Vous êtes sur la page 1sur 99

BUKU AJAR

REKAYASA PONDASI







DIGUNAKAN UNTUK
MAHASISWA JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI MALANG









Moch. Sholeh
132 309 008






DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKNIK NEGERI MALANG
JURUSAN TEKNlK SIPIL
2008
DAFTAR ISI


BAB VI TEKANAN TANAH LATERAL (KE SAMPING) .......................................... 1
6.1 Tekanan Tanah dalam Keadaan Diam (At Rest) ......................................... 1
6.2 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif Menurut Rankine ...................................... 4
6.2.1 Kondisi Aktif Menurut Rankine ....................................................... 4
6.2.2 Kondisi Pasif Menunit Rankine ........................................................ 7
6.3 Distribusi Tekanan Tanah Lateral yang Bekerja pada Dinding Penahan .... 8
6.3.1 Urugan di Belakang Dinding (Backfill) Tanah tidak Berkohesi
dengan Permukaan Datar ................................................................... 8
6.3.2 Urugan di Belakang Dinding (Backfill) Tanah tidak Berkohesi
Terendam Air Sebagian dan Diberi Beban Surcharge ...................... 10
6.3.3 Urugan di Belakang Dinding (Backfill) Tanah Berkohesi dengan
Permukaan Datar ............................................................................... 13
6.4 Tekanan Tanah Aktif dan Pasif Menurut Coulomb ................................... 16
6.4.1 Kondisi Aktif Menurut Coulomb ...................................................... 16
6.4.2 Kondisi Pasif Menurut Coulomb ...................................................... 18
6.5 Analisis Pendekataan dari Gaya Aktif yang Bekerja pada Dinding Penahan 21
BAB VII HIDROLIKA AIR TANAH ............................................................................. 23
7.1 Air Tanah .................................................................................................... 23
7.2 Permeabilitas dan Rembesan ...................................................................... 24
7.2.1 Pendahuluan ...................................................................................... 24
7.2.2 Gradien Hidrolik ............................................................................... 24
7.2.3 Hukum Darcy ..................................................................................... 26
7.2.4 Kecepatan Debit dan Kecepatan Rembesan ...................................... 27
7.2.5 Menentukan Koefisien Permeabilitas ............................................... 28
7.2.6 Rembesan Melalui Beberapa Lapisan Tanah .................................... 32
7.3 Gaya Rembesan (Seepage) ......................................................................... 34
7.3.1 Pendahuluan ...................................................................................... 34
7.3.2 Pengaruh Tekanan Rembesan ........................................................... 36
7.3.3 Proses Terjadinya Piping ................................................................... 37
7.3.4 Tekanan Air Dengan Adanya Rembesan .......................................... 40
7.3.5 Tekanan Tanah dan Air ...................................................................... 42
7.4 Perhitungan Debit Rembesan ..................................................................... 43
7.4.1 Jaring-jaring Aliran (Flownet) .......................................................... 43
7.4.2 Perhitungan Debit Rembesan Menggunakan Jaring-jaring Aliran ... 4S
BAB VIII ANALISA STABILITAS LERENG ........................ .......................................... 50
8.1 Pendahuluan ................................................................................................ 50
8.2 Angka Keamanan ........................................................................................ 50
8.3 Cara Menstabilkan Lereng .......................................................................... 51
BAB X KONSOLIDASI ..................... ........................................................................... 56
Daftar Pustaka

3
BAB I
PENDAHULUAN




Tujuan umum :
Mahasiswa diharapkan mengetahui secara umum tentang investigasi lapangan, definisi jenis dan pemilihan
tipe pondasi
Tujuan Khusus :
Mahasiswa diharapkan dapat memahami fungsi investigasi lapangan, fungsi pondasi, mengerti jenis pondasi
dan dapat memilih tipe pondasi sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

1.1. PENDAHULUAN
Penyelidikan tanah diperlukan untuk menentukan stratifikasi (pelapisan) tanah dan karakteristik teknis
tanah, sehingga perancangan dan konstruksi pondasi dapat dilaksanakan dengan ekonomis. Biasanya informasi
dari hasil penyelidikan tanah tidak hanya digunakan untuk perancangan pondasi saja, melainkan untuk evaluasi
dan rekomendasi pekerjaan yang lain, seperti kestabilan galian dan cara dewatering. Dengan demikian pihak
kontraktor juga dapat menyiapkan peralatan yang sesuai dengan kondisi tanah dan dapat memperkirakan biaya
secara lebih terinci. Informasi mengenai pondasi dari bangunan sekitar lokasi proyek, jalan, bangunan eksisting
disekitarnya, fasilitas tertanam (underground facilities), dan lain-lain perlu diperoleh sebelum proses perancangan.
Karakteristik tanah pada suatu lokasi umumnya amat variabel dan dapat berbeda drastis dalam jarak
beberapa meter. Oleh sebab itu penyelidikan tanah harus dapat mencakup informasi kondisi tanah sedekat
mungkin dengan kenyataan untuk mengurangi resiko akibat variasi tersebut, dan jumlahnya cukup untuk dapat
merancang pondasi yang mendekati kenyataan. Perencanaan pengujian tanah menjadi bagian dari explorasi
tanah dan perancangan pondasi.

1.2.. TUJUAN PENYELIDIKAN TANAH
1. Untuk mendapatkan informasi mengenai pelapisan tanah dan batuan
Dari stratifikasi tanah yang diperoleh, dapat diketahui kedalaman lapisan tanah keras yang dapat dijadikan
lapisan pendukung untuk pondasi, ketebalan tanah yang kompresibel dan variasi kondisi tanah.
2. Untuk mendapatkan informasi mengenai kedalaman muka air tanah.
Pada bangunan yang mempunyai lantai besmen diperlukan informasi mengenai tinggi muka air tanah, agar
dapat ditentukan besarnya tekanan pada besmen baik tekanan pada dinding besmen maupun besarnya
gaya angkat (uplift). Selain itu juga perlu di pertimbangkan metoda konstruksi dan sistem dewatering.
3. Untuk mendapatkan informasi sifat-sifat fisis dan sifat-sifat mekanis tanah/batuan
Sifat-sifat fisis tanah adalah karakteristik dari suatu material yang diperoleh secara alami. Sifat-sifat mekanis
tanah adalah respon material terhadap pembebanan. Sifat-sifat fisis digunakan untuk klasifikasi tanah
sedangkan sifat-sifat mekanis digunakan untuk memperkirakan kemampuan tanah mendukung beban yang
direncanakan dan deformasi pada tanah.
4. Menentukan parameter tanah untuk analisis
Dari informasi diatas, dapat diturunkan parameter tanah untuk analisis pondasi atau untuk simulasi proses
konstruksi. Dalam hal tertentu, perancangan pondasi dapat dilakukan dengan menggunakan korelasi
langsung berdasarkan hasil uji lapangan, khususnya SPT dan CPT.


4
1.3. TAHAP PENYELIDIKAN TANAH DAN STUDI PONDASI
Umumnya penyelidikan tanah dapat dikategorikan atas "confirmatory" atau "exploratory". Dimana
kondisi tanah telah diketahui oleh pelaksana, maka kategori confirmatory lebih menonjol dan sebaliknya pada
daerah yang sama sekali baru maka bersifat exploratory. Dalam hal yang kedua maka untuk penghematan sering
dilakukan penyelidikan pendahuluan dan kemudian baru dilakukan penyelidikan terinci. Informasi lain yang
penting dalam perancangan pondasi adalah elevasi dari muka air tanah. Umumnya data ini diperoleh bersamaan
dengan pelaksanaan penyelidikan tanah.
Tahapan penyelidikan tanah dan studi pondasi dapat mengikuti prosedur berikut ini:
1. Evaluasi dan Studi Kondisi Lapangan
Sebelum diadakan suatu penyelidikan tanah diperlukan informasi mengenai keadaan di lapangan.
Pengamatan mengenal topografi, vegetasi, bangunan yang telah ada, jalan akses, dan lain-lain. Peninjauan
seperti ini perlu dilakukan oleh seorang ahli geoteknik.
Informasi lain yang dapat dikumpulkan adalah kondisi geologi, kegempaan regional, peraturan setempat, dan
besarnya beban dari struktur. Informasi ini akan membantu ahli geoteknik dalam memutuskan tahap
penyelidikan selanjutnya.
2. Penyelidikan Tanah Awal
Pada tahap ini dilakukan pemboran dan uji lapangan dalam jumlah yang terbatas. Gunanya adalah untuk
merencanakan penyelidikan tanah selanjutnya. Tetapi pada proyek dengan skala kecil, tahap ini ditiadakan.
Penyelidikan tanah awal juga sering digunakan untuk studi kelayakan.
Penyelidikan Tanah Terinci
Pada tahap ini, informasi mengenai keadaan tanah yang dibutuhkan untuk perancangan dan konstruksi
pondasi dalam dikumpulkan. Informasi ini harus mencukupi perencana dan kontraktor untuk menentukan
jenis, kedalaman, daya dukung pondasi dan untuk mengantisipasi penurunan yang akan terjadi dan masalah
yang mungkin timbul selama konstruksi dan lain-lain.
Untuk itu pada tahap ini diperlukan sejumlah pemboran yang dilengkapi dengan SPT, pengambilan sampel,
sondir, pengamatan muka air tanah dan penyelidikan lapangan yang lain. Faktor yang menentukan disini
adalah skala proyek, kepentingan penyelidikan tanah untuk perancangan dan konstruksi bangunan,
ketersediaan dana, ketersediaan waktu dan ketersediaan informasi dari sumber sumber yang lain. Pada
beberapa proyek besar, beberapa kontraktor melakukan penyelidikan tanah tambahan untuk memastikan
bahwa konstruksi dapat dilaksanakan sesuai spesifikasi yang tertulis dalam dokumen perencanaan. Analisis
pondasi sebaiknya diikuti dengan pengujian pondasi di lapangan.

1.4. JUMLAH DAN KEDALAMAN BOR
Jumlah dan kedalaman pemboran amat bergantung kepada kondisi di lapangan. Pada kategori
confirmatory, maka kedalaman pengujian pada umumnya, dapat ditetapkan secara lebih pasti, tetapi pada
kategori exploratory maka kedalaman pemboran ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam
penyelidikan tanah.
Perencanaan penyelidikan tanah meliputi penentuan jumlah banyaknya titik bor, kedalaman
pemboran, jumlah sampel yang hendak diambil dan diuji di laboratorium, jumlah test pit, pengamatan muka air
tanah dan lain lain. Biasanya, jika kondisi tanah setempat diketahui dari laporan geologi atau pengujian
terdahulu, jumlah pekerjaan penyelidikan tanah dapat mengalami perubahan selama pelaksanaan dilapangan.
1. Jarak dan Jumlah Titik Bor
Bila kondisi tanah cukup homogen, maka jumlah titik bor dapat dikurangi. Tetapi bila pelapisan tanah amat
acak, maka sejumlah titik bor dibutuhkan untuk dapat menggambarkan potongan melintang melalui titik-titik
bor tersebut. Jumlah dan jarak pemboran tergantung dari jenis struktur dan beberapa faktor lain.
5
Jarak antara titik bor untuk pekerjaan pondasi tiang pada abutment jembatan umumnya dikonsentrasikan
pada lokasi abutment. Untuk bangunan gedung bertingkat, pada umumnya sebuah titik bor mewakili hingga
radius 20.0 - 30.0 m. Tiga buah titik bor untuk sebuah tower disepakati sebagai jumlah minimum di DKI
Jakarta. Untuk pekerjaan jalan, jarak pemboran berkisar 50 m - 200 m. Sowers (1979) memberikan anjuran
untuk penentuan jarak antara titik bor (Tabel 1.1) yang dapat dipakai sebagai acuan.

Tabel 1.1. Pedoman Penentuan Jarak Titik Bor
Jenis Struktur Jarak Titik Bor (m)
Gedung Tinggi 15 - 45
Bangunan Industri 30 - 90

2. Kedalaman Pemboran
Pemboran harus dilakukan hingga kedalaman dimana lapisan tanah keras (umumnya diasumsikan nilai
NSPT > 50) dicapai beberapa meter (sekurangnya 3 kali pembacaan nilai NSPT)
Bila dibawah lapisan keras masih terdapat tanah kompresibel, maka pemboran diteruskan kecuali jika
lapisan tersebut tidak akan mengakibatkan penurunan yang berlebihan.
Bila terdapat rencana penggalian, maka kedalaman pemboran di lokasi tersebut sekurangnya 1.5 - 2.0 kali
kedalaman galian. Batas atas dilakukan bila kondisi tanah lembek. Hal ini adalah untuk memungkinkan
analisis kestabilan lereng galian dan mengevaluasi kemungkinan penyembulan (heaving). Bila didapati
lapisan aquifer, maka pemboran mungkin dapat lebih dalam lagi. Bila kaki pondasi tiang diharapkan masuk
kedalam batuan, maka pemboran dilakukan sekurangnya 3.0 m kedalam lapis batuan tersebut.
Untuk struktur yang berat seperti bangunan tinggi, satu titik bor perlu dilakukan hingga mencapai batuan
dasar bila kondisi memungkinkan. Tabel 1.2. adalah kedalaman minimum pemboran yang perlu dilakukan
menurut Sowers (1979)

Tabel 1. 2. Kedalaman Minimum Pemboran
Jenis Struktur Kedalaman Titik Bor (m)
Sempit dan Ringan 3.S
0.7
Luas dan Berat 6.S
0.7

dimana S adalah banyaknya lantai pada gedung tinggi.

1.5. TEKNIK PEMBORAN
Teknik pemboran dalam umumnya dipakai untuk penyelidikan tanah bagi kepentingan perancangan
pondasi dalam. Dengan pemboran, contoh tanah dan batuan dapat diambil dan diuji di laboratorium untuk
klasifikasi dan pengujian sifat fisis maupun sifat mekanisnya.

1. Bor Tangan
Bor tangan digunakan untuk pengambilan sampel pada kedalaman
maksimum 6.0 m. Alat yang digunakan berupa suatu auger yang
diputar secara manual. Pada umumnya bor tangan digunakan untuk
kedalaman 5.0 - 6.0 m saja dan hanya untuk mendeteksi tanah dekat
permukaan. Bila pemboran dilakukan dengan dibantu oleh mesin kecil
maka kedalaman dapat mencapai 10.0 m.



Gambar 1.1. Bor Tangan












6
2. Bor Mesin
Bor Basah (Wash Boring)
Pemboran basah dilakukan dengan cara kombinasi pemotongan dan jetting air kedalam tanah. Hasil
pemotongan tanah diangkat ke atas dengan aliran air bertekanan melalui casing. Cara ini tidak dapat
digunakan untuk mengambil sampel dan fungsi utamanya adalah hanya untuk pemboran. Untuk
pengambilan sampel, alat pemotong (chopping bit) dinaikkan ke atas dan diganti dengan tabung contoh
tanah. Jenis tanah diidentifikasi secara visual dari material yang terbawa oleh air pencuci.
Pemboran basah dapat dilakukan dengan atau tanpa casing. Casing digunakan bila dijumpai tanah pasiran
karena umumnya runtuh ke dalam lubang bor tanpa adanya casing.
Pemboran Perkusi (Percussion Drilling)
Pemboran dapat dilakukan dengan cara memukul-mukul alat bor kedalam lubang dengan diameter 600 mm.
Tanah yang terpotong bercampur dengan air menjadi bubur (slurry). Bubur ini secara berangsur angsur
dikeluarkan dengan bailer atau pompa lumpur. Jenis tanah diidentifikasi dari lumpur yang diangkat keluar.
Kejelekan dari cara ini adalah karena tanah mengalami gangguan yang besar sehingga sampel yang diambil
memiliki kualitas rendah.
Bor Kering (Rotary Drilling/Dry Coring)
Metoda pemboran dengan cara kering (rotary drilling atau dry coring) dilakukan tanpa air, dengan
menggunakan rotasi pada mata bor (drill-bit) bersamaan dengan penekanan untuk membuat lubang bor.
Pelaksanaan pemboran dengan cara ini memerlukan waktu yang lebih lama daripada menggunakan metode
bor basah. Bor kering memiliki keuntungan karena dengan metoda ini contoh tanah dapat disimpan pada
core-box dan diidentifikasi secara visual. Disamping itu cara ini umumnya dapat digunakan pada jenis tanah
apapun dan dapat untuk membor batuan.




























(a)
Gambar 1.2 Bor Mesin :
(a) Bor Basah [Wash Boring]
(b) Pemboran Perkusi (Percussion Drilling)
(c) Bor Kering (Rotary Drilling/Dry Coring)

(b)
(c)
7
1.6. PENGAMBILAN CONTOH TANAH
Pengambilan contoh tanah dapat berupa contoh tanah terganggu (disturbed samples) atau contoh
tanah asli (undisturbed samples). Contoh tanah terganggu dapat dilakukan dengan auger atau dari tabung SPT .
Contoh tanah yang diperoleh sekurang kurangnya 0.5 kg, merupakan jumlah minimum untuk pengujian di
laboratorium.
Contoh tanah asli diasumsikan sebagai contoh tanah yang diperoleh dari kondisi aslinya di lapangan,
dengan tidak mengalami perubahan struktur, kepadatan, porositas dan kadar airnya. Namun demikian pada saat
contoh tanah dikeluarkan dari tabung, sesungguhnya contoh tanah itu tidak lagi asli karena sudah kehilangan
tegangan kelilingnya. Disamping itu penekanan dinding tabung ke dalam tanah juga menyebabkan gangguan
mekanis.
Agar sampel yang diambil dari lapangan sesedikit mungkin mengalami gangguan, maka ketebalan
dinding tabung harus memenuhi syarat. Untuk menjamin desakan sekecil mungkin pada tanah, maka ketebalan
dinding tabung harus mempunyai rasio luas (area ratio) A, kurang dari 10%, dimana A, didefinisikan sebagai


dimana:
Do = diameter luar tabung
Di = diameter dalam tabung.
Tabung contoh tanah (open tube sampel) tipikal/standar diperlihatkan dalam Gambar 1.3.(a). Tabung
ini mempunyai diameter 100 mm dan panjangnya 450 mm. Jenis tabung ini mampu mengambil tanah lempung
dengan kuat geser kurang dari 0.5 kg/cm
2
. Contoh tanah yang telah terambil dijaga kadar airnya dengan
menutup tabung dengan parafin atau lilin.
Bila tanah amat lembek, maka tabung ini tidak akan membantu banyak karena gangguan sampel amat
besar. Untuk jenis tanah ini harus digunakan piston sampel. Ukuran diameter piston sampel dari 54-250 mm.
1.3.(b) memberikan ilustrasi fixed piston sampler.




















Gambar 1.3 (a) Tabung Contoh Tanah (U100) (b) Fixed Piston Sampel
100%
D
D D
A
2
i
2
i
2
o
r

=






(a)
(b)
8
1.7. PENGUJIAN LABORATORIUM
Contoh tanah yang diperoleh dari pemboran diuji di laboratorium untuk klasifikasi dan pengujian sifat
fisis dan mekanisnya. Tujuan pengujian laboratorium adalah untuk mendapatkan parameter yang dibutuhkan
untuk analisis.
1. Klasifikasi, Berat Isi dan Pengujian Indeks Properties Tanah
Pengujian rutin untuk tanah adalah uji klasifikasi, berat isi, dan pengujian indeks properties tanah. Yang
termasuk dalam jenis pengujian ini adalah :
- Kadar Air ( w ).
- Berat Isi Tanah ().
- Berat Jenis Tanah (Gs).
- Batas Batas Atterberg (wP , wL).
- Uji Gradasi dan Hidrometer.
Pengujian batas batas atterberg dan indeks properties perlapisan tanah dapat digunakan untuk menentukan
parameter hasil korelasi yang mungkin dibutuhkan dalam desain.

2. Uji Kuat Geser
Kuat geser tanah mempunyai pengaruh yang besar dalam perancangan pondasi sehingga salah satu tujuan
penyelidikan tanah yang penting adalah untuk menentukan parameter tersebut. Beberapa uji laboratorium yang
umum digunakan adalah uji geser langsung (Direct Shear), uji Triaxial, dan uji kuat tekan tidak terkekang
(Unconfined Compression Test).
Ukuran contoh tanah dalam uji geser langsung umumnya berdiameter 60 mm, dan penggeseran dilakukan
hingga 6 mm. Contoh tanah diberi tegangan normal kemudian digeser untuk menentukan hubungan antara
tegangan normal tersebut dengan tegangan geser saat runtuh. Pengujian dilakukan tiga kali dengan tegangan
normal yang berbeda dan hasilnya di plotkan (Gambar 1.4.) untuk mendapatkan nilai kohesi (c) dan sudut geser
dalam |.



























Gambar 1.4 (a) Alat UJi Geser Langsung (Direct Shear) (b) Hasil Uji Geser Langsung





(a)
(b)
9
3. Uji Kuat Tekan Tak Terkekang (Unconfined Compression Test)
Merupakan cara uji yang sederhana untuk tanah kohesif. Contoh tanah silinder ditekan dengan kecepatan
konstan hingga runtuh. Cara ini umumnya memberikan harga kohesi yang lebih rendah karena peniadaan
tegangan keliling (Gambar 1.5). Dari hasil uji ini diperoleh kuat tekan tak terkekang (qu), kohesi (cu) dan modulus
tanah. Umumnya dalam uji ini juga dilakukan uji tekan pada tanah yang teremas sehingga kuat geser tanah
teremas (remolded). Rasio dari kuat geser tanah dalam kondisi asli dan kuat geser tanah dalam kondisi teremas
disebut sensitivitas (St)
St =
r u
u
q
q
,





















Gambar 1.5. Alat Uji dan Hasil Unconfined Compression Test


4. Uji Triaxial
Pada uji triaxial, contoh tanah diberi tegangan keliling sebelum digeser. Cara ini adalah cara yang paling ideal
untuk menentukan kuat geser tanah. Contoh tanah diuji dengan tiga buah tegangan keliling untuk dapat
ditentukan perilakunya.
Konfigurasi alat uji diberikan pada Gambar. 1.6., dan uji yang lazim digunakan adalah :
- Uji UU (Unconsolidated Undrained) :
Tegangan sel diberikan dalam kondisi air dalam contoh tanah tidak teralir. Demikian pula saat penggeseran,
air tidak diberi kesempatan mengalir sehingga pembebanan dalam kondisi undrained. Hasil uji tipikal
ditunjukkan pada Gambar. 1.6.b.
- Uji CU (Consolidated Undrained) :
Konsolidasi tanah dilakukan dengan memberikan tegangan sel, kemudian saat penggeseran, aliran air
ditutup (undrained).
- Uji CD (Consolidated Drained) :
Pada uji CD tanah diberi kesempatan berkonsolidasi dibawah tegangan sel dan pengujian diberikan amat
lambat dalam keadaan air dari contoh tanah teralir sehingga terjadi perubahan volume pada contoh tanah
tetapi tekanan air pori nol.

Perancang harus dapat memutuskan jenis uji sesuai kebutuhan untuk analisis.









10





































Gambar. 1.6. Uji Triaxial UU. CU dan CD (a). Konfigurasi Alat (b). Hasil uji UU dan CU

















11
5. Uji Konsolidasi
Uji konsolidasi terutama dilakukan untuk menentukan sifat kemampatan tanah dan karakteristik konsolidasi yang
dipengaruhi oleh sifat permeabilitas.







































Gambar 1. 7. Uji Konsolidasi (Oedometer) (a) Alat uji (b) Hasil Uji dan Interpretasi


12
1.8. UJI LAPANGAN (IN-SITU TEST)
Uji lapangan menjadi populer karena dapat memberikan informasi profil tanah secara kontinu dan
dewasa ini telah dikembangkan untuk perancangan pondasi tiang secara langsung dengan korelasi empirik.
1. Uji Sondir (Cone Penetration Test = CPT)
Uji sondir saat ini merupakan salah satu uji lapangan yang telah diterima oleh para praktisi dan pakar geoteknik.
Uji sondir ini telah menunjukkan manfaat untuk pendugaan profil atau pelapisan (stratifikasi) tanah, karena jenis
perilaku tanah telah dapat diidentifikasi dari kombinasi hasil pembacaan tahanan ujung dan gesekan selimutnya.
Sondir standar memiliki luas penampang ujung konus sebesar 10 cm
2
dan sudut puncak 60. Luas selimut 150
cm
2
. Kecepatan penetrasi 2 cm/det. Standar alat yang pada saat ini secara luas diterima tercantum dalam ASTM
D3411-75T.

Pada sondir mekanis, penetrasi ujung konus dilakukan mendahului selimutnya, gaya pada konus diukur,
kemudian baru penetrasi ujung dan selimut dilakukan bersama-sama sehingga tercatat perlawanan total. Selisih
antara pengukuran perlawanan kedua dan pertama adalah gaya yang bekerja pada selimut sondir, sehingga
gesekan selimut, fs, dapat ditentukan.

Penggunaan Uji sondir yang makin luas terutama disebabkan oleh beberapa faktor:
Cukup ekonomis dan dapat dilakukan berulang kali dengan hasil yang konsisten.
1. Korelasi empirik yang telah berkembang semakin andal.
Perkembangan yang semakin meningkat khususnya dengan ada penambahan sensor pada sondir listrik seperti
batu pori dan stress cell untuk mengukur respon tekanan lateral tanah.
2. Kebutuhan untuk pengujian di lapangan (insitu test) dimana sampel tanah tidak dapat diambil (tanah lembek
dan pasir).
3. Dapat digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dengan baik.





























Gambar 1. 8. Bentuk Ujung Konus Sondir Listrik dan Sondir Mekanis


13
Pengujian awal dengan sondir dapat merupakan arahan untuk pemilihan jenis uji tanah berikutnya dan dapat
membantu menentukan posisi (kedalaman) untuk uji lapangan yang lain (misalnya pressuremeter dan uji geser
baling (vane shear test) maupun lokasi pengambilan contoh tanah untuk uji laboratorium. Untuk uji lapangan,
sebaiknya uji sondir dilaksanakan lebih dahulu.



























Gambar 1. 9. Pelaporan Hasil Uji Sondir

Interpretasi Hasil Uji
Penggunaan hasil uji sondir untuk klasifikasi tanah juga berdasarkan data secara empiris, demikian pula untuk
kepentingan interpretasi parameter tanah yang lain seperti kuat geser dan kompresibilitas tanah. Oleh sebab itu
pembaca diminta memperhatikan keterbatasan pemakaian korelasi yang ada. Dalam praktek dianjurkan agar uji
sondir didampingi dengan uji lain baik uji lapangan maupun uji laboratorium.

2. Standard Penetration Test (SPT)
Standard Penetration Test (SPT) telah memperoleh popularitas dimana-mana sejak tahun 1927 dan telah
diterima sebagai uji tanah yang rutin di lapangan. SPT dapat dilakukan dengan cara yang relatif mudah sehingga
tidak membutuhkan ketrampilan khusus dari pemakainya. Metoda pengujian tanah dengan SPT termasuk cara
yang cukup ekonomis untuk memperoleh informasi mengenai kondisi di bawah permukaan tanah dan
diperkirakan 85% dari desain pondasi untuk gedung bertingkat menggunakan cara ini. Karena banyaknya data
SPT korelasi empiris telah banyak memperoleh kemajuan.

Alat uji ini terdiri dari beberapa komponen yang sederhana, mudah ditransportasikan, dipasang, dan mudah
pemeliharaannya. Pandangan para ahli masih sama yaitu bahwa alat ini akan terus dipakai untuk penyelidikan
tanah rutin karena relatif masih ekonomis dan dapat diandalkan.


14
Alat dan Prosedur Uji
Alat uji berupa sebuah tabung yang dapat dibelah (split tube, split spoon) yang mempunyai driving shoe agar
tidak mudah rusak pada saat penetrasi. Pada bagian atas dilengkapi dengan coupling supaya dapat disambung
dengan batang bor (drill rod) ke permukaan tanah. Sebuah sisipan pengambil contoh (sampel insert) dapat
dipasang pada bagian bawah bila tanah yang harus diambil contohnya berupa pasir lepas atau lumpur. Gambar
1.10. menunjukkan split spoon sampel dan sampel insert.

Prosedur Uji mengikuti urutan sebagai berikut :
1. Mempersiapkan lubang bor hingga kedalaman uji.
2. Memasukkan alat split barrel sampel secara tegak.
3. Menumbuk dengan hammer dan mencatat jumlah tumbukan setiap 15 cm. Hammer dijatuhkan bebas pada
ketinggian 760 mm.
4. Nilai tumbukan dicatat 3 kali (N0, N1, N2) dimana harga N = N1 + N2. Split spoon sampler diangkat ke atas
dan kemudian dibuka. Sampel yang diperoleh dengan cara ini umumnya sangat terganggu.
5. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik untuk diuji di laboratorium. Pada plastik tersebut harus
diberikan catatan nama proyek, kedalaman, dan nilai N.

Jenis-jenis hammer yang digunakan bisa bermacam-macam (Gambar 1.11), namun demikian semua mem-
punyai berat yang sama yaitu 63.5 kg (140 lb).

Secara konvensional, uji SPT dilakukan dengan interval kedalaman 1.5 m - 3.0 m dan sampel tanah yang
diperoleh dari tabung SPT digunakan untuk klasifikasi. Penting untuk ditegaskan disini bahwa identifikasi dari
jenis tanah pada SPT harus dilakukan karena interpretasi dari data SPT hanya dapat dilakukan dengan baik bila
dikaitkan dengan kondisi tanah tersebut.



























Gambar 1.10. Cara Konvensional Uji SPT dan Sampel SPT Menurut ASTM D-1586
(Sumber: Kovacs, 1981)


15
Variasi dari hasil uji dapat disebabkan oleh :
- Peralatan dibuat oleh pabrik yang berbeda. Namun demikian rotary auger dengan safety hammer
merupakan kombinasi yang lebih ekonomis dan umum.
- Konfigurasi hammer.
- Panjang batang penghubung (drill rod). Untuk panjang batang lebih dari 10 m dan nilai NSPT < 30 pengaruh
panjang batang ini cukup besar. Drill rod yang panjang lebih berat dan memperkecil energi yang diterima
oleh batang dan sampel.
- Tegangan vertikal efektif.
- Variasi tinggi jatuh.
- Bila digunakan cat-head, jumlah lilitan dapat mempengaruhi energi.
- Cara pemboran dan metoda stabilisasi dinding lubang bor berpengaruh terhadap nilai NSPT.
- Lubang yang tidak sempurna pembersihan-nya dapat mengakibatkan terperangkapnya lumpur ke dalam
sampel dan dapat menyebabkan kenaikan NSPT.
- Dipakai atau tidaknya liner pada sampel.
- Ukuran lubang bor.























Gambar 1.11. Diagram Skematis Jenis-jenis Hammer
(Sumber: Bowles, 1988)

Di Indonesia hal lain yang perlu diperhatikan adalah spesifikasi alat SPT yang berbeda, khususnya yang
mengacu kepada ASTM (standard USA) dan kepada JIS (standard Jepang) (Makarim, 1992).

3. Uji Geser Baling (Vane Shear Test)
Uji geser baling dilakukan dengan cara memasukkan baling pada kedalaman titik uji dan memutar baling tersebut
dengan kecepatan 6/menit hingga runtuh. Torsi (T) diukur dan nilai kuat geser undrained Su dapat ditentukan
berdasarkan formula :

dimana :
D = diameter dari baling (cm)
T = torsi (kg.cm)



16




















Gambar 1.12. Uji Geser Baling (VST)

4. Uji Pressuremeter
Uji Pressuremeter (Gambar 1.13) dikembangkan oleh Menard, berupa silinder karet yang dimasukkan kedalam
lubang bor dan dikembangkan. Respon tanah (perubahan volume atau jari-jari lubang) terhadap pengembangan
karet di ukur dan interpretasikan ke dalam besaran kuat geser dan sifat kemampatan tanah.
Keuntungan dari uji ini adalah karena modulus tanah dapat diperoleh di lapangan (in-situ), demikian pula
besarnya tekanan tanah at rest. Besaran besaran lain seperti kuat geser tanah dan tekanan air pori juga dapat
diperoleh dari uji ini.













Gambar 1.13. Uji Pressuremeter dan Hasil Uji Tipikal



17
5. Uji Dilatometer
Uji dilatometer (Marchetti 1980, Schmertmann, 1988) merupakan uji sederhana untuk mengukur modulus tanah.
Alat ini berupa suatu blade dengan lebar 95 mm dan tebal 15 mm. Ditengahnya terdapat suatu plat lingkaran
yang dapat bergerak keluar jika dikembangkan.
Prosedur pengujian dilatometer mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
1. Dilatometer dimasukkan kedalam lubang galian, lakukan pembacaan setelah dikoreksi (p1).
2. Membran dikembangkan dan tekanan dibaca saat mencapai 1.1. mm (p2).
3. Tekanan diturunkan dan saat membran kembali keposisi semula, kembali dibaca (p3).
4. Dilatometer diturunkan ke titik berikutnya dan langkah 1 s/d 3 diulang kembali.
Setiap pengujian hanya membutuhkan waktu 1-2 menit. Keuntungan utama dari dilatometer adalah bahwa alat
ini dapat memperkirakan tekanan at rest di lapangan. Disamping itu kemampatan tanah dapat diperoleh
(modulus subgrade).

Dari data diatas dapat diperoleh beberapa parameter dilatometer sebagai berikut :
1. Modulus dilatometer, Ed
Ed =34.7(p2-p1)

2. Indeks Tegangan Lateral, Kd

3. Indeks Material, ID

Berdasarkan parameter tersebut maka jenis tanah, modulus, dan kekuatan gesernya dapat diperkirakan.























Gambar 1.14. Korelasi Antara Jenis Tanah dengan
Indeks Material dan Modulus Dilatometer
(Sumber : Lacasse & Lunne. 1986)







' p
u p
K
o
1
d

=
u p
p p
I
2
1 2
D

=

18
6. Pengamatan Muka Air Tanah
Pengamatan muka air tanah dan fluktuasinya untuk beberapa proyek amat dibutuhkan khususnya dimana
pengaruh dari posisi muka air tanah memberikan beban hidrostatik dan beban uplift. Disamping itu pengetahuan
mengenai muka air tanah juga amat dibutuhkan untuk tahapan konstruksi.
Cara umum untuk memperoleh informasi muka air tanah adalah dengan menggunakan piezometer yang dapat
dipasang pada bekas lubang bor.
























Gambar. 1.15. Piezometer Jenis Standpipe dan Hidrolik

7. Cara Pelaporan Hasil Penyelidikan Tanah
Pelaporan hasil penyelidikan tanah harus mencakup informasi yang dibutuhkan untuk perancangan pondasi
maupun untuk penentuan teknik pelaksanaan oleh kontraktor. Bagian yang penting dari isi laporan meliputi :
- Geologi dan topografi di lokasi proyek.
- Bor log dan potongan - potongan melintang profil tanah.
- Hasil uji lapangan (SPT, CPT, VST, Pressuremeter dan lain-lain).
- Posisi muka air tanah.
- Hasil uji laboratorium.
- Kondisi lapangan, diantaranya yang penting adalah bangunan sekitar yang sudah ada, jalan akses, utilitas
umum, lokasi sungai atau selokan dan lain-lain.
Pada umumnya laporan diatas disebut factual report yaitu berisi data-data apa adanya tanpa memberikan
engineering judgement ataupun rekomendasi. Dalam banyak hal di Indonesia, pekerjaan penyelidikan tanah
sering dituntut untuk melengkapi dengan desain dan rekomendasi.


19
BAB II
DAYA DUKUNG TANAH




Tujuan umum :
Mahasiswa diharapkan mengetahui secara umum tentang definisi, jenis, pemilihan tipe pondasi, menentukan
kedalaman dan dimensi pondasi
Tujuan Khusus :
Setelah mempelajari bab ini mahasiswa dapat menghitung dengan tepat tentang pondasi telapak sesuai
dengan kondisi tanah yang ada dan rumus yang sesuai secara tepat dan benar.

2.1. PENDAHULUAN
Pondasi adalah suatu konstruksi pada bagian bawah struktur (substructure) yang berfungsi
meneruskan beban dari bagian atas struktur (superstructure) ke lapisan tanah di bawahnya dengan tidak meng-
akibatkan :
- Keruntuhan geser tanah
- Penurunan tanah saat penurunan pondasi yang berlebihan

Secara umum pondasi dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pondasi dangkal (shallow footing) Peck (1953) : Df/B 1
Contohnya :
Pondasi telapak (square footing)
Pondasi menerus (continues footing)
Pondasi lingkaran (circle footing)
Pondasi rakit (raft footing)
b. Pondasi dalam (depth footing) Peck (1953) : Df/B > 4
Contohnya:
Pondasi sumuran
Pondasi tiang pancang
Pondasi kaison

Pondasi dangkal digunakan apabila lapisan tanah keras yang mampu mendukung beban bangunan di
atasnya, terletak dekat dengan permukaan sedangkan pondasi dalam dipakai pada kondisi yang sebaliknya.
Selain itu masih banyak lagi jenis-jenis konstruksi yang erat hubungannya dengan rekayasa pondasi, seperti :
- Dinding penahan tanah atau turap, Seperti :
dinding kantilever turap kaku
turap kayu, turap baja, turap beton dll turap lentur
- Bendung elak sementara, seperti :
penurapan pada pembuatan pilar jembatan di dasar sungai

20
1. Syarat-syarat Perencanaan Pondasi
a. Syarat yang berhubungan dengan konstruksi dan beban yang diterima oleh pondasi antara lain:
- Beban maksimum yang diterima
- Muatan sedapat mungkin merata
- Tanah dasar pondasi terlindung dari penggerusan air
b. Syarat yang berhubungan dengan perencanaan dan perluasan pondasi antara lain:
- Galian tanah sekecil-kecilnya
- Lubang pondasi harus dapat dikeringkan
- Menghindari kemungkinan terjadinya kebocoran dari air tanah
- Pondasi yang terbuat dari kayu harus terletak pada muka air tanah terendah.
c. Syarat yang berhubungan dengan stabilitas dan deformasi antara lain:
- Kedalaman pondasi harus cukup untuk menghindari kerusakan tanah dalam arah lateral di bawah
pondasi
- Kedalaman pondasi harus di bawah daerah yang mempunyai sifat kompresibilitas yang tinggi
- Konstruksi harus aman terhadap guling, geser, rotasi dan keruntuhan geser tanah
- Konstruksi harus aman terhadap korosi atau kegagalan akibat bahan-bahan kimia yang ada di dalam
tanah.
- Konstruksi diharapkan mudah untuk dimodifikasi jika terdapat perubahan geometri konstruksi
- Pondasi harus dapat memberikan toleransi terhadap pergerakan diferensial akibat pergerakan tanah
- Pondasi harus memenuhi persyaratan standar
- Pondasi harus ekonomis dalam pelaksanaan

2. Pemilihan Jenis Pondasi
Selain tergantung pada faktor ekonomi maupun situasi lingkungan, pemilihan jenis pondasi pada pokoknya
tergantung pada kondisi atau sifat karakteristik tanah dasar atau tanah pendukungnya.
Berikut ini adalah jenis-jenis pondasi sesuai dengan keadaan tanah pendukung yang bersangkutan:
a. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 2 m sampai dengan 3 m di bawah permukaan tanah
lunak atau soft soil maka digunakan
- pondasi telapak
- pondasi menerus
- pondasi rakit
b. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 10 m sampai dengan 20 m di bawah permukaan tanah
lunak maka digunakan
- pondasi tiang beton atau tiang kayu
- pondasi tiang apung
- atau perbaikan tanah dasar
c. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 20 m sampai dengan 30 m di bawah permukaan tanah
lunak maka digunakan
- pondasi tiang gesek (bila penurunan yang terjadi masih diijinkan)
- pondasi tiang baja atau tiang beton yang dicor ditempat
- pondasi kaison
d. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 30 m sampai dengan 40 m di bawah permukaan tanah
lunak maka digunakan
- pondasi kaison
- pondasi tiang baja atau tiang beton yang dicor ditempat.
e. Jika lapisan tanah keras terletak pada kedalaman lebih besar dari 40 m maka yang lebih baik untuk hal
ini adalah pemakaian pondasi baja atau tiang beton yang dicor di tempat.
21
2.2. PENGERTIAN
Tekanan overburden [p] (total overburden pressure) adalah intensitas tekanan total yang terdiri dari berat
material di atas dasar pondasi sebelum pondasi dibangun (berat tanah dan air) , [rumus umum : p = Df.].
Tekanan pondasi total [q] (total foundation pressure) adalah intensitas tekanan total yang terdiri dari berat
material di atas dasar pondasi sesudah struktur selesai dibangun dengan pembebanan penuh (berat pondasi,
struktur atas, tanah urug dan air).
Tekanan pondasi netto [qn] (net foundation pressure) adalah tekanan pondasi total (q) dikurangi beban
hidup dan mati yang berlaku, [rumus umum : qn = q Df.].
Daya dukung tanah (bearing capacity) adalah kekuatan tanah untuk menahan suatu beban yang bekerja
padanya yang biasanya disalurkan melalui pondasi.
Daya dukung batas [qu] (ultimit bearing capacity) adalah tekanan maksimum yang dapat diterima oleh tanah
akibat beban yang bekerja tanpa menimbulkan kelongsoran geser pada tanah pendukung tepat di bawah dan
sekeliling pondasi.
Daya dukung batas netto [qun] (net ultimit bearing capacity) adalah daya dukung batas [qu] dikurangi
tekanan overburden [p], [rumus umum : qun = qu Df.].
Daya dukung ijin [qall = qs] (allowable bearing capacity) atau (safe bearing capacity) adalah tekanan
maksimum yang dapat diterima oleh tanah sehingga persyaratan keamanan (FS) terhadap daya dukung dan
penurunan terpenuhi.
[rumus umum : + = = = . D
FS
q
FS
q
q q
f
un u
s all
]

Fakor aman [FS] (factor of safety), ditinjau dari :
- daya dukung batas (qult)
all
u
q
q
FS=

- daya dukung batas netto (qun)


= =
. D q
. D q
q
q
FS
f
f u
n
un

Ultimit = maksimum = batas = total.
22
Terdapat 3 kemungkinan pola keruntuhan kapasitas dukung tanah yaitu :
1. Keruntuhan geser umum (General Shear Failure), Gambar 2.1a
Kondosi kesetimbangan plastis terjadi penuh diatas failure plane
Muka tanah di sekitarnya mengembang (naik)
Keruntuhan terjadi di satu sisi sehingga pondasi miring
Terjadi pada tanah dengan kompresibilitas rendah (padat dan kaku)
Kapasitas dukung batas (qult) bisa diamati dengan baik.











Gambar 2.1a. Pola keruntuhan geser umum (General Shear Failure)
2. Keruntuhan geser setempat (Local Shear Failure), Gambar 2.1b
Muka tanah disekitar pondasi tidak terlalu mengembang, karena dorongan kebawah dasar
pondasi lebih besar.
Kondisi kesetimbangan plastis hanya terjadi pada sebagian tanah saja.
Miring yang terjadi pada pondasi tidak terlalu besar terjadi.
Terjadi pada tanah dengan kompresibilita tinggi yang ditunjukkan dengan penurunan yang
relative besar.
Kapasitas dukung batas sulit dipastikan sulit dianalisis, hanya bisa diamati penurunannya saja.











Gambar 2.1b. Pola keruntuhan geser setempat (Local Shear Failure)



23

3. Keruntuhan geser baji / penetrasi (Punching Shear Failure), Gambar 2.1c
Terjadi desakan dibawah dasar pondasi disertai pergeseran arah vertical sepanjang tepi
Tidak terjadi kemiringan pondasi dan pengangkatan di permukaan tanah.
Penurunan yang terjadi cukup besar
Terjado pada tanah dengan kompresibilitas tinggi dan kompresibilitas rendah jika kedalaman
pondasi agak dalam
Kapasitas dukung batas tidak dapat dipastikan











Gambar 2.1c. Pola Keruntuhan geser baji (Punching Shear Failure)

Vesic (1963) melakukan uji model untuk mengetahui pengaruh kepadatan tanah pasir (Dr) dengan
kedalaman pondasi dibanding lebar pondasi (Df/B) terhadap mekanisme keruntuhan pondasi. Keruntuhan
geser umum terjadi pada pondai relatif dangkal yang terletak pada pasir padat atau kira-kira | > 36 dan
Keruntuhan geser setempat kira-kira nilai | < 29. Hasil pengujiannya sebagaimana Gambar 2.1.d.





















Gambar 2.1.d. Hubungan Df/B dan Dr pada model keruntuhan tanah pasir

Sedangkan Coduto (1994) untuk pondasi pada pasir berpendapat :
1. Keruntuhan geser umum : terjadi pada pasir padat (Dr > 67%)
2. Keruntuhan geser setempat : terjadi pada pasir kepadatan sedang (30% < Dr <67%)
3. Keruntuhan geser penetrasi : terjadi pada pasir sangat longgar (Dr < 30%)



24
Dalam praktek, kapasitas daya dukung dihitung lebih dahulu pada kasus keruntuhan geser umum,
kemudian dilakukan hitungan penurunan untuk mengecek apakah pondasi turun secara berlebihan. Analisa
penurunan ini akan mengontrol hitungan yang didasarkan pada keruntuhan geser setempat maupun
penetrasi.

Catatan :



Adapun cara-cara yang digunakan untuk menghitung kapasitas daya dukung tanah dibawah pondasi
khususnya pondasi dangkal antara lain : Metode Terzaghi, Metode Meyerhof, Metode Hanzen dll.

Teori dari Terzaghi banyak digunakan karena metode ini dapat digunakan untuk semua jenis tanah dan
hasilnya memberikan nilai daya dukung maksimum mendekati kondisi sebenarnya yang ada dilapangan.

Analisis kapasitas dukung didasarkan kondisi general shear failure , yang dikemukakan Terzaghi (1943)
dengan anggapan-anggapan sebagai berikut :
1. Tahanan geser yang melewati bidang horisontal di bawah pondasi diabaikan
2. Tahanan geser tersebut digantikan oleh beban sebesar q = . Df
3. Membagi distribusi tegangan di bawah pondasi menjadi tiga bagian
4. Tanah adalah material yang homogen, isotropis dengan kekuatan gesernya yang mengikuti hukum
Coulumb
t = c + o.tan | (2.1)
dengan :
t = tegangan geser
c = kohesi tanah
o = tegangan normal
| = sudut geser dalam tanah
5. Untuk pondasi menerus penyelesaian masalah seperti pada analisa dua dimensi











Gambar 2.2. Analisa distribusi tegangan di bawah pondasi menurut teori Terzaghi (1943)

25
Zona I
Pondasi akan tertekan ke bawah dan menghasilkan suatu keseimbangan plastis dalam bentuk zona segitiga
di bawah pondasi dengan sudut ACD = CAD = o = 45
o
+

|/2. Gerakan bagian tanah ACD ke bawah
mendorong tanah disampingnya ke samping.
Zona II
Bagian ADF dan CDE disebut radial shear zone (daerah geser radial) dengan curve DE dan DF yang bekerja
pada busur spiral logaritma dengan pusat ujung pondasi.
Zona III
Bagian AFH dan CEG dinamakan zona pasif Rankine dimana bidang tegangannya merupakan bidang
longsor yang mengakibatkan bidang geser di atas bidang horisontal tidak ada dan digantikan dengan beban
sebesar q = . Df

2.2 Kapasitas Daya Dukung Menurut Terzaghi
a. Terzaghi (1943), memberikan beberapa rumus sesuai dengan bentuk geometri pondasi tersebut. Rumus-
rumus yang dimaksud antara lain:
Untuk tanah dengan keruntuhan geser umum (general shear failure)
1. Kapasitas daya dukung pondasi menerus dengan lebar B
qu = c.Nc + .Df.Nq + ..B.N
(2.2)
2. Kapasitas daya dukung pondasi lingkaran dengan jari-jari R
qu = 1,3.c.Nc + .Df.Nq + 0,6..R.N

(2.3)
3. Kapasitas daya dukung pondasi bujur sangkar dengan sisi B
qu = 1,3.c.Nc + .Df.Nq + 0,4..B.N
(2.4)
4. Kapasitas daya dukung pondasi segi empat (B x L)
qu = c.Nc.(1 + 0,3 B/L) + .Df.Nq + ..B.N
(1 0,2.B/L) (2.5)

dengan:
qu = daya dukung maksimum B = lebar pondasi (diameter untuk lingkaran )
c = kohesi tanah L = panjang pondasi
= berat isi tanah Df = kedalaman pondasi
.Df = p0 = tekanan overburden (tekanan vertikal pada dasar pondasi)
= bila terdapat beban merata (q0) maka menjadi (.Df + q0) = (p0 + q0)

Nc; Nq; N

adalah faktor daya dukung yang besarnya dapat ditentukan dengan memakai tabel 2.1 , Grafik 2.3
atau dengan memakai rumus-rumus sebagai berikut :

(
(
(
(

|
.
|

\
|
+
=

2 4

2cos
e
cot N
2
/2)tan 2(3(3
c
|
|
|
(2.6)
|
.
|

\
|
+
=

2
45 2cos
e
N
2
/2)tan 2(3(3
q
|
| |
(2.7)
|
|
.tan 1
cos
K
2
1
N
2
py
|
|
.
|

\
|
=
(2.8)
Kpy = koefisien tanah pasif
26
Tabel 2.1 Faktor-faktor daya dukung Terzaghi untuk kondisi keruntuhan geser umum (general shear
failure)
| Nc Nq N | Nc Nq N
0 5,70 1,00 0,00 26 27,09 14,21 9,84
1 6,00 1,1 0,01 27 29,24 15,90 11,60
2 6,30 1,22 0,04 28 31,61 17,81 13,70
3 6,62 1,35 0,06 29 34,24 19,98 16,18
4 6,97 1,49 0,10 30 37,16 22,46 19,13
5 7,34 1,64 0,14 31 40,41 25,28 22,65
6 7,73 1,81 0,20 32 44,04 28,52 26,87
7 8,15 2,00 0,27 33 48,09 32,23 31,94
8 8,60 2,21 0,35 34 52,64 36,50 38,04
9 9,09 2,44 0,44 35 57,75 41,44 45,41
10 9,61 2,69 0,56 36 63,53 47,16 54,36
11 10,16 2,98 0,69 37 70,01 53,80 65,27
12 10,76 3,29 0,85 38 77,50 61,55 78,61
13 11,41 3,63 1,04 39 85,97 70,61 95,03
14 12,11 4,02 1,26 40 95,66 81,27 115,31
15 12,86 4,45 1,52 41 106,81 93,85 140,51
16 13,68 4,92 1,82 42 119,67 108,75 171,99
17 14,60 5,45 2,18 43 134,58 126,50 211,56
18 15,12 6,04 2,59 44 151,95 147,74 261,60
19 16,56 6,70 3,07 45 172,28 173,28 325,34
20 17,69 7,44 3,64 46 196,22 204,19 407,11
21 18,92 8,26 4,31 47 224,55 241,80 512,84
22 20,27 9,19 5,09 48 258,28 287,85 650,67
23 21,75 10,23 6,00 49 298,71 344,63 831,99
24 23,36 11,40 7,08 50 347,50 415,14 1072,80
25 25,13 12,72 8,34

*From Kumbhojkar(1933)


Untuk tanah dengan keruntuhan geser setempat (local shear failure)
Untuk harga c diganti c = 2/3.c dan harga | diganti | = tan
-1
(2/3 tan |). Dari nilai c dan | didapatkan
faktor-faktor daya dukung untuk kondisi keruntuhan lokal: Nc, Nq, N

(Tabel 2.2 atau Grafik 2.3).



1. Kapasitas daya dukung pondasi menerus dengan lebar B
qu = c.Nc + .Df.Nq + ..B.N

(2.9)
2. Kapasitas daya dukung pondasi lingkaran dengan jari-jari R
qu = 1,3.c.Nc + .Df.Nq + 0,6..R.N

(2.10)
3. Kapasitas daya dukung pondasi bujur sangkar dengan sisi B
qu = 1,3.c.Nc + .Df.Nq + 0,4..B.N

(2.11)
4. Kapasitas daya dukung pondasi persegi empat (BxL)
qu = c.Nc.(1 + 0,3.B/L) + .Df.Nq + ..B.N

.(10,2.BL) (2.12)

dengan:
qu = daya dukung maksimum B = lebar pondasi (diameter untuk lingkaran )
c = kohesi tanah L = panjang pondasi
= berat isi tanah Df = kedalaman pondasi
.Df = p0 = tekanan overburden (tekanan vertikal pada dasar pondasi)
= bila terdapat beban merata (q0) maka menjadi (.Df + q0) = (p0 + q0)
27
Tabel 2.2 Faktor-faktor daya dukung Terzaghi modifikasi untuk kondisi keruntuhan geser setempat (locall
shear failure)
| Nc Nq N | Nc Nq N
0 5,70 1,00 0,00 26 15,53 6,05 2,59
1 5,90 1,07 0,005 27 16,30 6,54 2,88
2 6,10 1,14 0,02 28 17,13 7,07 3,29
3 6,30 1,2 0,04 29 18,03 7,66 3,76
4 6,51 1,30 0,055 30 18,99 8,31 4,39
5 6,74 1,39 0,074 31 20,03 9,03 4,83
6 6,97 1,49 0,10 32 21,16 9,82 5,51
7 7,22 1,59 0,128 33 22,39 10,69 6,32
8 7,47 1,70 0,16 34 23,72 11,67 7,22
9 7,74 1,82 0,20 35 25,18 12,75 8,35
10 8,02 1,94 0,24 36 26,77 13,97 9,41
11 8,32 2,08 0,30 37 28,51 15,32 10,90
12 8,63 2,22 0,35 38 30,43 16,85 12,75
13 8,96 2,38 0,42 39 32,53 18,56 14,71
14 9,31 2,55 0,48 40 34,87 20,50 17,22
15 93,67 2,73 0,57 41 37,45 22,70 19,75
16 10,06 2,92 0,67 42 40,33 25,21 22,50
17 10,47 3,13 0,76 43 43,54 28,06 26,25
18 10,90 3,36 0,88 44 47,13 31,34 30,40
19 11,36 3,61 1,03 45 51,17 35,11 36,00
20 11,85 3,88 1,12 46 55,73 39,48 41,70
21 12,37 4,17 1,35 47 60,91 44,54 49,30
22 12,92 4,48 1,55 48 66,80 50,46 59,25
23 13,51 4,82 1,74 49 73,55 57,41 71,45
24 14,14 5,20 1,97 50 81,31 65,60 85,75
25 14,80 5,60 2.25
*From Kumbhojkar(1933)



















Gambar 2.3. Faktor-faktor daya dukung Terzaghi

28
b. Pengaruh muka air tanah:
D = Df , p0 = . Df = tekanan overburden

(1) (2) (3)
Gambar 2.4. Pengaruh muka air tanah pada daya dukung Terzaghi

Persamaan Terzaghi :
qu = c.Nc + 1.Df.Nq + .2.B.N

qu = 1,3.c.Nc + 1.Df.Nq + 0,6.2.R.N


qu = 1,3.c.Nc + 1.Df.Nq + 0,4.2.B.N

qu = c.Nc.(1 + 0,3.B/L) + 1.Df.Nq + .2.B.N

.(10,2.B/L)

(1) Muka air tanah (MAT) terletak di atas atau sama dengan dasar pondasi (Dw Df)
po = .Dw + .(Df Dw) p0 : terletak pada 2 kondisi tanah
2 = = sat w zona geser bawah pondasi terendam air
(2) Muka air tanah (MAT) terletak di bawah dasar pondasi (Dw Df ) < B
po = .Df p0 : terletak pada kondisi tanah asli
2 = + (Dw Df)/B.( ) zona geser bawah pondasi terendam sebagian
(3) Muka air tanah (MAT) terletak jauh di bawah dasar pondasi (Dw Df ) > B
po = .Df p0 : terletak pada kondisi tanah asli
29
2 = zona geser bawah pondasi pada tanah asli
(4) Muka air tanah (MAT) terletak pada muka tanah (Dw = 0 )
po = '.Df p0 : terletak pada kondisi tanah terendam air
2 = ' zona geser bawah pondasi pada tanah asli

Hitungan daya dukung di atas juga harus mempertimbangkan sifat-sifat permeabilitas tanah. Tanah
permeabilitas rendah analisa menggunakan kondisi tak ter-drainasi (undrained) dengan parameter (cu dan
|u). Sedangkan untuk tanah permeabilitas tinggi (mudah lolos air) maka analisa daya dukung
menggunakan kondisi terdrainasi (drained) dengan parameter (c dan | ).

30
c. Pondasi pada tanah granuler (tanah pasir atau kerikil) tidak mempunyai kohesi (c = 0) maka kapasitas daya
dukung pondasi dipengaruhi terutama oleh kerapatan relatif (Dr), kedudukan muka air tanah, tekanan
terkekang (confining pressure) dan ukuran pondasi.
Persamaan daya dukung ultimit Terzaghi (1943) akan menjadi sebagai berikut :
1. Kapasitas daya dukung pondasi menerus dengan lebar B
qu = .Df.Nq + ..B.N
(2.13)
2. Kapasitas daya dukung pondasi lingkaran dengan jari-jari R
qu = .Df.Nq + 0,6..R.N

(2.14)
3. Kapasitas daya dukung pondasi bujur sangkar dengan sisi B
qu = .Df.Nq + 0,4..B.N
(2.15)
4. Kapasitas daya dukung pondasi segi empat (B x L)
qu = .Df.Nq + ..B.N

.(10,2.B/L) (2.16)
dengan:
qu = daya dukung maksimum B = lebar pondasi (diameter untuk lingkaran )
c = kohesi tanah L = panjang pondasi
= berat isi tanah Df = kedalaman pondasi
.Df = p0 = tekanan overburden (tekanan vertikal pada dasar pondasi)
= bila terdapat beban merata (q0) maka menjadi (.Df + q0) = (p0 + q0)

2.3 Analisis Skempton untuk pondasi pada tanah lempung
Skempton (1951) mengusulkan persamaan daya dukung ultimit pondasi (qult) yang ter-letak pada tanah
lempung jenuh (| = 0) dengan faktor-faktor : faktor kedalaman dasar pondasi dan faktor bentuk pondasi.
Skempton menyarankan pemakaian faktor pengaruh bentuk pondasi (sc) dengan :
sc = (1 + 0,2.B/L) ; B = lebar dan L = panjang pondasi.
Faktor daya dukung Nc sesuai bentuk dan kedalaman pondasi dapat memakai rumus berikut atau Gambar 2.5.
a. Pondasi permukaan (Df = 0)
Nc (pemukaan) = 5,14 untuk pondasi memanjang
Nc (pemukaan) = 6,20 untuk pondasi lingkaran dan bujur sangkar
b. Pondasi pada kedalaman 0 < Df < 2,5.B
) pemukaan (
f
Nc
B
D
2 , 0 1 Nc |
.
|

\
|
+ =
c. Pondasi pada kedalaman Df > 2,5.B
Nc = 1,50.Nc (permukaan)

31

Gambar 2.5. Faktor daya dukung Nc (Skempton, 1951)

Daya dukung ultimit pondasi (qu) dan daya dukung ultimit neto (qun) sesuai bentuk pondasi adalah sebagai berikut :
a. Pondasi memanjang :
Daya dukung ultimit : qu = cu.Nc + Df. (2.17.a)
Daya dukung ultimit neto : qun = cu.Nc (2.17.b)
b. Pondasi dengan panjang (L) dan lebar (B), dengan faktor pengali 0,84 + 0,16.B/L :
Daya dukung ultimit : qu = (0,84 + 0,16.B/L).cu.Nc(bs) + Df. (2.18.a)
Daya dukung ultimit neto : qun = (0,84 + 0,16.B/L).cu.Nc(bs) (2.18.b)
dengan :
qu = daya dukung ultimit (kN/m
2
)
qun = daya dukung ultimit neto (kN/m
2
)
Df = kedalaman pondasi (m)
= berat isi tanah (kN/m
3
)
cu = kohesi tanah tidak terdrainasi (undrained) (kN/m
2
)
Nc = faktor daya dukung Skempton (Gambar 2.5)
Nc = faktor daya dukung Skempton bentuk bujur sangkar (Gambar 2.5)

2.4 Rumus Kapasitas Daya Dukung Secara Umum
Meyerhof (1963) telah mengembangkan rumus-rumus perhitungan kapasitas daya dukung untuk pondasi
menerus, segi empat dan lingkaran dan tidak berlaku untuk pondasi yang mempunyai dimensi 0 < B/L < 1.
Rumus-rumus ini mempertimbangkan faktor kedalaman, faktor bentuk dan faktor kemiringan beban. Rumus
daya dukung secara umum dari Meyerhof adalah:

qu = c.Nc.Fcs.Fcd.Fci + .Df.Nq.Fqs.Fqd.Fqi + ..B.N

.F
s.F
d.F
i (2.19)
32
dengan :
qu = daya dukung maksimum (ultimit)
c = kohesi tanah
= berat isi tanah
B = lebar pondasi (= diameter untuk pondasi lingkaran )
L = panjang pondasi
Df = kedalaman pondasi
Fcs, Fqs, F
s = faktor bentuk
Fcd, Fqd, F
d = faktor kedalaman
Fci, Fqi, F
i = faktor kemiringan beban
Nc; Nq; N
= faktor daya dukung (Tabel 2.3), Gambar 2.6 atau dengan menggunakan rumus
(2.202.22)
|

|
.
|

\
| |
+ =
tan 2
e
2
45 tan Nq
(2.20)
| = 1).cot (N N
q c
(2.21)
| + = 1).tan 2.(N N
q
(2.22)

Tabel 2.3 Faktor daya dukung Meyerhof (1963)
| Nc Nq N Nq/ Nc tan | | Nc Nq N Nq/ Nc tan |
0 5,14 1,00 0,00 0,20 0,00 26 22,25 11,85 12,54 0,53 0,49
1 5,38 1,09 0,07 0,20 0,02 27 23,94 13,20 14,47 0,55 0,51
2 5,63 1,20 0,15 0,21 0,03 28 25,80 14,72 16,72 0,57 0,53
3 5,90 1,31 0,24 0,22 0,05 29 27,86 16,44 19,34 0,59 0,55
4 6,19 1,43 0,34 0,23 0,07 30 30,14 18,40 22,40 0,61 0,58
5 6,49 1,57 0,45 0,24 0,09 31 32,67 20,63 25,99 0,63 0,60
6 6,81 1,72 0,57 0,25 0,11 32 35,49 23,18 30,22 0,65 0,62
7 7,16 1,88 0,71 0,26 0,12 33 38,64 26,09 35,19 0,68 0,65
8 7,53 2,06 0,86 0,27 0,14 34 42,16 29,44 41,06 0,70 0,67
9 7,92 2,25 1,03 0,28 0,16 35 46,12 33,30 48,03 0,72 0,70
10 8,35 2,47 1,22 0,30 0,18 36 50,59 37,75 56,31 0,75 0,73
11 8,80 2,71 1,44 0,31 0,19 37 55,63 42,92 66,19 0,77 0,75
12 9,28 2,97 1,69 0,32 0,21 38 61,35 48,93 78,03 0,80 0,78
13 9,81 3,26 1,97 0,33 0,23 39 67,87 55,96 92,25 0,82 0,81
14 10,37 3,59 2,29 0,35 0,25 40 75,31 64,20 109,41 0,85 0,84
15 10,98 3,94 2,65 0,36 0,27 41 83,86 73,90 130,22 0,88 0,87
16 11,63 4,34 3,06 0,37 0,29 42 93,71 85,38 155,55 0,91 0,90
17 12,34 4,77 3,53 0,39 0,31 43 105,11 99,02 186,54 0,94 0,93
18 13,10 5,26 4,07 0,40 0,32 44 118,37 115,31 224,64 0,97 0,97
19 13,93 5,80 4,68 0,42 0,34 45 133,88 134,88 271,76 1,01 1,00
20 14,63 6,40 5,39 0,43 0,36 46 152,10 158,51 330,35 1,04 1,04
21 15,82 7,07 6,20 0,45 0,38 47 173,64 187,21 403,67 1,08 1,07
22 16,88 7,82 7,13 0,46 0,40 48 199,26 222,31 496,01 1,12 1,11
23 18,05 8,66 8,20 0,48 0,42 49 229,93 265,51 613,16 1,15 1,15
24 19,32 9,60 9,44 0,50 0,45 50 266,89 319,07 762,89 1,20 1,19
25 20,72 10,66 10,88 0,51 0,47
* After Vesic (1973)

33


Gambar 2.6. Faktor daya dukung (Meyerhof, 1963)

Rumus-rumus umum yang digunakan untuk menentukan faktor pengaruh bentuk, kedalaman dan kemiringan
beban dapat digunakan seperti dalam Tabel 2.4 dan Tabel 2.5

34
Tabel 2.4 Faktor bentuk, kedalaman, dan kemiringan rekomendasi untuk digunakan
Faktor Rumus Sumber
Bentuk
a

c
N
q
N
L
B
1
cs
F + =
tan
L
B
1
qs
F + =
L
B
0,4 1
s
F =
Bila L panjang pondasi (L > B)
De Beer(1970)
Kedalaman
b
a. Bila D
f
/B s 1
B
4 , 0 1
cd
F
f
D
+ =
( )
B
D
f 2
sin 1 tan 2 1
qd
F | | + =
1
d
F =


b. Bila Df/B > 1
|
.
|

\
|

+ =
B
f
D
1
tan 0,4 1
cd
F

( )
|
|
.
|

\
|

+ =
B
f
D
1
tan
2
sin 1 tan 2 1 Fqd | |
1 F
d
=
Hansen (1970)
Kemiringan
2
qi
ci
90

1 F F
|
.
|

\
|

= =
2
i

1 F
|
|
.
|

\
|

=
|

Mayerhof (1963);
Hanna and
Mayerhof (1981)
a
Faktor bentuk berdasarkan data tes laboratorium
b
Faktor tan
-1
(Df/B) dalam radian





Df
B


35
Tabel 2.5 Faktor bentuk, kedalaman, dan kemiringan recomendasi untuk referensi
Faktor Rumus Sumber
Bentuk Untuk | = 0
|
.
|

\
|
+ =
L
B
2 , 0 1
cs
F

1
qs
F =
1
s
F =
Untuk | > 10
|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
+ + =
2
45
2
tan
L
B
2 , 0 1
cs
F
|

|
.
|

\
|
|
.
|

\
|
|
+ + =

=
2
45
2
tan
L
B
0,1. 1
s
F
qs
F

Mayerhof
(1963)
Kedalaman Untuk | = 0
B
2 , 0 1
cd
F
f
D
+ =
1
d
F Fqd = =
Untuk | > 10
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
|
+ + =
2
45 tan
B
f
D
0,2 1
cd
F
|
.
|

\
|
|
|
.
|

\
|
|
+ + = =
2
45 tan
B
f
D
1 , 0 1
d
F
qd
F
Mayerhof
(1963)
Kemiringan
1)
q
(N
)
qi
F (1
qi
F
ci
F

=
5
cot BLc cos
u
Q
sin )
u
Q ( 5 , 0
1
qi
F
(

+
=
|

5
cot BLc cos
u
Q
sin )
u
Q ( 7 , 0
1
i
F
(

+
=
|



Hansen
(1970)
* L = panjang pondasi ( > B )

Meyerhof (1963) mengamati sudut geser dalam (|) untuk kondisi plane strane (faktor daya dukung) kira-
kira lebih besar 10 % dari | labaratorium (uji triaksial) sehingga :
|ps = (1,1 0,1.B/L).|tr (2.23)
dengan :
qu = daya dukung maksimum (ultimit)
|ps = sudut geser dalam plane strain untuk menentukan faktor daya dukung
|
tr = sudut geser dalam tanah dari uji triaksial kompresi
36
2.5 Beban Eksentris pada Pondasi
Pembebanan yang tidak sentris pada pondasi bisa terjadi apabila beban vertikal yang bekerja
mempunyai eksentrisitas terhadap titik pusat pondasi atau jika pondasi menerima momen selain beban vertikal.
Akibat adanya beban eksentrisitas ini akan menimbulkan pengurangan (reduksi) daya dukung tanah.
Menurut Meyerhof (1953), reduksi daya dukung merupakan fungsi dari eksentrisitas beban. Pada tanah-tanah
granuler reduksi daya dukung lebih besar daripada tanah kohesif (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Pengaruh eksentrisitas beban pada daya dukung pondasi memanjang dengan beban
vertikal (Meyerhof, 1953)

Daya dukung ultimit beban vertikal eksentris (qu) diperoleh dari mengalikan daya dukung ultimit dengan
beban vertikal terpusat (qu) dengan faktor reduksi (Re).
qu = Re . qu (2.24)
dengan :
qu = daya dukung ultimit pada beban vertikal eksentris
Re = faktor reduksi akibat beban eksentris
qu = daya dukung ultimit untuk beban vertikal di pusat pondasi
Pada pondasi memanjang berlaku ketentuan seperti Gambar 2.7b, terlihat bahwa, jika :
e/B = 0,5 qu = 0, sebab Re = 0 (beban vertikal di tepi pondasi)
e/B = 0 qu = qu, sebab Re = 1 (beban vertikal di pusat pondasi)
Sedangkan untuk pondasi yang berukuran panjang (L) dan lebar (B), Meyerhof mengusulkan adanya
koreksi panjang dan lebarnya (L dan B) seperti Gambar 2.8.
a. Eksentrisitas satu arah (Gambar 2.8.a) :
1. Jika beban eksentris pada arah lebarnya (B) :
B = B 2.ex ; L = L (2.25)
2. Jika beban eksentris pada arah memanjangnya :
L = L 2.ey ; B = B (2.26)
37

Gambar 2.8. Pengaruh eksentrisitas beban pada daya dukung pondasi segi empat
dengan beban vertikal (Meyerhof, 1953)


Gambar 2.9. Detail pengaruh eksentrisitas beban satu arah pada pondasi segi empat

38
Distribusi tegangan dibawah pondasi adalah :
.L B
6.M
B.L
Q
q
2
max
+ = (2.27)
.L B
6.M
B.L
Q
q
2
min
= (2.28)
Tahapan menghitung beban batas dan faktor keamanan adalah sebagai berikut :
1). Dari gambar 2.9b menunjukkan system pembebanan yang sama dengan gambar 2.9a,
maka jarak e adalah :
Q
M
e = (2.29)
Memasukkan rumus 2.29 dalam rumus 2.27 dan 2.28, maka :
|
.
|

\
|
+ =
B
6.e
1
B.L
Q
q
max
(2.30)
|
.
|

\
|
=
B
6.e
1
B.L
Q
q
min

(2.31)
Jika e > B/6, maka q
min
adalah negative artinya adalah daerah tarik. Karena tanah
tidak dapat menerima gaya tarik, maka terdapat perubahan perhitungan q
max
sebagai
berikut :
2.e) 3.L.(B
4.Q
q
max

= (2.32)
2). Menentukan dimensi efektif B dan L (persamaan 2.25 atau 2.26)
3). Menentukan daya dukung ultimit pondasi (q
u
) :
q
u
= cN
c
F
cs
F
cd
F
ci
+ D
f
N
q
F
qs
F
qd
F
qi
+ 1/2BN

F
s
F
d
F
i
(2.33)
dengan :
F
cs
; F
qs
; F
s
gunakan tabel 2.4 atau 2.5 dengan B dan L
F
cd
; F
qd
; F
d
gunakan tabel 2.4 atau 2.5 dengan lebar pondasi B
3. Beban batas total yang dapat diterima pondasi adalah:
Q
ult
= q
u
. A = q
u
(B).(L) (2.34)
4. Faktor keamanan daya dukung adalah :
Q
ult
Q
FS = (2.35)
b. Eksentrisitas dua arah (Gambar 2.8.b) :
Jika beban eksentris dua arah (e
x
dan e
y
) maka lebar efektif pondasi (B) ditentukan
sedemikian rupa sehingga resultan beban terletak di pusat berat luas efektifnya (A)
dengan L adalah sisi terpanjang pada luas efektif tersebut.
39
dengan :
Q
M
e dan
Q
M
e
u
x
y
u
y
x
= = (2.36)
Beban total maksimum (P
u
= Q
u
) yang dapat didukung oleh pondasi :
P
u
= q
u
.A = q
u
.B.L (2.37)
Luas, panjang dan lebar efektif (A, L dan B) didapat dengan ketentuan :
1. Jika e
y
/L 1/6 dan e
x
/B 1/6, maka :

A = .B.L (2.38)
|
.
|

\
|
=
B
e . 3
5 , 1 . B B
x
1
(2.39)
|
|
.
|

\
|
=
L
e . 3
5 , 1 . L L
y
1
(2.40)
L = nilai terbesar antara L
1
dan B
1
, serta
B = nilai terkecil antara L
1
dan B
1

2. Jika e
y
/L < dan 0 < e
x
/B < 1/6, maka :

A = .(L
1
+ L
2
).B (2.41)
L = L
1
atau L
2
(dipakai yang terbesar) (2.42)
B = A / L (2.43)
Hubungan dimensi dan eksentrisitas beban
pada pondasi mengacu pada Gambar 2.10.
40

Gambar 2.10. Rasio dimensi dan eksentrisitas beban untuk e
y
/L < dan 0 < e
x
/B < 1/6
3. Jika e
y
/L < 1/6 dan 0 < e
x
/B < , maka :

A = .(B
1
+ B
2
).L (2.44)
L = L (2.45)
L
' A
' B = (2.46)
Hubungan dimensi dan eksentrisitas beban
pada pondasi mengacu pada Gambar 2.11.
41

Gambar 2.11. Rasio dimensi dan eksentrisitas beban untuk e
y
/L < 1/6 dan 0 < e
x
/B <

42
4. Jika e
y
/L 1/6 dan e
x
/B < 1/6, maka :

A = L
2
.B + .(B + B
2
).(L L
2
) (2.47)
L = L (2.48)
L
' A
' B = (2.49)

Hubungan dimensi dan eksentrisitas beban
pada pondasi mengacu pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12. Rasio dimensi dan eksentrisitas beban untuk e
y
/L 1/6 dan e
x
/B < 1/6

c. Eksentrisitas dua arah yang disederhanakan (Gambar 2.8.c) :
Jika beban eksentris dua arah (e
x
dan e
y
) disederhanakan maka akan didapat :
B = B 2.e
x
dan L = L 2.e
y
(2.50)
Dalam persamaan 2.34 dan 2.37. bila hitungan didasarkan pada tinjauan daya dukung
ultimit neto (q
un
) maka beban yang dihitung juga merupakan beban ultimit neto (p
un
).

43

2.6. Daya Dukung Berdasarkan Hasil Pengujian di Lapangan (CPT atau SPT)
Pada umumnya rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya daya dukung berdasarkan SPT atau
CPT mempunyai anggapan bahwa daya dukungnya mengijinkan penurunan pondasi dangkal sebesar 25 mm.
a. Daya Dukung Berdasarkan SPT (standard penetration test)
Pada tanah granuler (pasir), faktor-faktor Nq, N adalah fungsi dari sudut geser (|) yang tergantung pada
kerapatan reatif (Dr). Kerapatan relatif dapat juga diperoleh dari uji SPT. Peck, Hanson dan Thornburn (1963)
mengusulkan hubungan empiris antara N, Nq, N dan | (Gambar 2.13), sehingga daya dukung ultimit bisa
dihitung dengan nilai N.

Gambar 2.13. Hubungan nilai N, Nq, N dan | (Peck, dkk, 1963)
Uji SPT untuk menentukan daya dukung ijin (qall) dilakukan dengan mengestimasi lebar pondasi (B) yang
terbesar dari bangunan. Pada pondasi dangkal Terzaghi dan Peck (1948) menyarankan pengukuran pada
interval 76 cm dimulai dari dasar pondasi sampai sedalam B di bawahnya (Df + B dari permukaan tanah).
Nilai N rata-rata di kedalaman tersebut dapat menunjukkan kondisi kepadatan tanah di bawah pondasi secara
kasar. Jika hasil uji SPT dari beberapa titik/lubang bor, nilai N rata-rata yang dihasilkan berbeda maka N rata-
rata terkecil yang digunakan untuk menghitung qall.
Terzaghi dan Peck (1948) mengusulkan hubungan antara N dari uji SPT, lebar pondasi (B) dan daya dukung
ijin (qall) yang didasarkan pada penurunan maksimum 1 (1 inci) dan penurunan tidak seragam ( inci)
seperti Gambar 2.14.
44

Gambar 2.14. Daya dukung ijin (qall) dari uji SPT untuk penurun 1
(Terzaghi dan Peck, 1948, 1963)

Nilai-nilai pada kurva didasarkan pada anggapan bahwa jarak muka air tanah lebih besar B dari dasar
pondasi. Pada pondasi dangkal, bila pasir pada dasar pondasi dalam keadaan jenuh air dan kedalaman
pondasi lebih kecil dari dibandingkan lebarnya, Terzaghi menyarankan qall yang diperoleh dari Gambar 2.14
dibagi 2. Untuk muka air tanah kurang dari B dari dasar pondasi, nilai qall ditentukan dari interpolasi.
Meyerhof (1965), prosedur menentukan qall cara Terzaghi di atas terlalu hati-hati, sehingga tidak perlu
direduksi nilai qall akibat pengaruh muka air tanah karena qall sudah direfleksikan dalam hasil uji SPT,
selanjutnya nilai qall pada Gambar 2.14 dapat dinaikkan 50%-nya. Usulan ini sama dengan usulan
DAppolonia, dkk. (1968).
Mayerhof (1956; 1974) mengusulkan persamaan daya dukung ijin dengan nilai SPT untuk pasir. Nilai N
diambil nilai rata-rata dari jarak 0 sampai B di bawah dasar pondasi untuk penurunan ijin sebesar 1 (2,54 cm)
adalah sebagai berikut :
m 1,2 B lebar untuk ; [kN/m] 12.N q
all
s = (2.51)
m 1,2 B lebar untuk ; [kN/m]
B
0,3 B
8.N. q
2
all
> |
.
|

\
| +
= (2.52)
Bowles (1968) mengusulkan persamaan daya dukung ijin Meyerhof di atas terlalu hati-hati oleh karena itu
Bowles menyarankan persamaan qall rumus 2.51 dan 2.52 dinaikkan 50%-nya sekaligus memberikan faktor
kedalaman pondasi sebagai berikut :
m 1,2 B lebar untuk ; [kN/m] 8.N q
all
s =
(2.53)
m 1,2 B lebar untuk ; [kN/m] K
B
0,3 B
12,5.N. q
d
2
all
> |
.
|

\
| +
=
(2.54)
45
dengan :
qall = kapasitas daya dukung ijin untuk penurunan 1 (kN/m)
Kd = (1 + 0,33.Df/B) ; faktor kedalaman pondasi, nilai maksimum 1,33
Bowles (1968) menyarankan nilai N diambil dari nilai rata-rata statistis dari zona .B di atas dasar pondasi
sampai paling sedikit 2.B di bawah dasar pondasi.
Nilai N yang diperoleh dari uji SPT di lapangan sebelum digunakan dalam hitungan perlu dikoreksi terlebih
dahulu.
Bowles (1968) jika tanah mengandung pasir halus atau pasir berlanau nilai N :
N = 15 + .(N 15) (2.55)
dengan :
N = nilai N tercatat dari uji di SPT di lapangan
Beberapa analisis mengoreksi jumlah N-SPT dengan tekanan overburden efektif (po). Koreksi N akibat
pengaruh tekanan overburden efektif adalah sebagai berikut :
N = CN . N (2.56)
dengan :
N = nilai N tercatat dari uji di SPT di lapangan
CN = faktor koreksi overburden

Gibbs dan Holtz (1957), mengkoreksi tekanan overburden :
1 ' 1,422.p
5
C
0
N
+
= (2.57)
dengan :
p0 = tekanan overburden efektif (kg/cm) pada kedalaman yang diuji, maksimal 2,81 kg/cm.
(1 kg/cm = 98,1 kN/m)
Bazaraa (1967), mengkoreksi tekanan overburden :
k/ft 1,5 ' p
' 2.p 1
4
C
0
0
N
<
+
= (2.58)
k/ft 1,5 ' p
' .p 25 , 3
4
C
0
0
N
>
+
= (2.59)
dengan :
p0 = tekanan overburden efektif (ksf) [1 k/ft = 47,94 kN/m]
Peck, Hanson dan Thornburn (1974), mengusulkan tekanan overburden :
|
|
.
|

\
|
=
' p
20
log . ,77 0 C
0
N
(2.60)
dengan :
p0 = tekanan overburden efektif (ton/ft) [1 ton/ft = 1 kg/cm]
Persamaan ini tidak valid, jika p0 < 0,25 ton/ft
46
Skempton (1986), mengkoreksian tekanan overburden, berdasarkan macam pasirnya :
) ( halus pasir untuk
p
' p
1
2
C
r
0
N
ed consolidat normally
+
= (2.61)
) ( kasar pasir untuk
p
' p
2
3
C
r
0
N
ed consolidat normally
+
= (2.62)
) ( pasir untuk
p
' p
7 , 0
1,7
C
r
0
N
idated overconsol
+
= (2.63)
dengan :
p0 = tekanan overburden efektif (kN/m]
pr = 100 kN/m = tekanan efektif referensi
Bowles (1968), menyarankan penggunaan koreksi N harus dilakukan hati-hati dan jangan memberikan faktor
koreksi CN > 2.
Coduto (1994), koreksi pada prosedur pelaksaan pengujian (kondisi alat, cara pelaksanaan dll.) selalu
diperlukan sementara korensi overburden (CN) diperlukan atau tidak bergantung pada prosedur yang
diberikan oleh peneliti yang mengusulkan.

b. Kapasitas Daya Dukung Berdasarkan CPT (cone penetration test)
Untuk mendapatkan kapasitas daya dukung tanah, dengan cara memasukkan nilai penetrasi konus (qc) dari
hasil pengujian di lapangan ke dalam rumus yang diusulkan oleh Meyerhof (1956) yang menganggap bahwa
penurunan yang diijinkan sebesar 1 (2,54 cm). Persamaan ini didasarkan pada kurva Terzaghi dan Peck
(1943) dan dapat diterapkan untuk pondasi telapak atau pondasi memanjang dengan dimensi yang tidak
begitu besar dan pada kodisi tanah pasir kering (| - soils).
Meyerhof (1956), pondasi bujur sangkar atau pondasi memanjang berlaku :
m 1,2 B jika ;
30
q
q
c
all
s = (2.64)
m 1,2 B jika ;
B
3 , 0 B
50
q
q
2
c
all
>
(

+
= (2.65)
dengan :
qall = daya dukung tanah yang diijinkan untuk penurunan 1 (2,54 cm) [kg/cm]
qc = pembacaan tahanan ujung dari alat kerucut statis (sondir) [kg/cm]
Tahanan konus (qc) diambil nilai rata pada kedalaman 0 sampai B dari dasar pondasi.
Bowles (1968), seperti mengacu pada persamaan (2,54), maka :
m 1,2 B jika ; [kg/cm] K
20
q
q
d
c
all
s = (2.66)
m 1,2 B lebar untuk ; [kg/cm] K
B
0,3 B
.
33
q
q
d
2
c
all
> |
.
|

\
| +
= (2.67)
dengan :
qall = kapasitas daya dukung ijin untuk penurunan 1 (kN/m)
Kd = (1 + 0,33.Df/B) ; faktor kedalaman pondasi, nilai maksimum 1,33
47
Robertson dan Campanella (1983), mengusulkan tahanan kerucut statis (qc) dengan N-SPT berdasrkan
hubungan antara diameter butiran rata-rata D50 dengan qc/N seperti Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Variasi rasio qc/N dengan diameter butiran rata-rata (D50)
(Robertson dan Campanella 1983)

2.7. Daya Dukung Pondasi Dangkal di Atas Tanah Berlapis
Pada kondisi sebenarnya di alam ini, tanah dalam kondisi yang berlapis-lapis dengan sifat-sifat tanah yang
berbeda pada tiap lapisnya. Dalam kondisi tersebut daya dukung tanah dapat bertambah atau berkurang
tergantung pada sifat tiap-tiap lapisan tanahnya. Begitu pula kondisi zona geser saat pondasi akan runtuh
berkembang sampai memotong lapisan tanah lain yang berada di bawahnya, Gambar 2.16.
Pondasi dipertimbangkan terletak pada kondisi tanah homogen bila bidang keruntuhan hanya melewati satu jenis
tanah atau jika permukaan tanah yang berbeda berada paling sedikit berjarak 4B (4 x lebar pondasi) dari dasar
pondasi.
a. Daya Dukung Pondasi di Atas Tanah Lempung Berlapis
Button, Ready dan Srinivasan telah mempelajari tentang daya dukung batas tanah untuk pondasi dangkal
yang berada di atas tanah lempung yang berlapis. Mekanisme dasar keruntuhan untuk pondasi lajur adalah
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.16. Nilai Cu(1) dan Cu(2) adalah kohesi dari tanah dalam keadaan
undrained untuk lapisan I dan lapisan II. Bidang permukaan antara lapisan I dan II terletak pada kedalaman d
di bawah dasar pondasi. Permukaan bidang longsor dianggap berbentuk silinder.








Gambar 2.16. Fondasi diatas tanah lempung berlapis
Layer I

1
, |
1
= 0, c
u(1)
Layer II

2
, |
2
= 0, c
u(2)
D
f

H
B
48
Terdapat dua kondisi untuk tanah lempung berlapis :
Kondisi 1 : bila cu(1)/cu(2) > 1, artinya fondasi terletak pada tanah lempung keras di atas tanah
lempung yang lunak.
Kondisi 2 : bila cu(1)/cu(2) < 1, artinya fondasi terletak pada tanah lempung lunak di atas tanah
lempung yang keras.
Perhitungan daya dukung ultimit diperlihatkan pada keruntuhan tanah seperti Gambar 2.17 sebagai berikut :
Kondisi 1 : bila cu(1)/cu(2) > 1, daya dukung batas kondisi ini menurut Mayerhof dan Hanna, 1978 adalah :
f 1 ) 1 ( u f 1
a
u(2) u
D Nc c
L
B
2 , 0 1 D
B
H 2c
L
B
1 Nc c
L
B
0,2 1 q + |
.
|

\
|
+ s + |
.
|

\
|
|
.
|

\
|
+ +
(

|
.
|

\
|
+ =
(
(
(


(2.68)
dengan :
B = lebar fondasi
L = panjang fondasi
Nc = 5,14 (faktor daya dukung untuk | = 0, lihat Tabel 2.3)
ca = adhesi sepanjang permukaan a-a (menggunakan Gambar 2.18)














Gambar 2.17. Pola keruntuhan pada tanah lempung keras di atas lempung lunak














Gambar 2.18. Hubungan nilai ca/cu(1) dan cu(2)/cu(1)
Q
u

49
Kondisi 2 : bila cu(1)/cu(2) < 1, Daya dukung batas menurut Mayerhof,1974; Mayerhof dan Hanna,1978 adalah :
t
2
f
t b t u
q
H
H
1 ) q (q q q >
|
|
.
|

\
|
+ = (2.69)
dengan :
f 1 u(1) t
D Nc c
L
B
0,2 1 q +
(

|
.
|

\
|
+ = (2.70)
f 2 u(2) b
D Nc c
L
B
0,2 1 q +
(

|
.
|

\
|
+ = (2.71)
Hf ~ B, dan Nc = 5,14 sebab | = 0, lihat Tabel 2.3 (2.72)

b. Pondasi di Atas Tanah Pasir atau Pasir Padat Di Atas Lempung Lunak













Gambar 2.19. Pola keruntuhan tanah pasir di atas tanah lempung

Apabila pondasi terletak pada lapisan pasir bagian atas yang cukup tebal maka keruntuhan geser ditunjukkan
gambar 2.19 sebelah kanan. Daya dukung batas menurut Mayerhof (1974) dalam kondisi ini untuk fondasi
menerus adalah :
f s
f
u
D
B
tan
K .
H
D 2
1 . H Nc . c q +
|
|
.
|

\
|
+ + = (2.73)
dengan qu maksimum sebesar :
q f u
N D BN q + =

(2.74)
Untuk fondasi segi empat besarnya daya dukung batas adalah :
f s
f 2
c u u
D
B
tan
.K
H
2D
1 H .
L
B
1 N c
L
B
0,2 1 q +
|
|
.
|

\
|
+ |
.
|

\
|
+ +
(

|
.
|

\
|
+ = (2.75)
dengan nilai qu maksimum sebesar :
q f u
N D BN .
L
B
0,4 1 q + |
.
|

\
|
=

(2.76)
dimana :
| = sudut geser dalam tanah pasir bagian atas
= berat isi tanah pasir
Ks = koefisien perlawanan geser baji (punching shear resistance coeffient), sesuai Gambar 2.20.
N dan Nq sesuai Tabel 2.3 untuk tanah pasir
Nc = 5,14 sesuai Tabel 2.3 untuk | = 0
Sand

c = 0
Clay
cu
= 0
Sand

c = 0
Clay
cu
= 0

Q
u

50


















Gambar 2.20 hubungan Ks dan sudut geser dalam | (Mayerhof dan Hanna)

2.8. Penurunan pada Pondasi Dangkal
Penurunan pada suatu bangunan disebabkan oleh beban yang disalurkan melalui pondasi ke lapisan tanah di
bawahnya melampaui daya dukung tanah sehingga tanah mengalami pemampatan atau kelongsoran. Proses
pemampatan ini memang tidak bisa dihilangkan sama sekali, meskipun demikian dalam perencanaan harus
diusahakan sedemikian rupa sehingga penurunan yang akan terjadi nantinya tidak lebih dari yang diperbolehkan.
Karena penurunan yang berlebihan bisa mengakibatkan kerusakan bangunan tersebut (retak-retak sampai
runtuh). Penurunan pondasi fleksibel biasanya terjadi pada material lempung yang jenuh sedangkan sedangkan
penurunan pondasi kaku biasanya terjadi pada material pasir.















Gambar 2.21. Pola penurunan langsung untuk fondasi fleksibel dan kaku
51
Penurunan (settlement) pada suatu pondasi dangkal pada umumnya dibedakan menjadi dua kelompok besar,
berdasarkan waktu dan proses terjadinya, yaitu:
1. Penurunan segera (immediate settlement) atau penurunan elastis.
Penurunan terjadi akibat dari deformasi elastis tanah kering, basah atau jenuh air tanpa adanya
perubahan kadar air dalam tanah. Penurunan ini biasanya langsung terjadi setelah pembebanan
dilaksanakan dan perhitungan penurunannya didasarkan pada teori elastisitas.
2. Penurunan konsolidasi (consolidation settlement)
Penurunan yang merupakan hasil perubahan volume tanah jenuh air sebagai akibat dari keluarnya air dari
pori-pori tanah. Besarnya penurunan ini tergantung pada waktu dan kemampatan dari tanah (terjadi pada
tanah lempung). Penurunan jenis ini terdapat dua macam, yaitu : penurunan konsolidasi primer dan
sekunder.

Dari uraian di atas didapatkan total penurunan sebesar :
St = Se + Scp + Scs (2.77)
dengan :
St = penurunan total yang terjadi
Se = penurunan segera/seketika
Scp = penurunan konsolidasi primer
Scs = penurunan konsolidasi sekunder

Penurunan konsolidasi sekunder terjadi setelah penurunan konsolidasi primer selesai, yaitu pada saat tekanan
air pori sama dengan nol. Penurunan tersebut masih tetap terjadi disebabkan adanya penyusunan kembali
partikel-partikel tanah atau penyesuaian plastis butiran tanah yang berada di bawah pondasi. Tahap konsolidasi
ini yang dinamakan dengan konsolidasi sekunder.

a. Penurunan Segera (immediate settlement)
Persamaan untuk menghitung penurunan segera dari sebuah pondasi telapak di-kembangkan berdasarkan
teori elastis dari Timosenko dan Goodier (1951) dan Harr (1966) adalah sebagai berikut :
2
) (1
E
B.q
S
2
s
s
o
e
o
= (di sudut pondasi fleksibel) (2.78)
o = ) (1
E
B.q
S
2
s
s
o
e
(di pusat pondasi fleksibel) (2.79)
dengan :
Se = penurunan seketika
qo = tekanan bersih yang dibebankan
B = lebar pondasi
Es = modulus elastisitas tanah [Modulus Young] (Tabel 2.6)
= angka poisson (Tabel 2.6.)
o = faktor pengaruh yang tergantung dari bentuk pondasi (2.80), (Tabel 2.7) atau (Gambar 2.22.)
[untuk titik sudut empat persegi panjang] = Ip
(
(

|
|
.
|

\
|
+
+ +
+
|
|
.
|

\
|
+
+ +
t
= = o
1 m 1
1 m 1
ln . m
m m 1
m m 1
ln
1
I
2
2
2
2
p
(2.80)
dengan :
m = L/B
L = panjang pondasi
B = lebar pondasi
52
Tabel 2.6. Nilai modulus elastisitas tanah, Es (Youngs modulus) dan rasio Poisson beberapa jenis tanah
Jenis tanah
Modulus of Elasticity, Es
Poissons Ratio,
lb/in
2
MN/m
2

Loose sand 1.500-3.500 10,35-24,15 0,20-0,40
Medium dense sand 2.500-4.000 17,25-17,60 0,25-0,40
Dense sand 5.000-8.000 34,50-55,20 0,30-0,45
Silty sand 1.500-2.500 10,35-17,25 0,20-0,40
Sand and gravel 10.000-25.000 69,00-172,50 0,15-0,35
Soft clay 600-3.000 4,1-20,4
Medium clay 3.000-6.000 20,7-41,4 0,20-0,50
Stiff clay 6.000-14.000 41,4-96,6

Tabel 2.7 Faktor pengaruh o untuk bagian-bagian pondasi dengan berbagai bentuk
Fleksibel Kaku
or Bentuk Pusat Titik sudut Rata-rata (oav)
Lingkaran 1,00 0,64 (tepi) 0,85 0,88
Bujursangkar 1,12 0,56 0,95 0,82
Empat persegi panjang
B/L = 1,5 1,36 0,68 1,15 1,06
= 2,0 1,53 0,77 1,30 1,20
= 5,0 2,10 1,05 1,83 1,70
= 10,0 2,54 1,27 2,25 2,10
= 100,0 4,01 2,00 3,69 3,40















Gambar 2.22. Hubungan nilai o, oav, dan or

Nilai o untuk berbagai perbandingan panjang dan lebar pondasi (L/B) ditunjukkan dengan grafik 2.22.
Penurunan seketika rata-rata untuk pondasi fleksibel menjadi :
av
2
s
s
o
e
) (1
E
B.q
S o = (2.81)
Untuk pondasi kaku maka penurunan langsung adalah
r
2
s
s
o
e
) (1
E
B.q
S o = (2.82)
Nilai oav dan or menggunakan grafik 2.22.
Menurut Schleicher dan ahli yang lain, faktor pengaruh untuk sebuah pondasi telapak yang kaku berbentuk
empat persegi panjang adalah kira-kira 7% lebih kecil daripada untuk pondasi telapak yang fleksibel.
53
a.1. Penurunan Seketika pada Lempung Jenuh
Menurut Janbu dan Bjerrum (1956) rumus penurunan elastis rata-rata pada pondasi lentur yang berada
di atas lapisan tanah lempung jenuh (angka poisson = 0,5) adalah:
s
.
o
2
.
1 e
E
B q
A A S = (2.83)
dengan :
A1 = fungsi dari Df/B Gambar 2.24.
A2 = fungsi dari H/B dan L/B Gambar 2.23.
H = ketebalan lapisan tanah lempung dari dasar telapak fondasi.



















Grafik 2.23. Hubungan nilai A2 dengan Df/B


















Grafik 2.24. Hubungan nilai A1 dengan H/B dan L/B
54
a.2. Penurunan Seketika pada Tanah Berpasir
Penurunan elastik pada tanah berpasir dihitung dengan memasukkan faktor regangan (strain influence
factor) yang ditemukan oleh Hortman dan Schmertman (1978) ke dalam persamaan seperti dibawah ini :
z
E
I
q) q ( C C S
2
z
0 s
z
2 1 e
= (2.84)
dengan :
Iz = faktor regangan
C1 = faktor koreksi timbunan pondasi
( )
(

=
q q
q
5 , 0 1
C2 = faktor koreksi rayapan (creep) = 1 + 0,2 . log (t/0,1)
t = waktu yang ditinjau (dalam tahun)
q = . Df ; = berat isi tanah
Df = kedalaman pondasi ; Es = modulus Young
q = beban merata yang bekerja pada dasar pondasi
B . L
Q
=

Variasi harga Iz untuk pondasi berbentuk persegi dan lingkaran diberikan sebagai berikut, Gambar 2.25 :
Iz = 0,1 pada kedalaman z = 0
Iz = 0,5 pada kedalaman z = z1 = 0,5.B
Iz = 0 pada kedalaman z = z2 = 2.B

Variasi Iz untuk pondasi dengan nilai L/B > 10 adalah :
Iz = 0,2 pada kedalaman z = 0
Iz = 0,5 pada kedalaman z = z1 = B
Iz = 0 pada kedalaman z = z2 = 4.B
Untuk nilai perbandingan L/B antara 1 dan 10 nilai-nilai Iz bisa diperoleh dengan cara interpolasi.
Dengan, B = lebar fondasi sedangkan L = panjang fondasi.




















55
Grafik 2.25. Variasi faktor pengaruh regangan Iz di bawah dasar pondasi
Menentukan Iz dari data tanah yang ada :
1. Dari data tanah yang ada gambarkan penampang pondasi dengan lebar B yang ada
2. Tentukan kedalaman tanah yang diperkirakan mengalami penurunan dengan menggunakan
batasan 2B atau 4B sesuai dengan bentuk pondasi
3. Dengan menggunakan titik bantu Iz yang ada, tentukan garis regangan dengan nilai regangan
maksimum 0,5
4. Tentukan jumlah lapisan yang digunakan dalam perhitungan penurunan
5. Tentukan nilai Iz pada tengah-tengah setiap lapisan yang merupakan perpotongan dengan garis
regangan.
6. Menghitung besarnya penurunan yang terjadi dengan menggunakan rumus 2.84.

Menentukan nilai Es dan berbagai jenis tanah
Besarnya nilai-nilai Es dan untuk keperluan praktis dapat dicari dengan menggunakan bantuan Tabel
2.6. Tetapi biasanya angka-angka tersebut diperoleh dari hasil pengujian tanah di laboratorium.
Selain itu harga Es dan dapat juga diperoleh berdasarkan besarnya nilai N (dari pengujian SPT) atau
nilai tahanan penetrasi ujung qc (hasil pengujian sondir di lapangan) dengan menggunakan rumus yang
diberikan Schmertmann, Mitchell dan Gardner (1975) seperti di bawah ini :

Es (kN/m
2
) = 766 N atau Es (ton/ft
2
) = 8 N (2.85)
Es = 2.qc (2.86)
dengan :
qc = perlawanan nilai tahanan konus

Sedangkan Schmertmann dan Hartman (1978) memberikan koreksi nilai-nilai tersebut:
Es = 2,5 qc (untuk pondasi persegi dan lingkaran) (2.87)
Es = 3,5 qc (untuk pondasi menerus) (2.88)


Untuk lempung nilai Modulus Young adalah :
- Untuk tanah lempung yang terkonsolidasi normal (normally consolidated clays)
Es = 250.c ~ 500.c (2.89)
- Untuk tanah lempung yang terkonsolidasi berlebihan (overconsolidated clays)
Es = 750.c ~1000.c (2.90)
dengan :
c = kohesi undrained untuk tanah lempung.
56

b. Penurunan Konsolidasi (consolidation settlement)
Besarnya penurunan konsolidasi pada tanah lempung atau tanah yang berlempung dapat dicari dengan
memakai persamaan di bawah ini:

Untuk lempung terkonsolidasi normal (normally consolidated clays) :
o
av o
o
c c
c
p
p p
log
e 1
H C
S
+
+
=

(2.91)
Untuk lempung terkonsolidasi berlebihan (over consolidated clays) :
o
av o
o
c s
c
p
p p
log
e 1
H C
S
+
+
=

[untuk (po + pav) < pc] (2.92)
o
av o
o
c s
o
c
o
c s
c
p
p p
log
e 1
H C
p
p
log
e 1
H C
S
+
+
+
+
= [untuk po < pc < po + pav] (2.93)
dimana :
po = tegangan efektif rata-rata pada tiap lapisan sebelum pondasi dibangun
Ap = penambahan tegangan rata-rata pada lapisan lempung akibat beban yang bekerja
pc = preconsolidation pressure
eo = angka pori awal
Cc = indeks kompresibilitas tanah
Cs = indeks pemuaian tanah = Cr
Hc = tebal lapisan yang ditinjau



























Gambar 2.26. Cara menghitung penurunan konsolidasi

57
Besarnya nilai penambahan tegangan rata-rata pada lapisan lempung Ap dihitung dengan persamaan
sebagai berikut (Gambar 2.26) :
Apav = 1/6 . (Apt + 4.Apm + Apb) (2.94)
dengan :
Apt = penambahan tegangan pada batas atas lapisan
Apm = penambahan tegangan pada tengah lapisan
Apb = penambahan tegangan pada batas bawah lapisan

Tabel 2.8 Angka pori e dan berat isi kering d dari beberapa contoh tanah
Type of soil Void ratio (e)
Dry unit weight
(d) [kN/m
3
]
Loose uniform sand 0,8 14,5
Dense uniform sand 0,45 18
Loose angular-grained silty sand 0,65 16
Dense angular-grained silty sand 0,4 19
Stiff clay 0,6 17
Soft clay 0,9 14 11,5 14,5
Loess 0,9 13,5
Soft organic clay 2,5 3,2 6 8
Glacial till 0,3 21

Indeks Pemampatan (Cc)
Menurut Terzaghi dan Peck, untuk menentukan besarnya indeks pemampatan bisa digunakan
persamaan empiris sebagai berikut :
- Untuk lempung yang struktur tanahnya belum terganggu Cc = 0,009 (LL-10)
- Untuk lempung yang dibentuk kembali (remolded) Cc = 0,007 (LL-10)
LL = batas cair [%, dalam persen]

Indeks Pemuaian (Cs)
Nilai Cs lebih kecil dari nilai Cc yang besarnya dapat ditentukan dengan pengujian di laboratorium.
Nilai Cs tersebut biasanya berkisar antara Cs = 0,2 Cc sampai dengan Cs = 0,25 Cc.

58

c. Penurunan Izin
Beberapa contoh tipe penurunan bangunan dapat dilihat pada Gambar 2.27. Gambar (a) menunjukkan
penurunan seragam, biasanya banyak ditemui pada bangunan sangat kaku. Gambar (b) menunjukkan
bangunan miring akibat beda penurunan dari ujung ke ujung bangunan, sehingga bangunan berotasi.
Gambar (c) menunjukkan bangunan yang mengalami penurunan tidak seragam yang dalam
perancangannya dinyatakan dalam = S = Smaks Smin dan nilai distorsi kaku (/L).
Penurunan ijin suatu bangunan (besarnya penurunan toleransi) tergantung dari beberapa faktor, antara
lain : jenis, tinggi, kekakuan, fungsi bangunan, besar dan kecepatan penurunan serta distribusinya.
















Gambar 2.27. Tipe Penurunan Pondasi

Skempton dan MacDonald (1955) menyarankan batas penurunan maksimum (tidak untuk penurunan tak
seragam) seperti pada Tabel 2.9.
Jenis Pondasi Smaks (mm)
Pondasi terpisah pada tanah lempung 65
Pondasi terpisah pada tanah pasir 40
Pondasi rakit pada tanah lempung 65 100
Pondasi rakit pada tanah pasir 40 65

Sedangkan Bjerrum (1963b) menyarankan antara tipe masalah struktur dan nilai distorsi kaku (/L)
seperti Tabel 2.10 dan Gambar 2.28.
Tipe masalah /L
Kesulitan pada mesin yang sensitif terhadap penurunan 1/700
Bahaya pada rangka-rangka dengan diagonal 1/600
Nilai batas untuk bangunan yang tidak diizinkan retak 1/500
Nilai batas dengan retakan pertama diharapkanterjadi pada dinding-dinding panel
atau dengan kesulitan terjadi pada overhead crane
1/300
Nilai batas dengan penggulingan (miring) bengunan tingkat tinggi dapat terlihat 1/250
Retakan signifikan dalam panel dan tembok.
Batasan yang aman untuk dinding tembok fleksibel dengan h/L <
(h = tinggi dinding)
1/150

59































Gambar 2.28. Hubungan penurunan maksimum, penurunan tidak seragam maksimum dan distorsi aku
maksimum untuk tanah lempung dan pasir















60
BAB III
PONDASI DALAM
(DEEP FOUNDATION)



Tujuan umum :
Mahasiswa diharapkan mengetahui secara umum tentang definisi, jenis dan pemilihan tipe pondasi dalam.
Tujuan Khusus :
Mahasiswa diharapkan dapat memahami fungsi pondasi dalam, mengerti jenis pondasi dalam dan dapat
memilih tipe pondasi dalam sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

3.1 Fungsi Pondasi Tiang
Secara umum fungsi bangunan pondasi adalah untuk meneruskan gaya yang diterimanya ke tanah
dasar pondasi. Sedangkan pondasi dalam umumnya digunakan apabila lapisan tanah kuat (keras) terletak
sangat dalam. Berdasarkan ketentuan umum, pemilihan tipe pondasi dapat dilakukan sebagai berikut :





Gambar 3.1 Kriteria umum pemilihan tipe pondasi

Pondasi tiang digunakan untuk beberapa maksud, antara lain :
1. meneruskan beban bangunan yang terletak di atas tanah lunak/air ke lapisan tanah pendukung yang kuat
2. mampu memberikan dukungan yang cukup untuk mendukung beban bangunan melalui gesekan dinding
tiang dengan tanah sekitar (lapisan tanah keras relatif dalam)
3. menahan beban horisontal dan beban yang arahnya miring (misal : dinding penahan, pondasi dermaga)
4. menahan beban bangunan untuk tanah mengembang (expansive soil) akibat kembang-susut tanah karena
perubahan musim tropis (kemarau hujan)
5. mengangker bangunan yang dipengaruhi oleh gaya angkat ke atas akibat tekanan hidrostatis atau momen
penggulingan (misal : tower transmisi, bangunan lepas pantai, pondasi papan reklame)
6. mendukung pondasi bangunan yang permukaan tanahnya mudah tergerus air (misal : abutment jembatan)
7. memadatkan tanah pasir sehingga kapasitas dukung tanah meningkat
Beberapa jenis pengunaan pondasi tiang dapat dilihat pada Gambar 3.2.

3.2 Tipe-tipe Pondasi Tiang
Berbagai tipe pondasi tiang sangat tergantung pada beban yang bekerja pada pondasi tersebut,
kondisi tanah sekitar, bahan pondasi yang ada dan cara-cara pelaksanaan pemancangan. Berikut perbedaan tipe
pondasi tiang pancang :

B
D
D/B < 4 pondasi telapak
4 s D/B < 10 pondasi sumuran
D/B > 10 pondasi tiang
dimana : D = kedalaman pondasi
B = lebar pondasi
61

















Gambar 3.2 Beberapa jenis pengunaan pondasi tiang

Beberapa perbedaan tipe pondasi tiang pancang :
a. Cara tiang meneruskan beban :
1) Tiang tahanan ujung (End/Point Bearing Pile), yaitu :
tiang yang meneruskan beban melalui ujungnya ke lapisan keras/baik dengan kuat dukung tinggi
2) Tiang gesekan (Friction Pile), yaitu :
tiang yang meneruskan beban melalui gesekan antara permukaan tiang dengan tanah sekelilingnya
(untuk jenis tanah pasir/nilai kuat geseknya [|] tinggi)
3) Tiang lekatan (Adhesive Pile), yaitu :
tiang yang meneruskan beban melalui lekatan antara permukaan tiang dengan tanah sekelilingnya
(untuk jenis tanah lempung/nilai kohesinya [c] tinggi)

b. Perpindahan volume tanah yang terjadi akibat pemancangan :
1) Tiang perpindahan besar (Large Displacement Pile), yaitu :
tiang pejal/berlubang dengan ujung tertutup yang dipancang ke dalam tanah sehingga terjadi perpindahan
volume tanah yang cukup besar, misal : tiang kayu, tiang beton pejal, tiang beton prategang, tiang baja
bulat yang tertutup pada ujungnya
2) Tiang perpindahan kecil (Small Displacement Pile), yaitu :
tiang dengan ujung terbuka yang dipancang ke dalam tanah sehingga perpindahan volume tanah relatif
kecil, misal : tiang beton berlubang dengan ujung terbuka, tiang baja H, tiang baja ujung terbuka, tiang ulir
3) Tiang tanpa perpindahan (Non Displacement Pile), yaitu :
tiang yang dipasang di dalam tanah dengan cara menggali atau mengebor tanah, misal : tiang bor (tiang
beton yang dicor langsung di dalam lubang hasil pengeboran tanah), pipa baja diletakkan dalam lubang
kemudian dicor dengan beton
Beberapa tipe tiang pancang berdasarkan perpindahan volume tanah akibat proses pemancangan
dapat dilihat pada Gambar 3.3, sedangkan Gambar 3.4 menunjukkan panjang maksimum dan beban maksimum
untuk berbagai macam tiang yang umum dipakai dalam praktek (Carson, 1965).
batuan
(a)
tanah lunak
(b) (c) (d)
swelling soil
stable soil
(e) (f)
daerah erosi
tanah pasir
(g)
62









Gambar 3.3 Beberapa tipe tiang pancang berdasarkan perpindahan volume tanah akibat proses pemancangan
















Gambar 3.4 Panjang dan beban maksimum untuk berbagai macam tipe tiang yang umum dipakai
dalam praktek (Carson, 1965)


c. Bahan yang dipakai :
1) Tiang kayu :
- beban yang dapat dipikul relatif kecil, untuk tiang tunggal berkisar 270 300 kN
- ukuran tergantung klasifikasi bahan dan beban yang diterima umumnya C 15 25 cm, panjang 6 8 m
- sifat mudah rusak akibat serangga atau terletak pada peralihan kondisi terendam dan kering
- dalam pelaksanaan pemancangan, bagian kepala dan ujung tiang diberi perkuatan besi agar tidak hancur
2) Tiang beton :
a) Tiang beton pracetak (Precast Reinforce Concrete Pile) :
- beban yang dapat dipikul relatif besar, untuk tiang tunggal berkisar 300 800 kN
- ukuran tiang disesuaikan dengan alat transport yang ada (trailler) dan kemampuan mesin
pemancang yang tersedia, secara umum untuk tiang tidak berlubang : C 20 60 cm, panjang 20
40 m, sedangkan untuk tiang berlubang : C s 140 cm, panjang s 60 m
- bentuk penampang : lingkaran, persegi empat, segitiga dan oktagonal (segi delapan)
- tiang dirancang agar mampu menahan gaya dan momen saat pengangkatan, tegangan saat
pemancangan dan beban yang harus dipikul dari struktur yang direncananakan
tiang pejal/
ujung tertutup
(a)
dipancang
(b) (c)
tiang berlubang penulangan
dipancang dituang adukan beton
adukan beton
lubang bor
30 ton
tiang kayu
6
0

f
t

60 ton
cor di tempat
6
0

f
t

50 ton
tiang pipa
80 ton
cor dalam
selubung
80 ton
beton pracetak
8
0

f
t

8
0

f
t

8
0

f
t

80 ton
tiang pipa di isi
100 ton
profil H
1
0
0

f
t

1
0
0

f
t

100 ton
silinder prategang
1
2
0

f
t

catt : gambar tanpa skala
63
b) Tiang beton pratekan (Precast Prestressed Concrete Pile) :
- beban yang dapat dipikul relatif besar dari pada tiang beton pracetak
- ukuran tiang dapat lebih baik dari pada tiang beton pracetak
- bentuk penampang umumnya lingkaran, berubang dengan ujung tiang tertutup
c) Tiang beton cor di tempat (Cast in place piles) :
tiang tipe ini dilakukan dengan membuat lubang terlebih dahulu, ada dua tipe tiang beton ini :
- tiang yang terselubung pipa, yaitu : pipa dipancang terlebih dahulu kemudian lubang pipa dimasuk-
kan adukan beton dan pipa ditinggal dalam tanah, misal : standar Raimond
- tiang yang tidak terselubung pipa, yaitu : pipa dipancang terlebih dahulu kemudian sambil pipa ditarik
lubang pipa dimasukkan adukan beton, misal : tiag Franki
3) Tiang baja :
- beban yang dapat dipikul sangat besar, untuk tiang tunggal dapat menahan beban hingga 1000 kN
- umumnya berbentuk pipa (baik yang terbuka/tertutup), profil H, WF (I), segi enam dll.
- kelemahannya adalah bersifat korosif terhadap asam dan air
- mudah dalam pelaksanaan pemancangan dan penyambungan
- untuk menembus jenis-jenis tanah keras, ujung tiang diberi sepatu agar tidak mudah rusak

4) Tiang komposit :
Merupakan kombinasi antara dua material yang berbeda (misal : kayubeton, bajabeton), kombinasi
bahan tiang pancang/tiang bor ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan pada kondisi tanah tertentu
(misal : untuk tanah korosif perlu kombinasi bajabeton, problem pembusukan tiang kayu dapat diatasi
dengan kombinasi kayubeton).

d. Cara pemancangan tiang :
1) Metode pukulan :
pada prinsipnya, tiang didirikan di atas tanah dengan ujung tiang pada bagian bawah dan ujung kepala
tiang dipukul agar ujung tiang pancang dapat masuk ke dalam tanah tanah. Alat pemukul berupa
palu/hammer yang beratnya disesuaikan dengan tiangnya. Alat bantu lain berupa mobil craine atau tripod.
2) Metode getaran (vibration) :
pada prinsipnya, getaran dihasilkan oleh benda dengan sumbu eksentris yang diputar dibagian ujung
kepala tiang yang diteruskan ke ujung tiang lainya, sehingga struktur tanah berubah lebih lunak dan tiang
lebih mudah masuk ke dalam tanah. Alat ini mempunyai kelebihan dibandingkan metode pukulan karena
tidak menimbulkan polusi suara dan getaran yang lembut tidak menimbulkan kerusakan pada bangunan-
bangunan disekitar pemancangan
3) Metode semprotan air (jetting) :
pada prinsipnya, metode ini memanfaatkan semprotan air dengan tekanan tinggi melalui pipa-pipa yang
ditempatkan di sekeliling tiang, akibat semprotan air maka butir-butir tanah menjadi lepas dan kuat dukung
tanah menurun tajam sehingga tiang mudah masuk ke dalam tanah, umumnya digunakan untuk tanah
granuler (berbutir pasir).


64
3.3 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis dan dimensi tiang
Pemilihan jenis dan dimensi tiang pancang/taing bor perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. lokasi dan tipe bangunan
b. keadaan/kondisi tanah
c. daya dukung aksial dan lateral/horisontal
d. ketersediaan peralatan (alat pemancangan dan alat transpor)
e. pertimbangan lingkungan (polusi suara, akses jalan dan gangguan sewaktu pemancangan lainnya)
f. ketahanan tiang (mulai dari pengangkutan, pemancangan hingga beban bangunan bekerja)
g. nilai ekonomis

3.4 Syarat-syarat dalam Perencanaan Pondasi Tiang
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam perencanaan pondasi tiang :
a. Beban yang diterima oleh pondasi tidak melebihi daya dukung tanah maupun kekuatan bahan tiang
untuk menjamin keamanan bangunan
b. Pembatasan penurunan yang terjadi pada bangunan lebih kecil dari batas maksimum penurunan yang
diperbolehkan dan tidak merusak struktur
c. Pengendalian atau pencegahan efek pelaksanaan konstruksi pondasi, misal : getaran saat pemancang-
an, galian atau pekerjaan pondasi yang lain untuk membatsi pergerakan bangunan atau struktur lain
di sekitar lokasi pkerjaan pondasi.

65
BAB IV
DAYA DUKUNG TIANG PANCANG TUNGGAL




Tujuan umum :
Mahasiswa diharapkan mengetahui secara umum rumus-rumus menghitung daya dukung tiang tunggal.
Tujuan Khusus :
Mahasiswa diharapkan dapat menghitung daya dukung tiang tunggal sesuai dengan kondisi tanah yang ada.

4.1 Perhitungan Daya Dukung Tiang
Perhitungan daya dukung tiang dapat dilakukan dengan cara pendekatan : statis dan dinamis. Per-
hitungan daya dukung secara statis dilakukan menurut teori Mekanika Tanah, yaitu : penggunaan parameter-
parameter geser tanah (c dan |), sedangkan perhitungan secara dinamis dilakukan dengan menganalisa daya
dukung batas (ultimit) dengan data yang diperoleh dari data pemancangan tiang.
Hasil hitungan pendekatan statis kadang-kadang masih perlu dicek dengan mengadakan pengujian
tiang untuk menyakinkan hasilnya. Adanya variasi kondisi tanah, tipe pelaksanaan pemancangan, tipe tiang di
cetak di luar / dicor di tempat, tiang berdinding rata / gelombang, tiang terbuat dari baja / beton dll. Semua faktor
tersebut sangat berpengaruh pada faktor gesekan antara dinding tiang dan tanah sehingga akan mempengaruhi
daya dukung tiang.

4.2 Daya Dukung Berdasarkan Kekuatan Struktur Bahan Tiang
Jenis bahan (material) pondasi tiang tergantung pada besarnya beban yang direncanakan, kondisi
lapisan tanah pendukung serta elevasi muka air tanah.
Kekuatan struktur tiang tanpa memperhitungkan pengaruh tekuk, maka daya dukung tiang tersebut di-
tentukan oleh tegangan ijin dari bahan tiang yang dipakai, sehingga dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
P/ A o= so (4.1)
dimana :
o = tegangan pada penampang tiang
o = tegangan ijin bahan dari tiang
P = beban total konstruksi bangunan atas
A = luas penampang tiang

4.3 Daya Dukung Tiang Berdasarkan Cara Statis (Teori Mekanika Tanah)
Perhitungan didasarkan pada penggunaan parameter-parameter geser tanah (c dan |) untuk meng-
hitung kekuatan geser tanah pendukung. Harga c dan | diperoleh melalui pengujian di laboratorium maupun uji
di lapangan. Secara umum perhitungan statis ini dikategorikan dalam 2 (dua) kelompok utama, yaitu : tiang
tahanan ujung (end bearing piles) dan tiang gesekan dinding/kulit (fraction piles). Dua kelompok utama tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4.1.


66










Gambar 4.1 (a) dan (b) end/point bearing piles (c) friction piles

a. Persamaan Umum Daya Dukung Tiang Tunggal
Kapasitas beban ulimit (batas/maksimum) pada tiang (Qu) = tahanan ujung bawah ultimit (Qp) + tahanan
gesek ultimit (Qs) antara dinding dan tanah berat sendiri tiang (Wp).
Qu = Qp + Qs Wp (4.2)
Qall = Qu SF (4.3)
dimana :
Qu = daya dukung tiang ultimit (batas) Qp = daya dukung ujung tiang
Qall = daya dukung tiang ijin Qs = daya dukung gesekan selimut tiang
Wp = berat sendiri tiang SF = faktor keamanan (safety factor)

b. Daya Dukung Ujung Tiang (Qp)
Daya dukung ujung tiang secara pendekatan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan daya dukung
ultimit pondasi dangkal, sebagai berikut :
p
p p c q
p
Q
q c .N * q.N * 0,5. .D.N *
A

= = + + (4.4)
dimana :
qp = tahanan ujung per satuan luas tiang [kN/m]
Qp = daya dukung ujung tiang [kN]
Ap = luas penampang ujung tiang [m]
c = kohesi tanah pada ujung tiang [kN/m]
q = . z = tekanan vertikal (overburden) pada ujung tiang [kN/m]
= berat volume tanah [kN/m]
D = diameter tiang [m]
Nc*, Nq*, N

* = faktor daya dukung yang memasukkan faktor bentuk dan faktor kedalaman tiang (fungsi dari
sudut gesek tanah, |)
batuan
(a)
tanah lunak
(c) (b)
Qs
lapisan
tanah keras
Qu Qu Qu
L L
Lb
tanah lunak
Qp Qp Qp
Qu ~ Qp Qu ~ Qp Qu ~ Qs
Qs
L
67
Dalam kenyataannya nilai 0,5..D.N

relatif kecil (diabaikan) dan tekanan vertikal (overburden) merupakan


tekanan vertikal efektif (q), maka persamaan (4.4) dapat ditulis menjadi berikut :
Qp = qp . Ap = Ap . (c.Nc* + q.Nq*) (4.5)
dimana :
Qp = daya dukung ujung tiang [kN]
qp = tahanan ujung per satuan luas tiang / satuan perlawanan ujung tiang [kN/m]
Ap = luas penampang ujung tiang [m]
c = kohesi tanah pada ujung tiang [kN/m]
q = . z = tekanan vertikal (overburden) efektif pada ujung tiang [kN/m]
= berat volume tanah [kN/m]
Nc*, Nq* = faktor daya dukung yang memasukkan faktor bentuk dan faktor kedalaman tiang (fungsi dari
sudut gesek tanah, |)

Selanjutnya akan dibahas cara menghitung daya dukung ujung tiang berdasarkan cara : Mayerhof, Vesics,
Janbus dan Coyle-Catello.

Cara Mayerhof (1976) :
Dalam perhitungnya Mayerhof menggunakan asumsi sebagai berikut :
1) Satuan perlawanan ujung tiang (qp) pada tanah berpasir (granuler) akan meningkat sesuai dengan
ketebalan lapisan pendukung dan mencapai harga maksimum pada Lb/D = (Lb/D)cr, dimana : Lb adalah
ketebalan tanah homogen yang sama dengan panjang tiang (L), lihat Gambar 4.2. dan Gambar 4.1.(b)
2) Bila tiang pancang sampai kedalaman pendukung dimana Lb < L (Gambar 4.2), maka nilai qp konstan (qp
= ql)
3) Hubungan nilai (Lb/D)cr dan sudut gesek dalam (|) ditunjukkan pada Gambar 4.3
4) Faktor daya dukung meningkat dengan Lb/D dan mencapai harga maksimum pada Lb/D ~ 0,5.(Lb/D)cr
5) Faktor daya dukung Nc* dan Nq* menggunakan Gambar 4.4.









Gambar 4.2 Nilai unit perlawanan ujung tiang (qp) pada tanah pasir homogen

qp = q
l

L/D = Lb/D
(Lb = D)cr
unit point
resistant,
qp
68














Gambar 4.3 Hubungan (Lb/D)cr dan sudut geser dalam (Mayerhof, 1967)















Gambar 4.4 Hubungan nilai Nc* dan Nq* maksimum dan sudut gesek dalam, | (Mayerhof, 1976)

Daya dukung ujung tiang pada tanah berpasir (granuler), c = 0 adalah :
Qp = qp . Ap = Ap . q.Nq* (4.6)
Harga Qp tidak boleh melampaui harga batas Ap. ql, sehingga
Qp = Ap . q.Nq* s Ap. ql (4.7)


69
Dengan harga perlawanan ujung batas (ql) adalah :
ql [kN/m] = 50 . Nq* tan | (4.8)
ql [lb/ft] = 1000 . Nq* tan | (4.9)
dimana :
ql = perlawanan ujung batas (ultimit) [kN/m] atau [lb/ft]
| = sudut gesek dalam []
Ap = luas penampang tiang [m atau ft]
Np = faktor daya dukung tanah

Berdasarkan penyelidikan lapangan, Mayerhof menyarankan besarnya perlawanan ujung batas (ql) pada
tanah berbutir yang homogen (L = Lb), menggunakan data Standart Penetration Test (SPT) sebagai berikut :
ql [kN/m] = 40 . N.L/D s 400 N (4.10)
ql [lb/ft] = 800 . N.L/D s 800 N (4.11)
dimana :
N = nilai SPT rata-rata disekitar ujung tiang (10.D diatas ujung tiang dan 4.D dibawah ujung tiang)
L = ketebalan tanah homogen setebal L [m]
D = diameter tiang pancang [m]

Bila tiang pancang pada tanah berpasir yang lepas di atas lapisan pasir padat maka satuan perlawanan
ujung tiang seperti Gambar 4.5 dapat dihitung dengan perumusan sebagai berikut :
(d) ( ) b
p ( ) (d)
[q q ].L
q q q
10.D

= + s
l l l
l l l
(4.12)
dimana :
ql(l) = satuan perlawanan unjung batas (ultimit) pasir lepas (loose sand), yang ditentukan dari persamaan
4.8 dan 4.9 dengan menggunakan harga maksimum Nq* dan | pasir lepas
ql(d) = satuan perlawanan unjung batas (ultimit) pasir padat (dense sand), yang ditentukan dari
persamaan 4.8 dan 4.9 dengan menggunakan harga maksimum Nq* dan | pasir padat
Lb = panjang tiang yang tertanam pada lapisan pasir padat.









Gambar 4.5 Variasi hubungan unit perlawanan ujung tiang pada tanah berlapis
q
l(d)

depth
loose sand
unit point
resistant,
qp
q
l(l)

L
Lb
dense sand
70
Daya dukung ujung tiang pada tanah lempung jenuh, | = 0 adalah :
Qp = qp . Ap = Ap .c.Nc* = 9 . cu . Ap (4.13)
dimana :
Qp = daya dukung ujung tiang [kN]
qp = tahanan ujung per satuan luas tiang / satuan perlawanan ujung tiang [kN/m]
Ap = luas penampang ujung tiang [m]
cu = kohesi tanah lempung diujung tiang

Daya dukung ujung tiang pada tanah tanah kohesif dengan nilai | (c |) = 0, maka daya dukung ujung batas
dapat dihitung dengan persamaan 4.5.
Qp = qp . Ap = Ap . (c.Nc* + q.Nq*) (4.5)


Cara Vesics (1977) :
Dalam analisanya Vesics mengusulkan cara perhitungan daya dukung tiang dengan teori : expansion of
cavities, teori ini berdasarkan parameter tegangan efektif sebagai berikut :
Qp = qp . Ap = Ap . (c.Nc* + oo.N
o
*) (4.14)
dimana :
oo = tegangan efektif rata-rata di bagian bawah ujung tiang
o
0
1 2.K
' q'
3
+ | |
o =
|
\ .
(4.15)
Ko = koefisien tekanan tanah dalam kondisi diam = 1 sin | (4.16)
Nc* , N
o
* = faktor daya dukung tanah dengan memakai persamaan 4.5. yang dimodifikasi menjadi per-
samaan 4.14.
Hubungan nilai Nc* pada rumus 4.14 menjadi :
Nc* = (Nq* 1) . cot | (4.17)
N
o
* = f (Irr) (4.18)
Irr = reduce rigidity index for the soil
r
rr
r
I
I
1 I .
=
+ A
(4.19)
I
r
= rigidity index for the soil
s s
r
s
E G
I
2.(1 )(c q' .tan ) c q' .tan
= =
+ + + | |
(4.20)
dimana :
Es = modulus elastisitas tanah
s = angka poissons
Gs = modulus geser tanah
A = regangan rata-rata pada daerah plastis di ujung tiang
71
Pada kondisi tidak ada perubahan volume (pada tanah pasir atau lempung jenuh), maka A = 0, sehingga :
Ir = Irr (4.21)

Harga Nc* dan oo selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1, sedangkan harga Ir dapat digunakan tabel
sebagai berikut :
No. Jenis Tanah Ir
1.
2.
3.
Pasir (DR = 0,5 0,8)
Lanau dan lempung (drained condition)
Lempung (undrained condition)
75 150
50 100
100 200

Tabel 4.1 Harga Nc* dan N
o
*
Irr
| 10 20 40 60 80 100 200 300 400 500
0
6.97 7.90 8.82 9.36 9.75 10.04 10.97 11.51 11.80 12.19
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1
7.34 8.37 9.42 10.04 10.49 10.83 11.92 12.57 13.03 13.39
1.13 1.15 1.16 1.18 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.23
2
7.72 8.87 10.06 10.77 11.28 11.69 12.96 13.37 14.28 14.71
1.27 1.31 1.35 1.38 1.39 1.41 1.45 1.48 1.50 1.51
3
8.12 9.40 10.74 11.55 12.14 12.61 14.10 15.00 15.66 16.18
1.43 1.49 1.56 1.61 1.64 1.66 1.74 1.79 1.82 1.85
4
8.54 9.96 11.47 12.40 13.07 13.61 15.34 16.40 17.18 17.80
1.60 1.70 1.80 1.87 1.91 1.95 2.07 2.15 2.20 2.24
5
8.99 10.56 12.25 13.30 14.07 14.69 16.69 17.94 18.86 19.59
1.79 1.92 2.07 2.16 2.23 2.28 2.46 2.57 2.65 2.71
6
9.45 11.19 13.08 14.26 15.14 15.85 18.17 19.62 20.70 21.56
1.99 2.18 2.37 2.50 2.59 2.67 2.91 3.06 3.18 3.27
7
9.94 11.85 13.96 15.30 16.30 17.10 19.77 12.46 22.71 23.73
2.22 2.46 2.71 2.88 3.00 3.10 3.43 3.63 3.79 3.91
8
10.45 12.55 14.90 16.41 17.54 18.45 21.51 23.46 24.93 26.11
2.47 2.76 3.09 3.31 3.46 3.59 4.02 4.30 4.50 4.67
9
10.99 13.29 15.91 17.59 18.87 19.90 23.39 25.64 27.35 28.73
2.74 3.11 3.52 3.79 3.99 4.15 4.70 5.06 5.33 5.55
10
11.55 14.08 16.97 18.86 20.29 21.46 25.43 28.02 29.99 31.59
3.04 3.48 3.99 4.32 4.58 4.78 5.48 5.94 6.29 6.57
11
12.14 14.90 18.10 20.20 21.81 23.13 27.64 30.61 32.87 34.73
3.36 3.90 4.52 4.93 5.24 5.50 6.37 6.95 7.39 7.75
12
12.76 15.77 19.30 21.64 23.44 24.92 30.03 33.41 36.02 38.16
3.71 4.35 5.10 5.60 5.98 6.30 7.38 8.10 8.66 9.11
13
13.41 16.69 20.57 23.17 25.18 26.84 32.60 36.46 39.44 41.89
4.09 4.85 5.75 6.35 6.81 7.20 8.53 9.42 10.10 10.67
14
14.08 17.65 21.92 24.80 27.04 28.89 35.38 39.75 43.15 45.96
4.51 5.40 6.47 7.18 7.74 8.20 9.82 10.91 11.76 12.46
15
14.79 18.66 23.35 26.53 29.02 31.08 38.37 43.32 47.18 50.39
4.96 6.00 7.26 8.11 8.78 9.33 11.28 12.61 13.64 14.50
16
15.53 19.73 24.86 28.37 31.13 33.43 41.58 47.17 51.55 55.20
5.45 6.66 8.13 9.14 9.93 10.58 12.92 14.53 15.78 16.83
17
16.30 20.85 26.46 30.33 33.37 35.92 45.04 51.32 56.27 60.42
5.98 7.37 9.09 10.27 11.20 11.98 14.77 16.69 18.20 19.47
18
17.11 22.03 28.15 32.40 35.76 38.59 48.74 55.80 61.38 66.07
6.56 8.16 10.15 11.53 12.62 13.54 16.84 19.13 20.94 22.47
19
17.95 23.26 29.93 34.59 38.30 41.42 52.71 60.61 66.89 72.18
7.18 9.01 11.31 12.91 14.19 15.26 19.15 21.87 24.03 25.85
20
18.83 24.56 31.81 36.92 40.99 44.43 56.97 65.79 72.82 78.78
7.85 9.94 12.58 14.44 15.92 17.17 21.73 24.94 27.51 29.67
21
19.75 25.92 33.80 39.38 43.85 47.64 61.51 71.34 79.22 85.90
8.58 10.95 13.97 16.12 17.83 19.29 24.61 28.39 31.41 33.97
22
20.71 27.35 35.89 41.98 46.88 51.04 66.37 77.30 86.09 93.57
9.37 12.05 15.50 17.96 19.94 21.62 27.82 32.23 35.78 38.81
72
Lanjutan : Tabel 4.1 Harga Nc* dan N
o
*
Irr
| 10 20 40 60 80 100 200 300 400 500
23
21.71 28.84 38.09 44.73 50.08 54.66 71.56 83.68 93.47 101.83
10.21 13.24 17.17 19.99 22.26 24.20 31.37 36.52 40.68 44.22
24
22.75 30.41 40.41 47.63 53.48 58.49 77.09 90.51 101.39 110.70
11.13 14.54 18.99 22.21 24.81 27.04 35.32 41.30 46.14 50.29
25
23.84 32.05 42.85 50.69 57.07 62.54 82.98 97.81 109.88 120.23
12.12 15.95 20.98 24.64 27.61 30.16 39.70 46.61 52.24 57.06
26
24.98 33.77 45.42 53.93 60.87 66.84 89.25 105.61 118.96 130.44
13.18 17.47 23.15 27.30 30.69 33.60 44.53 52.51 59.02 64.62
27
26.16 35.57 48.13 57.34 64.88 71.39 95.02 113.92 128.67 141.39
14.33 19.12 25.52 30.21 34.06 37.37 49.88 59.05 66.56 73.04
28
27.40 37.47 50.96 60.93 69.12 76.20 103.01 122.79 139.04 153.10
15.57 20.91 28.10 33.40 37.75 41.51 55.77 66.29 74.93 82.40
29
28.69 39.42 53.95 64.71 73.58 81.28 110.54 132.23 150.11 165.61
16.90 22.85 30.90 36.87 41.79 46.05 62.27 74.30 84.21 92.80
30
30.03 41.49 57.08 68.69 78.30 86.64 118.53 142.27 161.91 178.98
18.24 24.95 33.95 40.66 46.21 51.02 69.43 83.14 94.48 104.33
31
31.43 43.64 60.37 72.88 83.27 92.31 126.99 152.95 174.49 193.23
19.88 27.22 37.27 44.79 51.03 56.46 77.31 92.90 105.84 117.11
32
32.89 45.90 63.82 77.29 88.50 98.28 135.96 164.29 187.87 208.43
21.55 29.68 40.88 49.30 56.30 62.41 85.96 103.66 118.39 131.24
33
34.41 48.26 67.44 81.92 94.01 104.58 145.46 176.33 202.09 224.62
23.34 32.34 44.80 54.20 62.05 68.92 95.46 115.51 132.24 146.87
34
35.99 50.72 71.24 86.80 99.82 111.22 155.51 189.11 217.21 241.84
25.28 35.21 49.05 59.54 68.33 76.02 105.90 128.55 147.51 164.12
35
37.65 53.30 75.22 91.91 105.92 118.22 166.14 202.64 233.27 260.15
27.36 38.32 53.67 65.36 75.17 83.78 117.33 142.89 164.33 183.16
36
39.37 55.99 79.39 97.29 112.34 125.59 117.38 216.98 250.30 279.60
29.60 41.68 58.68 71.69 82.62 92.24 129.87 158.65 182.85 204.14
37
41.17 58.81 83.77 102.94 119.10 133.34 189.25 232.17 268.36 300.26
32.02 45.31 64.13 78.57 90.75 101.48 143.61 175.95 203.23 227.26
38
43.04 61.75 88.36 108.86 126.20 141.50 201.78 248.23 287.50 322.17
34.63 49.24 70.03 86.05 99.60 111.56 158.65 194.94 225.62 252.71
39
44.99 64.83 93.17 115.09 133.66 150.09 215.01 265.23 307.78 345.41
37.44 53.50 76.45 94.20 109.24 122.54 175.11 215.78 250.23 280.71
40
47.03 68.04 98.21 121.62 141.51 159.13 228.97 283.19 329.24 370.04
40.47 58.10 83.40 103.05 119.74 134.52 193.13 238.62 277.26 311.50
41
49.16 71.41 103.49 128.48 149.75 168.63 243.69 302.17 351.95 396.12
43.74 63.07 90.96 112.68 131.18 147.59 212.84 263.67 306.94 345.34
42
51.38 74.92 109.02 135.68 158.41 178.62 259.22 322.22 375.97 423.74
47.27 68.46 99.16 123.16 143.64 161.83 234.40 291.13 339.52 382.53
43
53.70 78.60 114.82 143.23 167.51 189.13 275.59 343.40 401.36 452.96
51.08 74.30 108.08 134.56 157.21 177.36 257.99 321.22 375.28 423.39
44
56.13 82.45 120.91 151.16 177.07 200.17 292.85 365.75 428.21 483.88
55.20 80.62 117.76 146.97 172.00 194.31 283.80 354.20 414.51 468.28
45
58.66 86.48 127.28 159.48 187.12 211.79 311.04 389.35 456.57 516.58
59.66 87.48 128.28 160.48 188.12 212.79 312.03 390.35 457.57 517.58
46
61.30 90.70 133.97 168.22 197.67 224.00 330.20 414.26 486.54 551.16
64.48 94.92 139.73 175.20 205.70 232.96 342.94 429.98 504.82 571.74
47
64.07 95.12 140.99 177.40 208.77 236.85 350.41 440.54 518.20 587.72
69.71 103.00 152.19 191.24 224.88 254.99 376.77 473.42 556.70 631.25
48
66.97 99.75 148.35 187.04 220.43 250.36 371.70 468.28 551.64 626.36
75.38 111.78 165.76 208.73 245.81 279.06 413.82 521.08 613.65 696.64
49
70.01 104.60 156.09 197.17 232.70 264.58 394.15 497.56 586.96 667.21
81.54 121.33 180.56 227.82 268.69 305.37 454.42 573.38 676.22 768.53
50
73.19 109.70 164.21 207.83 245.60 279.55 417.82 528.46 624.28 710.39
88.23 131.73 196.70 248.68 293.70 334.15 498.94 630.80 744.99 847.61
From Design of Pile Foundation by A.S. Vesic in NCHRP, Synthesis of Highway Practice 42, Transport Research Board, 1977
Note : Upper number Nc*, Lower number N
o
*
73
Cara Janbu (1976) :
Dalam perhitung daya dukung ujung tiang (Qp) Janbu mengusulkan sebagai berikut :
Qp = qp . Ap = Ap . (c.Nc* + q.Nq*) (4.22)
Harga Nc* dan Nq* didasarkan pada keruntuhan permukaan tanah pada ujung tiang seperti Gambar 4.6
atau dengan rumus sebagai berikut :
. ' .tan
q
N * [tan (1 tan )].e
q
= + +
|
| | (4.23)
Nc* = (Nq* 1) . cot | (4.24)
Variasi nilai Nc* dan Nq* dengan | dan q seperti Gambar 4.6. Nilai q = 70 digunakan untuk
lempung lunak (soft clays) dan q = 105 untuk pasir padat (dense sandy soils).













































Gambar 4.6 Faktor daya dukung cara Janbus




74
c. Daya Dukung Akibat Gesekan Kulit / Selimut Tiang (Qs)
Daya dukung akibat gesekan selimut tiang dinyatakan dalam persamaan dan Gambar 4.7.a sebagai berikut :
Qs = E p.AL.f (4.25)
dimana :
p = keliling penempang tiang
AL = panjang tiang
f = satuan perlawanan geser pada setiap kedalaman z













Gambar 4.7 Satuan perlawanan geser tiang pada tanah pasir (granuler)


Satuan perlawanan geser ( f ) :
Pada pasir :
Satuan perlawanan geser pada setiap kedalaman yang ditinjau pada tiang adalah sebagai berikut :
f = K . ov . tan o (4.26)
dimana :
K = koefisien tekanan tanah
ov = tegangan efektif vertikal pada kedalaman yang ditinjau
o = sudut geser antara tanah dan tiang
Harga K = Kp (koefisien tekanan tanah pasif Rankine) pada ujung bawah tiang, nilainya < Ko (koefisien
tekanan tanah kondisi diam) pada ujung bawah tiang.
Harga K pada persamaan 4.26 dapat menggunakan nilai sebagai berikut :
Tipe pile K
Bored or jetter K = Ko = 1 sin |
Low displacement driven / perpindahan kecil K = Ko ~ 1,4 Ko
High displacement driven / perpindahan besar K = Ko ~ 1,8 Ko

Bhusan (1982) merokomendasikan harga ujung tiang high displacement driven sebagai berikut :
K tan o = 0,18 + 0,0065.Dr , dan (4.27)
K = 0,50 + 0,008.Dr (4.28)
dimana :
o = sudut geser antara tanah dan tiang ()
Dr = relatif densiti (%)





(a)
Qu
f
L
z
D
ov
AL
L=15.D
unit frictional
resistance, f
(b)
75
Harga ov pada persamaan 4.26 akan meningkat dan mencapai harga maksimum pada kedalaman antara 15
~ 20.D dan selanjutnya konstan setelah itu (Gambar 4.27.b). Kedalaman kritis (L) tergantung beberapa faktor
yaitu : sudut geser tanah (|), compressibility dan relative density (Dr). Harga L untuk perhitungan dipakai 15.D.
Harga o pada persamaan 4.26 tergantung dari investigasi di lapangan, umumnya memakai batasan antara
0,5 ~ 0,8.|.

Mayerhof (1976) mengemukakan harga rata-rata satuan perlawanan geser (fav) dengan rata-rata Standart
Penetration Test (N-SPT) :
Tiang pancang dengan perpindahan besar (high-displacement driven pile) :
fav (kN/m) = 2. N, atau (4.29)
fav (lb/ft) = 40. N (4.30)
Tiang pancang dengan perpindahan kecil (low-displacement driven pile) :
fav (kN/m) = N, atau (4.31)
fav (lb/ft) = 20. N (4.32)
dimana :
N = nilai N-SPT rata-rata sepanjang tiang
sehingga :
Qs = p.L.fav (4.33)

Satuan perlawanan geser ( f ) :
Pada lempung :
Berikut beberapa metode menentukan satuan perlawanan geser pada tanah lempung :
1. Metode
Metode ini dikemukakan oleh Vijayvergiya dan Focht (1972) yang didasarkan adanya perubahan tanah
akibat tiang yang dipancang menyebabkan tekanan pasif pada setiap kedalaman, sehingga rata-rata
perlawanan geser kulit (fav) adalah :
fav = .(
v
o + 2.
u
c ) (4.34)
dimana :
v
o = tegangan vertikal efektif rata-rata sepanjang tiang
u
c = kuat geser undrained rata-rata (untuk | = 0)
= diperoleh perdasarkan kedalaman pemancangan tiang (Gambar 4.8)
sehingga :
Qs = p.L.fav (4.35)
Ilustrasi
u
c dan
v
o dapat dilihat pada Gambar 4.9 dengan perhitungan sebagai berikut :
u1 1 u2 2 u3 3
u
(c .L c .L c .L ...)
c
L
+ + +
= (4.36)
1 2 3
v
(A A A ...)
L
+ + +
o = (4.37)
A1, A2, A3, merupakan luasan dari diagram tegangan efektif vertikal (Gambar 4.9)
76


































Gambar 4.8 Harga terhadap kedalaman tiang (McClelland, 1974)


























Gambar 4.9 Aplikasi metode pada tanah berlapis




tegangan efektif
vertikal, ou
undrained
cohesion, cu
Qu
(a)
L
L1
L2
L3
cu1
cu2
cu3
depth depth
A1
A2
A3
(b) (c)
77
2. Metode o
Metode ini dikemukakan oleh Tomlinson untuk tanah lempung dengan harga perlawanan geser kulit (f ) :
f = o.cu (4.38)
dimana :
o = faktor adhesi/lekatan secara empiris (Gambar 4.10)
cu = kuat geser undrained
Harga o diperoleh dari Gambar 4.10, untuk tanah lempung konsolidasi normal (normally consolidated clay)
dengan cu s 50 kN/m harga o = 1, sehingga :
Qs = E f. p.AL = E o.cu.p.AL (4.39)






























Gambar 4.10 Variasi harga o dengan kohesi undrained (cu) untuk tanah lempung


3. Metode |
Bila tiang dipancang pada lempung jenuh (saturated clay) maka tegangan air pori tanah di sekeliling tiang
akan bertambah dan harga satuan perlawanan geser (f ) adalah :
f = |.ou (4.40)
dimana :
ou = tegangan vertikal efektif
| = K . tan |R (4.41)
|R = sudut geser dalam tanah (remolded clay)
K = koefisien tekanan tanah
K = 1 sin |R (untuk normal consolidated clay) (4.42)
K = (1 sin |R).\OCR (untuk over consolidated clay) (4.43)
OCR = overconsolidated ratio

78
sehingga :
f = (1 sin |R).tan |R.ou (untuk normal consolidated clay) (4.44)
f = (1 sin |R).tan |R.\OCR.ou (untuk over consolidated clay) (4.45)
dan :
Qs = E f. p.AL (4.46)


d. Daya Dukung Tiang Menurut Coyle dan Castello (Qu)
Daya dukung ujung tiang secara pendekatan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan daya dukung
ultimit pondasi dangkal, sebagai berikut :
Qu = Qp + Qs = q.Nq*.Ap + fav.p.L (4.47)
dimana :
q = tegangan vertikal efektif di ujung tiang
fav = satuan perlawanan geser selimut tiang rata-rata sepanjang tiang
= K.
v
' o tan o (4.48)
K = koefisien tekanan tanah lateral
v
' o = tegangan efektif rata-rata timbunan tanah
o = sudut geser antara tiang dan tanah

Harga Nq* dan K dapat diperoleh dari Gambar 4.11 dan Gambar 4.12 yang merupakan hubungan antara L/D
dengan | sedangkan asumsi harga o = 0,8.|.
sehingga :
Qu = Qp + Qs = q.Nq*.Ap + p.L.K.
v
' o tan (0,8.|) (4.49)





























Gambar 4.11 Nilai Nq* dari hubungan antara L/D dengan | (Coyle dan Castello, 1981)


79
































Gambar 4.12 Nilai K dari hubungan antara L/D dengan | (Coyle dan Castello, 1981)


4.4 Daya Dukung Tiang Berdasarkan Uji Pembebanan (Pile Load Test)
Uji pembebanan tiang di lapangan merupakan salah satu cara untuk menentukan daya dukung tiang
dan hasilnya dianggap sangat mendekati daya dukung tiang yang sebenarnya. Sehingga cara ini sering diguna-
an untuk menguji perencanaan daya dukung tiang dibandingkan dengan cara yang lain. Dengan kata lain tujuan
dari uji pembebanan adalah menentukan dan memeriksa daya dukung tiang pancang rencana.
Selain itu, data hasil uji pembebanan tiang dapat digunakan untuk memetapkan kriteria pelaksanaan
konstruksi pondasi. Dalam metode pelaksanaan uji pembebanan tiang di lapangan dapat dilakukan dalam arah
vertikal (axial compression), tarik vertikal (pull-put test) dan pembebanan horisontal (lateral load test).









Gambar 4.13 Skema Uji Pembebanan


80
Pada Gambar 4.13 menunjukkan skema diagram uji pembebanan tarik vertikal, dimana untuk beban
reaksinya (counter weight) digunakan sistem tiang angker (anchor pile) dan sumber bebannya menggunakan
dongkrak hidrolis (hydraulic jack). Selain sistem tiang angker, terdapat juga sistem kenletge yaitu penggunaan
tumpukan balok baja atau balok beton sebagai beban reaksi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan uji pembabanan di lapangan:
1. Tiang uji dipancang pada lokasi tanah dekat lubang bor dan kondisi tanah yang relatif jelek
2. Metode pemancangan tiang diusahakan sama seperti yang digunakan dalam pelaksanaan konstruksi
3. Tenggang waktu untuk pelaksanaan uji pembebanan 24 jam setelah pembenanan (tanah pasir) dan 30
~ 60 hari setelah pembebanan (tanah lempung)
4. Besarnya beban reaksi direncanakan minimal 200% dari beban rencanan
5. Prosentase peningkatan dan pengurangan beban digunakan sebesar 25% beban rencana
6. Setelah maksimum pembebanan tercapai, beban mulai dikurangi (unloading) dengan kecepatan maksimum
sama dengan pembebanan sebelumnya.
Pada Gambar 4.14 menunjukkan hubungan antara beban dan penurunan untuk tahab penambahan
beban (loading) dan pengurangan beban (unloading) pada beban Q tertentu. Untuk beban Q tertentu, penurunan
tiang netto dapat dihitung bila Q = Q1, sehingga penurunan netto (snet) dapat dihitung sebagai berikut :
snet(1) = st(1) se(1) (4.50)
dimana :
snet(1) = penurunan netto
st(1) = penurunan total
se(1) = penurunan elastis
Daya dukung batas (Qu) ditentukan dengan menganalisa diagram hubungan antara beban Q1 dengan
snet(1). Penentuan daya dukung lain didasarkan pada kriteria peraturan tertentu yang memperhitungkan besar
penurunan yang diijinkan.









Gambar 4.14 (a) Hubungan antara pembebanan dan total penurunan (b) hubungan antara pembebanan dan
penurunan netto

Q1
Unloading
Unloading
Se(1)
Se(2)
St(1)
St(2)
Settlement Net Settlement (snet)
Q2
Load (Q) Load (Q)
1 2
Qu
Qu
(a)
(b)
81
4.5 Daya Dukung Tiang Berdasarkan Data Sondir
Untuk menentukan daya dukung pondasi tiang dengan data sondir ada 3 (tiga) cara :
1. Cara Konvensional
2. Cara Schmertmann dan Nottingham (1975)
3. Cara Tumay dan Fakhroo (1981)

4.5.1 Cara Konvensional
Daya dukung satu tiang :
c
u
1 2
q . A JHP.O
q
F F
= + (4.51)
dimana :
qc = nilai konus (nilai rata-rata harga konus diambil 4.D di bawah ujung tiang dan 8.D di atas ujung tiang)
JHP = jumlah hambatan pelekat sepanjang tiang
A = penampang tiang
O = keliling tiang
F = faktor keamanan

4.5.2 Cara Schmertmann dan Nottingham (1975)
Daya dukung satu tiang :
qu = qp + qs (4.52)
( )
c1 c2 c3
p
q q 2 q
q
2
+ +
= (4.53)
( )
L 8 L L
s s,c s s s s
L 0 L 8.D
1
q K . . .A .A
8.D
= =
= =
(
= +
(


f f (4.54)
dimana :
qp = daya dukung ujung tiang
qs = daya dukung akibat lekatan
qc1 = nilai konus rata-rata dari 0,7.D s/d 4.D di bawah ujung tiang arah a b
qc2 = nilai konus minimum dari 0,7.D s/d 4.D di bawah ujung tiang arah b c
qc3 = nilai konus rata-rata dari 0,7.D s/d 8.D di atas ujung tiang
Ks,c = faktor koreksi (Ks = 2 untuk pasir, Kc = 2 untuk lempung) lihat Grafik 8
D = diameter tiang
fs = hambatan lekatan tanah dari data sondir
As = luas selimut tiang
L = panjang total tiang
Untuk bore pile, Schmertmann (1978) menyarankan harga qc dikalikan 0,75 artinya untuk memperhitungkan
pengurangan tegangan efektif yang bekerja sepanjang tiang.

4.5.3 Cara Tumay dan Fakhroo (1981)
Daya dukung satu tiang :
qu = qp + qs (4.55)
dimana :
qp = daya dukung ujung tiang (cara Schmertmann)
qs = daya dukung akibat gesekan kulit = L . O . fo
82
fo = unit lekatan = m . fs
fs = JHP L
fs = lekatan rata-rata
JHP = jumlah hambatan lekatan sepanjang tiang
L = panjang tiang
O = keliling tiang
m = koefisien lekatan (nilai : 0,50 s/d 10,0)

4.6 Daya Dukung Tiang Berdasarkan Data N-SPT
4.6.1 Secara umum
1. Uji penetrasi standar (Standart Penetration Test / SPT) adalah uji penetrasi secara dinamis yang dilaku-
kan di lapangan terhadap contoh tanah yang terganggu (disturbed), mengkombinasikan pengujian
penetrasi sekaligus penarikan contoh (sampling)
2. Keuntungan : pengujiannya cepat dan pengerjaannya yang mudah, sederhana dan praktis
3. Standar pengujian : ASTM D 1586-84 (Standart Methode for Peneration Test and Split-Barrel Sampling of
Soil)
4.6.2 Prosedur Pelaksanaan
1. Split-spoon dengan diameter luar 2,0 inch dan diameter dalam 1,5 inch dimasukkan/dipukul kedalam
lapisan tanah sedalam 18 inch dengan menggunakan palu (hammer) seberat 140 lb. dijatuhkan secara
bebas pada ketinggian 30 inch dengan energi 4200 inch.lb.
2. Banyaknya jumlah pukulan palu yang diperlukan untuk memasukkan split-barrel sampler pada penetrasi
6,0 inch kedua dan 6,0 inch ketiga dikenal dengan Standart Penetration Resistance (N-SPT)
3. Hasil pembacaan N-SPT dinyatakan ditolak dan pelaksanan pengujian dihentikan apabila :
- diperlukan 50 kali pukulan untuk setiap pertambahan penetrasi 150 mm
- telah dicapai penetrasi dengan 100 kali pukulan
- 10 kali pukulan berturut-turut tidak menunjukkan kemajuan


4.6.3 Daya Dakung Tiang
Daya dukung satu tiang :
Qu = Qp + Qs (4.56)
dimana :
Qu = kapasitas tiang dalam kondisi batas
Qp = kapasitas ujung tiang dalam kondisi batas
Qs = kapasitas friksi tiang dalam kondisi batas
Mayerhof (1956) mengusulkan formulasi daya dukung batas dengan harga N-SPT sebagai berikut :
Tiang pancang dengan perpindahan besar (high-displacement driven pile) :
s
u p p
N. A
Q 4. A .N
50
= + (4.57)
Tiang pancang dengan perpindahan kecil (low-displacement driven pile) :
s
u p p
N. A
Q 4. A .N
100
= + (4.58)
dimana :
83
Qu = daya dukung batas pondasi tiang (ton) Ap = luas penampang dasar tiang (m)
Np = nilai N-SPT pada dasar pondasi As = luas permukaan keliling tiang (m)
N = nilai N-SPT rata-rata sepanjang tiang
Mayerhof (1967) unit tahanan ujung (qp) pada tanah pasir akan bertambah dengan bertambahnya kedalaman
tiang sampai sampai ratio (Lb/D) dan akan mencapai maksimum pada saat (Lb/D) = (Lb/D)cr
Mayerhof (1976) unit tahanan ujung (qp) pada tanah lempung homogen (L = Lb) adalah
qp (kN/m) = 40. N (L/D) < 400.D (4.59)
dimana :
N = nilai N-SPT rata-rata pada 10.D di atas dan 4.D di bawah ujung tiang
Mayerhof (1976) unit friksi tiang rata-rata (fav) sebagai berikut :
Tiang pancang dengan perpindahan besar (high-displacement driven pile) :
fav (kN/m) = 2. N, atau (4.60)
fav (lb/ft) = 40. N (4.61)
Tiang pancang dengan perpindahan kecil (low-displacement driven pile) :
fav (kN/m) = N, atau (4.62)
fav (lb/ft) = 20. N (4.63)
dimana :
N = nilai N-SPT rata-rata sepanjang tiang
Dengan demikian kapasitas daya dukung batas oleh Mayerhof menjadi :
u p p av
L
Q 40.A .q .N p.L.
D
= + f (4.64)
dimana :
Ap = luas ujung tiang D = lebar tiang
L = panjang pemancangan tiang p = keliling tiang
qp = kapasitas ujung tiang dalam kondisi batas fav = friksi tiang rata-rata

Sehingga kapasiats daya dukung ijin pondasi tiang :
u
all
Q
Q
FS
= (4.65)
dimana :
Qu = kapasitas daya dukung batas tiang
FS = angka keamanan (2,5 s/d 4)


84
4.7 Daya Dukung Tiang Berdasarkan Rumus-rumus Pancang
Pengembangan rumus-rumus pancang yang ada didasarkan pada prinsip-prinsip impuls-momentum,
yaitu : mencari persamaan energi yang ditimbulkan oleh palu (hammer) terhadap kerja yang dilakukan oleh tiang
dalam bentuk penetrasi dengan jarak perlawanan tertentu serta memperhitungkan kehilangan energi.
Semakin besar perlawanan tiang akan semakin besar pula daya dukung tiang dalam menahan beban.
Kehilangan energi dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : pemampatan elastis tiang, redaman pe-
lindung kepala tiang (pile cap) dan efisiensi dari palu pancang.
Secara umum telah diketahui bahwa ketelitian penggunaan rumus-rumus pancang dalam memperkira-
kan daya dukung tiang tidak memberikan hasil yang dapat diandalkan. Hal ini disebabkan oleh ketidakseragaman
lapisan tanah dan kondisi palu pancang menyangkut efisiensi palu yang berubah selama pelaksanaan
pemancangan pada lokasi pekerjaan yang sama.
Walau demikian rumus pancang (driving formula) atau rumus dinamik (dynamic formula) masih cukup
luas penggunaannya terutama untuk menentukan apakah tiang telah mencapai harga daya dukung yang cukup
pada kedalaman yang direncanakan. Selain itu, rumus pancang digunakan pula untuk menentukan kapan
pelaksanaan pemancangan tiang dihentikan, dimana daya dukung dari tiang diperkirakan sama dengan hasil uji
pembebanan tiang atau tiang lainnya yang dipancang pada kondisi tanah yang sama.
Bagaimanapun juga pemancangan tiang pada tanah lempung atau tanah lunak tetap dilakukan sampai
pada kedalaman yang sama bukan berdasarkan jumlah pukulan tertentu. Perlawanan penetrasi dapat juga
digunakan untuk menghindar terjadinya kerusakan tiang dikarenakan kelebihan energi pancang (overdriving).
Berikut ini akan dijelaskan 3 (tiga) rumus pancang dari sekian banyak rumus pancang yang telah dikembangkan :
4.7.1 Rumus Engineering News Record (ENR)
Rumus dinamis didasarkan pada hubungan :
Energi yang masuk = energi yang digunakan + energi yang hilang, atau :
Energi yang digunakan = perlawanan tiang x penetrasi palu (perpindahan tiang)
Bila energi ditranformasikan sebagai Qu yang menghasilkan penetrasi sebesar s dan energi yang hilang
sewaktu pemancangan ( AE) maka didapat :
E = Qu.s + AE ; bila AE = Qu.C dan E = WR . h maka didapat : WR.h = Qu.s + Qu.C, atau :
R
u
W .h
Q
s C
=
+
(4.66)
dimana :
WR = berat palu h = tinggi jatuh palu (cm)
s = penetrasi tiang per satuan pukulan (cm)
C = konstanta untuk palu jatuh bebas (drop hammer) = 2,54 (cm) ~ 1,0 (inch)
untuk palu uap (steam hammer) = 0,254 (cm) ~ 0,1 (inch)
FS = 6
Untuk palu aksi tunggal dan palu ganda (palu uap) notasi WR, h diganti HE (energi palu) dan E (efisiensi palu),
sehingga rumus menjadi :
E
u
H .E
Q
s C
=
+
(4.67)
dimana :
HE = energi palu
E = efisiensi palu

85
4.7.2 Rumus Engineering News Record Modified (ENRM)
Rumus yang digunakan :
R R P
u
R P
E.W .h W n.W
Q
s C W W
+
=
+ +
(4.68)
dimana :
E = efisiensi palu s = penetrasi tiang per satuan pukulan (cm)
WR = berat palu C = konstanta = 2,54 (cm)
WP = berat tiang n = koefisien restitusi antara palu dan kepala tiang
h = tinggi jatuh palu (cm) FS = 4 s/d 6

Tabel 4.2 Harga efisiensi palu pancang (E)
No. Type Hammers E
1 Single and double acting hammers 0,70 ~ 0,85
2 Diesel hammers 0,80 ~ 0,90
3 Drop hammers 0,70 ~ 0,90

Tabel 4.3 Harga koefisiensi resititusi (n)
No. Jenis Bahan Tiang n
1 Cast iron hammes or concrete piles (without cap) 0,40 ~ 0,50
2 Wood cushion on steel piles 0,30 ~ 0,40
3 Wooden piles 0,25 ~ 0,30

4.7.3 Rumus Pasific Coast Uniform Building Code (PCUBC)
Rumus yang digunakan :
E R 1
u
2
E.H .W .C
Q
s C
=
+
(4.69)
R P
1
R P
W n.W
C
W W
+
=
+
(4.70)
u
2
Q .L
C
A E
=
+
(4.71)
dimana :
E = efisiensi palu s = penetrasi tiang per satuan pukulan (cm)
HE = energi palu A = luas penampang tiang
WR = berat palu n = 0,25 tiang baja dan 0,10 tiang lainnya
WP = berat tiang FS = 4

Petunjuk pengunaan rumus PCUBC :
1. Hitung Qu dengan harga C2 diambil = 0
2. Hitung C2 dengan menggunakan 75% harga Qu
3. Hitung kembali Qu dengan menggunakan harga C2 yang baru dan seterusnya sampai Qu (pakai) = Qu (hitung)

86
4.7.4 Rumus Michigan
The Michigan State Highway Commission (1965) menunjukkan hasil studi perhitungan pile driving dengan
mengambil 3 lokasi yang berbeda dan 88 sampel tiang yang diuji. Berdasarkan pengembangan dari rumus
ENRM dikemukakan rumus sebagai berikut :
E R P
u
R P
1,25.H W n.W
Q
s C W W
+
=
+ +
(4.72)
dimana :
HE = energi palu maksimum (lb-in)
C = 0,1 inch

4.7.5 Rumus Danish
Rumus ini didasarkan pada kondisi tanah runtuh :
E
u
E
p P
E.H
Q
E.H .L
s
2. A .E
=
+
(4.73)
dimana :
E = efisiensi palu L = panjang tiang
HE = energi palu AP = luas penampang tiang
EP = modulus bahan tiang SF = 3 s/d 6

4.7.6 Rumus Janbus
Rumus yang dupakai :
E
u
u
E.H
Q
s K'
=
+
(4.74)
dimana :
u d
d
K' c . 1 1
c
| |

= + +
|
|
\ .
(4.75)
cd = 0,75 + 0,15 . (WP + WR) (4.76)
E
P P
E.H .L
A .E .S
= (4.77)
E = efisiensi palu S = penetrasi tiang per satuan pukulan (cm)
HE = energi palu AP = luas penampang tiang
WR = berat palu EP = modulus bahan tiang
WP = berat tiang L = panjang tiang
FS = 4 s/d 5

87
4.8 Daya Dukung Tiang Bor Tunggal
4.8.1 Jenis dan Metode Konstruksi Tiang Bor
Tiang yang dibor dibuat dengan cara membor lubang silindris hingga kedalaman tertentu kemudian diisi dengan
beton berupa lubang lurus atau dasarnya diperbesar.
Jenis struktur tiang bor/sumuran yang dibor (drilled shaft) :
1. Kaison yang digali/kaison
2. Tiang pancang yang dibor (bored pile) dibatasi D > 760 mm
3. Tiang dengan dasar diperbesar (belled pile)
Metode konstruksi fondasi tiang bor :
1. Metode kering :
a. sumuran digali
b. sumuran diisi beton
c. kerangka tulangan dipasang sampai kedalaman yang dibutuhkan
metode ini untuk tanah kohesif dan muka air tanah di bawah dasar tiang atau yang permeabilitasnya rendah
2. Metode acuan :
a. metode ini dipakai pada tanah granuler atau deformasi lateralnya yang berlebihan
b. acuan dipakai untuk menahan masuknya air tanah
c. sebelum acuan dipasang, adonan spesi encer (slurry) untuk mempertahankan lubang kemudian baru
acuan dipasang dan adonan dikeluarkan.
3. Metode adonan :
Digunakan bila metode 1 dan 2 tidak mungkin dilaksanakan.

4.8.2 Daya Dukung Pondasi Tiang Bor
Untuk tanah dasar lempung :
u P
all
Q A
Q (1,3.c.Nc L' . .Nq 0,4. .B.Nq)
SF SF
= = + + (4.78)
P
all
A .(9.c)
Q
SF
= (4.79)
Untuk tanah dasar pasir :
P
all q q
A
Q (L' . .N 0,4. .B.N )
SF
= + (4.80)
dimana :
L = dibatasi sampai 15.D
AP = luas dasar pilar
SF = 3
Untuk tanah pasir bisa digunakan rumus Mayerhof (1956), dimana penurunan dibatasi tidak lebih dari 25mm.
SPT
all P
N55
Q A (kips)
2,5
= (4.81)
Sondir
C
all P
q
Q A (kips)
10
= (4.82)


88
BAB V
DAYA DUKUNG KELOMPOK TIANG




Tujuan umum :
Mahasiswa diharapkan mengetahui secara umum penempatan tiang dalam kelompok tiang, rumus-rumus
menghitung daya dukung tiang dalam kelompok serta distribusi beban dalam kelompok tiang.
Tujuan Khusus :
Mahasiswa diharapkan dapat menempatkan tiang dalam kelompok tiang, dapat menghitung daya dukung
kelompok tiang, serta menghitung beban yang diterima masing-masing tiang dalam kelompok tiang sesuai
kondisi tanah yang ada dengan tepat dan benar.

5.1 Daya Dukung Kelompok Tiang
Pada umumnya fondasi tiang dibentuk dalam kelompok tiang untuk dapat menahan beban struktur
bangunan alas dan menyalurkan ke lapisan tanah dibawahnya Tiang-tiang tersebut disatukan oleh plat belon
yang disebut sebagai "pile cap". Fungsi pile cap adalah untuk menyatukan antar tiang dan mendistribusikan
beban pada tiang-tiang tersebut, lihat Gambar 5.1.a.
Bila letak antar tiang dalam kelompok tiang saling berdekatan, penyebaran tegangan yang disalurkan
melalui tiang ke tanah disekitarnya saling overlap, lihat Gambar 5.1.b. Idealnya jarak antar tiang dalam kelompok
tiang minimum, d = 2.5 D, dan umumnya digunakan antara d = 3 D s/d 3.5 D (D = diameter tiang).



















Gambar 5.1 Tipikal kelompok tiang





Number of pile in group = n1 x n2
note : Lg > Bg
Lg = (n1 1).d + 2.(D/2)
Bg = (n2 1).d + 2.(D/2)
89
Dalam menetukan daya dukung kelompok tiang perlu dilihat jarak antar tiang dimana terdapat dua ke-
mungkinan yaitu : perhitungan kelompok tiang terdapat 2 (dua) penempatan jarak antar tiang yang berbeda yaitu
(1) kelompok tiang dalam blok kesatuan dengan ukuran Lq x Bq x L dan (2) kelompok tiang secara individu.
5.2 Daya Dukung Kelompok Tiang pada Tanah Non Kohesif (Sand Soil)
a. Kelompok Tiang Aksi Individu
Apabila jarak antar tiang dalam kelompok d > 3.D, maka besar kapasitas gesekan kulit adalah :
Qg(u) = E.Qu = n1.n2.(Qp + Qs) (5.1)
dimana :
Qp = q.Nq*.Ap (lihat teori Mayerhof)
Qs = fav . p . AL (toeri Qs secara umum)
fav = K.ov.tan o
sehingga :
Qg(u) = E.Qu = n1.n2.( q.Nq*.Ap + K.ov.tan o . p . L) (5.2)
b. Kelompok Tiang Aksi Blok Kesatuan
Apabila jarak antar tiang dalam kelompok d < 3.D, maka kelompok tiang dalam blok kesatuan mempunyai
dimensi : Lg x Bg x L, sehingga daya dukung kelompok tiang adalah :
Qq(u) ~ fav . pq . L (5.3)
dimana :
pq = keliling kelompok tiang (blok) = 2.(n1 + n2 2).d + 4.D
fav = rata-rata unit satuan gesekan kulit (average unit frictional resistance)
L = panjang tiang
5.3 Daya Dukung Kelompok Tiang pada Tanah Kohesif (Clay Soil)
a. Kelompok Tiang Aksi Individu
Apabila jarak antar tiang dalam kelompok d > 3.D, maka besar kapasitas gesekan kulit adalah :
Qg(u) = E.Qu = n1.n2.(Qp + Qs) (5.4)
dimana :
Qp = Nq* . cu(p) . Ap = 9 . cu(p) . Ap (lihat teori Mayerhof)
cu(p) = undrained cohesion tanah lempung di ujung tiang
Qs = Efav . p . AL = E o.cu.p.AL (lihat teori o)
sehingga :
Qg(u) = E.Qu = n1.n2.( 9. cu(p) . Ap + E o.cu.p.AL) (5.5)
b. Kelompok Tiang Aksi Blok Kesatuan
Apabila jarak antar tiang dalam kelompok d < 3.D, maka kelompok tiang dalam blok kesatuan mempunyai
dimensi : Lq x Bq x L, sehingga daya dukung kelompok tiang adalah :
Qg(u) = Qp + Qs (5.6)
dimana :
Qs = Epq . cu . AL = E.2(Lq + Bq) . cu AL
Qp = Ap . qp = Ap . cu(p) . Nc* = (Lq . Bq). cu(p) .Nc*
Dimana harga Nc* (Gambar 3.2) merupakan hubungan antara H/B dan L/B (B = Bq dan L = Lq), sehingga :
Qg(u) = Lq . Bq. cu(p) .Nc* + E.2(Lq + Bq) . cu AL ; lihat Gambar 5.2. dan 5.3. (5.7)
c Membandingkan nilai persamaan (5.5) dan (5.7) dan angka terkecil adalah : Qg(u)
90



















Gambar 5.2 Daya dukung kelompok tiang pada tanah kohesif
















Gambar 5.3 Hubungan Nc* dengan Lg/Bg dan L/Bg (Bjerrum and Eides)



91
5.4 Efisiensi Kelompok Tiang (q ; Eg)
a. Efisiensi kelompok tiang dirumuskan sebagai berikut :
g(u)
av 1 2
u 1 2 av
Q
.[2.(n n 2).d 4.D].L
Q n .n .p.L.
+ +
q= =
E
f
f
(5.8)
dimana :
q = efisiensi kelompok tiang
Qg(u) = daya dukung batas kelompok tiang
Qu = daya dukung batas tiang tunggal
Persamaan efisiensi kelompok dapat ditulis sebagai berikut :
1 2
1 2
2.(n n 2).d 4.D
n .n .p
+ +
q= (5.9)
Sehingga :
1 2
g(u) u
1 2
2.(n n 2).d 4.D
Q Q
n .n .p
( + +
= E
(

(5.10)
Untuk praktisnya, bahwa jika :
q < 1 : Qg(u) = q . E.Qu dalam hal ini d < 3.D
q > 1 : Qg(u) = E.Qu dalam hal ini d > 3.D
b. Efisiensi kelompok tiang saran Converse-Labarre Formula, dirumuskan sebagai berikut :
1
(n 1).m (m 1).n
1 ; tan (D/ s)
90.m.n

+
q= u u= (5.11)
dimana :
q = efisiensi kelompok tiang
m = jumlah baris tiang
n = jumlah tiang dalam satu baris
u = sudut dalam derajat
s = jarak pusat ke pusat antar tiang
D = diameter tiang

5.5 Distribusi Beban Pada Tiang
Jika beban luar uang bekerja pada kelompok tiang adalah beban vertikal sentries, maka beban yang bekerja pada
masing-masing tiang adalah :
Qp = Qv n (5.12)
dimana :
Qp = beban tiang tunggal
Qv = beban total vertikal
n = jumlah tiang dalam kelompok tiang
Apabila beban vertikal tersebut bekerja eksentris terhadap titik pusai kelompok tiang, maka sesuai dengan
teori mekanika teknik maka besarnya tegangan yang timbul pada suatu titik dengan jarak berturut-turut x dan
y terhadap titik pusat adalah :
y
x
y x
M . x
M .y
I I
o = + (5.13)
92
Dari Gambar 5.4 dapat diketahui bila beban eksentris maka beban pada masing-masing tiang dalam
kelompok dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
y
v x
p b b
y x
M . x
Q M .y
Q A A
n I I
= + + (5.14)
dimana :
Ab = luas penampang tiang tunggal
Ix = momen inersia terhadap sumbu : x - x
= I0 + Ab . Ey ; I0 = 0
= Ab . Ey
Iy = momen inersia terhadap sumbu : y - y
= Ab . Ex
Mx = Qv . ey
My = Qv . ex
e = eksentrisintas
Ex = jumlah jarak masing-masing tiang terhadap sumbu y y
Ey = jumlah jarak masing-masing tiang terhadap sumbu x x

sehingga :
v y
v v x
p b b
b b
Q .e .y
Q Q .e . x
Q A A
n A . y A . x
= + +
E E
(5.15)
atau :
y
x
p v
e . y
e . x 1
Q Q
n y x
| |
= + +
|
E E
\ .
(5.16)





















Gambar 5.4 Distribusi tiang dalam kelompok

93























Qu = daya dukung batas tiang tunggal





Gambar 5.5 Penempatan tiang dalam kelompok tiang














94
BAB VI
PENURUNAN KELOMPOK TIANG




Tujuan umum :
Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui secara umum perilaku tanah dibawah permukaan tanah akibat
beban bangunan diatasnya.
Tujuan Khusus :
Mahasiswa diharapkan dapat menghitung penurunan akibat beban bangunan di atasnya dengan rumus yang
benar dan tepat.

6.1 Penurunan Elastic Kelompok Tiang (Elastic Settlement)
Vesic (1969) memberikan rumus tentang penurunan tiang sebagai berikut :
g
g( e)
B
s
D.s
= (6.1)
dimana :
Sg(e) = penurunan elastik kelompok tiang
Bg = lebar kelompok tiang
D = diameter/lebar tiang tunggal
s = penurunan elastik tiang tunggal
Mayerhof (1976) memberikan rumus tentang penurunan tiang sebagai berikut :
g
g( e)
0,92.q. B .I
S
N
= (6.2)
dimana :
Sg(e) = penurunan elastik kelompok tiang (mm)
q = Qg / (Lg . Bg)
Lg = panjang kelompok tiang
Bg = lebar kelompok tiang
N = N-SPT (standart penetration test) rata-rata pada kedalaman Bg di bawah dasar fondasi
I = faktor pengaruh,
g
g
L
I 1 0,50
8.B
= >
Apabila menggunakan rumus dengan data sondir (cone penetration test (CPT)):
g
g( e)
c
q. B .I
S
2.q
= (6.3)
dimana :
Sg(e) = penurunan elastik kelompok tiang
q = Qg / (Lg . Bg)
Bg = lebar kelompok tiang
I = faktor pengaruh,
g
g
L
I 1 0,50
8.B
= >
95
c
q = rata-rata nilai konus
Penurunan Elastik Tiang Tunggal dihitung sebagai berikut :
s = s1 + s2 + s3 (6.4)
dimana :
s = penurunan elastik tiang tunggal
s1 = penurunan yang terjadi sepanjang tiang
s2 = penurunan tiang disebabkan oleh beban yang bekerja pada ujung tiang
s3 = penurunan tiang disebabkan oleh beban yang bekerja sepanjang kulit/selimut tiang
Cara menentukan s1 :
Bila pondasi tiang dianggap elastis, maka pergeseran sepanjang kuli tiang dapat ihitung dengan rumus :
wp ws
1
p p
(Q .Q ).L
s
A .E
+
= (6.5)
dimana :
s1 = penurunan yang terjadi sepanjang tiang
Qwp = beban yang diterima pada ujung tiang
Qws = beban yang diterima sepanjang kulit tiang
Ap = luas penampang tiang
L = panjang tiang
Ep = modulus elstisitas material tiang (umumnya : 2,1.10
6
N/m)
Besarnya dipengaruhi oleh distribusi satuan gesekan kulit (f ) sepanjang tiang. Bila distribusi dari f uniform
atau parabolic maka harga = 0,5 dan bila distribusinya segitiga, harga = 0,67, seperti gambar berikut :








Gambar 6.1 Faktor pengaruh dari bentuk distribusi satuan gesekan kulit
Cara menentukan s2 :
Penurunan tiang yang terjadi akibat beban yang diterima diujung tiang adalah sebagai berikut :
( )
wp 2
2 s wp
s
q .D
s 1 I
E
= (6.5)
dimana :
s2 = penurunan tiang disebabkan oleh beban yang bekerja pada ujung tiang
D = lebar / diameter tiang
qwp = beban yang diterima pada ujung tiang per satuan luas/unit = Qwp / Ap
Es = modulus elastisitas (modulus young) tanah di ujung tiang (umumnya : 30.000 kN/m)
s = angka poisson untuk tanah (umumnya : 0,3)
Iwp = faktor pengaruh = or (faktor pengaruh untuk pondasi telapak, lihat Gambar 6.2)
= or = 0,88 (untuk pondasi tiang dengan penampang lingkaran)

f f
f
= 0,5 = 0,5 = 0,67
(a) (b) (c)
96














Gambar 6.2 Faktor pengaruh yang tergantung dengan bentuk penampang tiang

Vesic (1977) mengemukakan perhitungan semiempiris untuk s2 sebagai berikut :
wp p
2
p
Q .C
s
D.q
= (6.6)
dimana :
s2 = penurunan tiang disebabkan oleh beban yang bekerja pada ujung tiang
Qwp = beban yang diterima pada ujung tiang
Cp = koefisien empiris (Tabel 6.1)
D = lebar / diameter tiang
qp = daya dukung batas ujung tiang

Tabel 6.1. Harga Cp
No Soil Type Driven pile Bore pile
1 Sand (dense to loose) 0,02 0,04 0,09 0,18
2 Clay (stiff to soft) 0,02 0,03 0,03 0,06
3 Silt (dense to loose) 0,03 0,05 0,09 0,12
from Design of foundations by : A.S. Vesic, in NCHRB synthesis of highway practise (1977)

Cara menentukan s3 :
Penurunan tiang yang terjadi akibat beban yang diterima sepanjang kulit tiang adalah sebagai berikut :
( )
wp 2
3 s ws
s
Q
D
s 1 I
p.L E
| |
=
|
\ .
(6.7)
dimana :
s3 = penurunan tiang disebabkan oleh beban yang bekerja pada sepanjang kulit tiang
Qwp = beban yang diterima pada ujung tiang
D = lebar / diameter tiang
p = keliling penampang tiang
L = panjang tiang tiang
Es = modulus elastisitas (modulus young) tanah di ujung tiang (umumnya : 30.000 kN/m)
s = angka poisson untuk tanah (umumnya : 0,3)

97
Iws = faktor pengaruh
Faktor pengaruh Iws menurut Vesic (1977) adalah sebagai berikut :
ws
L
I 2 0,35.
D
= + (6.8)
dimana :
D = lebar / diameter tiang
L = panjang tiang tiang
Vesic (1977) mengemukakan juga perhitungan semiempiris untuk s3 sebagai berikut :
wp s
3
p
Q C
s
L.q
= (6.10)
dimana :
s3 = penurunan tiang disebabkan oleh beban yang bekerja pada sepanjang kulit tiang
Qwp = beban yang diterima pada ujung tiang
L = panjang tiang tiang
qp = daya dukung batas ujung tiang
Cs = konstanta empiris, ( ) 1 . 6 Tabel C ; C . ) D / L ( . 16 , 0 93 , 0 C
p p s
+ =

6.2 Penurunan Konsolidasi Kelompok Tiang (Consolidation Settlement)
Penurunan konsolidasi pada kelompok tiang pada tanah lempung digunakan untuk pendekatan penyebaran
distribusi tegangannya dengan perbandingan 2 : 1 (Gambar 6.3).
Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Bila panjang penanaman tiang (L) dan beban yang bekerja pada kelompok tiang (Qg), pile cap berada
dipermukaan tanah maka Qg = beban total bangunan atas berat berat tanah yang digali
2. Penyebaran tegangan kelompok tiang pada tanah lempung dimulai dari kedalaman
2
/3.L dari bagian atas
tiang (z = 0). Beban Qg disebarkan dengan perbandingan 2 1 (2 vertikal 1 horisontal)
3. Hitung penambahan tegangan pada setiap tengah-tengah lapisan akibat Qg dengan rumus :
g
i
g i g i
Q
p
(B z ).(L z )
A =
+ +
(6.11)
dimana :
Api = penambahan tegangan pada tengah-tengah lapisan i
Qg = beban yang bekerja pada kelompok tiang
L
g
, B
g
= panjang dan lebar kelompok tiang
zi = jarak dari z = 0 sampai dengan tengah-tengah lapisan ke-i
4. Hitung penurunan tiap lapisan :
(i)
i i
o(i)
e
s H
1 e
( A
A =
(
+
(

(6.12)
dimana :
Asi = penurunan konsolidasi pada lapisan ke-i
Ae(i) = perubahan angka pori akibat penambahan tegangan pada lapisan ke-i
eo = angka pori awal pada lapisan ke-i
Hi = tebal lapisan ke-i
98

5. Penurunan total konsolidasi :
g i
s s A = A

(6.13)
c(i) i 0(1) (i)
i
0(i) 0(i)
C .H P p
s log
1 e P
( ( +A
A =
( (
+
( (

(6.14)

dimana :
Asg = penurunan total konsolidasi pada kelompok tiang
Asi = penurunan konolidasi pada lapisan ke-i






























Gambar 6.3 Penurunan kelompok tiang





99

Vous aimerez peut-être aussi