Vous êtes sur la page 1sur 39

JOURNAL READING ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION Oleh: Dewi Sri Wulandari 0610710031 Pembimbing : Prof. Dr. dr.

Djanggan Sargowo, Sp. PD, Sp. JP (K) LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2011 ST-Elevation Myocardial Infarction Elliott M. Antman Rekomendasi manajemen pasien STEMI Klasifikasi rekomendasi dan level of evidence yang diekspresikan dalam format ACC/AHA dan disusun berdasarkan kronologi yang dihadapi klinisi pada pasien dengan STEMI. Manajemen sebelum STEMI A. Identifikasi pasien yang beresiko STEMI Pelayan kesehatan primer harus mengevaluasi keberadaan dan status untuk mengontrol faktor risiko utama penyakit jantung koroner untuk semua pasien secara teratur (tiap 3-5 tahun) (level of evidence C). Risiko munculnya penyakit jantung koroner simtomatik dalam 10 tahun harus dihitung untuk semua pasien dengan lebih dari 2 faktor risiko untuk menilai perlunya strategi pencegahan primer (level of evidence B). Pasien dengan penyakit jantung koroner yang sudah tegak harus diidentifikasi untuk pevensi sekunder dan pasien dengan risiko penyakit jantung koroner ekuivalen (misalnya DM, CKD, risiko setelah 10 tahun lebih dari 20% dihitung dengan persamaan Framingham) harus menerima

intervensi faktor risiko yang intensif seperti pasien dengan penyakit jantung koroner yang jelas secara klinis (level of evidence A). B. Edukasi pasien untuk pengenalan awal dan respon terhadap STEMI Pasien dengan gejala STEMI (nyeri dada dengan/tanpa radiasi ke lengan, punggung, leher, rahang, atau epigastrium, sesak napas, kelemahan, diaphoresis, nausea, pusing) harus dibawa ke RS dengan ambulan daripada oleh teman atau keluarga (level of evidence B). Penyedia layanan kesehatan harus aktif menyampaikan hal berikut pada pasien STEMI dan keluarganya: a. Risiko serangan janung pasien (level of evidence C) b. Bagaimana mengenali gejala STEMI (level of evidence C) c. Saran untuk menghubungi 911 bila gejala tidak berkurang atau memburuk setelah 5 menit, walaupun tidak yakin tentang gejalanya dan ketakutan akan kemungkinan mendapat malu (level of evidence C). d. Rencana untuk pengenalan dan respon yang tepat terhadap potensi serangan jantung akut, termasuk nomor telepon untuk mengakses EMS, umumnya 911 (level of evidence C). Penyedia layanan kesehatan harus menginstruksikan pasien yang telah diresepi nitrogliserin sebelumnya menggunakan satu dosis nitrogliserin sublingual apabila mengalami nyeri dada. Bila nyeri dada tidak berkurang atau memburuk 5 menit setelah nitrogliserin sunlingual digunakan, direkomendasikan pada pasien dan keluarganya untuk menghubungi 911 untukmengakses EMS (level of evidence C). Onset STEMI A. Serangan jantung di luar RS Seluruh komunitas harus membuat dan mempertahankan Chain of Survival untuk sengan jantung di luar RS yang meliputi akses dini (pengenalan masalah dan aktivasi sistem EMS oleh orang sekitar), CPR dini, defibrilasi dini untuk pasien yang memerlukan dan ACLS dini (level of evidence C). Keluarga pasien STEMI harus disarankan untuk mengikuti pelatihan CPR dan membiasakan diri dengan penggunaan Automated External Defibrillator (AED). Sebagai tambahan, mereka harus dirujuk ke program pelatihan CPR yang memiliki komponen pendukung sosial untuk anggota keluarga pasien post STEMI (level of evidence B). Tindakan prehospital A. Sistem EMS

Semua penolong pertama EMS untuk pasien nyeri dada dan atau curiga serangan jantung harus dilatih dan dilengkapi untuk melakukan defibrilasi dini (level of evidence A). Semua masyarakat umum penolong pertama untuk pasien nyeri dada harus dilatih dan dilengkapi untuk melakukan defibrilasi dini dengan AED (provisi defibrilasi dini dengan AED untuk penolong pertama yang bukan masyarakat umum adalah strategi baru yang menjanjikan namun perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan keamanan dan efikasinya) (level of evidence B). Staf 911 EMS harus mengalami pelatihan medis, menggunakan protocol yang telah berkembang, memiliki sistem peningkatan kualitas untuk meyakinkan kompliansi dengan protocol (level of evidence C). B. Evaluasi dan penanganan nyeri dada prehospital Petugas EMS prehospital harus memberikan 162-325 mg aspirin (dikunyah) untuk nyeri dada pasien yang dicurigai STEMI kecuali kontraindikasi atau sudah dikonsumsi oleh pasien. Walaupun beberapa penelitian telah menggunakan aspirin enteric coated untuk dosis awal, absorbs bukal terjadi lebih cepat dengan formulasi non enteric coated (level of evidence C). Cukup beralasan untuk petugas 911 untuk menasehati pasien tanpa riwayat alergi aspirin yang mengalami gejala STEMI untuk mengunyah aspirin (162-325 mg) sementara menunggu petugas EMS prehospital. Walaupun beberapa penelitina menggunakan aspirin enteric coated untuk dosis awal, absorbs bukal terjadi lebih cepat dengan formulasi non enteric coated (level of evidence C). Cukup beralasan bahwa semua petugas ACLS melakukan dan mengevaluasi EKG secara rutin pada pasien nyeri dada yang dicurigai STEMI (level of evidence B). Bila EKG menunjukkan STEMI, petugas ACLS prehospital harus mereview check list reperfusi dan menghubungkan hasil EKG dan check list untuk menentukan pasien hanya perlu rawat jalan atau perlu rawat inap. C. Fibrinolisis prehospital Menetapkan protocol fibrinolisis prehospital penting dalam: 1. Model di mana dokter terdapat di ambulan 2. Sistem EMS yang terorganisasi dengan baik dengan paramedic dan EKG. Paramedic mendapat pelatihan interpretasi EKG dan terapi STEMI, komando medis online, pemimpin yang berpengalaman dalam manajemen STEMI dan program peningkatan kualitas yang berkelanjutan (level of evidence B). D. Protocol tujuan prehospital

Pasien STEMI dengan syok kardiogenik <75 tahun harus segera dibawa ke fasilitas kateterisasi jantung dan revaskularisasi segera (PCI atau CABG) bila dapat dilakukan dalam 18 jam onset nyeri (level of evidence A). Pasien STEMI dengan kontraindikasi terapi fibrinolitik harus segera dibawa (MRS di RS dengan pelayanan <30 menit) ke fasilitas kateterisasi jantung dan revaskularisasi segera (PCI atau CABG) (level of evidence B). Setiap komunitas harus memiliki protocol tertulis yang memandu personel EMS dalam menentukan ke mana harus membawa pasien STEMI (level of evidence C). Cukup beralasan bahwa pasien STEMI yang mengalami syok kardiogenik dan berusia 75 tahun atau lebih tua segera dibawa ke fasilitas kateterisasi jantung dan revaskularisasi segera (PCI atau CABG) bila dapat dilakukan dalam 18 jam onset syok (level of evidence B). Cukup beralasan bahwa pasien STEMI yang beresiko tinggi mengalami kematian, termasuk dengan CHF, dipertimbangkan untuk segera dibawa (MRS di RS dengan pelayanan <30 menit) ke fasilitas kateterisasi jantung dan revaskularisasi segera (PCI atau CABG) (level of evidence B). Pengenalan awal dan manajemen di UGD A. Strategi optimal untuk trias di UGD Rumah sakit harus menciptakan tim multidisiplin (meliputi dokter umum, dokter emergency, kardiolog, perawat, laboran) untuk mengembangkan protocol tertulis berdasarkan guideline dan spesifik institusi untuk triase dan menangani pasien prehospital di UGD dengan gejala STEMI (level of evidence B). B. Evaluasi awal pasien Hambatan kontak pasien ddenan pelayanan kesehatan (tiba di UGD atau kontak dengan paramedic) untuk memulai terapi fibrinolisis harus <30 menit. Alternatifnya jika PCI dipilih, hambatan kontak pasien dengan pelayan kesehatan (meliputi dokter umum, dokter emergency, kardiolog, perawat, laboran) ke inflasi balon harus < 90 menit (level of evidence B). Pemilihan terapi STEMI awal harus dibuat oleh dokter emergency berdasarkan protocol yang merupakan kolaborasi kardiolog (coronary care unit manajemen dan intervensional), dokter emergency, dokter umum, perawat, dan personel lain. Pada kasus di mana diagnosis awal dan terapi tidak jelas untuk dokter EM, perlu konsultasi kardiologi segera. 1. Anamnesa Target anamnesa pasien STEMI di UGD harus yakin apakah pasien pernah mengalami episode iskemia miokard sebelumnya seperti angina stable, UAP, MI, CABG, atau PCI. Evaluasi keluhan pasien harus berfokus pada nyeri dada, gejala penyerta, jenis kelamin dan umur, HT, DM,

kemungkinan diseksi aorta, risiko penyerta, penyakit serebrovaskular klinis (anaurosis fugax, kelemahan wajah/ekstremitas, kesemutan/penurunan sensoris wajah/ekstremitas, ataksia, atau vertigo) (level of evidence C). 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk embantu diagnose dan menilai luas,lokasi, adanya komplikasi STEMI (level of evidence ). Pemeriksaan fisik jelas, terfokus, dan terbatas untuk melihat bukti-bukti stroke sebelumnya atau deficit kognitif harus dilakukan pada pasien STEMI sebelum pemberian terapi fibrinolitik (level of evidence ). 3. EKG EKG 12 lead harus dilakukan dan ditunjukkan pada dokter emergency berpengalaman dalam 10 menit setelah sampai di UGD untuk semua pasien nyeri dada atau angina ekuivalen atau gejala lain yang mengarah pada STEMI (level of evidence C). Bila EKG tidak dapat mendiagnosa STEMI namun pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan klinis besar untuk STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau monitoring ST segmen kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan perkembangan ST segmen (level of evidence c). Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG lead kanan harus dilakukan untuk mendeteksi ST elevasi yang menunjukkan infark ventrikel kanan (level of evidence B). 4. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan lab harus dilakukan sebagai bagian manajemen pasien STEMI namun tidak menunda terapi reperfusi (level of evidence C). 5. Biomarker kerusakan jantung Troponin spesifik jantung seharusnya digunakan sebagai biomarker yang optimal untuk evaluasi pasien STEMI yang bersamaan dengan injuri otot rangka (level of evidence C). Untuk pasien dengan ST elevasi pada EKG 12 lead dan gejala STEMI, terapi reperfusi harus dimulai sesegera mungkin tidak tergantung pemeriksaan biomarker (level of evidence C). Pengukuran serial biomarker berguna untuk memberikan bukti suportif noninvasive untuk reperfusi arteri yang infark setelah terapi fibrinolitik pada pasien yang tidak dilakukan angiografi dalam 24 jam setelah terapi fibrinolitik (level of evidence b). Kelas III

Pengukuran serial biomarker tidak menentukan diagnose infark ulang dalam 18 jam setelah onset STEMI (level of evidence ). a. Pemeriksaan bedside untuk biomarker cardiac serum Walaupun pemeriksaan bedside dapat digunakan untuk pengukuran kualitatif peningkatan biomarker cardiac serum, pengukuran serial kadar biomarker cardiac harus dilakukan dengan tes kuantitatif (level of evidence B). Pada pasien dengan ST elevasi pada EKG 12 lead dan gejala STEMI, terapi reperfusi harus dimulai sesegera mungkin dan tidak bergantung pada pemeriksaan biomarker bedside (level of evidence ). 6. Imaging Pasien STEMI harus dilakukan foto thoraks portable, namun hal ini tidak menghambat terpai reperfusi (kecuali kemungkinan kontraindikasi misalnya diseksi aorta dicurigai) (level of evidence C). Pemeriksaan imaging seperti foto thoraks portable kualitas tinggi, echocardiografi transthoraks atau transesofageal, dan CT scan thoraks dengan kontras atau MRI seharusnya dilakukan untuk membedakan STEMI dengan diseksi aorta pada pasien yang perbedaannya tidak jelas (level of evidence B). Portable echo dapat mengklarifikasi diagnose STEMI dan menilai stratifikasi isiko pasien nyeri dada saat datang ke UGD terutama bila diagnose STEMI membingungkan dengan LBBB atau pacing atau curiga STEMI posterior dengan anterior ST depresi) (level of evidence B). Kelas III SPECT radionuklida tidak diperlukan untuk diagnose STEMI pasien yang diagnosanya sudah jelas dari EKG (level of evidence b). C. Manajemen 1. Penanganan rutin a. Oksigen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan desaturasi O2 arteri (SaO2 <90%) (level of evidence B). Cukup beralasan untuk memberikan O2 pada semua pasien dengan STEMI tanpa komplikasi selama 6 jam pertama (level of evidence C). b. Nitrogliserin

Pasien dengan iskemik yang sedang berjalan harus mendapat nitrogliserin sublingual (0,4 mg) tiap 5 menit dengan total 3 dosis setelah penilaian tentang perlunya nitrogliserin IV (level of evidence C). Nitrogliserin iv diindikasikan untuk penyembuhan iskemik yang sedang berjalan, control HT, dan manajemen kongesti paru (level of evidence C). Kelas III Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien dengan SBP <90 atau >30mmHg di bawah baseline, bradikardi <50, takikardi >100 atau dicurigai infark RV (level of evidence C). Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mendapat PDE inhibitor untuk disfungsi ereksi dalam 24 jam terakhir (48 jam untuk tadalafil) (level of evidence B). c. Analgesia Morfin sulfat (2-8 mg iv diulang tiap 5-15 menit) adalah analgesic yang menjadi pilihan manajemen nyeri berhubungan dengan STEMI (level of evidence C). Pasien yang rutin mengonsumsi NSAID (kecuali aspirin), baik nonselektif maupun COX-2 selektif sebelum STEMI harus menghentikan obat-obatan ini saat terjadi STEMI karena meningkatkan risiko mortalitas, infark ulang, HT, HF, dan rupture miokard sehubungan dengan penggunaannya (level of evidence C). Kelas III NSAID (kecuali aspirin) baik nonselektif maupun COX-2 selektif tidak boleh diberikan selama hospitalisasi karena STEMI karena meningkatkan risiko mortalitas, infark ulang, HT, HF, dan rupture miokard berhubungan dengan penggunaannya (level of evidence C). d. Aspirin Aspirin harus dikunyah oleh pasien yang belum mengonsumsinya sebelum STEMI. Dosis awalnya 162 mg (level of evidence A)-325 mg (level of evidence C). Walaupun bebrapa penelitian menggunakan aspirin enteric coated untuk dosis awalnya, absorbs bukal lebih cepat terjadi dengan formulasi non enteric coated. e. Beta bloker Terapi beta bloker oral harus dimulai dalam 24 jam pertama untuk pasien yang tidak mempunyai: 1. Tanda-tanda gagal jantung 2. Tanda-tanda low output state

3. Peningkatan risiko syok kardiogenik 4. Kontraindikasi relative beta bloker (PR interval >0,24 dtk, blok derajat II-III, asma/penyakit jalan napas reaktif (level of evidence B). Cukup beralasan untuk memberikan beta bloker iv pada pasien STEMI dengan HT yang tidak mempunyai: 1. Tanda-tanda gagal jantung 2. Tanda-tanda low output state 3. Peningkatan risiko syok kardiogenik 4. Kontraindikasi relative beta bloker (PR interval >0,24 dtk, blok derajat II-III, asma/penyakit jalan napas reaktif (level of evidence B). Kelas III Beta bloker iv seharusnya tidak diberikan pada pasien dengan: 1. Tanda-tanda gagal jantung 2. Tanda-tanda low output state 3. Peningkatan risiko syok kardiogenik 4. Kontraindikasi relative beta bloker (PR interval >0,24 dtk, blok derajat II-III, asma/penyakit jalan napas reaktif (level of evidence A). f. Reperfusi Konsep umum Pasien STEMI yang MRSdi fasilitas yang mampu melakukan PCI seharusnya diterapi dengan PCI dalam 90 menit setelah kontak dengan pelayanan kesehatan (level of evidence A). Pasien STEMI yang MRS di fasilitas yang tidak bisa PCI dan tidak bisa dibawa ke PCI center dan mendapat PCI dalam 90 menit harus diterapi dengan terapi fibrinolitik dalam 30 menit setelah MRS kecuali terdapat kontraindikasi terapi fibrinolitik (level of evidence B). Reperfusi farmakologis Indikasi terapi fibrinolitik

Dengan tidak adanya kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala dalam 12 jam dan ST elevasi >0,1 mV pada minimal 2 lead prekordial berurutan atau minimal 2 lead ekstremitas (level of evidence A). Dengan tidak adanya kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala dalam 12 jam dan LBBB baru (level of evidence A). Dengan tidak adanya kontraindikasi, cukup beralasan untuk memberikan terapi fibrinolitik pada STEMI dengan onset gejala dalam 12 jam dan dengan EKG MI posterior konsisten (level of evidence C). Dengan tidak adanya kontraindikasi, memungkinkaan untuk memberikan terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI yang dinilai dalam 12-24 jam, yang mengalami gejala iskemik dan ST elevasi > 0,1 mV pada minimal 2 lead prekordial berurutan atau minimal 2 lead ekstremitas (level of evidence B). Kelas III Terapi fibrinolitik seharusnya tidak diberikan pada pasien asimtomatik dengen gejala awal STEMI > 24 jam sebelumnya (level of evidence C). Terapi fibrinolitik seharusnya tidak diberikan pada pasien yang EKG nya hanya menunjukkan ST depresi kecuali dicurigai MI posterior. Kontraindikasi/perhatian Penyedia layanan kesehatan harus yakin bahwa pasien mempunyai kontraindikasi neurologis terhadap terapi fibrinolitik termasuk riwayat ICH, trauma kepala dalam 3 bulan terakhir, HT tidak terrkontrol, atau stroke iskemik dalam 3 bulan terakhir (level of evidence A). Pasien STEMI yang beresiko tinggi ICH harus diterapi dengan PCI daripada terapi fibrinolitik (level of evidence A). Kontraindikasi terapi fibrinolitik: neurologis dan lain-lain Terjadinya perubahan status neurologis selama dan setelah terapi reperfusi, terutama dalam 24 jam setelah terapi awal, diduga disebabkan oleh ICH sampai terbukti sebaliknya. Terapi fibrinolitik, antiplatelet, dan antikoagulan harus dihentikan sampai imaging kepala menunjukkan tidak ada ICH (level of evidence A). Konsultasi neurologi/neurosurgery/hematologi harus dilakukan untuk pasien STEMI yang mengalami ICH tergantung klinis (level of evidence C). Pada pasien ICH, infuse krioprecipitat, FFP, protamin, dan platelet dapat diberikan tergantung klinis (level of evidence C).

Pada pasien ICH memungkinkan untuk: a. Mengoptimalkan tekanan darah dan gula darah b. Menurunkan TIK dengan infuse manitol, intubasi endotrakea, dan hiperventilasi (level of evidence C) c. Pertimbangkan evakuasi ICH oleh bedah saraf (level of evidence C). Kombinasi reperfusi farmakologis dengan abcixmab dan reteplase/tenecteplase dosis dapat dipertimbangkan untuk pencegahan infark ulang (level of evidence A) dan komplikasi lain STEMI pada pasien tertentu (MI anterior, usia > 75 tahun, tidak ada FR perdarahan) yang memerlukan angiografi dan PCI (level of evidence C). Kelas III Kombinasi referfusi farmakologis dengan abcixmab dan reteplase/tenecteplase dosis seharusnya tidak diberikan pada pasien dengan usia > 75 tahun karena meningkatkan risiko ICH (level of evidence B). PCI Coronary angiografi Pemeriksaan coronary angiografi harus dilakukan: a. Pada kandidat PCI primer (level of evidence A) b. Pasien dengan syok kardiogenik yang merupakan kandidat revaskularisasi (level of evidence A) c. Pada kandidat perbaikan surgical untuk rupture septum ventrikel atau MR parah (level of evidence B) d. Pada pasien dengan instabilitas hemodinamik dan elektrik yang persisten (level of evidence C) Kelas iii Coronary angiografi seharusnya tidak dlakuka pada pasien dengan komorbiditas ekstensif dan risiko revaskularisasi lebih besar dari keuntungan (level of evidence C). PCI primer Pertimbangan umum: bila tersedia dengan cepat, PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan STEMI (termasuk MI posterior) atau MI dengan LBBB baru yang dapat mengalami PCI pada arteri yang infark dalam 12 jam setelah onset gejala, bila dilakukan pada waktu yang tepat

(inflasi balon dalam 90 menit setelah onset) oleh orang yang terampil dalam prosedur tersebut (>75 PCI/tahun). Prosedur tersebut harus didukung personel yang berpengalaman dalam lingkungan yang sesuai (melakukan >200 PCI/tahun, minimal 36 PCI primer untuk STEMI dan kapabilitas bedah jantung) (level of evidence A). Pertimbangan spesifik: a. Pasien STEMI yang MRS dengan fasilitas PCI harus diterapi dengan PCI dalam 90 menit setelah kontak dengan pelayanan kesehatan (level of evidence A). b. Bila durasi gejala dalam 3 jam dan perkiraan waktu door to ballon dan door to needle: i. Dalam 1 jam, dipilih PCI primer (level of evidence B) ii. > 1 jam dipilih terapi fibrinolitik (level of evidence B) c. Bila durasi gejala > 3 jam, PCI primer dipilih dan harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin, dengan tujuan dalam 90 menit (level of evidence B). d. PCI primer harus dilakukan untuk pasien yang lebih muda dari 75 tahun dengan STEMI/LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam MI dan cocok untuk revaskularisasi yang dapat dilakukan dalam 18 jam setelah syok, kecuali pasien menolak/kontraindikasi/ketidakcocokan untuk terapi invasive lebih lanjut (level of evidence A). e. PCI primer harus dilakukan pada pasien dengan CHF parah dan atau edema paru (Killip kelas III) dan onset gejala dalam 12 jam. Waktu yang dibutuhkan untuk intervensi harus sesingkat mungkin (level of evidence B). PCI primer cukup beralasan untuk pasien > 75 tahun dengan STEMI/LBBB/mengalami syok dalam 36 jam MI dan cocok untuk revaskularisasi yang dapat dilakukan dalam 18 jam setelah syok. Pasien dengan status fungsional yang baik untuk revaskularisasi dan setuju untuk terapi invasive dan dapat dipilih untuj strategi invasive (level of evidence B). Cukup beralasan untuk melakukan PCI primer untuk pasien dengan onset salah satu gejala berikut dalam 12-24 jam: a. CHF parah (level of evidence C) b. Instabilitas hemodinamik dan elektrik (level of evidence C) c. Gejala iskemik persisten (level of evidence C) Keuntungan PCI primer untuk pasien STEMI yang memungkinkan fibrinolisis tidak dapat ditegakkan bila dilakukan oleh operator yang melakukan <75 PCI/tahun (level of evidence C). Kelas III

PCI seharusnya tidak dilakukan pada arteri noninfark pada pasien tanpa gangguan hemodinamik (level of evidence C). PCI primer seharusnya tidak dilakukan pada pasien asimtomatik > 12 jam setelah onset STEMI bila hemodinamik dan elektrolit stabil (level of evidence C). PCI primer pada pasien yang tidak dapat dilakukan fibrinolitik PCI primer seharusnya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dilakukan fibrinolitik, dengan STEMI dengan onset gejala 12 jam (level of evidence C). Cukup beralasan untuk melakukan PCI primer pada pasien yang tidak dapat dilakukan fibrinolitik dengan onset gejala dalam 12-24 jam dengan satu atau lebih: a. CHF parah (level of evidence C) b. Instabilitas hemodinamik dan elektrik (level of evidence C) c. Gejala iskemik persisten (level of evidence C) PCI primer tanpa on-site cardiac surgery PCI primer dapat dipertimbangkan di RS tanpa on-site cardiac surgery, menyediakan rencana untuk transport cepat ke ruang operasi atau RS sekitar dengan kemampuan pendukung hemodinamik yang sesuai. Prosedur ini dibataasi untuk pasien STEMI dngan LBBB baru dan harus dilakukan pada waktu tertentu (inflasi balon dalam 90 menit setelah onset) oleh orang yang terampil dalam prosedur tersebut (>75 PCI/tahun) dan di RS yang melakukan minimal 36 PCI primer/tahun (level of evidence B). Kelas III PCI primer seharusnya tidak dilakukan di RS tanpa on site cardiac surgery dan tanpa rencana untuk transport cepat ke ruang operasi bedah jaantung RS sekitar atau tanpa kemampuan pendukung hemodinamik yang sesuai untuk transfer (level of evidence C). PCI terfasilitasi PCI terfasilitasi menggunakan regimen selama terapi fibrinolisis full dose dapat dipertimbangkan sebagai strategi reperfusi ketika terdapat hasil sebagai berikut. a. Pasien beresiko tinggi b. PCI tidak tersedia dengan cepat dalam 90 menit c. Risiko perdaraha kecil (usia muda, tidak ada HT tidak terkontrol, berat badan normal) (level of evidence C).

Kelas III Strategi reperfusi dengan terapi fibrinolitik full dose diikuti PCI tidak direkomendasikan dan dapat berbahaya (level of evidence B). Strategi invasive segera (emergency) dan PCI penyelamatan Strategi angiografi koroner dengan tujuan melakukan PCI (atau CABG emergency) direkomendasikan untuk pasien yang telah mendapat terapi fibrinolitik dan mengalami: a. Syok kardiogenik dan umur > 75 tahun dan kandidat yang cocok untuk revaskularisasi (level of evidence B) b. CHF parah dan atau edema paru (Killip kelas III) (level of evidence B) c. Aritmia ventrikel yang mempengaruhi hemodinamik (level of evidence C) Strategi angiografi koroner dengan tujuan melakukan PCI cukup beralasan pada pasien> 75 tahun yang mendapat terapi fibrinolitik dan mengalami syok kardiogenik, menunjukkan kandidaat yang baik untuk revaskularisasi (level of evidence B). Cukup beralasan untuk melakukan PCi penyelamatan pada pasien dengan satu atau lebih: a. Instabilitas hemodinamik atau elektrik (level of evidence C) b. Gejala iskemik persisten (level of evidence C) Strategi angiografi koroner dengan tujuan melakukan PCI penyelamatan baik untuk pasien di mana terapi fibrinolitik gagal (ST elevasi <50% menghilang setelah 90 menit terapi fibrinolitik pada lead yang menunjukkan elevasi terburuk) dan area miokard beresiko yang sedang sampai lebar atau anterior MI, inferior MI yang melibatkan ventrikel kanan atau ST depresi prekordial) (level of evidence B). Strategi angiografi koroner dengan tujuan untuk melakukan PCI dengan tidak adanay indikasi kelas I dan II dapat dilakukan namun keuntungan dan risikonya tidak jelas. Keuntungan PCI penyelamatan lebih besar di awal onset nyeri iskemik (level of evidence C). Kelas III Strategi angiografi koroner dengan tujuan melakukan PCI tidak direkomendasikan pada pasien dengan terapi fibrinolitik jika manajemen invasive lain merupakan kontraindikasi atau pasien menolak (level of evidence C). PCI setelah fibrinolisis pada pasien yang tidak mengalami reperfusi primer

Pada pasien dengan anatomi yang sesuai, PCI harus dilakukan di mana terdapat tanda-anda MI rekuren (level of evidence C). PCI setelah fibrinolisis atau untuk pasien yang tidak mendapat reperfusi primer Pada pasien dengan anatomis yang cocok, PCI harus dilakukan jika terdapat bukti objektif MI rekuren (level of evidence C). Pada pasien dengan anatomis yang cocok, PCI harus dilakukan untuk iskemia miokard sedang/berat spontan/dengan provokasi selama penyembuhan STEMI (level of evidence B). Pada pasien dengan anatomis yang cocok, PCI harus dilakukan untuk syok kardiogenik atau instabilitas hemodinamik (level of evidence B). Cukup beralasan untuk melakukan PCI rutin pada pasien dengan fraksi ejeksi LV (LVEF) < 0,40, CHF/aritmia ventrikel serius (level of evidence C). Cukup beralasan untuk melakukan PCi pada pasien HF klinis selama episode akut, walaupun evaluasi menunjukkan fungsi LV masih baik (LVEF > 0,40) (level of evidence C). PCI untuk stenosis yang hemodinamiknya signifikan pada arteri infark yang paten > 24 jam setelah STEMI dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari strategi invasive rutin (level of evidence B). Kelas III PCI arteri infark yang tersumbat total > 24 jam setelah STEMI tidak direkomendasikan pada pasien asimtomatis dengan penyakit 1 atau 2 pembuluh darah bila hemodinamik dan elektriknya stabil dan tidak terdapat tanda-tanda iskemia berat (level of evidence B). Reperfusi bedah akut CABG emergency/urgen pada pasien STEMI harus dilakukan dalam kondisi berikut: a. PCI gagal dengan nyeri persisten/instabilitas hemodinamik pada pasien dengan anatomi koroner yang cocok untuk pembedahan (level of evidence B). b. Iskemia persisten/rekuren yang refrakter pada terapi medis pada pasien dengan anatomis cocok untuk pembedahan, memiliki area miokardium beresiko dan bukan kandidat PCI/terapi fibrinolitik (level of evidence B). c. Pada waktu perbaikan bedah post infark VSR atau insufisiensi katub mitral (level of evidence B). d. Syok kardiogenik pada pasien < 75 tahun dengan ST elevasi, LBBB/MI posterior yang mengalami syok dalam 36 jam STEMI, memiliki penyakit multivesel/di pembuluh darah utama

kiri dan cocok untuk revaskularisasi yang dapat dilakukan dalam 18 jam syok, kecuali dukungan lebih lanjut merupakan kontraindikasi/pasien menolak/tidak cocok untuk terap invasive lanjut (level of evidence A). e. Aritmia ventrikel life threatening dengan adanya stenosis kiri > 50% atau penyakit pada 3 pembuluh darah (level of evidence B). CABG emergency dapat berguna sebagai strategi reperfusi primer pada pasien dengan anatomis yang cocok, yang bukan kandidat fibrinolisis/PCI dan pada jam-jam awal (6-12 jam) STEMI yang mengalami evolusi terutama bila terdapat penyakit multivesel atau penyait utama kiri (level of evidence B). CABG emergency dapat efektif pada pasien > 75 tahun dengan ST elevasi, LBBB/MI posterior yang mengalami syok dalam 36 jam STEMI, mengalami penyakit 3 pembuluh darah parah atau penyakit kiri utama dan cocok untuk revaskularisasi yang dapat dilakukan dalam 18 jam syok. Pasien dengan status fungsional baik yang cocok untuk revaskularisasi dan setuju untuk terapi invasive dapat dipilih untuk terapi invasive (level of evidence B). Kelas III CABG emergency seharusnya tidak dilakukan pada pasien dengan angina persisten dan sedikit area yang beresiko jika hemodinamiknya stabil (level of evidence C). CABG emergency seharusnya tidak dilakukan pada pasien dengan reperfusi epikardial yang berhasil namun reperfusi mikrovaskular tidak berhasil (level of evidence C). Penilaian reperfusi Cukup beralasan untuk memasukkan pola ST elevasi, irama jantung, atau gejala klinis 60-180 menit setelah insiasi terapi fibrinolitik. Temuan noninvasive yang sugestif untuk reperfusi meliputi hilangnya gejala, mempertahankan/mengembalikan stabilitas hemodinamik/elektrik dan penurunan <50% pola injuri ST elevasi dari follow up EKG 60-90 menit setelah terapi awal (level of evidence B). Terapi tambahan Antikoagulan sebagai terapi tambahan untuk reperfusi Pasien yang mengalami reperfusi dengan fibrinolitik harus mendapat terapi antikoagulan minimal selama 48 jam (level of evidence C) dan terutama untuk durasi indeks hospitalisasi sampai 8 hari (regimen selain UFH dirkomendaiskan bila terapi antikoagulan diberikan >48 jam karena risiko trombositopeni yang diinduksi heparin dengan pemanjangan terapi UFH (level of evidence A). Regimen antikoagulan dengan efikasi baik meliputi:

a. UFH (bolus awal iv 60U/kg (max 4000U) diikuti infuse iv 12U/kg/jam (max 1000 U/jam)) disesuaikan untuk mempertahankan APTT 1,5-2x control (50-70 detik) (level of evidence C). b. Enoxaparin (serum kreatinin < 2,5 mg/dl untuk laki-laki dan 2 mg/dl untuk perempuan): untuk pasien <75 tahun, bolus awal 30 mg iv diberikan, diikuti injeksi sc 15 menit kemudian 1 mg/kg/12 jam, untuk pasien > 75 tahun, bolus awal iv dihilangkan dan dosis sc diturunkan 0,75mg/kg/12 jam. Tidak tergantung umur, clearance kreatinin selama terapi diperkirakan < 30ml/min, regimen sc 1 mg/kg/24 jam. Dosis maintenance denen enoxaparin harus dilanjutkan selama durasi indeks hospitalisasi sampai 8 hari (level of evidence A). c. Fondaparinux (kreatinin serum <3 mg/dl). Dosis awal 2,4 mg iv, diikuti injeksi sc 2,5 mg 11 hari. Dosis maintenance fondaparinux harus dilanjutkan selama durasi indeks hospitalisasi sampai 8 hari (level of evidence B). Untuk pasien yang mengalami PCI setelah mendapat regimen antikoagulan, dosis berikut direkomendasikan: a. Untuk terapi sebelumnya dengan UFH, bolus tambahan UFH diperlukan untuk mendukung prosedur, bila GP IIb/IIIa receptor antagonnis harus diberikan (level of evidence C). Bivalirudin juga digunakan pada pasien yang sebelumnya diterapi UFH (level of evidence C) b. Untuk terapi sebelumnya dengan enoxaparin, bila dosis sc terakhir diberikan dalam 8 jam, tidak diperlukan enoxaparin tambahan, bila dosis sc terakhir diberikan dalam 8-12 jam, dosis iv 0,3 mg/kg harus diberikan (level of evidence B). c. Untuk terapi sebelumnya dengan fondaparinux, pemberian terapi iv tambahan dengan antikoagulan yang memiliki aktivitas anti IIa perlu diperhatikan apakah antagonis receptor GP IIb/IIIa telah diberikan (level of evidence C). Kelas III Karena risiko thrombosis kateter, fondaparinux tidak boleh digunakan sendiri sebagai antikoagulan untuk mendukung PCI. Antikoagulan tambahan dengan aktivitas anti Iia harus diberikan (level of evidence C). Antiplatelet Aspirin Dosis sehari-hari aspirin (dosis awal 162-325 mg po, dosis maintenance 75-162 mg) harus diberikan setelah STEMI pada semua pasien tanpa alergi aspirin (level of evidence A). Thieropiridin

CPG 75 mg/hari po harus ditambahkan dengan aspirin pada pasien STEMI tanpa melihat apakah pasien mengalami reperfusi dengan fibrinolitik/tidak mendapat terapi reperfusi (level of evidence A). terapi CPG harus dilanjutkan minimal 14 hari (level of evidence B). CPG mungkin diindikasikan untuk pasien yang mendapat terapi fibrinolitik dan tidak boleh mendapat aspirin karena hipersensitif dan intoleransii GI (level of evidence C). Pada pasien < 75tahun yang memperoleh terpi fibrinolitik/tidak mendapat terapi reperfusi, cukup beralasan untuk mendapat CPG po LD 300 mg (level of evidence C). Terapi maintenance jangka panjang (min 1 tahun) dengan CPG (75 mg/hari po) cukup beralasan pada pasien STEMI tanpa melihat apakah pasien diterapi reperfusi dengan fibrinolitik/ tidak mendapat terapi reperfusi (level of evidence C). GP IIb/IIIa inhibitor Cukup beralasan untuk memulai terapi dengan abciximab sesegera mungkin sebelum PCI primer (dengan/tanpa stenting) pada pasien dengan STEMI (level of evidence B). Terapi dengan tirofiban/eptifiban dapat dipertimbangkan sebelum PCI primer pada pasien dengan STEMI (level of evidence C). Terapi farmakologis lain Inhibisi RAAS ACEi harus diberikan po dalam 24 jam STEMI untuk pasien denagn infark anterior, kongesti paru/LVEF < 0,40, tanpa hipotensi (SBP <100/>30 di bawah baseline)/terdapat kontraindikasi terhadap pengobatab (level of evidence A). ARB harus diberikan pada pasien STEMI yang intoleran pada ACEi dan memiliki gejala klinis dan radiologis HF/LVEF <0,40. Valsartan dan candesartan telah menunjukkan efikasi untuk rekomendasi ini (level of evidence C). Kelas III Diltiazem dan verapamil dikontraindikasikan pada pasien STEMI dan berhubunagn dengan disfungsi LV sistolik dan CHF (level of evidence A). Nifedipin (betuk lepas cepat) dikontraindikasikan pada terapi STEMI Karena reflex aktivasi simpatis, taikardi, dan hipotensi berhubungan dengan penggunaannya (level of evidence B). Manajemen di RS A. Lokasi

1. Coronary care unit Pasien STEMI harus dibawa ke lingkungan yang tengan dan nyaman yang menyediakan monitoring kontinu EKG dna pulse oximetri dan memilikiakses ke fasilitas monitoring hemodinamik dan defibrilasi (level of evidence C). Regimen medikasi pasien harus direview untuk konfirmasi pemberian aspirin dan beta bloker dengan dosis adekuat untuk mengontrol HR dan akses perlunya nitrogliserin untuk mengontrol angina, HT.HF (level of evidence A). Kebutuhan O2 tambahan harus dinilai dengan monitoring saturasi O2 arteri. Bila stabil dalam 6 jam, pasien harus dinilai kembali untuk kebutuhan O2 (sat O2 <90%) dan diskontinuitas O2 tambahan harus dipertimbangkan (level of evidence C). Perawatan harus dilakukan pada pasien kritis, berdasar kebutuhan khusus pasien dan kompetensi provider serta prioritas organisasi (level of evidence C). Perawatan pasien STEMI di critical care unit (CCU) harus distruktur sesuai protokol (level of evidence C). Monitoring EKG harus berdasar lokasi dan irama untuk mendeteksi deviasi ST, pergeseran aksis, defek konduksi dan disritimia (level of evidence B). Kelas III CCU tidak efektif untuk menerima pasien sakit terminal, DNR denga STEMI, karena kebutuhan klinis dan kenyamanan dapat diperoleh dii luar CCU (level of evidence C). 2. Step down unit Merupakan strategi trias untuk memasukkan pasien STEMI beresiko rendah yang telah mengalami PCI berhasil ke unit step down untk perawatan post PCI daripada CCU (level of evidence C). Pasien STEMI yang dimasukkan CCU yang menunjukkan stabilitas klinis selama 12-24 jam (tanpa iskemia rekuren, HF, disritmia karena gangguan hemodinamik) harus dipindah ke step down unit (level of evidence C). Cukup beralasan untuk pasien yang sembuh dari STEMI yang mengalami HF simtomatik untuk diterapi di step down unit, menyediakan fasilitas untuk monitoring kontinu EKG, defibrilasi, dan perawat terlatih (level of evidence C). Pasien yang sembuh dari STEMI yang memiliki penyakit paru signifikan memerlukan O2 tambahan aliran tinggi/masker ventilasi noninvasive/BIPAP/CPAP dapat dipertimbangkan untuk dipindah ke step down unit dengan fasilitas monitoring kontinu pulse oximetri dan perawat terlatih denga ratio perawat:pasien cukup (level of evidence C).

B. General measures 1. Level aktivitas Setelah 12-24 jam, cukup beralasan untuk memberikan pasien dengan instabilitas hemodinamik dan iskemia kontinu untuk mendapat perawatan bedside (level of evidence C). Kelas III Pasien dengan STEMI yang bebas dari iskemi berulang, gejala HF/gangguan serius irama jantung tidak boleh bedrest >12-24 jam (level of evidence C). 2. Diet Pasien STEMI harus diresepkan NCEP Adult Treatment Panel III (ATP III) Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) diet dengan fokus penurunan intake lemak dan kolesterol <7% total kalori dari lemak jenuh, <200 mg kolesterol/hari, peningkatan konsumsi asam lemak omega 3 dan intake kalori yang sesuai dengan kebutuhan energy (level of evidence C). Pasien DM dengan STEMI harus mendapat keseimbangan kalori yang tepat (level of evidence B). Intake Na harus dibatasi pada pasien STEMI dengan HT/HF (level of evidence B). 3. Edukasi pasien di RS Konseling pasien untuk memaksimalkan adherens pada terapi post STEMI (kompliansi dalam mengonsumsi obat, OR dna berhenti merokok)harus dimulai selama fase awal hospitalisasi, intensif, saat KRS dan berlanjut pada follow up visit dan melalui program rehabilitasi jantung dan kelompok pendukung masyarakat (level of evidence C). Jalur kritis, protocol, dan alat peningkatan kualitas harus digunakan untuk meningkatkan aplikasi terapi berdasarkan bukti untuk pasien STEMI, keluarga dan institusi (level of evidence C). 4. Analgesia/ansiolitik Cukup beralasan untuk menggunakan medikasi ansiolitik pada pasien STEMI untuk menghilangkan kecemasan jangka pendek/gangguan perilaku berhubungan denga hospitalisasi karena STEMI (level of evidence C). Cukup beralasan untuk menilai kadar kecemasan pasien dan menanganinya dengan intervensi perilaku dan rujukan (level of evidence C). C. Medikasi 1. Beta bloker

Pasien yang mendapat beta bloker dalam 24 jam pertama STEMI tanap efek samping haruus melanjutkannya selama fase konvalesen awal STEMI (level of evidence A). Pasien tanpa kontraindikasi terhadap beta bloker yang tidak mendapatkannya dalam 24 jam setelah STEMI harus mendapatkannya dalam fase konvalesen awal (level of evidence A). Pasien dengan kontraindikasi dalam 24 jam pertama STEMI harus dievaluasi untuk kandidat terapi beta bloker (level of evidence C). 2. Nitrogliserin Nitrogliserin iv diindikasikan pada48 jam pertama setelah STEMI untuk terapi iskemia persisten, CHF, HT. keputusan untk memberikan nitrogliserin iv dan dosis yang digunakan tidak memasukkan terapi dengan intervensi yang menurunkan mortalitas seperti beta bloker/ACEi (level of evidence B). Nitrat iv, po/topical berguna dalam 48 jam setelah STEMI untuk terapi angina rekuren/CHF persisten bila penggunaannya tidak termasuk terapi beta bloker dan ACEi (level of evidence B). Melanjutkan penggunaan terapi nitrat dalam 24-48 jam dengan tidak adanya angina/CHF rekuren dapat berguna walaupun keuntungannya lebih kecil dan tidak jelas (level of evidence B). Kelas III Nitrat seharusnya tidak diberikan pada pasien dengan SBP <90/>30 di bawah base line, bradikasrdi berat < 50x/menit, takikardi >100x/menit/infark RV (level of evidence C). 3. Inhibisi RAAS ACEi harus diberikan secara oral selama konvalesen dari STEMI pada pasien yang dapat menoleransi obat-obatan ini dan harus diteruskan jangka panjang (level of evidence A). ARB harus diberikan pada pasien STEMI yang intoleran terhadap ACEi dan mengalami gejala klnis dan radiologis HF/LVEF < 0,40. Valsartan dan candesartan telah menunjukkan efikasi (level of evidence B). Blockade aldosteron jangka panjang harus diberikan pada pasien post STEMI tanpa disfungsi ginjal signifikan (kreatinin <2,5 pada laki-laki dan <2 pada perempuan)/hipokalemi (Na<5 meq/L) yang telah menerima dosis terapi ACEi memiliki LVEF < 0,40 dan mengalami gejala HF simtomatis/DM (level of evidence A). Pada pasien STEMI yang toleran terhadap ACEi, ARB berguna sebagai alternative ACEi yang memilki tanda-tanda klinis dan radiologis HF/LVEF <0,40. Valsartan dan candesartan telah menunjukkan efikasi (level of evidence B). 4. Antiplatelet

Aspirin 162-325 mg harus diberikan pada hari pertama STEMI dan bila tidak ada kontraindikasi harus dilanjutkan setiap hari dengan dosis 75-162 mg (level of evidence A). Thienopiridin (mis CPG) harus diberikan untuk pasien yang tidak dapat memperoleh aspirin karena hipersensitif/GI intoleran (level of evidence C). Untuk pasien yang mendapat CPG dan direncanakan CABG, obatnya harus ditunda min 5 hari, kecuali urgency untuk revaskulasrisai melebihi risiko perdarahan (level of evidence B). Untuk pasien yang mengalami kateterisasi jantung diagnose dan direncananakan PCI, CPG harus dimulai dan dilanjutkan min 1 builan setelah implantasi bare metal stent dan selama beberapa bulan setelah implantasi drug-eluting stent (3 bulan untk sirolimus, 6 bulan unutk paclitaxes) dan sampai 12 pada pasien yang tidak beresiko tinggi perdarahan (level of evidence B). 5. Antikoagulan UFH iv (bolus 60 U/kg, max 4000 U iv, infuse awal 12 U/kg/jam, max 1000 U/jam)/LMWH harus digunakan pada pasiien setelah STEMI yang beresiko tinggi emboli sistemik (MI besar/anterior, AF, emboli sebelumnya, thrombus LV, syok kardiogenik) (level of evidence C).. Pasien dengan STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi harus diterapi dengan antikoagulan (regimen non uFH) selama indeks hospitalisasi, sampai 8 hari (level of evidence B). strategi yang dpat digunakna meliputi LMWH (level of evidence C)/fondaparinux (level of evidence B)menggunakan regimen dosis yang samampada pasien yang mendapat terapi fibrinolitik. 6. O2 Terapi O2 tambahan dapat dilanjutkan dalam 6 jam pertama pada pasien STEMI dengan desaturas O2 arteri (Sat O2 < 90%), kongesti pulmo (level of evidence C). D. Estimasi ukurann infark 1. Teknik EKG Semua pasien STEMI harus difollow up EKG dalam 24 jam dan saat KRS untuk menilai keberhasilan reperfusi dan luasnya infark,ditandai gelombang O baru (level of evidence B). E. Gangguan hemodinamik 1. Penilaian hemodinamik Monitoring kateter a.pulmo harus dilakukan pada: a. Hipotensi progresif bila tidak responsive terhadap pemberian cairan/merupakan kontraindikasi (level of evidence C)

b. Kecurigaan kompliasi mekanik STEMI (mis VSR, rupture m.papilaris, rupture dinding bebas dengan tamponade pericardium) jika echo tidak dilakukan (level of evidence C) Tekanan intraarterial harus dimonitor pada: a. Pasien dengan hipotensi berat (SBP <80) (level of evidence C). b. Pasien yang mendapat vasopressin/agen inotropik (level of evidence C) c. Syok kardiogenik (level of evidence C) Monitoring kateter a.pulmo dapat berguna pada: a. Hipotensi pada pasien tanpa kongesti paru tidak berespon pada pemberian cairan awal (level of evidence C) b. Syok kardiogenik (level of evidence C) c. CHF berat/edema paru yang tidak berespon cepat pada terapi (level of evidence C) d. Tanda-tanda hipoperfusi persisten tanpa hipotensi/kongesti paru (level of evidence C) e. Pasien menerima vasopresor/agen inotropik (level of evidence C) Monitoring tekanan intraarterial dapat berguna pada pasien yang mendapat Na nitropruside iv/vasodilator poten lainnya (level of evidence C). Monitoring tekanan intraarterial seperti dipertimbangkan pada pasien yang menerima ageninotropik iv (level of evidence C). Kelas III Monitoring kateter a.pulmo tidak direkomendaiskan pada pasien STEMI tanpa tanda-tanda instabilitas hemodinamik/gangguan respirasi (level of evidence C). Monitoring tekanan intraarterial tidak direkomendasiakn pada pasien STEMI tanpa kongesti paru dan perfusi jaringan adekuat tanpa menggunakan penudkung sirkulasi (level of evidence C). 2. Hipotensi Loading volume cepat dengan infuse iv harus diberikan pada pasine tanpa tanda klinis overload (level of evidence C). Gangguan ritme/abnormalitas konduksi yang menyebabkan hipotensi harus dikoreksi (level of evidence C).

Counterpulsasi balon intraaorta harus dilakukan pada pasien yang tidak berespon pada intervensi lain, kecuali terapi lanjutan tidak dapat dilakukan Karena pasien menolak/terdapat kontraindikasi (level of evidence B). Vasopresor harus diberikan pada hipotensi yang tidak membaik setelah loading volume (level of evidence C). Echo harus digunakan untuk mengevaluasi kompliaski mekanik kecuali dilakukan pemeriksaan invasive (level of evidence C). 3. Low output state Fungsi ventrikel kiri dan kemungkinan komplikasi mekanik harus dinilai denan echo bila tidak dilakukan pemeriksaan invasive (level of evidence C). Terapi yang direkomendasikan untuk low output state meliputi: a. Inotropik (level of evidence B) b. Counterpulsasi intraaorta (level of evidence B) c. Reperfusi mekanik denga PCI/CABG (level of evidence B) d. Koreksi bedah untuk komplikasi mekanik (level of evidence B) Kelas III Beta bloker/CCB tidak boleh diberikan pada pasien low output state karena HF (level of evidence B). 4. Kongesti paru Suplementasi O2 untk saturasi arteri > 90 direkomendasikan untuk pasien denan kongesti paru (level of evidence C). Morfin sulfat harus diberkan pada pasien dengan kongeesti paru (level of evidence C). ACEi dimulai dengan titrasi short acting ACEi dengan dosis awal rendah harus diberikan pada pasien dengan edema paru kecuali tekanan sistol <100 />30 di bawah baseline. Pasien dengan kongesti paru dan TD rendah sering memerlukan dukungan sirkulasi dengan agen inotropik dan vasopresor/counterpulsasi balon intraaorta untuk menghilangkan kongesti paru dan mempertahankan perfusi adekuat (level of evidence A). Nitrat harus diberikan pada pasien kongesti paru kecuali TDS <100/>30 di bawah baseline. Pasien dengan kongesti paru dan TD rendah sering memerlukan dukungan sirkulasi dengan agen

inotropik dan vasopresor/counterpulsasi balon intraaorta untuk menghilangkan kongesti paru dan mempertahankan perfusi adekuat (level of evidence C). Diuretic harus diberikan pada pasien dengan kongesti paru bila terdapat volume overload. Pasien yang belum mendapat ekspansi volume perlu diperhatikan (level of evidence C). Beta bloker harus dimulai sebelum KRS untuk prevensi sekunder. Untuk pasien yang mengalami HF selama MRS, dosis kecil perlu dimulai dengan titrasi gradual (level of evidence B). Blockade aldosteron jangka panjang harus diberikan untuk pasien post STEMI tanpa disfungsi renal yang signifikan (Cr<2,5 pada laki-laki dan <2 pada perempuan)/hiperkalemi (K>5 mg/L) pada pasien yang mendapat ACEi dosis terapi, memilki LVEF < 0,40 dan HF/DM simtomatik (level of evidence A). Echo harus dilakukan untuk menilai fungsi ventrikel kiri dan kanan untk menyingkikan kemungkinan mekanik (level of evidence C). Cukup beralasan untuk memasang intraaortic balon pump (IABP) untuk pasien dengan kongesti paru refrakter (level of evidence C). Kelas III Beta bloker /CCB tidak boleh diberikan pada pasien STEMI dengan HF yang ditandai kongesti paru dan low output state (level of evidence B). 5. Syok kardiiogenik Counterpulsasi balon intraaorta direkomendasi untk pasien STEMI bila syok kardiogenik tidak membaik dengan terapi farmakologis. IABP adalah prosedur stabilisasi untuk angiografi dan revaskulasisasi cepat (level of evidence B). Monitoring intraarteri direkomendasikan unutk manajemen pasien STEMI dengan syok kardiogenik (level of evidence C). Revaskularisasi awal, baik PCI/ABG, direkomendasikan untuk pasien <75 tahun dengan STE/LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam MI dan cocok untk revaskularisasi dalam 18 jam syok, kecuali penanganan tidak dapat dilakukan karena pasien menolak/terdapat kontraindikasi (level of evidence A). Terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak cocok untuk terapi invasive dan tidak memiliki kontrandikasi fibrinolitik (level of evidence B). Echo harus digunakan untuk evaluasi komplikasi mekanik kecuali dilakukan terapi invasive (level of evidence C).

Monitoring kateter a.pulmo dapat berguna untuk manajemen pasien STEMI dengan syok kardiogenik (level of evidence C). Revaskularisasi awal, baik PCi/CABG, dapat dilakukan untuk pasien <75 tahun dengan STE/LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam MI dan cocok untk revaskularisasi dalam 18 jam syok, pasien dengan status fungsional baik yang setuju untuk terapi invasive dapat dipilih untuk terapi invasive (level of evidence B). 6. Infark ventrikel kanan Pasien dengan STEMI inferior dan gangguan hemodinamik harus diperiksa lead v4R untuk medeteksi STE dan echo untuk mencari infark ventrikel kanan (level of evidence B). Terapi untuk pasien STEMI dan infark ventrikel kanan dan disfungsi iskemik: a. Reperfusi awal harus dicapai bila mungkin (level of evidence C) b. AV sinkron harus dicapai bila mungkin (level of evidence C) c. Preload RV harus dioptimalkan dan biasanya memerlukan volume challenge pada pasien dengan instabilitas hemodinamik dan JVP normal/rendah (level of evidence C) d. Afterload RV harus dioptimalkan dan biasanya memerlukan terapi untuk disfungsi ventrikrl kiri (level of evidence C) e. Terapi inotropik harus diberikan pada instabilitas hemodinamik yang tidak responsive pada volume challenge (level of evidence C). Setelah infark yang menyebabkan disfungsi RV, cukup beralasan untuk menunda CABG selama 4 minggu untuk memungkinkan penyembuhan kontraktilitas (level of evidence C). 7. Penyebab mekanik HF/low output state a. Diagnose Defek mekanik biasanya terjadi dalam minggu pertama setelah STEMI. Pada pemeriksaan fisik, adanya murmur baru menunjukkan kemungkinan VSR/MR. rupture dinding LV ditandai dengan nyeri dada dan perubahan ST-T pada EKG dengan progresi cepat menjadi kolaps hemodinamik dan disosiasi elektromekanik. b. Regurgitasi mitral Pasien dengan rupture m.papilaris harus mendapat bedah jantung urgen, kecuali terapi lanjut tidak dapat dilakukan karena pasien menolak atau terdapat kontraindikasi terapi invasive (level of evidence B).

CABG harus dilakukan pada saat yang sama dengan operasi katub mitral (level of evidence B). c. VSR setelah STEMI Pasien dengan STEMI yang mengalami komplikasi VSR membutuhkan bedah jantung segera, kecuali terapi lanjut tidak dapat dilakukan karena pasien menolak atau terdapat kontraindikasi terapi invasive (level of evidence B). CABG harus dilakukan pada saat yang sama dengan repair VSR (level of evidence B). d. Rupture dinding LV Pasien dengan rupture dinding harus mendapat bedah jantung urgen, kecuali terapi lanjut tidak dapat dilakukan karena pasien menolak atau terdapat kontraindikasi terapi invasive (level of evidence B). CABG harus dilakukan pada saat yang sama dengan repair dinding (level of evidence B). e. Aneurysm LV Cukup beralasan untuk pasien STEMI yang mengalami aneurisma ventrikel karena takiaritmia/HF yang tidak berespon terhadap terapi medis dan kateter dipertimbangkan untuk aneurismektomi LV dan operasi CABG (level of evidence B). f. Dukungan mekanik untuk HF Counterpulsasi balon intraaorta harus digunakan pada pasien STEMI dengan hipotensi (SBP< 90/>30 di bawah baseline MAP) yang tidak berespon pada intervensi lain kecuali terapi lanjut tidak dapat dilakukan karena pasien menolak atau terdapat kontraindikasi (level of evidence B). Counterpulsasi balon intraaorta direkomendasikan untuk pasien STEMI dengan low output state (level of evidence B). Counterpulsasi balon intraaorta direkomendasikan untuk pasien STEMI dengan syok kardiogenik yang tidak berespon terapi farmakologis. IABP adalah terapi stabilisasi untuk angiografi dan revaskularisasi cepat (level of evidence B). Counterpulsasi balon intraaorta harus digunakan sebagai tambahan terapi STEMI dengan nyeri dada iskemik berulang dan tanda-tanda instabilitas hemodinamik, fungsi LV jelek dan banyak area miokard beresiko, pasien harus dilakukan kateterisasi jantung dan revaskularisasi segera (level of evidence C). Cukup beralasan untuk menangani pasien STEMI dengan VT polimorfik refrakter dengan counterpulsasi balon intraaorta untuk mengurangi iskemia miokard (level of evidence B).

Cukup beralasan untuk menggunakan counterpulsasi balon intraaorta untuk menangani pasien STEMI dengan kongesti paru refrakter (level of evidence C). F. Aritmia setelah STEMI 1. Aritmia ventrikel a. Fibrilasi ventrikel VF/pulseless VT harus diterapi dengan syok elektrik unsinkron dengan energy monofasik 200 J, jika tidak berhasil, syok kedua 200-300 J diberikan dan jika perlu syok ketiga 360 J (level of evidence B). Cukup beralasan VF/pulseless VT yang refrakter terhadap syok elektrik diterapi dengan amiodaron (300 mg atau 5 mg/kg iv bolus) diikuti syok elektrik unsinkron (level of evidence B). Cukup beralasan untuk mengoreksi gangguan elektrolit dan asam basa (K>4,0 meq/L dan Mg >2,0 mg/dl) untuk mencegah episode VF berulang setelah episode VF awal diterapi (level of evidence C). Cukup beralasan untuk menangani VT/VF yang refrakter terhadap syok dengan procainamid bolus/iv. Namun hal ini terbatas karena lamanya waktu pemberian (level of evidence C). Kelas III Pemberian profilaksis antiaritmia tidak direkomendasikan ketika digunakan agen fiibrinolitik (level of evidence B). b.VT VT polimorfik >30 detik/menyebabkan kolaps hemodinamik harsu diterapi denga syok elektrik unsinkron dengan monofasik 200 J, jika tidak berhasil, syok kedua 200-300 J diberikan dan jika perlu syok ketiga 360 J (level of evidence B). Episode VT monomorfik dengan angina, edema paru atau hipotensi (TD<90) harus diterapi denagn syok elektrik sinkron 100 J. Peningkatan energy tidak berguna, anastesi dapat diberikan bila hemodinamik toleran (level of evidence B). VT monomorfik sustain yang tidak berhubungan dengan angina, edema paru dan hipotensi harus diterapi dengan: a. Amiodaron: 150 mg diinfus dalam 10 menit (dosis alternative 5 mg/kg), diulang 150 mg tiap 10-15 menit bila diperlukan. Infuse alternative: 360 mg dalam 6 jam (1 mg/menit) kemudian 540 mg dalam 18 jam (0,5 mg/menit). Dosis kumulatif total, termasuk dosis tambahan yang diberikan pada serangan jantung, tidak boleh >2,2 g dalam 24 jam (level of evidence B).

b. Kardioversi elektrik sinkron dimulai denagn energy 50 J (level of evidence B) Cukup beralasan untuk menangani VT polimorfik refrakter dengan: a. Usaha agresif untuk mengurangi iskemia miokard dan stimulasi adrenergic, termasuk terapi beta bloker, IABP dan pertimbangan PCI/CABG darurat (level of evidence B). b. Normalisasi agresif K>4 dan Mg>2 (level of evidence C). c. Bila pasien bradikardi <60 x/min / long QT, diperlukan temporary pacing (level of evidence C) Mungkin berguna untuk terapi VT monomorfik yang tidak berhubungan dengan angina, edema paru atau impotensi dengan bolus dan infuse prokainamid (level of evidence C). Kelas III Penggunaan rutin profilaksis antiaritmia (mis lidokain) tidak diindikasikan untuk supresi PVC, couplet, accelerated idioventricular rhytm/nonsustain VT (level of evidence B). Penggunaan rutin profilaksis antiaritmia tidak diindikasikan dengan penggunaan agen fibrinolitik (level of evidence B). c. PVC Kelas III Terapi isolated PVC, couplet, nonsustain VT tidak direkomendasikan kecuali menyebabkan gangguan hemodinamik (level of evidence A). d.Accelerated idioventrikular rhytm dan Accelerated junctional rhytm Terapi antiaritmia tidak diindikasikan untuk Accelerated idioventrikular rhytm (level of evidence C). Terapi antiaritmia tidak diindikasikan untuk Accelerated junctional rhytm (level of evidence C). e. Implantable cardioverter defibrillator Implantasi pada pasien setelah STEMI Rekomendasi untuk profilaksis implantasi ICD berdasarkan EF tidak konsisten karena peneliti klinis telah memilih EF yang berbeda dalam penelitian dan tidak konsisten dengan implikasinya. Terdapat perbedaan dengan guideline. Namun tidak ada penelitian dengan renge EF intermediet, contohnya tidak terdapat penelitian pada pasien dengan LVEF 31-35% sementara beberapa penelitian menggunaan pasien dengan EF<30%, <35%, <40%, karena adanya inkonsistensi direkomendasikan untuk memasukkan pasien dengan EF < range nilai tertentu.

ICD diindikasikan untuk pasien dengan VF/hemodinamik signifikan sustain VT > 2 hari setelah STEMI, menunjukkan aritmia yang tidak disebabkan iskemia reversible (level of evidence A). Terapi ICD direkomendasikan untuk pencegahan primer untuk menurunkan mortalitas total dan menurunkan SCD pada pasien dengan disfungsi LV karena MI sebelumnya yang <40 hari post MI, denagn LVEF <30-40 dan FC II-III, mendapat terapi medis kronis optimal dan ekspektasi survival dengan status fungsional baik > 1 tahun (level of evidence A). Implantasi ICD dapat dilakuakn pada pasien dengan disfungsi LV karena MI sebelumnya minimal 40 hari post MI dengan LVEF < 30-35% dengan FC I pada terapi medis kronik optimal ekspektasi survival dengan status fungsional baik > 1 tahun (level of evidence B). Ablasi kateter kuratif/amiodaron dapat dipertimbangkan pada terapi ICD untuk mengurangi gejala pada pasien dengan disfungsi LV karena MI sebelumnya dan VT rekuren dengan hemodinamik stabil dan LVEF >40% (level of evidence B). Amiodaron merupakan terapi yang baik untuk pasien dengan disfungsi LV karena MI sebelumnya dengan indikasi ICD/menolak ICD (level of evidence C). Kelas III ICD tidak diindikasikan pada pasien STEMI yang tidak mengalami VF spontan/sustain VT >48 jam setelah STEMI dengan LVEF >0,40 min 1 bulan setelah STEMI (level of evidence C). 2. Supraventrikuler aritmia/AF AF/flutter sustain pada pasien dengan gangguan hemodinamik/iskemi yang sedang berjalan harus diterapi dengan satu atau lebih: a. Kardioversi sinkron dengan syok monofasik 200 J untuk AF dan 50 J untuk flutter diawali anestesi umum/sedasi (level of evidence C). b. Untuk episode AF yang tidak berespon pada kardioversi elektrik/terjadi kembali setelah periode sinus rythm, penggunaan terapi antiaritmia bertujuan menurunkan respon ventrikel, agen yang digunakan: 1. Amiodaron iv 2. Digoxin iv untuk rate control pada pasien disfungsi LV berat dan HF (level of evidence C). AF sustain dan atrial flutter pada pasien dengan iskemia tanpa gangguan hemodinamik harus diterapi dengan: a. Beta bloker kecuali kontraindikasi (level of evidence C). b. Iv diltiazem/verapamil (level of evidence C).

c. Kardioversi sinkron dengan syok monofasik 200 J untuk AF dan 50 j untuk flutter diawali anestesi umum/sedasi (level of evidence C). Untuk episode fibrilasi atrium sustain/flutter tanpa gangguan hemodinamik/iskemia, perlu dilakukan rate control. Sebagai tambahan, pasien dengan sustained AF/flutter harus diberi terapi antikoagulan, pertimbangan kardioversi perlu diberiikan pada pasien sinus rhythm dengan riwayat AF/flutter setelah STEMI (level of evidence C). Reentran paroksismal SVT harus diterapi dengan: a. Masase sinus karotis (level of evidence C) b. Adenosine iv (6 mg x 1 dalam 1-2 detik,bial tidak respon 12 mg iv setelah 1-2 menit) c. Iv beta bloker denagn metoprolol (2,5-5 mg tiap 2-5 menit dengan total 15 mg dalam 10-15 min) /atenolol (2,5-5 mg dalam 2 min dengan total 10 mg dalam 10-15 menit) (level of evidence C) d. Iv diltiazem (20 mg (0,25 mg/kg)) dalam 2 min diikuti infuse 10 mg/jam) (level of evidence C) e. Iv digoxin, memerlukan waktu 1 jam sebelum efek farmakologis muncul (8-15 mcg/kg (0,6-1 mg pada pasien dengan BB 70 kg) (level of evidence C) Kelas III Terapi untuk PAC tidak diindikasikan (level of evidence c). 3. Bradiaritmia a. Terapi akut untuk gangguan konduksi dan bradiaritmia Ventricular asistol Resusitasi cepat termask kompresidada, atropine, vasopressin, epinefrin, dan temporary pasing harus diberikan untuk terapi ventricular asistol (level of evidence B). b.Penggunaan PCM permanen Pacing untuk bradikardi/gangguan konduksi berhubungan dengan STEMI Permanen ventricular pacing diindikasikan untuk blok AV derajat II persisten pada His purkinje dengan bilateral BBB/blok AV derajat III pada/di bawah sistem his purkinje setelah STEMI (level of evidence B).

Permanen ventricular pacing diindikasikan untuk blok AV infranodal derajat II-III dan BBB. Bila lokasi blok tidak jelas, diperlukan studi elektrofisiologi (level of evidence B). Permanen ventricular pacing diindikasikan untuk blok AV derajat II-III persisten dan simtomatik (level of evidence C). Permanen ventricular pacing dapat dipertimbangkan untuk blok AV derajat II-III persisten pada AV node (level of evidence B). Kelas III Permanen ventricular pacing tidak disarankan untuk AV blok transien tanpa gangguan konduksi intraventrikular (level of evidence B). Permanen ventricular pacing tidak disarankan untuk AV blok transien dengan isolated kiri anterior fasicular blok (level of evidence B). Permanen ventricular pacing tidak disarankan untuk blok fasicular kiri anterior tanpa adanya AV blok (level of evidence B). Permanen ventricular pacing tidak disarankan untuk AV blok derajat I persisten dengan BBB lama (level of evidence B). Disfungsi SA node setelah STEMI Sinus bradikardi simtomatik, pause >3detik/ sinus bradikardi dengan HR<40x/min dan berhubungan dengan hipotensi/gejala gangguan hemodinamik harus diterapi dengan bolus iv atropine 0,6-1 mg. bila bradikardi persisten dan dosis max atropine telah digunakan (2mg), transkutan/transvenous temporary pacing harus dilakukan (level of evidence C). Pemilihan mode pacing pada pasien STEMI Semua pasien dengan indikasi permanen pacing setelah STEMI harus dievaluasi untuk indikasi ICD (level of evidence C). Cukup beralasan untuk melakukan implantasi permanen dual chamber pacing system pada pasien STEMI yang memerlukan permanan pacing dan sinus rhythm. Cukup beralasan pasien dengan AF/flutter permanen mendapat single chamber ventricular device (level of evidence C). Cukup beralasan untuk mengevaluasi semua pasien dengan indikasi permanen pacing setelah STEMI untuk biventricular pacing (level of evidence C). G. Nyeri dada rekuren setelah STEMI 1. Perikarditis

Aspirin direkomendasikan untuk terapi perikarditis setelah STEMI. Diperlukan dosis oral 650 mg tiap 4-6 jam (level of evidence B). Antikoagulasi harus dihentikan segera bila terjadi efusi perkardium (level of evidence C). Untuk episode perikarditis setelah STEMI yang tidak terkontrol dengan aspirin, dapat diberikan: a. Kolkisinn 0,6 mg tiap 12 jam po (level of evidence B) b.Asetaminofen 500 mg po per 6 jam (level of evidence C) NSAID dapat dipertimbangkan untuk mengurangi nyeri, namun tidak dapat digunakan jangka panjang karena efek kontinu pada fungsi platelet, meningkatkan risiko penipisan scar miokard dan ekspansi infark (level of evidence B). Kortikosteroid dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir pada pasien perikarditis yang refrakter terhadap aspirin dan NSAID. Walaupun kortikosteroid efektif untuk mengurangi nyeri, penggunaannya meningkatkan risiko penipisan scar dan ruptur miokardium (level of evidence C). Kelas III Ibuprofen tidak boleh digunakan untuk mengurangi nyeri karena menghambat efek antiplatelet aspirin, dapat menyebabkan penipisan scar miokardium dan ekspansi infark. 2. Iskemia/infark rekuren Pasien dengan nyeri dada iskemik rekuren setelah terapi reperfusi awal untuk STEMI harus mendapat terapi medis dengan nitrat dan beta bloker untuk menurunkan kebutuhan O2 miokard dan mengurangi iskemia. Antikoagulan iv harus diberikan (level of evidence B). Sebagai tambahan terapi medis, pasien dengan nyeri dada iskemik rekuren dan tanda instabilitas hemodinamik, fungsi LV jelek, area miokard beresiko yang besar harus segera dirujuk untuk kateterisasi jantung dan revaskularisasi. Insersi IABP juga perlu dpertimbangkan (level of evidence C). Pasien dengan nyeri dada iskemik rekuren yang merupakan kandidat revaskularisasi harus megalami arteriografi koroner dan PCI/CABG (level of evidence B). Cukup beralasan untuk memberikan terapi fibrinolitik pada pasien dengan STE rekuren dan nyeri dada tipe iskemik yang bukan kandidat reevaskularisasi/coronary angiografi dan PCi tidak bisa dilakukan segera (60 min setelah onset gejala) (level of evidence C). Kelas III

Streptokinase tidak diberikan untuk iskemi rekuren pada pasien yang mendapat agen fibrinolitik nonofibrin spesifik >5hari sebelumnya untuk terapi STEMI akut (level of evidence C). H. Komplikasi lain 1. Stroke iskemik Konsultasi neurologis perlu dilakukan pasd pasien STEMI yang mengalami strole iskemik akut (level of evidence C). Pasien STEMI yang mengalami stroke iskemi akut dan AF persisten harus mendapat terapi warfarin seumur hidup (INR 2-3) (level of evidence A). Pasien STEMI dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki sumber AF d jantung, trombus mural/ akinetik segmen harus mendapat terapi warfarin intensitas sedang. Durasinya tergantung kondisi klinis (min 3 bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik segmen dan tidak terbatas pada pasien AF persisten). Pasien harus mendapat LMWH/UFH sampai antikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence B). Cukup beralasan untuk menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of evidence A). Cukup beralasan untuk pasien STEMI dengan risiko sstroke iskemik akut nonfatal menerima terapi suportif untuk menuunkan komplikasi dan meningkatkan outcome fungsional (level of evidence C). Angioplasty karotis 4-6 minggu setelah stroke iskemik dapat dipertimbangkan pada pasien STEMI yang mengalami stroke iskemik akut karena stenosis pada a.carotis inferior min 50% dengan risiko tiggi morbiditas/mortalitas setelah STEMI (level of evidence C). 2. DVT dan PE DVT dan PE setelah STEMI harus diterapi dengan LMWH full dose selama min 5 hari sampai pasien terantikoagulasi dengan warfarin. Warfarin dimulai bersama LMWH dan dititrasi sampai INR 2-3 (level of evidence A). Pasien dengan CHF setelah STEMI yang MRS jangka lama, tidak mampu ambulasi, beresiko tinggi DVT dan tidak mendapat antikoagulan harus mendapat profilaksis heparin dosis rendah, mis LMWH (level of evidence A). I. CABG setelah STEMI 1. Waktu operasi Pada pasien STEMI, mortalitas Karena CABG meningkat pada 3-7 hari setelah infark dan manfaat revaskularisasi harus seimbang karena risikonya. Pasien yang sudah stabil (tidak mengalami iskemi, gangguan hemodinamik/aritmia life threatening) setelah STEMI dan telah

mengalami penurunan fungsi LV operasinya harus ditunda agar terjadi penyembuhan miokardium (level of evidence B). 2. Arterial grafting Graft a.mamaria interna ke a.koroner anterior kiri desenden yang stenosis harus digunakan pada pasien CABG setelah STEMI (level of evidence B). 3. CABG untuk iskemia rekuren setelah STEMI CABG urgen diindikasikan bila angiografi koroner menunjukkan anatomi yang tidak cocok untuk PCI (level of evidence B). 4. CABG elektif setelah STEMI pada pasien angina CABG direkomendasikan untuk pasien dengan angina stabil dengan stenosis a.koroner kiri yang signifikan (level of evidence A). CABG direkomendasikan untuk pasien dengan angina stabil yang memilki penyakit utama di kiri: stenosis signifikan (min 70%) a.koroner desenden anterior dan a.circumflexa kiri proximal (level of evidence A). CABG direkomendasikan untuk pasien dengan angina stabil dengan penyakit 3 pembuluh darah (manfaat lebih besar dengan LVEF <0,50) (level of evidence A). CABG bermanfaat untuk pasien dengan angina stabil dengan 1-2 penyakit a.koroner tanpa stenosis a.koroner desenden anterior kiri proximal signifikan dengan EF<0,50/iskemia pada tes noninvasive (level of evidence A). 5. CABG setelah STEMI dan agen antiplatelet Aspirin tidak seharusnya ditunda sebelum CABG elektif atau nonelektif setelah STEMI (level of evidence C). Aspirin (75-325 mg/hari)harus diresepkan sesegera mungkin (dalam 24 jam) setelah CABG kecuali kontraindikasi (level of evidence B). Pada pasien yang mendapat CPG dan direncanakan CABG, obatnya harus ditunda 5-7hari (level of evidence B). J. Convalescence, KRS, dan perwatan post STEMI 1. Stratifikasi risiko setelah KRS a. Peranan tes OR

Tes OR harus dilakukan di RS dan segera setelah KRS pada pasien STEMI yang tidak dipilih untuk kateterisasi jantung dan tanpa gejala risiko tinggi iskemia (level of evidence B). Pada pasien dengan abnormalitas basal yang mempengaruhi interpretasi EKG, echo, imaging perfusi miokard harus ditambah ke tes OR standar (level of evidence B). Tes OR dapat dipertimbangkan sebelum pasien post STEMI KRS untuk panduan OR post KRS/evaluasi fungsi koroner (level of evidence C). Kelas III Tes OR tidak boleh dilakukan dalam 2-3 hari STEMI pada pasien yang reperfusinya tidak sukses (level of evidence C). Tes OR tidak boleh dilakukan untuk evaluasi pasien STEMI dengan angina unstabil (post infark, decompensasi CHF, aritmia jantung life threatening, kondisi nonjantung yang membatasi kemampuan OR/kontraindikasi absolute tes OR (level of evidence C). Tes OR tidak boleh digunakan untuk stratifikasi risiko pada pasien STEMI yang mengalami kateterisasi jantung (level of evidence C). b. Peranan echo Echo seharusnya digunakan pada pasien STEMI yang tidak mengalami angiografi LV untuk meniai fungsi basal LV terutama pada pasien dengan hemodinamik unstabil (level of evidence C). Echo harus digunakan untuk evaluasi pasien dengan STEMI inferior, instabilits klinis dan kecurigaan infark RV (level of evidence C). Echo harus digunakan pada pasien STEMI untuk mengevaluasi komplikasi, termasuk MR akut, syokkardiogenik, ekspansi infark, VS, thrombus intrakardiak dan efusi perikard (level of evidence C). Echo stress (imaging perfusi miokard) harus digunakan untuk pasien STEMI untuk penilaian inhospital dan post KRS untuk iskemik terinduksi jika abnormalitas basal mempengaruhi interpretasi EKG (level of evidence C). Echo baik dilakukan untuk pasien STEMI untuk evaluasifungsi ventrikel selama penyembuhan di aman hasilnya digunakan sebaga panduan terapi (level of evidence C). Echo dobutamin baik untuk pasien yang hemodinamik dan elektrik stabil selama >4 hari setelah STEMI untuk menilai viabilitas miokard untuk menentukan efikasi revaskularisasi (level of evidence C).

Pada pasien STEMI yang tidak mengalami ventrikulografi kontras, echo dapat digunakan untuk menilai fungsi ventrikel setelah revaskularisasi (level of evidence C). Kelas III Echo tidak boleh digunakan untuk reevaluasi rutin awal pada pasien STEMI dengan tidak adanya status klinis/prosedur revaskularisasi. Penilaian kembali fungsi LV dilakukan 30-90 hari kemudian (level of evidence C). c. Imaging perfusi miokard OR Dipiridamol/adenosine stress perfusion nuclear scintigrafi/dobutamin echo sebelum dan setelah KRS harus dilakukan pada pasien STEMI yang tidak mengalami kateterisasi jantung untuk menilai iskemia terinduksi pada pasien yang tidak dapat OR (level of evidence B). Imaging perfusi miokard/dobutamin echo digunakan pada pasien hemodinamik dan elektrik stabil dalam 4-10 hari setelah STEMI untuk menilai viabilitas miokard jika diperlukan untuk menilai efikasi potensial revaskularisasi (level of evidence C). d. Fungsi LV LVEF harus diukur pada semua pasien STEMI (level of evidence B). e. Evaluasi invasif Arteriografi koroner harus dilakukan pada pasien dengan episode spontan miokard iskemia/yang diprovokasi oleh aktivitas minimal selama penyembuhan STEMI (level of evidence A). Arteriografi koroner harus dilakukan pada pasien risiko sedang-tinggi pada tes noninvasive setelah STEMI (level of evidence B). Arteriografi koroner harus dilakukan pada pasien stabil sebelum terapi definitive dengan komplikasi mekanik STEMI seperti MR akut, VSR, pseudoaneurism/LV aneurism (level of evidence B). Arteriografi koroner harus dilakukan pada pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten (level of evidence B). Arteriografi koroner harus dilakukan pada semua STEMI yang mengalami HF klinis selama epsode akut namun memungkinkan fungsi LV yang baik (level of evidence C). Cukup beralasan untuk melakukan arteriografi koroner jika dicurigai terdapat mekanisme selain oklusi trombotik pada plak aterosklerotik. Hal ini meliputi emboli koroner, penyakit metabolic/hematologi tertentu/spasme a.koroner (level of evidence C).

Arteriografi koroner dapat dilakukan pada pasien STEMI dengan DM, LVEF <0,40, CHF, revaskularisasi sebelumnya/aritmia ventrikel life threatening (level of evidence C). Arteriografi koroner dapat dipertimbangkan sebagai bagian strategi invasive untuk penilaian risiko terapi fibrinolitik (level of evidence B) / untuk pasien yang tidak mendapat reperfusi primer (level of evidence C). Kelas III Arteriografi koroner tidak boleh dilakkukan pada survivor STEMI yang bukan kandidat revaskularisasi koroner (level of evidence A). Pemeriksaan aritmia ventrikel Penilaian risiko aritmia ventrikel noninvasive dapat dipertimbangkan pada pasien yang baru sembuh dari STEMI (level of evidence B). K. Prevensi sekunder Pasien yang baru sembuh dari fase akut STEMI harus memiliki rencaan terapi prevensi sekunder (level of evidence A). 1. Edukasi pasien sebelum KRS Sebelum KRS, semua pasien STEMI harus diedukasi tentang dan terlibat dalam perubahan lifestyle dan terapi yang penting untuk pencegahan sekunder penyakit CVS (level of evidence B). Pasien post STEMI dan anggota keluarganya harus mendapat instruksi KRS tentang pengenalan gejala kardiak akut dan tindakan tepat untuk menyakinkan evaluasi dan terapi (level of evidence C). Anggota keluarga pasien STEMI disarankan untuk mempelajari AEP dan CPR (level of evidence C). 2. Terapi antiplatelet Dosis harian aspirin 75-162 mg po harus diberikan pada pasien yang baru sembuh dari STEMI (level of evidence A). Bila terdapat alergi aspirin, CPG/ticlopidin dapat digunakan (level of evidence C). Bila terdapat alergi aspirin, terapi warfarin dengan target INR 2,5-3,5 merupakan alternative CPG pada pasien <75 tahun dengan risiko rendah perdaarhan yang dapat dimonitor adekuat untuk mencaapi target INR (level of evidence C).

Pada waktu persiapan KRS, pasien perlu terapi gangguan muskuloskleletal kronik dan terapi yang berjenjang. Penurunan nyeri dapat dimulai dengan asetaminofen/aspirin, narkotik dosis kecil/salisailat nonasetilasi (level of evidence C). Cukup beralasan untuk menggunakan NSAID seperti naproxen bila terapi awal dengan asetaminofen, narkotik dosis kecil/salisilat nonasetilasi tidak cukup (level of evidence C). NSAID dengan peningkatan derajat selektivitas COX2 dapat dipertimbangkan sebagai penurun nyeri hanya pada situasi nyeri yang tidak dapat ditoleransi walau dengan terapi bertahap dengan asetaminofen, narkotik dosis kecil, salisilat nonasetilasi/NSAID non selektif, pada semua kasus dosis efektif harus digunakan untuk waktu tertentu (level of evidence C). Kelas III NSAID dengan peningkatan selektivitas COX2 tidak boleh diberikan pada pasien STEMI dengan nyeri musculoskeletal kronik jika terapi asetaminofen, narkotik dosis kecil, salisilat nonasetilasi/NSAID non selektif dapat mengurangi nyeri (level of evidence C). Manajemen jangka panjang A. Efek psikososial STEMI Status psikososial pasien harus dievaluasi, meliputi gejala depresi, ansietas, gangguan tidur dan dukungan sosial (level of evidence C). Terapi kognitif perilaku dan SSRI dapat berguna untuk pasien STEMI dengan depresi yang teerjadi dalam 1 tahun setelah KRS (level of evidence B). B. Rehabilitasi jantung Rehabilitasi jantung/program prevensi sekunder direkomendasikan untuk pasien STEMI dengan faktor risiko multiple dan risiko sedang-tinggi yang membutuhkan pengawasan OR (level of evidence C). C. Follow up untuk medical provider Follow up dilakukan untuk menilai ada tidaknya gejala CVS dan FC (level of evidence C). Daftar medikasi pasien harus dievaluasi pada follow up dan titrasi ACEi, beta bloker dan statin harus dilakukan (level of evidence C). Penilaian risiko sebelum MRS dan rencana work up harus berkelanjutan, meliputi pemeriksaan fisik LV dan monitor Holter untuk pemeriksaan EF post STEMI < 0,31-0,40 (level of evidence C).

Status psikososial pasien harus dievaluasi untuk gejala depresi, anxietas, gangguan tidur dan lingkungan sosial (level of evidence C). Pada kunjungan follow up, provider harus mendiskusikan aktivitas fisik, pekerjaan, aktivitas sex dan perjalanan (level of evidence C). Pasien dan keluarganya harus dilatih CPR setelah KRS (level of evidence C). Provider harus mencari hal berikut: a. Risiko serangan jantung (level of evidence C) b. Bagaimana mengenali risiko STEMI (level of evidence C) c. Anjuran menghubungi 911 bila gejala memburuk setelah 5 min (level of evidence C) d. Pengenalan dan respon pada serangan jantung akut (level of evidence C). Rehabilitasi jantung direkomendasikan untuk pasien STEMI terutama dengan FR yang dapat dimodifikasi (level of evidence C). Perbandingan dengan guideline ESC STEMI ESC menggunakan klasifikasi yang sama dengan AHA. Perbedaan utamanya pada waktu reperfusi. Secara umum direkomendasikan bahwa terapi fibrinolitik dimulai dalam 90 min setelah sampai di RS. Pada AHA, PCI primer dilakukan dalam 90 min setelah kontak dengan provider. Penelitian lanjutan Konsep terapi adalah mengurangi waktu iskemik total yang merupakan waktu dari onset gejala sampai inisiasi terapi reperfusi. Pada RS dengan kemampuan PCI, outcome terbaik dicapai 24 jam/hari, 7 hari/minggu. Tujuan sistem kontak medis dengan balon dalam 90 min. Masih diperlukan program lebih lanjut untuk analisis outcome dan periodic case review untuk identifikasi strategi proses pelayanan untuk memfasilitasi terapi yang cepat dan tepat.

Vous aimerez peut-être aussi