
nya merupakan puji-pujian yang sebenarnya hi- lainnya makmur, sejahtera dan damai. Perasaan
dup di kalangan pesantren sejak lama (Daery, sedarah dan serumpun mestinya menjadi energi
2007). Jadi ia kira-kira merupakan warisan se- positif untuk melihat saudara-saudara mereka
rumpun bersama karena pesantren wujud, baik maju. Kemakmuran dan kedamaian satu negara
di Indonesia maupun Malaysia. tidak dilihat dengan iri dan dengki tapi disam-
Karena itu poin kedua yang penting ada- but baik karena juga berdampak positif untuk
lah bahwa untuk mengatasi berbagai masalah negaranya. Agaknya konsep 'prosper-thy-
yang muncul dan akan muncul antara kedua- neighbour', sebagai kontras dari 'beggar-thy-
dua negara, sebagai dua negara serumpun, me- neigbour' policy yang sering diucapkan oleh pa-
reka mestinya berhasil mengembangkan pa- ra pemimpin Malaysia dan Indonesia adalah re-
yung kerjasama yang berjangka panjang. Pa- levan dalam konteks membangun 'visi serum-
yung kerjasama ini bisa disebut misalnya seba- pun 2050' misalnya. Apalagi kedua-dua negara
gai 'Wawasan Serumpun' yang akan dijadikan kaya akan sumber alam dan sumber daya manu-
reference utama bila berlaku masalah dan kete- sia. Konsep Melayu unggul juga bisa dijadikan
gangan dalam hubungan kedua-dua negara. landasan bagi visi ini.
Hendaklah kedua-dua negara dalam mengatasi Dalam sejarahnya prinsip 'prosper-thy-
persoalan mereka, melihat pada tujuan jangka neighbour' ini telah pula diterapkan terlebih da-
panjang dalam 'visi serumpun' ini. Visi sedemi- hulu oleh Indonesia, ketika negara ini mengi-
kian bukan lah suatu yang mustahil apalagi ke- rimkan puluhan ribu guru sains, dokter, pakar
dua-dua negara sudah meletakkan meletakkan teknik dan tenaga medis untuk mendidik dan
Wawasan mereka. Malaysia dengan Wawasan membantu Malaysia yang kekurangan tenaga
2020 dan 2057 misalnya, sedangkan Indonesia dan pengetahuan di berbagai bidang di tahun
membuat 'Visi Indonesia 2030'. Mereka dapat 1950-an. Secara tidak langsung para seniman
menyeleksi aspek-aspek kedua-dua wawasan musik, sastrawan, pemusik dan penyanyi juga

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 107


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

memberi sumbangan tidak sedikit dalam kema- laysia lewat pemberitaan terhadap TKI di ber-
juan industri seni kedua-dua negara. Karya-kar- bagai media mereka. Sebaliknya di Indonesia
ya seniman Indonesia juga menyumbangkan juga kini terjadi pencitraan terhadap Malaysia
bagi kemajuan berbagai bidang seni di Malay- sebagai negara yang tidak tahu diri, tidak bisa
sia. berterima kasih, maling dan mau untung sendi-
Namun ada poin keempat yang penting ri, yang belakangan muncul dalam menyikapi
dalam proses mewujudkan 'visi serumpun 2050' sengketa soal pengambilan lagu daerah dan ha-
itu yaitu perlunya upaya konkrit. Seperti 'Vision sil-hasil karya bangsa Indonesia lainnya oleh
2020' Malaysia, visi itu hendaknya juga berisi Malaysia.
langkah-langkah konkrit yang akan dicapai Kepentingan politik sesaat di balik pen-
sampai tahun 2050. Langkah konkrit penting citraan ini bisa counter-productive untuk pen-
adalah membetuk semacam tim khusus di ke- capaian cita-cita bersama tadi. Seperti dikata-
dua-dua negara yang bisa dimulai dari kalangan kan Hussain (2007), isu-isu seperti imigran ha-
akademisi, kemudian swasta, pengusaha dan rus diatasi secara serius dan tidak semata untuk
kemudian pemerintah untuk merumuskan 'Wa- kepentingan pilihan raya. Ia mengatakan:
wasan Serumpun' Indonesia-Malaysia ini. Me-
'Isu imigran dan pekerja asing perlu diperha-
rujuk kepada visi Indonesia 20305, maka 'Vi- lusi dalam kontkes cabaran yang berkait ra-
sions of Serumpun' dapat dikembangkan untuk pat dengan strategi daya saing negara di pe-
mendukung kepentingan kedua-dua negara. Ia ringkat global, dan tidak sepatutnya bersifat
misalnya dapat meliputi upaya untuk memben- knee-jerk reaction semata-mata untuk me-
tuk sinergi tiga modal utama kedua-dua negara muaskan hati orang ramai tatkala pilihan raya
menjelang tiba' (Hussain, 2007).
yaitu modal manusia, modal alam dan fisik, dan
modal sosial. Dalam sinergi itu kedua-dua ne- Hubungan kedua-dua negara ini be-
gara dapat bekerja sama untuk “Mewujudkan lakangan menjadi sangat sensitif dan seringkali
kehidupan masyarakat yang berkualitas dan be- memicu ketegangan. Kasus penyiksaan warga
bas dari kemiskinan”, kemudian mereka dapat Indonesia oleh majikan dan pemukulan terha-
bekerja sama memanfaatkan kekayaan alam ke- dap warga RI oleh polisi adalah puncak dari
dua-dua negara yang kaya secara optimal dan proses pencitraan itu. Perlakuan itu mungkin
berkelanjutan. Kedua-dua negara juga memiliki dirasa wajar, alamiah dan mungkin begitulah
potensi untuk melakukan sinergi kelompok wi- seharusnya bagi masyarakat Malaysia karena
rausaha, birokrasi dan pekerja dalam rangka telah terjadi proses pencitraan yang sistematis
menciptakan daya saing yang global. Demikian di media bahwa para pekerja Indonesia sering
juga 'Wawasan Serumpun' ini dapat mening- membuat masalah sosial dan datang tanpa izin.
katkan perwujudan Wawasan 2020 Malaysia Pada gilirannya pencitraan itu juga berhasil
misalnya dalam kaitan dengan cabaran yang ke- mencitrakan bahwa para pekerja itu adalah
enam untuk mewujudkan masyarakat Malaysia cermin sebenarnya dari orang Indonesia secara
yang progresif, mempunyai daya perubahan keseluruhan. Ini tentu saja telah membutakan
yang tinggi dan memandang ke depan yang ti- mata bahwa para pekerja yang melanggar hu-
dak hanya menjadi pengguna teknologi tetapi kum adalah sebagian kecil dari pekerja dan In-
juga penyumbang peradaban ilmu dan teknolo- donesia lebih luas dan kompleks serta memiliki
gi di masa depan (Wawasan 2020). hal-hal yang baik dan unggul pula. Para pekerja
Dalam jangka pendek upaya konkrit uta- itu pun sebetulnya melakukan perbuatan itu ka-
ma mengatasi hubungan yang rapuh adalah rena dipicu oleh berbagai masalah sosial, eks-
upaya untuk mengurangi konflik-konflik spora- ploitasi, masalah birokrasi dan administratif
dik dalam hubungan antara kedua-dua negara yang merugikan mereka yang kadang berasal
yang dapat merugikan pencapaian visi itu. Se- dari oknum orang Indonesia juga.
bagaimana dijelaskan di atas, seringkali identi- Di Indonesia, peroses pencitraan juga
tas kedua-dua negara dibentuk melalui penci- berlangsung untuk melawan apa yang berlaku
traan tentang negara lain yang buruk, terbela- di Malaysia. Media juga ramai misalnya me-
kang, pembawa masalah sosial dan moral; se- nyebut Malaysia dengan berbagai istilah seperti
mentara negara sendiri adalah maju, murni dan Malingsia untuk menggambarkan bahwa Ma-
tenteram damai seperti yang dicitrakan di Ma- laysia suka mengambil hak milik orang Indone-

108 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

sia. Mereka juga curiga bila Malaysia memberi perti ini berlangsung di Indonesia terutama be-
kapal selam, maka itu dianggap ditujukan untuk berapa tahun belakangan ini terutama karena
memata-matai atau siap untuk menyerang Indo- tindakan pihak berkuasa (aparat) Malaysia
nesia. Di dalam negeri Indonesia, hal-hal yang yang berlebihan terhadap warga Indonesia.
memojokkan Indonesia ini, dijadikan bahan Sementara itu sebagaimana difahami,
oleh para chauvinist ini untuk mempermasalah- proses pencitraan di Malaysia itu sudah ber-
kan hubungan kedua-dua negara sehingga hu- langsung sangat agresif pada masa PM Maha-
bungan menjadi semakin keruh (Daery, 2007). thir Mohamad dan digunakan untuk kepenting-
Proses pencitraan ini perlu diatasi karena an politik seperti untuk mencapai keseimbang-
ia membutakan mata masyarakat tentang apa an rasial baru dan untuk mencitrakan keamanan
yang telah dilakukan oleh para pekerja itu untuk dalam negeri dari ancaman busuk para penda-
Malaysia dan kadangkala menyesatkan fikiran tang. Dalam istilah Barry Buzan et. al. (1997),
sehat karena mengira bahwa di Indonesia sana, telah terjadi proses securitization terhadap para
semua orang adalah seperti para kuli pekerja pekerja Indonesia yang diistilahkan dengan se-
dan pembantu rumah tangga itu. Walaupun butan 'para pendatang haram'. Proses securiti-
mungkin kemajuan di Indonesia tidak sepesat di zation itu sebagaimana diketahui telah terjadi
Malaysia, tetapi tetap ada juga hal positif di In- secara sistematis dan dramatis pada saat ini dan
donesia yang menarik untuk dihargai. Malaysia dilakukan dengan kekuatan resmi negara dan
sudah menjadi maju dan baik tanpa harus men- kekuatan media. Proses securitization terhadap
citrakan orang lain sebagai buruk dan terbela- ancaman para pekerja Indonesia itu masih ber-
kang. Seperti dikatakan bekas Wakil PM Ma- lanjut dalam kadar tertentu dengan berbagai ke-
laysia Anwar Ibrahim, orang Malaysia umum- simpulan di media bahwa para pekerja asing ba-
nya hanya mengenal Indonesia dari para peker- nyak menimbulkan masalah untuk negara ini.
ja kasar dan pendatang tanpa izin. Padahal me- Media di Malaysia yang umumnya dikontrol
nurutnya seharusnya mereka mengenal Indone- pemerintah agaknya mempunyai kecenderung-
sia dari tokoh-tokoh besar seperti Sukarno-Hat- an bahwa yang dinamakan berita adalah bila pa-
ta, sastrawan dan pujangga-pujangga besar se- ra pekerja asing, terutama Indonesia berbuat ke-
perti Rendra dan Chairil Anwar. Namun menu- jahatan atau sesuatu yang salah. Sementara ke-
rut Ibrahim, hal ini tidak penting lagi bagi para berhasilan dan sumbangan mereka bukan di-
pemimpin Malaysia (Kompas, 30 Oktober anggap suatu berita yang layak dilaporkan.
2007). Diharapkan proses securitization terha-
Sementara itu respon kaum chauvinist di dap pekerja Indonesia ini segera berlalu, se-
Indonesia ini juga perlu diatasi karena tidak hingga sebuah ruang baru yang melihat hu-
produktif dalam membangun hubungan kedua- bungan secara lebih rasional berdasarkan ke-
dua negara. Akan berkembang kesan bahwa inginan untuk kemajuan bersama lebih terbuka.
Malaysia adalah negara yang sombong dan ti- Salah satu langkah positif dalam mengatasi
dak tahu diri di dalam negeri Indonesia. Kelom- pencitraan adalah dengan menempatkan per-
pok ini mulai menyebutkan Malaysia sebagai masalahan pada proporsinya. Tentu saja ada pe-
negara yang suka mencuri dan sombong. Sebu- kerja yang melanggar hukum namun tidak perlu
ah situs internet malingsia.com juga sudah di- disimpulkan atau dicitrakan semua yang me-
buat yang banyak berisi hujatan terhapan Ma- langgar hukum adalah pekerja Indonesia. Lang-
laysia. Perlakuan para aparat keamanan di Ma- kah untuk mengganti istilah Indon dengan Indo-
laysia dalam mengintrogasi identitas pelajar In- nesia juga dipandang positif karena kata Indon
donesia perlahan-lahan akan menambah keke- mengalami proses pemaknaan yang negatif.
cewaan para pelajar yang sebenarnya ingin me- Untuk para pekerja yang memang latar bela-
nuntut ilmu di Malaysia. Kalau dulu mereka kang pendidikan dan sosialnya rendah di Indo-
berkampanye mengajak kawan untuk belajar di nesia, kiranya ada upaya komprehensif untuk
Malaysia karena fasilitas yang baik, sebagian mempersiapkan dan mensosialisasikan mereka
mereka kini mulai mengkampanyekan agar ja- dengan sistem hukum dan budaya di Malaysia.
ngan pergi belajar di Malaysia karena masalah- Proses birokrasi tenaga kerja adalah satu hal
masalah di luar pelajaran yang sering menyulit- yang agaknya tak kunjung bisa diatasi, semen-
kan. Proses pencitraan terhadap Malaysia se- tara pemahaman mereka tentang negara baru

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 109


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

tempat mereka bekerja adalah hal lain yang sarkan pengalaman hubungan, ada beberapa
penting untuk disosialisasikan kepada mereka. poin yang penting dalam konteks kerjasama ini
Selain itu perlu upaya konkrit untuk me- yang perlu diingat. Pertama adalah kenyataan
ningkatkan pemahaman tentang kedua-dua ne- yang tidak dapat diubah bahwa kedua-dua ne-
gara. Tokoh oposisi Malaysia Anwar Ibrahim gara secara geografis dan budaya adalah berde-
misalnya menyayangkan bahwa banyak orang katan dan kedua-duanya berada dalam era glo-
Malaysia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi balisasi yang saling bergantung. Itu semacam
di Indonesia. Media di Malaysia yang dikontrol takdir yang bisa dimaknai dengan positif mau-
oleh pemerintah tidak memberikan informasi pun negatif. Kedua, perjalanan sejarah menun-
yang lengkap tentang Indonesia. Mereka misal- jukkan bahwa ikatan darah dan budaya ini per-
nya tidak bisa memahami mengapa Indonesia nah menjadi pengikat kuat kerjasama dan cita-
seringkali begitu cemburu dan marah-marah cita, namun sayangnya konsep seperti 'visi se-
dengan Malaysia. Media di Malaysia umumnya rumpun' di tahun 1970-an hanya digunakan un-
menunjukkan sisi buruk yang ditampilkan oleh tuk tujuan dan kepentingan jangka pendek. Ka-
para pekerja dan pendatang tanpa izin di Malay- rena itu poin ketiga yang penting adalah upaya
sia. Karena itu menurut Ibrahim perlu ada upaya untuk membangun 'visi serumpun' jangka pan-
untuk memberikan saling pemahaman yang le- jang untuk mencapai cita-cita kemakmuran dan
bih mendalam tentang saudaranya dan tetang- keamanan bersama yang boleh dimasukka da-
ganya ini sebagaimana pemahaman yang berla- lam konsep seperti 'prosper-thy-neighbour' dan
ku antara pemimpin kedua-dua negara di masa 'smart partnership'. Keempat, dalam visi jang-
lampau. Menurutnya politik di Malaysia tidak ka panjang ini, kepentingan politik jangka pen-
sepatutnya memunculkan sentimen anti Indo- dek yang memanfaatkan berbagai masalah dan
nesia lewat media. Menurut beliau 'sentimen isu dalam hubungan kedua-dua negara adalah
rakyat harus dididik. Orang Malaysia bukannya penting dihindari. Pemanfaatan isu pendatang
tidak perduli dengan apa yang terjadi, tetapi dia haram misalnya untuk kepentingan keamanan
tidak tahu karena media tidak memberitakan sa- dalam negeri selain akan mencitrakan Indone-
ma sekali'. sia sebagai negara penuh masalah sosial dan
Kesimpulan kriminal, juga dalam jangka panjang tidak me-
nguntungkan visi jangka panjang untuk kemak-
Paper ini melihat bahwa konsep kinship muran bersama itu.
adalah konsep yang tetap penting dan berguna
dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Namun
kinship atau kekerabatan perlu dilihat dalam Daftar Pustaka
proporsi dan konteksnya, dan tidak serta merta “An Uproar of Peace”', Time, 10 June 1966.
dilihat secara emosional dan nostalgik. Dalam “Apa selepas Rasa Sayang, kapal Selam?”,
pemahaman yang proporsional dan konteks- Utusan Malaysia, 27 Oktober 2007.
tual, kinship tidak mempunyai makna penting “Indonesia Hilang Pulau Lagi?”, Utusan Ma-
dalam konteks kedaulatan negara, sebuah kon- laysia, 17 November 2007.
sep yang sangat penting bagi dua negara merde- Ayip, Z. (2007). “Bersama Diplomat: Indonesia
ka. Namun ada potensi yang bisa dikembang- mahu perbetul tanggapan”, Berita Harian,
kan dari konsep kekerabatan terutama sebagai 15 November 2007.
alat atau mekanisme dalam diplomasi interna- Buzan, B. , Wæver, O. and de Wilde, J. (1997).
Security: A New Framework for Analysis,
sional. Kekerabatan bisa membantu proses dia-
Boulder: Lynne Rienner Publishers.
log untuk meredakan konflik dan meningkat-
Daery, V. (2007). “Penyelesaian Kasus Lagu-
kan kerjasama. Kinship merupakan landasan lagu Serumpun”, Jawa Pos, 15 Novem-
untuk memulai satu pembicaraan yang kon- ber.
struktif. Kinship juga dalam kadar tertentu men- Fachir, M. (2007). “Hubungan RI-Malaysia se-
jadi fondasi bagi kerjasamaASEAN. sudah 50 tahun 'Cabaran dan Harapan'”,
Selain sebagai alat diplomasi yang me- makalah disampaikan di depan Universiti
landasi kerjasama di ASEAN, konsep serum- Utara Malaysia, 27 Maret 2007.
pun bisa dikembangkan juga sebagai landasan Ghazali, A.Z. (2007). “Malaysia Indonesia da-
kerjasama Malaysia-Indonesia. Namun berda- lam Sejarah: Liku-Liku Hubungan Serum-

110 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Kelana & Hara : Quo-vadis Kekerabatan Malaysia-Indonesia?

pun Sehingga Kurun Ke-19”, Makalah di- South East Asia Research, Vol. 11, No. 3,
presentasikan pada Seminar 50 Tahun November.
Merdeka: Hubungan Malaysia Indone- Zain, S.M. (2003). “Penyebaran Orang Rum-
sia di Universiti Malaya, Kuala Lumpur pun Melayu Pra-Islam dan Perkembangan
Malaysia pada tanggal 17 Juli 2007. Tulisan Bahasa Melayu”, Sari, 21.
Hoffmann, A. & Longhurst, K.(1999). “Ger-
man Strategic Culture and the Changing
Role of the Bundesweh”, WeltTrends, No. Catatan
22.
Hussain, M.M. (2007). “Cara Melayan Imi- 1.Ini adalah pernyataan Presiden RI Susilo Bam-
bang Yudhoyono dan PM Malaysia Abdullah Ba-
gran”, Utusan Malaysia, 14 November
dawi dalam sidang akhbar (press conference) se-
2007. telah penyampaian penghargaan Bintang Republik
Ishak, M.M. (2007). “Peranan Tun Adam Ma- Indonesia Adi Pradana kepada PM Abdullah di
laik dalam Membina Hubungan RI-Ma- Istana Negara, Jakarta 22 Februari 2007. (Lihat
laysia”, paper pada Annual Lecture Me- Fachir, 2007).
ngenang Tokoh Diplomasi Adam Malik: 2.Strategic cultures atau budaya strategis dalam tu-
Apresiasi Perjalanan 50 tahun Hubungan lisan ini didefinisikan sebagai nilai-nilai dan buda-
Diplomatik RI-Malaysia, Medan 24 ya-budaya yang terbentuk melalui perjalanan seja-
Februari 2007. rah dan dianut sebagian besar dari elit dan massa
Johnston, A.I. (1995). “Thinking about Strate- dalam melihat dan melaksanakan hubungan de-
gic Culture”, International Security, 19: 4. ngan lingkungan internasional. Budaya strategis
Liow, J.C. (2004). The Politics of Indonesia- berkembang sejalan dengan sejarah dan tantangan
Malaysia Relations: One Kin, Two Na- domestik dan internasional yang dihadapi suatu
tions. New York: RoutledgeCurzon. negara dalam menegakkan kedaulatan mereka se-
Sulaiman, Y. (2007). “Soekarno, Malaysia, dan bagai negara merdeka. Tantangan yang berbeda
menyebabkan mereka mengembangkan budaya
PKI”, Kompas, 29 September. strategis yang berbeda terhadap lingkungan inter-
Thamrin, Y.O. (2007). “50 Tahun Indonesia- nasionalnya. Lihat misalnya Johnston (1995).
Malaysia: Harapan dan Tantangan ke De-
pan”, paper pada Annual Lecture Menge- 3.Misalnya di Pahang dilaporkan bahwa tahun lalu
dari 1,077 orang yang melakukan jenayah keke-
nang Tokoh Diplomasi Adam Malik: Apre-
rasan, sebanyak 37 orang daripadanya adalah pen-
siasi Perjalanan 50 tahun Hubungan Di- datang asing, manakala bagi tempoh Januari hing-
plomatik RI-Malaysia, Medan 24 Februari ga September lalu, 948 kes jenayah kekerasan di-
2007. laporkan dan hanya 35 daripadanya dilakukan
Visi Indonesia 2030, retrieved 12 November warga asing. "Bagi jenayah harta benda pada ta-
2007 from http://ppij-nagoya.org/MISC/ hun lalu, 53 kes daripada keseluruhan 6,490 kes
Buklet%20Visi%20Indonesia%202030% dilakukan warga asing, manakala bagi tempoh
5b1%5d.pdf. sembilan bulan pertama tahun ini sebanyak 30 kes
Wawasan 2020, Biro Tata Negara, Jabatan Per- daripada keseluruhan 1,673 kes dilaporkan, dila-
dana Menteri, 1991. kukan warga asing. Lihat Berita Harian Online, 18
November 2007.
Weinstein, F.B. (1976). Indonesian Foreign Po-
licy and the Dilemma of Dependence. Itha- 4.“Menangani Isu Pekerja Asing”, Harian Metro, 24
ca and London: Cornell University Press. November 2007, hal. 12.
Yong, J.L.C. 2003. “Visions of 'Serumpun': Tun 5.Lihat, 'Visi Indonesia 2030' http://www.ppij-nag-
Abdul Razak and the golden years of Indo- oya.org/MISC?Buklet%20Visi%20Indonesia%2
Malay blood brotherhood, 1967-75”, 02030[1].pdf.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 111


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 112-126

Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Totok Sarsito
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak
Perang tampaknya telah menjadi bahagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia di
bumi. Dilaporkan bahwa sejak tahun 3600 SM dunia hanya mengenyam periode perdamaian
selama 292 tahun. Selama masa tersebut telah terjadi perang besar maupun kecil sebanyak
14,531 kali, dengan menelan korban 3,640 juta orang. Dari tahun 1496 SM sampai 1861
(3,358 tahun), terdapat masa damai 227 tahun, sisanya 3,130 tahun dipenuhi dengan perang,
atau 13 tahun masa perang untuk setiap tahun masa damai.
Upaya untuk menghapus perang telah dilakukan sejak Perang Dunia I (19141918) ber-
akhir, yaitu dengan mendirikan Liga Bangsa Bangsa (10 Januari 1920) dan kemudian digan-
tikan Perserikatan Bangsa Bangsa (24 Oktober 1945). Namun, hingga sampai sekarang, pe-
rang dengan segala bentuk dan manifestasinya masih saja terus terjadi. Sebagai misal, di ta-
hun 1990 Irak menyerbu dan menganeksasi Kuwait. Untuk memaksanya meninggalkan Ku-
wait, di tahun 1991 Amerika Serikat menyerang Irak. Kemudian setelah tragedi 11 September
2001, Amerika Serikat kembali mengobarkan perang melawan teror (War on Terror) dengan
menginvasi Afghanistan (Oktober 2001) dan kemudian Irak (Maret 2003). Hingga sampai
saat ini kedua perang tersebut masih terus berlanjut, bersamaan dengan kurang lebih 30 pe-
rang atau konflik bersenjata lainnya.
Sebagai tindakan kekerasan yang dimaksudkan untuk memaksa lawan kita guna meme-
nuhi keinginan kita, atau sebagai konflik bersenjata yang nyata, luas dan disengaja antara ko-
munitas-komunitas politik yang dimotivasi oleh ketidaksepahaman yang tajam atas persoalan
kepemerintahan, perang selalu menyisakan duka, menelan biaya yang sangat luar biasa jum-
lahnya, serta kerusakan atas fasilitas-fasiltas penting yang mendukung kehidupan masyara-
kat banyak.
Mengapa perang terjadi? Perang terjadi antara lain karena beberapa sebab, yaitu: se-
bab-sebab psikologis (seperti frustasi dan mispersepsi), sebab-sebab kultural dan ideologis,
sebab-sebab ekonomi dan sebab-sebab politis. Akan tetapi, didalam kenyataannya, tidak satu
pun perang yang memiliki sebab tunggal.
Kesadaran untuk menghapus perang dari muka bumi telah membawa ke arah pengem-
bangan studi ilmu hubungan internasional yang kemudian melahirkan berbagai teori, antara
lain: (1) Perspektif Idealis, (2) Perspektif Realis, (3) Perspektif Liberalisme Klasik, (4) Pers-
pektif Ekonomi Politik, (5) Perspektif Ahli Psikologi, (6) Doktrin Perang yang Sah, dan (7)
Perspektif Pasifis. Akan tetapi karena potensi manusia dan atau negara untuk melakukan pe-
rang tetap ada, upaya menghapus perang telah menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Berba-
gai pemikiran tentang bagaimana mencegah dan atau mengelola perang telah berkembang
begitu luas dan beragam, dari yang mengandalkan pada pembentukan organisasi regional
maupun internasional, bertumpu pada ”balance of power” atau perimbangan kekuatan, per-
luasan pasar bebas, perluasan demokrasi ke seluruh penjuru dunia, mencegah atau menghi-
langkan mispersepsi, penolakan total perang melalui penyelesaian persoalan secara damai,
sampai penerapan hukum internasional.

Keywords: LBB dan PBB, perang melawan terror, penyebab perang, upaya mencegah dan
mengelola perang.

112 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

Pendahuluan
perang justru negara-negara yang kebetulan du-
Di dalam bukunya berjudul ”Nobody duk sebagai anggota tetap Council LBB, yaitu
Wanted War: Misperception in Vietnam and Jepang, Italia dan Jerman. Liga Bangsa Bangsa
Other Wars” sebagaimana dikutip oleh psiko- yang didirikan atas dasar Treaty of Versailles
log Djamaludin Ancok, Ralph K. White (1968) (1919-1920) ternyata telah gagal mewujudkan
mengatakan bahwa siapapun tidak menyukai cita-citanya yaitu: melakukan perlucutan senja-
peperangan. Walaupun demikian sejak dahulu ta, mencegah perang melalui prinsip keamanan
kala peperangan adalah suatu hal yang tidak da- bersama, menyelesaikan pertikaian antarnegara
pat dihindari. Lembaran sejarah hampir semua melalui negosiasi, diplomasi dan peningkatan
bangsa di dunia ini telah dibasahi oleh darah kesejahteraan. Kegagalan LBB dibuktikan oleh
dan air mata akibat peperangan (http://ancok. ketidakmampuannya mencegah Jepang mela-
staff.ugm.ac.id/h-17/psikologi-dan-perdamai- kukan penyerbuan ke Manchuria (1931), eks-
an.html). pansi militer Italia ke Ethiopia (1935), interven-
Perang tampaknya telah menjadi bahagi- si militer Jerman ke Austria, dan Cekoslovakia
an tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Da- (1938-1939), serta serbuan Rusia atas Polandia
lam artikelnya yang berjudul ”The Great War Timur, Estonia dan Lithuania (1939-1940),
F i g u r e s H o a x : a n I n v es t i g a t i o n i n yang kesemuanya itu kemudian telah menyulut
Polemomythology,” (http://rechten.eldoc.ub. pecahnya Perang Dunia II.
rug.nl/FILES/departments/Algemeen/overigep Berakhirnya Perang Dunia II juga telah
u-blicaties/2005enouder/HOAX/HOAX.pdf) membawa harapan baru bagi terwujudnya du-
B. Jongman dan J. Van der Dennen melaporkan nia yang lebih aman dan damai. Segera setelah
bahwa bahwa sejak tahun 3600 SM dunia ha- perang usai, negara-negara pemenang perang
nya mengenyam periode perdamaian selama yaitu “The Big Fives” (Amerika Serikat, Ing-
292 tahun. Selama masa tersebut terhitung telah gris, Perancis, Cina dan Uni Soviet) sepakat un-
terjadi perang sebanyak 14,531 kali, baik pe- tuk membentuk suatu organisasi internasional
rang besar atau kecil, dengan korban jiwa seba- yang baru dengan keanggotaan yang lebih luas,
nyak 3,640,000,000 orang. (RAND Internal yang diberi nama Perserikatan Bangsa Bangsa
Pub, 1961) Catatan lain menyebutkan bahwa atau PBB (24 Oktober 1945). Salah satu tujuan
sejak tahun 1496 SM sampai tahun 1861, atau utama PBB sebagaimana dinyatakan di dalam
selama 3,358 tahun, terdapat masa damai sela- Pasal 1 Piagam adalah memelihara perdamaian
ma 227 tahun dan sisanya 3,130 tahun dipenuhi dan keamanan internasional atas dasar prinsip
dengan perang, atau 13 tahun masa perang un- keamanan bersama (to maintain international
tuk setiap tahun masa damai (Novicow, 1912). peace and security based on collective security
Angka ini tidak jauh berbeda dengan kalkulasi principle).
yang dibuat para ahli dari Soviet yang menye- Akan tetapi, didalam kenyataannya PBB
butkan dalam kurun waktu 5,500 tahun yang juga tidak sepenuhnya mampu menjaga agar
lewat telah terjadi 14,500 perang besar dan kecil dunia tetap aman dan damai terbebas dari anca-
dengan korban terbunuh sebanyak 3,600 juta man dan bahaya perang. Tidak lama setelah
orang (Tabunov, 1986). PBB didirikan, dunia kembali dilanda perang
Upaya para pemimpin negara di dunia baru yang dikenal dengan nama Perang Dingin
untuk menghapus atau mencegah terjadinya pe- (the Cold War), yang melibatkan dua blok
rang telah dilakukan sejak berakhirnya Perang kekuatan besar yang membagi dunia: Blok Ba-
Dunia I (1914-1918) yaitu dengan melalui pem- rat yang kapitalis dipimpin Amerika Serikat
bentukan Liga Bangsa Bangsa atau LBB (10 Ja- dan Blok Timur yang komunis di bawah kepe-
nuari 1920), namun hingga sampai sekarang pe- mimpinan Uni Soviet, yang masing-masing
rang dengan segala bentuk dan manifestasinya berusaha menjaga dan atau memperluas daerah
masih saja terus terjadi. pengaruhnya (sphere of influence) di dan atau
Tidak lama setelah berdirinya LBB, pe- ke seluruh penjuru dunia.
cah Perang Dunia II (19391945) dengan skala Awal tahun 1990an Perang Dingin ber-
yang lebih besar, cakupan yang lebih luas, serta akhir dengan kekalahan di pihak Blok Timur
korban harta dan jiwa yang jauh lebih mengeri- dan kemenangan di pihak Blok Barat. Berakhir-
kan. Ironisnya, negara-negara yang memulai nya Perang Dingin disambut dengan pesta

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 113


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

kemenangan di pihak Blok Barat. Kemenangan perang. Belum lagi kerugian material maupun
ini semakin meneguhkan keyakinan mereka finansial yang tak ternilai harganya. Sebagai
akan kebenaran dan keunggulan sistem demo- contoh, sejak invasi militer ke Irak dimulai (20
krasi liberal atau demokrasi kapitalisme yang Maret 2003) hingga sampai 19 Maret 2008,
selama ini dianutnya. Namun, di pihak lain te- Amerika Serikat telah kehilangan tentaranya
lah timbul kekhawatiran bahwa keruntuhan sis- karena tewas sejumlah 4,462 orang (http://pro-
tem politik internasional dua kutub (bipolar jects.washingtonpost.com/fallen/), sementara
system) sebagai akibat ambruknya rejim Uni korban jiwa di kalangan tentara maupun pendu-
Soviet akan menjadikanAmerika Serikat keluar duk sipil Irak diperkirakan berjumlah 655 ribu
sebagai satu-satunya kekuatan adidaya yang tak jiwa (Washington Post, October 11 2006)
tertandingi, yang akan dengan mudah bertindak sampai 1.189.173 jiwa (http://www.antiwar.
sebagai polisi dunia. com/casualties/). Jumlah korban tersebut masih
Kekhawatiran itu terbukti benar. Ketika akan terus bertambah mengingat tindak keke-
Irak di bawah Presiden Saddam Hussein me- rasan di Irak masih terus berlanjut.
nyerbu dan menganeksasi Kuwait (2 Agustus Selain itu, Perang Irak yang telah ber-
1990), Amerika Serikat dengan mudah menda- langsung enam tahun telah menelan biaya lebih
patkan persetujuan Dewan Keamanan PBB un- dari 12 milyar US dollar per bulan, belum ter-
tuk memimpin pasukan koalisi guna mengusir masuk kerugian yang diderita Irak karena keru-
Irak keluar dari Kuwait (1991). Sekalipun Irak sakan atas fasilitas-fasiltas penting seperti ins-
adalah sekutu dekatnya, Uni Soviet samasekali talasi listrik, instalasi air minum, industri per-
tidak membelanya ketika Irak dikenai sanksi minyakan, pabrik-pabrik, rumah sakit, sekolah-
oleh Dewan Keamanan PBB karena tindakan- an, dan sarana ekonomi penting lainnya, akibat
nya tersebut, sesuatu yang kecil kemungkinan- pemboman yang dilakukan Amerika Serikat.
nya terjadi seandainya Perang Dingin masih Diperkirakan oleh Joseph E. Stiglitz (pemenang
berlangsung. Sekali lagi terjadinya Perang Te- hadiah Nobel bidang ekonomi) dan Linda J.
luk telah memperlihatkan sisi gelap dari sifat Bilmes dalam bukunya “The Three Trillion Do-
dan watak manusia yang suka akan kekerasan, llar War,” hingga sampai tahun 2017 nanti, pro-
dan itu bukanlah yang terakhir. yek perang dan pendudukan Afghanistan dan
Amerika Serikat kembali memperlihat- Irak akan menelan biaya antara 1,7 sampai 2,7
kan kekuatannya tidak lama setelah tragedi 11 trilliun US dollar, dua pertiganya digunakan un-
September 2001 yang menyebabkan runtuhnya tuk membeayai operasinya di Irak. Apabila di-
World Trade Center di New York. Dengan dalih hitung dengan beaya ekonomi dan sosial lain-
memerangi terorisme, Amerika Serikat kembali nya maka jumlahnya masih akan bertambah
mengobarkan perang (War on Terror) dengan hingga jadi 5 trilliun US dollar (http://news.ya-
menginvasi Afghanistan (Oktober 2001) dan hoo.com/s/ap/20080309/ap_on_re_mi_ea/iraq
kemudian Irak (Maret 2003). Hingga sampai _war costs).
saat ini kedua perang tersebut masih terus ber-
Definsi Perang
lanjut bersamaan dengan perang-perang lain-
nya yang terjadi di berbagai wilayah dunia, ter- Carl von Clausewith, seorang filosof pe-
masuk perang saudara (civil war). Beberapa di rang dari Jerman, dalam bukunya “On War”
antaranya bahkan telah berlangsung cukup la- mengartikan perang sebagai “suatu tindakan
ma, akan tetapi, sekalipun telah dilakukan ber- kekerasan yang dimaksudkan untuk memaksa
bagai upaya untuk mengakhirinya, belum terda- lawan kita guna memenuhi keinginan kita”
pat tanda-tanda perang tersebut segera akan se- (War is an act of violence intended to compel
lesai. our opponent to fulfil our will). “Perang adalah
seperti duel akan tetapi dalam skala yang luas”
Derita Perang
(War is like a duel, but on an extensive scale).
Perang selalu menyisakan duka bagi me- Dikatakan pula oleh Clausewith bahwa perang
reka yang terpaksa harus meregang nyawa, atau bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri.
mereka yang terpaksa kehilangan sanak keluar- ”Perang adalah merupakan kelanjutan politik
ga (apakah ayah, ibu, anak, saudara, dan lain se- dengan cara lain” (War is the continuation of
bagainya) karena menjadi korban dari ganasnya policy by other means) (Stanford Encyclopedia

114 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

of Philosophy, http://www.science.uva.nl yang terjadi di dalam suatu negara yang meli-


/~seop/entries/war/). Dengan kata lain, “jika batkan kelompok-kelompok atau komunitas-
para diplomat gagal menyelesaikan pertikaian komunitas yang saling bermusuhan. Kelompok
dengan cara damai maka para jendral akan penekan tertentu, seperti organisasi teroris, bisa
mengambil alih tugasnya dengan menggunakan dianggap sebagai komunitas politik karena me-
perang sebagai alat untuk menyelesaikan perti- reka adalah juga sekumpulan orang yang memi-
kaian.” liki tujuan politik tertentu. Banyak di antara ke-
Michael Gelven di dalam bukunya “War lompok-kelompok ini yang telah mengaspirasi-
and Existence” (1994) juga mengatakan bahwa kan atau memimpikan berdirinya suatu negara
”perang adalah konflik bersenjata yang nyata, atau mempengaruhi pengembangan negara di
luas dan disengaja antara komunitas-komunitas suatu wilayah tertentu (Stanford Encyclopedia
politik yang dimotivasi oleh ketidaksepahaman of Philosophy, http://www.science.uva.nl/~se-
yang tajam atas persoalan kepemerintahan” op/entries/war/).
(War is intrinsically vast, communal [or politi-
Sebab-sebab Terjadinya Perang
cal] and violent. It is an actual, widespread and
deliberate armed conflict between political Ada dua macam sebab terjadinya pe-
communities, motivated by a sharp disagree- rang, yaitu sebab langsung atau casus belli dan
ment over governance). “Perang adalah peng- sebab-sebab umum. Sebab langsung hanyalah
gunaan kekuatan masa yang disengaja untuk merupakan peristiwa yang mendorong suatu pi-
menyelesaikan perselisihan atas persoalan hak merasa sah dan adil untuk memulai perang
kepemerintahan” (War is the intentional use of atas yang lain. Sebab langsung ini tidak akan
mass force to resolve disputes over governan- timbul seandainya tidak ada sebab-sebab umum
ce). “Perang adalah kepemerintahan dengan yang mendahuluinya.
menggunakan pemukul” (War is, indeed, go- Sebab-sebab perang bisa bermacam-ma-
vernance by bludgeon). “Perang adalah gejala cam, yaitu sebab-sebab psikologis, sebab-sebab
antropologis, yaitu tentang kelompok masyara- kultural dan ideologis, sebab-sebab ekonomi
kat mana yang dapat mengatakan apa yang bo- dan sebab-sebab politis.
leh berlaku di suatu wilayah tertentu” (War is A. Sebab-sebab Psikologis
profoundly anthropological: it is about which Djamaludin Ancok dalam tulisannya
group of people gets to say what goes on in a gi- ”Psikologi dan Perdamaian” (2007) (http://an-
ven territory) (Stanford Encyclopedia of Philo- cok.staff.ugm.ac.id/h-17/psikologi-dan-per-
sophy, http://www.science.uva.nl/~seop/en- damaian.html) mengatakan bahwa peperangan
tries/war/). adalah suatu jenis tingkah laku dari sekian ba-
Pendek kata, perang adalah konflik ber- nyak tingkah laku manusia di dunia ini. Karena
senjata yang nyata, disengaja dan luas yang ter- perang adalah “tingkah laku” maka penyebab
jadi di antara dua komunitas politik atau lebih perang dapat dilihat dari beberapa pendekatan
yang saling bermusuhan. Baku hantam di antara yang berbeda antara satu dengan lainnya, yaitu:
orang-orang yang bersifat individual tidak da- Pendekatan Motivasional, Pendekatan Rein-
pat dikatakan sebagai perang, termasuk juga forsemen, Pendekatan Kognitif, dan Pendekat-
perkelahian antar gang atau perseteruan antara an Struktur Sosial.
warga yang berasal dari suatu daerah tertentu Menurut pendekatan Motivasional sum-
dengan warga yang berasal dari daerah lain. ber penyebab terjadinya peperangan terdapat di
(Stanford Encyclopedia of Philosophy, http:// dalam diri manusia sendiri. Ada beberapa pan-
www.science.uva.nl/~seop/entries/war/). dangan tentang aspek Motivasional yang mem-
Perang adalah gejala yang terjadi di anta- pengaruhi perilaku perang:
ra komunitas politik yang didefiniskan sebagai
entitas yang bisa berupa negara atau yang ber- 1. Teori Psikoanalisis:
maksud menjadi negara. Perang klasik adalah a) Freud (1932) beranggapan bahwa pe-
perang internasional, yaitu suatu perang yang rang terjadi oleh karena adanya dorongan agre-
melibatkan negara-negara yang berbeda, seper- sif yang destruktif di dalam diri manusia. Doro-
ti misalnya Perang Dunia I dan II. Sedangkan ngan ini bersumber dari ”thanatos” (instinct
perang sipil atau perang saudara adalah perang untuk mati) yang sudah ada sejak manusia dila-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 115


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

hirkan. Dorongan ini timbul karena manusia ke- prompted by its anticipated benefits). Perang
hilangan rasa dicintai (loss of love). Walaupun yang dilakukan dengan tujuan ”kolonialisasi”
Freud percaya bahwa akal sehat manusia dapat atau “ekspansi territorial” yang dapat memberi-
mengontrol munculnya dorongan untuk mem- kan keuntungan secara ekonomis adalah meru-
bunuh atau merusak, akan tetapi dorongan ter- pakan contohnya.
sebut tidak pernah bisa dihilangkan karena su- Menurut pendekatan Kognitif konflik
dah merupakan kebutuhan dasar manusia, yang internasional terjadi karena adanya proses per-
tidak berbeda dengan kebutuhan makan dan mi- sepsi yang keliru (misperception) di dalam me-
num. Perang, kekerasan terhadap orang lain nanggapi suatu situasi yang terjadi. Ralph K.
(pembunuhan), dan kekerasan terhadap diri White (1970) mengatakan bahwa ada enam hal
sendiri (bunuh diri) akan terjadi bila manusia di yang merupakan mispersepsi yang seringkali
dalam kehidupannya bersama orang lain meng- menimbulkan konflik internasional yaitu:
alami frustasi. 1. “Diabolical enemy image” (pandangan bah-
b) Adler (1956) beranggapan bahwa “do- wa musuh jahat seperti setan).
rongan superior” lah yang mendorong sese- 2. “Vipile self image” (pandangan bahwa diri
orang untuk berbuat agresif-destruktif. Penda- sendiri jantan).
pat yang sama diajukan oleh Rollo May (1943) 3. “Moral self image” (pandangan bahwa diri
yang mengatakan bahwa adanya keinginan ma- sendiri adalah moralis)
nusia untuk “mengukuhkan kembali kekuasaan 4. “Selective in attention” (tidak memperha-
dirinya” (restructuring of power) yang tadinya tikan hal-hal yang bertentangan dengan ke-
tenggelam oleh adanya hambatan dari orang la- yakinan).
in mendorong seseorang untuk berbuat agresif- 5. “Absence of empathy” (tidak adanya rasa
destruktif. Pengukuhan kembali kekuasaan ini empati).
bertujuan untuk menegakkan “indetitas diri” 6. “Military over confidence” (keyakinan yang
dan “mengaktualisasi diri.” berlebih-lebihan akan kekuatan militer).
Pandangan bahwa musuh jahat seperti
2. Teori Frustasi-Agresi setan terjadi ketika dua negara dalam keadaan
J. Dollard dkk. (1939) membuat hipote- konflik, negara-negara tersebut akan melihat
sis bahwa: “Agresi selalu merupakan konse- negara musuhnya dalam bayangan yang serba
kuensi dari frustasi, dan keberadaan frustasi se- negatif. Masing masing negara melihat musuh-
lama menyebabkan terjadinya tindakan dalam nya sebagai “agresor” dan negara tersebut seba-
bentuk agresi” (Agression is always a conse- gai obyek agresi.
quence of frustation, and the existence of frus- Dalam menjelaskan pandangan bahwa
tration always lead to some form of agression.” diri sendiri adalah jantan, White menggunakan
Miller (1941) kemudian memperhalusnya de- kasus perang Vietnam untuk menunjukkan ada-
ngan menggantikan kata “always” dengan nya pandangan tersebut. Pidato-pidato yang di-
“usually.” Ditinjau dari teori Frustrasi-Agresi, sampaikan oleh para senator di Kongres Ameri-
perang bersumber dari adanya rasa frustasi ka Serikat dalam kaitannya dengan perang Viet-
yang berupa frustrasi terhadap penguasa, atau- nam pada umumnya berisikan pernyataan bah-
pun frustrasi terhadap suatu bangsa lain yang wa Amerika harus bersikap jantan, tidak pena-
ingin berkuasa di bidang politik, ekonomi kut di dalam menghadapi masalah Vietnam.
ataupun aspek lainnya. Amerika harus berani berperang demi menjaga
Menurut pendekatan Untung-Rugi seti- nama baik.
ap orang cenderung melakukan perbuatan yang Pandangan bahwa diri sendiri adalah
menghasilkan keuntungan atau terhindar dari moralis terjadi ketika negara yang berada dalam
kerugian. Bandura (1973) mengatakan bahwa konflik dengan negara lain melihat dirinya se-
perbuatan agresi dilakukan orang karena perbu- bagai yang benar, dan Tuhan bersama dia. Buat
atan tersebut menghasilkan “reward.” Di da- kebanyakan orang Amerika, segala tindakan
lam bukunya “Agression: A Social Learning Amerika di luar negeri dianggap benar, karena
Analysis,” Bandura menulis: “Sejumlah besar memperjuangkan hak azasi manusia dan men-
agresi didorong oleh harapan memperoleh ke- ciptakan perdamaian dunia. Pikiran yang berka-
untungan” (A great deal of aggression is itan dengan keuntungan bagi Amerika Serikat

116 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

sendiri dari tindakannya di luar negeri biasanya kekayaan dalam suatu negara.
tidak begitu terlintas di pikiran mereka. Ancaman tersebut dapat terjadi oleh ka-
Tidak memperhatikan hal-hal yang ber- rena pengelompokan yang ada dalam kehidup-
tentangan dengan keyakinan dapat dilihat di da- an bermasyarakat memberi peluang bagi terja-
lam keadaan konflik orang-orang seringkali ti- dinya “konflik antar kelompok" (group con-
dak mau mengindahkan pendapat dan atau beri- flict). Pengelompokan akan membuat perasaan
ta-berita yang bertentangan dengan apa yang “in group” vs “out group” semakin jelas. Ang-
dia yakini. Segala informasi dari negara musuh gota-anggota kelompok biasanya merasakan
dianggap tidak benar. Semua pendapat atau be- kelompok dialah yang paling baik, dan oleh ka-
rita yang berasal dari sumber lain yang berten- rena itu harus diperhatikan kesejahteraannya.
tangan akan dianggap tidak benar dan diabai- Pengelompokan ini apabila disertai dengan
kan. Pokoknya yang paling benar hanyalah diri- kompetisi dalam bidang tertentu akan dapat me-
nya sendiri. nimbulkan konflik yang meregangkan hubung-
Tidak adanya rasa empati terjadi ketika an antar kelompok. Di dalam kelompok, orang-
dalam keadaaan konflik negara yang terlibat ti- orang lebih mudah kehilangan kontrol sosial,
dak memiliki sama sekali rasa empati terhadap sehingga mereka lebih mudah melakukan tin-
penderitaan yang dirasakan oleh lawan. Hadir- dakan-tindakan yang a-sosial. Dalam kelom-
nya rasa empati terhadap penderitaan lawan di- pok, dorongan destruktif yang dimiliki dapat
anggap suatu “ketidak jantanan”(ummanly), dengan mudah dilepaskan, salah satu cara pele-
dan hal ini akan memperlemah keyakinan bah- pasannya adalah dengan perang.
wa pihak merekalah yang benar, dan lawanlah
B. Sebab-sebab kultural dan ideologis
yang salah.
Keyakinan yang berlebih-lebihan terha- Adanya perbedaan dalam pandangan dan
dap kekuatan militer menyebabkan perang an- nilai-nilai di antara anggota masyarakat nasio-
tarnegara yang terjadi ketika masing masing ne- nal maupun internasional secara riel maupun
gara merasa yakin akan keampuhan kekuatan potensial merupakan sumber perselisihan da-
militer yang dimilikinya. Masing masing nega- lam masyarakat. Sebetulnya tidak ada karakter-
ra yakin bahwa negaranya pasti menang di da- istik kebudayaan tertentu yang erat kaitannya
lam peperangan. Pikiran yang demikian sering- dengan batas-batas nasional, oleh karena itu pe-
kali hanya merupakan ilusi. rasaan adanya perbedaan kebudayaan se-
Disamping ke-enam hal tersebut di atas, ring menjadi penyebab yang lebih besar terjadi-
masih ada lagi suatu bentuk kesalahan pandang- nya perang dibanding dengan adanya perbe-
an (mispersepsi) yang dapat menimbulkan kon- daan kebudayaan itu sendiri.
flik internasional, yaitu cara berpikir “hitam- Perang Salib Katholik-Protestan atau pe-
putih.” Cara berpikir ini biasanya hanya meli- rang Hindu-Muslim adalah merupakan contoh-
hat sesuatu dari dua kemungkinan “kalau bu- contoh perang disebabkan oleh adanya perbe-
kan kawan saya, pasti lawan saya” atau ”kalau daan dalam sistem nilai, meskipun hal itu bu-
tidak Amerika, pasti Rusia.” Cara berpikir de- kanlah satu-satunya. Perang dalam masa revo-
mikian seringkali menimbulkan kesalahan di lusi Perancis adalah merupakan perang yang di-
da-lam melihat sesuatu masalah internasional. akibatkan adanya pertentangan antara kekuatan
Selanjutnya pendekatan Struktural me- demokrasi (liberty, egality, fraternity) melawan
ngatakan bahwa masalah pada struktur kehidu- kekutan ortodoks yang konservatif dan feo-
pan yang ada di masyarakat merupakan sumber dalistis. Kemudian Perang Dingin antara Uni
terjadinya konflik, kekerasan, atau peperangan. Soviet dan Amerika Serikat merupakan perang
Adanya strata di dalam kehidupan bermasyara- yang disebabkan oleh adanya perbedaan ideo-
kat dan kehidupan bernegara dapat menjadi logi kapitalisme melawan komunisme.
sumber pertikaian, terutama apabila strata ter-
C. Sebab-sebab ekonomi
sebut menjadi sumber ketidak-adilan. Stratifi-
kasi sosial, seperti golongan kaya, golongan Ada banyak pendapat tentang perang
me-nengah, dan golongan miskin dapat men- yang disebabkan oleh alasan-alasan ekonomi.
jadi sumber bentrokan dan tindakan kekerasan Pendapat pertama mengatakan bahwa perang
apabila terjadi ketidak-adilan dalam distribusi dilakukan dengan maksud meningkatkan taraf

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 117


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

hidup (standard of living) rakyatnya. Jepang, diperlukan maka kebutuhan akan perlindungan
Jerman dan Italia melakukan perang karena me- keamanan atas kepentingan mereka di daerah
reka merasa dirinya “the have not countries” tersebut menjadi semakin besar. Untuk itu ke-
yang membutuhkan daerah yang lebih luas gu- mudian diciptakanlah kekuasan-kekuasaan ko-
na menambah sumber penghasilan mereka se- lonial yang didukung dengan kekuatan senjata.
hingga rakyatnya akan hidup dengan lebih se- Sebagai akibatnya konflik kepentingan antara
jahtera. kaum kapitalis untuk mengeskploitir daerah ter-
Pendapat kedua mengatakan perang sebut melawan kepentingan rakyat yang ber-
terjadi karena adanya hambatan-hambatan da- sangkutan untuk melindungi hak-hak mereka
lam perdagangan. Tarif yang tinggi, pajak im- sering terjadi dan berakhir pada terjadinya pe-
por yang mahal, larangan dan pembatasan eks- rang. Kapitalisme akan memperluas daerah ko-
por, dan lain sebagainya akan mengakibatkan lonisasinya (kolonialisme) ke seluruh penjuru
terhambatnya perdagangan antara bangsa- dunia (imperialisme) apabila eksploitasi di dae-
bangsa yang ada di dunia yang akibatnya akan rah tersebut telah habis..
menimbulkan perang. Perang akan dapat dihin-
D. Sebab sebab politik
dari manakala hambatan-hambatan perdagang-
an tersebut dihapuskan sehingga tercipta sistem Perang terjadi karena tidak adanya lem-
perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan baga pemerintahan yang efektif. Dengan kata
mendapatkan jalinan hubungan ekonomi antar lain perang timbul karena adanya anarki, yaitu
bangsa di dunia dan hal ini akan merupakan ika- suatu kondisi di mana inidividu atau kelompok
tan kuat dipertahankannya perdamaian. individu mencoba hidup tanpa pemerintahan
Pendapat ketiga mengatakan bahwa pe- yang efektif. Keadaan demikian menyebabkan
rang timbul karena adanya dorongan untuk tiadanya kerjasama atau tiadanya kepastian un-
memperoleh keuntungan yang tinggi dari pen- tuk bertindak di antara unsur-unsur yang ada
jualan perlengkapan-perlengkapan perang. dalam masyarakat (nasional maupun internasi-
Adanya perang akan mengakibatkan perminta- onal) dan pada akhirnya menyebabkan terjadi-
an amunisi perang, senjata, tank, pesawat tem- nya perang.
pur, peluru kendali, dan lain sebagainya me- Perang mungkin juga terjadi karena ada-
ningkat dan hal ini akan sangat menguntungkan nya usaha dari setiap negara untuk selalu men-
para industrialis-industrialis perang (merchant dapatkan, memelihara, meningkatkan dan men-
of dead), bankir-bankir internasional dan kapi- demonstrasikan power mereka guna menjamin
talisme wall-street yang haus perang (war mo- keamanan nasionalnya. Di dalam keadaan tan-
nger). pa adanya lembaga supranasional ini maka seti-
Pendapat keempat disampaikan oleh ap negara harus mengandalkan kekuatan sendi-
kaum Marxis yang mengatakan bahwa perang ri di dalam usahanya untuk menjamin keaman-
sangat erat kaitannya dengan kolonialisme dan an nasionalnya yang besarnya diukur berdasar
imperialisme. Keduanya merupakan akibat kemampuannya untuk membeayai perang.
yang langsung dari adanya kapitalisme. Kapita- Negara-negara yang memiliki persama-
lisme telah menyebabkan terjadinya produksi an kepentingan atau setidak-tidaknya kepenti-
yang melebihi kebutuhan di dalam negeri. Over ngan mereka tidak bertentangan cenderung un-
produksi ini terjadi karena kaum kapitalis telah tuk membentuk aliansi apabila mereka merasa
membayar buruhnya dengan cara yang tidak power yang dimilikinya tidak cukup untuk me-
wajar sehingga mereka bisa menumpuk keun- nopang keamanan nasionalnya di dalam mela-
tungan. Untuk mengatasi over produksi mereka wan kekuatan negara lain. Sebaliknya, aliansi
terpaksa menyalurkan hasil produksinya ke semacam ini akan menimbulkan meningkatnya
daerah-daerah yang belum maju dan di daerah- rasa tidak aman atas diri negara lain dan oleh ka-
daerah tersebut mereka memanamkan modal- rena itu mereka juga akan berusaha untuk me-
nya serta mendapatkan bahan mentah guna ngimbanginya dengan meningkatkan power-
mendukung produksinya. Sejalan dengan se- nya, kalau perlu juga dengan jalan membangun
makin berkembangnya daerah tersebut sebagai aliansi. Dan karena power itu sifatnya relatif,
daerah pamasaran akan hasil-hasil produksinya maka tidak akan pernah ada satu negara pun
dan sumber penyediaan barang mentah yang atau kelompok negara pun yang merasa telah

118 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

terjamin keamanan nasionalnya apabila power masih diguncang oleh kenangan pahit Perang
yang mereka miliki secara riil bukan yang pa- Dunia I telah mengadopsi suatu pendekatan
ling besar. Jadi, ketakutan dan kekhawatiran su- yang bersifat moralistik-legalistik, yang me-
atu negara atas adanya ancaman dari negara lain mandang perang sebagai suatu kecelakaan atau
terhadap keamanan nasionalnya dan sampai ak- suatu dosa. Sebagai suatu kecelakaan karena
hirnya terjadi perang adalah merupakan akibat perang terjadi sebagai akibat dari tiadanya lem-
dari usaha sia-sia untuk mencapai keamanan itu baga internasional yang efektif yang menyedia-
sendiri. kan alternatif-alternatif yang berarti bagi para
Namun, sangat sulit untuk menentukan pemimpin negara untuk saling berargumentasi
apakah suatu perang disebabkan oleh alasan secara langsung. Sebagai suatu dosa karena pe-
psikologis, kultural ideologis, ekonomi ataupun rang telah mempertontonkan sisi gelap dari sifat
politik. Yang jelas, di dunia ini tidak ada sebuah manusia dan oleh karena itu perang apapun ben-
perang pun yang mempunyai sebab tunggal ka- tuk dan manifestasinya harus segera diakhiri
rena perdamaian adalah merupakan keseim- de-ngan sekuat tenaga.
bangan dari banyak faktor yang ada dalam ma- Pandangan kaum idealis (utopian) yang
syarakat. mendominasi masa antara PD I dan PD II ini
Perdamaian yang memiliki derajad yang selanjutnya mengatakan bahwa perang terjadi
berbeda-beda adalah suatu kondisi di mana in- karena adanya perjanjian-perjanjian rahasia an-
dividu atau kelompok individu dalam suatu ma- tarnegara dan jika setiap warganegara dari seti-
syarakat termasuk masyarakat dunia terbebas ap negara tersebut menyadari maka perjanjian
dari penggunaan kekuatan fisik di dalam ber- yang sedemikian ini tidak akan bisa ditolerir.
hubungan satu dengan yang lain. Sebab-sebab Kaum idealis, oleh karena itu, menyerukan di-
perang adalah senantiasa berupa elemen-ele- akhirinya diplomasi rahasia serta mendesak
men ataupun kekuatan-kekuatan fisik oleh indi- partisipasi masyarakat dalam perumusan dan
vidu atau kelompok individu atau kelompok penyelenggaraan politik luar negeri (Maghroo-
masyarakat atau negara untuk melawan yang ri & Ramberg, 1982: 10).
lain. Kaum idealis juga mendesak perlunya
dibentuk organisasi internasional yang akan
Berbagai Teori Menghapus Perang
menyediakan suatu forum bagi negara-negara
Meskipun rumit dan tidak mudah, manu- untuk merundingkan perbedaan-perbedaan
sia tidak pernah jera maupun lelah untuk beru- yang terjadi di antara mereka. Program idealis
paya menghapuskan perang dari muka bumi. adalah ditinggalkannya “sistem perimbangan
Perang telah menggugah kesadaran manusia kekuatan” (balance of power system) dan
akan perlunya mencari solusi yang tepat dan menggantinya dengan “sistem keamanan ber-
memadai guna mencegahnya atau mengontrol- sama” (collective security system) yang akan
nya apabila sudah terlanjur terjadi. Kesadaran mewajibkan negara-negara mengurangi kesiap-
tersebut salah satunya telah membawa ke arah an militernya sampai ke tingkat yang paling
pengembangan studi ilmu hubungan internasio- rendah, dan kemudian menyandarkan keaman-
nal sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri di ber- an nasional mereka kepada kemampuan militer
bagai universitas di Amerika Serikat (1920) gabungan dari masyarakat dunia guna melawan
yang kemudian meluas ke seluruh penjuru du- agresi bersenjata yang mungkin terjadi. (Magh-
nia. Dari pengembangan studi ilmu hubungan roori & Ramberg, 1982: 10)
internasional ini kemudian muncul berbagai pe- Dengan kata lain, mereka menghendaki
mikiran tentang perang, terutama tentang ba- dibentuknya “pemerintahan dunia” (world go-
gaimana menghindari atau menghapuskannya vernment) yang dilengkapi dengan kewenang-
dari muka bumi. an untuk mengadili dan kekuatan pemaksa yang
memadai untuk menyelesaikan setiap perseng-
A. Perspektif Idealis
ketaan yang terjadi di antara negara-negara. Ide
Para tokoh-tokoh idealis terkemuka se- kaum idealis ini kemudian diwujudkan dengan
perti Henri de Saint-Simon, William Ladd, Ric- pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) di ta-
hard Cobden, Mahatma Gandhi, Woodrow Wil- hun 1920.
son, Bertrand Russel dan lain sebagainya yang Cita-cita kaum idealis adalah jelas yaitu

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 119


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

terbentuknya suatu tata dunia dan tata kehidup- sikan sebagai suatu keadaan bersama yang dija-
an yang penuh dengan kedamaian (fulfil with min oleh perimbangan kekuatan yang bertan-
peace), dan hal itu akan dapat terwujud hanya ding (Jurnal Luar Negeri, Tahun I-Desember
apabila manusia/negara tunduk pada aturan- 1983:35) Perimbangan kekuatan merupakan
aturan, baik itu aturan yang memiliki daya pak- suatu rancangan pengaturan yang baik. Apabila
sa (punishment) maupun yang sifatnya sukare- kekuasaan terbagi seimbang di antara negara-
la. Ketika manusia/negara tunduk kepada suatu negara, maka akan tidak ada satu negara pun
aturan, dan juga norma-norma universal, maka yang mencapai hegemoni internasional (Doug-
seluruh manusia/negara akan bersinergi demi herty & Platzgraf Jr, 1983: 78). Cita-cita tentang
meraih kepentingan dan cita-cita bersama (http: perdamaian dan keamanan internasional seba-
//phyto.wordpress.com/2007/09/17/damai- gaimana dimaksudkan oleh kaum realis dikem-
dan-perang/). bangkan berdasarkan pada konsep-konsep ke-
kuatan; perdamaian seolah-olah bisa dijamin
B. Perspektif Realis
apabila tercipta suatu perimbangan kekuatan,
Segera sesudah berakhirnya Perang Du- baik sebagai potensi daya tempur maupun po-
nia II suatu generasi baru ilmuwan pragmatis tensi daya tangkal (Jurnal Luar Negeri, Tahun
muncul dengan menamakan dirinya kaum real- I-Desember 1983:35).
is, seperti Edward H. Carr, Hans J. Morgenthau, Pendek kata, perang tak akan pernah ter-
Frederick Schuman, Nicholas Spykman, Ken- jadi apabila terdapat keseimbangan kekuatan
neth Thompson dan lain sebagainya. Mereka ini (balance of power) di antara kedua belah pihak.
pada prinsipnya menolak konsep moralistik-le- Jika salah satu pihak lebih lemah dibanding pi-
galistik dalam diplomasi dan sebaliknya mene- hak lain, maka genderang perang sudah pasti
kankan pada pendapat bahwa kebijakan yang akan ditabuh oleh pihak yang lebih kuat. Nase-
didasarkan pada power atau kekuatan akan hat yang diberikan oleh kaum realis kalau kita
mampu mewujudkan keamanan global. (Cou- menghendaki perdamaian adalah bersiaplah
lumbis & Wolfe, 1978: 4) untuk perang: “If you want to keep peaceful in
Teori-teori kaum realis - yang kebanyak- the world, prepare yourself to war!” Bagi para
an merupakan kritik terhadap pandangan kaum pemikir realis, tata nilai perdamaian yang di-
idealis - sangat menjunjung tinggi hak-hak ne- agung-agungkan oleh negara dan juga oleh lem-
gara nasional yang berdaulat sebagai unit dasar baga-lembaga internasional seperti LBB atau
analisis untuk mengejar power serta mengan- PBB hanyalah omong kosong belaka. http://
dalkan pada balance of power system guna me- phyto.wordpress.com/2007/09/17/damai-dan-
rintangi kompetisi yang terjadi di antara negara- perang/).
negara.
Hans. J. Morgenthau dalam bukunya Po- C. Perspektif Liberalisme Klasik
litics Among Nations mengatakan bahwa: “As Immanuel Kant (1795) secara sistematik
of all politics, international politics is of neces- mengartikulasikan peran positif kemerdekaan
sity power politics,” bahwa pengejaran nation- politik dalam mengeliminasi perang dan meng-
al power merupakan dorongan yang bersifat usulkan bahwa republik konstitusional perlu di-
alami (natural drive) dan bahwa negara yang ti- bangun untuk menjamin perdamaian yang uni-
dak berusaha meningkatkan power-nya sebe- versal. Menurut Kant “semakin merdeka rak-
narnya justru akan mengundang perang. Selain yat ikut memerintah kehidupannya, semakin
itu masyarakat negara yang terdiri dari aktor- banyak kekuasaan pemerintah dibatasi secara
aktor individu yang sedang berjuang untuk me- konstitusional, semakin besar pemimpin ber-
ningkatkan power, pengaruh dan keamanannya tanggungjawab melalui pemilihan umum yang
yang bersifat mendasar akan secara alamiah di- bebas terhadap rakyatnya, maka para pemim-
tarik kedalam suatu pesekutuan yang bersifat pinnya akan semakin lebih terkendali dalam
sementara yang secara bergantian akan cende- memutuskan perang.”
rung untuk memaksakan balance of power ter- Kaum liberal, seperti Kant, de Montes-
tentu di antara blok-blok negara yang saling quieu, Thomas Paine, Jeremy Bentham, John
bermusuhan. (Mahgroori & Ramberg, 1982:10) Stuart Mill, dan lain sebagainya, percaya bahwa
Bagi kaum realis, perdamaian dipersep- ada harmoni kepentingan yang bersifat alami di

120 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

antara bangsa-bangsa di dunia, dan bahwa per- masing-masing berusaha keras untuk meme-
dagangan bebas akan memfasilitasi terbentuk- nangkan perang jika perang terjadi; masing-
nya harmoni ini dan mempromosikan perdama- masing memerlukan keberhasilan kebijakan
ian. Menurut keyakinan mereka, aristokrasi untuk bisa menduduki jabatan lagi; masing-ma-
monarki (monarchical aristocracies) memiliki sing harus percaya di awal bahwa kemungkinan
kepentingan tetap “vested interest” untuk me- memenangkan perang sangatlah tinggi. Bila pe-
lakukan perang (R.J. Rummel, http://www. fire- mimpin demokrat tidak berpendapat bahwa
armsandliberty.com/rummel.war.html). mereka pasti mendekati kemenangan, maka
mereka memilih untuk melakukan negosiasi
D. Perspektif Ekonomi Politik
daripada berperang.
Bruce Bueno de Mesquita dalam tulisan- Model ekonomi politik menyimpulkan
nya berjudul “Game Theory, Political Econo- bahwa para pemimpin negara demokrasi yang
my, and the Evolving Study of War and Peace” saling bermusuhan cenderung lebih suka berun-
(American Political Science Review, Vol. 100, ding daripada berkelahi. Sebaliknya, karena ti-
No. .4, Nov. 2006) mengatakan bahwa perspek- dak menghadapi rintangan seperti yang dihada-
tif ekonomi politik yang menekankan pada ke- pi para pemimpin demokratis, khususnya dalam
pentingan dan insentif politik dalam negeri, me- proses pembuatan keputusan, para pemimpin
nemukan logika yang membedakan politik luar otoriter lebih siap untuk berperang bahkan se-
negeri dari para pemimpin yang demokratis dan kalipun kemungkinan untuk menang sangat ke-
yang tidak demokratis (otoriter). Kekalahan da- cil. Tampaknya mereka lebih suka membelanja-
lam perang, sebagai misal, merupakan penga- kan sumber kekayaan negara untuk membeayai
laman yang mahal bagi masyarakat dan oleh ka- perang meskipun dengan resiko kalah, yang
rena itu lebih menyakitkan bagi pemimpin de- memberi kesempatan bagi para kroninya mem-
mokratis yang akuntabel, dibanding bagi pe- peroleh ganjaran untuk kepentingan pribadi-
mimpin monarki, otokratis atau junta. nya, daripada membagikan sumber kekayaan
Berkaitan dengan beaya politik dari sua- negara untuk kesejahteraan para pendukung-
tu kekalahan, pemimpin demokrat hanya mau nya.
berperang apabila mereka percaya kesempatan Berdasar pada realitas tersebut upaya un-
untuk menang tinggi dan atau apabila semua tuk mengeliminasi perang, menurut pandangan
upaya negosiasi menemui kegagalan. Dikare- ekonomi politik, dapat dilakukan melalui perlu-
nakan pemimpin otokratis tetap menduduki ja- asan demokrasi ke seluruh penjuru dunia..
batan atau berhenti menduduki jabatan bukan
E. PerspektifAhli Psikologi
karena dukungan rakyat, maka kekalahan da-
lam perang bagi mereka sering secara politik ti- Apabila telah diyakini bahwa perang ter-
daklah dianggap begitu mahal dibanding bagi jadi karena adanya kelompok-kelompok manu-
pemimpin demokrat. Hal yang demikian ini sia yang merasa kepentingannya terancam, ma-
membuat para pemimpin otokratis lebih suka ka jalan untuk menghindari peperangan itu tia-
berperang walaupun akibatnya mungkin akan da lain kecuali melenyapkan adanya keteran-
membuat negaranya menjadi lebih miskin. caman tersebut. Oleh karena perasaan terancam
Karena para pemimpin demokrat selektif seringkali timbul oleh mispersepsi terhadap si-
dalam melakukan perang, mereka pada umum- tuasi yang sebenarnya, maka usaha untuk men-
nya berhasil memenangkan perang yang di- ciptakan perdamaian harus diarahkan untuk
inginkannya. Selama dua abad terakhir negara- menghilangkan mispersepsi ini:
negara demokrasi berhasil memenangkan 92 1) Orang-orang (kelompok atau negara)
persen dari perang yang dilakukan, sementara harus berusaha untuk menyadari bahwa misper-
negara-negara otokratis hanya berhasil meme- sepsi akan terjadi apabila ada ketertutupan di
nangkan 60 per sen dari perang yang mereka la- dalam komunikasi. Usaha-usaha antar kelom-
kukan. pok atau antarnegara untuk membuka komuni-
Jika dua orang demokrat terlibat perseli- kasi perlu dilakukan guna mencapai saling pe-
sihan, perang tidak mungkin terjadi. Masing- ngertian (persepsi yang akurat). Program-prog-
masing pemimpin demokrasi memiliki insentif ram pertukaran pelajar, pemuda, mahasiswa an-
yang sama yang didorong secara kelembagaan: tarnegara atau saling kunjung mengunjungi pe-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 121


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

jabat pemerintah antarnegara dapat digunakan Pasifis menentang Doktrin tentang Perang yang
sebagai sarana. Sah dengan argumentasi bahwa doktrin itu me-
2) Penciptaan sesuatu yang merupakan mang membela perlindungan dan kesucian nya-
kepentingan bersama. Konsep “Super Ordinate wa orang-orang yang tidak bersalah, namun ke-
Goal” dapat digunakan untuk mengurangi kon- nyataannya dalam suatu peperangan nyawa
flik antar kelompok. Usaha untuk menciptakan orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat di-
“Super Ordinate Goal” telah dibuktikan oleh jamin perlindungannya. Karenanya, bila nyawa
Perancis dan Jerman; sebelum adanya Masya- orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat di-
rakat Ekonomi Eropa yang kemudian berubah jamin, maka perang dalam bentuk apapun tidak
menjadi Uni Eropa yang bertujuan untuk me- dapat dianggap sah dengan alasan apapun juga
ningkatkan kepentingan bersama sesama nega- (http://id.wikipedia.org/wiki/Doktrin_tentang_
ra anggota, Jerman dan Perancis telah berpe- Perang_yang_Sah).
rang sebanyak tiga kali. Setelah kedua negara Bagi kaum pasifis, konsep moral dapat
ini bergabung ke dalam MEE, mereka hidup da- diterapkan secara bermafaat dalam kehidupan
mai tanpa peperangan (http://ancok.staff.ugm. masyarakat dunia. Tidak masuk akal memperta-
ac.id/h-17/psikologi-dan-perdamaian.html). nyakan apakah perang itu adil atau tidak: itulah
isu yang penting dan bermakna. Tetapi hasil da-
F. Doktrin tentang Perang yang Sah
ri penerapan normatif, dalam hal perang, adalah
Sementara para pemikir idealis, realis, li- selalu bahwa perang tidak seharusnya dilaku-
beral klasik, ekonomi politik, psikolog, dan pa- kan. Jika teori perang yang sah dan adil kadang-
sifis berbicara tentang bagaimana menghindari kadang bersifat permisif dalam hal perang, pa-
perang, muncul doktrin lain yang berbicara ten- sifisme selalu melarang perang. Bagi kaum pa-
tang apa yang harus dilakukan manakala suatu sifis, perang adalah selalu salah. Selalu ada cara
negara terpaksa harus berperang. Doktrin ini di- terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah da-
sebut sebagai doktrin perang yang sah. ripada dengan melalui perang (Stanford
Doktrin tentang Perang yang Sah adalah Encyclopedia of Philosophy, http://www.
upaya untuk membedakan antara cara-cara science.uva.nl/ ~seop/entries/war/).
yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat
dibenarkan dalam penggunaan angkatan ber- Evaluasi Kristis dan Kesimpulan
senjata yang terorganisasi. Doktrin Perang yang Setiap manusia/negara pasti mengingin-
Sah membahas moralitas penggunaan kekuatan kan kehidupan yang aman dan damai, terhindar
dalam tiga bagian, yaitu: (1) kapan suatu pihak dari malapetaka perang. Akan tetapi kalau ter-
dapat dibenarkan dalam menggunakan angkat- paksa, ada banyak di antara mereka yang rela
an bersenjatanya atau dengan kata lain kapan berkorban untuk berperang guna mempertahan-
suatu negara diperbolehkan untuk berperang kan hak dan atau nilai-nilai kebenaran yang di-
(keprihatinan tentang jus ad bellum), (2) cara- miliki dan diyakini. Itu berarti bahwa potensi
cara apa yang harus dilakukan dalam menggu- manusia/negara untuk melakukan perang tetap-
nakan angkatan bersenjata itu atau dengan kata lah ada dan tidak dapat dihapuskan.
lain bagaimana suatu negara harus berperang Berbagai pemikiran tentang bagaimana
(keprihatinan tentang jus in bello), dan (3) ba- mencegah dan atau mengelola perang telah ber-
gaimana suatu peperangan dapat diakhiri de- kembang begitu luas, masing-masing memiliki
ngan adil dan perjanjian perdamaian dapat dica- kelemahan dan kekuatannya sendiri-sendiri. Ti-
pai, sementara penjahat-penjahat perang juga dak ada suatu konsep tunggal yang dapat digu-
dapat diadili atau dengan kata lain bagaimana nakan untuk menyelesaikan semua persoalan
suatu negara harus menghentikan suatu perang tentang perang yang terjadi di dunia ini.
(keprihatinan tentang jus post bellum) (http://i 1. Pembentukan organisasi regional
d.wikipedia.org/wiki/Doktrin_tentang_ maupun internasional sebagaimana direkomen-
Perang_yang_Sah). dasikan kaum idealis dalam batas-batas tertentu
cukup efektif untuk mencegah terjadinya pe-
G. Perspektif Pasifis rang, seperti European Union (Juli 1947) yang
Pasifisme berkeyakinan bahwa perang telah mempersatukan negara-negara Eropa Ba-
seperti apapun secara moral tidak sah. Kaum rat sehingga, paling tidak untuk kurun waktu le-

122 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

bih dari 50 tahun terakhir, Eropa Barat terhindar Selain itu, adanya anggapan bahwa un-
dari malapetaka perang. Begitu juga pemben- tuk memelihara perdamaian diperlukan suatu
tukan ASEAN (Agustus 1967) yang dinilai te- kemampuan, baik kemampuan untuk merinta-
lah cukup berhasil menjaga stabilitas politik ngi ataupun mengatasi kekuatan yang ada da-
dan keamanan di kawasan Asia Tenggara untuk lam masyarakat guna menjaga keselamatan ni-
kurun waktu yang cukup lama. lai-nilai lainnya; dan bahwa memelihara ke-
Namun sebaliknya, SAARC (South Asi- amanan berarti mengontrol dan mengorganisir
an Association for Regional Cooperation) yang power, untuk itu diperlukan kapasitas untuk
dibentuk Desember 1985 dan beranggotakan mempengaruhi alokasi dari banyak nilai serta
Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Mal- kapasitas untuk mempengaruhi alokasi dari ba-
dives, Nepal, Pakistan, dan Srilanka hingga saat nyak tujuan, (Karl W. Deutsch 1968: 170) telah
ini belum mampu menciptakan kawasan yang menumbuhkan keyakinan di kalangan penga-
aman dan damai seperti yang dicita-citakan. nut faham realis akan perlunya kekuatan dunia
Sampai saat ini, pergolakan bersenjata dan pe- yang hegemonik (hegemonic power), yaitu sua-
rang saudara masih terjadi di kawasan tersebut. tu kekuatan yang memiliki kemampuan untuk
Begitu juga PBB, sekalipun selalu dipro- melakukan pengorbanan atas kepentingan
tes karena sering dijadikan sebagai alat politik jangka pendeknya guna mencapai kepentingan
luar negeri negara-negara adidaya, dalam hal jangka panjang. (Paul F. Diehl 1989: 218) Akan
tertentu juga telah berhasil menjalankan tugas- tetapi dalam kenyataannya, hegemonic power
nya. Kalaupun tidak sebagai peace maker, PBB telah sering mengakibatkan terjadinya kete-
telah berhasil menjalankan tugasnya sebagai gangan karena sikap dan tindakannya yang cen-
peace keeper di beberapa wilayah konflik di du- derung bersifat ”double standard.”
nia, seperti di Libanon, Kongo, Bosnia, dan lain 3. Liberalisasi perdagangan atau perda-
sebagainya. Namun di daerah di mana kepenti- gangan bebas (free market) sering direkomen-
ngan negara adidaya sangat besar, PBB telah dasikan sebagai wahana untuk menjauhkan du-
gagal menjalankan fungsinya. Sebagai misal, nia dari malapetaka perang. Dalam batas-batas
PBB telah gagal mencegah Amerika Serikat be- tertentu perdagangan bebas (free market) bisa
serta dengan sekutunya melakukan tindakan menimbulkan saling ketergantungan (interde-
unilateral dengan menyerang dan menduduki pendensi) di antara bangsa-bangsa di dunia, in-
Irak dengan dalih untuk mencari dan menghan- terdependensi akan bisa memunculkan harmo-
curkan senjata pemusnah masal yang ternyata ni, dan harmoni pada akhirnya akan mencipta-
tidak terbukti. Selain itu, PBB juga tidak berha- kan perdamaian.
sil memaksa Israel mengundurkan diri dari wi- Akan tetapi di dalam prakteknya perda-
layahArab yang diduduki sejak PerangArab-Is- gangan bebas tidak selalu bisa memunculkan
rael tahun 1967. harmoni. Robert Gilpin dalam bukunya The
2. Gagasan pemeliharaan perdamaian Political Economy in International Relations
dengan lebih mengandalkan ”perimbangan ke- (1987) mengatakan di dunia yang terbagi di an-
kuatan” (balance of power) sebagaimana dire- tara banyak kelompok atau negara yang berbe-
komendasikan oleh kaum realis dalam batas- da dan sering saling bertentangan, maka pasar
batas tertentu memang dapat meredam terjadi- (meliputi perdagangan, modal dan investasi) te-
nya konflik bersenjata. Akan tetapi di dalam lah memiliki pengaruh yang sangat berbeda de-
prakteknya, balance of power sering dimaknai ngan yang dikatakan para teoritikus ekonomi.
bukan sebagai keadaan di mana kekuatan be- Kegiatan-kegiatan ekonomi akan mempenga-
nar-benar terbagi secara seimbang. Yang terjadi ruhi politik, sosial, dan kesejahteraan ekonomi
justru setiap negara berupaya untuk meningkat- dari berbagai kelompok masyarakat dan negara
kan kekuatannya hingga sampai titik di mana secara secara berbeda-beda (Gilpin 1987: 22)
kekuatan yang dimiliki dirasakan lebih unggul Selain itu pula, ekonomi pasar juga akan secara
daripada kekuatan yang dimiliki negara lain. signifikan mempengaruhi distribusi kekayaan
Keadaan ini berakibat terjadinya perlombaan dan kekuasaan di dalam atau di antara masyara-
senjata dan perebutan daerah pengaruh (sphere kat. Pertumbuhan kekayaan dan penyebaran ak-
of influence) yang tak pernah kunjung berhenti, tivitas ekonomi cenderung tidak merata, di satu
khususnya di antara negara-negara adidaya. pihak ada negara yang diuntungkan dan di pi-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 123


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

hak lain ada negara yang dirugikan. (Gilpin 23) nyatakan kemarahannya bahkan disertai an-
Keadaan semacam ini bukannya memunculkan caman.
harmoni, akan tetapi justru sebaliknya konflik Respons yang berbeda para pemimpin
dan ketegangan. dunia Barat terhadap kasus karikatur di surat
4. Pemeliharaan perdamaian dan kea- kabar Jyllands-Posten dan pernyataan Iran ten-
manan melalui perluasan demokrasi ke seluruh tang holocaust memperjelas adanya kebijakan
penjuru dunia akan berdampak baik apabila di- ”double standard” di kalangan pemimpin du-
lakukan melalui proses transformasi secara da- nia Barat. Sangat sering terjadi, kebijakan
mai di antara elemen-elemen masyarakat yang ”double standard” yang dipraktekkan dunia
ada di masing-masing negara yang berkepenti- Barat bukannya membantu upaya pemeliharaan
ngan. Apabila proses demokratisasi, termasuk perdamaian dan keamanan dunia, akan tetapi
penerapan HAM, dilakukan secara paksa, apa- justru sebaliknya, memicu terjadinya tindak ke-
lagi digunakan sebagai alat politik luar negeri kerasan lainnya, salah satunya adalah dalam
negara tertentu guna mencapai kepentingannya bentuk ”terrorisme.”
sendiri, pasti akan menimbulkan ketegangan 5. Mispersepsi telah dipandang oleh para
dan berakhir pada terjadinya perang. ahli psikologi sebagai sumber terjadinya pe-
Di dunia yang sangat heterogen ini tidak rang. Untuk mencegah terjadinya perang maka
ada pemahaman yang sama akan makna dari ka- mispersepsi yang terjadi di antara masyarakat
ta ”demokrasi” dan ”kebebasan.” Hampir di dunia, utamanya di antara para pemimpin du-
masing-masing negara, demokrasi dan atau nia, perlu dihapuskan. Kesulitannya adalah
kebebasan mempunyai ukuran yang berbeda- bahwa mispersepsi sering kali sengaja dimun-
beda. Di negara-negara Islam, pemvisualisasi- culkan sebagai justifikasi atas kebijakan yang
an Nabi Muhammad SAW dalam bentuk kari- telah maupun akan diambil dalam upaya untuk
katur dipandang tidak hanya sebagai penghina- mencapai tujuan nasional negara. Tuduhan-tu-
an akan tetapi juga pelanggaran terhadap nilai- duhan bahwa Irak di bawah Saddam Hussein te-
nilai demokrasi dan kebebasan itu sendiri. lah membuat atau menyimpan senjata pemus-
Perlu diketahui bahwa pada tanggal 30 nah massal, bahwa program nuklir Iran dituju-
September 2005, surat kabar terbesar Denmark, kan bukan untuk kepentingan damai akan tetapi
Jyllands-Posten, telah memuat 12 karikatur Na- untuk kepentingan pembuatan senjata nuklir,
bi Muhammad SAW, yang kemudian diikuti bahwa pengaruh Iran di Timur Tengah akan me-
oleh surat kabar lainnya seperti Magazinet, dari nguat apabila pasukan Amerika Serikat ditarik
Norwegia, 10 Januari 2006; surat kabar Jerman, dari Irak, dan lain sebagainya, merupakan mis-
Die Welt; surat kabar Perancis, France Soir dan persepsi yang sengaja dihembus-hembuskan
surat kabar lain di Eropa (http://id.wikipedia. untuk menyelubungi kepentingan-kepentingan
org/wiki/Karikatur_Nabi_Muhammad_Jylland yang berada di balik tindakannya.
s-Posten). Keterkaitan antara Perang Irak dengan
Kebebasan bukan berarti setiap orang di- kepentingan-kepentingan ekonomi Amerika
perbolehkan berbuat apa saja termasuk melem- Serikat telah dicoba dibeberkan oleh komentat-
par tinja ke muka orang lain dan kemudian me- or politik Naomi Klein dan Antonia Juhasz. Di-
ngatakan itu dilakukan demi kebebasan. Kalau jelaskan secara rinci bahwa pendudukan Irak
perluasan demokrasi dan kebebasan dibiarkan telah memungkinkan Amerika Serikat memiliki
berkembang menuju ke sana, maka bukan per- kewenangan melakukan restrukturisasi ekono-
damaian dan keamanan yang diperoleh, akan mi Irak yang didasarkan pada prinsip-prinsip
tetapi ketegangan dan konflik fisik. neo-liberal yang ketat. Majalah The Economist
Sangat sering terjadi dunia Barat mem- mengatakan bahwa untuk memenuhi daftar ha-
praktekkan kebijakan ”double standard” da- rapan para investor asing dan agen-agen donor
lam masalah demokrasi dan kebebasan. Seba- yang menghendaki pengembangan pasar di
gai contoh, ketika Presiden Iran Ahmadinejad Irak, pemerintah Washington telah mengada-
mengatakan bahwa ”holocaust” atau pemus- kan langkah-langkah ke arah privatisasi 200
nahan etnis Yahudi oleh tentara Nazi Jerman di perusahaan negara Irak yang memungkinkan
masa Perang Dunia II hanyalah omong kosong 100% sahamnya dimiliki oleh pemilik-pemilik
belaka, pemimpin Israel dan Presiden Bush me- modal asing, diluar perusahaan minyak dan

124 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

sektor-sektor pengilangan, ”for full repatriat- lam kehidupan umat manusia, perang selalu ter-
ion of profits, and for a 15% cap on corporate jadi dalam suatu keadaan di mana manusia ber-
taxes.” (http://www.why-war.com/news/2004/ beda pendapat tentang kapan dan di mana per-
10/01/arethewa.html). damaian harus dimulai. Oleh karena itu, peran
6. Pada akhirnya, mengandalkan pemeli- seorang pemimpin negara yang terkait dalam
haraan perdamaian dan keamanan dunia mela- perang akan sangat menentukan keberhasilan
lui enforcement of international laws atau pene- upaya mewujudkan perdamaian. Sebagai con-
gakkan hukum internasional juga belum meru- toh, sekalipun sebahagian besar rakyat Amerika
pakan jaminan. Di dunia sekarang ini telah ter- Serikat sendiri menghendaki agar Amerika Se-
dapat banyak rejim internasional yang meng- rikat segera mengakhiri pendudukannya atas
atur kehidupan masyarakat maupun negara, se- Irak, Presiden George W. Bush bersikukuh un-
perti DK-PBB (keamanan), IMF (neraca pem- tuk melanjutkan perang dengan alasan bahwa
bayaran), WTO (perdagangan), ILO (perburuh- sekarang ini belumlah saatnya bagi dia untuk
an), IAEA (nuklir), ICAO (penerbangan sipil), mengakhiri perang dan memulai perdamaian.
dan lain sebagainya. Hasil pooling The New York Times dan CBS
Rejim internasional didefinisikan oleh News (20-22 Juli 2007): hanya 25% responden
Stephen D. Krasner dalam bukunya Internati- yang menyatakan puas terhadap kinerja Presi-
onal Regimes (1983) sebagai ”prinsip-prinsip, den Bush di Irak, sedangkan 69% menyatakan
norma-norma, aturan-aturan, dan prosedur tidak puas; sementara itu jumlah responden
pembuatan keputusan di sekitar mana harapan- yang menghendaki agarAmerika Serikat segera
harapan para aktor saling berkonvergensi dalam keluar dari Irak meningkat dari 28% menjadi
suatu area tertentu dalam hubungan internasio- 51%).
nal.” (Krasner 1983:3). Pada akhirnya, dengan meminjam kata-
Rejim internasional yang biasanya dalam kata bijak Karl W. Deutsch dari Harvard Uni-
bentuk organisasi internasional selain bisa versity: "War, to be abolished, must be under-
berfungsi sebagai pengubah secara sistematik stood. To be understood, it must be studied,”
terhadap perilaku negara, atau sebagai aktor di (http://en.wikipedia.org/wiki/Quincy_Wright),
panggung internasional, juga bisa berfungsi se- tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan
bagai instrumen kebijakan luar negeri suatu ne- sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi
gara. Sekalipun demikian, tidak semua negara setiap upaya mencegah dan atau mengakhiri pe-
mempunyai kemampuan yang sama untuk rang serta mempromosikan perdamaian.
menjadikan rejim internasional sebagai alat
politik luar negerinya guna mencapai kepenti-
ngan nasionalnya. Keadaan ini sering menye- Daftar Pustaka
babkan prinsip-prinsip, norma-norma, aturan- Are the War and Globalization Really Connect-
aturan, dan prosedur pembuatan keputusan da- ed? http://www.why war.com/news/
lam rejim internasional lebih banyak mengabdi 2004/10/01/arethewa.html.
untuk kepentingan negara-negara besar atau ne- Clausewitz, C. (1995). On War, trans. by A. Ra-
gara-negara yang secara potensial memiliki ak- poport. Harmondsworth, UK: Penguin.
ses untuk melakukan hal itu. Couloumbis, T.A and Wolfe, J.H. (1078). Intro-
Dengan melihat kelemahan maupun ke- duction to International Relations: Power
kuatan dari masing-masing pendekatan, maka and Justice. Englewood Cliff: Prentice-
penerapan satu pendekatan tertentu tidaklah cu- Hall.
kup untuk melakukan pencegahan dan pengelo- Damai dan Perang, http://phyto.wordpress.
laan perang atau management of conflict. Ke- com/2007/09/17/ damai-dan-perang/.
cenderungan yang terjadi adalah mengadopsi Brown, D. Study Claims Iraq's 'Excess' Death
beberapa pendekatan secara bersamaan dengan Toll Has Reached 655,000, Washington
memberikan penekanan pada satu atau dua pen- Post, October 11, 2006, p. A12.
dekatan yang dianggap paling sesuai dengan si- Deutsch, K.W. (1968). The Analysis of Interna-
tuasi dan kondisi yang ada di masing-masing tional Relations. Englewood Cliff: Pren-
wilayah. tice Hall.
Sebagai fenomena yang spektakuler da- Djamaluddin Ancok, Psikologi dan Perdamai-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 125


Totok Sarsito : Perang dalam Tata Kehidupan Antarbangsa

an, http://ancok. staff.ugm.ac.id/h-17/psi- List of civil wars. http://en.wikipedia.org/wiki/


kologi-dan perdamaian.html. List_of_civil_wars.
Doktrin Tentang Perang yang Sah, http://id.wi- Maghroori, R. & Ramberg, B. (1982). Global-
kipedia.org/wiki/ Doktrin_tentang_pe- ism versus Realism: International Relat-
rang_yang_sah. ions Third Debate. Colorado: Westview
Dougherty, J.& Platzgraf Jr, R. (1978). Con- Press.
tending Theories of International Relat- May, R.J.R. Political Systems, Violence, and
ions, Philadelphia: J.B. Lippincot. War. http://www.firearmsandliberty.com/
Gelven, M. (1994). War and Existence. Phila- rummel.war.html.
delphia: Pennsylvania University Press. Mesquita, B.B.(2002). Game Theory, Political
Gilpin, R. (1987). The Political Economy of In- Economy, and the Evolving Study of War.
ternational Relations. Princeton: Prince- American Political Science Review, Vol.
ton University Press. 100, no. 4, Nov 2002, pp. 637-641.
Hanley, C.J., Iraq costs US$12 B per month. Military Fatalities: By Time Period, http://ica-
http://news.yahoo.com/s/ap/20080309/ap sualties.org/oif/.
_on_re_mi_ea/iraq_war costs. Masoed, M. (1994). Ilmu Hubungan Internasi-
Hasan, F. Upaya Pemeliharaan Perdamaian Da- onal, Jakarta: LP3ES.
lam Penyelesaian Sengketa Internasional, Morgenthau, H. (1973). Politics Among
Jurnal Luar Negeri, Badan Litbang Nations 5th ed.. NewYork: Knopf.
Deplu, tahun I, no. 2, Des1983, pp. 19-44. Ongoing conflicts. http://en.wikipedia.org/
Hass, E.B. (1989). Conflict Management and wiki/Ongoing_conflicts.
International Organizations, 1945-1981, Sarsito, T. (1993). Teori Politik Internasional
dalam Diehl, P.F. (ed). The Politics of In- Hans J. Morgenthau: Suatu Analisis dan
ternational Organizations: Patterns and Kritik. Solo: UNS Press.
Insights. Chicago: Dorsey Press, pp. 189- Pentland, C. (1989). International Organizat-
223. ions and Their Roles, dalam Diehl, P.F.
Jongman, B. & Dennen, J.V. The Great War Fi- (ed). The Politics of International Organi-
gures Hoax: an Investigation in Polemo- zations: Patterns and Insights. Chicago:
mythology. http://rechten.eldoc.ub.rug. Dorsey Press. pp. 5-16.
nl/FILES/departments/Algemeen/overige The New York Times and CBS News Poll, July
publicaties/2005enouder/HOAX/HOAX. 20-22, 2007.
pdf. Waltz, K. (1978). Man, The State and War.
Krasner, S.D. (ed.). (1983). International Re- Princeton: Princeton University Press.
gimes. Ithaca: Cornell University Press. War, http://www.science.uva.nl/~seop/
entries/war/.

126 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 127-138

The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic


Liberation Front (MILF) For Self-Determination in the
Southern Philippines

Shamsuddin L. Taya
Department of International Relations, Faculty of International Studies
Universiti Utara Malaysia

Abstracts
This study examines and analyzes the economic strategies adopted by the Moro Islamic Libe-
ration Front (MILF) over time to liberate the Bangsamoro from the clutches of the Government
of the Republic of the Philippines (GRP). It looks at the organization's economic self-reliance
programs which include: farming, raising farm animals (husbandry) and establishment of
small business enterprises in the Southern Philippines. These efforts are parts of the MILF's
quest to liberate the Bangsamoro homeland and its people from the rule of the GRP and its
agents.
The data for this analysis came from primary and secondary sources, namely newspa-
pers, policy statements, speeches, press releases, joint communiqué, peace agreements, books,
magazines, and journals. Interviews with informed people were also conducted.
The study found that the economic strategies of the MILF in its quest for freedom and
self-determination of the Bangsamoro homeland and its people were effective and workable.
The economic strategies of the organization have not only guaranteed its survival, but they
even managed to transform the attitudes and behaviors, not only the MILF's freedom fighters,
but also a significant number of Bangsamoro masses, from dependent creatures to self-reliant
members of the organization. As a result, the MILF's members are now considered assets ra-
ther than liabilities to the movement.

Keywords: Moro, economic strategies.

Background to the Study


E. Marcos' time sparked resentment against the
1
The Bangsamoro struggle for self-deter- Philippine government. The Jabidah Massacre,
mination started during the period of Spanish in fact, led to the founding of the Bangsamoro
colonialism and has continued up to the present. movements for self-determination such as the
However, the Bangsamoro independence Mindanao Independence Movement in 1968
movements became better organized from the (MIM) led by Datu Udtog Matalam, a former
American period (1898-1946) and the Christ- governor of the Cotabato Empire. This was fol-
ian-Filipino era (1946 up to the present). The lowed by the creation of the Moro National Li-
Jabidah Massacre in 1968, the Manili Massa- beration Front (MNLF) led by Nur Misuari, the
cre in 1971 and the Malisbong (Palimbang) Moro Islamic Liberation Front (MILF) led by
Massacre in 1972 during President Ferdinand Salamat Hashim, and others .
2

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 127


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

The MNLF as a movement for Bangsa- the Southern Philippines. The MILF is pursuing
moro self-determination survived for decades. its objective of total independence and the GRP
It, however, succumbed to pressures from its fo- is willing to compromise stopping short of inde-
reign supporters (the Organization of Islamic pendence.
Conference (OIC) and more specifically the Li-
The Self-reliance Program
byan and Saudi Arabian governments) and the
GRP. As a result, the two GRP-MNLF's Peace As part of the self-reliance program, the
Agreements were signed: the 1976 Tripoli MILF encouraged the Bangsamoro, in general,
Peace Agreement (Libya) and the 1996 Jakarta and, the members of the organization, in parti-
Peace Agreement (Indonesia). The 1976 Tripoli cular, to follow a sustainable livelihood prog-
Agreement had sparked internal divisions ram that would sustain their daily basic needs in
among the MNLF top ranks and one division the pursuit of the freedom and self-determinat-
moved out and established the New MNLF ion of the Bangsamoro homeland and its peop-
(Founded by Salamat Hashim- who passed le. This was part of the MILF's philosophy in its
away in 2003). Now the MILF is led by Murad quest for achieving the freedom and self-deter-
Ebrahim. With the incorporation of the MNLF mination of the Bangsamoro and their home-
into the mainstream of the Philippine-body po- land. In fact, based on the experiences of the in-
litic and eventually, the imprisonment of its dependence movements all over the world, the
leader, Nur Misuari, the MILF has emerged as MILF had to develop the concept of self-reli-
the only revolutionary organization. Currently, ance in its totality. Being aware that among the
the GRP is pursuing its peace efforts with the major factors that led to the failure of some re-
MILF. Indeed, both parties (the GRP and the volutionary movements was the financial con-
MILF) signed confidence-building measures in straints; the MILF organized and developed its
Libya (2001) and Malaysia (2002). The MILF is own model of economic activities that was em-
pursuing its objective of total independence bodied in the concept of self-reliance. A con-
while the GRP is willing to compromise stop- crete example of dependence was the MNLF,
ping short of independence. Both parties have which in the past was the most dominant liberat-
3
hardened their positions in the past , but in ion movement in the Southern Philippines. The
recent exploratory talks (2004) held in MNLF was a well-established contemporary
Malaysia, there were accommodation and independence movement in the Southern Phi-
gestures of friend-ship on the part of both lippines and was strongly supported and recog-
negotiating parties (the GRP and MILF). nized by almost all Muslim countries.5
Aside from the MNLF, and MILF, the However, because the MNLF had enjoy-
Abu Sayyaf Group or the ASG (founded and led ed full outside support its leadership ignored the
by the late Janjalani Abdul Rajak- now, led by reality that before depending or relying on ot-
his brother Khadafy Janjalani) is another Bang- hers for its survival it should rely first on its own
samoro independence movement, which is de- capabilities. The MNLF failed to internalize
manding an independent Bangsamoro state. this pragmatic approach i.e. the importance of
The GRP claims that this group (ASG) is a the self-reliance concept.
small, but radical and violent group. In Novem- The MNLF was fully dependent on gene-
ber 1992, a daily newspaper in Zamboanga city rating foreign financial resources rather than
carried a brief item about the issue of theASG as from domestic ones. It failed to realize that out-
a terrorist group.4 Since then, the group has been side financial support was very unpredictable
considered as a threat to the security of the and temporary and, therefore, it could cease
country according to the GRP. anytime. This was exactly what happened. It is
Bangsamoro factionalism, compounded not merely a theoretical statement, but rather a
by declining foreign support and general war factual one. As a matter of fact, even if the
weariness, has hurt the Bangsamoro Islamic MILF's foreign support did not cease altogether,
and nationalist movements both on the battle- at least it slowed down as a result of the United
field and at the negotiating table. The GRP con- States and its allies' campaign against “internat-
tinues to struggle with Bangsamoro insurgen- ional terror.” The local economic source was
cies, in general, and the MILF, in particular, in lasting and forever, if it was fully explored and

128 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

properly exploited. The MILF explained its po- These activities were evident in most of the
sition on this issue as follows: MILF's controlled areas.
The isolation of the MNLF taught us the hard Interestingly, the self-reliance program
way that people who wanted to become free was intensified after the fall of the Camp Abu
shall rely on themselves first and on others Bakre As-Siddique (followed by the other
later. Self-reliance has taught our people camps in late 2000 as a result of President Es-
sturdiness and creativeness, which led us to trada's all-out war policy against the move-
marshal our resources and to discover the ment). The MILF intensified the self-reliance
6
hidden talent and ingenuity of our people. program, because this program had compen-
The Self-reliance Program aimed to in- sated for the economic constraints of the move-
culcate in the minds of the Bangsamoro, and ment brought about by the international cam-
more specifically, the mujahideen, to engage in paign on terrorism which was led by the United
economic activities that would sustain their States and its allies. Millions of the Bangsamoro
quest for freedom and independence. This prog- contributed to the survival of the MILF, directly
ram would achieve not only economic advanta- and indirectly. The MILF's Consultative As-
ges, but more importantly, it would develop a sembly held in May 2005 at the Camp Darapa-
sense of economic independence on the part of nan, Sultan Kudarat, Maguindanao, was a case
the Bangsamoro in their quest to achieve their in point. The meeting was attended by millions
freedom and self-determination. Thus, through of the Bangsamoro who had used their hard-
this program the members of the MILF, the mu- earned money to attend the gathering. The
jahideen, would serve as assets to the move- MILF leadership tried to make the MILF as a
ment, instead of being liabilities as had been the mass-based movement or organization because
case with the MNLF's members. For instance, they understood that a massive public support
many of the members of the MNLF joined the would ensure the survival of the MILF as an in-
movement, because they thought that the dependence movement.
MNLF would provide them with all their needs. Learning from the lessons of the MNLF,
However, the MILF through its self-reli- the MILF exerted its efforts to develop and uti-
ance program educated its members that the lize all the available economic means in the
MILF as liberation movement depended in its homeland through its self-reliance program.
survival on their support, not the other way The MILF tried to reshape the mindset of its
around. This set of orientation was one of the leaders as well as its followers to consider the
main reasons for the survival of the MILF des- domestic financial resources as primary and vi-
pite of the slow down of its foreign support, Iq- tal source of the liberation movement for its sur-
bal said.
7
vival, while the foreign source was just a se-
In an operational sense, the self-reliance condary one. This concept was, however, gra-
program basically included activities such as dually inculcated into the minds of the Bangsa-
farming, raising animals, small business and moro through constant series of dialogues, se-
many others as a source of income for the organ- minars and discourses spearheaded by the late
ization that ensured its survival. These econo- MILF Chairman, Sheikh Salamat Hashim, and
mic activities will be discussed in more detail in continued by his successor, Chairman Al Haj
the later section of this chapter. In a chronologi- Murad Ebrahim. The MILF leadership, in gene-
cal order, the self-reliance program was divided ral, and Sheikh Salamat Hashim, in particular,
into four stages. The first stage (1980-1985) emphasized this issue to their followers. For in-
aimed to establish the machinery to motivate stance, he (Hashim) consistently encouraged
the people to engage in economic activities such his followers to be self-reliant people in their
as farming, small businesses, and rearing ani- quest for freedom and self-determination.
mals. The Second stage (1985-1990) aimed to However, the MILF leadership did not
implement the said program. The Third stage rule out the essential role of international sup-
(1995) aimed to enhance the actual involvement port in its struggle against the GRP and its
of the MILF in the implementation of the prog- agents in all dimensions. The main priority ac-
ram. The fourth stage (1995-2000) aimed for cording to the MILF was to focus first on gene-
more refinement and expansion of the program. rating income from the available domestic eco-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 129


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

nomic resources. The MILF leadership recog- ization where the members of the organization
11
nized the paramount significance of the help of had become a burden to the MILF.
international communities, particularly the OIC The MILF started its implementation
, but at the same time tried not to be dependent from the top leadership down to the lower-ranks
on foreign donors because such dependency of the organization. For instance, the organizat-
would result in loss of sovereignty and greater ion required all new trainees to bring along with
interference from the foreign donors as the case them all the basic necessary things such as rice,
of the MNLF and Libya. Libya had forced the sugar, coffee, soap, etc, during their stay in the
MNLF to accept the GRP's offer of autonomy, camp. The self-reliance campaign of the organ-
instead of independence, as the solution of the ization was the duty of every MILF committee
problem of the conflict in the region. from the Central Committee to the Barangay
Thus, the self-reliance program aimed to Committee levels in all the departments and
empower the Bangsamoro, in general, and the agencies like the military, political, economic,
MILF's members, in particular, to be more inde- education, information, da'wah, youth, women
pendent in sustaining their independence move- and social welfare committees. We turn now to
8
ment, Iqbal argued. The self-reliance program look at the different activities initiated by the
aimed to inculcate in the minds of the mujahi- MILF as part of its self-reliance program.
deen or freedom fighters a sense of free will so Farming
that they could stand and sustain their quest for The MILF through its self-reliance prog-
freedom and self-determination even without ram concentrated more on farming activities
foreign support. Indeed, the MILF's self-relian- such as planting corn, banana, rearing animals
ce program played important role to compen- and other related economic activities which it
sate for the slow down of foreign support as a re- considered as basic to its survival and that of its
sult of the United States and its allies' campaign members. In this respect, the movement urged
against terrorism. After September 11, 2001, the Bangsamoro to work hard. Sheikh Salamat
there was a dramatic slow down of foreign sup- Hashim urged his people to abandon their pri-
port to the MILF. The United States and its allies mitive way of farming and utilize modern tech-
had frozen the bank accounts of suspected ter- niques of farming including the use of pestici-
rorists, both individuals and groups operating des, tractors, irrigation and other new methods
all over the world.9 This made it difficult for the of farming that would give higher yields. In the
MILF's foreign donors (mostly individuals) to Southern Philippines, a significant number of
transfer money from their respective countries people, mostly those who lived in remote areas,
to the Bangsamoro homeland. However, the were practicing traditional methods of farming.
self-reliance program helped to alleviate acute They refused to fully utilize those modern tech-
financial constraint. nologies and new methods of farming that usu-
The late MILF Chairman Sheikh Salamat ally yielded higher crops and harvests.
Hashim was very determined to change the atti- Thus, the MILF organized many coope-
tude that everything would be provided for once ratives that managed and regulated different
one became a member of the MILF. This meant farming activities in its controlled areas. Those
that if someone joined the Bangsamoro inde- cooperatives gave some subsidies to the farmers
pendence movement the organization would necessary for the cultivation of their farms.
automatically provide all his/her needs. As a re- Monthly expenses of farmers were also provid-
sult, the member fully relied on the organization ed so that they could concentrate on the cultivat-
in almost all of his/ her daily needs. This kind of ion of their farms. It was agreed that the coope-
attitude was detrimental to the liberation move- ratives would buy the produce for a reasonable
ment.10 The MILF tried to make the Bangsamo- price corresponding to the market price. In re-
ro and and its mujahideen more productive and turn, the farmers had to pay back their debts
self-reliant. In this respect, every member of the after the harvest with zero interest rate. Inter-
organization was supposed to be an asset or a estingly, if the farmers could not pay back their
plus point to the group not a burden, Sheikh Sa- debts due to harvest failure or other justified
lamat Hashim argued. Sheikh Salamat Hashim circumstances, the cooperatives would extend
himself lamented the situation in his own organ- payment into the next harvest. If, the payment

130 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

was really beyond the capacity of the farmers as well as trading and business through the es-
and might give too much unnecessary burden, tablishment of multi-purpose cooperatives
then the cooperatives might altogether write- among the Bangsamoro populace within the
12 16
off. camp. The MILF combatants practiced farm-
The MILF's farming activities were ing in all MILF major camps during their free
17
mainly for subsistence purposes. This meant time , while their wives were doing small trad-
they aimed mainly to sustain the daily needs of ing and business in small markets usually estab-
the mujahideen. For instance, they used their 18
lished in the camps. The understanding was
economic produce to sustain the needs of their that everybody in the camps had to earn his/her
families and the expenses they needed during own income as part of the self-reliance idea.
19

their duties in guarding the MILF's defense pe- The MILF members and sympathizers
rimeters against theAFP incursions and those of residing outside the camps were involved in the
other paramilitary groups organized by the GRP same activities. Everybody was trying to gene-
such the Civilian Volunteer Organization rate an adequate source of income, either
(CVO). However, it meant that the MILF's through trading and business or planting agri-
farming was not a subsistence activity, but also cultural products.
a commercial one. Indeed, they sold their sur- The MILF education committee was also
plus produce to markets outside their camps tasked to run all existing Islamic schools (ma-
usually in areas like Cotabato and Davao Cities. daris) within the areas controlled by the liberat-
This farming system was very effective. ion movement with minimal involvement of fi-
It managed to sustain some of the basic neces- nancial demand. The Bangsamoro teachers,
sities of the MILF's standing armies, the ISF preachers and social workers were always en-
and the BIAF which guarded the defense peri- couraged to share with their knowledge and to
meters of the movement's camps all over the serve the Bangsamoro societies on a voluntary
13
Bangsamoro homeland. Grains like rice, corn basis. As a result of this perception, most of the
and maize were very important as the basic food existing Islamic schools in the Southern Philip-
of the regular members of the BIAF and the ISF pines were manned by the Bangsamoro volun-
who secured or guarded the MILF's defense pe- teer teachers, preachers as well as social work-
rimeters from the AFP's incursions. The move- ers.
20

ment also supervised large plantations of bana- The military committee, as part of the
nas and cassava in its respective camps that sus- self-reliance campaign, successfully estab-
tained the daily needs of the regular freedom lished small factories in the camps which were
fighters on duty. The producers earned a lot of capable of producing home made weapons of
money that helped finance the MILF's activities different types. These factories produced differ-
in all aspects. ent types of light arms with minimal expenses
Both leaders and members of those com- because most of the workers were self-reliance
mittees discussed in chapter 3, were involved in minded people. This meant that the workers had
different fields of economic development, whe- a sense of independence in their respective jobs.
ther outside or inside the MILF camps and con- They did not want to create unnecessary burden
trolled areas. The Bangsamoro generally enga- to the liberation movement especially financial-
ged in farming and other agricultural activities ly.
14
as means of their livelihood the land was very The MILF political committee engaged
fertile in nature and many types of crops could its experienced staff and political workers by
be grown with minimal use of chemicals and providing only a minimal form of material in-
fertilizers. Others were involved in small scale centive. Mostly they carried out or implement-
15
business, trade and industry. ed their tasks at their own expense in line with
The soil of the Bangsamoro homeland is the concept of self-reliance. For example, the
very fertile which makes farming an obvious MILF political negotiators who were composed
choice of economic activities. The Camp Abu of Bangsamoro professionals such as lawyers,
Bakre As-siddique was considered a model in teachers etc. were always ready to share their
this aspect. Sheikh Salamat Hashim himself talent, and expertise to serve the Bangsamoro
was directly involved in agricultural production cause on purely voluntary basis. The concept of

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 131


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

self-reliance almost became the rallying cry of sands of displaced Bangsamoro in the region
21
the movement. who suffered as a result of decades of hostility
In husbandry farm animal, the MILF between the BIAF and the AFP forces and the
through its Multi-Purpose Cooperatives sub- non-stop influx of the Christian-Filipinos from
sidized some of the needed materials of needy Luzon and Visayas islands into the Southern
farmers and their families by providing them Philippines. Hence, as part of the development
with the necessary capital to purchase needed and rehabilitation drive, a new settlement for
animals for rearing. However, many farmers internally displaced Bangsamoro had to be es-
who tried to stand on their own feet to secure the tablished in line with the institutionalization de-
needed materials for their agricultural activities velopment program of the liberation move-
such as the rearing of animals. The MILF ment, Dawan argued.25 For instance, the MILF
bought hundreds of animals such as carabao, urged the GRP to look seriously into the plight
22
cows, goats, ducks, chicken and many others. of those innocent civilians affected by the con-
These animals were distributed to the MILF's flict between the BIAF and AFP and its parami-
farmers and their families. The movement also litary forces. The latest of those armed conflict
provided money for the maintenance and other between the two parties during the time of the
needed materials for the purpose of raising ani- writing of this thesis was the conflict in the
mals like poultries. This policy has continued at Municipality of Palimbang, Sultan Kudarat. As
the time of the writing of this thesis. a result of this conflict, thousands of civilians
The same situation was visible in other from several barangays or villages (Namat, Ki-
MILF committees which also tried to the con- sek, Kidayan, Maganao, Malatunol and Batang
cept of self-reliance in their respective areas of Bagras) fled to protect their lives. An MILF's
responsibilities. This concept was re-enforced Commander, Morzad Baguilan, from that mu-
by the development reached by the MILF nicipality (Palimbang), claimed that they were
through the peace negotiations with the Manila attacked by the PNP personnel assigned in those
government where the Bangsamoro Develop- areas and guided by a notorious warlord known
23
ment Agency (BDA) was created. This agency as Commander Diok through the initiation of
was fully mandated by the MILF in line with the the Municipal Mayor Labualas Mamansual
Agreement on Peace between the GRP and the known as Samrod, a former MNLF commander
MILF on June, 19-22, 2001, in Libya, in which who surrendered to the GRP. However, when
both parties agreed that the MILF “shall deter- the MILF sent reinforcements, the attackers
mine, lead and manage rehabilitation and deve- quickly withdrew.
lopment projects in all conflict affected areas.”
24
Another concern was the issue of land-
Thus, the BDA was created as a fruit of this ag- grabbing which was initiated by some Christi-
reement which independently executed and an-Filipinos who dreamed of a better life, parti-
handled the rehabilitation and development cularly those who were landless. They saw a
projects in all conflict affected areas in the great opportunity to change fulfill their lives
Southern Philippines without any interference through migration and, consequently, settled
from the Manila government. Through the permanently in the Bangsamoro homeland.
BDA, the MILF was determined to maximize The MILF was very determined to stop this il-
the benefits and welfare of the agreements that legal influx of migrant because they posed a
it had signed with the GRP for the Bangsamoro. threat not only to the political and economic
Thus, the MILF applied pressure on the GRP to interests of the Bangsamoro but also to their ve-
implement agreements that both parties had ry existence as the original people of the region.
signed by recognizing the BDA as the sole de- In this connection, the migration of Christian
velopment agency in the Southern Philippines. Filipinos from Luzon and Visayas had to be
Furthermore, the MILF called upon all its stopped and the remaining untitled and public
members, supporters and all Bangsamoro, land in Mindanao and the adjacent islands had
NGO's, and business groups to fully recognize to be preserved for the Bangsamoro, Dawan in-
26
the BDA as a development agency. According sisted.
to the MILF, among the immediate problems Small Business Enterprises
that had to be settled was the settlement of thou- In its controlled areas, the MILF estab-

132 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

lished communities which involved themselves rams of self-reliance were disrupted by Presi-
in business activities. The liberation movement dent Estrada's all-out war policy that led to the
established communities which it patterned ac- down fall of the Camp Abu Bakre As-Siddique
cording to the principles of Islamic polity. They and other MILF's camps to the AFP in 2000.
established madrasah or Islamic schools, mos- During the incursions, most of these economic
ques, and markets. In the MILF's controlled activities were stopped temporarily. The MILF
areas, they encouraged the Bangsamoro, most- mobilized all its resources and utilized those
ly, the freedom fighters and their families to resources to finance its war against the GRP.
engage in small businesses such as selling clot- Most of these activities were abandoned tempo-
hes, rice, and other products. They were also rarily but they were resumed later due to acute
selling food like pastil, (a favorite food of Ma- financial difficulty.27 Fortunately, the Bangsa-
guindanaon), petulakan, and many others. Bu- moro masses readily offered their support in the
sinesses like these were common in the areas name of jihad.As a result, the MILF managed to
controlled by the freedom fighters. This writer collect hundreds of millions of local currency
remembers, when he and some friends visited which guaranteed the survival of the organizat-
the Camp Abu Bakre as-Siddique in 2000, few ion.
months before President Estrada's all-out-war
Effectiveness of the Self-reliance
policy against the MILF, we bought pastil and
Program
some other food for our lunch without the at-
tendance of the sellers. We simply had to choose The MILF's self-reliance program was
the food of our preference and leave the money very effective. The September 11, 2001 attack
there. Change was also self-regulated. The poli- had changed the fundamental rules of the game
cy of self-service has taken a new meaning. of international politics. The United States and
The MILF established cooperatives like its allies froze suspected terrorists' bank ac-
the Bangsamoro Multi-Purpose Cooperative counts as part of the campaign against terror-
which provided capital for the business groups. ism. This unfolding event had far-reaching im-
However, the debtors should pay the said plications not only for terrorists' organizations
amount to the creditors at zero per cent interest but also for the liberation movements, including
and also at their convenience to ensure the suc- the MILF.
cess of the said businesses. Through this sys- The United States and its allies' cam-
tem, the people in the camps managed to earn an paign on terror disrupted the flow of foreign aid
income that would sustain their basic necessi- from foreign donors (mostly individuals) to the
ties and that of the families of the freedom fight- MILF. Foreign support was crucial to the organ-
ers while they were on duty in safeguarding the ization to finance its various programs and acti-
defense perimeters of the MILF's camps against vities. Indeed, the United States campaign on
military incursions. terror, in general, and, the freezing of the bank
The business cooperatives run by the accounts of the suspected terrorists (both indivi-
MILF were entrusted to Ustadz Ismael Dalinan, duals and organizations), in particular, disrupt-
a high ranking officer of the movement. The ed the transfer of money from the foreign do-
28
Bangsamoro Multi-Purpose Cooperative serv- nors to the MILF, Dawan lamented. He also
ed as a middle-man between the business com- revealed that most of their foreign donors were
munities in the MILF's controlled areas and the frightened by this development. A significant
business groups outside their camps. The co- number of them were either detained/imprison-
operative bought stuff from outside and brought ed indefinitely or killed by the United States and
and distribute it to the smaller business groups its allies' agents. As a result, the foreign donors
in their controlled areas. There were also some slowed down their financial support since 2001
weaknesses of this program because some of up to the time of writing this thesis. This was a
the sellers were not business minded. As a re- great setback for the MILF's financial re-
sult, some of them folded. Generally speaking, sources.
however, this strategy had worked in sustaining These financial constraints caused by the
the financial needs of the movement. United States and its allies, however, were com-
However, the MILF's economic prog- pensated by the MILF's self-reliance program.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 133


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

When Sheikh Salamat Hashim introduced this education, the BDA also played an important
concept as part of the MILF's four-point prog- role. For instance, it initiated a plan for the re-
ram, many Bangsamoro professional groups structuring of the educational system to make it
were skeptical and even ridiculed him. The ho- more suitable and beneficial to the development
30
listic approach and the wisdom behind the intro- of the Bangsamoro, Dawan said.
duction of the program were misunderstood, if The above-discussed four-point program
not deliberately distorted by opponents of the of the MILF had been successfully implement-
MILF. The Ampatuan family, in general, and, ed within the span of twenty years (20) starting
Zamzamin (former Chief of the Office of the from the year 1980 up to the year 2000. Realiz-
Muslim Affairs known as OMA), in particular, ing the significant outcome of the said program
were two of examples of these opponents to the for the Bangsamoro in the homeland in all as-
self-reliance program. These groups were pects of their lives, the MILF decided to plan a
staunch enemies of the MILF. new time frame for the second segment of the
Nevertheless, the Bangsamoro realized program in order to continue the four-point ma-
the program's paramount significance after jor thrusts with the addition of some issues and
2001 when the United States and its allies inten- subjects to be emphasized and implemented.
sified their campaign on terror and started freez- The organization introduced a fifty (50) year
ing bank accounts of those suspected terrorists, program which already started from the year
including some of the MILF's foreign donors. 2000 to be completed by the year 2050, Dawan
31
These foreign donors felt that it was their religi- stated. The new additional subjects or issues
ous responsibility to support mujahideen in the were as follows: 1) to establish justice for all, 2)
Southern Philippines. to establish full freedom and respect of human
The MILF progressively intensified its rights, 3) to overcome criminality, poverty and
self-reliance program, more specifically, in the ignorance, 4) to ensure equality for all, 5) to pro-
farming sector in its respective camps and forti- mote health and sanitation, 6) to overcome graft
fications. The activities sustained its basic and corruption, and 7) to preserve the patrimony
needs and thus ensured its survival as a liberat- and to protect the environment
32

ion movement. The above-mentioned development


In this respect, the Bangsamoro Deve- program of the organization was a clear eviden-
lopment Agency (BDA) played a very crucial ce of the unequivocal stand of the MILF on the
role. Indeed, among the priorities that the BDA issue of development in the Bangsamoro home-
undertook was to minimize the level of poverty land. This would rebut the allegations of certain
within the Bangsamoro societies. The MILF groups in the Southern Philippines who accused
declared that the number one enemy of the the MILF and the Bangsamoro were anti-deve-
Bangsamoro nowadays was poverty. Thus, it lopment and anti-progress.
was imperative for it to combat poverty which In fact, the MILF eagerly welcomed de-
was deemed by all Bangsamoro as a consequen- velopment provided it would endange the
ce of the GRP's occupation over the Bangsamo- Bangsamoro's religion and Islamic heritage as
ro homeland and its people. well as their identity, Dawan argued.33 The
To fight poverty, the BDA was set up to MILF fully welcomed developments that were
encourage business, trading, entrepreneurship, in accordance with the Bangsamoro concept of
and other self-help economic activities, and to development which encompassed the true
promote and develop the vocational livelihood meaning of development in both its spiritual
courses among the poor Bangsamoro populat- 34
and material dimensions. The Bangasmoro
ion. The BDA also wanted to maximize and wanted a development that would bring benefits
exploit the natural resources in the homeland to the people as a whole regardless of their
but at the same time avoid misuse of land that races, creeds and philosophies of their lives.
would cause damage to the Bangsamoro natural Thus, the MILF wanted to have both qualitative
resources. It was, however, suggested that the and quantitative kinds of development that
da'wah methodology and approach had to be would address not only the material side of life,
involved in the BDA's poverty alleviation stra- but more importantly, its spiritual dimension.
29
tegy and sustainable economic activity. In As proof, the MILF allowed some deve-

134 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

lopment projects within its controlled areas. For samoro, in general, and, the MILF's members,
instance, the Multi-Million National Irrigation in particular, a sense of independence. This was
Project near the Camp Abu Bakre As-Siddique, very effective, but the level of success of this
the government's construction of a concrete (self-reliance) program could not be verified.
road within the camp, the construction of a go- But one thing is for sure, the self-reliance pro-
vernment water reservoir project (two huge wa- gram was one of the main reasons that had en-
ter tanks) near Al Haj Murad's office in the sured the survival of the MILF as a liberation
Camp Abu Bakre as-Siddique, and the largest movement despite the disruption of support
project was the US$ 600 million Maridagao- from foreign donors. Thus, the MILF utilized its
Malitubog Irrigation Project constructed by local sources of income and exploited them for
South Korean engineers in North Cotabato.35 the survival of the movement.
However, while welcoming all these go-
vernment development projects, the MILF
leadership was fully aware that all those pro- Bibliography
jects were part of the Philippine government
Arguilals, C.C. (2003). The Cost of War Part 1:
counterinsurgency program, but the organizat-
Economic Cost of Never Ending Conflict
ion was very confident that this program would
is 30-M Daily Money for Development or
not work as long as the AFP forces were always
War? MindaNews, March 12. Retrieved
out to harass and abuse the Bangsamoro. In this
January 20, 2004. http://www.mindanews.
situation, the late MILF Chairman, Sheikh Sala-
com/2003/02/12pep-cost.html.
mat Hashim, expressed the opinion that the ef-
ARMM Designed to Perpetuate Colonial Occu-
fective government policy should be to leave
36 pation. (2004). Luwaran.com: Moro
the Bangsamoro free in their ancestral land.
Islamic Liberation Front, October 13.
This implied that any political and military ap- Arroyo, D.M. (2004). Poverty: Root Cause of
proaches that would not address the root causes Mindanao Conflict. INQ7Money, July 26.
of the problems of the Bangsamoro would not Bangsamoro People Stand for Peace and Social
succeed and thus, conflict would continue to Justice: Recognize and Respect for the
prevail in the region. Bangsamoro People's Right to Self-deter-
Recently, the MILF demonstrated the mination. (2002). Consortium of Bangsa-
success of its self-reliance concept during its moro Civil Society, September. Retrieved
General Assembly Consultation which was at- May 13, 2004. http://www.yonip.com/
37
tended by millions of Bangasmoro coming main/articles/people.html.
from all over the Southern Philippines at their Brown, M. (1994). Causes and Implications of
own expense. The participants voluntarily Ethnic Conflict. London: Princeton
brought their own food, drink and other basic University.
things during the three-day program in Camp Buendia, R.G. (2004). The GRP-MILF Peace
Darapanan, Sultan Kudarat, Maguindanao. Talks. Southeast Asian Affairs.
Conclusion Che Man, W.K. (1990). Muslim Separatism:
The Moros of the Southern Philippines
To sum up, the MILF adopted several and the Malays of Southern Thailand.
economic strategies embodied in its self-relian- Oxford: Oxford University Press.
ce program in its quest for achieving the free- Christie, K. (1998). Ethnic Conflict, Tribal Po-
dom and self-determination of the Bangasmoro litics: A Global Perspective. London: Cur-
and their homeland from the socio-economic, son Press.
military and political clutches of the Manila Davis, L. (1987). The Philippines: People, Po-
government. These strategies included farming, verty and Politics. London: The Macmil-
rearing animals, planting basic products such as lan Press Ltd.
corn, rice and banana and small-scale business- Diaz, P.P. (2003). Understanding Mindanao
es operating all over the Bangsamoro home- Conflict. MindaViews: A Publication of
land. the Mindanao News and Information Co-
The main thrust of this self-reliance pro- operative Center, vol. 2, no. 108, January
gram was to inculcate in the minds of the Bang- 20.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 135


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Patricio P. Diaz, What's New,? (2005, August Mindanao: Mindanao State University.
20). MindaViews: A Publication of the Khutabah Delivered by Sheikh Salamat
Mindanao News and Information Hashim. (n. d.). Strategies of Islamic
Cooperative Center, vol. 15, no. 087. Resurgence. Camp Abu Bakre As-
Siddique, Maguindanao
Ferriols, Des. (2003, December 27). U.N., Lingga, A. S. M. (2002, February 7). Peace
European Community Agree to Assist in Process in Mindanao: The MILF-GRP
Mindanao. Star. Retrieved January 15, Negotiations. Institute of Bangsamoro
2004. Studies.
http://www.newsflash.org/2003/05/be/be0026 Lingga, A. S. M. (2002, March 8).
73.htm. Understanding Bangsamoro
Gladstone, Jack A. (2002). Population and Independence as a Mode of Self-
Security: How Demographic Change Can determination. Media Monitors Network.
Lead to Violence. Journal of International Lingga, A. S. M. (2002, July 17). Democratic
Affairs, vol. 59, no. 1. Approach to Pursue the Bangsamoro
Gowing, P. G. (1979). Muslim Filipino- People's Right to Self-determination.
Heritage and Horizon. Quezon City: New Bangsamoro People's Consultative
Day Publisher. Assembly. Retrieved March 20, 2004.
GRP, MILF to Address Local Feuds in http://www.yonip.com/main/articles/bangsarig
Maguindanao. (2004, October 12). hts.html.
Luwaran.com: Moro Islamic Liberation Lingga, A. S. M. (2002, September).
Front. Referendum: A Political Option for
Hedman, E. E. & Sidel, J. T. (2000). Philippine Mindanao. Bangsamoro People's
Politics and Society in the Twentieth Consultative Assembly. Retrived March
Century: Colonial Legacy, Post-colonial 20, 2004.
Trajectories. London: TJ International http://www.yonip.com/main/articles/referendu
Ltd., Padstow, Cornwall. m.html.
Hashim, Salamat. (1999, March 16-31). Lingga, A. S. M. (2004, June 4). Mindanao
Bangsamoro Muslims' Determination to Peace Process: The Need for New
Establish an Islamic State. Crescent Formula. Institute of Bangsamoro Studies.
International Interviewed Salamat Retrieved November 20, 2004.
Hashim, Leader of the Moro Islamic http://www.yonip.com/main/articles/peacepro
Liberation Front at his Main Base at Camp cess.html.
Abu Bakre As-Siddique, Central Lingga, A. S. M. (2004, June 5). Muslim
Mindanao. Minority in the Philippines. Institute of
Hashim, S. (1985). The Bangsamoro Mujahid: B a n g s a m o ro St u d i e s . R e t r i ev ed
His Objectives and Responsibilities. November 20, 2004.
Mindanao: Bangsamoro Publication. http://www.aljazeerah.info/Opinion%20editori
Islam, S. S. (2000). Ethnic Communal Conflict als/2004%20opinions/June/5o/Muslim%
in the Philippines. Ethnic Conflict in 20Minority%20in%20the%20Philippines
Southeast Asia (ed.). New York: Sage %20By%20Abhoud%20Syed%20M.%2
Publisher. 0Lingga.htm.
Islam, S. S. (2005). The Politics of Islamic Magdalena, F. V. (1997). The Peace Process in
Identity in Southeast Asia. Singapore: Mindanao: Problems and Prospects.
Thomson Learning. Southeast Asian Affairs.
Julkarnain, Al Khadaff A. (2000). Ethnicity, Makol-Abdul, P. R. (1997). Colonialism and
Leadership and the Moro Independence Change: The Case of the Muslims in the
Movements in the Philippines. M.Hsc. Philippines. Journal of Muslim Minority
Thesis, International Islamic University, Affairs, vol. 17, no. 2.
Malayasia. Mantawil , M. (1997). Bangsamoro
Kadir, B. J. (2002). History of the Moro and Independence Movement. Homeland, vol.
Indigenous Peoples in Minsupala . 4, no. 6.

136 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

Martin, R. (1994). Resurgent Islam: Moros are Salah J. (1999). Bangsamoro: A Nation under
Fervently Proselytizing in the Southern Endless Tyranny. Kuala Lumpur, Malay-
Philippines. Far Eastern Economic Re- sia: IQ Marin Sdn. Bhd.
view, February 17. Sarmiento, B. (2005). MILF Holds Month-long
Mastura, M. O. (1984). Muslim Filipino Experi- Education Campaign on the Peace Pro-
ence. Philippines: PDM Press, Inc. cess. MindaNews, vol. 3, no. 93, August,
-----. (2003). Just Peace: Understanding the 25. Retrieved November 20, 2004. http://
Frameworks Document. MindaNews, July www.mindanews.com/2004/08/25nws-
8. Retrieved November 20, 2004. http:// talks.html.
www.mindanews.com/peprcs/peacetalk/ Sorting out the South. (2001). The Economist,
mastura.shtml. July 7.
Mercado, Jr., E. R. (2000). The Five Issues Con- Speech Delivered by Sheikh Salamat Hashim.
fronting Mindanao Vis-à-vis the Roles of (2001). Sangan nu Kangudan sya Kanu Ji-
the Civil Society. Institute of Social Stu- had Fi Sabilillah. Camp Abu Bakre As-Si-
dies, September 29. Retrieved November ddique, Maguindanao, May 26.
20, 2004. http://www.philsol.nl/fora/ Stark, J. (2003). Muslims in the Philippines.
NL00a-Mercado.html. Journal of Muslim Minorities Affairs, vol.
Mezzera, M. (2001). The Camps of the Sun: 23, no. 1.
MILF's Stronghold after Military Offen- Taya, S.L. (2007). The Political Strategies of the
sive. Focus on the Global South, March 7. Moro Islamic Liberation Front for Self-
Montesano, M.J. (2003). The Philippines in Determination in the Philippines. Intel-
2002, Playing Politics. Asian Survey, vol. lectual Discourse, vol.15, no. 1.
13, no. 1. -----. (2007). Conflict and Conflict-Resolution
Moro Islamic Liberation Front. (2002). An Ap- in the Southern Philippines. Journal of
peal to the Organization of Islamic Con- International Studies.
ference (OIC) and All Peace Loving Na- Tiglao, R. (1995). Hidden Strength: Muslim In-
tions. Mindanao: Office of the MILF Cen- surgents Shun Publicity and Grow in Po-
tral Committee. wer. Far Eastern Economic Review, Feb-
Muslim, M. A. (1994). The Moro Armed Strug- ruary 23.
gle in the Philippines: The Nonviolent Torres, M. T. (2005). MILF Peace Pact to Take
Autonomy Alternative. Marawi City: Of- Time. The Manila Times, February 4. Re-
fice of the President and College Affairs trieved November 16, 2005. http:// www.
Mindanao State University. manilatimes.net/national/2005/feb/04/ye
Noble, L. G. (1983). “Roots of the Bangsa Moro hey/top_stories/20050204top10.html.
Revolution.” Solidarity, vol. 4, no. 97. Vitug, M. D. & Gloria, G.M. (2000). Under the
Nu'ain bin Abdulhaqq. (2001). The Bangsamo- Crescent Moon: Rebellion in Mindanao.
ro People's Struggle against Oppression Quezon City: Ateneo Center for Social Po-
and Colonialism (ed.). Mindanao: Agency licy and Public Affairs and Institute for
for YouthAffairs-MILF. Popular Democracy.
One Victory More Needed. (2000). The Econo-
mist, July 15. Notes
Peace by Christmas? (1998). The Economist, 1. Salah Jubair, Bangsamoro: A Nation under
June 27. Endless Tyranny, (Kuala Lumpur: IQ Marin Sdn.
Quevedo, O. B. (2003). Injustice: The Roots of Bhd., 1999), 134.
Conflict in Mindanao. Tabang Mindanao, 2. Ibid., 135. See also Samuel K. Tan, “The
July 18. Bangsamoro Struggle,” Opisyal na Publikasyon
Quimpo, N. G. (2000). Options in the Pursuit of ng Universidad ng Pilipinas, Tomo 1, Blg. 7
a Just, Comprehensive and Stable Peace in (Mayo/Hunyo 2 000): 6-8.
<http://www.up.edu.ph/forum/2000/06/mayjun
Mindanao. Institute of Islamic Social Stu- e/bangsamoro.htm>.
dies, September 29. Retrieved November 3. Miriam Coronel Ferrer, “The Philippines:
20, 2004. http://www.philsol.nl/NL00a- Governance Issues Come to the Fore,” Southeast
Quimpo.html. Asian Affairs (2000): 251-3.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 137


Taya : The Economic Strategies Pursued by the Moro Islamic Liberation Front (MILF)

4. Mark Turner, “Terrorism and Secession in the 18. ABS CBN interview with one of MILF Freedom
Southern Philippines: The Rise of the Abu Fighters' wives, Camp Abu Bakre As-Siddique,
Sayyaf,” Contemporary Southeast Asia, vol. 17, 1999.
no. 1 (1995): 1. See also “Sorting out the South,” 19. ABS CBN Interview with Al Haj Murad, Camp
The Economist, July 7, 2001, 21. See also “The Abu Bakr, 1999.
Continuing Search for Sustainable Peace in 20. Interview with a group of Islamic teachers and
Mindanao: A View from a Distance,” Center for preachers directly involved in teaching and
Sustainable Peace and Economic Justice, da'wah activities in central Mindanao, (February
February 28, 2005, 12-3. 29, 2003), Mindanao, Philippines.
< http://www.philsol.nl/A00a/Minda-CSPEJ- 21. Mohagher Iqbal, Interview by author.
chronology-june00.htm>. 22. Abuomair, Interview by author.
5. Cesar Adib Majul, The Contemporary Muslim 23. The Bangsamoro Development Authority
Movement in the Philippines, 64. See also Salah (BDA) is a product or fruit of the peace talks
Jubair, Bangsamoro: A Nation Under Endless between the MILF and the GRP under the
Tyranny, 173-176. See also Wan Kadir Che Man, administration of President Gloria M. Arroyo
Muslim Separatism: The Moros of Southern wherein the said agency is tasked with strong
Philippines and the Malays of Southern mandate of the MILF, to handle the development
Thailand, 79-80. See also Al Khadaff Abu Bakar and rehabilitation programs in central Mindanao
Julkarnain “Ethnicity, Leadership and the Moro and its adjacent islands, specifically the affected
Independence Movements in the Philippines” conflict areas. This agency was created by the
(M.Hsc. Thesis, IIUM, 2000), 92. MILF as an independent agency meant for
6. “MILF Comprehensive Report to OIC, 2000, by development and rehabilitation programs. All
MILF Information Committee, 3. financial aid whether from abroad or local must
7. Mohagher Iqbal, Interview by author, Kuala be channeled through this agency without any
Lumpur, Malaysia, 15 September 2005. See also form of inference of any party particularly the
a Khutabah Delivered by Sheikh Salamat Philippine government.
Hashim, “Strategies of Islamic Resurgence,” 24. See Article III, Definition of Terms , no.4, 1-2, in
Camp Abu Bakre As-Siddique, Maguindanao, Agreement on Peace between the GRP and the
(n.d.), 2-4. MILF on June 22, 2001, Tripoli, Libya, in GRP-
8. Mohagher Iqbal, Interview by author. MILF Peace Negotiations: Signed Documents
9. Salman Dawan, Interview by author, Kuala (January 27, 1997- March 28, 2003, (1st.ed.) July
Lumpur, Malaysia, 15 September 2005. 2003, by MILF Committee on Information, 23-
10. Ibid. 24.
11. From 1999 interview with the late Chairman 25. Salman Dawan, Interview by author. It was also
Salamat Hashim at his jungle base, Camp Abu stated by Abuomair, Interview by author. It was
Bakre As-Siddique. The present writer has argued by Mohagher Iqbal, Interview by author.
lengthy and deep discussion with the chairman 26. Salman Dawan, Interview by author.
about the concept of self-reliance program of the 27. Abuomair, Interview by author.
MILF. 28. Salman Dawan, Interview by author.
12. Abuomair, Interview by author, Kuala Lumpur, 29. Salman Dawan, Interview by author. It was also
Malaysia, November September 2007. stated by Mohagher Iqbal, Interview by author.
13. Ibid. 30. Salman Dawan, Interview by author.
14. Eliseo R. Mercado, “Culture, Economics and 31. Ibid. See also Salamat Hashim, (ed. Nu'ain bin
Revolt in Mindanao: The Origins of the MNLF Abdulhaqq), The Bangsamoro People's Struggle
and the Politics of Moro Separatism” in Armed against Oppression and Colonialism, 66-8.
Separatism in Southeast Asia: Issues in 32. “MILF Comprehensive Report to OIC, 2000,” by
Southeast Asia Security, Ed. LimJoo-Jock and MILF Information Committee, 3.
Vani S., Institute of Southeast Asia Studies,
33. Salman Dawan, Interview by author.
1984, 152.
34. Eric Gutierez, “Islam and Development” in
15. Muhammad Ameen, Biography of Chairman
Rebels, Warlords and Ulama, 156.
Salamat Hashim, MILF Central Committee, 89.
35. Ibid, 157.
16. From a 1999 interview with the director of one of
multi-purposes cooperatives in Camp Abu Bakr 36. Marites D. Vitug and Glenda M. Gloria, Under
as-Siddique. the Crescent Moon: Rebellion in Mindanao, 108.
17. Wan Kadir Che Man, Muslim Separatism: The 37. Abdullah Hamza, “MILF Given New Mandate to
Moros of the Southern Philippines and the Lead the Bangsam”.
Malays of Southern Thailand, 93.

138 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 139-145

The Importance and Functional Role of Qualitative


Audience Analysis within the Stakeholders of Malaysia
Screen Industry

Hisham Dzakaria and Nuraini Yusoff


Faculty of Communication and Modern Language at Universiti Utara Malaysia

Abstract
In the words of Justin Lewis (1991), any screen production power lies in its encounter
with the audience. One cannot exist without the other. As he immediately proceeds to
acknowledge, however, this idea is “ofthen difficult to grasp empirically” (p. 61) and
the issue of how the idea works in practice remain full of methodological confusion
and perplexity. This article reviews the contemporary shift and the importance of
understanding of audience preferences, perspectives, behaviours, and routines
towards the production of films, movies, and television production in Malaysia. It
proceeds to examine the comparatively underdeveloped state of Malaysian research
about screen production audience, and the variety of incentives to develop such
research. The distance between academic and industry research in Malaysia is
discussed, and the possible explanations of gap in our academic knowledge of
Malaysian screen and film audiences are offered. Finally, the article considers
possible means to approach the meaningful study of the media reception process
within Malaysian audiences or viewers. The audience profile is considered as a key
factor for programming of screen production. Understanding audience and their
preferences could sustain continuous programming and development of new
production. This article advocated the need for the professionals in the industry to
incalculate such uinderstanding and call for more qualitative research into audience
analysis for sustainable development of the industry in this country.

Introduction success of any screen production. One of those


factors is the ability of the industry to under-
The landscape of the screen industry in stand the audience, their preferences, perspect-
Malaysia is changing fast. But like any other ives, and thoughts.
countries, there is much uncertainty of success It is important to listen to and understand
and failure of any production within its industry. audience or viewers' voices and perspectives on
Will Pontianak Menjerit, Qaisy & Laila, Evil films, movies, television programmes in Ma-
Eyes-Mania, War of the Worlds, Hostage, Un- laysia because of the complex mix of cultures,
leashed, Batman Begins, Amityville Horror be a languages, and urban and rural factors. Ad-
box office movie? No one can be certain of that. ditionally, there is a need to reflect on the effect-
There are so many factors that contribute to the iveness of such production, programes, and

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 139


Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

services provided from time to time. In doing may interact differently with the media and
so, stakeholders in the screen industry and insti- messages generated in movies, programmes,
tutions need to get a balanced picture of what is and so forth.
“right” and “wrong”in their movies, films, and As depicted by Diagramme 1, such vari-
programmes. Understanding how the film, mo- ables have direct impact on the acceptance or
vies' experience discourages of frustrates the lo- rejection of any screen production. Some may
cal Malaysian audience or viewers enables the like a particular movie, others may not. Some
movie makers, producers and institutions, and accept the messages posted in a movie, others
others to reflect and make contructive changes reject. There are so many dimension of human
to create the condition for better screen product- behavior that the screen industry needs to un-
ion in the future. derstand. Therefore, this paper advocates that
A study that focussed on audience or there is no other method of investigation that
viewers' point of viewing and experiences in work best to understand audience other than
distance learning and their learning interactions performing audience analysis.
is important for several reasons. First, there The primary basis of any screen produc-
have been virtually no major studies that have tion influences lies in the nature of the interde-
sought the voices of audience or viewers in Ma- pendencies between the human factors, the
laysia. For this reason, this article advocates and media and other social systems and how these
call upon academics and professionals to study, interdependencies shape audience relationships
explore and offer an understanding of audience with the movies or tv programmes.
or viewers' perceptions of their preferences and Therefore, performing an audience ana-
perspectives on films, and movies to construct a lysis is paramount. The unpredictability of au-
rich and detailed account of the wide range of dience preference is no myth. Nobody knows
factors that might have influence and build the what makes a hit or when it will happen, since
Malaysian audience or viewers' character and audience make hits not by revealing prefer-
behavior. Audience in many ways are hetero- ences they already have, but by discovering
geneous. One may have different expectation, what they like. The string of Scenario movies
social system, believes, culture, educational could be deemed as 'successful' for some quart-
and family background, and these variables ers because it was able to position its production

Diagramme 1
The Complexity of Reaching an Audience within the Screen Industry

Human Variables: Media/Screen


Educational & family Production
background, expectations, Movies, TV
culture, religion, preferences programmes, etc.

AUDIENCE REACHING
ANALYSIS YOUR AUDIENCE

Effects:
Positive
Negative
Acceptance
Rejection

140 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

as comedy entertainment for Malaysians. Ne- audience research, Morley (1974) wrote :
vertheless, its latest production of Scenario “[W]hat is needed is the development of a 'cul-
XXX remains to be seen. Audience can and in tural map' of the audience so that we can begin
many cases remains unpredictable. No theatre, to see which classes, section of classes and sub-
film and movie maker in Malaysian or else groups share which cultural codes and meaning
where, not even Hollywood or Bollywood can system, to what extent” (p. 12). This is certain-
and able to ascertain success or box office sales ly true with a country like Malaysia where cul-
in advance. tural plurality and diversity is at the forefront
Tha fact remains that there has been very particularly in trying to understand the audience
little market research on modern 21st century perspectives, preferences and behaviours to-
audiences. Most audience research is based on wards any screen production.
audience response to a film they have already
Need for Ethnography Approach
seen. Practicing a film's box-office success is
never an easy business. Many film producers Together with the more contemporary
and media miscalculated by basing their deci- work for Morley (e.g., 1980, 1986, 1992), Ang's
sions on past box-office performance rather work (e.g., 1985, 1991, 1996) has contributed
than potential audience response. Therefore, it very importantly to continuing debate about
is important for us to realise that it is not just how 'audiences' should, or should not, be in-
because audiences are flocking to Crouching vestigated. In Desperately Seeking the Audi-
Tiger, Hidden Dragon (Ang, 1996), mean they ence (1991), Ang made a powerful case for ne-
will flock to see the next Asian martial arts flick. cessity of the ethnographic approach. She
Audience perception happens almost every se- claimed that our knowledge of audiences had
cond. People change. Some audience are simi- been formed and shaped by what she called “the
lar with another, others are vastly different in institutional point of view”. This institutional
personality, attitude, behaviour, thoughts, and point of view is the way in which industry and
routines. mainstream academic research were inclined to
The best means to understand audiences percieve audiences. Evidently, such approach
was most clearly and succinctly expressed by had in fact prevented a true understanding of the
Fiske (1987) in his simple affirmation that : “au- audience. In Ang's view, only “a perspective
dience is composed of a wide variety of groups that display sensitivity to the everyday prac-
and is not a homogeneous mass... these groups tices and experiences of actual audiences them-
actively watch ... in order to produce from its selves” can supply any true insight into viewers
meanings that connect with their social expe- (see Ang, 1991). We feel that such approach is
rience” (p.84). Audience for that matter is hete- timely and suits the screen industry in Malaysia.
rogeneus must always be understood in the plu- Only when we understand the composition and
ral. preferences among the richly diverse populat-
In addition, Morley (1974) identified the ion of viewers in Malaysia that perhaps better
important characteristics of audiences to be programming and production could be made.
considered in any analysis, must include social Institutional knowledge, according to
class, gender, age, ethnicity, level of formal Ang, is formed by the industry's need to “get” an
education and region of residence. Though audience. The audience as seen by the industry
Malaysia is fairly small country compared to is a group of individuals with identifiable and
the United States, India, Australia, though dif- categorizable attributes: age, gender, and so
ference among audience preferences between forth. Ang demonstrates that this view of “the
and within states may differ greatly. The south- audience” (singular) is a discursive construct
ern people perhaps have different perception, and therefore does not match any actual audi-
preferences towards movies, comedy, than peo- ence. This in turn explain why broadcasting or-
ple in eastern part of Malaysia. ganization are bound to be “desperately seeking
All of these characteristics were seen to audience”. Despite all of the sophisticated me-
correspond with different audience groups and thods of audience measurement--for example,
subgroups, and likewise with alternative cultur- the people meter--the industry is never truly cer-
al codes and meaning systems. At that very tain of actually “having” an audience. Actual
early juncture in the emergence of ethnographic audiences are unpredictable, constantly chang-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 141


Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

ing their preferences, and therefore the attempt  The message always contains more than one
to describe the audience in term of neatly de- potential “reading”. Message propose and
fined categories is in itself absurd. The industry “prefer” certain readings over others, but
is never truly certain of actually “having” an au- they can never become wholly closed around
dience. Actual audiences are unpredistable, one reading: they remain polysemic (i.e. ca-
constantly changing their preferences, and pable, in principle, of a variety of interpret-
therefore the attempt to describe the audience in ations).
term of neatly defined categories is in itself ab-  Understanding the message is also a prob-
surd. lematic practice, however transparent and
She proceeds to describe the uncomfort- “natural” it may seem. Messages encoded
able relationship between both private and pub- one way can always be decoded in a different
lic broadcasting organizations and their audi- way.
ences. Athough the two types of organizations The message in any product of screen
differ in their conceptualizations. Private production is treated here as a complex sign, in
broadcaster like TV3, NTV 7, ASTRO and which a “preferrred reading” has been inscrib-
other see audiences as consumers to be sold to ed, but which retains the potential, if decoded in
advertisers while public broadcasters like RTM a manner different from the way in which it has
see audiences as citizens to be educated and in- been encoded, of communicating a different
formed--both lack insight into the behaviour of meaning. The message is thus a structured poly-
their viewers. Ang provides detailed and useful semy. Your perspective and experiences of
insight into institutional conceptualizations of watching Puteri Gunung Ledang, Sepet, would
audiences and the difficulties encountered in possibly be similar or vastly different than other
their efforts to attract viewers. Finally, she viewers. It is central to argument that all mean-
points out that communication researches have ings do not exist “equally” in the message:
often too easily adopted the institutional point which is seen to have been structured in domi-
of view. She argues that mainstream communi- nance, despite the impossibility of a “total clos-
cation research, with its search for generaliza- ure” of meaning. Further, the “preffered read-
tions, is totally in contrast to the etnographic ap- ing” is itself part of the message, and can be
proach that she advocates. Rather than seek to identified within its linguistic and communi-
generalize, etnographic research under the rub- cative structure.
ric of qualitative research method asks how spe- There will be no necessary “fit” or tran-
cific audiences differ in the social production of sparency between the encoding and decoding
meaning within their daily lives and especially ends of the communication chains. It is precise-
in view of the diverse social settings in which ly the lack of transparency, and its consequen-
media are recieved. Practically, such analysis ces for communication which we need to in-
requires qualitative empirical methods includ- vestigate qualitatively. Having established that
ing in-depth interviews and observations of the there is always a possibility if disjunction bet-
audiences in the primary settings where view- ween the codes of those sending and those re-
ing ocurs. ceiving through the circuit of mass communi-
cations, the problem of the “effects” of commu-
The Communicative Dimension of
nication could now be reformulated, as that of
Audience Research the extent to which decoding take place within
The key focus as depicted in Diagram- the limit of the preferred (or dominant) manner
me 1 was on the realisation that we are, of in which the message has been initially encod-
course, dealing with human communication ed.
that it rich with signs and symbols, which only Screen theory was centrally concerned
have meaning within the terms of reference sup- with the analysis the effects of cinema (and es-
plied by codes (of one sort or another) which the pecially, the regressive effects of mainstream,
audience shares, to some greater or lesser ex- commercial cinema) in “positioning” the spec-
tent, with the producers of messages. The pre- tator (or subject) of the film, through the way in
mises of encoding/decoding model were : which the text (by means of camera placement,
 The same event can be encoded in more than editing, and other formal characteristic “fixed”
two way. the spectator into a particular kind of “subject-

142 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

position”, which it was argued “guaranteed” the the researcher unavoidably accords priority to
transmission of a certain kind of “bourgeois ide- that unit, to the necessary exclusion or neglect
ology” of naturalism, realism, and probability. of all of other interpretive communities to
Undoubtedly, on of the Screen theory's which the individual belongs.
great achievements, drawing was to restore an If, say, we wanted to explore the recept-
emphasis to the analysis of text which has been ive of Scenario productions for example on Ma-
absent in much previous work. In particular, the laysia audiences and its social signifying pro-
insight of psychoanalysis were extremely influ- cesses among the population of the country, it
ential in the development of later feminist work would be impossible to do justice to the vast-
on the role of media in the construction of gen- ness of this subject through a study of one inter-
dered identities and gendered form of spectator- pretive community. To interview families/
ship (see, Kuhn, 1982 ; Modleski, 1984). households, for instance, is clearly insufficient
Proponents of Screen theory argued that if one wants to capture the multiple interperso-
previous approaches had neglected the analysis nal discourses through which people make sen-
of the textual forms and patterns of media pro- se of the message and story line that Scenario
ducts, concentrating instead of the analysis of projects to deliver.
patterns of ownership and control. As qualitative practioners and research-
In Screen theory, it was the text itself ers we feel that the best solution is to use the
which was the central (if not exclusive) focus of individual interview in the informant's home as
the analysis, of the assumption that, since the the research setting that best does justice to the
text “positioned” the spectators, all that was ne- whole array of cultural discourses that individu-
cessary was the close analysis of texts, from al inhabits, After all, one need not directly ob-
which their “effects” on their spectators could serve the individual in each and every possible
be automatically deduced, as spectators were social setting; while the individual is situated in
bound to take up the “positions constructed the household setting, one can also freely ex-
from them by the text (film). plore the multiple sociocultural circumstances
which contribute to the individual's readings
Fundamental and Issues of Audience
and uses of television or other media. As Schro-
Analysis
der states, “this is ultimately an empirical quest-
Much of the methodological complexity ion” (p. 342), and a research design can be for-
derives from the initial discovery that specific mulated in such a way as to capture the experi-
readings of media text originate in both macro- ences of subjects in other settings.
social factors, such as class, ethnicity, gender, A preliminary step in the formulation of
age, and so forth as well as in micro-social or any research design is the need to first sketch
interactional/contextual relations such as out the variety of household that are contained
household dynamic, which impose their own within Malaysia as a country case and to assem-
influences and at the same time serve to mediate ble some of the available data regarding their
the larger macrosocial factors that are operative respective patterns of media usage. It can be
(see Schroder, 1994). seen that one “overseas” contribution of those,
What further complicates any research such as Ang and Morley do provide fruitful fod-
design is the reality that media reception occurs der for the empirical exploration of the recept-
in a variety of setting, of which the household is ion process as it operates here. Since the domi-
but one and only dominant-setting, and it is me- nant setting of ethnographic audience research
diated and negotiated in a yet greater variety of is the household, what can add to the fodder are
multiple social setting. Schroder (1994) strikes the potential useful linkages between discuss-
home the fundamental reality that even research ion of households in the family studies literature
which summons together naturally interactive and discussions of households media reception
social groups (such as families or peer groups) in the media studies literature. There is, in other
is problematic in the sense that each member of words, much to be gained from an at-tempted
such a group or “interpretive community” is integration or at least intersection of family stu-
simultaneously a member of many other social dies and media studies along several counts,
groups or commu-nities. Just by virtue of the act particularly if one is concerned, like most eth-
of selecting one of these as the unit of analysis, nographic audience researchers, to unravel the

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 143


Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

operation of the media reception process within ritual activities, processes of interpersonal com-
its everyday household context. munication, and physical factors that charac-
For example, there is a tendency within terize the household environment, as well as the
ethnographic audience research to treat families technological equipment con-ained within it.
and households in a monolithic manner, to con- Television, as the dominant medium to-
sider socalled “nuclear” families almost exclu- wards which attention is directed in these dis-
sively, and to overlook the extensive and in- cussions, is seen to serve a variety of purposes
creasing diversity of family forms and house- in everyday family relations. In household with
hold types including solo-parent families, children, it can be called upon to alleviate some-
childless couples, gay and lesbian couples, mul- what the burden of child care by occupying the
ti-generational households, one-person house- attention of children while other household la-
holds, and so forth. There is, in other words, ten- bor chores are completed. In solo-parent house-
dency to overlook the variety of ways in which holds, it is sometimes called upon in order to
households are differentially structured, which play out symbolically the role of the second pa-
in turn leads to differential configurations of in- rent. And in all but one-person households, it
teractional dynamics, and which in turn can be can be incorporated into strategies to avoid phy-
expected to lead to different patterns of media sical or emotional contact with other household
usage and differential outcomes of the media re- members.
ception experience. As Morley (1980, 1986), Rogger & Jen-
There are also several components of sen (1988), and others have demonstrated, the
media usage patterns that can be distinguished, uses and patterns of television viewing may be
including: the type and quantity of media avail- highly routinized, yet are not at all static or in-
able within a household, the extent of usage, vulnerable to change. Where household cir-
gendered patterns of usage, and, not, unrelated- cumstances change for example, where the
ly, power and control over media usage as it is composition of the household changes or where
exercised within the social-interaction dyna- a member becomes unemployed-family view-
mics of family media experiences. Unfortu- ing patterns can be dramatically affected with
nately, the available Malaysian data are largely respect to the amount of viewing, the content of
limited to those regarding the extent to which viewing, and the linkages between viewing and
Ma-laysian households are equipped with com- other household activities. In the case of a
munication and information technologies. household struck by unemployment, communi-
These data are indeed extraordinary, and reflect cation and relations between members can be
the tradition whereby Malaysians have tended expected to change as new viewing patterns are
historically to be ravenous consumers of media negotiated in order to arrive at a viable arrange-
technologies. ment that will work within the nexus of prefi-
Lull's (1990) discussion of cultural varia- gured social relations in the household.
tions in family viewing and the rituals and rule
Conclusion
of social interaction and communication within
households moves further towards a compre- This paper advocates the need for all
hensive and contextualized understanding of stakeholders in the screen industry particularly
the media reception process. His notion of “cul- film producers, directors to conduct audience
tural variation” extends to three levels of analy- analysis by segmenting their audience to target
sis: by “the culture” he refers to characteristics their messages. This article suggests, in a highly
of a social context beyond the microlevel para- exploratory and tentative fashion, that it is time-
meters of the household; “the household” en- ly for the industry to realize the importance of
compasses the structure of family relations as gathering qualitatively of existent knowledge
well as the physical location or place in which of Malaysian audience, Malaysia family struc-
television is experienced; and the third level of tures and family dynamics, alongside and toge-
analysis is “the person”. He acknowledges that ther with existent knowledge of family media
television viewing occurs most commonly and consumption and culture in order to begin to ad-
most fundamentally within the household: what dress questions of screen production reception
is understood to be a complex, very intricate in Malaysia in a truly comprehensive and con-
mix of persons, social roles, power relations, textually sensitive manner.

144 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Dzakaria & Yusoff : The Role of Qualitative Audience Analysis in Malaysia Screen Industry

Such work might call upon a variety of ence. New York: Routledge.
methods, but this paper advocated the use of Lull, J. (1997). Inside family viewing: Etno-
qualitative approach to better understand the graphic research on television's audi-
Malaysia audience preference, perspectives, ences. New York: Routledge.
believe system, and behaviours towards screen Modleski, T. (1984). Loving With A Vengeance.
production. We believe that such powerful re- London: Mutheun.
search method could have the industry and al- Morley, D. (1974). Reconceptualizing the me-
low the viewers or audience to express their dia audience: Towards an ethnography of
views freely, and such informed knowledge audiences. University of Birmingham,
could make it possible for the stakeholders in Centre for Contemporary Cultural Stu-
the industry to fully understand how the social dies, Stencilled Occasional Papers.
characteristiscs of viewers shaped their res- -----. (1980). The nationwide audience: Struc-
ponses. ture and decoding. London: British Film
Institute.
-----. (1986). Family television: Cultural power
References and domestic leisure. London: Comedia.
-----. (1992). Television, audiences, and
Ang, L. (1985). Watching Dallas: Soap Opera
cultural studies. London : Routledge.
and Melodramatic Imagination. Lon-
Rogger, J., & Jensen, K. (1988). Everyday life
don: Methuen.
and television in west Germany: An em-
-----. (1991). Desperately Seeking The Audi-
phatetic-interpretive perspective on the
ence. London : Routledge.
-----. (1996). Living Room Wars: Rethinking family as system. In James Lull (Ed.),
Media Audience for A Postmodern World families watch television (pp. 80-
World. London: Routledge. 115). London: Sage.
Fiske, J. (1987). Television Culture. London: Schroder, K.C. (1994). Audience semiotics,
Methuen. interpretive communities, and the “etno-
Lewis, J. (1991). The Ideological Octopus: An graphic turn” in Media Research. Media,
Exploration of Television and its audi- Culture & Society, 16 (2), 337-347.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 145


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 146-154

Proporsionalitas Anggota DPRD:


Kajian Terhadap Proses Rekrutmen Anggota DPRD
Hasil Pemilu 2004 di Kabupaten Wonogiri

Dwi Tiyanto
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak
Penelitian ini merupakan sebuah langkah untuk mencoba melakukan evaluasi atas jalannya
kegiatan Politik lima tahunan yang dalam terminologi politik sering disebut sebagai Pemilih-
an Umum; khususnya mengenai bagaimana Sistem Pemilihan yang dipergunakan dalam Pe-
milu legislatif yang terakhir dilaksanakan yakni Pemilu pada tahun 2004, dengan berlandas-
kan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2003.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proporsionalitas keanggotaan
DPRD yang diperoleh melalui Pemilu 2004 di Kabupaten Wonogiri. Diambilnya DPRD Wo-
nogiri sebagai obyek penelitian mengingat bahwa disanalah merupakan satu-satunya DPRD
di bekas wilayah Karesidenan Surakarta, yang memiliki 2 orang angota yang terpilih sebagai
anggota DPRD dengan melampaui angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) seperti diatur
dalam pasal 107 UU No. 12 Tahun 2003. Karena penelitian ini masih bersifat penelitian awal,
yakni berupa penjajagan, maka metode yang dilakukan dengan menggunakan metode analisis
data sekunder, yang diperoleh dari DPRD Kabupaten Wonogiri dan KPUD Kabupaten yang
sama.
Hasil penelitian ternyata diketahui bahwa secara proporsionalitas penggunaan sistem
campuran yakni perwakilan berimbang dengan daftar terbuka, yang dipergunakan dalam
Pemilu legislatif tahun 2004 belum mampu menjaring banyak anggota dewan yang mampu
melebihi BPP, kebanyakan anggota karena diuntungkan ketika pencalonannya berada pada
posisi jadi, menempati nomor urut atas/kecil yang telah diatur oleh partai politik yang
mencalonkannya, sehingga pada Daerah pemilihan partai politiknya meraih kursi di dewan,
otomatis jatah kursinya diambil oleh calon legislatif yang memiliki nomor atas tersebut.
Untuk itu direkomendasikan agar terwujud kinerja dewan perwakilan rakyat yang re-
presentatif, kelak dalam Pemilu-pemilu yang akan datang bisa direvisi Sistem Pemilihan yang
selama ini dipergunakan dengan menggunakan sistem mayoritas sederhana, sehingga kapasi-
tas kader partai politik yang akan menentukan bukan kepentingan partai politik apalagi pe-
ngurus partainya.

Keywords: Pemilu, proporsionalitas legislatif, komunikasi politik, Wonogiri.

sisi demokrasi, seperti yang diusung oleh


Pendahuluan
semangat reformasi akhirnya telah merubah se-
Perkembangan demokrasi di Indonesia cara struktural sistem politik yang selama ini di-
mengalami pasang surut yang sangat dinamis anggap sangat berpihak pada kekuasaan ekse-
sesuai dengan perkembangan sistem politik kutif menjadi lebih condong kepada kekuatan
yang melingkupinya. Perubahan menuju tran- legislatif. Apalagi dengan serangkaian amande-

146 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

men yang telah empat kali dilakukan terhadap untuk meneliti apakah azas proposionalitas ter-
konstitusi negara, maka muncul beberapa atur- sebut telah terpenuhi dalam rekrutmen anggota
an perundangan sebagai aturan organik yang dewan legislatif DPRD yang dihasilkan dari pe-
harus dibuat sebagai konsekwensi terhadap per- nyelenggaraan Pemilu tahun 2004 yang lalu.
ubahan UUD 1945 tersebut, beberapa aturan Kemudian mengingat hasil Pemilu Legislatif
pokok itu khususnya di bidang politik antara Daerah di Kabupaten Wonogiri ternyata meng-
lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 hasilkan fenomena politik yang sangat menarik,
tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor yakni bahwa diantara beberapa kabupaten yang
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Un- terdapat di bekas wilayah Karesidenan Surakar-
dang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pe- ta, maka hanya di Kabupaten Wonogiri terdapat
milihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dua kandidat anggota DPRD yang berhasil me-
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang menuhi azas proporsionalitas dalam arti meme-
perubahan Undang-Undang Nomor 22 tahun nuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), sehing-
1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kese- ga dengan demikian langsung bisa menduduki
muanya telah merubah secara struktural sistem kursi di lembaga perwakilan daerah setempat,
pemerintahan yang ada sejak reformasi politik sementara tidak ada seorangpun kandidat di ka-
dilakukan. bupaten lainnya di wilayah tersebut yang bisa
Undang-Undang nomor 12 tahun 2003 menjadi anggota DPRD dengan memenuhi azas
tentang pemilu menggunakan sistem Multy- proposionalitas tersebut, maka peneliti bermak-
Member Constituency atau sering disebut Sis- sud untuk meneliti tentang apa dan bagaimana
tem Perwakilan Berimbang (Proportional Re- serta mengapa terdapat dua kandidat legislatif
presentation). Oleh karea itu sejak diundang- daerah di Kabupaten Wonogiri tersebut bisa
kannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 memenuhi azas proporsionalitas sehingga ter-
tersebut sistem pemilihan anggota legislatif di- pilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Wono-
dasarkan pada sistem Proporsional Daftar Ca- giri.
lon Terbuka (Opened List Proportional Repre-
Perumusan Masalah
sentation System); dimana pemilih dalam me-
nentukan pilihan politiknya kecuali mencoblos Berdasarkan pemaparan dimuka maka di
tanda gambar partai politik, juga mencoblos na- dalam penelitian ini diajukan suatu perumusan
ma calon anggota legislatif dari partai bersang- masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah Azas
kutan yang dikehendakinya. Proporsionalitas dalam Proses Rekrutmen Ang-
Lebih lanjut konsekwensi dari sistem pe- gota DPRD hasil Pemilu 2004 di Kabupaten
milu yang demikian ini, maka seseorang calon Wonogiri?”
legislatif yang bisa memenuhi angka Bilangan
Metode Penelitian
Pembagi Pemilih otomatis akan langsung terpi-
lih menjadi anggota Dewan; sedangkan calon Penelitian ini dapat dikategorikan ke da-
yang tidak mencapai angka BPP, penetapan ca- lam penelitian diskriptif penelitian diskriptif-
lon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut kualitatif dengan mengambil bentuk Studi Ka-
pada daftar calon di daerah pemilihan yang ber- sus, yakni sebuah penelitian yang dilakukan ter-
sangkutan (lihat UU Nomor 12 tahun 2003 pa- batas pada usaha mengungkapkan suatu masa-
sal 107). Dengan demikian dapat dimaknai bah- lah, keadaan atau peristiwa bahkan fenomena
wa anggota legislatif yang terpilih disebabakan sebagaimana adanya sehingga bersifat peng-
oleh perolehan suara yang sama atau melebihi gambaran fakta yang terjadi. Fenomena ini sa-
BPP maka yang bersangkutan telah memenuhi ngat bersifat spesifik sehingga dapat diklasifi-
azas proporsionalitas, sementara bagi mereka kasikan ke dalam studi kasus, dimana hasil pe-
yang terpilih meskipun tidak memenuhi angka nelitian ini diarahkan pada pemberian gambar-
BPP tetapi berdasarkan nomor urut daftar an secara obyektif tentang keadaan yang sebe-
pencalonan di daerah pemilihan mereka, dapat narnya dari obyek penelitian yang sedang diteli-
dikatakan tidak memenuhi azas proporsionali- ti, yakni proses rekrutmen anggota DPRD di
tas, dan ini berlaku bagi anggota legislatif Pusat Kabupaten Wonogiri berdasarkan Undang-Un-
DPR maupun daerah atau DPRD. dang Nomor 12 Tahun 2003.
Untuk keperluan itulah peneliti tertarik Sedangkan rancangan penelitian ini

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 147


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

menggunakan teknik penyamplingan yang ber- sebanyak 45 orang. Berdasarkan hasil pemilih-
sifat Total Sampling, dalam pemahaman bahwa an umum (PEMILU) yang diselenggarakan
semua responden yang dijadikan unit analisis tahun 2004 yang lalu maka telah ditetapkan
penelitian ini adalah semua anggota DPRD Ka- jumlah dan susunan keanggotaan DPRD Kabu-
bupaten Wonogiri yang berhasil menjadi ang- paten Wonogiri sebanyak 45 orang anggota
gota DPRD yang akan menjadi dasar bagi pe- DPRD yang terdiri dari perwakilan 5 (lima) par-
ngumpulan dan analisis datanya, sedangkan da- tai politik yang mengikuti jalannya pemilihan
ta-data lain bersifat komplementer yang akan umum tahun 2004 yang lalu, yakni dari PDIP 24
dipergunakan untuk melengkapi data dari para orang, partai Golkar 12 orang dan partai Demo-
responden dalam penelitian ini yang tentunya krat 1 orang.
akan diperoleh dengan menggali dari sumber Wakil rakyat sebanyak 45 orang tersebut
data yang bersifat sekunder baik dari dokumen yang berasal dari 5 partai pemenang pemilu
resmi lembaga KPUD Kabupaten Wonogiri 2004 di kabupaten Wonogiri kemudian dike-
maupun dari DPRD Kabupaten Wonogiri. lompokkan ke dalam 4 (empat) Fraksi, yang ter-
Untuk menguji keabsahan data yang te- diri dari Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar,
lah didapatkan, maka dalam penelitian ini di- Fraksi PAN dan Fraksi PKS, di mana masing-
pergunakan triangulasi data, yakni dengan me- masing Fraksi memiliki susunan keanggotaan
lakukan pemeriksaan keabsahan data dengan seperti tersaji pada Tabel 1 sampai Tabel 4.
menggunakan atau memanfaatkan sesuatu yang Dengan demikian dari ke 45 anggota
lain di luar data untuk keperluan pengecekan DPRD Kabupaten Wonogiri tersebut telah
atau sebagai pembanding terhadap data tersebut terserap ke dalam 4 Fraksi yang dibentuk di
(Moleong, 1994:178); di mana apabila mem- DPRD, dan hanya satu orang wakil yakni dari
pergunakan klasifikasi dari Denzin (1978) yang Partai Demokrat karena jumlahnya hanya 1
membedakan adanya empat jenis triangulasi orang, maka tidak memungkinkan untuk
data sebagai teknik pemeriksaan yang meliputi membentuk Fraksi tersendiri, sehingga
penggunaan sumber, metode, penyidik dan teo- bergabung ke dalam Fraksi PKS.
ri, maka dalam penelitian ini peneliti akan DPRD Kabupaten Wonogiri memiliki 4
menggunakan uji keabsahan data berdasarkan (empat) Komisi yang dibagi berdasarkan alfa-
kepada penggunaan sumber data sebagai teknik betisasi, yakni mulai dari Komisi A yang mem-
trianggulasinya. Untuk itu data yang dikumpul- bidangi Bidang Pemerintahan. Komisi B Bi-
kan dan akan dianalisis yang diperoleh dari ang- dang Ekonomi dan Keuangan, Komisi C Bi-
gota DPRD yang dipilih secara langsung karena dang Pembangunan dan Komisi D membidangi
dapat melampaui BPP akan dikonfirmasikan Bidang Kesejahteraan Rakyat.
dengan data dari sumber-sumber lain baik dari B. Penetapan Hasil Perolehan Kursi dan
dalam lembaga DPRD Kabupaten Wonogiri Calon Terpilih Anggota DPRD
maupun dari KPUD Kabupaten Wonogiri. Hasil Pemilu Legislatif DPRD Kabupa-
Hasil Penelitian ten Wonogiri telah ditetapkan oleh Komisi Pe-
milihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten
Berdasarkan data yang dikumpulkan se- Wonogiri melalui Rapat Pleno Terbuka yang di-
lama penelitian ini, terutama dari dokumentasi ikuti dan disaksikan oleh seluruh Pimpinan Par-
yang terdapat di Sekretariat Dewan Perwakilan tai Politik peserta Pemilu tahun 2004 beserta
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Wonogiri para saksinya. Tokoh Masyarakat, dan Tokoh
dan Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Dae- Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat, Orga-
rah (KPUD) Kabupaten Wonogiri, maka dapat nisasi Masyarakat, dan undangan lainnya, serta
disajikan penelitian sebagai berikut: Badan Penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten
A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Wonogiri
(DPRD) Kabupaten Wonogiri Penetapan dilaksanakan pada tanggal 8
Dikarenakan jumlah penduduk Kabupa- Mei 2004 tertunda selama 4 (empat) hari karena
ten Wonogiri telah mencapai 1.122.557 jiwa, mundurnya penetapan hasil pemilu 2004 secara
sementara berdasarkan aturan perundangan-un- nasional oleh Komisi Pemilihan Umum. Pene-
dangan yang ada maka jumlah anggota DPRD tapan dilakukan untuk menghitung dan mene-
yang berada di daerah tersebut telah ditetapkan tapkan perolehan kursi kemudian ditentukan

148 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

calon terpilih dari masing-masing Partai Politik hap kedua,


peserta Pemilu sesuai denga jumlah kursi yang  Pembagian sisa kursi pada penghitungan ta-
mereka peroleh. Untuk Kabupaten Wonogiri hap kedua, dilakukan dengan cara membagi-
bahan yang dipergunakan untuk penetapan ini kan sisa kursi yang terbagi satu demi satu
adalah Berita Acara dan Sertifikat hasil penghi- berturut-turut, dimulai dari partai politik
tungan suara yang telah ditandatangani pada yang mempunyai sisa suara paling banyak
Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Peng- sampai sisa kursi tersebut habis terbagi;
hitungan Suara di Kabupaten Wonogiri.  Apabila jumlah partai politik yang mempu-
Penetapan telah dilakukan untuk setiap nyai jumlah sisa suara sama lebih banyak da-
Daerah Pemilihan pemilu Anggota DPRD Ka- ripada jumlah sisa kursi yang belum terbagi
bupaten Wonogiri dan dimulai dari Daerah Pe- habis, maka sisa kursi tersebut dibagikan ke-
milihan Wonogiri 1 (satu) sampai Daerah Pemi- pada partai politik yang bersangkutan berda-
lihan 5. Setiap daerah Pemilihan dilakukan sarkan undian;
hingga selesai yakni dari Penetapan BPP (Bila-  Undian sebagaimana dimaksud, dilakukan
ngan Pembagi Pemilih), perolehan kursi hingga dalam rapat pleno KPU Kabupaten Wonogiri
CalonAnggota DPRD Kabupaten Wonogiri ter- yang dihadiri Saksi dan Panitia Pengawas
pilih. (lihat KPU Kabupaten Wonogiri, 2004). Pemilu Kabupaten Wonogiri serta undangan,
Alur penetapan hasil Pemilu Anggota DPRD dengan ketentuan masing-masing partai poli-
Kabupaten Wonogiri tahun 2004 tersebut dapat tik yang mengikuti undian memiliki kesem-
dilihat pada Bagan 1. patan yang sama dalam memperoleh satu sisa
kursi.
1.Penetapan Perolehan Kursi
Untuk Pemilu legislatif tahun 2004 yang
Langkah-langkah dalam penetapan hasil
lalu hasil penghitungan BPP dari masing-ma-
Pemilu dilalui dengan menetapkan perolehan
sing daerah Pemilihan adalah sebagai berikut:
kursi masing-masing partai politik peserta pe-
a. Dapil Wonogiri 1: suara sah 137.015, jumlah
milu di Kabupaten Wonogiri. Penetapan pero-
kursi 10, BPP 13.702;
lehan kursi masing-masing Partai Politik peser- b. Dapil Wonogiri 2: suara sah 122.110, jumlah
ta Pemilu di setiap Daerah Pemilihan (Dapil) di- kursi 9, BPP 13.568;
lakukan dengan memenuhi mekanisme dan ke- c. Dapil Wonogiri 3: suara sah 109.962, jumlah
tentuan sebagaimana diatur: kursi 9, BPP 12.218;
a. Penetapan angka bilangan Pembagi d. Dapil Wonogiri 4: suara sah 110.644, jumlah
Pemilih (BPP) untuk setiap Daerah Pemilihan, kursi 9, BPP 12.294;
yakni diperoleh dengan membagi jumlah suara e. Dapil Wonogiri 5: suara sah 137.203, jumlah
sah partai politikyang diperoleh di DP tertentu kursi 9, BPP 14.150.
dengan jumlah kursi yang tersedia di Daerah Pada saat penetapan kursi ternyata di-
Pemilihan bersangkutan. warnai suasana yang tegang, karena dari 45 kur-
b. SetelahAngka BPP diperoleh selanjut- si yang diperebutkan dari masing-masing dae-
nya jumlah suara sah masing-masing partai po- rah pemilihan, terdapat 30 kursi yang diperoleh
litik dibagi dengan angka BPP, denga ketentu- masing-masing partai politik melalui peraihan
an: suara penuh, sedangkan 15 kursi sisanya diper-
 Apabila jumlah suara sah partai politik sama rebutkan dengan melalui penghitungan sisa
atau lebih besar daripada angka BPP, maka suara sah masing-masing partai politik. Pada
diperoleh kursi dalam penghitungan tahap penghitungan dan penetapan kursi tersebut di-
pertama, dengan kemungkinan masih terda- hasilkan penetapan sebagai berikut:
pat sisa suara sah partai politik yang dihitung a. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
dalam penghitungan tahap kedua, (PDIP) memperoleh 21 kursi penuh dan 3
 Apabila jumlah suara sah partai politik lebih kursi dari sisa suara sah;
kecil daripada angka BPP, dalam penghitu- b. Partai Golkar mendapatkan 9 kursi penuh
ngan tahap pertama sebagaimana dimaksud dan 3 kursi dari sisa suara sah;
pada ketentuan diatas tidak memproleh kursi c. Sedang 3 partai lain, yakni PAN mendapat-
dan jumlah suara sah partai politik tersebut kan 4 kursi, PKS 4 kursi dan Partai Demokrat
dikategorikan sebagai sisa suara sah partai 1 kursi masing-masing memperoleh dari sisa
politik yang dihitung dalam penghitungan ta- suara sah.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 149


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

Dengan demikian dari 45 kursi di DPRD mendukungnya yakni dari hitungan sisa suara
Kabupaten Wonogiri yang diperebutkan, akhir- sah, untuk membagi kursi sisa yang sebanyak
nya setelah melalui penghitungan suara dan 15 tersebut, maka apabila azas proposionalitas
kursinya, diperoleh komposisi PDIP memper- ini diperhitungkan jelaslah banyak anggota
oleh 24 kursi, Partai Golkar 12 kursi, PAN 4 yang tidak memenuhinya, semisal ada anggota
kursi, PKS 4 kursi dan Partai Demokrat 1 kursi. DPRD dari partai besar di Kabupaten Wonogiri
Secara rinci, perolehan kursi DPRD Kabupaten yang bisa diangkat menjadi anggota Dewan cu-
Wonogiri dari hasil Pemilu 2004 disajikan da- kup dengan mendapatkan dukungan 1.231 sua-
lam Tabel 5 dan Tabel 6. ra, namun karena partainya meraih 5 kursi di
C. Proposionalitas Keanggotaan DPRD Daerah Pemilihan tersebut, sementara dalam
Kabupaten Wonogiri daftar Calon Legislatif dia berada pada nomor
Berdasarkan data yang tersaji di muka, 4, maka secara otomatis partainya akan mene-
dapat dinyatakan meskipun dibandingkan ke- tapkan dia sebagai anggota terpilih nomor 4 di
anggotaan DPRD Kabupaten-Kabupaten dan Daerah Pemilihannya, bahkan anggota dari Par-
kota lain, keanggotaan DPRD Kabupaten Wo- tai lain yang lebih kecil bisa menjadi anggota
nogiri relatif ada yang bisa memenuhi ketentu- DPRD Kabupaten Wonogiri, dengan dukungan
an yang terdapat dalam pasal 107 dari Undang- suara yang sangat tidak signifikan yakni hanya
Undang No. 12 tahun 2003, dimana keanggota- sebesar 420 suara, namun lagi-lagi karena di
an seseorang anggota dewan disebabkan oleh dalam daftar pencalonannya yang bersangkutan
adanya dukungan suara yang bias memenuhi yang kebetulan orang atas pada partai politik-
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di Daerah Pe- nya di daerah bersangkutan, dan untuk daerah
milihannya (DP), yakni sebanyak 2 (dua) orang pilihan yang bersangkutan didudukkan pada
dari 45 (empat puluh lima) orang anggota nomor urut 1, dan ketika partainya meraih kursi
DPRD Kabupaten Wonogiri, sementara menu- dari sisa suara sah yang diperolehnya, maka ja-
rut data yang ada pada KPUD di daerah-daerah tah 1 kursi tersebut tentunys untuk yang ber-
lain di wilayah Surakarta, tidak ada satupun sangkutan, meskipun jika dihitung perolehan
anggota DPRD yang ditetapkan keanggotaan- suaranya sangat kecil sekali.
nya setelah memenuhi BPP, dalam perspektif Dengan demikian terlihat bahwa kecuali
ini maka keanggotaan DPRD Kabupaten Wo- dua orang anggota yang bisa memenuhi BPP
nogiri relatif lebih baik. tersebut, banyak anggota DPRD di Kabupaten
Namun demikian secara internal dilaku- Wonogiri yang secara legitimasi dukungan sua-
kan perhitungan analisis secara kualitatif, maka ranya, sangat tidak signifikan, namun karena
sebenarnya dari 2 orang anggota yang bisa me- sistem Pemilu mengatur yang demikian itu, da-
menuhi BPP tersebut, yakni atas nama Wawan lam arti mempersandingkan sistem daftar calon
Setya Nugraha, S.Sos dan Muhammad Zainu- legislatif di samping partai politiknya, maka
din, S.Sos, yang masing masing mewakili Dae- masih banyak aktor-aktor politik yang sebenar-
rah Pemilihan Wonogiri 1 dan Wonogiri 2 dan nya tidak kuat mengakar, namun karena memi-
keduanya berasal dari PDIP, belum dikatakan liki kekuasaan di partai pilitiknya, maka akan
ideal memenuhi azas proposionalitas dalam pe- dengan mudah meraih akses kekuasaan di De-
ngangkatannya, sebab jikalau harus diprosenta- wan, apabila partainya dapat jatah kursi di Dae-
sekan maka akan didapat nilai prosentase yang rah Pemilihannya, karena sudah tentu para pe-
masih rendah, yakni sebesar 4,44% saja dari ke- tinggi partai akan dicalonkan pada posisi nomor
seluruhan anggota DPRD Kabupaten Wonogiri. kecil atau nomor jadi, sehingga tanpa susah pa-
Kemudian secara internal kepartaian PDIP ting- yah membangun dukungan asalkan Partai Poli-
kat proposionalitasnya juga masih rendah yakni tik mereka adalah partai yang banyak massa
8,33%. pendukungnya, maka dapat dipastikan partai-
Data lain yang lebih menarik yang dida- nya akan meraih kursi di Dewan, dan para calon
pat dari dokumentasi KPU Kabupaten Wonogi- pemilik nomor urut kecil, yang biasanya para
ri, ternyata terungkap ada banyak anggota petinggi partai atau aktor-aktor politik yang me-
DPRD yang diangkat dengan dukungan suara miliki akses dengan kekuasaan partai akan de-
yang minim jauh dari BPP, tetapi karena sistem ngan mudah meraih kursi di dewan

150 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

Penutup da kekuatan partai politik yang mencalonkan-


nya, maka menjadi realitas politik pula apabila
A. Kesimpulan
ditemukan sebuah datum bahwa ada seorang
Berdasarkan data yang berhasil dikum-
anggota DPRD yang bisa duduk menjadi ang-
pulkan dan setelah dilakukan analisis, bisa di-
gota DPRD Kabupaten Wonogiri hanya dengan
simpulkan sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan Pemilu dengan dukungan 420 suara, karena Partai Politik yang
mempergunakan Sistem Pemilihan seperti yang mencalonkan berhasil mendapat jatah kursi 1
(satu) buah dari penghitungan sisa suara sah
dipergunakan dalam Pemilu 2004, yang salah
dalam penghitungan tahap kedua, karena yang
satu tujuannya untuk memilih anggota legislatif
bersangkutan dicalonkan pada nomor urut per-
baik di Pusat maupun Daerah, ternyata sulit un-
tuk bisa mendapatkan anggota legislatif yang tama di daerah pemilihannya, maka oleh partai-
benar-benar representatif mewakili rakyat; nya jatah kursi tersebut pastilah diberikan kepa-
2. Untuk daerah Kabupaten Wonogiri, danya; dalam konteks semacam ini maka azas
meskipun mengalami kesulitan namun realitas representasi seorang dewan menjadi sebuah
politik masih menunjukkan adanya fenomena pertanyaan.
yang menarik karena terdapat dua orang ang- B. Rekomendasi
gota DPRD yang dipilih menjadi anggota de- Berdasarkan kesimpulan dimuka, maka
wan, karena mendapat dukungan suara melebi- melalui laporan penelitian ini direkomendasi-
hi batas angka BPP dari Daerah Pemilihan me- kan beberapa hal:
reka; mereka itu adalah wakil dari Partai Demo- 1. Agar dihasilkan performa DPRD yang
krasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yakni Wa- representatif, maka pada pemilu-pemilu yang
wan Setya Nugraha, S.Sos yang meraih duku- akan datang, paling tidak tahun 2009 perlu dila-
ngan 14.107 suara, melebihi BPP dari Daerah kukan perubahan Undang-Undang tentang Pe-
Pemilihan Wonogiri 1 sebesar 13.702. Semen- nyelenggaraan Pemilihan Umum yang lebih bi-
tara yang bersangkutan pada daftar pencalonan sa menamung azas-azas representasi.
partai PDIP untuk Daerah Pemilihan tersebut 2. Sistem Pemilihan (electoral-formula-
ada pada urutan ke 4 (empat). Sedangkan ang- tion) yang selama ini dipergunakan, yakni sitem
gota lain adalah Muhammad Zainudin, S.Sos perwakilan Berimbang (proportional represen-
yang meraih dukungan suara 20.378 jauh dari tation) perlu ditinjau ulang kefaedahannya da-
angka BPP untuk Dapil Wonogiri 2 sebagai ba- lam komteks tingkat keterwakilan, karena pe-
sis peraihan suaranya sebesar 13.568; dan posi- ngalaman politik selama ini mengajarkan bah-
si pencalonannya pun berada pada nomor 5. wa dengan sistem ini, hanya menghasilkan wa-
3. Meskipun terdapat dua anggota yang kil-wakil partai dan bukan wakil-wakil rakyat
bisa memenuhi BPP di DPRD Kabupaten Wo- seperti yang diharapkan masyarakat politik In-
nogiri, namun dari aspek proporsionalitas ke- donesia baik pada tingkat Pusat maupun Dae-
anggotaan, sebenarnya tidak proporsional, ka- rah. Perlu dipertimbangkan pengadopsian Sis-
rena dari 45 anggota dewan, yang 43 dipilih dan tem Pemilihan yang lebih bisa memberi pelu-
diangkat sebagai anggota dewan karena diten- ang bagi tampilnya wakil-wakil rakyat yang be-
tukan oleh partai politik yang mencalonkan me- nar-benar mewakili rakyat, bukan wakil partai
reka, sehingga dengan demikian angka propor- politik, yakni dengan mengadopsi Sistem Dis-
sionalitas yang terdapat di DPRD Kabupaten trik tetapi yang tidak mutlak (Simple Majority)
Wonogiri masih sangat rendah, yakni sebesar tetapi seperti sistem Pemilu 2004 yang lalu, na-
4,44%. mun dengan ketentuan diambil ranking teratas
4. Sedangkan apabila dilihat angka pro- sampai rangking di mana kuota calon legislatif
porsionalitas dari perspektif internalpun, yakni dari Daerah pemilihan tertentu terpenuhi, mi-
PDIP maka ditemukan angka proporsionalitas salkan Daerah Pemilihan 1 mendapat jatah kur-
sebesar 8,33% mengingat anggota DPRD Ka- si 5 buah, maka siapapun dari partai manapun
bupaten Wonogiri yang berasal dari PDIP seba- yang memiliki dukungan suara terbanyak dari
nyak 24 orang. rangking 1 sampai 5 itulah yang akan mewakili
5. Dikarenakan sistem pemilihan yang Daerah Pemilihan tersebut. Dengan sistem ini
dipergunakan memang masih menumpulkan akan membuka variasi keterwakilan yang sa-
pengangkatan keanggotaan seseorang calon pa- ngat beragam, dan keberhasilan seseorang be-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 151


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

nar-benar akan diuji dan ditentukan oleh kapa- Berkeley: California University Press.
sitas pribadinya masing-masing. Kantaprawira, R. (1999). Sistem Politik Indone-
sia. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Wonogi-
Daftar Pustaka ri. (2004). Pemilihan Umum Tahun 2004 di
Abar, A.Z. (1990) Beberapa Aspek Pembangu- Kabupaten Wonogiri. Wonogiri: Sekreta-
nan Orde Baru. Surakarta: Ramadhani. riat KPU Kabupaten Wonogiri.
Budiardjo, M. (1993). Dasar-Dasar Ilmu Poli- Lijphart, A. (1984). Democracies: Patterns of
tik. Jakarta: Gramedia. Majoritarianism and Consensus Govern-
Crouch, H. (1986) Militer dan Politik di Indo- ment in Twenty-One Countries, New Ha-
nesia. Jakarta: Sinar Harapan. ven: Yale University.
Gaffar, A. (2004). Politik Indonesia Transisi Moleong, L.J. (1993). Metodologi Penelitian
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pe-lajar. Muhajir, N. (1992). Metodologi Penelitian Ku-
-----. (2000). Otonomi Daerah, Pembangunan alitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Daerah, dan Kesempatan Kerja. Makalah Sundhausen, U. (1986). Politik Militer Indone-
pada Seminar Nasional Otonomi Daerah sia 1945 -1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI.
dan Kesempatan Kerja, Surakarta 16 De- Jakarta: LP3ES.
sember 2000. -----. (2003). Undang-Undang Nomor 12 Tahun
Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Glen- 2003 tentang Pemilihan Umum. Sema-
coe, Illinois: The Free Press. rang: Duta Nusindo.
Jackson, K.D. & Pye, L.W. (1978). Political Surbakti, R. (1992). Memahami Ilmu Politik.
Power and Communication in Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Tabel 1 Susunan Keanggotaan Fraksi PDIP DPRD Tabel 2 Susunan Keanggotaan Fraksi Golongan
Kabupaten Wonogiri Karya DPRD Kabupaten Wonogiri

No Nama Jabatan No Nama Jabatan


1 Martanto SH Ketua 1 Sardi Djoko Pratopo, SE Penasehat
2 Giyanto Wakil Ketua 2 Drs. H. Sri Hardono Ketua
3 Endang Puji Astuti, S.PAK. Sekretaris 3 Sutrisno, SE Wakil Ketua
4 Rudatin Haryanto, SE Anggota 4 Edy Santoso, SH Sekretaris
5 Nawa Adi S., S.Pd Anggota 5 Samino, S.IP Wk Sekr
6 Wawan Setya Nugraha, S.Sos Anggota 6 Toekino HS Bendahara
7 Budi Mulyono Wriyatmo Anggota 7 Yuliawan Agung Nugroho Wk Bend
8 Darno Anggota 8 Soefi Hartojo MS Anggota
9 AS. Joko Prayitno Anggota 9 Sugiarto, S.Pd Anggota
10 Drs. Heru Suprihadi Anggota 10 S. Santoso SD Anggota
11 Muhammad Zainudin, S.Sos Anggota 11 Rijomo Anggota
12 Ir. Joko Purnomo Anggota 12 Suhardono Anggota
13 Sriyono S.Pd Anggota
14 Catur Winarko Anggota
15 Reting Puryanto Anggota
16 Suwarsi Anggota
17 Sugimin Djoko Suwondo, ST Anggota
18 Kartini, SH., S.IP Anggota
19 Gimanto, SH Anggota
20 Sudiyarso Anggota
21 Wahyudi W, S.H Anggota
22 Setyo Sukarno Anggota
23 Soetarno SR Anggota
24 Widodo Anggota

152 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

Tabel 3 Susunan Keanggotaan Fraksi Keadilan Tabel 4 Susunan Keanggotaan Fraksi Partai Ama-
Sejahtera DPRD Kabupaten Wonogiri nat Nasional DPRD Kabupaten Wonogiri

No Nama Jabatan No Nama Jabatan


1 Drs. Hamid Noor Yasin Ketua 1 H. Fuad Ketua
2 Ahmad Zarif Wakil Ketua 2 Yusuf Iskandar, S.Ag. Wakil Ketua
3 Ramono Anggota 3 Sardi Anggota
4 Dr. Ngadiyono Anggota 4 H.N. Hadi Nawoto, B.A. Anggota
5 Tinggeng Anggota

Tabel 5 Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri

PEROLEHAN SUARA
Dapil 1 Dapil 2 Dapil 3 Dapil 4 Dapil 5
Partai Suara Jml Suara Jml Suara Jml Suara Jml Suara Jml TOTAL
sah kursi sah kursi sah kursi sah kursi sah kursi KURSI
PDIP 64.457 5 68.443 5 55.196 5 56.575 5 59.936 4 24
Golkar 34.580 3 30.084 2 29.233 2 29.817 3 27.812 2 12
PAN 10.004 1 3.680 0 5.330 1 5.426 1 11.790 1 4
PKS 8.665 1 4.289 1 5.376 1 4.461 0 6.451 1 4
PD 6.299 0 4.611 1 3.601 0 3.290 0 2.912 0 1
TOTAL 137.015 10 112.110 9 102.962 9 110.664 9 113.203 9 45
Sumber: diolah dari dokumen halaman 481-482 Buku Laporan Pemilu 2004 oleh KPU Kabupaten
Wonogiri

Bagan 1. Alur penetapan hasil Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri tahun 2004

Penetapan BPP di Setiap Dapil


Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri

Penetapan Penetapan Penetapan Penetapan Penetapan


Perolehan Kursi Perolehan Kursi Perolehan Kursi Perolehan Kursi Perolehan Kursi
Dapil 1 Dapil 2 Dapil 3 Dapil 4 Dapil 5

Penetapan Penetapan Penetapan Penetapan Penetapan


Calon Terpilih Calon Terpilih Calon Terpilih Calon Terpilih Calon Terpilih
Dapil 1 Dapil 2 Dapil 3 Dapil 4 Dapil 5

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 153


Dwi Tiyanto : Proporsionalitas Anggota DPRD

Tabel 6 Daftar Nama Calon Anggota DPRD Kabupaten Wonogiri Terpilih pada Tahun 2004

Partai Dapil Kursi Nama Calon Terpilih Kecamatan Keterangan

PDIP Wonogiri 1 5 1. Giyanto Selogiri 2.656


2. Rudatin Haryanto, SE Eromoko 9.105
3. Nawa Adi S., S.Pd Wonogiri 1.504
4. Wawan Setya Nugraha, S.Sos. Wonogiri 14.107 (penuhi BPP)
5. Budi Mulyono Wriyatmo Manyaran 6.426
Wonogiri 2 5 1. Darno Girimarto 9.606
2. Martanto, S.H. Jatisrono 2.572
3. A.S. Joko Prayitno Ngadirojo 3.688
4. Drs. Heru Suprihadi Sidoharjo 4.787
5. Muhammad Zainudin, S.Sos. Ngadirojo 20.378 (penuhi BPP)
Wonogiri 3 5 1. Ir. Joko Purnomo Purwantoro 6.889
2. Sriyono, S.Pd. Puh Pelem 4.808
3. Catur Winarko Purwantoro 3.129
4. Reting Puryanto Puh Pelem 3.424
5. Suwarsi Slogohimo 1.922
Wonogiri 4 5 1. Sugimin Djoko Suwondo, S.T. Jatisrono 2.902
2. Kartini, S.H., S.IP. Tirtomoyo 4.058
3. Gimanto, S.H. Batuwarno 6.102
4. Sudiyarso Jatisrono 1.231
5. Wahyudi W., S.H. Jatiroto 4.713
Wonogiri 5 4 1. Setyo Sukarno Baturetno 6.868
2. Endang Pujiastuti, S.PAK. Wonogiri 2.778
3. Soetarno S.R. Wonogiri 8.299
4. Widodo Giriwoyo 6.000

Golkar Wonogiri 1 3 1. Sutrisno, S.E. Wonogiri 2.574


2. Edy Santosa, S.H. Wonogiri 3.494
3. Samino, S.IP. Selogiri 3.338
Wonogiri 2 2 1. Toekino, H.S. Wonogiri 2.500
2. Suhardono Sidoharjo 5.289
Wonogiri 3 2 1. Rijomo Purwantoro 2.947
2. Soefi Hartojo M.S. Wonogiri 3.066
Wonogiri 4 3 1. Sardi Djoko Pratopo, S.E. Jatisrono 3.552
2. S. Santosa, S.D. Tirtomoyo 3.160
3. Drs. Sri Hardonjo Wonogiri 1.134
Wonogiri 5 2 1. Sugiarto, S.Pd. Pracimantoro 5.498
2. Yuliawan Agung Nugroho Baturetno 3.473

PAN Wonogiri 1 1 H. Fuad Wonogiri 1.827


Wonogiri 3 1 Sardi Selogiri 465
Wonogiri 4 1 H.N. Hadi Narwoto, B.A. Wonogiri 420
Wonogiri 5 1 Yusuf Iskandar, S.Ag. Giriwoyo 2.568

PKS Wonogiri 1 1 Drs. Hamid Noor Yasin Wonogiri 2.862


Wonogiri 2 1 Ahmad Zarif Ngadirojo 973
Wonogiri 3 1 Jarmono Purwantoro 1.065
Wonogiri 5 1 Dr. Ngadiyono Giriwoyo 2.098

PD Wonogiri 2 1 Tinggeng Ngadirojo 1.200

Total Jumlah Kursi 45

154 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 155-158

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pilihan Mahasiswa


Program D3 Komunikasi Terapan FISIP
Universitas Sebelas Maret

Surisno Satrijo Utomo


Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Abstract
The study aims to analyze factors that influence the student choice behavior at the Applied
Communication D3 Students Fisip UNS. As the dependent variable is the student choice beha-
vior which decides the study at the applied communication especially Broadcasting, Advert-
ising, and Public Relations. This research is the case study that intends to analyze the differen-
ce among students at those three programs. Meanwhile, as the dependent variables are the
influence of functional, social, emotional, epistemic, and conditional values, and the promot-
ion media.
The kind of this research is explanative that is used to examine hypothesis quantitative-
ly. This research uses the survey method, means that the primary data finding is done through
questionnaires. The research subject is D3 Students at the applied communication Fisip UNS
2004 with the total amount 250 respondents. The total sampling is 130 students. The statistic
analysis uses the Three Group of Discriminant Analysis. The hypothesis explains students who
choose broadcasting have higher difference than students who choose advertising and public
relations. This is that based on the influence of functional, social, emotional, epistemic, and
conditional values. If the three concentrations are different, which are variables have domi-
nant influence to the students' choice behavior at the applied communication D3?
Based on the discriminant analysis, the research finds: (1) the functional value variable
is below 0,05 (0,001) that means there is a difference among students of Broadcasting, Advert-
ising, and Public Relations. Therefore, more jobs need those applied communication prog-
rams, more people compete to learn and master those concentrations. (2) there is a difference
among students of Broadcasting, Advertising, and Public Relations especially at the promot-
ion media where the value is under 0,05 (0,001) at Broadcasting, Advertising, and Public Re-
lations. The values, such as conditional, social, emotional, epistemic, and conditional values,
present big nominal. It means there are not any differences among Broadcasting, Advertising,
and Public relation based on these values.
Based on the influence of functional value and the promotion media, there is a different
among the broadcasting students that are compared with the advertising and public relations
students especially at the applied communication D3 student 2004. Thus, the hypothesis has
been proved. Mean while the social, emotional, epistemic, and conditional, values do not in-
fluence the three concentrations. Therefore, the research concludes that the functional value
and the promotion media differ the student choice behavior at the applied communication D3
student Fisip UNS.

Keywords: communication training, factors influencing student preference..

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 155


Utomo : Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Mahasiswa D3 Komunikasi Terapan FISIP UNS

Permasalahan Hipotesis yang diajukan dalam studi ini


Studi ini mempelajari faktor yang mem- adalah: Ada perbedaan yang signifikan antara
pengaruhi pilihan konsumen (consumer choice pilihan konsentrasi oleh mahasiswa akibat pe-
behavior) mahasiswa Program D3 Komunikasi ngaruh oleh faktor-faktor nilai fungsional, sosi-
Terapan FISIP UNS. Penelitian ini merupakan al, emosional, epistemik, kondisional, dan me-
studi kon-sumen untuk melihat faktor yang pa- dia promosi. Dari sini kemudian dikaji faktor
ling membedakan pada mahasiswa ketiga kon- manakah yang paling menyebabkan perbedaan
sentrasi, Penyiaran, Periklanan, & Public Rela- perilaku memilih oleh mahasiswa.
tions, dalam menentukan pilihannya di program Metode Penelitian
studi Komunikasi Terapan. Dalam teori komu-
Penelitian ini jenis explanatif untuk me-
nikasi pemasaran dikatakan bahwa seseorang
nguji hipotesa secara kuantitatif. Metode yang
dalam menentukan pilihan itu bisa dipengaruhi
dipergunakan dengan metode survei, yakni pe-
oleh beberapa faktor antara lain: nilai fungsi-
ngambilan data primer menggunakan kuesi-
onal, sosial, emosional, epistemic, dan kondisi-
oner. Subyek dari penelitian ini adalah mahasis-
onal (Shimp, 1993; 58). Selain hal itu media
wa Program D3 Komunikasi Terapan FISIP
promosi diduga turut mempengaruhi pilihan
UNS angkatan 2004 yang berjumlah 250 orang.
mahasiswa.
Sampel sebesar 130 mahasiswa diambil berda-
Permasalahan penelitian ini adalah: apa-
sarkan panduan mengambil sampel dari ukuran
kah terdapat perbedaan pada mahasiswa ketiga
populasi tertentu (Sekaran, 1992:235).
konsentrasi (Penyiaran, Periklanan, dan Public
Kemudian untuk melihat faktor mana
Relations) dalam menentukan pilihannya, pada
yang paling membedakan (variabel indepen-
masing masing konsentrasi di Program D3 Ko-
dent) dalam mempengaruhi pilihan mahasiswa
munikasi Terapan karena pengaruh faktor nilai
dilakukan uji statistis menggunakan uji diskri-
fungsional, sosial, emosional, epistemic, kondi-
minan tiga kelompok berdasar tiga jurusan
sional,dan media promosi?
yang ada, yaitu: Penyiaran, Periklanan serta
Kerangka Pemikiran Public Relations.
Dalam penelitian ini, consumer choice Hasil Penelitian
behavior (perilaku pilihan mahasiswa) dalam Dari hasil analisa uji diskriminan, dite-
menentukan pilihannya konsentrasi studi dite- mukan bahwa hanya variabel nilai fungsional
tapkan sebagai variabel dependen. Sedangkan dan media promosi yang membedakan pilihan
variabel-variabel independennya adalah bebe- mahasiswa. Untuk variabel nilai sosial, niai
rapa faktor nilai yang meliputi: nilai fungsional, emosional, nilai epistemik dan nilai kondisonal
nilai sosial, nilai emotional, nilai epistemic dan tidak ada perbedaan pengaruh.
nilai kondisional. Peneliti juga menduga bahwa Nilai koefisien diskriminan untuk varia-
perilaku disebabkan karena variabel lain, misal- bel nilai fungsional adalah 0,05 (0,001). Ini ber-
nya media promosi yang menerpa khalayak ma- arti ada perbedaan antar kelompok mahasiswa,
hasiswa pada saat masa kampanye pendidikan pada kelompok Penyiaran, Periklanan, dan Pu-
berlangsung. Pengaruh media promosi juga di- blic Relations yang memilih konsentrasi studi
perlakukan sebagai variabel independen. Ke- karena dipengaruhi oleh nilai fungsional, di ma-
rangka pemikiran di atas tertuang pada Bagan 1. na pilihan mahasiswa dipengaruhi oleh pemah-
Bagan 1 aman akan manfaat (pengetahuan dan ketram-
Kerangka pemikiran hubungan antar variabel pilan) yang ditawarkan dan diharapkan akan
Nilai Fungsional dikuasasi oleh lulusan sebuah konsentrasi studi.
Variabel media promosi turut membeda-
Nilai Sosial Pilihan mahasiswa kan pengaruhnya dalam menentukan pilihan
Program D3 Komu-
Nilai Emosional nikasi Terapan atas mahasiswa pada ketiga kelompok mahasiswa
konsentrasi: komunikasi terapan UNS nampak dari nilai ko-
Nilai Epistemik - Penyiaran efisien determinan 0,05 (0,001).
- Periklanan Sementara variabel nilai kondisional,
Nilai Kondisional - Public Relations
menunjukkan angka yang paling besar; ini ber-
Media Promosi arti tidak ada perbedaan antara kelompok Pe-

156 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Utomo : Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Mahasiswa D3 Komunikasi Terapan FISIP UNS

nyiaran, Periklanan maupun Public Relations, suai dengan bidangnya.


karena pengaruh nilai kondisional tersebut. De- Sementara media promosi sangat mem-
mikian pula variabel lain, yaitu nilai sosial, nilai pengaruhi dalam menentukan pilihan mahasis-
emosional, nilai epistemik, tidak ada perbedaan wa, untuk itu perlu meningkatkan promosi se-
pengaruh dalam memilih untuk masing masing cara lebih intensive serta lengkap materi pesan-
kelompok Penyiaran, Periklanan,maupun Pub- nya. Dengan semakin lengkapnya materi pesan
lic Relations. pada media promosi, mahasiswa dalam menen-
Hal ini membuktikan hipotesis yang me- tukan pilihannya akan semakin berkurang kebi-
ngatakan bahwa mahasiswa konsentrasi Penyi- ngungannya. Media promosi yang paling tidak
aran mempunyai perbedaan dalam menentukan bisa ditinggalkan pada kenyataannya adalah
pilihannya karena pengaruh nilai fungsional, media getok tular. Atau apa yang disebut seba-
serta media promosi, dengan mahasiswa Perik- gai komunikasi mulut ke mulut komunikasi dari
lanan dan Public Relations, Program D3 Komu- mulut ke mulut adalah cara paling efektif untuk
nikasi Terapan untuk angkatan 2004. Semen- meningkatkan citra lembaga,yang pada giliran-
tara nilai sosial, nilai emosional, nilai episte- nya akan mengajak adik klasnya untuk menik-
mic, serta nilai kondisional tidak berbeda pe- mati pendidikan di komunikasi terapan Fisip
ngaruhnya pada ketiga konsentrasi. UNS. Selain hal itu citra lembaga itu akan me-
Implikasi dari penelitian ini adalah, ada- ningkat sejalan dengan image yang ada dalam
nya keterkaitan antara pilihan jenis merek dan benak mahasiswa yang sudah mengenyam pen-
keputusan pembelian saling bergantung. (Kris- didikan di dalam D3 komunikasi terapan itu
hnamurthi, 1988). Dari pandangan ini, bila di- sendiri, yang kemudian mereka sebar luaskan
kaitkan adanya beberapa alternatif pilihan yang kepada calon mahasiswa atau orang luar yang
menjadi kompetitor dari dari masing masing belum mengerti keadaan Program D3 Komu-
konsentrasi pada Program D3 Komunikasi Te- nikasi Terapan FISIPUNS.
rapan, yaitu konsentrasi Penyiaran, Periklanan,
dan Public Relations.
Mahasiswa Program D3 Komunikasi Te- Daftar Pustaka
rapan Fisip UNS dalam menentukan pilihan pa- Angel, J.F., Balcwell, R.D., & Miniard, P.W.
da masing masing konsentrasi karena pengaruh (1994). Perilaku Konsumen. Jakarta: Bina
variabel nilai Fungsional, Social, Emotional, Rupa Aksara.
Epistemic dan Conditional (Shimp,1993:56- Armstrong, J.S. (1994). Research versus Teach-
59), juga Media Promosi. Dari perhitungan sta- ing. Journal of Business School Prestige.
tistik, kanyataannya yang paling membedakan April.1994.
dalam mempengaruhi pada ketiga konsentrasi Belch, G. & Belch, M.E. (1990). Introduction to
Penyiaran Periklanan dan Public Relations ada- Advertising and Promotion Management.
lah nilai Fungsional dan Media Promosi. Pema- Boston: Richard D. Erwin Inc.
haman diatas bila ditarik suatu manfaat yang Bloch & Richins. (1983). A theoretical Model
bisa diambil adalah sebagai berikut. for the Study of product importance per-
Manfaat dari hasil penelitian ini bisa un- ceptions. Journal of Marketing, 47, 3, pp.
tuk dijadikan pengambilan keputusan dalam 69-81.
menentukan arah kebijakan pada sektor pendi- Foxall. (1993). The Influence of Cognitive Style
dikan khususnya pada komunikasi terapan. Ka- on Consumers Variety Seeking among
rena nilai fungsional pendidikan sangat diper- Food Innovations, British Food Journal,
lukan, ini berarti fungsi pendidikan pada ke- vol. 95, no. 9 pp. 32-36.
Henkof, R. (1994). Service Is Everybody`s Bu-
inginan mahasiswa yang mengambil pada studi
siness. Fortune, Juni 1994.
komunikasi terapan sangat memerlukan kebu-
Kotler, P. (2000). Marketing Management. Ja-
tuhan pendidikan itu. Artinya bahwa semakin karta: Prenhalindo.
dibutuhkan fungsi pendidikan pada komunikasi Ratner, R.K. & Kahn, B.E. (1999). Private vs.
terapan akan semakin dicari oleh masyarakat Public Consumption: The Impact of Im-
pendidikan di sektor komunikasi terapan itu. pression Management on Variety Seeking.
Sehingga pendidikan komunikasi terapan harus Journal University of North Carolina at
semakin mengarah pada ketrampilan yang se- Chapel Hill 1999.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 157


Utomo : Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Mahasiswa D3 Komunikasi Terapan FISIP UNS

Saladin J.H. (1994). Dasar dasar Manajemen


Pemasaran. Bandung: Mandar Maju.
Santoso, S. (2002). SPSS Statistik Multivariat.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
th
Shimp, T.A. (2000). Advertising Promotion 5
ed. Forth Forth: Dryden Press.
Singarimbun, M. & Efendy, S. (1999). Metode
Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Sutisna. (2001). Perilaku Konsumen & Komu-
nikasi Pemasaran. Bandung: Rosda Kar-
ya.
Swasta, B & Handoko, H. (2000). Manajemen
Pemasaran. Jakarta: BPFE.
Swasta, B. (1994). Perilaku Berbelanja Konsu-
men tahun 90an dan strategi Pemasaran.
Jurnal & Bisnis Indonesia no 1 1994.
Yazid. (2001). Pemasaran Jasa. Yogyakarta:
Ekonisia Fak. Ekonomi UII.

158 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal.159-164

Peranan Teknologi Komunikasi terhadap


Perubahan Sosial

Sutopo
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Fungsi Komunikasi dan Perubahan akibat yang mendasar dalam mempengaruhi


Sosial pola hidup manusia. Sebagai contoh munculnya
Bagaimana komunikasi dapat membawa sebuah gunung berapi di ladang kedelai akan
perubahan sosial di tengah-tengah dunia yang mengubah cara-cara bertani di ladang itu, juga
semakin semrawut ini? Tanggapan semacam ini akan mengubah perilaku petani di daerah itu.
berasal dari pandangan mereka yang mengang- Begitu juga dengan adanya pantai yang ombak
gap komunikasi sebagai suatu proses dan yang lautnya besar akan mempengaruhi tata ruang
menyamakan proses dengan perubahan. Isi pe- dan pola hidup masyarakat di tepi pantai untuk
san di negara-negara berkembang sebagian be- mensikapi bila datang gelombang Tsunami
sar merupakan: hiburan, pembangkit fantasi, yang datangnya mendadak tersebut.
Seseorang bisa menyebabkan perubahan
berpihak pada status quo bukan mendorong per-
pada orang lain, baik secara sadar atau tidak,
ubahan sosial.
Dari segi teoritis, sebenarnya komunika- dengan jalan TANPA KOMUNIKASI. Sebagai
si bukanlah selamanya menjadi penyebab per- contoh seseorang yang tidak “berperikemanu-
ubahan dan juga tidak selamanya tidak relevan siaan” dengan tega menuangkan “racun” ke
dengan perubahan kontradiksi dan kekacauan dalam sumber air minum (umbul) di sebuah de-
dalam analisa komunikasi dan perubahan ber- sa pada suatu malam yang gelap hal ini akan
sumber dari pencampuradukan tingkat analisa, menimbulkan perubahan besar terhadap ma-
dari refikasi proses komunikasi dan percampur- syarakat desa itu. Apa yang terjadi? Dari uraian
an isi pesan-pesan yang nyata dengan potensi singkat dapat disimpulkan bahwa komunikasi
pertukaran pesan yang dikendalikan oleh kaum merupakan suatu alat hanya salah satu alat dan
elit. Berikut ini akan dibahas secara singkat in- tidak selalu yang terpenting dalam membawa
dependensi komunikasi dan perubahan sosial perubahan sosial. Arti penting di sini “RELA-
dengan maksud agar uraian tentang bagaimana TIF” dari komunikasi dalam perubahan tidak
komunikasi dapat dijadikan alat untuk perubah- dapat dipisahkan dari masyarakat tertentu di
an atau sebaliknya dengan adanya perubahan mana perubahan sedang dipelajari atau diusa-
yang secara cepat (Demokratis serta Dinamis) hakan (Rogers, 1976:124).
akan mempengaruhi pola komunikasi yang ter- Komunikasi tanpa Perubahan
jadi. Bahwa di suatu daerah berlangsung ko-
Perubahan Tanpa Komunikasi munikasi dalam hal ini, tetapi tidak membawa
perubahan pada orang yang menjadi sasaran-
Perubahan dunia yang semakin cergas nya. Fenomena ini sebenarnya tidak diragukan
(dinamis) ini nampaknya dapat berubah sendiri lagi, bahwa dalam sistem sosial manapun terda-
oleh kekuatan-kekuatan yang datangnya tidak pat banyak sekali komunikasi yang dimaksud-
disangka dan tidak dapat dikendalikan. Per- kan untuk memperkecil atau menghalangi peru-
ubahan-perubahan ini bisa membawa akibat- bahan yang cenderung akan terjadi bila tidak

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 159


Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

ada komunikasi itu. Permasalahannya adalah Oleh karena itu, perubahan sosial disini
bagaimana suatu masyarakat bisa tetap utuh dan terjadi ketika penerimaan dan penolakan ide-
stabil tidak lebih dan tidak kurang mendasarnya ide baru yang dikomunikasikan memiliki suatu
dengan masalah bagaimana masyarakat itu da- efek. Dengan demikian perubahan sosial adalah
pat mengubah dirinya atau justru diubah oleh efek dari komunikasi. Perubahan sosial ialah
kekuatan dari luar, baik lewat media massa atau proses terjadinya perubahan dalam struktur dan
lewat opinion leaders setempat. Dari berbagai fungsi suatu sistem sosial. Dari sisi perspektif
kajian di lapangan komunikasi yang bersifat lain dapat dilihat dari unit yang menerimanya
ritual pada prinsipnya dimaksudkan untuk me- atau menolak ide-ide baru itu. Di dalam sistem
melihara kestabilan ini. Hubungan antara indi- masyarakat banyak perubahan terjadi: 1) pada
vidu sebagian dipelihara dengan komunikasi level individu, dalam arti individu adalah pene-
pewarisan kebudayaan banyak tergantung pada rima atau penolak inovasi itu. Perubahan pada
komunikasi. Banyak pertukaran pesan-pesan level ini sering disebut dengan berbagai istilah;
berfungsi untuk memperkuat pandangan atau Difusi Adopsi, Akulturasi atau Sosialisasi. Pen-
nilai-nilai yang telah dianut sebelumnya, bukan dekatan seperti ini dapat kita sebut pendekatan
untuk mengubahnya sekiranya tidak ada komu- Microanalistis, dalam arti titik perhatian peru-
nikasi tanpa perubahan, maka tidak mungkin bahan itu ialah pada perilaku individual; 2) Per-
menggunakan komunikasi untuk membendung ubahan dapat juga terjadi di level sistem sosial
perubahan. Padahal kegunaan semacam itu sa- yang sebaliknya sering diberi istilah; pemba-
ngat penting demi kelangsungan hidup organi- ngunan, spesialisasi, integrasi, atau adopsi, pa-
sasi organisasi dan hubungan hubungan sosial da level ini perubahan yang ada di level sistem
(Rogers, 1976:125). sosial, oleh sebab itu, pendekatannya adalah
Kehidupan kelompok hanya dapat ber- Microanalistis.
lanjut sejauh para anggotanya mengatur ting- Untuk selanjutnya perubahan yang terja-
kah laku mereka sesuai dengan seperangkat ha- di di dua level ini sangat erat berinteraksi dan
rapan yang dijunjung bersama atau paling tidak berhubungan satu dengan yang lain. Mungkin
menurut seperangkat peranan yang cukup ter- seluruh analisa perubahan sosial pada akhirnya
padu. Namun demikian, setiap anggota suatu harus memusatkan perhatian utamanya pada
masyarakat tidak harus persis sama dengan ang- proses komunikasi.
gota anggota lainnya. Kebudayaan bukanlah
Komunikasi dan Dehumanisasi
hasil peniruan keseragaman psikis, sebagaima-
na ditegaskan oleh Wallace (1970). Demikian Dalam mengkomunikasikan ide-ide baru
juga seorang anggota masyarakat tidak harus itu di dalam sistem sosial masih memiliki jenis
tahu semua seluk beluk koordinasi dan organi- pengaruh lain, inovasi yang telah disebarkan
sasi interaksi dalam masyarakat. Namun, jika kepada masyarakat dapat diterima atau ditolak
stabilitas hubungan dan pandangan itu tidak ter- oleh individu anggota suatu sistem atau seluruh
pelihara maka masyarakat itu sendiri tidak akan anggota suatu sistem sosial. Hubungan antara
dapat terus bertahan. Perubahan-perubahan da- sistem sosial dan keputusan untuk menerima
lam suatu masyarakat hanya mungkin terjadi suatu inovasi dapat diuraikan sebagai berikut :
apabila kelompok itu sampai pada batas tertentu 1. Optional Decision, yaitu suatu keputu-
berusaha memperhatikan diri selama proses pe- san yang dibuat oleh individu terlepas dari ke-
rubahan itu berlangsung. putusan yang dibuat oleh individu-individu lain
yang ada dalam sistem itu. Dalam kasus ini pun
Komunikasi dengan Perubahan keputusan individual itu jelas dipengaruhi oleh
Pada Pola ini, Komunikasi adalah masa- norma-norma sistem sosialnya dan kepenting-
lah yang essensial dalam perubahan sosial. Pro- annya untuk menyelaraskan diri dengan tekan-
ses sosial pada pola ini meliputi tiga langkah ya- an kelompok. Keputusan individual seorang pe-
itu invention (proses ide-ide baru diciptakan tani untuk meningkatkan bibit unggul dan kepu-
atau dikembangkan), disfusion (proses inovasi tusan seorang ibu rumah tangga untuk meneri-
itu disebarkan kepada anggota masyarakat), ma dan menggunakan tablet pembatasan kela-
dan consequences (perubahan yang terjadi aki- hiran adalah merupakan contoh dari keputusan
bat inovasi itu diterima atau ditolak). yang demikian.

160 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

2. Collective Decision, di mana individu- yang penting yaitu hubungan sosial dan pe-
individu yang ada dalam suatu sistem sosial se- ngendalian masyarakat. Pengawasan, pengen-
tuju untuk membuat suatu keputusan berdasar- dalian dan penilaian terhadap teknologi yang
kan suatu kesepakatan bersama. Setelah kepu- bersangkutan terutama pada pe-ngaruh tekno-
tusan yang demikian dibuat, semua orang harus logi terhadap organisasi sosial penerima. Kegi-
menyelaraskan dirinya dengan keputusan sis- atan pengendalian merupakan tugas manaje-
tem itu. Contohnya ialah pemberian flourid men teknologi yang mencakup kemungkinan
pada air untuk minum di suatu kota. Sekali ke- penyalahgunaan dan gangguan terhadap ling-
putusan masyarakat telah dibuat maka individu kungan sosial/fisik alami serta buatan.
harus menerima air yang telah mengandung Terhadap setiap teknologi setiap masya-
flourid tersebut. rakat mengharapkan adanya pengaturan yang
3. Authority Decision, yaitu seorang ko- memadai demi ketertiban, ketenangan dan ke-
munikator yang menyampaikan informasi ke- teraturan dalam masyarakatnya, dengan sedikit
pada komunikan (sasaran atau masyarakat), de- mungkin gangguan terhadap kehidupan sehari-
ngan cara memaksakan kehendaknya supaya hari. Dengan demikian setiap introduksi tekno-
komunikannya untuk memberi keputusan guna logi baru, mensyaratkan suatu persiapan yang
menerima informasi/inovasi tersebut. Misalnya cukup dini dan perencanaan, yang memperhi-
oleh seorang supervisor dalam suatu organisasi tungkan reaksi dan kemampuan wadah peneri-
birokrasi. Dalam penerimaan dan penolakan manya/ masyarakat.
inovasi tersebut, sikap individu terhadap ino- Untuk itu diperlukan persiapan dan pe-
vasi bukan merupakan faktor yang penting. Ia mikiran-pemikiran yang matang tentang dam-
hanya diberitahu dan diharapkan untuk menye- pak teknologi terhadap struktur sosial-politik
suaikan diri dengan keputusan inovasi yang di- ekonomi-budaya dengan memperhatikan aspek
buat oleh yang berwenang. Dengan demikian organisasi (sosial, teknologi, dan ekonomi) dan
proses komunikasi seperti ini pihak komunikan aspek budaya milik perancang teknologi dan
mengalami terjadinya Dehumanisasi. Beberapa masyarakatnya yang telah melandasi teknologi
penelitian tentang tipe keputusan inovasi seper- yang bersangkutan
ti ini nampak hasil penelitian Suryono tentang Telah dilihat bahwa secara tidak sadar
difusi inovasi program inseminasi buatan di perancang pun telah memasukkan keinginan-
kalangan kelompok tani di Kecamatan Kebak keinginan pribadinya, termasuk sistem nilai
Kramat Kabupaten Karanganyar. Hasil peneli- lingkungan/pemesan, yang diintegrasikan de-
tian menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi ngan daya kreasi, pengetahuan dan ketrampilan
IB (Inseminasi Buatan) mencapai 88,8% de- perancang/konstruktor/produsen. Hal inilah
ngan pendekatan ”kekuasaan” lewat pilar biro- yang telah mengakibatkan bahwa seoyektif-ob-
krasi dengan ditakut-takuti kalau tidak ikut yektifnya suatu teknologi ia tetap berbias kepa-
menggunakan suntikan IB bagi hewan sapinya. da pihak-pihak yang terlibat dalam proses pe-
Begitu juga hasil penelitian tentang Adopsi rancangannya. Karena itulah maka suatu tekno-
Kontrasepsi KB spiral bagi masyarakat pinggir- logi tidak bebas organisasi, tidak bebas nilai bu-
an kota Sukoharjo mencapai 92,8%. Sebab so- daya-sosial-ekonomi dan politik.
sialisasi kontrasepsi KB spiral itu, dikaitkan de- Dengan demikian agar supaya suatu tek-
ngan ”upaya kenaikan pangkat pegawai negeri” nologi berfungsi dengan semaksimal mungkin,
(Subiyanto, 1998:28). Dengan demikian meng- maka ia perlu bertemu dengan lingkungan dan
gambarkan dua hasil penelitian itu menunjuk- wadah yang mirip/cocok dengan budaya negara
kan dalam menerima inovasi tidak ada kebebas- asalnya. Inilah yang terjadi dalam proses glo-
an untuk menolaknya, maka masyarakat sasar- balisasi yang biasanya akibatnya saja yang kita
an mengalami Dehumanisasi. sadari terutama bila tidak cocok dengan lingku-
ngan barunya. Maka dampak dari pengguna
Pengaruh Perkembangan Teknologi teknologi itu, akan melahirkan perubahan sosial
Komunikasi Terhadap Perubahan yang mengarah kepada budaya asli teknologi
Sosial dari negara asal.
Dalam mengenalkan teknologi yang ba- Faktor hardware dan brainware yang te-
ru, selalu akan berhadapan dengan dua unsur lah kita kenal sebelumnya, kini ditambah de-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 161


Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

ngan istilah live-ware untuk unsur sumber daya masyarakat informasi, industri informasi saat
manusia sebagai salah satu unsur manajemen ini sedang menyajikan sisi positif dari teknologi
disamping modal dan perangkat keras, itulah tinggi, khususnya teknologi Komunikasi. Wa-
sebabnya Pacey mendefinisikan teknologi laupun orang tidak dapat menyalahkan industri
menjadi : ”the application of scientific and informasi yang sedang membangun citra ideal,
other knowlegde to practical tasks by ordered pengaruh yang diharapkan yang mempercepat
system that involue people and organization, li- datangnya masyarakat informasi dapat me-
ving thing and machines” (Pacey, 1983: 6-7) nyebabkan munculnya konsekuensi sosial tat-
Definisi ini sekurang-kurangnya juga te- kala industri informasi tidak secara simultan
lah mampu untuk memasukkan bidang ilmu pe- bertanggung jawab terhadap munculnya efek
ngetahuan yang tercakup dalam proses peren- samping dari cepatnya perubahan dari masyara-
canaan, pengadaan, bahkan konstruksi dan pro- kat industri menuju masyarakat informasi.
duksi teknologi itu sendiri. Pada tahap inilah Tampaknya, orang sepakat dengan Mar-
terjadi pertumbukan atau adaptasi dan modifi- gareth Mead (1973: 345) yang menyatakan bah-
kasi oleh masyarakat atau peneliti perancang wa kemajuan teknologi pada dasarnya adalah
terhadap IPTEK karena sebagaimana telah dili- netral, yang tampak adalah intervensi manusia
hat, teknologi tidak berdiri sendiri, tidak bebas terhadap teknologi, secara cepat mengingkari
dari nilai-nilai sosial-ekonomi-politik, oleh ka- kenetralan ini. Para peneliti terus menunjukkan
rena itu masyarakat penggunanya juga telah ter- pengaruh yang muncul dari teknologi informa-
cemar oleh budaya negara asal teknologi, se- si. Persoalan-persoalan krusial yang berkaitan
hingga sedikit banyak juga sudah memuncul- dengan masyarakat informasi, diantaranya ke-
kan fenomena dehumanisasi. limpahan informasi (Gabor, 1973; Branscomb,
Adaptasi tidak sukar, apabila selalu disa- 1979; Pelton, 1983), campur tangan masalah
dari bahwa suatu teknologi dikembangkan (le- pribadi (Donner, 1986; Diebol, 1973), ketidak-
bih lanjut) selalu berdasarkan suatu dorongan adilan informasi (lihat Evans, 1979; Oettinger,
dan motivasi untuk mencapai sesuatu. Dorong- 1980), isolasi psikologis (Silberman, 1977),
an ini tentunya berakar pada suatu nilai : nilai sentralisasi informasi (Schller, 1981), dan pe-
profesional IPTEK atau dorongan-dorongan nyalahgunaan informasi (Parker, 1983).
sosial-politik-ekonomi yang ditanamkan dunia Ketakutan masyarakat informasi, karena
ekonomi-industri dalam proses pengembangan menyangkut glamornya teknologi tinggi. Apa-
suatu teknologi. Proses ini terjadi secara sadar kah konsep masyarakat informasi benar-benar
atau tidak sadar dan mempengaruhi dunia perlu dipromosikan? Dengan glamornya tekno-
IPTEK bila melaksanakan R&D terhadap suatu logi komputer pada masyarakat kini, apakah
masalah. konsep masyarakat informasi perlu disebarlu-
Sumber nilai yang lain bagi teknologi askan? Jawabannya adalah ya. Masyarakat me-
dan profesi IPTEK ialah pengalamannya sendi- rasa belum begitu puas dengan prospek tekno-
ri (technological experience) yang lambat laun logi telekomunikasi (lihat Davis, 1983). Sikap
menjadi standar teknis atau bahkan standar etis masyarakat terhadap konsep masyarakat tekno-
profesi IPTEK. Kemudian terjadilah interaksi kratik di mana tukang pos digantikan oleh me-
antara ”pengalaman” IPTEK dan nilai dorong- sin elektronik dan berbelanja dapat dilakukan
an sosial-politik-ekonomi yang telah diterima dengan videotext, tetap negatif. Sementara
oleh dunia IPTEK dan melahirkan apa yang di- hampir semua orang terpesona dengan kemam-
kenal sebagai technological imperatives. Ke- puan komputer yang luar biasa dalam mempro-
lompok nilai IPTEK inilah yang oleh Einstein ses segudang informasi dalam hitungan nano-
disebut ”The joyfull sense of intelectual power/ detik, sebagian yang lain merasa khawatir yang
challenges” sebagai milik dunia IPTEK/the canggih yang melewati batas kehidupan indi-
Expert-Sphere, yang harus selalu lebih baik, le- vidu.
bih teliti, lebih rinci, dan lebih cepat serta lebih Ketakutan pelanggaran tersebut merupa-
murah. kan ketakutan terhadap industri informasi yang
akan mengendalikan sistem informasi. Menurut
Masyarakat Informasi
pandangan ini, kabel, komputer, dan sistem
Dalam rangka mempercepat datangnya komputer secara cepat menjadi hak milik sege-

162 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

lintir konglomerat besar. Sebagian orang perca- pada masyarakat informasi adalah mereka yang
ya bahwa konglomerat ini akan segera dapat aktivitas utamanya memproduksi, mengolah,
mengendalikan arus informasi walaupun tam- atau mendistribusikan informasi, dan mempro-
paknya tidak demikian. John Wicklein (1981), duksi teknologi informasi”.
misalnya, berpendapat bahwa sistem kabel in- Dari uraian di atas dapat disimpulkan :
teraktif yang baru, yang berjumlah 108 saluran masyarakat informasi yaitu masyarakat yang
dapat dikontrol oleh operator. Walaupun hal ini sadar akan informasi, dan mengandalkan infor-
dibuat-buat, namun ada yang merasa khawatir masi dalam segala bidang kehidupan, sekaligus
kalau-kalau pemerintah atau pihak swasta dapat pemerataan informasi serta berlangsungnya in-
mengendalikan informasi dan teknologi infor- teraksi terbuka dan bertanggung jawab dalam
masi. proses komunikasi dan tercapainya integrasi
Samuel C. Florman (1981: 181) meng- sosial dalam menunjang pembangunan nasio-
ungkapkan bahwa teknologi ditakuti karena mi- nal.
tos teknologi itu sendiri dan mitos elit teknokra- Informasi merupakan energi bahan yang
tik. Dalam sebuah artikel yang berjudul ” Sa- berpola (patterned matterenergy) yang mempe-
ving the Consumer from the Computerized Sna- ngaruhi probabilitas yang tersedia bagi seorang
fu” (Ross, 1980:56) menyatakan bahwa “kon- individu dalam pembuatan keputusan. Informa-
sumen senantiasa merasa sebagai korban yang si tidak memiliki eksistensi fisik secara sendiri,
tak berdaya dari mesin birokrasi yang besar dan dan hanya dapat diekspresikan dalam bentuk
seragam orang tidak dapat diajak berbicara, material (seperti tinta di atas kertas) atau dalam
atau berpikir”. Pada tahun1970, banyak film bentuk energi seperti impuls atau gelombang
dan novel yang mengusung tema sejenis: 2001: elektrik. Seringkali informasi dapat disubtitusi-
A Space Odyssey, Tron, Looker, Rollerball, kan oleh sumber (resources) lain seperti uang.
Zaidoz, dan THX 1138, semua menggambarkan Dari gambaran di atas nampaknya ma-
suatu masa depan dunia yang serba komputer, syarakat informasi dibentuk dari 3 aspek yaitu
tidak mempunyai nafsu sama sekali. Industri in- 1) segi ekonomi (daya guna informasi): bagai-
formasi dengan cepat telah mempersepsikan mana dapat bekerja melalui pendayagunaan in-
bahwa sikap negatif publik terhadap teknologi formasi; 2) segi sosial budaya (budaya informa-
tinggi akan hilang dengan cara melakukan pro- si): bagaimana mengandalkan informasi dalam
mosi media yang positif. segala bidang kehidupan dan mampu mengha-
Masyarakat yang disebutkan sebagai ta- silkan mengolah dan memanfaatkan secara efi-
hap setelah era industrialisasi atau yang santer sien dan efektif; 3) segi teknologi (infrastruktur
dengan sebutan masyarakat ”pasca industrial” informasi): bagaimana memiliki infrastruktur
dinamakan juga sebagai masyarakat informasi. yang lengkap, yang mampu mengakses infor-
Tahapan masyarakat dimaksud memang telah masi ke seluruh penjuru dunia melalui suatu hu-
berkali-kali digambarkan oleh para ahli yang bungan dengan jari tangan informasi dan jaring-
berusaha menunjukkan ciri-ciri penting dari an telekomunikasi global.
tahapan kehidupan tersebut dengan memperli- Bila ketiga aspek maupun dalam kehidu-
hatkan perbedaannya dengan tahap-tahap sebe- pan yang akurat dan benar, baik dalam kehidup-
lumnya. an informasinya maupun dalam kehidupan so-
Masyarakat informasi (Rogers, 1986) di- sial dan budayanya. Dengan terbentuknya ma-
rumuskan sebagai ”suatu bangsa dimana mayo- syarakat informasi konsekuensinya akan mu-
ritas angkatan kerja adalah terdiri dari para pe- dah terjadi interkoneksi global komunikasi ber-
kerja informasi, dan dimana informasi merupa- gerak secara aliansi global juga, implikasi se-
kan elemen yang paling penting. Jadi, masyara- lanjutnya adalah hilangnya batas geografis; hi-
kat informasi mencerminkan suatu perubahan langnya ketergantungan pada waktu dan ruang;
yang tajam dari masyarakat industrial dimana hubungan komunikasi terdistribusi dalam “ru-
mayoritas tenaga kerja bekerja dalam pekerjaan ang”; dan manusia menjadi anggota dari “many
manufacturing seperti perakitan mobil dan pro- global non place communities”.
duksi baja, dan yang merupakan elemen kunci Untuk dampak yang lain, dengan adanya
adalah energi. information superhighway maka: demokrasi
Kontras dengan itu, para pekerja individu cenderung berkembang pesat; pertumbuhan

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 163


Sutopo : Peranan Teknologi Komunikasi terhadap Perubahan Sosial

ekonomi cenderung meningkat; dan nilai infor- berpengaruh kecil kecuali lebih dahulu dila-
masi semakin dihargai. kukan perubahan struktur untuk mengawali
Dengan terwujudnya masyarakat infor- proses pembangunan.
masi maka akan sangat berpengaruh terhadap: e. Masih diperlukan banyak cara yang mema-
meningkatnya pemerataan informasi yang tentu dai atau suatu penelitian tentang menguji ke-
akan sangat berpengaruh terhadap meningkat- benaran suatu hipotesa adanya kesenjangan
nya gerakan perubahan sosial. Dengan adanya akibat adanya komunikasi. Hipotesa tentang
transparansi dan akuntabilitas semakin kuat kesenjangan yang disampaikan para pakar
maka fenomena yang bersifat dehumanisasi se- komunikasi untuk menunjukkan bahwa salah
makin berkurang juga; meluasnya informasi satu pengaruh komunikasi massa adalah
pembangunan secara terpadu dan merata; me- memperlebar jurang perbedaan pengetahuan
ningkatnya kemampuan sumber daya manusia, di antara dua kelompok masyarakat yang ber-
sarana, dan prasarana; dan meningkatnya inter- status ekonomi tinggi dan berstatus ekonomi
aksi positif antara media massa, pemerintah dan rendah, untuk itu perlu penelitian lebih lanjut
masyarakat. mengenai “kesenjangan akibat pengaruh ko-
munikasi dengan menggunakan model Uses
Kritik Media Massa dalam
and Gratification.
Pembangunan
Beberapa kritik yang dilontarkan kepada
peran media massa dalam pembangunan di an- Daftar Pustaka
taranya adalah: Indajit, R.E. (2001). Manajemen Sistem Infor-
a. Perlu dicermati adalah dengan berkembang- masi dan Teknologi Informasi. Jakarta:
nya Ilmu dan Teknologi Komunikasi, bahwa Gramedia.
media massa di negara-negara berkembang McAnany, E.G. (1980). Communications in the
sebagai suatu perpanjangan hubungan yang Rural Third Word. New York: Praegen Pu-
eksploitatif dengan berbagai perusahaan blisher.
multi nasional di negara-negara maju khu- Rahardjo, B. (2002). Memahami Teknologi In-
susnya lewat produk iklan-iklan komersial. formasi. Jakarta: Gramedia.
b. Terkait dengan pola pemilikan dan penga- Roger, E.M. (1976). Komunikasi dan Pemba-
wasan elit atas lembaga-lembaga media mas- ngunan. Jakarta: LP3ES.
sa nampaknya berpengaruh terhadap isi me- Salvaggio, J.L (2000). Membangun Citra Posi-
dia (tidak obyektif lagi) tif Masyarakat Informasi. Jurnal ISKI No.
c. Sumbangan komunikasi massa dalam per- V Oktober 2000.
ubahan sosial (pembangunan) sering terham- Scoot, N.M. (1991). Information Technology
and Organizational Tranformation. Ox-
bat oleh struktur sosial dan kurang adanya
ford: Oxford University Press.
bahan masukan (hanya kritik saja), dan ku- Sutopo. (2001). Pendidikan Perubahan Sosial.
rang banyak memberitahukan hambatan Bahan latihan riset aksi. Surakarta: Puslit-
pembangunan. bangdeka-Lemlit UNS.
d. Banyak harapan di Negara-negara berkem- -----. (2005). Komunikasi, Perubahan Sosial
bang (misalnya, Columbia) bahwa komuni- dan Dehumanisasi. Surakarta: Pustaka
kasi merupakan faktor penunjang moderni- Ramayana Ilalang dengan Program Pasca
sasi dan pembangunan, tetapi kenyataannya Sarjana Komunikasi UNS.

164 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 165-171

Communication as Culture

Pamela Nilan
School of Social Science, The University of Newcastle Australia

Abstract

Culture is not only things which can be touched. It also include 'the way of life' of a society. It is
a series of practices too. While media and popular culture products are the form of
communication. For example the popular musical genre, nasyid, and the new television trend,
'reality'/ horror shows. There is the cultural studies approach, which tries to find out and digs
about how people are binded to the particular context of culture. This article will explore about
the intersection of communication and culture, especially in Asia, as one of the most dynamic
modern places in the world.

Keywords: communication, popular culture, cultural studies, media.

Introduction from inside and from outside sources. Both


western nations and developing nations are now
The topic today comes from a question
enmeshed in the workings of what is increasing-
how do communication and culture intersect in
ly a global economy and what some claim to be
specific Asian societies in the twenty-first cen-
a 'global culture'. Yet there is really no such
tury? To define culture, I will use the following
thing as a singular form of global culture as
definition:
such. For while technologically-driven western
The human creation and use of symbols and (particularly American) culture threatens to
artefacts. Culture maybe taken as constitut- sweep te planet (Waisbord 1998), there are
ing 'the way of life' of an entire society, and other cultural 'cores' in the world from which
this will include codes of manners, dress, la- new cultural trends are distribted (such as Ja-
nguage, rituals, norms of behaviour and sys-
pan, India, South America and the Middle East)
tems of belief (Jary and Jary, 1991:138).
which many people in the world prefer as a form
If culture is 'a way of life' then this draws of mediated symbolic communication.
our attention to the fact that culture is not fixed So, talking about communication today, I
or static. Indeed it has been been claimed that will be generally referring to the form of com-
we are always living culture. The antropholo- munication we usually call media newspapers,
gist Brian Street (1993) argues that culture is a journals, magazines, television, internet, films,
verb, not simply a state of being, but a series of advertising and other forms of popular culture
practises. So there be no time or place which is such as fashion and pop songs. As specific ex-
outside lived culture. As culture change though, amples, I will be considering the popular music-
there is certainly the impression that some ways al genre of nasyid and the new television trend
of being, and knowing are being left behind, to 'reality' mistery/horor shows. In the social
even eclipsed, as new form of culture develop sciences and humanities in western universities,

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 165


Nilan : Communication as Culture

there are three main ways of analysing the relat- popular culture. He maintated the people appro-
ionship between media and culture. The first of priated and synthesised cultural materials from
these is sociological, an approach which usually all kinds of sources for their own creative and
emphasises the ideological and political econo- social ends (Thompson 1995). Therefore, in
my influences upon the citizenry that come talking about the relationship between commu-
from media (for example, Curran 2002). Ano- nication and culture in Asia we must consider
ther popular angle of analysis is political scien- not only the local 'meanings' constructed global
ces, which emphasises the political economy of media messages and icons, but the meanings
the media industry (see Croteau & Hoynes people construct about established cultural tra-
2002), especially issues of transnational own- ditions and identities which exist in a dialectical
ership and distribution. Finally, there is the cul- relationship (see Hoogvelt 2001 : 11) with these
tural study approach, which seeks to explore the 'modern' western and other hegemonic icons
ways that media links, enfolds or otherwise and symbols (Sunyindo 1998). Before we un-
binds people in particular contexts of culture thinkingly accept the idea that western cultural
(Holden, 2004; Fiske 1996). Holden maintains forms constitute a massive homogenising jug-
that the essential (but often neglected) dimens- gernaut that sweeps all before it (Appadurai
ion in cultural studies of media is context (Di- 1996; Barker 1999), we must recognise that the
mitriadis 2001). Culture is communicated in the majority of Asian people are still 'located' in
lived spaces of everyday life where local and their local communities with specific cultural
global identities are mediated (for example Wi- histories (Cunningham & Sinclair 2000). This
dodo 2002; Nilan 2001; Gillespie 1995) and ar- is the 'context' that Holden demands we under-
ticulated (Morley & Robins 1995). stand. Pattiera (1995), writing about Philipin-
Although there are pockets of underde- nes, claims in the postmodern moment there is
velopment and backward thinking in Asia (for 'a colonication where the past coexist with the
example Burma and North Korea)Asia is one of present'. Local identities are still nurtured but
the most dynamic modern places in the world. these are interfaced with 'the cultural bound-
There are forms of media coming out of Asia aries of a global order' (1997) in the context of
which are different to those produced anywhere people's everyday lives. In this context, hybrid
else in the world and they have a profound ef- forms of media culture emerge, so that the past
fects on Asian cultural identity (Lent 1995). Al- (real or imagined), touces te increasingly tech-
though pessimistic view is that people in non- nological present at key points in the framing of
western countries are brainwashed by western- identities (Nilan, 1999). Pieterse (1995) des-
controlled media (Best & Kellner 1998) into cribes this hybridisation as the 'creolisation of
the consumption of cheap, culturally meaning- global culture', and instances of this phenome-
less commodities (see Gitlin 2000; Hibbs 1999; non from the examples below.
Giroux 1997; Adorno & Horkheimer 1977);
Media Communication and Asian
thereby losing their traditional culture and be-
Culture
coming slaves to the style/ fashion trends and
ideologies manufactured by global marketing Asia is a collection of cultural contexts a
(Klein 2000; Ritzer 1993), I believe the reverse dynamic, variegated, discontinous collection of
to be true (Harrington & Bielby 2001 2001; states. It is full of dissimilar political systems,
Bennet 2000; Willis 1991; Hebdige 1988; Ben- economic and class ordering, religious prac-
jamin 1973). tices, cultural histories, social and ethnic group-
The literary critic Walter Benjamin, for ings, technological prospects, and media prefer-
example, argued strongly against the pessimis- ences. As a result in the increasingly complex
tic thesis. He pointed out that mass media al- societies of Asia, media forms are becoming
lows the masses to participate openly in aes- ever more complex and 'creolised', yet real-
thetic and communicative reception and appre- world events are still represented and modelled
tiation. Like Benjamin, Wilis (1991), writing in an interative fashion by media as a form of
about British working class-youth, stresses the communication which speaks to local identi-
democratic and active, rather than be hegemo- ties. We may consider the case of Hello Kitty
nic and oppresive, potential of contemporary originally 'cute' goods marketed only as toys for

166 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Nilan : Communication as Culture

children in Japan which has come over three structing cultures of identity for the new consu-
decades to target a wide range of ages world- merists Asia middle class. Altough media pro-
wide, and are now affixed to everything from ducts are only a few of the myriad commodities
stationery to vacuum cleaners, surfboard to now flooding into developing countries, they
handbags. In Asia, Hello Kitty has become a are unique in their ability to enchant and tacitly
transnational filter for chatter about race, gen- advertise countless other consumer goods.
der, and sexuality. In short, media (mediated Mass media produce a space for the imagination
communication) is a major if not a primary that beckons consumers to experience and lives
means through which Asian experience, under- as their own. These images provide a new form
stand, effect and are affected by the worlds of social currency that consumers, especially
containing them. middle-class youth employ in their efforts to
Yet despite the often simplistic 'mediat- construct new cultures of identity.
ion equation' in contemporary communication
Indonesia Media and Culture
studies the ways in which media routinly filter,
if not influence, they myriad activities of social Modernity and religion, development
life the manner in which such media/society and tradition, sit somewhat uneasily together in
interfaces transpire is far from uniform. For ex- Indonesia, configured differently from region
ample, ethnographic research in Indoa reveals to region. In the last two decades of the twen-
that beneath the public, liberal, culture of con- tieth century, Indonesia underwent a period of
sumption projected by television, in popular rapid social and political transformation which
magazines, and through Bollywood films and saw the dramatic ascendancy of a high-consu-
advertising, there still exists a private world ming urban middle-class, followed by a devast-
built around family, class, and gender, one re- ating economic collapse in 1997/98, from
taining many aspects of traditional moral and which there as yet to be real financial recovery.
hierarchical principles. Even if various media in Since reformasi and the first free election in
the Indian context routinly present the emer- 1999, all forms of the media have developed re-
gent, consumer, middle class citizens free- markably. Because of their apparently unlimit-
wheeling in western clothes, this may be merely ed representational scope, media are now high-
surface level representation. The same is true in ly significant means through which Indonesians
Indonesia, where girls in a rural pesantren experience, understand, effect and are affected
might gather to watch the glamorous contestans by the social world around them A significant
competing for pop idol status in AFI (Akademi volume of work has been produced on the topic
Fantasi Indosiar). In a sense AFI does not re- of media and culture in Indonesia, particularly
present their lives at all, but that is not the point the cultural impact of globalized Western me-
of why they watch the show. In Indonesia, en- dia. As many have noted, commentators can be
thusiastic consumers of media texts such as divided into those who understand the impact as
Kung Fu or Bollywood movies, sinetron, South negative, destructive of Indonesian cultures,
American telenovela, Sinchan cartoon and co- and those who favour a model of cultural appro-
mics, rock music from Slank, or pop music from priation, synthesis and hybridization (see Crane
Sheila on 7 or Dewa reveal not simply the exist- 2002; Morris 2002 for discussions of this de-
ence of a substantial consumerict middle class, bate).
but at the level of practice, the existence of a It is argued in this paper that people in In-
much wider of consumers who do not match the donesia are not dupes of culture nor pitiful vic-
ideal image, but whose conspicuous sense of tims of a cultural onslaught from the West
identity is still built around gendered concept- (Abou-El-Haj 1991; Said 1978). Rather, they
ions of beauty, body, image of love and the poli- engage with contemporary media local, region-
tics of 'cool'. al and global in an urban social and work con-
Yet it is certainly clear from a wealth of text that promotes an inviting set of discourses
empirical studies that modern media products about how to live and position oneself advan-
newspaper, journals, television, radio, the inter- tageouslybin the world, drawing not only on
net, films, pop music, fashion magazines, ad- modernist ideology, but on significant traditi-
vertising etc. have become resources for con- onal discourses of life and work. Therefore, al-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 167


Nilan : Communication as Culture

though complex, the relationship between me- Yet media representations encode particularly
dia and identity is theorised here as two-way powerful identity messages, operating as they
constitution of subjectivity. On the one hand, do through embodiment, voice (including writ-
individuals bring both actual and potential iden- ten media), and acts which directly appeal to
tity discourses to their moments of media en- emotions and morals values. It has been argued
gangement. For Indonesians, these 'local' dis- that media consumers 'cruise' texts such as me-
courses derive mostly from the following re- dia products, constantly seeking representat-
sources:etnho-locality, tradition/ religion, and ions through which they might reconstitute fra-
nationalism. gile subjectivity as stable and strong (Barthes
Mass media, on the other hand, offer a 1977). Through the appropriation of offered
hugely diverse range of discourses some of discourses, media 'play a pivotal role in organi-
which may bear on the identity discourses sing the images and discourses through which
above, others which may not. Part of this deter- people make sense of the world' (Golding and
mination lies in media form and content, both of Murdock 1996:11), and make sense of their
which have the ability to confer salience to, and own identity. In reference to this claim about the
symbolic power upon, certain discourses, while implied relatiuonship between culture and me-
surpressing others. At the same time, it is only dia as communication, the remainder of this pa-
through actual engangement by the individuals, per will deal with two specific examples of in-
as an embodied subject, with the identity dis- novative Indonesian media phenomena which
courses transmitted by the media as a form of illustrate the points above.
cultural communication, that an effect constitu-
The Nasyid Phenomenon
tive of identity can possibly occur. Importantly,
if there is little or no affinity between these iden- Barendregt argues that Southeast Asian
tity discoursesno provocation between the two Islam increasingly carves out a public space of
sets of discursive 'prompts' then media content its own, and popular culture plays an important
may be ignored. To offer an example, most In- role in the distribution of this new public visibi-
donesian men completely ignore women's day- lity. The assosiation of Islam with various forms
time television programs, even when the show of popular culture simultaneously arouses both
plays in their presence. celebration and controversy. Current debates
So, like Morley and Robins (1995:44), about a distinctively Islamic popular culture
we should reject any simplicistic model where highlight the ambiguous attitude of many, parti-
media, especially new media technology, is cularly older generation, Southeast Asian to-
seen as exerting impacts 'on a set of pregiven wards popular culture per se. They tend to re-
objects, national (or cultural) identities', Indo- gard it as imported, as morally corrupting and
nesian people have enganged with forms of glo- likely to bring about the alienation of youth.
bal media (broadly speaking) for a very long Young Moslems, however, often strongly relate
time without losing their distinctive Indonesian to local efforts to shape a popular culture that is
identity. In reference to Kathmandu, Liechty both nationalistic as well as modern 'cool' but
has capture this verity well when he argues: not western. For many Southeast Asians the
“identity refers to a person's sense of inclusion urge for such national popular culture forms has
in (or exclusion from) a range of social roles and become synonymous with shaping a truly Isla-
ways of being, both 'real' (those derived from mic popular culture (Barendregt, 2004).
lived experience) and 'imagined' (those en- In the region, traditional and local religi-
countered in realms beyond the everyday: tales, ous musical forms have hybridised with more
religious epics, mass media etc.)” (1995:167; global popular music genres, and new kinds of
emphasis added). musical expressions (like dangdut and orkes)
Despite the propagandistic approach em- have emerged, even becoming part of the active
bodied in New Order communications, con- political process. In the last decade of the twen-
temporary Indonesian mass media do not usual- tieth century, the popular musical genre nasyid
ly preach at, or even speak directly to people in developed among the Islamic youth of South-
the evocation of discourse. More often they ad- east Asia. Nasyid first became popular in Ma-
dress consumers indirectly, by representations. laysia. The music is performed by ensembles of

168 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Nilan : Communication as Culture

young men singing in harmony. The popularity commentator, and the scene is frozen while the
of nasyid may accord with the popularity of camera zooms into the still. What looked to the
western boy bands like Boys II Men, Backstreet viewer like just a lighter patch in the darkness
Boys, or Westlife to some extent, but nasyid is turn out to be ghostly face when enough techno-
emphatically Islamic. In the 1990s nasyid be- logy is applied. This illustrates to viewers the
came popular in Indonesia, especially after re- kind of danger the volunteer is exposed to.
formasi when the genre gained many Indone- Often the member of the public is then
sian followers. left there for hours, alone in the dark. Subsequ-
The traditional song forms from which ently the viewing audience rejoins him or her
contemporary nasyid derives have always been and the person gets to talk about their superna-
used by the younger Muslim generation to com- tural experiences. Finally a kiai (Islamic
ment on contemporary events (Barendregt, preacher) cleanses the person (and often the
2004). Facilitated by the spread of Arabic Islam haunted place as well) of evil spirits and taints.
through Southeast Asia, nasyid has proved at- Rachmah (2004) maintains that when this hap-
tractive to many young people with a strong Is- pens, 'ulamma' presides, and Islamic faith is re-
lamic conscioussness who want to be both in- inforced. Some shows in this genre has to do en-
formed and entertained by morally and spirit- tirely with exorcism, so that the kiai conjure the
ually responsible popular media. Lately nasyid spirits up with prayers, and even communicate
has become professionalised with nasyid art- with them, before the exorcism resolves the
ists travelling between Malaysia and Indonesia. state of evil and impurity. It is noted that on one
So, nasyid might serve to illustrate the rise of a occasion, the successfully exorcised house was
regional transculturalism: a culture that is in- provided with a sticker which proclaimed it
creasingly shared by Southeast Asian Muslims 'free from ghosts' possibly a tribute to the film
in spite of being geographically divided. Both Ghostbusters. In analysing the phenomenon,
music and related websites provide young Is- Rachmah maintains that indigenous is elevated
lamic fans with important symbols of modern- as a model of reality and this appeals most to
ity so desperately sought by the middle class. abangan working class and rural Muslim view-
The nasyid genre has therefore proved import- ers in Indonesia. She further purposes that this
ant in the development of a moderate, modern serves as an example of the democratisation of
but not western , 'cool', image both Malaysian Muslim religious beliefs and practices, and
and Indonesian Muslim Youth. their incorporation into a popular culture from
which promotes Islam as a major social forse. In
The Television Misteri Phenomenon
this way her claims about misteri/ horor shows
In another example of a highly hybridis- are similar to Barendgret's interpretation of na-
ed yet emphatically local popular culture media syid. In both cases it is not just a matter of the
form, Rachmah (2004) draws our attention to syncretic aspects of the cultural form and genre,
the appearance of 'reality' horror/ mystery but the role of professionalism and technology
shows on Indonesian television in the last that makes the phenomenon a distinctively 'mo-
couple of years. Prime time shows like Dunia dern' sensation.
Lain exploit popular abangan beliefs in ghosts
and supernatural. These are 'reality' shows in Conclusion
the sense of the viewer being taken into a 'real' These two examples demonstrate that
place, for example a haunted house, by a scien- culture, and media as a form of communication,
tific 'expert' leading a volunteer member of the are tightly tied. As example, they suggest cul-
public in to experience supernatural presences. ture as a series of a creative practised in lived
A typical scene is an 'ordinary' person advanc- everyday interaction. As society changes in re-
ing slowly in a state of terror into a decayed ruin ference to the new global order, culture and me-
at night, apparently with only the aid of infra- diated communication forms change at same
red lighting. The voice-over commentary re- time. In Indonesia, there is evidence that forms
lates the usually murderous history of the dwell- of popular culture media which incorporate and
ing. A faint change in the density of the black- celebrate Islam as a shaping force in national
ness of the interior is remarked upon by the identity are emerging not from the top down

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 169


Nilan : Communication as Culture

(like state-sponsored propaganda) but from cre- Cunningham, S. & Sinclair, J. (2002) 'Intro-
ativity and encouragement of ordinary people duction', in S. Cunningham & J. Sinclair
themselves-youth, the working class, rural vil- (eds) Floating Lives: The Media and Asian
lages and communities. It seems certain that Diasporas: Negotiating Cultural Identity
many young people in Indonesia show a marked through Media, Brisbane: University of
cultural preference for these local formsof me- Queensland Press.
diated symbolic communication which speak to Curran, J. (2002) Media and Power, London &
them of their Muslim identity, over the imported New York: Routledge.
western product. Dimitriadis, G. (2001) “In the clique”: Popular
Culture, Constractions of Place, and the
Everyday Lives of Urban Youth', Anthro-
Reference pology and Education Quarterly, vol 32,
Abou-El-Haj, B. (19910 'Languages and Mo- no. 1, pp. 29-42.
dels for Cultural Exchange', in J. Eade (ed) Fiske, J. (1996) Postmodernism and television,
Living the Global City: Globalization as a in J. Curran & M. Gurevitch (eds) Mass
nd
Local Process, London & New York: Media and Society-2 Edition, London &
Routledge. New York: Arnold.
Adorno, T. & Horkheimer, M. (1997) 'The Cul- Gillespie, M. (1995) Television, Ethnicity and
ture Industry: Enlightenment as Mass De- Cultural Change, London & New York:
ception', in J. Curran, M. Gurevitch & J. Routledge.
Woollacott (eds) Mass Communication Giroux, H. (1997) Channel Surfing, Basing-
and Society, London: Edward Arnold. stoke & London: Macmillan.
Appadurai, A. (1996) Modernity at Large: The Gitlin, T. (2001) Media Unlimited: How the
Cultural Dimensions of Globalisation, Torrent of Images and Sounds Over-
Minneapolis: University of Minnesota whelms our Lives, New York: Metropo-
Press. litan Books.
Barendregt, B. (2004) 'Cyber-Nasyid: Trans- Golding, P. & Murdock, G. (1996) 'Culture,
national Soundcapes in Muslim Southeast Communications and Political Economy',
Asia', in T.J.M. Holden & T.Scrase (eds) in J. Curran & M. Gurevitch (eds), Mass
Medi@sia, London: Routledge . Media and Society (Second Edition), Lon-
Barker, C. (1999) Television, Globalization and don & New York:Arnold.
Cultural Identities, Buckingham and Phi- Harrington, C.L.& Bielby, D. (2001) “Con-
ladelphia: Open University Press. structing the Popular: Cultural Production
Barthes, R. (1977) Image-Music-Text, trans- and Consumption', in C.L. Harrington &
lated by. S. Heath, London: Fontana. D. Bielby (eds) Popular Culture: Product-
Benjamin, W. (1973) Illuminations, trans. H. ion and Consumption, Malden Oxford:
Zohn, London: Fontana. Blackweel Publishing.
Bennett, A. (20000) Popular Music and Youth Hebdige, D. (1998) Hiding in the Light, Lon-
Culture, Basingstoke and London: Mac- don: Routledge.
millan. Hibbs, T.S. (1999) Shows about Nothing: Nihil-
Best, S. & Kellnes, D. (1998) 'Beavis and Butt- ism in Popular Culture from the Exorcist
Head: No Future for Postmodern Youth', to Seinfield, Dallas: Spence Publishing
in J. Epstein (ed) Youth Culture: Identity in Company.
a Postmodern World, Oxford: Blacwell Holden, T.J.M. (2004) 'Introduction', in T.J.M.
Publishers. Holden & T. Scrase (eds) Medi@sia, Lon-
Crane, D. (2002) 'Culture and Globalization: don: Rotledge.
Theoretical Model and Emerging Trends', Hoogvelt, A. (2001) Globalization and the
in D. Crane, N. Kawashima and K. Kawa- Postcolonial World: The New Political
nd
saki (eds) Media, Arts and Globalization, Economy of Development, 2 Edition, Ba-
New York & London: Routledge. singstoke: Palgrave.
Croteau, D. & Hoynes, W. (2002) Media/So- Jary, D. & Jary, J. (1991) Collins Dictionary of
ciety: Industries, Images and Audiences, Sociology. Glasgow: HarperCollins Pub-
Pine Forge: Pine Forge Press. lishers.

170 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Nilan : Communication as Culture

Klein, N. (2000) No Logo, Hammersmith: Fla- Rachmah, I. (2004) 'Ghost or Gossip; The Pic-
mingo/HarperCollins. ture of the Indonesian television Industry
Lent, J. (1995) 'Introduction', in J. Lent (ed) Asi- in the 2000s', paper delivered to the 15th
an Popular Culture, Boulder San Fransis- Biennial Conference of the Asian Studies
co Oxford: Westview Press. Association of Australia, Canberra, 29
Liechty, M. (1995) 'Youth and Modernity in June 2 July, 2004.
Kathmandu, Nepal', in V. Amit-Talai & Ritzer, G. (1993) The McDonaldisation of So-
Wulff, H. (eds) Youth Cultures: A Cross- ciety, Thousand Oaks: Pine Forge Press.
Cultural Perspective, London & New Said, E. (1978) Orientalism, London: Rout-
York: Routledge. ledge & Kegan Paul.
Morley, D. & Robins, K. (1995) Spaces of Street, B. (1993) 'Culture is a Verb: Anthropo-
Identity: Global media, Electronic Land- logical Aspects of Language and Cultural
scapes and Cultural Boundaries, London Process', Language and Culture, British
and New York: Routledge. Studies in Applied Linguistics 7. Cleve-
Morris, N. (2002) 'The Myth of Unadulterated don: Multilingual Matters, pp. 23-24.
Culture Meets the Threat of Imported Me- Sunindyo, S. (1998) 'Wacana Gender di TVRI:
dia', Media, Culture & Society, vol. 24, pp. Antara Hegemoni Kolonialisme dan Hol-
278-289. lywood', in I.S. Ibrahim and H. Suranto
Nilan, P. (2001) 'Gendered Dreams: Women (eds) Wanita dan Media, Bandung: Rema-
Watching 'Sinetron' (Soap Operas) On In- ja Rosdakarya.
donesia TV', Indonesia and the Malay Thompson, J.B. (1995) The Media and Mo-
World, vol. 29, no. 84, pp. 85-98. dernity: A Social Theory of the Media,
Pertierra, R. (1995) Philippine Localities and Cambridge, polity Press.
Global Perspective, Manila: Ateneo de Waisbord, S. (1998) 'When the Cart of Media is
Manila University Press. before the Horse of Identity: A Critique of
Pieterse, J.N. (1995) 'Globalization as Hybrid- Technology-Centered Views on Global-
ization', in M. Featherstone, S. Lash and R. ization', Communication Research, vol.
Robertson (eds) Global Modernities, Lon- 25, pp. 377-98.
don: Sage.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 171


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 172-181

Online Learning and Quality of Learning


in Journalism Course

Sri Hastjarjo
Department of Mass Communication, Sebelas Maret University

Abstract

This paper reports the findings of a study of the application of online learning and its impacts
on the learning process (learning approaches) and learning outcomes for students who
enrolled in a Journalism course in an Indonesian university. Based on Biggs' Model of Student
Learning, with prior knowledge of journalism, computer skills, internet skills, and teaching
method as independent variables; students' learning approaches as an intervening variable,
and learning outcomes, which comprise grades, productivity, and quality of works, as
dependent variables. Students in the online class demonstrated a deeper learning experience
and better quality learning outcomes. Students' prior knowledge and learning approaches
were linked to better learning outcomes. This study demonstrates that online learning has the
potential to be used to complement or to replace traditional face-to-face lecturing in
universities in Indonesia.

Keywords: journalism course, online learning, quality of learning.

Introduction nalism educators in Indonesia is that although


The main goal of every professional edu- graduates have sufficient theoretical knowled-
cation is to produce capable practitioners. Such ge about journalism, they do not possess the
capability depends on both knowledge and skill practical knowledge and skills required by the
which are perhaps better conceived as two kinds media industry. The existing Journalism course
of knowledge: propositional and procedural relies heavily on the use of a traditional lectur-
(Ryle, 1976, p.160). This is true in journalism ing method in a face-to-face classroom environ-
education. Professional journalists must know ment. Within such a learning environment, stu-
that certain propositions are true and must know dents tend to be reluctant to express their views,
how to perform certain skills, either intellectual opinions or arguments on any issue. Each
or physical, or how to demonstrate certain capa- meeting in the face-to-face class is generally a
bilities or competencies (Gagne, 1974, pp.19- one-way communication from the teacher to the
33). The ideal course requires a balance of aca- student. This is a traditional format in a society
demic studies, applied capacities and talent and, which values education and respects those who
within the sphere of occupational learning, si- are teachers.
mulations of real working experience and en- This practice has produced a situation not
gagement with the real world of journalism (de far from the one observed by Biggs (1987) in
Burgh, 2003, pp.95; Utari, 2004, pp. 154-155). which students are inclined to adopt a surface
One of the major problems faced by jour- approach to their study. Their motive is to gain

172 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

a qualification at its most basic level and their gies to communicate and collaborate in an edu-
consequent strategy is to reproduce information cational context. This includes technology that
through rote learning. This surface approach supplements traditional classroom training with
denies the student the opportunity to achieve a web-based components and learning environ-
desirable learning outcome which is well struc- ments where the educational process is experi-
tured, personally involving, and compatible enced online (Kearsly, 1997).
with institutional requirements (Biggs, 1987, The most crucial issue to consider when
pp.96). developing an online course is pedagogy (Ma-
Biggs and Collis (1982) argue that high son, 1998). Online technology does not auto-
quality learning is determined by teaching pro- matically improve courses. Simply placing lec-
cedures and student approaches. The purpose ture notes on a website will not enhance stu-
of this study is to devise a learning environment dents' learning experience. Application of on-
which would be an alternative to the existing line technology in education demands rethink-
face-to-face lecturing classroom and that would ing of the educational design and learning ap-
encourage a deeper learning experience and proaches associated with the use of new media
provide the student with a “simulation” of a real (Flew, 2002). Best practice in implementing
world situation of journalism work. This in turn online education is to develop an approach that
would assist the student to produce the desired constructs a more interactive, self-directing
learning outcomes. Reviews of the literature learning experience for students (Littlejohn &
show that a combination of online learning and Stefani, 1999).
a problem-based approach has the potential to There are advantages of online learning,
serve this purpose. identified in the literature, in economics, ac-
cess, technology, and pedagogy (Flew, 2000).
Literature Reviews Hiltz (1994) identified characteristics of online
Online Learning learning that related to learning access and
Education is one of the most important learning effectiveness. These advantages relat-
ventures of the Internet (Whitherspoon & John- ed to educational access, including flexibility in
stone, 2001). Many developments have used relation to place and time of access to the
the Internet for higher education. These deve- course. In terms of learning effectiveness, Hiltz
lopments are the result of two main factors: lists collaborative learning opportunities, more
firstly, the growth and popularity of the Internet; active learning, facilitation of self-pacing, avai-
and secondly, key changes in the world of edu- lability of other computer resources and com-
cation. In the case of Indonesia, there is a great plete course notes. Harasim (1990) identified
challenge in providing access to higher educat- text-based communication as one of the charac-
ion. Every year around 1.6 millions students fi- teristics of online learning which has cognitive
nish their high school study, but higher educat- benefits.
ion providers (government and privately own- A key power of the web is its capacity to
ed) only have capacity to accept 600.000 new inter-link content. The web is also a potent com-
students annually. Soekartawi (2006) stated that munication tool. By putting these two functions
only 14.6% of people of university/college age together the Web provides a tool by which user
(19-24 years old) attend higher education. driven communication operates by linking con-
Many believe that online learning will tributions together. The result is web discussion
become one of the most important solutions for forums. There are two types of web-based dis-
Indonesia's problem in providing adequate cussion: synchronous (for example, in a chat-
higher education. The Indonesian Secretary Ge- room) and asynchronous (for example, e-mail
neral of the Ministry of National Education or discussion forum).
stated that teledukasi (Indonesia's term for on- Asynchronous web discussion has cha-
line education) is the suitable method for know- racteristics almost opposite those of synchron-
ledge distribution in Indonesia (Muklas, 2001). ous discourse. It is slow paced (because the
In this paper, the term “online learning” participants are not limited to a certain time-
is chosen. It is defined as an approach to teach- frame), perpetually transcribed, and comprised
ing and learning that utilizes Internet technolo- of threads that can be followed in any direction.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 173


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Asynchronous on-line discussions can last from ures of online learning encourage and support
several days to several months. Because on-line such strategies as problem-based learning,
discussions take place by sending or posting case-based learning, and even work place learn-
electronic text messages, and because these me- ing; strategies that are considered to be appro-
ssages can be archived, the discussion can exist priate for professional education.
as a perpetual transcript. This perpetual tran-
Problem-Based Learning (PBL)
script is important because it enables asynchro-
Problem-based learning (PBL) had its
nous on-line discourse to have many threads ac-
beginning in medical education at McMaster
tive simultaneously. By referring to this trans-
University in Canada in the mid-1960s (Nor-
cript, discussion participants can easily follow
man & Schmidt, 1992). It was developed in res-
the discussion threads in any direction and com-
ponse to concerns that a focus on academic dis-
ment on any portion of the transcript (Salahub,
ciplines was not effective preparation for future
1997).
The asynchronous Web-based discuss- professionals (Boud, 1985). Since PBL first ap-
ions offer opportunities to develop reciprocity peared, it has spread to many countries and dif-
and cooperation among students, required ac- ferent fields of professional education includ-
tive learning, provided prompt feedback, and ing, nursing, engineering, law and business
supported diverse talents and ways of learning. (Boud & Feletti, 1991).
Sabine and Gilley (1999) attempted to simulate Although there are many variations in the
classroom interaction and reached the conclus- application of the PBL, they appear to share
ion that threaded discussions may be superior to some common characteristics. Charlin et al.
face-to-face discussions because students have (1998) identified three core principles of PBL:
an opportunity to reflect on posts before submit- (1) the starting point for learning should be a
ting them. These online discussions create a problem; (2) the implementation should be an
“shared space” where ideas can be debated and educational approach rather than a sporadically
linked to other ideas, and hypotheses can be used technique in a traditional program; (3) it
made or refuted (Bonk & Kim, 1998). should be a learner-centred approach. Schmidt
In asynchronous web-based discussion (1983) argued for the success of PBL on the
groups, learners construct their own learning by basis of its implementation of three key princip-
engaging themselves and others in reflective les of the information processing approach,
explorations of ideas, drawing conclusions namely, activation of existing knowledge when
based on their explorations, and synthesizing learning begins, encoding of retrieval cues with
those conclusions with previous knowledge in learned information, and elaboration of knowl-
what tends to be a non-linear process (Biesen- edge through immediate application.
bach-Lucas, 2003). In this process of learning, As problem-based learning is a student-
students are engaged in more inductive, prob- centered process, it is the responsibility of the
lem solving activities as opposed to deductive, individual student to participate fully, not only
analytic teacher-based exercises and lectures for his or her own learning, but also to aid the
(Nunan, 1999). learning of others in the group. In PBL, students
To summarize this section, the online devise a plan for gathering more information,
learning environment has a potential to shift the then do the necessary research and reconvene to
paradigm from teacher-centred to student-cen- share and summarize their new knowledge in
tred learning. This shift will have an impact on the group. Students may present their conclus-
the roles and responsibilities of teachers and ions, and there may or may not be an end pro-
students. To be successful in an online learning duct.Again, students should have adequate time
environment, both teachers and students need to for reflection and self-evaluation.
have certain attitudes and skills. The online Although students generally prefer prob-
learning environment, especially web-based lem based learning courses, to be successful in
discussion, has advantages that may enhance thier study they need to change their traditional
the learning experience. Those advantages in- assumption of the teacher's role as a main or
clude a flexible, self-paced, active, deep and sole disseminator of knowledge and the traditi-
collaborative learning environment. The feat- onal approach of learning by memorization of

174 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

facts (Donnelly & Fitzmaurice, 2005). Without learning - are important factors that determine
these changes, students will have difficulties in the success of the learning experience.
engaging in the learning process (Reithling-
Students' Learning Process
shoefer, 1992). In the previous sections, it has been ar-
Barrows (1986) listed four objectives
gued that both online learning and problem-
which he claimed were not well addressed by based learning require students with certain
other educational methods but might be achi- characteristics to reap the benefits of the learn-
eved through PBL: structuring of knowledge to ing experience. Biggs and Collis (1982) argue
support practice; developing effective clinical that learning outcomes are determined by inter-
reasoning; developing self-directed learning actions between teaching procedures and stu-
skills; and increasing motivation for learning. dent characteristics.
Schmidt (1983) argued that in PBL settings stu- In his General Model of Student Learn-
dents implement the three key principles of the ing, Biggs proposed that academic attainment
information processing approach to learning: was a result of both “personological” factors
(1) activation of existing knowledge when and “institutional” factors. Biggs argued that
learning begins; (2) encoding of retrieval cues the effects of personological and institutional
with learned information; and (3) elaboration of factors on students' academic performances
knowledge through immediate application. were mediated by “study processes”, which in-
To summarize this section, PBL can im- cluded students' values, motives, and strategies.
prove students' learning process and learning The personological and institutional factors
outcomes. PBL encourages students to think constitute independent variables; study proces-
more about connecting academic knowledge ses constitute intervening variables; and mea-
with practical applications. PBL also can in- sures of academic attainment constitute depen-
crease students' motivation for self-directed dent variables. This paper used Biggs' model
learning. On the other side, the success of PBL with several modifications to suit the purpose of
relies heavily on the attitude of the individual this study which focus on the application of on-
student. Therefore, students' characteristics - line learning in a Journalism training (see Fi-
especially their motives and their approach to gure 1).

Figure 1. Biggs’ General Model of Student Learning

Personal

Prior Knowledge
(Journalism) Performance
Abilities
(Computer) Grade
(Internet) Learning Process Productivity
Complex (Assignments)
(Study Approaches) Quality of works
Situational (SOLO level)

Teaching method:
(Online Learning)
(Face-to-face)

The term “learning approach” refers to the method by which students attend to the process of
learning and the effect this has on the learning outcome. Biggs (1987) proposed that learning
approach refers to students' motives and strategies for learning. A learning approach implies
a motive or intention to learn as well as the adoption of strategies to fulfill that intention
(Edwards, 1999).

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 175


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Tabel 1. Motive and Strategy in Approaches to Learning

Approach Motive Strategy


SA:Surface Surface motive (SM) is insttumental: Surface Strategy (SS) is reproductive:
its main purpose is to meet require- limit target to bare essential and repro-
ment minimally; a malance between duce through rote learning.
working too hard and failing.
DA:Deep Deep Motive (DM) is intrinsic: stu- Deep Strategy (DS) is meaningful:
dy to actualize interest and compe- read widely, inter-relate with previous
tence in particular academic subject. relevant knowledge.
AA:Achieving Achieving Motive (AM) is based on Achieving Strategy (AS) is based on
competition and ego-enhancement; organizing one’s time and working
obtain highest grade, whether or not space: behave as ‘model student’.
material is interesting.

Marton and Säljö (1976a, 1976b) found 1989) developed a taxonomy known as the
that students demonstrated different learning Structure of Observed Learning Outcome
outcomes dependent on the way they processed (SOLO). This taxonomy describes the structur-
the material to be learnt. The manner in which al organisation of knowledge and has been used
they processed the material was related to the mainly to measure secondary and tertiary stu-
intention of the student. The students who used dents' learning (Biggs & Collis, 1982, 1989;
the strategy of reading the text and focusing on Boulton-Lewis, 1994, 1995). The SOLO taxo-
detail and memorization demonstrated poor nomy focuses on the structure of an individual's
grasp of the overall meaning of the material. response to describe the quality of the learning.
Those who focused on the main points and tried The SOLO taxonomy is based on mea-
to inter-relate them with other data in the mate- suring the complexity of thought processes in
rial or their own experiences were able better to the student's statements, based on a classifica-
understand the material. Marton and Säljö tion into prestructural, unistructural, multis-
(1976a) termed the former “surface processing” tructural, relational and extended abstract,. The
and the latter “deep processing.” stages are derived from the work of Piaget and
Biggs (1987) proposed a third approach his stages of cognitive development. State-
of learning, labeled “achieving”. Ramsden and ments are expected to show a continuum of
Enwistle (1983) labeled this a “strategic ap- learning from initial recognition to reflection
proach.” An achieving approach is thought to and complex understanding (Hewson &
reflect the desire to attain the highest marks Hughes, 1998).
possible in order to boost self-esteem. It uses The SOLO taxonomy is a well-establish-
ed technique for establishing the presence of
such strategies as good organization, complet-
deep learning. Biggs and Collis (1982) provid-
ing set work on time, and trying to influence
ed detailed examples how the SOLO Taxonomy
self-perception as successful students (Rams-
could be applied in the assessment of students'
den & Enwistle, 1983). Table 1 describes the
work in various subjects including history, ma-
motives and strategies component of these
thematics, English, geography, and modern la-
learning approaches (Biggs, 1987).
nguages. Many other studies have provided evi-
The Quality of Learning Outcomes dence that the SOLO Taxonomy is useful as an
After the students have experienced a assessment instrument in various subjects and
learning session, an evaluation is needed to disciplines such as social numercy, counselling,
measure how much has been learned and how biochemistry, and reflective writing. It is argued
well it has been learned. Marton (1976) states that the taxonomy also can be used as an assess-
that this evaluation involves both quantitative ment instrument for students' work in journal-
and qualitative aspects. Biggs & Collis (1982, ism.

176 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Methodology and Procedures this study include: student's grades, product-


This study was an investigation of the ap- ivity (the number of submitted writing assign-
plication online learning ad its impacts on stu- ments), and the quality of students' works
dents' learning. In order to carry out the inves- (using SOLO Taxonomy developed especially
tigation, an online class had to be set up as an al- for assessing Journalism works).
There were two phase of data collection:
ternative to the regular face-to-face class. The
before and after the course commenced. On the
online class had the same features as the face-
pre-test data collection, both groups were
to-face class in its course materials, its assess-
administered with all the questionnaires, while
ment tasks and assessment techniques. The only
in the post-test data collection, only the SPQ
difference was the teaching method. While the
were administered to both groups. The
face-to-face class used lecturing as the main
administration of SPQ on the pre-test and post-
teaching method, the online class used a com-
test data collection was used to determined
bination of problem-based learning and web-
whether any changes of learning approaches
based learning as the method of instruction.
The Journalism Online class was prob- had occured as a result of different learning
lem-based. For each unit in the syllabus, stu- experience. Another set of questionnaires were
dents were presented with a problem based on a administered only to the Online Class group to
realistic journalism situation. The students had measure the students' perceptions on their
to address the problem using the theory they had learning experience in the Online Class.
acquired in the literature. Each unit used the The stastitical analyses undertaken in
same format: students were required to com- this study comprised of: descriptive statistics,
correlations, means comparisons (t-tests), and a
plete a set of tasks in specified times. For each
series of Analyses of Variance (ANOVAs).
unit, the group of students was presented with a
problem based on a real-life journalism situa- Results and Implications
tion. Along with the problem, there was pre- The Impacts of Online Learning
scribed material from the literature that needed The Online Class in Journalism which in-
to be read by each student. After reading the pre- corporated the principles of Problem Based
scribed materials, each student individually Learning (PBL) in an online learning environ-
posted his or her response to the group discuss- ment was demonstrated to produce higher qua-
ion forum. Other members of the group could lity outcomes than traditional lecturing in a
comment on those responses, and then one face-to-face setting. The superiority of the On-
member of the group would post a conclusion line Class over the traditional Face-to-face class
based on the members' responses. This conclu- was confirmed in three ways.
sion became the group response to the problem. 1. Students in the Online Class produced better
Subjects for this study comprised the to- learning outcomes in terms of their grades,
tal population (n = 72) of third year students their productivity, and the quality of the
enrolled in the Journalism Course in the Depart- news pieces they produced compared with
ment of Communications, Sebelas Maret Uni- students in the face-to-face class.
versity, Surakarta, Indonesia. The subjects 2. Students in the Online Class indicated that
were 22 male and 50 female, all of whom had they experienced deeper learning practices
some experience in using a computer and the in- in the Online Class compared with their
ternet. Subjects in this study were divided ran- learning experiences in face-to-face classes
domly into two groups: the control group (face- they have attended previously.
to-face class) and the experimental group (on- 3. Participation in an Online Class helped im-
line learning). prove the academic performance of students
Instrument used in this study comprised who indicated that they held inferior or un-
of a set of questionnaires to measure the inde- desirable approaches to learning.
pendent variables: prior knowledge of Journal- It has been argued that these results can
ism, computer and internet skills, and Biggs' be attributed to features of the learning environ-
Study Process Questionnaires (SPQ) to mea- ment. Those features are the Problem Based
sure the learning approaches used by the stu- Learning approach, collaborative learning, and
dents. The dependent variables examined in asynchronous web-based discussion. The com-

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 177


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

bination of these features in a learning situation them to the discussion forum. This situation is
seems to have been instrumental in producing seldom present in a face-to-face class. In face-
better quality learning, developing the practice to-face discussion, there is usually not enough
of deep learning, and encouraging students to time for every student to express their opinions.
adopt a more active attitude towards their work, The time is taken up by students who have more
and as a result to be more productive. confidence in public speaking, while students
One of the key features highlighted in who are shy or who have a slower pace in learn-
this study is the efficacy of presenting students ing usually stay in the background and do not
with real-life situations or problems that need to volunteer their opinions. The online environ-
be addressed and solved using theoretical per- ment gives equal opportunities for all students
spectives they have obtained from course mate- to make a contribution to the class discussion.
rials. This approach reduces the danger of stu- The collaborative learning required in
dents gaining knowledge of theories without the Online Class seems to help students adopt a
developing the ability in put those theories into more active and productive attitude to learning.
practice. This remains a major problem in ter- The absence of direct encounters with other stu-
tiary education, especially in developing coun- dents and the lecturer may have encouraged stu-
tries such as Indonesia. This approach also re- dents to make a greater contribution to discus-
duces the danger of students developing practi- sions compared with their contribution in a
cal capabilities without a solid theoretical foun- face-to-face setting. The students who find that
dation, a situation which can emerge in appren- they have difficulty speaking in public now can
ticeship programs in the media industry. Using have more freedom to express their views in
real-life situations, one of the guiding principles writing. Although they know their fellow stu-
of problem-based learning, enables students to dents and the lecturer will be reading what they
obtain the “know what” as well as the “know write, the absence of the physical presence of
how” of the practice of journalism. other participants may make the process easier
The second key element emphasized in for them. The other factor that might have been
this study is the use of online technology (in this helpful in encouraging students to contribute
case, a web-based asynchronous discussion fo- more is their realisation that, in the online en-
rum) as the medium for delivering the course vironment, they have more time for thinking
contents and as the medium for communication and revising before submitting their work.
to and interaction with the participants, both An implication of this study is that a com-
students and lecturer. This online medium pro- bination of a problem-based approach with a
vides a more flexible learning situation (in web-based discussion format provides an alter-
terms of space and time), and, it is argued, en- native or a substitute model for the lecture/tu-
courages deeper and more active learning by torial method that is still used widely in higher
students. The web-based discussion forum education. This study has demonstrated that
keeps a record of every contribution by each this model has enhanced students' deeper learn-
student and this record can be accessed any ing practices and has improved learning out-
time. As a result, students can read and re-read comes in a journalism course. It is likely that
as much as they need, at their own pace, in an the application of this model will produce simi-
attempt to understand the topic under discus- lar benefits not only for other professional
sion. This situation is cannot occur in a face-to- courses that want equip their students with
face class because some students may not be knowledge as well as skills, but also for other
able to keep up with the speed of other students' courses, as long as the course can provide stu-
thinking or presentation of arguments and as a dents with problems (scenarios) that mirror a
result they can lose track of the discussion. real world situation they may encounter. To
The asynchronous nature of web-based gain the optimal benefits of this model, the for-
discussion also gives students more time to r- mat and requirements the course need to ensure
eflect and think before they make a contribu- the active involvement of each student. With-
tion. The students are given more time careful- out a mechanism or a rule that “forces” indivi-
ly and thoughtfully to compose, edit and revise dual students to get involved in the learning
their opinions or comments before they submit process, the discussion will be dominated by

178 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

few active students and the course will be little milar to, or better than, face-to-face lecturing
different from face-to-face classes. and discussion, online courses should be used
Student Learning Approaches as an alternative or a replacement for existing
Although this model with its combina- face-to-face courses. Considering the applica-
tion of a problem-based approach and an online tion of online courses, the format that seems
discussion format was demonstrated to be bene- most beneficial is a combination of a problem-
ficial for students at large, the learning environ- based approach and online discussion. Putting
ment is not the only factor affecting students' lecture notes or some audio/visual or multime-
learning. Another important factor is the learn- dia materials on the web is not sufficient for an
ing approach adopted by students. It emerged online course. If an online course is to produce
in this study that students with inferior ap- maximum benefits, two features should be in-
proaches to learning who engaged in the Online corporated in the teaching and learning format.
Class outperformed students with better learn- Though there are a wide range of format and
ing approaches in the face-to-face class. When media that can be used, including text-based
comparisons were made among students in the scenarios or digital audio/visual and multime-
Online Class only, it was found that students dia, the emphasis should be on the learning pro-
with better learning approaches (deep and cess that involves real-life problem-solving in
achieving approaches) generally produced bet- collaborative learning situations.
ter outcomes than those who adopted inferior The development of an online course
approaches. does not guarantee an ideal learning experience
The implication of these results is that, and desirable outcomes. Equally important are
although the environment provided by the On- the learning motives and strategies adopted by
line Class provides advantages over the face-to- the students. Because students need to adopt de-
face class, it is up to individual students to adopt sirable attitudes and behaviours to be successful
appropriate learning motives and strategies if in an online course, it is recommended that a
they wish to produce high quality learning. The preparation or introduction course is provided
flexibility of place and time in the Online Class for students prior to the commencement of the
might be more of a peril than a privilege for online course. This preparation course should
students who do not have appropriate learning make students aware of the factors that will lead
behaviours. The online learning environment to success. These factors not only include the
demands significant attributes from students technical skills for working online but also, and
including self-direction, motivation, and self- more importantly, the development of desirable
responsibility. attitudes (for instance, motivation, time mana-
This is also true for the application of a gement, self-regulation) and skills such as prob-
problem-based approach. The problem-based lem-solving and writing.
approach requires that students adopt specific Aside of the course content, another fac-
attitudes toward learning. Students need to ac- tor that also determines the success of an online
cept that it is they and not the lecturer who play course is sufficient resources including equip-
the dominant role in learning. They have to ment (servers, PCs, network, modems, tele-
discard the commonly held attitude that lecturer phone lines, etc.) and technical officers who can
is the sole source of knowledge. Students need provide assistance. Often, lecturers do not po-
to be active in searching for information. And, ssess adequate skills to set up the online course.
the most importantly, students have to be aware They might be experts in the subject and have
that in a problem-based approach, they will be developed excellent course content, but they re-
asked to apply knowledge or theories to solve a quire assistance with setting up the online
real-life problem, not merely memorize and course and maintaining the “technical aspects”
recite facts. which include setting up the server and the net-
work and installing the course management
Conclusions and Recomendations
software with the aid of skilled technicians
Given that the current study has demon- (such as server administrators, web-designers,
strated that online learning can provide learning and computer technicians). It is recommended
experiences and learning outcomes that are si- that before the decision is taken to implement an

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 179


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

online course, a thorough study of the institut- Biggs, J.B. (1987). Student Approaches to
ion's readiness to do this effectively is under- Learning and Studying. Melbourne: Aus-
taken. tralian Council for Educational Research.
There are financial issues that need to be Biggs, J.B. and Collis, K.F. (1982). Evaluating
considered carefully. The cost of setting up an the Quality of Learning: The SOLO Taxo-
online course, especially when all the hardware nomy (Structure of the Observed Learning
is to be purchased and a new computer network Outcome). Sydney: Academic Press.
built, is relatively high. There is also the cost of Bonk, C., & Kim, K. (1998). Extending socio-
purchasing the CMS (Course Management Sys- cultural theory to adult learning. In M. C.
tem) software, although there are some Open Smith & T. Pourchot (Eds.), Adult learn-
Source CMS programs that are available for ing and development: Perspectives from
free (for example Moodle). In addition to the Educational Psychology (pp. 67-88).
cost, establishing the course content for the first Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
time requires time and effort. Another factor is Boud, D. (1985). Problem-based learning in
the time and expertise required to upload all the perspective. In D. Boud (Ed.), Problem-
course content and test it before launching the Based Learning in Education for the Pro-
course. On a more positive note, once the fessions (pp. 13-18). Sydney: Higher Edu-
course is set up correctly, the workload of up- cation Research Society of Australasia.
dating and maintaining the course is lighter. Boud, D., & Feletti, G. (Eds.). (1991). The
In developing countries like Indonesia challenge of problem based learning. New
there are some regions that do not have tele- York: St. Martin's Press.
phone access, so there can be no internet access. Boulton-Lewis, G.M. (1994). Tertiary students'
In the regions that have internet service, not knowledge of their own learning and a
every student has access to a personal computer SOLO taxonomy. Higher Education, 28,
or to internet access in their homes. Those who 387-402.
do not have internet access at home usually rely -----. (1995) The SOLO Taxonomy as a Means
on internet cafes or internet connection at their of Shaping and Assessing Learning in
campus or office. The cost of internet service Higher Education, Higher Education Re-
is still relatively expensive. Because of these search and Development, 14(2), 143-154.
constraints, it is recommended that prior to the Charlin, B. et.al. (1988). The many faces of
development of an online course, market res- problem-based learning: A framework for
earch is conducted to determine whether poten- understanding and comparison. Medical
tial students will be able to afford the cost of an Teacher, 20 (4), pp. 323-330.
online course, not only the tuition fees but also De Burgh, H. (2003). Skill are not Enough: The
the cost of purchasing the hardware and the Case of Journalism as an Academic Dis-
internet connections they will need. cipline. Journalism 4 (1), 47-63.
Donnelly, R. & Fitzmaurice, C. (2005). Colla-
borative Project-based Learning and Prob-
References lem-based Learning in Higher Education:
A Consideration of Tutor and Student
Barrows, H. S. (1986). A taxonomy of problem- Roles in Learner-Focused Strategies. In O'
based learning methods. Medical Educa- Neill, G. , Moore, S., McMullin, B. (Ed s).
tion, 20, 481-486. Emerging Issues in the Practice of Univer-
Biesenbach-Lucas, S. (2003). Synchronous dis- sity Learning and Teaching. Dublin:
cussion groups in teacher training classes: AISHE, 2005.
Perceptions of native and non-native stu- Edwards, P.S. (1999). The Impact of Instruct-
dents. JALN vol 7 no. 3. p. 24-46. ional Interventions on Students' Learning
Biggs, J.B. & Collis, K.F. (1989). Towards a Approaches, Attitudes and Achievement.
model of school-based curriculum deve- PhD Thesis. Newcastle: Curtin University
lopment and assessment: Using the SOLO of Technology.
taxonomy. Australian Journal of Educat- Flew, Terry (2002). New Media: an Introduct-
ion, 33, 149-161. ion. Oxford: Oxford University Press.

180 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Hastjarjo : Online Learning and the uality of Learning in Journalism Course

Gagne, R.M. (1974). Principles of Instructional 2001.


Design. New York: Holt, Rinehart and Norman, G. R., & Schmidt, H. G. (1992). The
Winston. psychological basis of problem-based
Harasim, L.M. (1990). Evaluating the Virtual learning: A review of the evidence. Acade-
Classroom in Harasim L.M. Online Edu- mic Medicine, 67(9), 557-565.
cation: Perspectives on a New Environ- Nunan, D. (1999). Second Language Teaching
ment. New York: Praeger. and Learning. Boston: Heinle and Heinle.
Hewson, L. and Hughes, C. (1998) Templates Ramsden, P. & Entwistle, N. (1983). Under-
for online teaching, ASCILITE'98, 329- standing Student Learning . London:
338 [on-line] http://cedir.uow.edu.au/ Croom Helm.
ASCILITE98/asc98-pdf/hewsonhughes. Reithlingshoefer, S. J. (Ed.) (1992). The future
pdf. of Nontraditional/Interdisciplinary
Hiltz, S.R. (1994). The Virtual Classroom: Programs: Margin or mainstream? Papers
Learning Without Limits Via Computer from the Tenth Annual Conference on
Networks. Norwood:Ablex Publishing. Nontraditional and Interdisciplinary
Kearsley, G. (1997). A Guide to Online Educat- Programs. Virginia Beach.
ion <http://gwis.circ.gwu.edu/~etl/ Ryle, G. (1966). “Knowing How and Knowing
online.html>, accessed 3 February 2004. That” in I Scheffler. Philosophy and
Littlejohn, A. and Stefani, L.A.J. (1999). Ef- Education. Boston:Allyn and Bacon.
fective use of communicaton and informa- Sabine, G., & Gilley, D. (1999). Taking it on-
tion technology: Bridging the skills gap. line: A bootstrap approach. Proceedings of
ALT-J: Association for Learning the Mid-South Instructional Technology
Technology Journal, 7, 2, 66-76. Conference. Retrieved September 26,
Marton, F. & Saljo, R. (1976a). On qualitative 2003, from http://www.mtsu.edu/~itconf/
differences in learning: outcome and pro- proceed99/ gilley.htm.
cess. Britich Journal of Educational Psy- Salahub, E. (1997). Threaded Web Discussion.
chology, 46, pp. 4-11. APA Newsletter vol. 7 no. 1.
Marton, F. & Saljo, R. (1976b). On qualitative Schmidt, H. G. (1983). Problem-based learning:
differences in learning: outcome as a func- Rationale and description. Medical Edu-
tion of the learner's conception of the task. cation, 17, 11-16.
British Journal of Educational Psycholo- Soekartawi. (2006). Blended e-Learning: An
gy, 46, pp. 115-127. alternative for distance education in Indo-
Marton, F. (1976). What Does it take to learn? nesia. Paper presented in Distance Learn-
Some implications of an alternative view ing Seminar, University Islam Indonesia,
of learning. In N. Entwistle (Ed.), Yogyakarta, June 2006.
Strategies for research and development in Utari, P. (2004). The Gap between Indonesian
higher education. Amsterdam: Swets & Media Training and the Profession: Fac-
Zeitzlinger. tors Affecting Young Women in Commu-
Mason, R. (1998). Globalising Education: nication Studies and Media Careers. PhD
Trends and Application. London: Rout- Thesis. The University of Newcastle.
ledge. Witherspoon, J.P. and Johnstone, S.M. (2001).
Muklas, M.. Opening speech in the National Qualitiy in online education: results from a
C o n f er en ce o n D ev el o p men t o f revolution. Education at a Distance
Teledukasi Network. Jakarta, 9 August 15(30).

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 181


Jurnal Komunikasi Massa
Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 182-189

Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Widodo Muktiyo
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Pendahuluan Dalam pemerintahan Soekarno yang di-


kenal dengan zaman liberal (dasawarsa 1950-
Sejarah perkembangan surat kabar (ko-
an) kehidupan pers relatif menikmati kebebas-
ran) di Indonesia semenjak jaman penjajahan
an namun pihak penguasa dalam hal ini tentara
hingga era reformasi mengalami situasi pasang
menggunakan alasan keadaan SOB (Staat Van
surut yang demikian tajam. Orientasi surat ka-
Oorlog en Beley) keadaan darurat perang mela-
bar berkembang mengikuti arah perkembangan
rang terbit koran selama beberapa hari. Oleh
masyarakat dan situasi politik yang sedang ter-
Marbangun dari Lembaga Pers dan Pendapat
jadi. Dari koran yang digunakan sebagai alat Umum koran dibagi menjadi party bound atau
politik perjuangan untuk memompakan heroik yang terkait dengan partai politik, milik partai
kemerdekaan yang penuh retorika menjadi se- dan menjadi corong partai dan party directed
buah institusi bisnis yang sarat dengan modal yaitu koran yang berorientasi pada ideologi par-
yang besar dan teknologi tinggi yang diorienta- tai tertentu tetapi bukan bagian dari organ par-
sikan sebagai mesin ekonomi politik untuk me- tai.
raih keuntungan maupun kekuasaan. Media Pada masa rezim Orde Baru yang ternya-
menjadi makhluk raksasa yang dikendalikan ta berlangsung 32 tahun menjadikan kehidupan
dengan berbagai kepentingan pemiliknya, se- koran berada dalam situasi yang berubah total
perti untuk tujuan-tujuan akumulasi kapital. atau posisi yang berlawanan yaitu media dijadi-
Di Indonesia sampai Orde Baru hampir kan sebagai aparatus penguasa, memperteguh
tidak dikenal adanya pers bebas seperti Un- kepentingan dan kehendak penguasa daripada
dang-undang pengekang kebebasan pers pada menjadi institusi sosial yang independen. Me-
zaman Hindia Belanda Drukpers Regiement di dia bukan sebagai pilar demokrasi tetapi seba-
tahun 1856 dengan pemberlakuan sensor pre- gai pilar tegaknya rezim. Perubahan sistem po-
ventif; Pers Ordonantie tahun 1931 dengan mo- litik di Indonesia yang selalu berjalan secara
del pembredelan. Zaman Jepang adanya Osama discontinuity, yang awalnya diharapkan mela-
Seirei Undang-undang Nomor 16 tentang Pers hirkan sebuah sistem politik yang lebih baik dan
tahun 1942 dengan sensor preventif. Pada za- demokratis tidak menjadikan kondisi media
man RI : Peraturan Peperti (Penguasa Perang massa berada dalam situasi yang menguntung-
Tertinggi Nomor 10 tahun 1960 yang member- kan. Orientasi pemerintah yang bertumpu pada
lakukan izin terbit sampai dengan Undang-un- upaya perwujudan stabilitas, pertumbuhan dan
dang Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan pemerataan pembangunan kerapkali memper-
Pokok Pers dengan SIT yang kemudian men- alat media sebagai jembatan penghubung mau-
jelma menjadi SIUPP (Rosihan Anwar, pidato pun corong yang efektif dalam mensosialisasi-
di UIN Syarif Hidayatullah, 2006) ternyata ke- kan nilai-nilai tertentu yang mendukung ke-
hidupan koran senantiasa terus berjalan dengan langgengan kekuasaannya. Model-model ko-
dinamika yang tinggi. munikasi pembangunan yang sarat dengan ni-

182 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

lai-nilai status quo menjadi menu wajib bagi se- Surat Kabar Lokal dan Pilgub Jateng
mua media. 2008
Runtuhnya hegemoni media yang terjadi
Dalam tulisan ini, penulis bermaksud
bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Orde
menyajikan hasil penelitian yang dilakukan ter-
Baru menjadikan realitas media berubah secara
mendasar atau mengalami perubahan paradig- hadap sejumlah surat kabar lokal di Jawa Te-
matis. Era reformasi telah menciptakan suasana ngah (Jateng). Tujuan penelitian ini adalah un-
menuju tatanan yang yang diharapkan demo- tuk mengetahui kecenderungan isi/produk yang
kratis di dalam kehidupan masyarakat Indone- dihasilkan oleh media yang bersangkutan sela-
sia. Keruntuhan Orde Baru pimpinan Soeharto ma periode bulan Januari sampai dengan Maret
tahun 1998 juga menjadi tanda babak baru da- 2008. Harian lokal yang dipilih dalam pene-
lam tatanan sosial, politik dan budaya. Perubah- litian ini adalah Harian Kompas (DIY/Jateng),
an terjadi ditandai dengan proses desentralisasi Jawa Pos (Radar Solo), Solopos dan Suara Mer-
pemerintahan atau diberlakukannya model oto- deka. Keempat media tersebut dipilih karena
nomi daerah, peningkatan partisipasi dan pela- telah eksis dalam kurun waktu yang relatif lama
yanan publik dalam berbagai aspek kehidupan, (establish). Dengan menggunakan analisis isi,
serta lahirnya kembali kebebasan pers. unit analisis dalam penelitian ini meliputi berita
Kehadiran media cetak berujud koran Pilgub dalam surat kabar yang ditunjang de-
yang secara tiba-tiba berubah menjadi demiki- ngan foto, berita Pilgub tanpa foto, artikel Pil-
an banyak jumlahnya dan tidak hanya tersentral gub, paparan tentang cagub dan partainya, pem-
di Jakarta menjadikan booming baru dalam kha- beritaan tentang KPU dan penunjangnya. Ber-
sanah khalayak media. Alternatif dan pilihan ikut ini adalah data hasil temuan penelitian yang
terhadap beragam koran menjadikan pembaca diperoleh.
lebih terpenuhi kebutuhannya. Surat kabar (ko- Porsi pemberitaan terhadap tema Pilgub
ran) mulai merebak di berbagai daerah dengan Jateng 2008 yang disertai dengan foto sebagai
berbagai orientasi dan kepentingannya masing- penunjang relatif sangat beragam (lihat Tabel
masing yang demikian beragam, situasi ini ter- 1). Suara Merdeka Semarang punya kuantitas
jadi karena pada masa pemerintahan BJ Habibie yang paling tinggi (64) dibandingkan dengan 3
dengan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah media lainnya. Jangkauan wilayah peredaran-
membuka kran perijinan dalam pembuatan ko- nya yang paling menyeluruh di Jateng barang-
ran mulai diperlonggar tanpa ada SIUPP lagi. kali dapat menjadi alasan kuat tentang ini. Se-
Para kapitalis-kapitalis media yang baru mulai mentara itu Harian Kompas yang wilayah pa-
lahir dan dapat diidentifikasi dalam beberapa sarnya juga lebih luas dibandingkan Solopos
bentuk, yang pertama adalah kepemilikan insti- dan Jawa Pos (Radar Solo) mencoba melakukan
tusi pers yang sifatnya lokal hanya dimiliki oleh penetrasi pasar yang juga relatif lebih kuat (25)
warga atau pemodal setempat. Yang kedua ada- dibandingkan dengan harian lokal Solopos.
lah kombinasi adanya unsur pemilik lokal de- Kombinasi tayangan pemberitaan yang dito-
ngan para konglomerat nasional, sedangkan pang dengan foto cagubnya tersebut ternyata
yang ketiga adalah murni dimiliki oleh pemilik dapat menguatkan terhadap isi beritanya dan
media, yang punya jaringan berskala nasional menjadi unsur peneguh dalam visualisasi citra
yang berkeinginan memperluas jaringan bisnis cagub. Secara umum isi berita tentang cagub
medianya. Bahkan dalam masa Pilkada bergu- yang senantiasa diikuti dengan foto cagubnya
lir, media cetak lokal menjadi phenomena me- dapat menguatkan maksud tertentu dalam pem-
dia lokal tersendiri di mana ia bisa berafiliasi beritaan oleh medianya. Meskipun demikian
pada kandidat tertentu calon kepala daerah sam- dibandingkan dengan totalitas pemberitaan
pai pada media lokal yang hanya hidup di saat yang ada kombinasi berita yang diserta dengan
pilkada berlangsung dan akan mati pada saat foto jauh lebih kecil.
pilkada berakhir, sehingga model koran lokal Perbandingan antara berita tanpa foto
yang partisan terhadap calon kepala daerah da- dengan yang disertai foto demikian kontras (li-
pat terjadi secara eksplisit ataupun implisit hat Tabel 2). Artinya penyertaan foto terhadap
yang kesemuanya demi kepentingan ekonomi sebuah berita politik pilgub terasa sekali dalam
dan juga politik lokal. pertimbangan keterbatasan ruang (Jawa Pos

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 183


Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

77:8; Solo Pos 125:19; Suara Merdeka 184:64 pemberitaan yang tinggi di Suara Merdeka (18)
dan Kompas 44:25). Terlihat di Kompas bahwa dan Kompas (10). Di bulan Maret, Ali Mufiz
penyertaan foto menjadi lebih penting dalam sudah tidak menarik diberitakan dalam penca-
menguatkan pemberitaan pilgub (44:25), se- lonan hanya di Suara Merdeka (5) itupun lebih
dangkan Solo Pos justru didominasi pemberita- sebagai gubernur. Jawa Pos dalam penayangan
an tulis saja tanpa foto (125:19), juga Jawa Pos berita pilgub yang berimplikasi pada sosok
yaitu 77:8. Tendensi terhadap penonjolan isi be- cagub sangat minim. Untuk 5 kandidat plus
rita yang disertai foto akan lebih kentara kepen- gubernur secara khusus hanya dibahas 9 kali.
tingannya sehingga dapat lebih mudah diinter- Pemberitaan dalam cagub Jateng ternya-
pretasikan tertentu oleh publik. ta juga berisi tentang beragam informasi seperti
Kepedulian terhadap kajian ilmiah dan yang berkaitan dengan KPUD, Panwas, Soal
ditulis dari pihak luar media tampak nyata da- KTP dan kartu pemilih, Polling, Sosialisasi, Le-
lam kemunculan artikel yang berkaitan dengan lang, Pemantau sampai juga KPK. Secara kuan-
event pilgub (lihat Tabel 3). Bangunan wacana titatif yang paling sering memuat isu-isu terse-
ilmiah ini umumnya tidak memunculkan keber- but Suara Merdeka (109), Solo Pos (90), Jawa
pihakan terhadap salah satu calon, andaikanpun Pos (77) dan Kompas (35). Porsi pemberitaan
terjadi itupun dikupas secara lebih ilmiah. Sua- yang tinggi pada unsur penunjang menjadikan
ra Merdeka yang dikendalikan dari ibukota pro- nilai/bobot netralitas media terhadap keinginan
vinsi tampak punya greget yang lebih tinggi da- menayangkan sosok tertentu sedikit terkabur-
lam membangun wacana event pilgub secara kan.
lebih ilmiah dan ditulis oleh beragam penulis.
Kecenderungan Isi Media Cetak Lokal
Sementara itu, Jawa Pos terasa minim dalam
dalam Pilgub Jateng 2008
pemberian ruang media untuk artikel. Kompas
dan Solo Pos mempunyai jumlah yang sama da- Dalam analisis kualitatif Solo Pos dalam
lam tampilan artikel yaitu 8 kali, meskipun tam- pemberitaan Pilgub lebih sering berisi pemberi-
pak jelas Solo Pos mulai tinggi frekuensinya taan yang terdiri atas beberapa Cagub sehingga
pada bulan Maret. lebih sulit dilihat kecenderungan pada Cagub
Dari analisis tokoh yang dipapar oleh ke- tertentu dan menguatkan pada spirit netralitas.
empat media secara bersama (lihat Tabel 4) ter- Pemuatan rubrik warga bicara pada bulan Feb-
lihat bahwa Bibit Rustri punya skor paling ting- ruari di Jawapos memberi keragaman tersendiri
gi (67) diikuti Agus Kholiq (58), Tamzil Rozaq karena setiap rubriknya berisi antara 2 sampai
(49), Sukawi Sudharto (26) dan Bambang Ad- dengan 3 pendapat dari masyarakat, meskipun
nan (25). Namun, apabila dilihat per media ma- ditulis secara singkat. Kompas sebagai jaringan
ka Bibit-Rustri terbanyak di Suara Merdeka koran nasional dalam menaruh perhatian terha-
(25) dan Solo Pos (24), Agus-Khaliq terbanyak dap event pilgub secara umum lebih besar di-
di Suara Merdeka (29) dan Solo Pos (18); Tam- bandingkan koran nasional Jawa Pos.
zil-Rozak terbanyak di Suara Merdeka (21) dan Kecenderungan penggarapan terhadap
Solo Pos (14), Sukawi-Sudharto terbanyak di berita-berita politik lokal (pilgub) sebagai ko-
Suara Merdeka (15) dan Solo Pos/Kompas (5), moditas lebih diperhatikan oleh media lokal So-
Bambang-Adnan terbanyak di SM (10) dan So- lo Pos dan Suara Merdeka. Secara kuantitatif
lo Pos (10). Di Suara Merdeka urutan berdasar- pemuatan cagub tertentu memberikan gambar-
kan banyaknya terpaan adalah Agus-Khaliq, an bahwa ada atensi yang lebih kepada cagub
Bibit-Rustri, Tanzil-Razak, Sukawi-Sudahrto, tertentu apabila dibandingkan dengan cagub
dan Bambang-Adnan. Di Espos urutan terba- yang lain. Seperti munculnya Bibit Rustri yang
nyaknya: Bibit-Rustri, Agus-Khaliq, Tamzil- relatif baru namun frekuensinya cukup tinggi,
Razak, Bambang-Adnan, dan Sukawi-Sudhar- baik di Solo Pos (24), Suara Merdeka (15) dan
ta. Di Kompas urutan terbanyaknya adalah Bi- Kompas (15). Bambang Adnan yang lebih dulu
bit-Rustri (15), Agus-Khaliq, dan Tanzil-Razak muncul justru punya frekuensi paparan relatif
(10), Sukawi-Sudharta (5) dan Bambang-Ad- kecil yaitu Solo Pos (10), Suara Merdeka (10)
nan (4). dan Kompas (4). Tamzil yang jauh-jauh hari
Dalam 3 bulan terakhir, ketidakpastian sudah tampil meskipun sendirian punya freku-
Ali Mufiz dalam pencalonan cagub punya porsi ensi paparan yang relatif tinggi di Suara Merde-

184 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

ka (22), Solo Pos (14) dan Kompas (10). Oleh pihak yang ingin menjadikan media sebagai
Mosco (1999) secara khusus juga dijelaskan da- wahana “tampil” yang efektif. Komodifikasi
lam mengamati realitas media sebagai institusi khalayak menjadi bagian integral dari komodi-
sosial sekaligus institusi bisnis dihadapkan fikasi isi dalam menopang survival institusi me-
pada 3 konsep dasar yaitu komodifikasi, spasi- dia. Dalam praktek terhadap nilai-nilai budaya
alisasi dan strukturasi. Komodifikasi mengacu setempat maka relasi itu akan saling menguat-
pada proses transformasi nilai guna, nilai yang kan terhadap isi yang hendak dibangunnya se-
didasarkan pada kemampuan dalam memenuhi hingga keterlibatan khalayak menjadi perlu di-
kebutuhan terhadap suatu nilai tukar yang dida- pertimbangkan secara mutualistik. Komodifi-
sarkan pada kepentingan pasar. Komodifikasi kasi khalayak mengaggregasikan berbagai un-
ini menjadi penting dalam komunikasi karena sur dalam sebuah kepentingan yang lebih utama
prosesnya akan memberikan sumbangan dalam yaitu keuntungan bagi medianya oleh karena
proses komodifikasi ekonomi secara keselu- proses tersebut menjadikan media berada da-
ruhan. lam tujuan utama dalam hal keuntungan kapi-
Dalam praktik komodifikasi dapat men- talnya.
cakup dalam tiga kategori, yaitu : komodifikasi Dalam komodifikasi cybernetic dibagi
isi, komodifikasi khalayak dan komodifikasi me-liputi komodifikasi instrinsik dan ekstrin-
cybernetic. Komodifikasi isi merupakan proses sik. Komodifikasi instrinsik adalah tinjauan la-
mengubah pesan dari sekumpulan data ke da- yanan jasa rating khalayak oleh media sehing-
lam sistem makna yang kemudian dapat dipa- ga yang dipertukarkan bukan pesan atau khala-
sarkan. Berbagai exposure terhadap nilai-nilai yak akan tetapi nilai rating yang dihasilkan.
lokal Budaya Jawa di dalam koran lokal seba- Berbagai lembaga riset media meneliti, meng-
gai manifestasi dan aktualisasi dari nilai-nilai olah dan menjual hasil kajian yang menyangkut
lokal tersebut dapat difahami sebagai sebuah rating tersebut sebagai sebuah komoditas yang
proses komodifikasi yang sangat strategis. Pro- diperlukan media agar senantiasa berada dalam
ses olahan dalam ruang redaksi akan berjalan tampilan yang optimal di mata khalayaknya.
demikian dinamis dalam berbagai pertimbang- Dalam media penyiaran seperti TV proses ini
an antara struktur dan agensi. Representasi isi banyak ditempuh sehingga kepentingan rating
yang muncul tersebut pada akhirnya menjadi sebagai panglima bagi pengelola media. Na-
exposure yang telah mengalami proses komodi- mun dalam media cetak rating juga tetap diper-
fikasi. timbangkan sebagai hasil survey seperti SRI
Bila selama ini isi media yang dinilai la- atau media scene menjadi acuan penting dalam
yak jual lebih banyak berkisar pada isu-isu poli- penentuan ragam isi di masa yang akan datang.
tik maupun yang berbau sex, perang ataupun Komodifikasi ekstrinsik merupakan pro-
ke-\kerasan, maka jenis isu yang mengandung ses komodifikasi yang menjangkau seluruh ke-
nilai-nilai budaya setempat dapat dijadikan se- lembagaan pendidikan, informasi pemerintah,
bagai sebuah keragaman isi dalam konteks ko- media dan budaya yang diharapkan menjadi
moditas yang mudah menyentuh emosi kha- pendorong bagi khalayak sehingga tidak semua
layak atau ada unsur-unsur sentimen kedaerah- orang dapat mengakses produk media. Dengan
an, kedekatan geografis ataupun kebanggaan demikian komodifikasi cybernetic menjadikan
lokal yang bisa diolah dalam proses produksi media sebagai sebuah ajang adu prestasi yang
media hingga menghasilkan produk akhir yang dinilai publik. Media menjadi representasi per-
bernilai jual bagi medianya. sepsi publik dimana diversitas isi didasarkan
Komodifikasi khalayak memiliki makna atas adanya selera dan penilaian publik akan se-
bahwa media mampu menghasilkan sebuah natiasa menjadi parameter keberhasilannya me-
proses yang memungkinkan media menjajakan ngelola media.
sejumlah khalayak sebagai konsumen. Media Keberadaan media massa tidak pernah
hadir dalam kerangka hubungan dengan pihak steril dari berbagai kepentingan ideologi, ke-
lain yaitu pembacanya. Realitas isi yang hadir pentingan pemilik modal, penguasa, kepenting-
menjadi sebuah komodifikasi yang senantiasa an politik ataupun kepentingan lainnya yang
direlasikan dengan kepentingan institusi bisnis menjadikan masyarakat pada akhirnya sering
lainnya seperti pengiklan, biro iklan atau pihak- terjadi ketegangan terbuka yang berupa konflik

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 185


Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

ataupun ketegangan laten lainnya. Berbagai disajikan dalam kacamata pengelolanya. Media
konflik tersebut berada pada sekian ragam ideo- memilihkan sesuatu sajian yang dikonsumsi
logi yang bersaing di tengah-tengah masyara- khalayaknya. Keempat, media juga dipandang
kat. Media akhirnya berperan sebagai penyalur sebagai pembimbing maupun penerjemah ter-
(disseminator) dan “toko“ informasi. Antonio hadap berbagai hal sehingga tanpa sadar khala-
Gramci (1981) mengatakan media adalah the yak ditunjukan arah atas berbagai alternatif
battle ground for competition ideologies. (So- yang sangat beragam.
bur, 2001: 30). Kelima, media dipandang sebagai waha-
Kerja jurnalistik dari ketiga media (Solo na atau forum yang dapat digunakan untuk
Pos, Suara Merdeka, dan Kompas) dalam event mempresentasikan berbagai ide dan informasi
pilgub Jateng ternyata punya kecenderungan kepada khalayak yang kemudian memungkin-
yang hampir sama yaitu ada sikap simpati ter- kan terjadinya respon atau umpan balik yang
tentu yang nilainya relatif kecil dan sulit dide- sifatnya dua arah. Dalam berbagai peristiwa ka-
teksi secara kasat mata. Sementara itu Jawa Pos sus tertentu disebut polemik. Keenam, media
barangkali masih menunggu moment berikut- massa dapat dilihat sebagai interlocutor. Media
nya. Media massa dalam pandangan McQuail menunjukkan terjadinya komunikasi yang in-
(2000:66) punya peran strategis yaitu: pertama, teraktif, bukan sekedar medium untuk lalu la-
media massa dilihat sebagai window on event langnya informasi tetapi sebagai partner yang
and experience. Dengan media memungkinkan bisa lebih intent. Narasi yang lahir dalam termi-
khalayak bisa melihat apa yang sedang terjadi nologi lokal akan lebih mengesankan nilai yang
di luar dirinya. Media juga dapat dijadikan sara- mengena dan lebih interaktif terhadap idiom-
na belajar terhadap berbagai peristiwa tersebut. idiom lokal, baik dalam bahasa, lambang mau-
Peran strategis bagi media lokal tidak lepas dari pun kode-kode lokalnya.
mencuatnya isu-isu dan peristiwa-peristiwa lo- Media massa menjadi medium yang stra-
kal yang senantiasa dibumbui oleh kultur se- tegis dalam berbagai proses sosial, ekonomi
tempat. Potret lokalitas menjadi menu penting dan politik bangsa. Produk media dapat mem-
bagi media agar ia punya nilai lebih dan punya pengaruhi berbagai sikap dan perilaku masya-
”greget” yang beda dengan media global. rakat dan mampu menanamkan gambaran ter-
Kedua, media massa dapat dipandang se- tentu dalam benaknya oleh Walter Lippman
bagai a mirror of events in society and the (1921) disebut sebagai the pictures in our
world, implying a faithful reflection. Media se- heads. Realitas yang dibangun media senantia-
bagai cermin beragam kejadian atau peristiwa sa direspon khalayaknya sebagai sebuah pro-
yang terjadi dalam masyarakat dan seluruh pen- duk yang hendak dikonsumsinya layaknya pro-
juru dunia, yang direfleksikan secara apa ada- duk-produk lainnya, sehingga paparan media
nya. Refleksi terhadap berbagai fakta seringkali dipandang merepresentasikan realitas ob-
tidak dipertimbangkan ekses yang ditimbulkan yektifnya. Hal ini sejalan dengan pandangan
bilamana ia sekedar memaparkan fakta an sich. Teori Kultivasi George Gerbner (1972), spiral
Sehingga dalam narasi pemberitaan ataupun of silence Noelle Neumann (1974) maupun
gambar/visual kerapkali fakta dipaparkan apa Agenda Setting oleh Mc Comb and Donald
adanya yang kemudian berdampak negatif bagi Shaw (1969).
khalayak. Dalam konteks inilah media lokal da- Apabila pemberitaan cagub kali ini lebih
pat secara lugas memainkan proses pemotretan menggambarkan adanya atensi media terhadap
realitas lokalnya dalam bingkai lokal. Kelentur- berbagai realitas yang melekat pada cagub ma-
an dalam menangkap gejala-gejala lokal yang ka pada waktu-waktu yang akan datang sangat
sarat dengan nuansa kulturalnya akan menjadi- mungkin para tim sukses memilih media yang
kan media lokal lebih membumi bagi khalayak- tepat dalam beriklan atau advertorial. Model-
nya. model iklan di TV lokal hingga saat ini belum
Ketiga, media sebagai gatekeeper yang disentuh oleh aturan yang ketat. TV lokal akan
dituntut mampu melakukan seleksi terhadap memanfaatkan kondisi ini sampai titik tertentu
berbagai hal, hal-hal mana yang dianggap pen- aturan ditegakkan layaknya pemasangan span-
ting dan mana yang tidak, sehingga media mela- duk/baliho yang sekian lama dibiarkan jalan
kukan proses seleksi berbagai isi yang hendak sendiri-sendiri. Sukses Pilgub dan netralitas

186 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

media adalah indikator pendidikan demokrasi Gustama, T.R. (2004). Manifestasi Hegemoni
yang makin dewasa dan matang karena tarikan Media Internasional di Tingkat Lokal. The-
politik sesaat tidak melunturkan idealisme me- sis - Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi,
dia. Media Hidup karena konsumen bukan iklan Vol. III/No 1 Januari April.
partai Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politik
dalam Media Massa. Jakarta: Granit.
Penutup Hidayat, D.N. (1997). Paradigma dan Per-
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kembangan Penelitian Komunikasi. ISKI,
media cetak memiliki kecenderungan tersendiri September.
dalam pemberitaan tentang Pilgub Jateng 2008. -----. (2004). Media Massa dan Konstruksi
Kecenderungan ini selain dipengaruhi oleh ca- Realitas Politik. Thesis - Jurnal Penelitian
kupan geografis dan ideologinya, juga dipenga- Ilmu Komunikasi, Vol. III/ No.1 Januari-
ruhi oleh mekanisme yang berlangsung dalam April.
proses redaksi media yang bersangkutan. Net- -----. (2005). Membumikan Kriteria Kualitas
ralitas media dalam pemberitaan di ranah poli- Penelitian. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu
tik merupakan tuntutan yang harus dilakukan Komunikasi, Vol. IV/No 1, Januari April.
sebagai upaya menjalankan fungsi media seba- -----. (2005). Teori dan Penelitian, dalam Teori-
gai egen pendidikan politik bagi masyarakat. teori Kritis. Thesis - Jurnal Penelitian Ilmu
Kecenderungan pemberitaan dan wa- Komunikasi Vol. IV/No. 2 , Mei Agustus.
cana media dalam peristiwa pilgub Jateng 2008 Hidayat, D.N. et al. (2000). Pers dalam Revo-
kali ini menunjukkan adanya keterkaitan de- lusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni.
ngan hasil pilgub itu sendiri yaitu pasangan Bi- Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
bit Waluyo dan Rustriningsih yang pada akhir- Lippman, W. (1998). Pendapat Umum. Jakarta:
nya menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur me- Yayasan Obor Indonesia.
mang sejak awal lebih unggul dalam memba- Littlejohn, S.W. (2006). Theories of Human
ngun wacana di media tersebut. Dinamika Ko- Communication. Belmont: Wadsworth
ran daerah tetap menarik dalam kontek social Publishing.
Lukmantoro, T. (2002). RUU Penyiaran dan
politik yang sedang berlangsung.
Budaya Lokal. Suara Merdeka, 14 Septem-
ber.
Luwarso, L. (ed.). (2003). Mengatur Kebebas-
Daftar Pustaka
an Pers. Jakarta: Dewan Pers & Unesco.
Adam, A. (1995). Sejarah Awal Pers dan Ke- -----. (2005). Kompetensi Wartawan: Pedoman
bangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Ja- Peningkatan Profesionalisme Wartawan
karta: Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu. dan Kerja Pers. Jakarta: Dewan Pers &
Albaran, A.B. (1966). Media Economics, Un- FES.
derstanding Markets, Industries and Con- McQuail, D. & Siune, K. (1998). Media Policy
cepts. Ames: Iowa State University Press. Convergence, Concentration & Com-
Arawinda, J. (2005). Ekonomi Politik Media merce. London: Sage Publication.
Majalah Hiburan Pria. Thesis - Jurnal Pe- McQuail, D. (2005). McQuil's Mass Communi-
th
nelitian Ilmu Komunikasi, Vol. IV/No. 3, cation Theory 5 Ed. London: Sage Publi-
September Desember. cation.
Badriati, M. (2006). Dominasi Pemilik Modal Mosco, V. (1996). The Political Economy of
dan Resistensi Pekerja Media. Thesis - Jur- Communication, Rethingking and Renew-
nal Penelitian Ilmu Komunikasi. Vol. V/ al. London: Sage Publications, London.
No. 1 Januari April. Nasir, Z. (2005). Perubahan Struktur Media
Darmopamujo, S. (2002). Pers Berbahasa Ja- Massa Indonesia dari Orde Soeharto ke
wa Tinggal Kenangan. Suara Merdeka, 14 Orde Reformasi. Thesis - Jurnal Penelitian
Februari. Ilmu Komunikasi Vol. IV/No. 2 , Mei
Deliarnov. (2006). Ekonomi Politik. Jakarta: Agustus.
Penerbit Erlangga. Oetama, J. (2001). Pers Indonesia Berkomuni-
Emka, Z.A. (2005). Wartawan Juga Bisa Salah. kasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus. Ja-
Surabaya: StikosaAWS.

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 187


Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

karta: Kompas Media Nusantara. dung: Rosda Karya.


Pareno, S.A. (2003). Manajemen Berita, Anta- Siregar, A. & Pasaribu, R. (2000). Bagaimana
ra Idealisme dan Realita. Surabaya: Pener- Mengelola Media Korporasi Organisasi.
bit Popyrus. Yogyakarta: Adikarya IKAPS & The Ford
Rahayu (ed.). (2006). Menyingkap Profesional- Foundation.
isme Kinerja Surat Kabar di Indonesia. Ja- Smythe, D. (1977). Communication: Blindspot
karta: Pusat Kajian Media dan Budaya Po- of Western Marxism. Canadian Journal of
puler, Dewan Pers & Depkominfo. Political and Social Theory, Vol 1 No. 3.
Sarwono, B.A. (2004). Pemaknaan Karir Poli- Sudibyo, A. (2001). Politik Media dan Perta-
tik Presiden Perempuan dalam Masyara- rungan Wacana. Yogyakarta: LKIS.
kat Patriakhi. Jurnal Penelitian Ilmu Ko- Surjomihardjo, A. et al. (2002). Beberapa Segi
munikasi, Vol. III/No. 2 Mei-Agustus. Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia.
Sen, K. & Hill, D.T. (2001). Media, Budaya Jakarta: Kompas Media Nusantara.
dan Politik Indonesia. Jakarta: ISAI. Tester, K. (2003). Media, Budaya & Moralitas.
Shobur, A. (2001). Analisis Teks Media. Ban- Yogyakarta: Penerbit Juxtapose.

Tabel 1. Berita Pilgub yang Ditunjang dengan Foto

Bulan Surat Kabar


Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas
Januari 3 10 6 8
Februari 1 3 12 7
Maret 4 6 46 10
Total 8 19 64 25

Tabel 2. Berita Pilgub tanpa Foto

Bulan Surat Kabar


Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas
Januari 20 24 45 17
Februari 46 29 64 9
Maret 11 72 74 18
Total 77 125 183 44

Tabel 3. Kupasan Pilgub dalam Bentuk Artikel

Bulan Surat Kabar


Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas
Januari 9 2
Februari 1 1 8 4
Maret 7 9 2
Total 1 8 25 8

188 Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009


Muktiyo : Media Cetak Lokal dan Pilgub Jateng 2008

Tabel 4. Frekuensi Paparan Cagub dan Partainya

Pasangan Cagub Jawa Pos Solopos Suara Merdeka Kompas Total


Jan Feb Mar Jan Feb Mar Jan Feb Mar Jan Feb Mar
Agus S-Khaliq 1 - - 10 4 4 14 6 9 7 1 2 58
(PKB)
Bambang-Adnan 1 - - 2 3 5 1 4 5 1 - 3 25
(Golkar)
Bibit-Rustri 2 - 1 4 9 11 4 9 12 5 1 9 67
(PDIP)
Sukawi-Sudarto 1 - - 1 2 2 2 4 9 2 - 3 26
(PKS)
Tanzil-Rozak 3 - - 7 5 2 8 8 6 5 1 4 49
(PAN)
Ali Mufiz 1 - - 1 - - 3 10 5 4 6 - 30
(Gubernur)

Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009 189


Syarat-syarat Penulisan Artikel

1. Artikel merupakan hasil refleksi, penelitian, atau kajian analitis terhadap berbagai fenomena
komunikasi, khususnya komunikasi massa, yang belum pernah dipublikasikan di media lain.
2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan panjang tulisan antara 6.000-8.000
kata, diketik di halamanA4, spasi tunggal, margin atas dan kiri 4 cm, margin bawah dan kanan 3
cm, menggunakan font Times New Roman 11 point. Artikel dilengkapi dengan abstrak sepan-
jang 100-150 kata dan 3-5 kata kunci.
3. Artikel memuat: Judul, Nama Penulis, Instansi asal Penulis, Alamat Kontak Penulis (termasuk
telepon dan email), Abstrak, Kata-kata kunci, Pendahuluan (tanpa anak judul), Sub-sub Judul
(sesuai kebutuhan), Penutup atau Simpulan, Catatan-catatan dan Daftar Kepustakaan.
4. Kata atau istilah asing yang belum diubah menjadi kata/istilah Indonesia atau belum menjadi
istilah teknis, diketik dengan huruf miring.
5. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai endnotes.
6. Kutipan langsung 5 baris atau lebih diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipan
langsung kurang dari 5 baris dituliskan sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks
di antara dua tanda petik. Kutipan tidak langsung (parafrase) ditulis tanpa tanda petik.
7. Daftar Kepustakaan diurutkan secara alfabetis, dan hanya memuat literatur yang dirujuk dalam
artikel. Penulisan referensi menggunakan sistem American Pschycological Association (APA)
Contoh:
Fakih, M. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Holmer-Nadesan, M. (1986). “Organizational Identity and Space ofAction”, Organizational
Studies 17 (1), 1986, hal. 49-81.
8. Penulis diminta menyertakan biodata singkat.
9. Artikel dikirimkan kepada Tim Penyunting dalam bentuk file Microsoft Word (.doc atau .rtf)
disimpan dalam disket, CD, USB flash disk, ataupun sebagai attachment dalam e-mail.
10. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah diberitahukan kepada penulis melalui surat atau e-
mail. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan kepada penulis, kecuali atas perminta-
an penulis.
11. Penulis yang artikelnya dimuat akan menerima ucapan terima kasih berupa nomor bukti 3
eksemplar.
12. Artikel dikirimkan ke alamat di bawah ini:
JURNAL KOMUNIKASI MASSA
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta 57126.
Email: jkm-uns@yahoo.com

Vous aimerez peut-être aussi