Vous êtes sur la page 1sur 2

Konflik Etnis dan Wawasan Nusantara Oleh Tjipta Lesmana Jawa Pos, 07/07/01 Tragedi penyerbuan dan pembakaran

gedung olahraga (GOR) di Pontianak, tempat penampungan pengungsi etnis Madura, sungguh mengenaskan. Peristiwa itu sekaligus menunjukkan bahwa (1) konflik etnis Dayak versus Madura di Kalimantan -khususnya Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah- masih terus berkobar dan (2) upaya pemerintah menyelesaikan kasus tersebut belum membuahkan hasil. Atau bisa dikatakan pemerintah tidak berdaya mendamaikan kembali kedua etnis itu? Sejak awal saya termasuk orang yang menolak "konsep relokasi" atau resettlement sebagai jalan penyelesaian konflik etnis di Kalimantan. Dalam konflik di Sambas yang kemudian menjalar ke Palangkaraya beberapa waktu lalu, yang menewaskan sekian banyak korban, langkah pertama yang diambil pemerintah adalah mengungsikan orang-orang Madura keluar dari lokasi konflik. Sebagian besar dari mereka malah langsung diangkut dengan kapal-kapal perang milik TNI-AL menuju Jawa Timur. Setelah itu, mereka ditawari tempat tinggal baru, dengan asumsi bahwa keberadaan mereka di tempat semula ditolak "warga asli". Mestinya, aparat berupaya keras melindungi keamanan etnis yang menjadi korban itu. Law and order harus ditegakkan dengan harga berapa pun. Bukankah tugas utama pemerintah memang melindungi nyawa dan harta benda rakyat dari berbagai ancaman luar? Jika tugas ini gagal dilaksanakan, pemerintah sesungguhnya sudah kehilangan legitimasi untuk mempertahankan eksistensinya. Konsep resettlement jelas bertentangan dengan Wawasan Nusantara, suatu konsep yang menuntut setiap warga negara untuk selalu melihat keberadaannya dalam kerangka makro, yaitu persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah, wilayah Indonesia. Wawasan Nusantara membolehkan orang Sunda tinggal dan hidup di Irian Jaya, atau orang Jawa mencari hidup di Kalimantan, atau orang Bali pindah ke Lampung, dan seterusnya. Dengan perkataan lain, tidak ada satu etnis pun di Indonesia ini yang berhak menolak keberadaan etnis lain di daerahnya. Wawasan Nusantara juga berarti Danau Toba bukan hanya milik etnis Tapanuli, atau Tangkuban Perahu hanya milik orang Sunda, dan Danau Bedugul eksklusif milik orang Bali. Danau Toba, Tangkuban Perahu, Dieng, Danau Bedugul, semua milik rakyat Indonesia. Agum Gumelar, Menko Polsoskam, mestinya lebih paham daripada kita semua mengenai Wawasan Nusantara. Sebab, dia mantan gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), institusi bergengsi yang menyusun konsep ini dan kemudian mengajarkannya kepada setiap peserta kursus Lemhanas. Maka, saya agak tercengang tatkala mendengar Agum menyalahkan orang Madura yang tidak bersedia menerima konsep resettlement dan hal itu dijadikan sebagai pembenaran atas terjadinya konflik etnis di Pontianak beberapa hari lalu. Pada saat Agum Gumelar mengeluarkan pernyataan yang "miring" itu, Gubernur Lemhanas Prof Ermaya juga diberondong pertanyaan-pertanyaan oleh para anggota Komisi I DPR RI. Mereka bertanya apa saja pemikiran Lemhanas yang pernah disampaikan kepada presiden, dan mengapa Lemhanas tidak pernah berkomentar tentang "keinginan" sejumlah provinsi untuk merdeka sebagaimana yang berulang-ulang dikatakan Presiden Abdurrahman Wahid. Sebagai institusi yang mendidik calon-calon pemimpin bangsa, Lemhanas secara langsung atau tidak langsung kiranya ikut bertanggung jawab terhadap ancaman disintegrasi bangsa. Setidak-tidaknya, mereka harus memikirkan juga solusi berbagai masalah yang dihadapi bangsa. Apa yang kita saksikan di Sambas dan Palangkaraya belum lama berselang menjadi preseden buruk bagi kehidupan berbangsa di negara kita, yaitu memberikan justifikasi untuk tindakan ethnic cleansing, suatu perbuatan yang bisa dikategorikan humanitarian crime (kejahatan kemanusiaan) oleh PBB. Di Kosovo, sebelum Yugoslavia hancur berkeping-keping, orang-orang Serbia diusir oleh etnis Albania yang mayoritas. Namun, setelah beberapa republik (diawali dari Kroasia dan Slovenia) memisahkan diri dari Yugoslavia, Serbia berusaha mengeraskan cengkeramannya kepada Kosovo. Etnis Albania bahkan diusir secara kejam oleh tentara Serbia. Perang di Kosovo baru berakhir setelah PBB menerjunkan pasukannya di sana dan menghalau tentara Serbia. Kini Mahkamah Internasional berusaha menjerat para penjahat perang Serbia -termasuk mantan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic- karena kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Jika resettlement dibakukan sebagai way-out penyelesaian konflik etnis di daerah, lonceng kematian negara-bangsa yang bernama Republik Indonesia memang hanya persoalan waktu. Sebab, tidak mustahil suatu saat Jawa Timur akan memproklamasikan dirinya 1

sebagai provinsi "bebas orang Dayak" atau Irian Jaya "bersih dari orang Jawa", dan Aceh hanya untuk orang Aceh. Hancur pula moto Bhinneka Tunggal Ika yang terpatri di setiap lambang negara Garuda: apalagi konsep Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nusantara. Untuk tegaknya UUD 1945, kita desak pemerintah supaya secepatnya mengembalikan setiap orang Madura yang hendak kembali ke tempat permukimannya di Kalimantan. Kepada setiap pemimpin etnis Dayak hendaknya ditanamkan kesadaran bahwa Kalimantan bukanlah eksklusif milik mereka, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. Tentu, etnis pendatang wajib menghormati dan menaati adatistiadat dan kebiasaan setempat. Siapa pun yang melakukan tindakan perusakan, apalagi kejahatan, harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, pemerintah pun harus berani mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang -siapa pun dia- yang menolak kehadiran etnis luar. Bagaimanapun, law and order harus ditegakkan. Jika fungsi pokok pemerintah yang satu ini tidak bisa dijalankan dengan baik, pemerintah harus turun atau diturunkan oleh institusi yang mengangkatnya, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. * Penulis adalah dosen Pascasarjana Universitas Indonesia dan pengamat politik

Vous aimerez peut-être aussi