Vous êtes sur la page 1sur 87

Seluruh penemuan, penafsiran dan kesimpulan dalam buku ini merupakan hasil temuan tim peneliti dan seyogyanya

tidak
dikaitkan dengan Bank Dunia dan kebijakannya

Naskah :
Yohanna M.L. Gultom Hardiyanto
Dewi Novirianti
Bambang Soetono
Matthew P. Zurstrassen

Photo Cover :
PEKKA

Ditebitkan :
Justice for The Poor Project
The Worldbank - Sub Office
Jalan Kusumaatmadja No. 36
Menteng, Jakarta 10310
Ph. 62 -21 310 7158, 391 1908/09
Fax. 62 -21 392 4640
Website: www.justiceforthepoor.or.id
December 2008

Akses Perempuan Terhadap


Keadilan di Indonesia:
Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan
di Cianjur, Brebes dan Lombok
Kata Pengantar

Kata Pengantar
Laporan Akses Perempuan terhadap Keadilan di Indonesia ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh tim
Justice for the Poor Program, Social Development Unit, Bank Dunia di Indonesia. Penelitian ini merupakan
bagian dari program Pemberdayaan Hukum Perempuan (PHP) yang dilaksanakan oleh PEKKA (Perempuan
Kepala Keluarga) bekerja sama dengan tim Justice for the Poor.

Tim penulis utama laporan ini dipimpin oleh Yohanna M.L Gultom Hardiyanto dan beranggotakan Dewi
Novirianti, Bambang Soetono dan Matthew Zurstrassen. Lisa Noor Humaidah memberikan kontribusi selama
proses penulisan. Studi lapangan dilakukan oleh tiga peneliti lapangan, yaitu Tarlen Handayani untuk lokasi
penelitian di Cianjur-Jawa Barat, Wiharti untuk lokasi penelitian di Brebes-Jawa Tengah, dan Dian Aryani
untuk lokasi penelitian di Lombok-NTB, didukung oleh tim penulis dan Phillippa Venning.

Seluruh anggota tim Justice for the Poor, Matt Stephens, Taufik Rinaldi, Dewi Damayanti, Marini Purnomo,
Sam Clark, dan Alpian memberikan kontribusi dalam mengembangkan kerangka penelitian dan memberikan
berbagai masukan penting untuk analisa temuan lapangan, kesimpulan dan rekomendasi dari studi kasus ini.
Sania Wijaya, Rani Maharani, Flory Nuffianti, Juliana Wilson dan Tanny Gautama mendukung pengaturan
jadwal studi lapangan, penulisan dan publikasi.

Tim Justice for the Poor menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
seluruh perempuan pencari keadilan yang bersedia membagi pengalamannya untuk studi kasus ini, serta
warga masyarakat, Kader Hukum dan Pendamping Lapangan PEKKA, para anggota PEKKA, anggota Multi-
stakeholder Forum (MSF) bidang hukum dari program PHP, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat,
serta aparat hukum dan pemerintahan lainnya yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.

Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada narasumber yang telah memberikan masukan
berharga atas laporan ini, yaitu Myra Diarsi (aktivis perempuan), Dr. Sulistyowati Irianto (Pusat Kajian Wanita
dan Jender FH UI), Julia Suryakusuma (penulis dan aktivis perempuan), Ratna Bantara Murti (LBH APIK)
serta Chitra Buchori dan Tita Naovalitha dari Bank Dunia. Selain itu, ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada Pieter Evers, Scott Guggenheim dan Susan Wong atas dukungan dalam penyusunan laporan ini
serta dukungan terhadap program kerja Justice for the Poor yang lebih luas. Penghargaan secara khusus
disampaikan kepada Kedutaan Besar Kerajaan Belanda yang telah mendukung pendanaan bagi penelitian
ini.

Laporan ini mewakili pemikiran dari para penulisnya. Temuan, interpretasi, kesimpulan, dan rekomendasi dalam laporan ini tidak berarti
mewakili pemikiran dari lembaga Bank Dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan laporan ini harap ditujukan kepada
Yohanna M.L Gultom Hardiyanto (ymg7@columbia.edu), Bambang Soetono (bsoetono@worldbank.org) atau Matthew Zurstrassen
(mzurstrassen@worldbank.org).

ii Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Daftar Isi

Daftar Isi

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Singkatan dan Istilah v
Ringkasan Eksekutif vi

Bagian I. Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang: Akses terhadap Keadilan vs Kemiskinan 2
1.2. Pemberdayaan Hukum Bagi Perempuan: Suatu Solusi 4
1.3. Fokus Studi Kasus Akses Perempuan terhadap Keadilan 5
1.4. Metodologi 6

Bagian 2. Pembelajaran: Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan 21


2.1. Profil Umum Penyintas dan Tipologi Kasus Hukum 23
2.2. Beberapa Hambatan Penyintas Mencari Bantuan 25
2.3. Jalur-jalur Penyintas Mengakses Keadilan 27
1. Melalui Sistem Hukum Non Negara di Tingkat Desa 29
2. Melalui Sistem Hukum Negara di Luar Desa 32
2.4. Respon Penegak Hukum 40
2.5. Dampak Kasus Terhadap Penyintas 44

Bagian 3. Best Practice: Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan 47


3.1. Aksesibilitas dan Efektivitas Sistem Hukum 49
1. Sistem Hukum Negara Efektif 50
2. Pemberdayaan Hukum Meningkatkan Aksesibilitas Sistem Hukum Negara 53
3. Kerjasama Aktor Desa Mempengaruhi Aksesibilitas Sistem Hukum Negara 55
3.2. Akses Kepada Keadilan Sosial 56
1. Pendekatan yang Holistik dalam Penanganan Penyintas Dibutuhkan 57
2. Agen Pemberdayaan Perempuan di Desa Membuka Akses Terhadap Keadilan Sosial 58

Bagian 4. Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi 61


4.1. Diskusi: Perlunya Redefinisi Konsep Keadilan 62
4.2. Kesimpulan 62
1. Sistem hukum negara lebih efektif karena terjamin dan independen 63
2. Sistem hukum non negara populer di desa namun perlu diperkuat untuk
dapat menjamin hak perempuan 64
3. Keadilan sosial lebih luas dari keadilan secara hukum 64
4.3. Rekomendasi: Melembagakan Hak-hak Perempuan 65
1. Keadilan Hukum 66
2. Keadilan Sosial 68

Daftar Bacaan 71

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok iii
Daftar Isi

Tabel
Tabel 1. Kasus terpilih berdasarkan tipologi kasus 10
Tabel 2a. Deskripsi kasus di Cianjur 11
Tabel 2b. Deskripsi kasus di Brebes 14
Tabel 2c. Deskripsi kasus di Lombok 17
Tabel 3. Posisi dan status perempuan pencari keadilan terhadap pelaku/lawan 26
Tabel 4. Karakteristik sistem hukum non negara dan negara 28
Tabel 5. Jumlah kasus selesai dan tidak selesai berdasarkan sistem hukum 28
Tabel 6. Aktor Intermediasi 33
Tabel 7. Tuntutan Jaksa atas kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan 41
Tabel 8. Hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri atas kasus perkosaan 43
Tabel 9. Dampak Sosial pada Penyintas 45
Tabel 10. Kondisi sistem hukum non negara dan negara bagi perempuan desa 50

Gambar
Gambar 1. Penyintas/Responden berdasarkan status pekerjaan 24
Gambar 2. Jalur penyelesaian kasus hukum penyintas di desa 29
Gambar 3. Rekomendasi bagi sistem hukum non negara dan negara 66

Box
Box 1. WLE: Sebuah model penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan 5
Box 2. Konteks lokal wilayah program WLE 8
Box 3. Profil Pembantu Penghulu (Amil/Lebe) di desa 30
Box 4. Profil Fasilitator Hukum di desa 35
Box 5. Profil MSF 38
Box 6. SKB Tiga Menteri dan Kapolri tentang “Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak 57

Studi Kasus
Studi Kasus 1: Kasus incest di Cianjur 22
Studi Kasus 2: Kasus perceraian bawah tangan di Cianjur 31
Studi Kasus 3: Perkosaan anak terbelakang mental di Cianjur 36
Studi Kasus 4: Kasus perkosaan anak berprofesi sebagai penyanyi di Brebes 36
Studi Kasus 5: Kasus perkosaan oleh majikan di Lombok 39
Studi Kasus 6: Kasus poligami dan perceraian di Cianjur 43
Studi Kasus 7: Kasus incest di Lombok 48
Studi Kasus 8: Kasus perceraian Brebes 54
Studi Kasus 9: Kasus perburuhan di Cianjur 54
Studi Kasus 10: Kasus kekerasan eks TKW di Cianjur 55

iv Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Daftar Singkatan dan Istilah

Daftar Singkatan dan Istilah


AD : Aktor Desa
AE : Aktor Eksternal
Ajengan : Sebutan Ulama di Jawa Barat, sama dengan Tuan Guru di NTB, dan Kyai di Jawa Tengah
Amil : Pembantu penghulu di desa
APIK : Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan
BAPAS : Balai Pemasyarakatan Anak
B4P : Badan Penasehat Pelestarian Perkawinan
Disnaker : Dinas Tenaga Kerja
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Iddah : Masa tenggang waktu setelah perceraian sampai dengan saat datangnya haid, yaitu saat
perempuan dapat menikah lagi
FH : Fasilitator Hukum
Kapolri : Kepala KePolisian Negara Republik Indonesia
KDRT : Kekerasan dalam rumah tangga
KUA : Kantor Urusan Agama
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Lansia : Lanjut usia
LBH : Lembaga Bantuan Hukum
Lebe : Pembantu penghulu di desa
LPA : Lembaga Perlindungan Anak
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MSF : Multi-stakeholder Forum
PA : Pengadilan Agama
PEKKA : Perempuan Kepala Keluarga
PHP : Pemberdayaan Hukum Perempuan
PJTKI : Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
PKDRT : Perlindungan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga
PKK : Program Kesejahteraan Keluarga
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Polres : KePolisian Resor
Polsek : KePolisian Sektor
Polwan : Polisi Wanita
Prodeo : Persidangan tanpa biaya administrasi
PRT : Pembantu Rumah Tangga
RPK : Ruang Pelayanan Khusus
SKB : Surat Keputusan Bersama
TKW : Tenaga Kerja Wanita
Trafficking : Perdagangan manusia
Ulama : Tokoh agama di desa
UPPA : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak
WLE : Women’s Legal Empowerment

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok v
Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif
Pertanyaan dasar yang ingin dijawab melalui studi kasus ini adalah bagaimana perempuan desa
pencari keadilan, atau yang dalam studi ini disebut penyintas, dapat mengakses keadilan saat
menghadapi kasus hukum. Hal ini menjadi sangat relevan karena berbagai studi menunjukkan bahwa
akses perempuan terhadap keadilan masih sangat lemah (UNDP, 2007, The Asia Foundation, 2001, Narrayan,
2000, Bank Dunia, 2004 & 2008). Kemiskinan serta domestikasi dan subordinasi status sosial perempuan
yang dialami penyintas telah mengkondisikan mereka menjadi rentan terhadap berbagai pelanggaran hak
dan praktek diskriminasi, sehingga melatarbelakangi sebagian besar persoalan hukum yang diangkat dalam
studi ini, terutama dalam kasus-kasus KDRT, perceraian, perburuhan dan trafficking. Selain menjadi akar
masalah, kemiskinan dan domestikasi serta subordinasi status sosial perempuan juga turut membatasi
kapasitas mereka untuk bergerak mencari keadilan. Mengalami beberapa lapisan kasus yang saling terkait
menjadi ciri khas penyintas.

Studi kasus ini bertujuan untuk memperoleh bahan pembelajaran (lessons learned) dan contoh-contoh
keberhasilan (best practices) dari pengalaman penyintas mengakses keadilan saat mengalami kasus hukum,
baik yang terkait dengan hukum keluarga maupun diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Pembelajaran dan contoh keberhasilan ditarik dari 28 kasus yang dialami oleh penyintas di tiga lokasi,
yaitu Cianjur, Brebes dan Lombok. Kasus-kasus yang diangkat adalah kasus-kasus yang telah diupayakan
penyelesaiannya, baik melalui sistem hukum non negara di tingkat desa maupun melalui sistem hukum
negara di luar desa. Berangkat dari pembelajaran dan contoh keberhasilan tersebut, studi kasus ini
selanjutnya bermaksud untuk memberikan sumbangan strategi yang integratif dan holistik terhadap upaya
penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan.

Temuan Utama
Perlunya redefinisi konsep keadilan. Temuan kunci dari studi ini menyuarakan bahwa perempuan memiliki
definisi yang lebih luas tentang keadilan. Jawaban terhadap pertanyaan utama yang mendasari penelitian
ini, “bagaimana perempuan desa yang mengalami kasus hukum dapat mengakses keadilan?” perlu didasari
pada suatu definisi keadilan yang lebih luas. Akses perempuan pencari keadilan (penyintas) terhadap keadilan
saat mengalami kasus hukum, tidak dapat semata-mata dilihat dalam konteks hukum dan legalitasnya saja.
Penyelesaian kasus secara hukum merupakan langkah awal bagi penyintas mengakses keadilan, namun hal
ini belum cukup menjamin penyintas memperoleh keadilan sebagaimana yang didefinisikannya.

Ada peluang bagi penyintas mengakses keadilan. Studi ini menunjukkan bahwa penyintas memiliki peluang
untuk mengakses keadilan. Pertama jika mereka memiliki akses kepada jalur-jalur penyelesaian kasus hukum,
baik sistem hukum non negara di desa maupun sistem hukum negara di luar desa. Kedua jika mereka
memiliki akses kepada keadilan sosial, yang di dalamnya mencakup keadilan secara hukum.

Sayangnya, berbagai hambatan dialami penyintas sejak saat pertama mencari bantuan. Umumnya penyintas
tidak dapat secara langsung mengangkat kasusnya untuk dilaporkan kepada pihak yang berwenang,
bahkan kepada aparat pemerintahan di tingkat desa sekalipun. Adanya pola relasi kuasa yang timpang
antara penyintas dan pelaku/lawan, misalnya suami, ayah, atau majikan, telah sedikit banyak membungkam
penyintas untuk mencari pertolongan dari pihak ketiga atau melakukan tindakan hukum. Sementara itu,
dalam kasus perkosaan atau KDRT, ancaman akan adanya sanksi sosial turut melatarbelakangi ketakutan
korban untuk melaporkan kejadian. Selain takut terhadap ancaman pelaku, umumnya penyintas sebagai
korban perkosaan tergantung secara sosial ekonomi terhadap pelaku, sehingga membongkar kasus berarti
perlu mempersiapkan diri dari putusnya akses terhadap aset-aset sosial dan ekonomi. Terakhir, hukum
tetap dirasakan sangat mahal, sehingga masalah biaya ini juga telah membatasi pilihan penyintas untuk
mengakses sistem hukum negara.

vi Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Ringkasan Eksekutif

Padahal, kemampuan mengakses sistem hukum yang ada adalah prasyarat pertama. Akses terhadap sistem
hukum negara atau non negara menjadi faktor penting yang menentukan akses penyintas terhadap keadilan.
Saat penyintas dapat mengakses sistem hukum yang ada, ia melangkah satu tahap dalam mengakses
keadilan. Studi ini memperlihatkan bahwa keberadaan sistem hukum negara dan non negara tidak bersifat
ekslusif satu sama lain. Beberapa kasus yang diselesaikan melalui sisem hukum negara, ternyata sebelumnya
telah dicoba penyelesaiannya melalui sistem hukum non negara. Tidak berhasil diselesaikan oleh sistem
hukum non negara, maka penyintas, baik karena kesadarannya sendiri maupun rujukan dari pihak lain,
kemudian menempuh jalur sistem hukum negara.

Selanjutnya, aksesibilitas dan efektivitas sistem hukum yang ada juga turut menentukan. Dua jalur sistem
hukum yang dapat di akses perempuan desa, negara dan non negara, memiliki tingkat aksesibilitas dan
efektivitas yang berbeda. Sistem hukum idealnya memiliki aksesibilitas dan efektivitas yang tinggi. Semakin
tinggi tingkat aksesibilitas berarti perempuan desa dapat semakin menggunakan sarana yang diberikan
oleh institusi penyelesaian sengketa tersebut. Semakin tinggi tingkat efektivitas berarti perempuan desa
semakin dapat memperoleh keputusan yang adil atas penyelesaian sengketanya, yaitu tidak memihak, dapat
diselesaikan dalam waktu relatif singkat dan dengan biaya yang terjangkau.

Sistem hukum non negara masih menjadi pilihan utama karena mudah di akses. Sistem hukum non negara
umumnya masih menjadi pilihan pertama penyintas saat ingin mengakses keadilan, terutama karena aktor-
aktor penyelesaian sengketa melalui mekanisme non negara ini telah dikenal, mudah ditemui, dan praktis
tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk bertemu dan berkonsultasi dengan mereka. Mereka adalah
aparat pemerintahan desa, termasuk Pembantu Penghulu/Amil/Lebe, serta tokoh-tokoh agama/adat di desa.
Saat menerima kasus hukum, aktor-aktor ini akan mencoba melakukan mediasi, fasilitasi dan penyelesaian
kasus berdasarkan aturan, keyakinan, kebiasaan atau budaya yang berlaku di desa tersebut.

Penguatan terhadap sistem hukum non negara diperlukan agar dapat lebih berpihak kepada penyintas.
Kasus-kasus yang diselesaikan melalui jalur ini memperlihatkan bahwa aparat desa masih belum secara
pro-aktif melindungi hak-hak perempuan. Dalam kasus perkosaan dan KDRT, mereka seringkali masih
menghadapi konflik kepentingan antara melindungi hak perempuan dan menjaga harmoni di masyarakat,
sehingga sulit untuk memiliki keberpihakan kepada penyintas sebagai korban. Dalam kasus-kasus tersebut,
penyelesaian yang adil masih belum dapat tercapai, karena belum adanya sanksi yang jelas untuk pelanggaran
yang terjadi. Kalaupun ada sanksi, gagal untuk memastikan penerapan dan penegakannya.

Di sisi lain, sistem hukum negara sulit di akses penyintas sehingga menjadi alternatif terakhir. Sistem hukum
negara, dalam studi ini mencakup KePolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Kantor
Dinas Tenaga Kerja, masih dirasakan sebagai sesuatu yang birokratis, formal, mahal dan jauh dari desa,
sehingga menjadi alternatif terakhir bagi penyelesaian kasus hukum yang dialami penyintas. Kesadaran
hukum penyintas yang relatif rendah juga mempengaruhi pendapat mereka ini. Dalam studi ini, penyintas
umumnya mengakses jalur ini saat keluarga memutuskan untuk membawa kasus ke sistem hukum negara.
Biasanya hal ini terjadi saat penyintas mengalami penganiayaan berat akibat KDRT atau perkosaan, atau
pada kasus-kasus perceraian, saat suami memiliki kepentingan akan adanya perceraian yang legal melalui
Pengadilan Agama, misalnya karena statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Aktor-aktor intermediasi memperkuat akses penyintas ke sistem hukum negara. Studi ini mengidentifikasi
tiga kelompok aktor intermediasi yang terbukti membuka akses penyintas ke jalur hukum negara. Pertama
adalah Aktor Desa. Mereka, yang tidak lain adalah aktor-aktor dalam sistem hukum non negara di desa,
berpotensi untuk merujuk kasus penyintas ke sistem hukum negara, namun inisiatifnya sangat kondisional
dan ad hoc. Kedua adalah Fasilitator Hukum di desa, yaitu tokoh-tokoh yang secara khusus berperan
memberikan kesadaran dan bantuan hukum. Mereka tidak saja berperan merujuk kasus ke sistem hukum
negara, tetapi memberikan pendampingan hukum, membangun jaringan dengan pihak eksternal desa
terkait, dan memberikan dukungan bagi penyintas selama proses hukum berjalan. Ketiga adalah Aktor
Eksternal, yaitu pihak-pihak lain yang berasal dari luar desa. Dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum,

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok vii
Ringkasan Eksekutif

media dan LBH/LSM berpotensi membuka akses penyintas terhadap sistem hukum negara, namun informasi
tentang keberadaan mereka masih langka di kalangan penduduk desa.

Dalam beberapa kasus, efektivitas sistem hukum negara cukup baik. Beberapa kasus yang diteliti dalam
studi ini memperlihatkan bahwa sistem hukum negara dapat menjamin penyelesaian sengketa yang adil
bagi penyintas karena terlihat dapat menjamin hak-hak dan memenuhi kepentingan-kepentingan mereka,
terutama dalam kasus-kasus perkosaan dan perceraian. Ada beberapa alasan. Kerangka hukum dari sistem
ini tunduk secara langsung kepada konstitusi negara dan konvensi-konvensi internasional yang terkait
dengan hak azasi manusia. Sistem hukum ini juga lebih terbuka terhadap fungsi pengawasan dan hal ini
turut meningkatkan kualitas keadilan yang dapat dihasilkan. Sifat transparan ini terjamin melalui keberadaan
mekanisme untuk naik banding atau mengajukan keberatan atas keputusan yang ditetapkan oleh otoritas
legal, dan juga dari keberadaan media dan LSM untuk memonitor perkembangan kasus. Selanjutnya,
beberapa kasus memperlihatkan bahwa keputusan dari pengadilan cenderung lebih dapat ditegakkan
pelaksanaannya daripada keputusan aparat desa, dan hal ini membuka akses penyintas lebih lagi terhadap
keadilan. Sistem hukum ini juga relatif efektif karena tidak terpengaruh dengan dinamika relasi kekuasaan
yang ada di desa, sehingga tidak mempengaruhi pengambilan keputusan.

Efektivitas sistem hukum negara dipengaruhi oleh respon penegak hukum. Dari kasus-kasus yang ada, studi
ini menemukan bahwa KePolisian bersikap cukup responsif menangkap dan menahan pelaku perkosaan.
Namun umumnya anggota KePolisian masih belum cukup memiliki kesadaran gender sehingga belum
memberikan pelayanan dan perlindungan bagi korban secara optimal. Pada sisi lain, fasilitas RPK/UPPA
masih terbatas. Kejaksanaan juga sudah berusaha menjaring pelaku perkosaan dengan UU PKDRT. Namun
standard operasional penanganan kasus yang menuntut bukti-bukti yang kuat untuk menahan pelaku
kekerasan, membuat lembaga ini sulit untuk berpihak kepada perempuan korban. Di Pengadilan Negeri,
hakim yang telah memiliki sensitivitas dan kesadaran gender terlihat dapat memberikan perlindungan
terhadap korban dan menjatuhkan hukuman maksimal pada pelaku perkosaan/percabulan. Terakhir,
Pengadilan Agama terlihat telah berfungsi untuk menjamin hak-hak perempuan dalam perceraian dan
poligami, namun masih sangat terbatas dalam memberikan fasilitas pelayanan hukum yang terjangkau atau
bahkan cuma-cuma (prodeo) bagi penyintas.

Beberapa tantangan bagi efektivitas sistem hukum negara. Studi ini mengidentifikasi empat tantangan utama
yang dihadapi sistem hukum negara terkait dengan isu gender. Pertama, kesadaran gender yang diperlukan
bagi efektivitas penanganan kasus belum secara merata dimiliki oleh jajaran aparat penegak hukum. Kedua,
adanya standar operasional penanganan kasus yang justru membatasi akses penyintas terhadap keadilan.
Ketiga, tanpa adanya aktor intermediasi, sistem hukum ini sulit diakses oleh penyintas. Keempat, fasilitasi
dari aktor intermediasi tetap membutuhkan adanya kesadaran hukum dari pihak penyintas, yang pada
umumnya masih sangat terbatas.

Penyelesaian kasus secara hukum penting, namun tidak cukup menjamin keadilan yang sepenuhnya.
Penyelesaian kasus secara hukum non negara maupun negara sangat diperlukan, namun belum sepenuhnya
menjamin terpenuhinya kompensasi atas dampak sosial, ekonomi, fisik dan psikis penyintas. Kerugian
ekonomi tetap diderita oleh penyintas, bahkan oleh mereka yang menerima keputusan pembagian harta
gono gini atau nafkah dari suami pada kasus perceraian. Sementara, dampak sosial umumnya tetap diderita
oleh penyintas dalam bentuk stigma sosial negatif sebagai eks korban perkosaan atau janda. Kerugian
secara fisik dan psikologis juga dialami oleh beberapa penyintas korban kekerasan dan KDRT, seperti luka
fisik dan trauma psikologis yang tidak mudah untuk disembuhkan.

Penyintas membutuhkan akses terhadap keadilan sosial. Selain memperoleh hak-hak hukum, penyintas
membutuhkan upaya pemulihan (remedies) yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi utilitas dan
keberadaan (well-being) mereka secara utuh. Upaya tersebut perlu memperhatikan aspek-aspek retribusi
ekonomi, akses kepada pelayanan sosial, utamanya kesehatan dan pendidikan, dan penerimaan sosial.
Beberapa kasus perkosaan dalam studi ini, terutama kasus incest di Lombok, memberikan contoh bagaimana

viii Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Ringkasan Eksekutif

keadilan hukum dan keadilan sosial tidak bersinggungan. Upaya untuk mencari keadilan melalui jalur hukum
negara dapat menimbulkan tekanan sosial tersendiri terhadap penyintas oleh keluarga atau masyarakat,
sehingga penyintas membutuhkan akses terhadap dukungan sosial. Dalam beberapa kasus, keputusan
Hakim yang berpihak kepada penyintas sebagai korban juga sama sekali tidak menjamin adanya penerimaan
sosial bagi penyintas.

Pendekatan yang holistik dalam penanganan korban dibutuhkan. Dalam kasus kekerasan, akses terhadap
keadilan sosial mulai terbuka saat penyintas dapat memperoleh penanganan yang holistik atas dirinya
sebagai korban kekerasan. Pelayanan yang terpadu terbukti memberikan manfaat yang besar bagi penyintas
sebagai korban perkosaan. Namun pelayanan terpadu yang ada, seperti pelayanan terpadu korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak, umumnya baru efektif sebatas mengembalikan fungsi utilitas dan
keberadaan penyintas yang terkait pada aspek medis dan psikis saja. Fasilitasi bagi proses penerimaan sosial
atas penyintas masih belum tercakup. Akibatnya, masih ada aset-aset sosial yang tidak tergantikan dalam
kehidupan penyintas akibat penghakiman massa dan penolakan sosial yang di alami, seperti kekerabatan
dan kekeluargaan yang terputus serta status sosial yang marginal. Dengan demikian, ada biaya sosial yang
dibayar penyintas dan tidak tergantikan melalui penanganan terpadu dalam kasus ini.

Sistem sosial budaya yang responsif terhadap isu gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan sangat
diperlukan. Tanpa adanya sistem sosial budaya yang responsif terhadap isu gender dan memahami hak
dan kebutuhan praktis serta strategis perempuan, maka keadilan yang sesungguhnya tidak dapat diperoleh
oleh penyintas. Bentuk sanksi yang terburuk, yaitu penolakan sosial harus dialami oleh beberapa penyintas.
Masalahnya lagi, sebagaimana umumnya terjadi di desa-desa studi, kondisi absennya sistem sosial budaya
yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan justru mengkristal ke dalam praktek-
praktek sistem hukum non negara. Akibatnya, efektivitas sistem ini dalam menangani kasus-kasus hukum
perempuan menjadi sangat rendah.

Agen-agen Pemberdayaan Perempuan di desa memegang peranan penting. Kasus perkosaan di Brebes
menunjukkan bahwa Fasilitator Hukum dapat secara aktif berusaha membangun kepedulian dan dukungan
massa terhadap penyintas. Peran ini terutama dilakukan dalam rangka menggalang massa untuk
memberi dukungan kepada penyintas serta memberikan tekanan kepada pihak aparat penegak hukum
agar menangani kasus dengan adil. Mereka juga turut membangun kesadaran kaum perempuan untuk
mengambil perannya dalam memperjuangkan kepentingan penyintas. Upaya mereka cukup berhasil
disebabkan karena keberadaan mereka terintegrasi dalam gerakan sosial-politik yang ada di masyarakat,
yang berupaya menggalang kekuatan para perempuan di desa untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka
di tengah masyarakat serta memperoleh penerimaan sosial dari masyarakat desa. Sebagai hasilnya, tidak
saja pelaku perkosaan dihukum penjara, namun penyintas juga dapat diterima kembali oleh masyarakat desa
tanpa sanksi sosial yang berarti. Masyarakat cenderung menolong penyintas untuk melupakan kejadian,
bahkan menawarkan pekerjaan.

Rekomendasi
Keadilan Hukum: memperkuat akses penyintas terhadap keadilan melalui sistem hukum

Akses terhadap sistem negara menjadi fokus mendesak. Tidak semua kasus hukum yang dihadapi
penyintas perlu diselesaikan melalui jalur hukum negara. Namun hal yang mendesak untuk dilakukan
adalah memperbaiki aksesibilitas dari sistem ini bagi perempuan yang menghadapi permasalahan hukum
yang serius. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa upaya. Pertama, menyediakan informasi dan
pendampingan hukum di desa sehingga dapat memberikan pilihan dan dukungan yang lebih baik kepada
penyintas saat mencari pertolongan awal untuk penyelesaian kasus hukumnya. Kedua, memperbaiki sistem
rujukan (referral system) dari jalur sistem hukum non negara ke jalur negara. Ketiga, memperkuat kapasitas
jejaring lokal untuk menyediakan dukungan, terutama bagi para pemimpin perempuan di desa, seperti

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok ix
Ringkasan Eksekutif

bidan desa maupun perempuan dalam kelompok agama. Mereka akan berfungsi sebagai jejaring lokal yang
akan memperkuat akses informasi dan pelatihan hukum bagi masyarakat desa. Keempat, meningkatkan
keterkaitan antara jejaring lokal dengan sistem hukum negara, dengan memperbaiki mekanisme diseminasi
program ke komunitas dan kunjungan ke tingkat desa secara reguler dan meningkatkan pemahaman jejaring
di desa tentang mekanisme kerja sistem hukum negara.

Perlunya perubahan kelembagaan dalam sistem hukum negara. Komitmen untuk membuat sistem hukum
negara lebih sensitif terhadap masalah gender masih perlu diperkuat lagi. Walaupun perbaikan yang
menyeluruh akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Beberapa rekomendasi konkret terkait dengan
hal ini adalah:

Mengintegrasikan pelatihan gender bagi para aparat penegak hukum kedalam kurikulum pendidikan
berjenjang dalam KePolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung.

Melembagakan sistem perlindungan korban ke dalam sistem hukum pidana sehingga tidak hanya
bergantung pada inisiatif individual aparat penegak hukum.

Membangun sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system),
sebagaimana diusulkan oleh Komnas Perempuan, LBH APIK serta beberapa LSM dan akademisi.

Perlunya mengembangkan sistem peradilan pidana yang bersikap seimbang dalam melihat prinsip
”praduga tak bersalah” dan hak-hak korban, terutama pada Kejaksaan.

Mendukung lembaga-lembaga penegak hukum agar melakukan berbagai inisiatif terkait dengan
isu gender dan hukum, termasuk mendukung keberadaan RPK/UPPA hingga di tingkat Kecamatan,
tempat dimana RPK/UPPA paling dibutuhkan oleh penduduk desa.

Membangun kinerja sistem hukum non negara dengan meningkatkan kapasitas dan pengawasan. Mengingat
sistem hukum non negara masih menjadi sarana utama dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum
masyarakat desa, maka kinerja sistem ini perlu diperbaiki dalam dua aspek. Pertama, perlu memperkuat
kapasitas aktor-aktornya dalam penyelesaian kasus hukum perempuan, terutama agar memiliki kesadaran
gender dan pengetahuan tentang isu-isu gender di desa. Kedua, perlu adanya batasan yang jelas tentang
kapan mereka perlu merujuk kasus ke sistem hukum negara. Sementara itu, karena sistem hukum non
negara merefleksikan dinamika relasi kuasa di desa, adanya dukungan bagi keterwakilan perempuan dalam
mekanisme penyelesaian kasus hukum diperlukan dan dalam kepemimpinan desa. Selain itu, perlu adanya
upaya untuk mengidentifikasi agen-agen pemberdayaan perempuan dan upaya untuk mendukung peran
mereka, termasuk melembagakan perubahan yang ada kedalam pilar-pilar kelembagaan desa.

Perlu adanya dukungan dari Aktor Eksternal, termasuk juga aparat hukum. Upaya untuk meningkatkan
dukungan sistem hukum non negara kepada perempuan membutuhkan tekanan pihak eksternal. Landasan
hukum perlu menjadi faktor penentu yang melandasi keputusan aparat/tokoh desa untuk mengatasi kasus
di tingkatnya atau merujuk kasus ke sistem hukum negara. Dengan demikian aktor hukum non negara
tidak hanya merujuk kasus penyintas secara ad hoc, namun karena adanya kesadaran yang lebih tentang
batasan jurisdiksi. Untuk itu, pemerintah juga perlu memiliki peran untuk membangun kapasitas aktor-aktor
penyelesaian kasus di desa, dengan melakukan pengaturan dan pengawasan atas sistem hukum tersebut.
Fokus yang lebih juga perlu diberikan pada upaya diseminasi informasi tentang peraturan perundangan dan
proses penyelesaian kasus serta pentingnya interaksi antara sistem hukum negara dan non negara untuk
menjamin keadilan yang optimal bagi penyintas.

x Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Ringkasan Eksekutif

Keadilan Sosial: memperbaiki tersedianya kualitas keadilan yang lebih luas bagi penyintas

Walaupun rekomendasi yang mendasar tentang bagaimana penyintas dapat mengakses keadilan sosial
berada di luar cakupan studi ini, namun beberapa rekomendasi dapat diajukan berdasarkan temuan awal
studi ini.

Program hukum seharusnya tidak dilihat sebagai program yang berdiri sendiri, namun sebagai komponen
dari program sosial yang lebih luas. Penyintas, khususnya korban kekerasan, membutuhkan akses terhadap
aspek-aspek non-legal dari keadilan. Upaya untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas dari pelayanan
sosial mencakup penyediaan pelayanan kesehatan dan psikologis serta rumah aman bagi korban kekerasan,
dukungan pendidikan dan ekonomi sebagai bagian dari program rehabilitasi sangat dibutuhkan.

Untuk itu, koordinasi antara lembaga hukum negara dan berbagai lembaga pemerintah lainnya akan
memperkuat efektivitas proses hukum. Koordinasi antar aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, baik
berupa pertemuan reguler maupun yang bersifat informal, dapat memperkuat akses perempuan terhadap
keadilan. Koordinasi tersebut dapat pula diperluas dalam bentuk penempatan petugas kesejahteraan
sosial di dalam kePolisian atau pengadilan untuk membantu memberikan dukungan kepada korban dan
memfasilitasi akses korban kepada lembaga pemerintah terkait.

Aparat hukum perlu mengerti tentang dampak sosial dari keputusan hukum. Para pengambil keputusan,
baik di jalur hukum negara maupun non negara, perlu lebih peka terhadap dampak-dampak sosial yang
dihadapi penyintas. Jaringan pendukung di desa perlu diperkuat untuk membantu perempuan di tingkat
desa selama proses maupun paska proses penanganan kasus. Untuk itu, sistem hukum yang ada perlu
mengintegrasikan perspektif tentang hal ini untuk dimengerti oleh para aktornya.

Perlu memastikan adanya harmonisasi dukungan dalam jejaring di tingkat desa. Perlu diupayakan agar
terjadi harmoni diantara jejaring lokal yang ada di tingkat desa. Hal ini mencakup perlunya meningkatkan
dialog antara aparat desa dan aktor lain yang ada dalam jejaring tersebut, seperti tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh adat, bidan desa, dan kelompok PKK. Juga perlu memperkuat koordinasi antara jejaring
ini dengan penyedia layanan masyarakat lainnya, seperti puskesmas dan kelompok-kelompok perempuan
di desa.

Peran pemerintah, di dukung oleh organisasi donor dan LSM, penting dalam reformasi peraturan kebijakan
yang menyediakan pelayanan sosial bagi penyintas. Lembaga hukum di tingkat nasional perlu melakukan
koordinasi antar lembaga dalam rangka mempersiapkan kelembagaan hukum yang responsif terhadap
kebutuhan perempuan mengakses keadilan sosial. Sementara itu penguatan kapasitas pemerintah di
tingkat propinsi juga diperlukan karena seringkali berbagai upaya reformasi hukum di tingkat nasional
jangkauannya hanya sampai dengan tingkat propinsi. Organisasi donor dan organisasi masyarakat sipil (LSM
atau LBH) diperlukan untuk mendukung berbagai inisiatif yang terkait dengan memperkuat akses penyintas
terhadap keadilan, baik yang bersifat top-down dari pihak pemerintah maupun bottom-up dari masyarakat
akar rumput.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok xi
Bagian I

Pendahuluan
Bagian 1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang: Akses terhadap Keadilan vs Kemiskinan


“The poor remain poor in part because they do not have legal rights...”
Hernando de Soto1

“The poor in large parts of the developing countries live in a world where lack of access to justice, property rights and
legal business limits their boundary of existence and constraints graduation out of poverty and makes such graduation
extremely vulnerable”
Fazle Hasan Abed2

Akses perempuan terhadap keadilan di Indonesia masih sangat lemah. Sebagian besar perempuan,
khususnya perempuan miskin yang tinggal di perdesaan, masih belum mampu mengakses keadilan saat
mereka mengalami kasus hukum. Berbagai studi dan laporan telah mengungkapkan berbagai kendala yang
dihadapi perempuan dalam mengakses keadilan. Kendala utama umumnya adalah rendahnya kesadaran
dan pemahaman atas hak-hak hukum mereka (UNDP, 2007), walaupun hasil studi Baseline Survey Program
Pemberdayaan Hukum Perempuan Bank Dunia (2005) menunjukkan bahwa adanya kesadaran hukum
ternyata juga tidak selalu menjamin adanya tindakan hukum yang diambil perempuan desa saat mengalami
kasus hukum, terutama untuk kasus-kasus kekerasan domestik.3 Informasi mengenai hak-hak perempuan
yang dapat diakses oleh perempuan korban kekerasan juga masih sangat minim. Hal ini, dipersulit dengan
perlindungan terhadap saksi dan korban yang belum efektif, membuat korban sulit untuk memperoleh hak
atas keadilan (Komnas Perempuan, 2007).

Secara umum, ada keengganan perempuan untuk memanfaatkan lembaga hukum negara dalam penyelesaian
kasus hukum. Hal ini disebabkan karena mereka lebih mempercayai keluarga sendiri, keluarga suami
dan tokoh atau pemimpin masyarakat dalam membantu memecahkan persoalan (The Asia Foundation,
2001). Mereka juga merasa kapasitas lembaga hukum dan aparatur negara belum mampu memberikan
respon dengan sensitivitas gender yang cukup memadai (Narrayan, 2000). Alasan lain adalah adanya
ketidakpercayaan dan rasa takut mereka terhadap sistem hukum negara yang dianggap mahal, tidak mudah
diakses dan jauh dari tempat tinggal mereka (Bank Dunia, 2004).4 Umumnya penduduk desa lebih memilih
proses penyelesaian kasus non negara di desa (informal), karena dianggap murah, mudah diakses dan cepat,
walaupun seringkali gagal untuk memberikan penyelesaian yang adil terhadap masyarakat miskin, terutama
pada kasus-kasus terkait dengan kelompok minoritas dan marginal, termasuk perempuan (Bank Dunia,
2004 & 2008).

Sementara itu, kemiskinan membatasi kapasitas perempuan desa dalam mengakses keadilan. Kemiskinan
menyebabkan mereka kurang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan, baik karena tidak ada
biaya pendidikan, juga karena adanya diskriminasi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di lingkup
keluarga. Akibatnya, pengetahuan umum dan pengetahuan hukum perempuan di desa rata-rata rendah,
terlebih kemampuan mereka dalam mengakses keadilan ketika mereka mengalami kasus hukum. Lemahnya
akses terhadap keadilan ini selanjutnya menggiring perempuan untuk lebih jauh terperangkap dalam
kemiskinan (Novirianti, 2005). Hal ini disebabkan antara lain karena perempuan seringkali kehilangan hak-

1 Dikutip dalam Albright, Madeleine K., It’s Time for Empowerment, dalam BrØther, Mone E. & Solberg Jon-Andreas, eds. Legal
Empowerment – a way out of povery. The Norwegian Ministry of Foreign Affairs, December 2006 – issue 2, hal. 10.
2 Legal Empowerment of the Poor: A Critical pathway out of poverty, dalam BrØther, Mone E. & Solberg Jon-Andreas, eds. Legal
Empowerment – a way out of povery. The Norwegian Ministry of Foreign Affairs, June 2003 – issue 3, hal. 67.
3 Studi ini menemukan bahwa walaupun 87% dari responden berpendapat bahwa KDRT adalah suatu kejahatan dan seharusnya
diproses secara hukum, hanya sebagian kecil (27 persen) yang mengaku akan melaporkan kasus KDRT ke Polisi jika mengalaminya.
Lihat www.justiceforthepoor.or.id.
4 Studi ini menemukan bahwa bagi penduduk desa, pengadilan hanyalah jalan terakhir dalam usaha mengakses keadilan. Walaupun
demikian, penyelesaian kasus-kasus terutama kasus korupsi melalui mekanisme hukum negara terbukti berhasil, namun faktor
keberhasilannya lebih karena didorong oleh aspek social political dibanding legal teknis.

2 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 1. Pendahuluan

haknya atas aset dan sumberdaya saat mengalami kasus hukum, terlebih saat tidak dapat memperoleh
penyelesaian kasus yang adil.

Namun di sisi lain, kemiskinan itu juga yang menjadi latar belakang rentannya posisi perempuan terhadap
berbagai pelanggaran hak dan praktek-praktek diskriminasi, sehingga seringkali mengalami berbagai kasus
hukum. Di Indonesia, kemiskinan dialami oleh sebagian besar perempuan, terlebih yang tinggal di daerah
perdesaan. Tidak hanya itu, data juga menunjukkan bahwa perempuan umumnya jauh lebih miskin dibanding
laki-laki. Kemiskinan ini dapat dilihat dari tingkat daya beli (purchasing power parity/PPP) perempuan, yang
pada tahun 2004 (USD 2.138) hanya separuh dari tingkat daya beli laki-laki (Human Development Report
2006). Kemiskinan yang dialami perempuan juga dapat dilihat dari relatif lebih rendahnya tingkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK) perempuan (49,52 persen), yaitu sekitar separuh, dari TPAK laki-laki dan relatif
lebih tingginya tingkat pengangguran terbuka pada perempuan (11,83 persen) dibanding pada laki-laki (8,5
persen) (Survey Angkatan Kerja Nasional/Sakernas, 2007).

Data juga menunjukkan, rata-rata upah pekerja perempuan juga lebih kecil dibanding dengan rata-
rata upah pekerja laki-laki. Rata-rata upah pekerja perempuan yang berstatus sebagai buruh/karyawan/
pegawai hanya sekitar 72 persen dari pekerja laki-laki dengan status yang sama. Sementara rata-rata upah
perempuan yang bekerja sebagai pekerja bebas di sektor pertanian hanya sekitar 69 persen dari pekerja laki-
lakinya. Ketimpangan upah terbesar terjadi pada perempuan yang bekerja sebagai pekerja bebas di sektor
non-pertanian, yaitu hanya sekitar 46 persen dari upah pekerja laki-lakinya (Laporan Pencapaian Millenium
Development Goals Indonesia 2007).

Kondisi kemiskinan perempuan diperburuk dengan status perempuan yang marjinal dalam struktur sosial
di masyarakat, termasuk dalam keluarga, sehingga rentan terhadap berbagai diskriminasi sosial. Kebiasaan
adat dan budaya lokal kerapkali merendahkan status perempuan. Sementara sistem hukum dan sosial di
Indonesia masih menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga. Pasal 31 ayat 3 UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menegaskan bahwa laki-laki atau suami adalah kepala keluarga dan perempuan adalah
ibu rumah tangga. Suryakusuma (2004) membahas bahwa penentuan pembagian dan pembakuan peran
perempuan dalam rumah tangga merupakan manifestasi dari ideologi gender negara atau konstruksi
perempuan di Indonesia yang dibangun berdasarkan kepentingan negara. Selanjutnya, definisi hukum
ini diterjemahkan dalam berbagai praktek ekonomi dan sosial, sehingga menguatkan ketergantungan
perempuan atau istri kepada suami dan mengakitbatkan alokasi sumber daya serta hak politik dan ekonomi
seringkali didasarkan pada keberadaan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Dalam perangkap kemiskinan dan marjinalisasi status sosial tersebut, perempuan menjadi rentan terhadap
berbagai pelanggaran hak dan kasus hukum. Posisi timpang yang terjadi dalam konteks keluarga
menyebabkan mudahnya terjadi kesewenang-wenangan oleh pihak yang lebih powerful dan berstatus
sosial lebih tinggi. Di bidang ketenagakerjaan, perempuan yang umumnya bekerja di sektor informal
tidak memperoleh perlindungan hukum dan sosial, sehingga rentan terhadap berbagai pelanggaran hak.
Sementara itu, sistem hukum dan keadilan yang masih bias gender dan belum dapat memberikan keadilan
pada perempuan ini telah memperlemah posisi tawar perempuan desa. Disamping itu, sistem hukum
non negara yang ada di desa kerapkali mengutamakan harmoni di lingkup keluarga dan masyarakat desa
sehingga mengorbankan hak dan kepentingan perempuan yang mengalami kasus hukum. Akibatnya
berbagai kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan perkosaan, pelecehan seksual di tempat
kerja, trafficking, dan praktek perceraian non legal sering dialami perempuan, sementara akses perempuan
terhadap keadilan saat mengalami berbagai kasus hukum tersebut sangat lemah.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 3
Bagian 1. Pendahuluan

1.2. Pemberdayaan Hukum Bagi Perempuan: Suatu Solusi


“Effective access to justice is central to the agenda of legal empowerment of the poor.”
Fazle Hasan Abed5

Pemberdayaan hukum telah terbukti dapat memperkuat akses penduduk miskin terhadap keadilan.
Respon internasional terhadap arti penting pemberdayaan hukum bagi penduduk miskin, terutama untuk
mendukung upaya pengentasan kemiskinan, terlihat dari dibentuknya Komisi Pemberdayaan Hukum
bagi Penduduk Miskin (Commission on Legal Empowerment of the Poor) sebagai komisi afiliasi Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB). Komisi ini hadir sebagai jawaban atas tantangan pembangunan yang tidak hanya
ingin meningkatkan taraf kehidupan penduduk miskin, tetapi juga membuat mereka semakin mandiri.
Sebagaimana yang dikemukakan Albright (2006), “Many of the people without legal rights derive only
temporary benefits from conventional anti-poverty effort.”

Namun akses perempuan terhadap keadilan sangat terkait dengan kekhususan isu dan persoalan yang
dihadapi oleh perempuan, sehingga membutuhkan pendekatan-pendekatan yang bersifat holistik, di
luar pendekatan pemberdayaan hukum yang umum. Walau demikian, akses perempuan terhadap
keadilan merupakan bagian dari kerangka besar akses masyarakat terhadap keadilan, sehingga prasyarat
pemenuhannya juga membutuhkan penguatan pilar-pilar penegakan hukum (law enforcement) yang sama,
yaitu mencakup substansi hukum, institusi penegak hukum dan budaya hukum masyarakat. Penguatan
pilar-pilar ini membutuhkan pendekatan dua arah baik dari sisi supply (sisi penyedia hukum) maupun
demand (sisi pemanfaat/subyek hukum), dan menjangkau baik sistem hukum negara maupun non negara.
Sebagaimana dikemukakan Jahan (2007), pendekatan yang integratif, mencakup sistem hukum negara dan
non negara, diperlukan untuk memastikan adanya akses penduduk miskin terhadap keadilan.

Program Pemberdayaan Hukum Perempuan (Women’s Legal Empowerment/WLE) yang dilaksanakan oleh
PEKKA, bekerja sama dengan Justice for the Poor, Bank Dunia, merupakan suatu pembelajaran tentang
upaya pemberdayaan hukum bagi perempuan desa.6 Program ini bertujuan untuk melakukan pemberdayaan
hukum bagi perempuan miskin di desa melalui pendekatan dua arah tersebut di atas, yaitu dengan
meningkatkan pemahaman perempuan desa atas hak-hak mereka, khususnya terkait dengan hak ekonomi,
serta memperkuat kapasitas aparat hukum untuk dapat merespon kebutuhan hukum para perempuan di
desa. Tingkat keberdayaan seorang perempuan sangat dipengaruhi oleh kerjasama antara faktor agency,
yakni kemampuan atau kapasitas seorang perempuan untuk melakukan pilihan karena kesadaran hukum
yang dimiliki, dan faktor opportunity structure, yakni lembaga negara dan non negara serta perangkat
kebijakan yang ada yang dapat membantu perempuan dalam mewujudkan pilihan-pilihannya dan dalam
mengakses berbagai sumberdaya dan keadilan. Deskripsi lebih jelas tentang program WLE dapat dilihat
dalam box di bawah.

5 ibid, hal. 70.


6 Penjelasan lebih lengkap tentang program dapat dilihat dalam www.justiceforthepoor.or.id.

4 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 1. Pendahuluan

Box 1. WLE: Sebuah model penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan
Tujuan. Program WLE bertujuan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap keadilan. Secara khusus program ini bertujuan
untuk: 1) meningkatkan kesadaran hukum perempuan, 2) penguatan kapasitas penegak hukum dan lembaga lokal terkait yang
berkedudukan di tingkat kabupaten/propinsi, serta 3) meningkatkan advokasi kebijakan yang berkeadilan gender.

Strategi. WLE diselenggarakan dengan strategi, pertama, bekerjasama dengan organisasi perempuan yang telah melakukan
program pemberdayaan ekonomi untuk kelompok perempuan. Kedua, merekrut Kader Hukum (paralegal) perempuan di tingkat
desa untuk melakukan fungsi penyadaran hukum, merujuk kasus dan melakukan pendokumentasian kasus. Ketiga, membentuk
Multi-stakeholders Forum (MSF) yang beranggotakan aparat penegak hukum, aparat pemerintah (terutama dari Pemda dan Dinas
Tenaga Kerja), LSM atau LBH, serta akademisi yang terkait di tingkat kabupaten/propinsi yang berfungsi untuk membantu meresponi
kasus yang dialami perempuan di desa, mendukung penyadaran hukum di desa (melalui berbagai kunjugan MSF ke desa) dan
melakukan dialog kebijakan berkaitan dengan kasus-kasus perempuan desa yang ditemui.

Implementasi. Selama dua tahun (2005-2007), uji coba program dilaksanakan bekerjasama dengan PEKKA, organisasi Perempuan
Kepala Keluarga di tiga wilayah kerjanya, yaitu Kabupaten Cianjur – Jawa Barat, Kabupaten Brebes – Jawa Tengah dan Provinsi NTB
(Lombok). Kegiatan WLE pada intinya merupakan pelatihan hak-hak hukum perempuan di tingkat desa yang dilakukan utamanya
oleh Kader Hukum, dengan dukungan dari Pendamping Lapangan (PL) PEKKA dan anggota MSF.

Kegiatan di tingkat desa. Melalui WLE, Kader Hukum yang bekerja di tingkat desa dan PL PEKKA yang bekerja di tingkat
kecamatan melakukan berbagai peran untuk memperkuat akses perempuan desa terhadap keadilan dengan cara memperkuat
‘demand.’ Pertama, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran hukum perempuan melalui penyuluhan hukum, terutama terkait
dengan hukum keluarga (persoalan kawin-cerai) dan KDRT. Kedua, memberikan bantuan hukum, seperti merujuk kasus ke lembaga
hukum negara, mendampingi perempuan dalam penyelesaian kasus dan memberikan konsultasi hukum. Ketiga, membantu proses
advokasi kebijakan bagi perempuan desa yang membutuhkan pelayanan hukum.

Kegiatan di tingkat Propinsi/Kabupaten. Di samping itu, dari sisi ‘supply,’ MSF secara aktif memberikan dukungan dalam
penyadaran hukum dan penanganan kasus. Dalam kegiatan kunjungan MSF ke desa, mereka diharapkan memberikan berbagai
informasi hukum terutama yang berhubungan dengan kasus yang dialami perempuan di desa. Anggota MSF juga diharapkan
turut membangun jaringan dan dukungan untuk membantu penanganan kasus yang dialami oleh perempuan di desa. Selain itu,
bagi anggota MSF yang memiliki kapasitas dan otoritas untuk membantu penyelesaian kasus seperti penegak hukum dan dinas
ketenagakerjaan di tingkat pemda, dalam beberapa kasus, mereka diharapkan memberikan bantuan penyelesaian kasus secara
lebih kongkrit.

1.3. Fokus Studi Kasus Akses Perempuan terhadap


Keadilan
Dengan latar belakang ini, maka pertanyaan dasar yang ingin dijawab melalui studi kasus ini adalah
bagaimana perempuan desa pencari keadilan, atau yang disebut penyintas, dapat mengakses keadilan saat
menghadapi kasus hukum. Akses terhadap keadilan itu sendiri didefinisikan sebagai ‘kemampuan rakyat,
terutama dari kelompok-kelompok miskin dan kelompok yang kurang beruntung, untuk mencari dan
memperoleh pemulihan hak melalui sistem peradilan formal dan informal, sesuai dengan prinsip dan standar
hak-hak asasi manusia.’7 Mempelajari pengalaman perempuan desa mengakses keadilan saat mengalami
kasus hukum menjadi sangat relevan karena adanya keterkaitan erat antara kemampuan mereka untuk
mengakses keadilan dengan terhindarnya mereka dari berbagai kerugian dan dampak ekonomi. Dengan
demikian, akses terhadap keadilan sangat terkait dengan isu pengentasan kemiskinan dan peningkatan
taraf kehidupan perempuan desa sebagai penduduk miskin.

Tapi lebih dari itu, Sen (1995:266) menegaskan bahwa akses terhadap keadilan secara umum juga
mengandung pengertian adanya “kebebasan untuk mencapai sesuatu” dan secara khusus “kemampuan

7 UNDP Access to Justice Practice Note [Catatan Praktek Akses terhadap Keadilan], 9 Maret 2004. Sementara lebih spesifik Bedner
(2004) dalam Towards Meaningful Rule of Law Research: An Elementary Approach’, MS Unpublished, VVI, Leiden, mendefinisikan-
nya sebagai “Access by people, in particular from poor and disadvantaged groups to fair, effective and accountable mechanisms
for the protection of rights, control of abuse of power and resolution of conflict. This access includes the ability of people to seek
and obtain a remedy through formal and informal justice systems, and the ability to seek and exercise influence on law-making and
law-implementing processes and institutions.’

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 5
Bagian 1. Pendahuluan

untuk berfungsi.” Dengan demikian akses terhadap keadilan tidak semata diartikan sebagai akses terhadap
penyelesaian kasus, namun juga terkait dengan hak dan kemampuan seseorang untuk menentukan hidup
dan masa depannya, yaitu hak asasinya sebagai manusia. Sehingga pemahaman tentang bagaimana
saat ini perempuan miskin di desa mengakses keadilan juga diperlukan untuk melihat keberadaan yang
sesungguhnya dari perempuan desa sebagai subyek pembangunan.

Studi-studi yang ada umumnya masih melihat akses penduduk miskin secara umum terhadap keadilan.
Masih sangat terbatas studi yang secara khusus memfokuskan kepada perempuan sebagai kelompok yang
paling rentan dalam kategori penduduk miskin sebagai pencari keadilan (lihat antara lain UNDP, 2007, World
Bank, 2004, 2006 & 2008, Asia Foundation, 2001). Sementara itu, berbagai studi kasus yang dilaporkan
oleh berbagai LSM perempuan atau lembaga bantuan hukum (LBH) lokal umumnya mengambil kasus-kasus
yang ditangani mereka secara langsung, yang umumnya adalah kasus-kasus perempuan di perkotaan (lihat
antara lain Nursyahbani, 2002 & 2004).

Untuk itu, Program Justice for the Poor dari Bank Dunia menggagas untuk melakukan studi kasus mengenai
akses perempuan ke keadilan, sebagai upaya untuk melengkapi studi-studi kasus yang ada terkait dengan
akses perempuan terhadap keadilan. Studi ini secara khusus memberi perhatian kepada perempuan desa
yang notabene adalah penduduk miskin dengan mempelajari bagaimana mereka mengakses keadilan di
tingkat desa, baik pada desa-desa yang telah menerima manfaat dari keberadaan program pemberdayaan
hukum bagi perempuan (program WLE dari Bank Dunia) atau desa-desa yang tidak menerima manfaat
tersebut. Studi kasus ini diarahkan untuk dapat memberikan sumbangan strategi yang integratif dan
holistik terhadap upaya penguatan akses perempuan desa terhadap keadilan, berdasarkan pembelajaran
serta pemetaan peluang-peluang yang ada dari best practice yang diperoleh.

Dengan demikian, secara umum studi kasus ini bertujuan untuk mendapatkan bahan pembelajaran (lessons
learned) dan contoh-contoh yang baik (best practices) dari pengalaman perempuan desa mengakses
keadilan, baik melalui sistem hukum negara di luar desa maupun sistem hukum non negara di tingkat desa.8
Secara khusus, studi ini bertujuan untuk:

1. Menelaah pengalaman perempuan desa dalam mengakses keadilan baik melalui mekanisme hukum
negara maupun non negara;
2. Mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dan peran mereka dalam mendukung upaya perempuan
desa mengakses keadilan;
3. Menelaah aksesibilitas dan efektivitas sistem hukum yang ada, baik negara maupun non negara,
dalam menangani kasus diksriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan kasus yang terkait
dengan keluarga;
4. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat penanganan kasus dikriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan dan kasus yang terkait dengan hukum keluarga;

1.4. Metodologi
Pendekatan dan batasan
Pendekatan yang dipakai dalam studi kasus ini adalah pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan ini,
studi kasus tidak hanya mengkaji bagaimana kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan,

8 Dalam studi ini digunakan istilah sistem hukum negara dan non negara, dan bukan sistem hukum formal dan informal, dengan
tujuan untuk menghindari kerancuan dari definisi formal dan informal itu sendiri. Seringkali sistem hukum adat yang ada di desa
juga sangat bersifat formal, dengan aturan-aturan, mekanisme dan prosedur yang jelas, dan bahkan tertulis, sehingga kurang tepat
jika disebut “informal.” Dalam beberapa studi lain, termasuk studi-studi Bank Dunia terdahulu (2004 & 2006) digunakan istilah
sistem hukum formal (untuk sistem hukum negara) dan informal (untuk sistem hukum non negara) .

6 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 1. Pendahuluan

tetapi juga kasus yang terkait dengan hukum keluarga yang dialami oleh perempuan, diselesaikan sesuai
dengan mekanisme hukum negara maupun non negara. Kasus-kasus yang diperoleh juga dikaji dengan
menggunakan pendekatan berbasis hak dalam pembangunan (AWID, 2002) dan konsep pemberdayaan
serta kesadaran hukum perempuan. Sumber data dan informasi untuk menarik pembelajaran dan best
practice dari pengalaman perempuan desa mengakses keadilan diperoleh melalui:

1. Studi dokumen. Terutama atas berbagai peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah
terkait dengan akses perempuan terhadap keadilan, maupun berbagai dokumen dan materi terkait
dengan kasus hukum, seperti putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, tulisan media dan
beberapa dokumen relevan lainnya.

2. Studi lapangan
a. Observasi lapangan.
b. Wawancara mendalam (in-depth interview). Dilakukan terhadap 29 responden,9 yaitu
perempuan yang mengalami kasus hukum (subyek hukum) dan 153 informan yang terkait
dengan kasus hukum perempuan tersebut, termasuk keluarga, saksi, aparat desa, aparat
hukum dan masyarakat umum.
c. Wawancara. Dilakukan dengan lembaga pemerintah, akademisi, LSM, dan lembaga
donor di tingkat nasional.

Kasus-kasus hukum perempuan yang diangkat dalam studi ini mencakup kasus-kasus kekerasan dan
diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam lingkup hukum pidana maupun perdata, serta kasus dalam
lingkup hukum keluarga. Sementara itu, dalam studi ini yang didefinisikan sebagai kasus hukum adalah
apabila perempuan yang memiliki kasus hukum telah berupaya mengakses pihak ketiga dalam mencari
keadilan. Studi kasus ini tidak bermaksud mengukur keberhasilan penanganan kasus, sehingga dengan
sendirinya tidak memiliki ukuran atau indikator keberhasilan penanganan kasus. Namun studi kasus ini,
dengan cara deskriptif-eksploratif, menggambarkan pengalaman perempuan desa dalam mengakses
keadilan di tengah kondisi yang tidak berpihak dan diskriminatif, dengan atau tanpa fasilitasi serta bantuan
dari pihak-pihak lain.

Pemilihan lokasi studi


Studi kasus dilakukan di tiga lokasi pelaksanaan program WLE, yaitu Cianjur-Jawa Barat (Kecamatan Pacet
dan Kecamatan Cipanas), Brebes-Jawa Tengah (Kecamatan Larangan) dan Lombok-NTB, yaitu di Kabupaten
Lombok Barat (Kecamatan Gerung dan Lingsar) dan Kabupaten Lombok Tengah (Kecamatan Jonggat). Studi
kasus ini secara khusus ingin menarik pembelajaran dan best practice dari kasus-kasus hukum yang terjadi
di lokasi-lokasi pelaksanaan program WLE, terutama yang terjadi selama masa pelaksanaan program, yaitu
sejak Maret 2005 hingga April 2007.10

9 Jumlah responden (29 perempuan) berbeda dengan jumlah kasus (28 kasus) karena ada satu kasus hukum yang dialami oleh dua
orang perempuan sekaligus.

10 Beberapa kasus terjadi sebelum pelaksanaan program WLE, namun masih berkisar di kurun waktu pelaksanaan WLE.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 7
Bagian 1. Pendahuluan

Box 2. Konteks lokal wilayah program WLE

Kecamatan Pacet dan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

Kecamatan Pacet memiliki luas wilayah sekitar 9.282 Ha dan berada pada ketinggian 500-1000 m di atas permukaan laut, dengan
kondisi wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan. Akses informasi dan transportasi di wilayah ini sangat mudah,
karena letaknya yang sangat strategis pada jalur Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur). Potensi sumber daya alam yang kaya telah
menjadikan sektor pertanian dan pariwisata sebagai aset utama pendapatan daerah. Namun sebagai dampaknya biaya hidup di
kecamatan ini lebih tinggi dibanding kecamatan lainnya di Kabupaten Cianjur, demikian pula pola hidup masyarakat jadi cenderung
konsumtif. Jumlah penduduk di wilayah ini adalah 169.731 jiwa terdiri dari 86.923 laki-laki dan 82.808 perempuan. Penduduk asli,
yang adalah etnis Sunda, mayoritas beragama Islam yang cukup agamis, terlihat dari kegiatan dominan yang dilakukan penduduk
adalah pengajian. Masih banyak perkawinan dan perceraian yang hanya dilakukan dengan fasilitasi penghulu desa (Amil). Tingkat
perekonomian masyarakat juga tergolong baik, bahwa di beberapa desa, tidak ada lagi penduduk yang masuk dalam kategori
miskin (Data BKKBN dan Depkes). Namun, sebagian besar pendudukan tidak lagi memiliki tanah persawahan, sehingga umumnya
bekerja sebagai buruh tani atau pada pabrik-pabrik industri yang ada di sekitarnya. Banyak perempuan yang bekerja memelihara
taman atau kebun di perkebunan, perumahan bahkan tempat-tempat wisata dengan upah Rp. 3000 per setengah hari. Ada juga
yang bekerja berdagang dengan penghasilan per bulan sekitar Rp. 200.000- Rp. 500.000, atau sebagai pemetik teh di perkebunan
dengan upah per bulan sebesar Rp. 300.000 – Rp. 600.000. Namun, tidak sedikit juga penduduk desa yang bekerja sebagai di
sektor informal sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri.

Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah

Kecamatan Larangan, dengan jumlah penduduk sekitar 141.455 jiwa, memiliki luas wilayah sekitar 16.468 Ha dan kurang lebih 42%
adalah lahan sawah yang hampir seluruhnya ditanami bawang merah, yang merupakan komoditi andalan Kabupaten Brebes. Pada
tahun 2003, sekitar 400.000 kwintal (24%) produksi bawang merah di Kabupaten Brebes merupakan sumbangan dari Kecamatan
Larangan. Dengan potensi tersebut, mata pencaharian utama penduduk adalah petani (30.718 orang), buruh tani (31.574 orang),
dan pedagang (7.834). Dalam proses penggarapan lahan untuk tanaman bawang buruh tani perempuan hampir mendominasi dari
proses tanam, perawatan, panen hingga pasca panen, sampai bawang siap dijual. Sementara laki-laki hanya menyiapkan lahan,
mengatur air dan mencari tengkulak untuk menjual bawang dan menguasai hasil penjualan. Selain bekerja sebagai buruh tani,
umumnya perempuan bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga di luar desanya atau sebagai TKW di luar negeri.
Di kecamatan ini, 4.591 perempuan terpaksa menjadi kepala keluarga karena berstatus sebagai janda. Berbeda dengan beberapa
kecamatan lainnya yang masyarakatnya lebih bersifat religius, di wilayah ini masyarakatnya dapat dikatakan cenderung abangan
dan lebih terbuka, mungkin disebabkan karena banyak penduduk asli yang menikah dengan pendatang. Penduduk juga cenderung
menggemari berbagai bentuk hiburan seperti wayang, sinden dan jogetan, judi, bahkan hingga kebiasaan ’bermain’ perempuan.
Banyak juga bermunculan biduan-biduan cilik yang akhirnya berprofesi menjadi penyanyi tarling dangdut. Sementara itu, bagi
sebagian besar masyarakat Larangan menikah muda adalah hal biasa dan alasan utama orang tua menikahkan anak perempuan
mereka adalah untuk perubahan status dan peningkatan ekonomi. Banyak perceraian terjadi saat alasan ini tidak tercapai. Pada
sejumlah kasus perceraian, penghulu di desa (Lebe) adalah pihak pertama yang akan ditemui.

Kecamatan Gerung dan Lingsar (Lombok Barat) dan Kecamatan Jonggat (Lombok Tengah), NTB

Kecamatan Gerung dan Lingsar terletak di Kabupaten Lombok Barat. Di wilayah ini, sebagian besar lahannya tergolong daerah
kering sehingga pertanian memakai sistem tadah hujan dan banyak masyarakat yang menanam kacang, jagung dan tembakau.
Umumnya penduduk bekerja di sektor pertanian dan sisanya di sektor perdagangan. Sementara Kecamatan Jonggat terletak di
Kabupaten Lombok Tengah dan sebagian besar lahan di daerah ini adalah sawah dan ladang. Berbeda dengan dua kecamatan di
Lombok Barat, di Kecamatan Jonggat, selain bertani, cukup banyak penduduk yang bekerja sebagai buruh migran ke luar negeri.
Di beberapa desa, sebagian besar penduduk laki-laki bahkan bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia, hingga banyak istri-istri
yang dijuluki “jamal” atau janda Malaysia (istilah bagi istri yang ditinggal suami kerja ke luar negeri). Budaya dan adat kebiasaan
masyarakat di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah sangat berbeda. Sebagian besar masyarakat di Lombok Tengah
tergolong kelompok bangsawan sedangkan di Lombok Barat lebih banyak tercampur dengan pendatang, walau secara umum
penduduk di kedua kabupaten ini adalah suku Sasak. Masyarakat di setiap desa umumnya memiliki aturan-aturan kemasyarakatan
yang disebut ”awiq-awiq” desa, yang berfungsi mengatur peran dan fungsi institusi/krama adat, kehidupan sosial kemasyarakatan,
dan sanksi terhadap pelanggaran aturan adat yang telah ditetapkan. ”Awiq-awiq” yang dibuat sifatnya mengikat seluruh warga
masyarakat setempat sehingga sebagian masalah yang timbul di desa diupayakan penyelesaiannya melalui aturan adat terlebih
dulu, dan jika tidak berhasil barulah masalah tersebut diangkat ke pihak institusi hukum negara. Selain ”awiq-awiq,” dalam
masyarakat Lombok yang mayoritas beragama Islam, Tuan Guru (tokoh agama) memiliki peran sentral dalam penegakan aturan
yang ada di masyarakat. Masyarakat sangat mendengar apa pun yang dikatakan oleh Tuan Guru. Kentalnya pengaruh budaya dan
agama di Lombok terlihat dari masih banyaknya perkawinan dan perceraian yang dilakukan berdasarkan aturan budaya dan agama
Islam, tanpa mencatatkannya secara legal di KUA atau Pengadilan Agama.

8 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 1. Pendahuluan

Guna memperoleh cakupan pembelajaran dan best practice yang lebih kaya tentang bagaimana perempuan
desa mengakses keadilan, maka lokasi studi dikelompokkan lagi kedalam sub-wilayah: (1) Wilayah WLE,
yaitu daerah-daerah yang menjadi wilayah kerja program WLE; (2) Wilayah kontrol WLE, yaitu wilayah
kerja organisasi PEKKA yang tidak menerima program WLE, tapi hanya menerima program pemberdayaan
ekonomi dan program lain di luar WLE; dan (3) Wilayah non PEKKA, yaitu wilayah yang bukan menjadi
wilayah kerja PEKKA. Namun karena wilayah kontrol WLE hanya ada untuk lokasi pelaksanaan WLE di
Cianjur (yaitu wilayah Sukabumi) dan Brebes (yaitu wilayah Pemalang), maka hanya kedua lokasi ini saja
yang dikelompokkan ke dalam tiga sub-wilayah di atas. Lokasi Lombok hanya dikelompokkan menjadi dua
sub-wilayah, yaitu wilayah WLE dan wilayah Non PEKKA.

Metode Pemilihan Kasus


Dari masing-masing lokasi studi, kasus-kasus hukum perempuan dipilih secara purposive. Kasus-kasus yang
dipilih, pertama adalah kasus-kasus yang difasilitasi oleh para pelaku program WLE, yaitu Kader Hukum dan
PL PEKKA (terutama pada wilayah WLE). Kedua adalah kasus-kasus yang ditangani dan diketahui oleh para
anggota MSF di masing-masing lokasi. Ketiga adalah kasus-kasus yang diperoleh dari lembaga penegak
hukum setempat, yaitu Kantor KePolisian, termasuk unit RPK/UPPA11, dan Pengadilan Agama. Keempat
adalah kasus-kasus yang diperoleh dari aparat desa setempat. Oleh karena itu, sebagian besar kasus yang
diangkat dalam studi ini adalah kasus yang ditangani oleh sistem hukum negara, karena difasilitasi oleh
pelaku program WLE atau ditangani oleh aparat penegak hukum. Walaupun umumnya kasus terjadi di
tingkat desa, beberapa kasus TKW dan trafficking terjadi di luar negeri saat responden bekerja sebagai TKW
(saat studi responden sudah kembali ke desa). Namun kasus-kasus tersebut dipilih karena adanya berbagai
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak di tingkat desa dalam penyelesaian kasus hukum.

Berdasarkan metode pemilihan kasus di atas, maka terpilih dua puluh delapan kasus hukum yang dialami
perempuan, terkait dengan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam lingkup hukum
pidana maupun perdata, serta kasus yang terkait hukum keluarga, seperti masalah kawin-cerai dan warisan.
12
Disadari bahwa seringkali perempuan mengalami beberapa kasus sekaligus atau kasus yang berlapis,
misalnya KDRT dan perceraian, namun penghitungan jumlah kasus dalam studi ini didasarkan pada kasus
terakhir yang dialami perempuan dan dibawa kepada institusi penyelesaian kasus hukum yang ada. Hanya
ada satu kasus perkosaan anak yang dialami oleh dua perempuan (subyek hukum) sekaligus. Diperoleh
sembilan belas kasus dari wilayah WLE, dua kasus dari wilayah kontrol WLE dan tujuh kasus sisanya dari
wilayah non PEKKA.

Tipologi Kasus
Tipologi kasus hukum yang diangkat dalam studi ini dapat dilihat dalam tabel di bawah. Tipologi kasus
ini ditentukan berdasarkan kasus terakhir yang dialami oleh responden dan diupayakan penyelesaiannya
melalui institusi penyelesaian kasus hukum yang ada.

11 Pada saat laporan ini disusun, RPK berdasarkan Peraturan Kepala KePolisian RI No. 10/2007 diganti menjadi Unit Pelayanan Perem-
puan dan Anak (UPPA). Perubahan ini menegaskan struktur unit ini dalam organisasi kePolisian yang berimplikasi pada dukungan
kerja dan pendanaan yang lebih terarah. Perubahan struktur ini terjadi atas desakan beberapa organisasi perempuan yang melaku-
kan advokasi kasus kekerasan terhadap perempuan.
12 Awalnya diperoleh 30 kasus, namun pada akhirnya 2 kasus dari wilayah kontrol WLE di Jawa Tengah, yaitu Pemalang, tidak dipakai
dalam studi dengan alasan tidak memenuhi kriteria kasus yang ditentukan dalam studi ini. Satu kasus telah terjadi sangat lama dan
kasus lainnya belum dapat didefinisikan sebagai “kasus hukum” karena perempuan pencari keadilan belum meminta pertolongan
dari pihak ketiga untuk penyelesaian sengketanya. Dengan demikian, tidak ada kasus yang diperoleh dari wilayah kontrol WLE di
Pemalang, Jawa Tengah.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 9
Bagian 1. Pendahuluan

Tabel 1. Kasus terpilih berdasarkan tipologi kasus


Jenis Kasus Jumlah
Kekerasan seksual (incest dan perkosaan) 9 kasus
Perceraian legal 8 kasus
Perceraian non legal (bawah tangan) 3 kasus
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 1 kasus
Diskriminasi perburuhan 1 kasus
Trafficking/TKW (termasuk KDRT dan penipuan gaji) 3 kasus
Kejahatan perkawinan 2 kasus
Warisan 1 kasus
TOTAL 28 kasus

Gambaran yang lebih lengkap tentang masing-masing kasus, yaitu berdasarkan wilayah, karakteristik
perempuan pencari keadilan (penyintas) dan pihak pelaku/lawan dalam kasus hukum, kronologi kasus, hasil
penyelesaian kasus serta pihak-pihak yang terlibat (pihak yang membantu terbongkarnya kasus hingga
melaporkan kasus ke sistem hukum negara maupun pihak yang mendampingi penyintas selama proses
penyelesaian kasus), dapat dilihat pada Tabel 2a, 2b dan 2c tentang deskripsi kasus berikut ini.

10 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Tabel 2a. Deskripsi kasus di Cianjur
CIANJUR – JAWA BARAT
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus Pihak Terlibat*
(Perempuan Lawan
Pencari
Keadilan) Membantu Mendampingi

Kecamatan Anak Ayah Perkosaan Bidan desa Kader Hukum


Pacet Usia: 15 tahun Usia: 37 tahun Penyintas diperkosa ayahnya pada bulan Februari, Maret dan April 2006. Ketika tetangga mengetahui, Polisi desa
Kabupaten (Bukan anggota Pekerjaan: mereka ingin menghakimi pelaku, tapi ketua RT dan pemuka agama mengamankan pelaku ke kantor Ketua RT
Cianjur PEKKA) Buruh tani & desa. Kader Hukum PEKKA datang dan mengontak kePolisian serta membawa penyintas ke bidan desa,
(Wilayah WLE) tukang ojek sementara itu pelaku dibawa ke Polsek. Kasus langsung ditangani oleh kePolisian yang memberikan
respon positif begitu pula jaksa dan hakim. Keluarga pelaku sempat mengancam penyintas dalam masa
persidangan. Kader Hukum mengupayakan pendampingan terhadap penyintas di persidangan, namun
upaya ini tidak berhasil karena hakim tidak mengizinkan.
Hasil
Setelah 17 kali sidang, pelaku dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp. 60 juta subsider 4 bulan
penjara.

Kecamatan Buruh Manajemen Diskriminasi perburuhan Disnaker (anggota PL PEKKA


Pacet Usia: 42 tahun pabrik Penyintas adalah janda dengan tujuh anak yang bekerja pada sebuah pabrik sejak 1998. Status penyintas MSF Cianjur)
Kabupaten (Anggota adalah buruh tak tetap yang kontraknya setiap tahun diperbaharui. Tahun 2006, perusahaan tak lagi
Cianjur PEKKA) memanggil penyintas tanpa alasan. Penyintas hadir mengungkapkan persoalannya dalam pertemuan MSF.
(Wilayah WLE) Disnaker Cianjur yang juga hadir dalam pertemuan MSF segera menindaklanjuti kasus dengan mengontak
perusahaan. Setelah dua kali menghubungi pihak perusahaan, akhirnya perusahaan kembali memanggil
penyintas bekerja.
Hasil
Penyintas dapat bekerja kembali, namun perusahaan memperlakukannya seperti buruh baru, tidak
mendapat pesangon Lebaran.

Kecamatan Anak Tetangga Perkosaan Polisi desa Kader Hukum


Pacet perempuan Usia: 41 tahun Penyintas diperkosa oleh tetangga sampai lima kali. Perkosaan terungkap berdasarkan kesaksian teman Kepala dusun
Kabupaten Usia 11 tahun Pekerjaan: penyintas. Tetangga dan kepala dusun membawa penyintas ke bidan desa. Bidan desa melaporkan Tetangga
Cianjur (Bukan anggota buruh tani kasus ke Kader Hukum PEKKA, yang kemudian melaporkan kasus ke Polisi dan mendampingi penyintas Bidan desa
(Wilayah WLE) PEKKA) selama penyidikan. Pelaku dibawa ke Polisi oleh Kepala Dusun dan Babinmas Polsek, di sana ia mengakui
perbuatannya. Sementara itu, penyintas didampingi oleh aparat Polsek dan Kader Hukum menjalani visum.
Baik kePolisian, kejaksaan dan pengadilan memberikan respon positif. Kepala dusun mengaku sempat
melakukan mediasi, namun tidak berhasil.
Hasil
Sidang berlangsung singkat dan majelis hakim menghukum pelaku 14 tahun penjara dan denda Rp. 60 juta
subsider 4 bulan penjara.

Kecamatan Guru SD Suami Perceraian legal Kepala sekolah Kader Hukum


Pacet Usia: 43 tahun Usia: 46 tahun Suami penyintas beberapa kali menikah lagi dengan perempuan lain tanpa sepengetuhan penyintas,
Kabupaten (Bukan anggota Pekerjaan: supir sehingga menyulut pertengkaran. Penyintas mengadu pada teman kerjanya yang memperkenalkan
Cianjur PEKKA) angkot penyintas pada adiknya, Kader Hukum PEKKA, yang kemudian memberikan informasi hukum yang
(Wilayah WLE) diperlukan dan kemudian memfasilitasi proses perceraian secara legal. Dengan dukungan kepala sekolah,
proses perceraian dilakukan dengan mengurus izin cerai dari bupati Cianjur melalui Badan Kepegawaian
Daerah. Sidang pertama dilakukan pada 9 Agustus dan pada 16 Oktober surat izin dari Bupati diperoleh.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok
Hasil
16 November 2006, Pengadilan Agama Negeri Cianjur memutuskan bahwa penyintas dan suami resmi
bercerai.
Bagian 1. Pendahuluan

11
12
CIANJUR – JAWA BARAT
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus Pihak Terlibat*
(Perempuan Lawan
Pencari
Bagian 1. Pendahuluan

Keadilan) Membantu Mendampingi

Kecamatan Istri Suami Perceraian bawah tangan Kakak,


Pacet Usia: 39 tahun Usia: 46 tahun Penyintas telah enam kali menikah dan tiap kali dinikahkan oleh ayahnya yang adalah seorang ulama Amil
Kabupaten Pekerjaan: buruh Pekerjaan: (ajengan). Hanya pernikahan terakhir yang dicatatkan ke KUA, sehingga hak-hak penyintas dari lima
Cianjur pabrik buruh bangunan perkawinan sebelumnya tidak terlindungi, antara lain anak tidak memilki akta lahir. Walaupun nikah
(Wilayah WLE) (Anggota tercatat, namun perceraian dengan suami keenam hanya dilakukan dengan mediasi penghulu desa (Amil).
PEKKA) Alhasil, walau suami membuat surat pernyataan pembagian harta bersama, penyintas tidak memperoleh
bagian harta bersama sebagai jerih payahnya bekerja.
Hasil
Penyintas bercerai secara bawah tangan dihadapan Amil, tanpa memperoleh pembagian harta gono gini.

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Kecamatan Istri (mantan Suami Perceraian Keluarga, Pengacara
Pacet TKW) Usia: 39 tahun Setelah 14 tahun menikah dan dikaruniai seorang anak, penyintas menuntut cerai dari suaminya karena Amil
Kabupaten Usia: 26 tahun suami tidak memberi nafkah dan justru menghabiskan uang kiriman penyintas selama 2 tahun bekerja di
Cianjur (Bukan anggota Arab Saudi. Namun suami tidak mau menceraikan penyintas walau telah dilakukan musyawarah keluarga.
(Wilayah non PEKKA) Penyintas meminta bantuan penghulu desa (Amil), yang kemudian meminta uang sebesar Rp. 750 ribu
PEKKA) untuk mengurus perceraian ke PA. Lama menunggu, penyintas tidak juga dipanggil bersidang. Seorang
pengacara yang ditemui di PA akhirnya turut membantu. Dalam sidang, suami menuntut uang “beli talak”
sebesar Rp. 10 juta, bagian dari hasil kerja penyintas sebagai TKI dan bagian rumah yang diakuinya sebagai
milik bersama, sehingga proses peradilan berjalan panjang. Total biaya yang dikeluarkan penyintas selama
proses perceraian sebesar Rp. 8 juta, diperoleh dari kakak yang bekerja di Arab dan dari menggadaikan
sawah keluarga.
Hasil
Putusan cerai dijatuhkan Hakim tanpa kehadiran suami. Hakim juga tidak mengabulkan tuntutan suami.

Kecamatan Murid SMA Teman Perkosaan Pihak sekolah


Cipanas Usia: 16 tahun Usia: 17 tahun Setelah berkenalan dengan pelaku, penyintas diajak pergi ke beberapa tempat di Cianjur, diperkosa Orang tua
Kabupaten (Bukan anggota Pengamen di sebuah hotel dan dibawa kabur ke rumah orangtua pelaku di Jakarta selama 6 hari. Sepuluh hari
Cianjur PEKKA) setelah itu pelaku tertangkap saat sedang mengunjungi sekolah penyintas. Ibu penyintas, yang sedang
(Wilayah WLE) menuju sekolah anaknya, mendengar pelaku menyebut nama anaknya dan segera melapor ke guru
sekolah yang kemudian melaporkan pelaku ke Polsek Cianjur. Jaksa menuntut pelaku dihukum 6 tahun
penjara sementara BAPAS turut memberi perlindungan terhadap pelaku karena masih usia anak. Dalam
persidangan, ibu penyintas merasa Hakim tidak berpihak pada penyintas karena terus mempertanyakan
mengapa penyintas terbujuk oleh pelaku. Walaupun nenek penyintas adalah anggota PEKKA, keluarga
tidak mengakses bantuan Kader Hukum karena tidak mau kabar tersebut tersebar luas.
Hasil
Pelaku dihukum 4 tahun penjara. Pihak sekolah meminta penyintas untuk mengundurkan diri dari sekolah
untuk kebaikan penyintas.
CIANJUR – JAWA BARAT
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus Pihak Terlibat*
(Perempuan Lawan
Pencari
Keadilan) Membantu Mendampingi

Kecamatan PRT di Arab Majikan di Arab KDRT di Arab Saudi Ketua RT, Tokoh Masyarakat
Pacet Saudi Saudi Penyintas bekerja ke Arab Saudi dan mengalami kekerasan, dipukul kepalanya oleh anak majikan, hingga Media lokal & (Tetangga, mantan
Kabupaten Usia: 16 tahun pingsan dan dirawat di rumah sakit selama 2 bulan. Setelah sembuh ia langsung dipulangkan ke Indonesia nasional ABRI),
Cianjur (Bukan anggota dengan diberi 6 bulan gaji. Setelah sebulan di desa, penyintas kembali sakit, dirawat di rumah sakit selama
(Wilayah non PEKKA) 17 hari dan mengalami lumpuh sebelah badan. Bidan desa membantu mengakses asuransi kesehatan, Bidan desa,
PEKKA) namun orangtua penyintas tetap harus menggadai rumah untuk pengobatan. Seorang tetangga yang
mantan ABRI membawa wartawan media cetak dan TV untuk meliput kasus penyintas, hingga pihak
Disnaker, Pemda dan perusahaan PJTKI datang memberikan bantuan. Melalui proses pembuktian yang
panjang, perusahaan PJTKI memberikan penggantian uang pengobatan penyintas sebesar Rp. 12 juta
dalam empat tahap, yang tidak lain dari asuransi kesehatan. Sementara bantuan dari Pemda dan Disnaker
yang diperoleh berjumlah sekitar Rp. 2 juta.
Hasil
Penyintas memperoleh total bantuan sebesar Rp. 14 juta untuk berobat dan sembuh setelah setahun
berobat.

Kecamatan Istri (buruh tani) Suami Poligami dan perceraian Amil desa
Cibadak Usia: 38 tahun Usia: 50 tahun Penyintas dicerai suaminya setelah ijin poligami yang diajukan pada 22 Mei 2000 ditolak oleh PA Cibadak.
Kabupaten (Anggota Pekerjaan: Alasan untuk poligami adalah karena istri tidak dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, istri mengijinkan,
Sukabumi PEKKA) pegawai dan sanggup berlaku adil. Melalui proses pengujian dipersidangan, pada 12 Juli 2000, PA Cibadak menolak
(Wilayah perusahaan permohonan tersebut, karena mendapati penyintas sehat, penghasilan suami tidak dapat mencukupi,
kontrol WLE) pertanian dan penyintas mengelak telah memberi ijin suaminya. Kecewa dengan keputusan tersebut, seminggu
kemudian suami langsung mengajukan permonan cerai ke PA Cibadak, dengan alasan istri tidak sanggup
melayani kebutuhan suami. Penyintas tidak berusaha membela diri atas tuduhan tersebut. Hakim
menyetujui permohonan cerai suami karena penyintas tidak berusaha membela diri, walaupun alasan yang
sama tidak terbukti dalam persidangan sebelumnya untuk kasus permohonan poligami.
Hasil
Setelah 2 kali sidang, pada 18 September 2000 PA Cibadak meresmikan perceraian penyintas dan
suaminya.

Kecamatan Istri (ibu Suami Perceraian bawah tangan Amil Desa, Ketua
Cibadak rumahtangga) Usia: 27 tahun Penyintas dan suaminya menikah di KUA Sukabumi pada 11 Juni 1998. Pada 17 Januari 2007, suami RT
Kabupaten Usia: 25 tahun Pekerjaan: mentalak cerai penyintas, menuduh istrinya berselingkuh dengan tetangganya. Walau tuduhan tidak
Sukabumi (Bukan anggota Pemilik warung benar, penyintas hanya pasrah saat ditalak suaminya tidak tahu harus berbuat apa. Suami mengaku
(Wilayah PEKKA) tidak mengerti bahwa perceraian bawah tangan itu belum resmi secara hukum, sementara Amil tidak
kontrol WLE) menjelaskan prosedur resmi perceraian melalui PA. Amil membantu membuatkan surat keterangan cerai
dan menahan surat kawin penyintas dan suami dengan alasan akan mengembalikannya apabila ternyata
mereka rujuk kembali selama masa iddah. Hanya dalam 3 hari suami kembali menikahi penyintas dengan
difasilitasi Amil kembali.
Hasil
Penyintas dicerai oleh suaminya disaksikan oleh Amil walau tuduhan suami tidak benar.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok
Bagian 1. Pendahuluan

13
14
Tabel 2b. Deskripsi kasus di Brebes
BREBES DAN PEMALANG – JAWA TENGAH
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus Pihak Terlibat*
(Perempuan Lawan
Bagian 1. Pendahuluan

Pencari
Keadilan) Membantu Mendampingi

Kecamatan Penyanyi Pengusaha lokal Perkosaan Ibu Lurah, Tokoh PL PEKKA, Kader
Larangan Usia: 16 tahun keturunan Penyintas, penyanyi dangdut pemula, diajak temannya untuk bernyanyi, tapi ternyata dibawa ke cafe Pemuda, Media, Hukum
Kabupaten (Bukan anggota Usia: 45 tahun dan dipertemukan dengan pelaku, seorang pedagang keturunan Cina. Pelaku membawa penyintas ke LSM Puspa-Tegal
Brebes PEKKA) hotel, diperkosa dan diberi uang Rp. 100 ribu. Paginya penyintas memberi tahu ayahnya, yang kemudian
(Wilayah WLE) membawa penyintas diperiksa di puskesmas, lalu mencoba mencari pelaku dan akhirnya melaporkan
kejadian ke Polres Brebes dan LBH Brebes. Pelaku ditangkap tapi menyangkal telah melakukan perkosaan
dengan menuduh korban adalah pekerja seksual. Proses penyidikan sangat alot, BAP sempat diulang 2
kali. Persidangan berlangsung selama 6 bulan (13 kali sidang), diwarnai oleh demo penduduk desa karena
menduga pelaku melakukan suap ke aparat. PL dan Kader Hukum PEKKA terlibat memfasilitasi perempuan
desa melakukan demo di PN Brebes. Pasca kasus, masyarakat tetap mendukung penyintas dengan
memberikan pekerjaan.
Hasil

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Pelaku dihukum 4 tahun penjara dengan dakwaan melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur
(Pasal 293 KUHP). Penyintas dan keluarganya menganggap hukuman terlalu ringan.

Kecamatan Istri (ibu rumah Suami Perceraian bawah tangan Lebe Kader Hukum
Larangan tangga) Usia: 22 tahun Penyintas yang menikah dengan suaminya karena desakan orangtua pada 10 Juli 2005, ditinggal suami
Kabupaten Usia: 16 tahun Pekerjaan: setelah 6 bulan menikah. Konflik terjadi karena suami sering pulang larut malam, mabok, memberikan
Brebes Supir angkutan nafkah harian yang semakin berkurang, bahkan pernah memukul penyintas. Setelah 9 bulan ditinggal
(Wilayah WLE) suami, penyintas menuntut cerai. Lebe awalnya tidak mau memberi surat pengantar ke PA, karena melihat
pasangan masih saling mencintai, tapi akhirnya meminta uang Rp. 400 ribu untuk memberikan surat
pengantar. Untuk mengurus gugat cerai ke PA Brebes, ibu penyintas meminta bantuan Kader Hukum PEKKA,
yang memfasilitasi sehingga proses persidangan berjalan cepat, dan penyintas tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk jasa dan transportasi Kader Hukum, sebagaimana biasanya hal tersebut biasanya dituntut oleh Lebe
jika mengurus proses ke PA.
Hasil
Putusan cerai ditetapkan pada 13 November 2006 melalui 2 kali sidang tanpa dihadiri suami.

Kecamatan PRT di Malaysia Majikan KDRT dan penipuan gaji LSM Puspa Tegal, PL PEKKA
Larangan Usia: 19 tahun perempuan di Selama bekerja di Malaysia sejak tahun 2003 hingga 13 Juni 2005, penyintas sering mengalami Media,
Kabupaten (Bukan anggota Malaysia kekerasan fisik oleh majikan perempuannya. Penyintas sempat melapor ke agen di Malaysia, tetapi tetap Anggota DPRD
Brebes PEKKA) disuruh bekerja. Saat kembali ke Indonesia, majikan hanya memberi 500 RM dan menyuruh penyintas Brebes
(Wilayah WLE) menandatangani surat bahwa ia telah menerima seluruh gajinya. Di kampung, penyintas diperkenalkan
dengan PL PEKKA, yang kemudian membantu melapor kasus ke Disnaker, Polsek Brebes dan LSM Puspa
Tegal. Liputan media massa berhasil menginspirasi dukungan dari anggota DPRD dan mendorong PJTKI
untuk bertanggungjawab mengurus kasus.
Hasil
Penyintas berhasil memperoleh 50% dari sekitar Rp. 24 juta total gajinya.
BREBES DAN PEMALANG – JAWA TENGAH
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus Pihak Terlibat*
(Perempuan Lawan
Pencari
Keadilan) Membantu Mendampingi

Kecamatan Istri (petani Suami Perceraian dan KDRT PL PEKKA, Kader


Larangan dan pedagang Usia: 55 tahun Penyintas sering mengalami kekerasan dari suami, bahkan ancaman pembunuhan, karena suami cemburu Hukum PEKKA
Kabupaten bawang) Pekerjaan: dan menuduh penyintas berselingkuh. Penyintas sudah sering mencari pertolongan ke aparat desa, yang
Brebes Usia: 50 tahun penjual nasi kemudian mencoba mengamankan penyintas dan menegur suami, namun tidak ada sanksi yang tegas atas
(Wilayah WLE) (Bukan anggota goreng suami. Akhirnya penyintas meminta bantuan PL PEKKA, yang kemudian menyerahkan kasus kepada Kader
PEKKA) Hukum PEKKA untuk mengurus gugat cerai di PA Brebes. Kader Hukum membantu mendaftarkan kasus ke
PA Brebes dan mencarikan saksi-saksi bagi penyintas sehingga proses persidangan berlangsung cepat. Kasus
diproses di PA Brebes sejak 3 Oktober 2005, namun suami tidak pernah hadir di persidangan. Penyintas
mengeluarkan biaya sebesar Rp. 500 ribu untuk seluruh proses perceraian, termasuk biaya transport ke PA
Brebes.
Hasil
Gugatan cerai penyintas dikabulkan oleh PA Brebes pada 1 Maret 2006.

Kecamatan PRT di Malaysia Majikan di KDRT dan penipuan gaji Aktivis desa Kader Hukum
Larangan Usia: 40 tahun Malaysia Selama 3 tahun bekerja dirumah pelaku, penyintas terus mengalami kekerasan fisik. Penyintas juga hanya (tetangga)
Kabupaten (Bukan anggota menerima 60% dari gajinya, karena selebihnya dipotong (4. 414 RM) untuk kesalahan dan kelalaian yang
Brebes PEKKA) dilakukan, seperti merusakan barang, terlambat bangun, lupa mengunci pintu. Di kampungnya, penyintas
(Wilayah WLE) meminta bantuan Kader Hukum PEKKA, yang kemudian melaporkan kasus ke Disnakertrans Brebes. Karena
belum juga menerima jawaban dari Disnakertrans, penyintas dikenalkan oleh tetangganya kepada seorang
aktivis sosial di Kota Brebes, yang kemudian membantu membuat surat tuntutan ke pihak PJTKI dengan
tembusan Disnakertrans. Bantuan Kader Hukum PEKKA dan seorang aktivis desa Brebes telah membantu
penyintas menerima sebagian dari haknya yang dipotong pelaku.
Hasil
Pada awal Maret 2007 penyintas menerima uang sebesar 1.800 RM (Rp. 4,5 juta) yang dikirim majikannya
melalui PJTKI.

Kecamatan Istri Suami Perceraian Lebe Kader Hukum


Larangan Usia: 40 tahun Usia: Sejak menikah pada 5 Juli 2000 di KUA, sering terjadi konflik antara penyintas dan suami. Akhirnya mereka
Kabupaten (Bukan anggota Pekerjaan: sepakat ingin bercerai pada 14 Mei 2003, namun tertunda karena suami pergi bekerja ke Malaysia pada
Brebes PEKKA) Agustus 2003. Selama 2 tahun suami tidak pernah mengirim uang, sehingga penyintas meminta cerai.
(Wilayah WLE) Suami menyuruh penyintas mengurus sendiri perceraiannya. Dibantu oleh Kader Hukum PEKKA, gugatan
cerai dimasukkan ke PA Brebes pada 1 Februari 2006. Sidang sempat tertunda 4 bulan karena majelis hakim
mencoba memanggil suami datang ke pengadilan.
Hasil
Gugatan cerai dikabulkan pada 30 Juni 2006 karena suami terbukti menelantarkan keluarga selama 2 tahun
7 bulan.

Kecamatan Istri (guru PNS) Suami (Almar- Perceraian dan Kejahatan Perkawinan RPK PL PEKKA
Losari, Usia: 45 tahun hum) Setelah 18 tahun menikah, baik penyintas maupun suami, saling berselingkuh. Suami menikah lagi dengan
Kabupaten (Bukan anggota Usia: istri keduanya secara bawah tangan pada 2003. Suami mengajukan talak cerai atas penyintas ke PA Brebes
Brebes PEKKA) Pekerjaan: pada Desember 2005, sementara penyintas melaporkan suaminya ke Polisi pada 23 Januari 2006 dengan
(Wilayah Non pensiunan Polisi tuduhan “penipuan harta dan nikah di luar ijin istri.” Permohonan cerai suami disetujui oleh PA Brebes.
PEKKA) Sementara laporan penyintas masih dalam proses di kePolisian karena saksi nikah bawah tangan suami
tidak dapat ditemukan dan kasus penipuan tidak bisa diproses karena saat itu penyintas masih dalam ikatan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok
perkawinan, sehingga seluruhnya harta adalah harta bersama. Saat ini suami sudah meninggal.
Hasil
Kasus pidana tak dapat dilanjutkan, karena saksi perkawinan bawah tangan tidak dapat diperoleh.
Bagian 1. Pendahuluan

15
16
BREBES DAN PEMALANG – JAWA TENGAH
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus Pihak Terlibat*
(Perempuan Lawan
Pencari
Keadilan) Membantu Mendampingi
Bagian 1. Pendahuluan

Kecamatan 2 orang anak Anak Perkosaan RPK,


Brebes, Usia: masing- Usia: 12 tahun Dua orang penyintas diperkosa oleh pelaku yang tiba-tiba terdorong untuk mempraktekan adegan-adegan BAPAS,
Kabupaten masing 5 tahun Pekerjaan: yang ditontonnya dari VCD porno, pada 19 dan 22 Juni 2006, dengan bujukan dan ancaman. Pelaku MSF,
Brebes (Bukan anggota pelajar kelas menceritakan perbuatannya pada kakak penyintas, hingga kejadian terungkap. Pelaku diamankan oleh ibu Polisi, Wartawan,
(Wilayah non PEKKA) 4 SD RT, dibawa kerumah Lurah. Lurah berusaha mendamaikan warganya, tapi wartawan melaporkan kasus ke
PEKKA) Polsek Brebes dan ke anggota MSF, sehingga pelaku ditangkap Polsek Brebes dan kemudian ditangani oleh
unit RPK/UPPA Polres Brebes. Lurah masih tetap mencarikan jalan damai bagi warganya, tapi tidak berhasil.
BAPAS merekomendasikan agar pelaku dibebaskan bersyarat, tapi Hakim, yang adalah juga anggota MSF,
memberikan hukuman terendah karena mempertimbangkan kondisi dan masa depan kedua penyintas.
Selama 6 bulan, kedua penyintas masih terus berobat jalan karena luka akibat kekerasan seksual masih belum
kunjung sembuh.
Hasil
Pelaku dihukum 3 tahun penjara dengan denda Rp. 60 juta subsider 15 hari. Orangtua penyintas
menganggap hukuman terlalu rendah dan berharap biaya pengobatan (Rp. 10 juta untuk kedua penyintas)

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


dapat diganti oleh orangtua pelaku.

Kecamatan Istri (mahasiswa) Suami Kejahatan Perkawinan Pengacara LBH


Losari, (Bukan anggota Usia: 42 tahun Setelah 7 tahun menikah, pada 27 April 2005, suami menjatuhkan talak satu pada penyintas, lalu kemudian Brebes
Kabupaten PEKKA) Pekerjaan: memproses perceraiannya ke PA Brebes. Sebelum keputusan PA Brebes keluar, suami sudah menikah lagi
Brebes Dokter dengan istri keduanya secara bawah tangan pada 24 September 2005. Keluarga penyintas, meminta bantuan
(Wilayah non pengacara LBH, segera melaporkan suami ke Polres Brebes dengan tuduhan melakukan tindak pidana
PEKKA) kejahatan perkawinan. Melalui 20 kali sidang akhirnya PN Brebes melepaskan suami dari segala tuntutan
hukum karena tindakannya dianggap bukan tindakan pidana. Talak yang dijatuhkan suami di hadapan
orangtua penyintas dianggap sah, dan putusan cerai PA hanya merupakan syarat administrasi.
Hasil
Jaksa melakukan kasasi ke MA RI pada tanggal 16 Oktober 2006. Belum ada keputusan hingga laporan ini
dibuat.
Tabel 2c. Deskripsi kasus di Lombok
LOMBOK BARAT DAN LOMBOK TENGAH – NTB

Pihak Terlibat*
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus
(Perempuan Lawan Membantu Mendampingi
Pencari
Keadilan)

Kecamatan Anak Ayah Perkosaan LPA Mataram, Pekerja Sosial


Kuripan, Usia: 16 tahun Usia: 60 tahun Penyintas diperkosa ayahnya sejak akhir 2005 hingga pertengahan 2006 dengan ancaman kekerasan, Pekerja Sosial Dinkesos dan PP
Kabupaten Pekerjaan: hingga akhirnya penyintas hamil dan kasus terbongkar. Warga desa marah dan mau melakukan Dinkesos dan PP Mataram,
Lombok Barat pembuat tindakan anarkis, karena menganggap peristiwa itu telah membawa aib bagi kampung mereka. Pelaku Mataram, RPK
(Wilayah non genteng dilaporkan oleh Kepala Dusun ke Polsek pada 28 Juni 2006, sementara penyintas dirawat di Shelter
PEKKA) Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan NTB (Juni - Oktober 2006). Pelayanan yang
komprehensif dari Shelter memulihkan kondisi psikologis penyintas. Pekerja Sosial dan Polwan RPK/
UPPA yang merupakan bagian dari Shelter membantu mendampingi Penyintas selama masa penyidikan
dan persidangan, termasuk dengan meminta Hakim agar pelaku dikeluarkan dari ruang sidang saat mau
mencari keterangan dari penyintas karena penyintas begitu terintimidasi oleh pelaku. Dalam persidangan,
pelaku mengakui semua perbuatannya. Hakim menghukum pelaku dengan pertimbangan usianya yang
sudah tua. Penyintas tidak menginginkan bayinya, sehingga diadopsi oleh orang lain dan tidak mau
kembali ke kampungnya, tahu masyarakat tidak menerimanya lagi.
Hasil
Pelaku dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp. 30 juta subsider 4 bulan penjara pada 8
Nopember 2006.

Kecamatan Pembantu Majikan dan Perkosaan Keluarga besar LBH Pengacowa


Kuripan, Rumah Tangga paman tidak Penyintas, yang memiliki kesulitan berbicara, diperkosa pelaku sejak 1999 hingga awal 2006 dengan penyintas yang
Kabupaten Usia: 38 tahun langsung ancaman kekerasan. Keluarga penyintas baru mengetahui pada awal 2006, kemudian dengan melakukan adalah juga tokoh
Lombok Barat (Bukan anggota Usia: 45 tahun musyawarah keluarga berdasarkan adat Hindu, meminta keterangan dari pelaku, dan setelah pelaku adat Hindu
(Wilayah non PEKKA) Pekerjaan: mengakui perbuatannya, meminta pelaku menikahi penyintas. Pelaku awalnya setuju, tetapi akhirnya
PEKKA) Kepala Desa membatalkan rencana perkawinan karena istrinya tidak setuju. Segera keluarga penyintas melaporkan
pelaku ke Polisi (21 Februari 2006) dengan tuduhan perkosaan, serta meminta bantuan LBH Apik Mataram
(April 2006). Proses persidangan tertunda hampir setahun karena Kejaksaan 4 kali mengembalikan BAP ke
Polisi karena menganggap bukti pendukung bagi unsur kekerasan dan paksaan belum lengkap. LBH Apik
mengorganisir demo dan hearing di Kejaksaan, hingga akhirnya berkas dinyatakan lengkap pada bulan
Maret 2007. Persidangan di berjalan alot, diwarnai oleh demo masyarakat, diakhiri oleh keputusan Hakim
untuk membebaskan pelaku.
Hasil
Jaksa mengajukan naik banding dan hingga laporan ini dibuat belum ada keputusan lebih lanjut.

Kecamatan Istri (pengusaha Suami Perceraian LBH Pengacowa


Lingsar, toko) Usia: 45 tahun Setelah empat tahun menikah suami berselingkuh dan menceraikan penyintas secara talak Islam, padahal
Kabupaten Usia: 38 tahun Pekerjaan: pernikahan tercatat di KUA. Penyintas menuntut sepertiga gaji suaminya kepada Kepala Cabang Dinas
Lombok Barat (Anggota PEKKA Guru SD PNS Pendidikan dan memperolehnya selama 10 tahun. Pada Juni 2004 suami mengajukan gugat cerai kepada
(Wilayah WLE) setelah kasus penyintas di PA Praya. Penyintas, mendapat informasi dari kawannya, mencari bantuan dari LBH Apik
selesai) Mataram, yang kemudian memfasilitas proses perceraian di PA Praya. Penyintas menuntut suami untuk
mengganti biaya ‘idah (nafkah selama 3 bulan setelah bercerai) sebesar Rp. 8 juta dan menuduh suaminya
melanggar peraturan Larangan Poligami untuk PNS.
Hasil
Pada 15 September 2004, PA Praya mengesahkan perceraian tersebut dan menetapkan suami untuk

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok
membayar ganti rugi masa ‘iddah’ (Rp. 3,5 juta) dan memberikan dua pertiga gaji kepada penyintas dan
kedua anaknya.
Bagian 1. Pendahuluan

17
18
LOMBOK BARAT DAN LOMBOK TENGAH – NTB

Pihak Terlibat*
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus
(Perempuan Lawan Membantu Mendampingi
Bagian 1. Pendahuluan

Pencari
Keadilan)

Kecamatan Istri (pedagang Suami KDRT Anak laki-laki,


Gerung, makanan) Usia: 45 tahun Selama 20 tahun menikah, penyintas kadang mengalami kekerasan fisik dari suami. Pada 16 Maret 2006, Kepala Dusun
Kabupaten Usia: 35 tahun Pekerjaan: suami memukul kepala penyintas dengan balok setelah bertengkar akibat penyintas memakai uang hasil
Lombok Barat (Bukan anggota Buruh panen untuk membayar hutang. Penyintas, ditemani anak tertuanya, segera melapor ke Kepala Dusun dan
(Wilayah WLE) PEKKA) Bangunan di setelah mendapat persetujuan Kepala Dusun, segera melaporkan kasus ke Polsek. Setelah itu ia dibawa
Bali anaknya berobat ke RS Gerung. Malam itu juga suami ditangkap Polisi. Namun di hari ketiga terjadi
rekonsiliasi antara penyintas dan suami, suami membujuk penyintas untuk menarik laporan agar suami
masih bisa mencari nafkah. Penyintas kemudian menarik gugatannya di Polsek dengan membayar sebesar
Rp. 500 ribu yang diperolehnya dengan meminjam ke uang kas PEKKA. Sebelum melepas, Polisi meminta
suami untuk menandatangani pernyataan tidak akan melakukan kekerasan lagi terhadap penyintas.
Hasil
Laporan KDRT di kePolisian ditarik oleh penyintas dan suami dibebaskan dari tahanan.

Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Kecamatan Istri (buruh tani) Suami KDRT dan perceraian Kepala Dusun,
Gerung, Usia: 28 tahun Usia: 48 tahun Pada tanggal 16 Mei 2006, penyintas dianiaya oleh suami, yang adalah sepupunya, karena menjual hasil Panitera PA,
Kabupaten (Bukan anggota Pekerjaan: panen untuk membayar hutang, hingga dirawat 8 hari di rumah sakit. Keluarga penyintas melaporkan Polisi, Keluarga
Lombok Barat PEKKA) Petani suami ke Polisi sehingga suami ditahan Polisi selama 10 hari. Kedua pihak keluarga kemudian bermusyarah Penyintas
(Wilayah WLE) untuk berdamai dengan difasilitasi oleh Kepala Desa dari desa asal penyintas dan desa suaminya. Laporan
penyintas ke Polisi akhirnya ditarik kembali. Suami sepakat untuk memberi uang ganti rugi biaya kesehatan
penyintas sebesar Rp. 4 juta dan membayar Polisi Rp. 1 juta, namun kemudian menjatuhkan talak cerai
atas penyintas. Ingin menuntut pembagian harta bersama, penyintas dianjurkan penghulu desa pergi ke
PA Gerung. Berdasarkan informasi dari panitera di PA Gerung, penyintas mengajukan isbath nikah dan
kemudian gugatan cerai sehingga dapat menggugat harta gono gini dari suaminya. Suami mengatakan
bahwa sebagian harta mereka telah digunakan untuk membayar ganti rugi pengobatan.
Hasil
Pada 2 Oktober 2006 PA Gerung mengabulkan gugatan cerai penyintas dan memutuskan suami untuk
memberikan Rp. 1,25 juta dari suami sebagai harta gono gini

Kecamatan Perempuan Teman kerja Perkosaan: Kepala Dusun


Gerung, buruh bangunan Usia: 20 tahun Penyintas memulai hubungan cinta dengan teman kerjanya di suatu proyek bangunan di tahun 2005,
Kabupaten Usia: 18 tahun Pekerjaan: tapi kemudian memutuskan hubungan karena mengetahui pelaku sudah beristri. Namun sebelumnya
Lombok Barat (Bukan anggota Buruh ia sempat 3 kali diperkosa pelaku dengan ancaman kekerasan dan janji akan dinikahi. Penyintas hamil
(Wilayah WLE) PEKKA) Bangunan dan sempat bekerja ke Bali untuk menghindar dari masyarakat tempat tinggalnya (di kampung ayahnya).
Karena kandungannya makin besar, akhirnya ia pulang ke Lombok, namun kemudan tinggal dirumah
ibunya di kampung yang berbeda. Kasus dilaporkan ke Kepala Dusun, yang menganggap kasus bukan
perkosaan karena saling suka, sehingga berusaha mencari pelaku untuk mengawinkannya dengan
penyintas, tetapi tidak berhasil. Sementara itu di kampung yang baru penyintas mengaku bahwa ia sudah
sempat dikawinkan dengan pelaku di kampung asalnya.
Hasil
Kepala Dusun tidak dapat menemukan pelaku. Tetapi karena berita yang beredar di desa tempat tinggal
penyintas adalah Kepala Dusun sempat menikahkan penyintas dengan pelaku tapi pelaku langsung
menceraikan kembali, penyintas dapat diterima oleh masyarakat setempat.
LOMBOK BARAT DAN LOMBOK TENGAH – NTB

Pihak Terlibat*
Lokasi Penyintas Pelaku/ Jenis Kasus, Kronologi Kasus & Hasil Penyelesaian Kasus
(Perempuan Lawan Membantu Mendampingi
Pencari
Keadilan)
Kecamatan
Lingsar, Istri Suami Perceraian Kepala Dusun, Kader Hukum
Kabupaten Usia: 25 tahun Usia: Penyintas ditinggal suami bekerja ke Malaysia sejak 2003. Di tahun pertama suami masih mengirim uang, Penghulu
Lombok Barat (Bukan anggota Pekerjaan: tetapi di tahun kedua tidak terdengar kabarnya. Pada tahun kedua itu, tahun 2005, penyintas tertangkap
(Wilayah WLE) PEKKA) TKI di Malaysia warga berselingkuh dengan laki-laki lain. Masyarakat menuntut agar mereka dikawinkan. Seminggu
setelah itu, suami kembali dari Malaysia dan dengan marahnya menuntut penyintas. Dua orang kepala
dusun menengahi masalah tersebut, hingga akhirnya suami menuntut talak tebus, yaitu penyintas harus
membayar suami agar mendapat talak cerai, sebesar Rp. 1,5 juta. Akhirnya suami menjatuhkan talak cerai
terhadap penyintas dihadapan penghulu, kepala Dusun dan orangtua penyintas. Tahun 2006 penyintas
dicerai oleh suami keduanya.
Hasil
Suami menjatuhkan talak cerai kepada penyintas dengan menuntut uang sebesar Rp. 1.5 juta.

Kecamatan Mantan TKW Kakak Laki-laki Pembagian warisan Kepala Desa,


Jonggat, dari Arab Saudi Usia: Karena penyintas bekerja di Arab Saudi (tahun 1982-2000), ia menitipkan akte tanah warisan bagiannya MSF, Pembantu
Kabupaten Usia: 45 tahun Pekerjaan: kepada pelaku dan setiap tahun menitipkan uang pembayaran pajak tanahnya kepada pelaku. Setelah Penghulu
Lombok Tengah (Anggota Buruh tani kembali ke kampung, ternyata sertifikat tanah tersebut sudah atas nama pelaku. Menurut pelaku semua
(Wilayah WLE) PEKKA) tanah itu adalah bagiannya sebagai anak laki-laki, karena penyintas sudah mendapat warisan rumah
yang ditempatinya sekarang. Sementara itu, pembagian tanah yang diucapkan orangtua mereka sebelum
meninggal tidak memiliki bukti tertulis. Penyintas mencari kejelasan tentang haknya ke Kepala Desa,
Pembantu Penghulu, dan pertemuan MSF, tetapi tidak mendapatkannya. Kepala Desa mencoba mengatasi
kasus tapi tidak berhasil. Saat laporan ini ditulis, Kepala Desa berencana untuk membawa kasus ke PA.
Hasil
Hingga kini kasus belum dapat diselesaikan, tanah masih atas nama kakak penyintas.

Kecamatan Mantan TKW Majikan di Trafficking dan perkosaan Teman TKI, Polisi
Jonggat, dari Malaysia Malaysia Penyintas diperkosa oleh majikannya di Malaysia hingga hamil (tahun 2004). Saat melapor ke majikan Johor, Konjen RI
Kabupaten Usia: 29 tahun perempuan, ia justru disuruh pulang ke Indonesia tanpa diberi gaji. Penyintas melarikan diri ke hutan, di Johor, IOM, PPK
Lombok Tengah (Bukan anggota kemudian ditolong oleh sesama TKI dan diantar melapor ke kantor Polisi Johor. Penyintas ditampung Mataram
(Wilayah WLE) PEKKA) selama 2,5 bulan di Kantor Konsulat Indonesia Johor. Pelaku sempat ditahan Polisi selama 15 hari namun
tidak mau memberi ganti rugi sebesar 5000 ringgit sesuai permintaan penyintas. Tidak mau menunggu
kasusnya diproses di Malaysia, penyintas akhirnya dipulangkan oleh IOM. PPK Mataram turut memberi
pendampingan selama setahun. Di desa penyintas tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat. Baru
setelah suami penyintas menyatakan mau menikahkan ulang penyintas, melalui upacara dihadapan
masyarakat, ia dapat diterima kembali. Tak lama setelah itu, suami penyintas meninggal, sehingga
penyintas kembali pergi bekerja ke luar negeri sebagai TKW.
Hasil
Sampai laporan ini dibuat, tidak ada keterangan apapun dari Konsulat Indonesia di Johor tentang panggilan
untuk bersidang di Malaysia.

* Pihak yang membantu adalah berbagai pihak yang membantu terungkapnya kasus sampai dengan pelaporan ke sistem hukum negara. Sementara pihak yang mendampingi adalah berbagai pihak yang
mendampingi penyintas dalam proses penyelesaian kasusnya baik melalui sistem hukum negara maupun non negara.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok
Bagian 1. Pendahuluan

19
Bagian 2

Pembelajaran:
Memahami Pengalaman
Perempuan Desa Mencari Keadilan
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Pengantar
Bagian ini mengulas pembelajaran tentang bagaimana perempuan desa mencari keadilan saat menghadapi
kasus hukum.13 Kasus hukum yang dialami umumnya terkait dengan hukum keluarga, serta diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan. Dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini memperlihatkan
pengalaman perempuan desa mengakses keadilan, baik melalui sistem hukum non negara di desa maupun
sistem hukum negara di luar desa. Secara umum kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa akses mereka
terhadap keadilan masih lemah. Mereka harus menghadapi berbagai tembok-tembok institusional bahkan
sejak tahap awal saat ingin mencari pertolongan dari pihak ketiga. Ketakutan dan rasa malu, kebutaan
terhadap sistem dan proses hukum, serta penilaian, penghakiman dan penerimaan masyarakat, mewarnai
sikap dan tindakan mereka untuk mencari pertolongan.

Saat suara jeritan mereka mulai terdengar oleh pihak ketiga, baik secara sengaja ataupun tidak, maka
saat itulah mereka mulai dapat mengakses keadilan. Karena saat itulah mereka dapat dikatakan mulai
mengakses sistem hukum yang ada. Saat mereka bisa mengakses sistem hukum untuk mencari pertolongan,
keberhasilan mereka meraih keadilan masih sangat dipengaruhi oleh respon dan kinerja sistem hukum yang
ada. Sistem hukum non negara umumnya masih menjadi pilihan pertama penyintas saat ingin mengakses
keadilan, terutama karena aktor-aktor penyelesaian sengketa melalui mekanisme non negara ini telah
dikenal, mudah ditemui, dan praktis tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk bertemu dan berkonsultasi
dengan mereka. Studi ini memperlihatkan bahwa keberadaan sistem hukum negara dan non negara tidak
bersifat ekslusif satu sama lain. Beberapa kasus yang diselesaikan melalui sisem hukum negara, ternyata
sebelumnya telah dicoba penyelesaiannya melalui sistem hukum non negara. Tidak berhasil diselesaikan
oleh sistem hukum non negara, maka penyintas, baik karena kesadarannya sendiri maupun rujukan dari
pihak lain, kemudian menempuh jalur sistem hukum negara. Berikut ini adalah salah satu kisah seorang
perempuan desa mengakses keadilan untuk kasus kekerasan yang dialaminya.

Studi Kasus 1: Kasus incest di Cianjur

A (16 tahun) diperkosa ayah kandungnya (37 tahun) sebanyak tiga kali sejak ia tinggal bersama ayahnya dan
istri mudanya, setelah kematian ibu kandungnya. Ia diperkosa dengan ancaman dan kekerasan. A sempat
menceritakan apa yang dialaminya kepada ibu tirinya, tapi tidak dipercaya. Saat A lari dari rumah dan tinggal
di rumah sahabatnya, ayahnya memaksanya kembali ke rumah. Karena khawatir dirinya telah hamil, akhirnya
A bercerita ke seorang ibu tetangganya. Dari situ berita mulai tersebar dan massa mulai melakukan tindakan
anarki terhadap ayah A. Ketua RT memanggil A dan ayahnya untuk dimintai keterangan. Ayah A awalnya tidak
mengakui perbuatannya, namun setelah diancam oleh penduduk desa, akhirnya mau mengakui dan sebagai
akibatnya ia dipukuli penduduk. Berusaha mengamankan, Ketua RT bersama seorang tokoh agama segera
membawa ayah A ke kantor desa, dan kemudian oleh Polisi Desa (Babinmas) diserahkan ke Kantor Polsek
Cimacan. Sementara itu, A dibawa keluarganya ke bidan desa. Seorang warga melaporkan kejadian kepada
Kader Hukum B yang sudah dikenal masyarakat, yang kemudian segera menemui A di tempat bidan desa. Ia
kemudian mendampingi A menjalani penyidikan di Polsek Cimacan dan pemeriksaan visum et repertum di
RS Cimacan. Hasil visum menunjukkan A mengalami kekerasan seksual. Ayah A dikenakan tuduhan tindak
pidana pelanggaran Pasal primer 81 UU No. 23 Tahun 2002 dan subsider Pasal 285 Jo. 294 KUHP, yaitu dengan
sengaja melakukan persetubuhan dengan anak yang belum dewasa dan ditahan di Polsek Cimacan sejak
tanggal 22 April 2006, dua bulan setelah pertama kali ia memperkosa anaknya sendiri.

Konflik keluarga timbul setelah ayah A ditangkap. Keluarga dari pihak ayah A, bahkan kakak kandung A,
menuduh A telah berbohong. A hanya mendapat pembelaan dari keluarga pihak ibu kandungnya. Keluarga
yang pro ayah A mencoba mencari kambing hitam, dengan menuduh seorang teman lelaki A sebagai pihak
yang harus bertanggungjawab dan memaksanya untuk menikahi A dengan tawaran sejumlah uang dan
teror surat kaleng. A dan teman lelakinya itu sempat diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang

13 Fakta bahwa banyak perempuan desa yang bahkan tidak dapat melaporkan kasus hukumnya kepada pihak ketiga atau otoritas
penyelesaian sengketa yang ada, sehingga tidak dapat mengakses keadilan, tidak menjadi fokus dari penelitian ini.

22 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

dianggap dapat membebaskan ayah A dari tahanan. Menghadapi situasi ini, Kader Hukum B secara aktif
memberikan konsultasi hukum kepada mereka berdua. Selama proses persidangan, Kader Hukum B juga
terus mendampingi para saksi hadir di Pengadilan Negeri Cianjur karena mereka mendapat teror dari keluarga
ayah A. Ia dan seorang temannya, Kader Hukum C, terus mengawal penyelesaian kasus dengan mendatangi
Kejaksaan untuk menanyakan status kasus dan menemui Ketua Majelis Hakim untuk meminta ijin masuk ke
ruang sidang. Sayangnya, mereka tidak diijinkan untuk mendampingi saksi-saksi kedalam ruang persidangan.
Persidangan berjalan cukup alot karena ayah A tetap tidak mau mengakui perbuatannya. Setelah 17 kali sidang,
ayah A divonis bersalah dan dihukum 10 tahun penjara serta denda Rp. 60 juta subsider 6 bulan penjara. A
sendiri, sebelum proses pengadilan selesai, telah diungsikan keluarga pihak ibu kandungnya ke Jakarta bekerja
sebagai pekerja rumah tangga.

Gambaran kasus di atas memperlihatkan sulitnya perempuan desa yang mengalami kasus hukum mengakses
keadilan. Untuk itu, tahapan perjalanan penyintas mencari keadilan akan banyak diulas dalam bagian ini.
Bagian pertama ditampilkan profil penyintas dan tipologi kasus hukum yang umumnya dihadapi mereka.
Bagaimana umumnya penyintas mengalami kasus hukum menjadi pembelajaran penting, disamping
bagaimana kemiskinan dan marjinalisasi perempuan tidak hanya menjadi latar belakang dari timbulnya
masalah hukum namun juga menghambat mereka mengakses keadilan. Bagian kedua adalah potret
tahapan awal penyintas mencoba mencari pertolongan dari pihak ketiga. Bagian ini memaparkan beberapa
hambatan yang menghalangi penyintas mencari pertolongan sebelum dapat mengakses sistem hukum yang
ada. Bagian ketiga menyorot tahapan saat penyintas mengakses sistem hukum yang ada, baik non negara
maupun negara. Bagian ini menjelaskan bagaimana mereka dapat mengakses sistem hukum tersebut dan
bagaimana sistem yang ada dapat memberikan keadilan bagi penyintas. Bagian ini juga membahas tentang
aktor-aktor dari sistem hukum non negara dan aktor-aktor intermediasi yang berperan membuka akses
kepada sistem hukum negara. Bagian keempat secara khusus menguraikan respon dari para penegak
hukum, yaitu aktor di luar desa, dalam penanganan kasus hukum para penyintas. Terakhir, digambarkan
secara singkat konsekuensi langsung yang diterima oleh penyintas sebagai hasil dari penyelesaian kasus oleh
institusi hukum yang ada.

2,1. Profil Umum Penyintas dan Tipologi Kasus Hukum


Temuan Utama

• Latar belakang masalah. Kemiskinan, domestikasi dan subordinasi status sosial penyintas melatarbelakangi persoalan
hukum yang dialami.
• Keterbatasan akses. Kemiskinan dan rendahnya pendidikan juga telah membatasi penyintas dalam mengakses sistem
hukum untuk penyelesaian kasus hukum yang dihadapinya.
• Kasus berlapis. Penyintas umumnya mengalami beberapa lapisan kasus hukum, namun seringkali hanya kasus terakhir yang
diproses untuk penyelesaian hukumnya.

Profil penyintas dalam studi kasus


Penyintas dalam studi kasus ini umumnya bekerja di sektor informal yang tidak dapat menjanjikan
penghasilan yang baik dan tetap, bahkan diskriminatif, serta sangat minim perlindungan hukum. Buruh
tani perempuan yang hanya berpenghasilan antara Rp. 5000-10.000. Mereka umumnya memperoleh 20-
50 persen penghasilan lebih rendah dari buruh tani laki-laki. Kemiskinan telah mengkondisikan penyintas
menjadi rentan terhadap berbagai pelanggaran hak dan praktek diskriminasi. Bahkan sebagai buruh pabrik
tidak tetap, mereka rentan untuk diberhentikan begitu saja tanpa ada pemberitahuan terlebih dulu dan
pesangon apapun, karena telah menjadi korban dari “sistem kerja panggilan.”

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 23
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Gambar 1. Penyintas/Responden berdasarkan status pekerjaan


Pedagang/Ibu Rumah Tangga/PRT
Buruh Tani
TKW

Guru/mahasiswa
Buruh Pabrik/Bangunan
Anak

Catatan: total responden = 29 (ada 1 kasus perkosaan dengan 2 korban anak)

Kesulitan ekonomi ini selanjutnya turut melatarbelakangi sebagian besar persoalan hukum yang diangkat
dalam studi ini, terutama dalam kasus-kasus KDRT, perceraian, perburuhan dan trafficking. Sebagai contoh,
dua kasus kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap istrinya (penyintas) di Lombok diawali dengan
pertengkaran perihal istri yang memakai uang penjualan hasil panen untuk membayar hutang keluarga.
Beberapa kasus perceraian juga dilatarbelakangi masalah tidak berdayanya suami memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga. Disamping itu, konteks kemiskinan kuat berbicara sebagai motivasi dasar dari setiap
penyintas yang bekerja ke luar negeri sebagai TKW, yaitu untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga,
hingga beberapa dari mereka rela pergi bekerja tanpa mengikuti prosedur yang legal dan berpotensi menjadi
korban praktek perdagangan manusia (trafficking).

Domestikasi dan subordinasi peran dan status sosial perempuan juga menempatkan penyintas pada posisi
yang terpinggirkan/marjinal, sehingga lebih rentan terhadap pelanggaran hak. Dalam konteks yang lebih
umum, hal ini berimplikasi terhadap, pertama, posisi perempuan sebagai ibu rumah tangga yang diakui
secara hukum dan sistem sosial yang berlaku di masyarakat, telah seringkali direspon secara keliru oleh
suami dengan melakukan berbagai kesewenang-wenangan, seperti kekerasan dalam rumahtangga dan
pengambilan keputusan secara sepihak. Kedua, di tingkat desa, perempuan masih jarang menduduki posisi
dan jabatan penting dan strategis. Mereka umumnya hanya menduduki jabatan yang berdimensi domestik
dalam lingkup masyarakat seperti ketua Program Kesejahteraan Keluarga (PKK), ketua posyandu atau
bidan desa. Dengan demikian, keputusan-keputusan penting yang diambil di tingkat desa sebagian besar
dilakukan oleh laki-laki. Ketiga, perempuan, terutama perempuan kepala keluarga dan janda, seringkali
menerima stigma sosial sehingga membatasi kesempatan mereka untuk mengakses berbagai sumberdaya
di desa. Keempat, dalam penyelesaian kasus-kasus keluarga oleh para aparat desa, kepentingan perempuan
seringkali diletakkan di bawah kepentingan harmoni keluarga dan masyarakat desa, sehingga justru
mengorbankan hak-hak perempuan atas keadilan.

Selain menjadi akar masalah dari persoalan hukum yang dialami penyintas, kemiskinan dan domestikasi
serta subordinasi status sosial perempuan juga turut membatasi kapasitas mereka untuk bergerak mencari
keadilan. Pertama, hal tersebut telah mempengaruhi rendahnya peluang penyintas menikmati pendidikan
dan mengakses informasi, sehingga pengetahuan umum dan hukum mereka menjadi relatif rendah.14
Kedua, anggapan-anggapan sosial, seperti istri tidak boleh membuka keburukan suaminya atau istri harus
menerima begitu saja talak yang dijatuhkan suaminya, telah membuat penyintas sulit melaporkan kasus-
kasus kekerasan dari suami serta tidak berdaya saat suami menceraikan begitu saja dengan menjatuhkan
talak tanpa alasan yang kuat. Ketiga, kesulitan ekonomi telah membatasi keputusan penyintas (atau
keluarganya) untuk mencari keadilan ke sistem hukum negara, karena khawatir akan biaya yang besar yang
harus ditanggung.

14 Secara umum juga terjadi kesenjangan gender dalam sektor pendidikan. Angka melek huruf dan partisipasi sekolah perempuan
relatif lebih rendah dari laki-laki. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki adalah 99,93 persen pada tahun 2006, sementara
angka partisipasi murni (APM) pendidikan anak perempuan terhadap anak laki-laki rata-rata (pendidikan SD-pendidikan tinggi)
adalah 99,07 persen pada tahun 2002-2006 (Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007).

24 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Mengalami kasus yang berlapis


Mengalami beberapa lapisan kasus yang saling terkait menjadi ciri khas penyintas. Sayangnya tidak seluruh
lapisan kasus dapat diselesaikan, seringkali hanya kasus yang terakhir dialami penyintas atau kasus yang
dominan saja yang dilaporkan atau diselesaikan. Dalam studi ini, ada tiga belas penyintas yang mengalami
lapisan kasus hukum, dan hanya kasus terakhir yang diupayakan penyelesaiannya melalui institusi penyelesaian
kasus hukum. Dari sebelas kasus perceraian, tujuh diantaranya sebenarnya mengandung lapisan kasus
KDRT, kejahatan perkawinan, dan poligami.

Dengan demikian, seringkali kasus terakhir, seperti perceraian, hanyalah konsekuensi dari adanya pelanggaran
hak yang sebelumnya dialami penyintas, seperti KDRT atau suami menikah lagi tanpa seijin penyintas. Artinya,
walaupun perceraian terjadi, seringkali penyintas belum sepenuhnya memperoleh keadilan dari kasus KDRT
atau kejahatan perkawinan yang juga dialaminya. Demikian juga, dari sembilan kasus perkosaan ada empat
kasus perkosaan yang di dalamnya mengandung lapisan kasus KDRT atau penipuan atau trafficking.

2.2. Beberapa Hambatan Penyintas Mencari Bantuan

Temuan Utama

• Relasi kuasa yang timpang berbicara. Posisi penyintas yang subordinat terhadap pelaku/lawan sengketa telah menghambat
penyintas mencari pertolongan pihak ketiga.
• Ancaman sanksi sosial mempengaruhi. Terutama pada kasus perkosaan, ancaman adanya sanksi sosial melatarbelakangi
ketakutan korban untuk melaporkan kejadian.
• Hukum dirasakan sangat mahal. Anggapan bahwa mengakses sistem hukum negara sama dengan mengeluarkan biaya
yang besar menghalangi penyintas/keluarganya mengakses sistem ini.

Saat mengalami kasus hukum, berbagai hambatan dialami penyintas untuk dapat mengakses keadilan,
yaitu sejak awal proses mencari bantuan dari pihak ketiga. Tahapan ini menjadi sangat menentukan apakah
mereka dapat mengakses keadilan atau tidak. Dilema, ketakutan, dan rasa malu adalah hambatan pertama
yang harus diterobos oleh penyintas untuk dapat mencari penyelesaian atas kasusnya. Pergulatan batin
inilah yang dirasakan oleh seluruh penyintas pada kasus kekerasan maupun perceraian, sebelum mereka
dapat menceritakan atau melaporkan kasus mereka kepada pihak ketiga, bahkan kepada keluarga atau
teman dekat mereka. Dalam beberapa kasus, penyintas pada akhirnya dapat menguatkan dirinya untuk
bercerita kepada pihak ketiga, yaitu orang yang dekat dengan mereka, untuk mencari tempat menjeritkan
isi hatinya. Sementara itu, pada beberapa kasus perkosaan, penyintas tetap memilih untuk bungkam sampai
orang lain mencium kejadian karena melihat gejala fisik kehamilan pada penyintas. Beberapa faktor yang
turut menghambat mereka mengambil tindakan hukum dibahas di bawah ini.

Relasi kuasa yang timpang


“… kamu layani saya sekarang, kalau tidak, saya tidak akan mengurus kamu lagi, saya tidak akan memberikan
uang makan dan uang belanja lagi, dan kalau kamu cerita ke orang lain, saya bunuh kamu!” Pelaku kasus
incest, di Lombok.

Mengalami kasus hukum baik perdata dan pidana bagi seorang perempuan di desa merupakan pergulatan
terhadap posisi sosial pelaku yang lebih tinggi dan sistem sosial dan budaya masyarakat yang telah berabad-
abad lamanya berada dalam posisi dominan. Posisi perempuan yang subordinat dan lemah menjadikan
mereka rentan terhadap kekerasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pelaku atau pihak

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 25
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

yang bersengketa dengannya. Masalahnya, saat mereka menghadapi pelanggaran hak, relasi kuasa yang
timpang itu pun turut menyumbat mulut mereka untuk mencari pertolongan. Hampir pada seluruh kasus
yang diangkat dalam studi ini ditemukan adanya pola relasi yang timpang antara penyintas dan pelaku/
lawan (lihat Tabel di bawah).

Tabel 3. Posisi dan status perempuan pencari keadilan terhadap pelaku/lawan


Posisi Korban Posisi Pelaku/Lawan Kasus* Kasus
Istri Suami KDRT dan perceraian
Anak Ayah Perkosaan
Pekerja Rumah Tangga/TKW/Buruh Majikan/Atasan Perkosaan, KDRT, Perburuhan
Anak cacat mental Tetangga, laki-laki dewasa Perkosaan
Penyanyi Pengusaha keturunan Perkosaan
* Pelaku pada kasus pidana dan lawan pada kasus perdata

Adanya pola relasi kuasa yang timpang, yang menyebabkan penyintas sulit mencari pertolongan, sangat jelas
terlihat pada tiga kasus perkosaan berulang (dua kasus incest/perkosaan anak oleh ayah kandung serta satu
kasus perkosaan terhadap penyintas dewasa oleh majikan). Status pelaku yang lebih dominan membungkam
penyintas untuk melakukan tindakan hukum. Selain takut terhadap ancaman pelaku, umumnya penyintas
sebagai korban perkosaan tergantung secara sosial ekonomi terhadap pelaku, sehingga membongkar kasus
berarti perlu mempersiapkan diri dari putusnya akses terhadap aset-aset sosial dan ekonomi. Selain itu,
penyintas juga tidak yakin orang lain akan mempercayai cerita mereka, sebagaimana diakui oleh seorang
penyintas dalam kasus perkosaan oleh majikannya yang adalah Kepala Desa di Lombok, “..orang tidak akan
percaya dengan cerita saya, dikira saya orang gila, karena saya orang bodoh.”

Penyintas dalam kasus KDRT atau perceraian pada awalnya juga mengalami kesulitan untuk mencari
pertolongan pihak lain karena lawan hukum mereka adalah suami yang menurut interpretasi komunitas
setempat memiliki status lebih tinggi baik secara sosial maupun agama. Sebagai korban KDRT, penyintas
juga mengalami kesulitan untuk menceritakan kasusnya karena anggapan bahwa hal tersebut adalah rahasia
keluarga dan sebagai istri mereka tidak boleh membuka keburukan suami kepada orang lain. Demikian juga
pada kasus perceraian di Cianjur dan Lombok, penyintas tidak dapat meminta bantuan kepada siapapun
saat suaminya begitu saja menceraikan mereka dengan menjatuhkan talak yang dianggap sah secara hukum
Islam, lalu memulangkan penyintas ke rumah orangtuanya. Penyintas menerima perceraian yang dilakukan
secara sepihak melalui mekanisme talak karena beranggapan itu adalah hak suami.

Sanksi sosial dan ancaman penghakiman massa


“… aib yang dilakukan A dan ayahnya B itu adalah aib satu dusun ini. Di mata masyarakat, korban dan
pelaku sama-sama telah membuat aib bagi seluruh penduduk kampung dan berhak menerima hukuman
yang sama. Mereka jengkel terhadap A, koq tidak lari dan diam saja menerima perlakuan (perkosaan)
seperti itu dari ayahnya sekian lama, kenapa tidak mengadu ke siapa-siapa?” Kepala Dusun kasus incest, di
Lombok.

Ancaman sanksi sosial, bahkan dalam bentuk ekstrim penghakiman massa bagi kasus-kasus perkosaan dan
incest, juga turut menghambat penyintas mencari pertolongan dari pihak lain karena perasaan takut dan
malu jika kasus terbongkar. Hal ini terbukti. Beberapa kasus menunjukkan bahwa saat mereka menceritakan
kasusnya kepada kerabat, teman dan tetangga mereka, bukan bantuan yang mereka peroleh, namun yang
terjadi adalah kisah mereka tersebar ke seluruh desa dan mengundang penghakiman massa. Dalam kasus
incest di Lombok, ketika masyarakat desa mengetahui kehamilan penyintas akibat perkosaan yang dilakukan
ayahnya, mereka menunjukkan kemarahan tidak saja pada pelaku namun juga pada penyintas, bahkan
hampir membakar rumah korban dan pelaku.

26 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Dari gambaran tersebut terlihat bahwa pada kasus-kasus perkosaan/incest, mencari bantuan kepada
pihak yang tidak berwenang telah mengakibatkan hak-hak penyintas atas keadilan terabaikan. Seringkali
kepanikan massa hanya akan mendorong timbulnya tindakan kolektif penghakiman massa yang turut
merugikan penyintas.

Hukum yang mahal menjadi kendala


“... nggak langsung lapor ke Polisi, takut biayanya mahal...” Ibu korban perkosaan, di Brebes.

Biaya juga menjadi kendala tersendiri bagi penyintas mengakses sistem hukum negara. Sementara itu,
anggapan yang sudah beredar di dalam masyarakat adalah “hukum (negara) itu mahal.” Melaporkan kasus
ke Polisi atau mengurus perceraian ke Pengadilan Agama sama dengan mengeluarkan biaya besar. Pada
kasus perkosaan anak di Brebes, orangtua penyintas tidak melaporkan kasus ke Polisi dengan alasan tersebut
di atas. Begitu juga pada kasus-kasus perceraian. Beberapa penyintas tidak segera mengurus perceraiannya,
walau suami sudah meninggalkan bertahun-tahun tanpa berita dan nafkah, karena pertimbangan biaya.

Tingginya biaya untuk mengurus perceraian di Pengadilan Agama membuat pilihan bercerai secara legal
menjadi opsi terakhir. Sementara itu, tidak banyak orang desa yang mengetahui adanya fasilitas prodeo
(persidangan cuma-cuma) bagi penduduk miskin. Survey yang dilakukan oleh Indonesia-Australia Legal
Development Facility (IALDF) terkait dengan akses dan keadilan pada Pengadilan Agama di Indonesia
(Sumner, 2007) membuktikan hal ini. Berdasarkan survey terhadap para eks-klien Pengadilan Agama, ditemui
bahwa rata-rata dari total biaya yang perlu dikeluarkan untuk berperkara di Pengadilan Agama adalah Rp.
789.666 atau lima kali lebih besar dari rata-rata penghasilan per bulan penduduk miskin di Indonesia.
Biaya ini mencakup biaya pengadilan (dibayarkan ke Pengadilan Agama), biaya untuk pengacara atau pihak
ketiga yang membantu (seperti pembantu Penghulu Desa yang sering disebut Amil/Lebe), biaya transportasi
(termasuk transportasi saksi dan Penghulu Desa) dan biaya lainnya (termasuk konsumsi) (Sumner, 2007).

2.3. Jalur-jalur Penyintas Mengakses Keadilan


Temuan Utama

• Pada sistem hukum non negara, Perlindungan hak perempuan masih perlu ditingkatkan. Mekanisme non negara
dapat menyelesaikan kasus hukum penyintas, namun perlindungan hak bagi penyintas yang dapat diberikan masih minim.
• Sementara itu, seringkali pengambilan keputusan tidak berpihak pada korban. Aparat desa umumnya menghakimi
secara subyektif dan lebih mengutamakan harmoni dan reputasi desa daripada kepentingan dan hak penyintas.
• Sistem hukum non negara juga masih lemah dalam pemberian sanksi dan penegakan hukum. Dalam proses mediasi
dalam kasus KDRT, tidak adanya sanksi mengakibatkan tidak adanya “efek jera” bagi pelaku dan kalaupun telah ada sanksi,
tidak ada mekanisme untuk menjamin pelaksanaannya.
• Di sisi lain, akses terhadap sistem hukum negara terbatas. Akses penyintas ke sistem hukum negara terbatas, sehingga
membutuhkan bantuan aktor intermediasi atau bila dikehendaki oleh pihak yang memiliki otoritas seperti ayah atau suami.
• Aktor Desa berpotensi merujuk kasus. Aparat desa dan tokoh masyarakat memiliki potensi untuk merujuk kasus penyintas
ke sistem hukum negara, namun inisiatifnya sangat kondisional dan ad hoc.
• Fasilitator Hukum di desa membuka akses. Kader Hukum dan Pendamping Lapangan berperan tidak saja merujuk kasus,
tetapi memberikan pendampingan hukum, membangun jaringan dengan pihak eksternal desa terkait, dan memberikan
dukungan bagi penyintas.
• Aktor Eksternal turut memperkuat akses. Forum pemangku kepentingan aparat hukum, media dan LBH/LSM berpotensi
membuka akses penyintas terhadap sistem hukum negara, namun informasi tentang keberadaan mereka masih langka

Pada saat mereka dapat menempuh jalur-jalur penyelesaian kasus hukum yang tersedia, saat itulah mereka
mulai memiliki akses terhadap keadilan. Dua alternatif jalur penyelesaian kasus hukum yang dapat ditempuh
adalah: sistem hukum non negara di desa dan sistem hukum negara di luar desa. Penyelesaian kasus

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 27
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

melalui jalur non negara adalah upaya penyelesaian kasus yang dilakukan oleh berbagai pihak baik secara
personal maupun institusional di tingkat desa atau kecamatan. Sementara, penyelesaian kasus melalui jalur
negara dalam studi ini dimaknai sebagai proses penyelesaian kasus melalui institusi penegak hukum atau
jalur hukum negara. Dua jalur ini menawarkan peluang penyelesaian kasus, walau dengan intensitas dan
kapasitas yang berbeda.

Tabel 4. Karakteristik sistem hukum non negara dan negara


Karakteristik Sistem Hukum Non Negara Sistem Hukum Negara
Lokus Desa Luar Desa (Kabupaten/Propinsi/Pusat)
Aparat pemerintahan desa (Kepala
Polisi
Desa/Kepala Dusun/Ketua RT)
Jaksa
Tokoh Agama (Penghulu Desa/Amil/
Aktor/struktur Hakim (Pengadilan Negeri & Pengadilan
Lebe)
hukum Agama)
Tokoh Masyarakat
Petugas Dinas Tenaga Kerja
Polisi Desa (aparat keamanan desa)
Bidan desa
Substansi hukum Aturan, nilai, norma di desa
Peraturan Perundangan RI
dominan (termasuk aturan dan nilai agama)
Prosedur
Formal-birokratis,
penyelesaian kasus Informal, utamanya musyawarah
utamanya melalui persidangan
hukum
Tidak ada Ada
Kebutuhan biaya (kecuali pada kasus perceraian saat dirujuk (Biaya administrasi resmi dan biaya transport
Amil/Lebe ke sistem hukum negara) penyintas, keluarga dan saksi)

Umumnya kasus-kasus dapat diselesaikan baik oleh sistem hukum negara maupun non negara, namun ada
juga yang tidak dapat diselesaikan. Kasus-kasus yang tidak selesai pada jalur hukum negara disebabkan
karena Polisi tidak dapat menemukan saksi (kasus kejahatan perkawinan), sedang dalam proses banding
(kasus kejahatan perkawinan dan perkosaan), laporan ditarik kembali (kasus KDRT) dan kasus tidak
dilanjutkan ke persidangan (kasus perkosaan atas TKW di Malaysia). Sementara itu, yang tidak selesai pada
jalur hukum non negara diantaranya disebabkan karena pelaku perkosaan tidak berhasil ditemukan oleh
Kepala Dusun yang berencana akan menikahkan pelaku dengan penyintas. Kejadian ini memang tidak
dilaporkan ke Polisi karena dugaan dilakukan atas dasar “suka sama suka.” Pada kasus lainnya, Kepala Desa
tidak bisa menyelesaikan masalah warisan, namun tetap bermaksud untuk membawa kasus ke Pengadilan
Agama. Tabel di bawah merinci jumlah kasus-kasus tersebut.

Tabel 5. Jumlah kasus selesai dan tidak selesai berdasarkan sistem hukum
Jenis Kasus Jumlah
1. Jumlah kasus yang selesai 21 kasus
a. Melalui sistem hukum negara 18 kasus
- dirujuk oleh sistem hukum non negara (9 kasus)
- langsung dilaporkan ke sistem hukum negara (9 kasus)
b. Melalui sistem hukum non negara 3 kasus
2. Jumlah kasus yang tidak selesai 7 kasus
a. Melalui sistem hukum negara 5 kasus
b. Melalui sistem hukum non negara 2 kasus
TOTAL 28 kasus

28 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Beberapa kasus memperlihatkan bahwa sistem hukum negara dan non negara tidak bersifat eksklusif.
Beberapa kasus yang diselesaikan melalui sisem hukum negara, ternyata sebelumnya telah dicoba
penyelesaiannya melalui sistem hukum non negara. Tidak berhasil diselesaikan oleh sistem hukum non
negara, maka penyintas, baik karena kesadarannya sendiri maupun rujukan dari pihak lain, kemudian
menempuh jalur sistem hukum negara. Gambar di bawah ini memperlihatkan jalur-jalur hukum yang
ditempuh oleh penyintas dalam studi ini.

Gambar 2. Jalur penyelesaian kasus hukum penyintas di desa

Kasus Hukum
Penyintas

Dirujuk
Sistem Hukum Sistem Hukum
NON NEGARA NEGARA

Selesai Tidak Selesai Tidak


Selesai Selesai

Ada yang dirujuk & ada


yang tidak dilanjutkan lagi

Bagaimana pengalaman penyintas mengakses keadilan melalui jalur-jalur penyelesaian kasus hukum, baik
sistem hukum non negara maupun negara, menjadi pembahasan selanjutnya.

1. Melalui Sistem Hukum Non Negara di Tingkat Desa


Sebagaimana juga temuan studi Bank Dunia (2008), studi kasus ini juga menemukan bahwa sistem hukum
non negara di desa umumnya masih menjadi pilihan pertama penyintas saat ingin mengakses keadilan.
Dalam studi ini, walau hanya lima kasus yang ditangani penyelesaiannya melalui jalur ini (tiga kasus
perceraian, satu kasus perkosaan dan satu kasus warisan), tapi ada sembilan kasus yang awalnya dilaporkan
atau ditangani terlebih dulu oleh jalur non negara, sebelum akhirnya dibawa ke mekanisme hukum negara
untuk penyelesaiannya.15

Mengapa jalur non negara menjadi pilihan pertama? Karena aktor-aktor penyelesaian kasus hukum melalui
mekanisme non negara ini telah dikenal, mudah ditemui, dan praktis tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan
untuk bertemu dan berkonsultasi dengan mereka. Mereka adalah aparat pemerintahan desa (seperti Kepala
Dusun/Desa/RT, Pembantu Penghulu/Amil/Lebe, atau Polisi desa) serta tokoh-tokoh agama/adat di desa.
Saat menerima kasus hukum, aktor-aktor ini akan mencoba melakukan mediasi, fasilitasi dan penyelesaian
kasus berdasarkan aturan, keyakinan, kebiasaan atau budaya yang berlaku di desa tersebut.

Beberapa pembelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman penyintas mencari keadilan melalui sistem
hukum non negara di desa adalah, pertama, sistem ini dapat diandalkan untuk menyelesaikan kasus hukum

15 Laporan Forging the Middle Ground: Engaging Non-State Justice in Indonesia juga menunjukkan bahwa interaksi antara sistem
hukum non negara dan negara juga sering terjadi dalam penyelesaian sengketa kasus-kasus hukum yang umum di desa. Interaksi
ini terutama terjadi pada kasus-kasus yang: 1) melibatkan kekerasan yang serius, 2) melibatkan pihak luar, termasuk kepentingan
pihak swasta atau minoritas, dan 3) memiliki risiko tinggi (Bank Dunia, 2008, hal x).

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 29
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

yang dialami penyintas, namun perlindungan dan pemenuhan keadilan belum dapat terjamin sepenuhnya.
Kedua, sistem ini tidak berhasil menyelesaikan kasus-kasus KDRT dan perkosaan karena gagal memberikan
sanksi yang jelas untuk pelanggaran yang terjadi. Kalaupun ada sanksi, gagal untuk memastikan penerapan
dan penegakannya.

Minim perlindungan hak perempuan

Praktek-praktek perceraian bawah tangan (non legal), suami menjatuhkan talak kepada istri dengan fasilitasi
penghulu desa, masih sangat marak terjadi di desa, bahkan pada pasangan-pasangan yang menikah secara
legal (tercatat di Kantor Urusan Agama/KUA). Perceraian ini berlaku tidak sah, karena tanpa melalui proses
persidangan dan pencatatan di Pengadilan Agama. Padahal, berdasarkan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam
(KHI), perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (PA).

Penghulu Desa yang umumnya menjadi pihak pertama yang didatangi penduduk desa untuk urusan
pernikahan dan perceraian, seharusnya berfungsi memberikan konsultasi hukum tentang perlunya
mengurus perceraian secara resmi melalui Pengadilan Agama. Namun seringkali informasi tersebut tidak
disampaikan. Sementara pandangan kebanyakan penduduk desa tentang sah tidaknya suatu perceraian
masih rancu, mereka mencampuradukan pengertian perceraian yang resmi berdasarkan agama dan yang
resmi berdasarkan negara. Dengan demikian, absennya informasi tentang legalitas perceraian dari Pembantu
Penghulu kepada penduduk yang mencari bantuannya, membuat praktek perceraian bawah tangan terus
berlangsung di desa.

Seorang Amil di Cianjur menjelaskan alasannya tidak merujuk kasus ke Pengadilan Agama:

“Saya bukannya tidak mengerti bahwa perceraian seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama (PA), tapi
orang desa, masuk ke kantor desa saja masih buka sandal, apalagi ke PA.... Belum lagi masalah biaya. Biaya
mengurus perceraian di PA sangat besar untuk penduduk desa. Padahal, seringkali pasangan suami-istri
yang ingin bercerai hanya sedang emosional. Jadi untuk mendamaikan, saya minta mereka pulang dulu
untuk berpikir lagi. Kalau mereka tetap mau cerai, baru dibantu.... Sering juga mereka yang baru bercerai
sudah datang lagi minta dinikahkan kembali, jadi daripada disuruh pergi ke PA, lebih baik musyawarah
dilakukan di desa saja.” Amil kasus perceraian bawah tangan, di Cianjur.

Box 3. Profil Pembantu Penghulu (Amil/Lebe) di desa


Pembantu Penghulu, yang disebut juga Amil di Jawa Barat dan Lebe di Jawa Tengah, adalah tokoh desa yang pertama kali dicari
warga berkaitan dengan kasus-kasus perceraian maupun perkawinan. Mereka pada dasarnya adalah bagian dari struktur Kantor
Urusan Agama (KUA) di kecamatan dengan status kepegawaian sebagai non PNS yang tidak menerima gaji. Penghasilan mereka
diperoleh dari pendapatan desa, terkadang mereka diberikan sebidang tanah yang dapat digarap sebagai sumber penghasilan.

Mereka mengemban sejumlah peran, yakni melayani masyarakat utamanya dalam hal perkawinan, perceraian dan kematian.
Selain itu, mereka juga menjadi perpanjangan tangan dari Badan Penasehat Pelestarian Perkawinan (B4P) yang ada di KUA, untuk
membantu memberikan nasehat perkawinan dalam rangka mempertahankan keutuhan rumah tangga penduduk di tingkat desa.
Sesuai dengan tugasnya, setiap kali menghadapi pasangan suami istri yang bersengketa dan ingin bercerai, mereka pertama-tama
harus melakukan upaya untuk mendamaikan kedua pihak. Namun saat kedua pasangan suami istri tetap berkeras ingin bercerai,
maka Amil/Lebe merujuk kasus untuk diselesaikan di Pengadilan Agama.

Pada kasus-kasus perceraian di Brebes, surat pengantar dari Lebe dibutuhkan oleh Pengadilan Agama. Sementara itu, di Cianjur
dan Lombok ditemui kasus perceraian yang difasilitasi langsung oleh Penghulu Desa/Amil sebagai saksi perceraian, tanpa merujuk
pasangan suami istri tersebut ke Pengadilan Agama. Sebagai bukti sudah terjadi perceraian, mereka membuatkan surat keterangan
cerai yang ditandatangani oleh suami, istri dan saksi.

Tiga kasus perceraian bawah tangan di Cianjur dan Lombok memperlihatkan bahwa sistem hukum non negara
di desa belum dapat menjamin hak-hak perempuan atas proses dan hasil perceraian. Kasus-kasus tersebut
memperlihatkan beberapa konsekuensi yang dialami oleh perempuan desa saat perceraian dilakukan secara
bawah tangan. Pertama, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk membela dirinya dan mengeluarkan

30 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

pendapat/keberatan atas talak cerai yang dijatuhkan suaminya. Kedua, perempuan menjadi rentan atas
keputusan-keputusan perceraian yang tidak beralasan kuat, bersifat emosional dan sepihak, karena suami
memiliki otoritas penuh untuk menjatuhkan talak tanpa mendapat pengawasan dan pengujian alasan
perceraian dari pihak ketiga, termasuk keluarga. Ketiga, hak perempuan atas pembagian harta, pengasuhan
anak, dan perolehan nafkah tidak terjamin, sementara hal ini dijamin oleh UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam. Keempat, kalaupun hak-hak perempuan tersebut di atas dibicarakan, sistem
hukum non negara (terutama melalui Pembantu Penghulu) tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk
memastikan bahwa keputusan tersebut terlaksana. Kelima, perempuan rentan terhadap pemerasan oleh
suami, yaitu berupa “uang tebus talak” yang harus dibayarkan kepada suami untuk menjatuhkan talak,
biasanya saat keinginan bercerai bukan datang dari suami. Kasus di bawah ini memperlihatkan bagaimana
seorang penyintas mengalami tiga konsekuensi pertama di atas akibat diceraikan secara bawah tangan oleh
suaminya.

Studi Kasus 2: Kasus perceraian bawah tangan di Cianjur

A menikah secara resmi di KUA Sukabumi, tapi apa daya ia diceraikan oleh suaminya B dengan talak yang
difasilitasi Amil setempat. Masalahnya, B cemburu kepada A dan menuduh A berselingkuh dengan tetangga
mereka. Kesal karena terus dicemburui akhirnya A mengaku bahwa ia menyukai tetangga tersebut. Mendengar
jawaban itu, B segera menyeret A ke rumah Kepala Desa untuk diceraikan. Karena Kepala Desa sedang sakit,
mereka dianjurkan untuk menemui Amil di Kantor Desa. Dihadapan Amil, B menyatakan keinginannya untuk
menceraikan A dengan alasan tidak ada kecocokan lagi. Amil berusaha menasehati bahwa perceraian itu
walaupun halal tapi dibenci oleh Tuhan, dan menyuruh mereka pulang untuk mempertimbangkan kembali
maksud tersebut. Namun sore harinya B dan A kembali lagi dengan keputusan yang bulat untuk bercerai. A
tidak menerima perlakuan dan keputusan suaminya, namun ia tidak dapat berbuat apapun, karena berpendapat
bahwa sebagai istri ia tidak dapat menggugat talak yang dijatuhkan suaminya.

Amil tidak menjelaskan bahwa perceraian seharusnya dilakukan di Pengadilan Agama, walau tahu bahwa A
dan B menikah tercatat di KUA. Ia juga tidak berusaha menggali dan menguji alasan perceraian serta tidak
membahas masalah pemenuhan hak-hak A sebagai istri dari perceraian tersebut, seperti nafkah, pembagian
harta dan hak asuh anak. Ia lalu memanggil Ketua RT untuk bersama dirinya menjadi saksi perceraian. Sore
itu juga B menjatuhkan talak cerai kepada A dihadapan Amil dan Ketua RT sebagai saksinya. Setelah itu, Amil
membuatkan surat keterangan cerai berdasarkan format surat yang ada di Kantor Desa, isinya menyatakan
bahwa B telah menceraikan A dengan talak satu. Surat itu ditandatangani B, A dan kedua saksi. Setelah jatuh
talak, Amil kemudian mengambil surat nikah B dan A, dengan alasan akan mengembalikannya jika mereka
rujuk lagi dalam masa iddah. Pada hari itu juga A diantar B kembali ke rumah orangtuanya. Namun ternyata
hanya dalam waktu tiga hari B sudah mengajak A untuk rujuk kembali, dengan memberikan 4 syarat kepada
A, yaitu harus pakai kerudung, harus selalu melapor kepada B kemanapun ingin pergi, harus sholat lima waktu,
dan harus memenuhi kewajiban istri kepada suami.

Penyintas pada kasus di atas kehilangan haknya atas pembelaan diri, harta, anak, nafkah dan keputusan
perceraian yang adil. Peluangnya untuk memperoleh perlindungan dan pemenuhan haknya atas perceraian
tertutup saat Amil tidak memberikan informasi tentang proses perceraian yang legal.

Pengambilan keputusan yang tidak berpihak pada korban

Keputusan-keputusan dari sistem hukum non negara telah disebutkan seringkali tidak berpihak pada
korban, karena didasarkan pada pandangan subyektif yang bias gender serta mengutamakan harmoni
dialami oleh beberapa penyintas dalam studi ini. Beberapa kasus perkosaan dan KDRT memperlihatkan
bahwa pengambilan keputusan aparat desa masih sangat dilatarbelakangi oleh konsep pikir dan nilai-nilai
yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Akibatnya, keputusan mereka memiliki potensi besar
untuk merugikan penyintas.

Pada kasus perkosaan di Lombok, Kepala Dusun yang dilapori kasus perkosaan yang dialami penyintas saat
bekerja sebagai buruh bangunan hingga akhirnya hamil, tidak melaporkan kasus ke Polisi tetapi mencoba

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 31
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

mencari pelaku untuk meminta pertanggungjawaban. Mengapa tidak dilapor ke Polisi walaupun keluarga
penyintas melaporkan kasus tersebut adalah perkosaan? Karena ia telah secara subyektif menilai bahwa
kasus tersebut adalah kehamilan di luar nikah atas dasar hubungan “suka sama suka.” Anggapannya ini
didasarkan atas latar belakang keluarga penyintas, yaitu ibunya meninggalkan suaminya untuk menikah
lagi dengan orang lain tanpa ada perceraian dan dua orang kakak penyintas mengalami kejadian hamil di
luar nikah. Karena latar belakang ini, penyintas mendapat label negatif sebagai “yang bersalah” bahkan
sebelum dilakukan pembuktian secara hukum. Akibat tidak terselesaikannya masalah tersebut, penyintas
akhirnya pindah dari desa tempat tinggalnya dan tinggal bersama ibunya di desa lain.

“Sebaiknya masalah diselesaikan dengan jalan kekeluargaan saja, agar kedamaian di desa tidak terganggu
dan nama baik desa tidak rusak...”’ Pak Lurah kasus perkosaan, Brebes.

Keputusan aparat desa juga cenderung memprioritaskan harmoni daripada kepentingan penyintas sebagai
korban KDRT atau perkosaan. Ungkapan Pak Lurah di atas memperlihatkan dilema yang dihadapi aparat
desa dalam memilih antara kebenaran dan keadilan di satu pihak dan kedamaian dan keharmonisan
masyarakat dan desa di pihak lainnya. Seringkali pilihan yang kedua yang diambil dengan mengorbankan
hak-hak hukum penyintas. Kerancuan ini juga terlihat pada kasus perkosaan dua orang anak (berusia
5 tahun) oleh pelaku yang juga berusia anak (12 tahun) di Brebes. Walau pelaku sudah ditahan Polisi,
Lurah masih berupaya mendamaikan kedua pihak, agar kasus tidak perlu diselesaikan melalui jalur hukum
negara. Kerukunan desa lebih diutamakan, terlebih karena menurutnya hal tersebut hanyalah masalah
“anak-anak.”

Lemah dalam pemberian sanksi dan penegakan hukum

Apa yang di satu sisi menjadi kekuatan sistem hukum non negara—kedekatan dengan pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu kasus hukum dan sifat informalitas dari penegakan hukumnya—ternyata juga
menjadi kelemahan dari sistem ini untuk mengambil keputusan, menetapkan sanksi hukum yang tegas dan
memastikan penegakannya. Hal ini secara jelas terlihat pada kasus-kasus KDRT, terutama karena masih
kuatnya nilai dan norma yang mengatakan bahwa masalah domestik keluarga adalah masalah pribadi.
Anggapan ini, ditambah dengan faktor “kedekatan” dengan pelaku, membuat para aparat desa sulit
memberikan sanksi. Pada kasus perkosaan, terlihat bahwa walaupun sanksi sudah ditetapkan, tidak ada
mekanisme yang baku untuk memastikan pelaksanaannya.

Tiadanya sanksi yang jelas dan penegakkannya menyebabkan tidak mampunya sistem ini memberikan “efek
jera” kepada pelaku KDRT. Dalam beberapa kasus KDRT yang tidak dapat diselesaikan oleh sistem ini,
terlihat bahwa umumnya aparat desa atau tokoh agama hanya memberikan nasehat-nasehat dan berupaya
mendamaikan kedua pihak kembali. Pada kasus-kasus tersebut akibatnya KDRT terus terulang kembali, dan
setiap kali penyintas melaporkan kejadian pada aparat desa, penanganan yang sama yang diberikan lagi.
Sementara pada kasus perkosaan di Lombok, walaupun sanksi telah ditentukan secara adat Hindu, yaitu
pelaku harus menikahi penyintas, sistem ini gagal memastikan penegakannya. Saat pelaku mengingkari
janjinya untuk menikahi penyintas, maka sistem ini tidak ada prosedur formal apapun yang menjamin
pelaksanaan dari keputusan adat yang sudah ditetapkan tersebut. Gagal memperoleh keadilan melalui
sistem hukum non negara, penyintas kemudian melanjutkan upayanya dengan mengakses sistem hukum
negara.

2. Melalui Sistem Hukum Negara di Luar Desa


Jalur lain yang ditempuh penyintas untuk menyelesaikan kasus hukumnya adalah melalui jalur sistem hukum
negara. Namun demikian, jalur ini oleh penyintas masih dirasakan sebagai sesuatu yang birokratis, formal,
mahal dan jauh dari desa, sehingga menjadi alternatif terakhir bagi penyelesaian kasus hukum yang dialami
penyintas. Tingkat kesadaran hukum penyintas pada dasarnya akan turut menentukan apakah ia akan

32 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

mencari keadilan melalui jalur hukum negara. Masalahnya, kesadaran hukum para penyintas umumnya
masih sangat rendah. Dari dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini, hanya satu penyintas,
seorang guru PNS yang bersuamikan Polisi, yang dengan kesadaran sendiri melaporkan kasus kejahatan
perkawinan yang dilakukan suaminya ke Polisi.

Lalu, bagaimana penyintas dalam studi ini berhasil mengakses sistem hukum ini? Studi ini menemukan
bahwa penyintas dapat mengakses sistem hukum negara saat: 1) keluarga, biasanya ayah atau suami
sebagai pihak yang memiliki otoritas, memutuskan untuk membawa kasus ke sistem hukum negara dan 2)
adanya aktor-aktor intermediasi yang merujuk kasus ke sistem hukum negara.

Keputusan keluarga untuk mencari penyelesaian kasus hukum melalui jalur hukum negara umumnya terjadi
pada saat, pertama, penyintas mengalami penganiayaan berat akibat KDRT atau perkosaan yang dialaminya.
Pada kondisi ini biasanya keluarga berkeputusan untuk melaporkan kasus ke Polisi. Kedua, dalam kasus-
kasus perceraian, saat suami memiliki kepentingan akan adanya perceraian yang legal melalui Pengadilan
Agama, misalnya karena statusnya sebagai PNS.

Lalu siapa yang dimaksud dengan aktor-aktor intermediasi, yang terbukti telah membukakan akses penyintas
kepada sistem hukum negara? Studi ini mengidentifikasi tiga aktor intermediasi yang berfungsi merujuk
kasus ke jalur hukum negara. Pertama adalah Aktor Desa (AD), dapat berupa aparat desa dan tokoh
agama/masyarakat/adat. Mereka tidak lain adalah aktor-aktor dalam sistem hukum non negara di desa.
Kedua adalah Fasilitator Hukum di desa (FH), yaitu tokoh-tokoh yang secara khusus berperan memberikan
kesadaran dan bantuan hukum, baik penduduk desa (Kader Hukum) maupun staf PEKKA yang tinggal di
desa (pendamping lapangan). Keberadaan FH dalam studi ini terkait dengan pelaksanaan program WLE.
Ketiga adalah Aktor Eksternal (AE), yaitu pihak-pihak lain yang berasal dari luar desa. Seringkali ketiga peran
intermediasi ini dijalankan bersamaan, misalnya tokoh masyarakat juga mengambil peran sebagai Fasilitator
Hukum.

Tabel 6. Aktor Intermediasi


Karakteristik Aktor Desa Fasilitator Hukum Akter Eksternal
Lokus Desa Desa Luar desa
Kepala Desa
MSF
Kepala Dusun
(Multistakeholder
Penghulu Desa/
Forum) bidang
Amil/Lebe Kader Hukum
hukum
Aktor Polisi Desa Pendamping
Wartawan media
Tokoh masyarakat Lapangan
LBH (Perempuan)
Tokoh agama
LSM
Tokoh adat
Bidan Desa.
Berkisar pada hukum
Berkisar pada hukum non Memahami sistem hukum
Pengetahuan tentang Hukum tentang KDRT dan
negara negara
pernikahan
Pengetahuan tentang isu
Tidak ada Ada Ada
gender

Melalui Aktor Desa


Seringkali, karena tidak dapat menyelesaikan kasus maka Aktor Desa akan merujuk kasus hukum penyintas
ke otoritas yang lebih tinggi. Dalam situasi inilah terlihat hubungan saling melengkapi antar kedua jalur
penyelesaian kasus hukum negara dan non negara. Dengan demikian, beberapa penyintas dapat mulai
mengakses sistem hukum negara untuk mencari keadilan pada saat Aktor Desa “membuka jalan,” yaitu

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 33
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

merujuk kasus mereka ke aparat penegak hukum. Dalam studi ini, ada enam kasus yang dirujuk oleh Aktor
Desa ke sistem hukum negara, yaitu satu kasus perkosaan, satu kasus perceraian, tiga kasus KDRT, dan satu
kasus warisan.

Inisiatif yang kondisional dan ad hoc

Masalahnya, umumnya Aktor Desa merujuk kasus bukan karena suatu alasan hukum atau berdasarkan
mandat struktural mereka di desa, tetapi berdasarkan subyektivitasnya dalam menilai suatu perkara. Sebagai
aktor dalam sistem hukum non negara di desa, mereka cenderung untuk mencoba menyelesaikan kasus
hukum di tingkat desa terlebih dulu. Inisiatif untuk merujuk kasus ke Polisi atau Pengadilan Agama umumnya
dilakukan apabila, pertama, terjadi penganiayaan yang cukup berat atau konsekuensi fatal yang dialami
penyintas; kedua, adanya keresahan sosial di masyarakat akibat kejadian yang dialami penyintas sehingga
berpotensi menyulut terjadinya tindakan anarki dari masyarakat; ketiga, perkara tidak dapat diselesaikan
melalui jalan musyawarah di tingkat keluarga atau desa, sehingga membutuhkan otoritas yang lebih tinggi
lagi untuk penyelesaian perkara; atau keempat, perkara tidak dalam kapasitas mereka.

Dengan demikian, Aktor Desa tidak merujuk kasus karena kesadaran mereka bahwa sistem hukum negara
dapat memberikan keadilan kepada penyintas. Inisiatif tersebut lebih bersifat kondisional dan ad hoc,
didorong oleh keempat faktor tersebut di atas. Faktor pertama dan kedua melatarbelakangi kasus-kasus
KDRT dan perkosaan, termasuk incest. Sementara itu faktor ketiga dan keempat melatarbelakangi kasus-
kasus perceraian, terkait dengan pembagian harta gono gini dan warisan. Contohnya, Amil di Cianjur
merujuk kasus perceraian ke Pengadilan Agama saat proses perceraian bawah tangan yang dilakukan dengan
fasilitasi keluarga dan tokoh agama tidak membawa hasil, karena suami tetap menolak tuntutan cerai istrinya
dan mengatakan baru mau menceraikan istrinya apabila proses dilakukan di Pengadilan Agama.
Merujuk saja, minim pendampingan hukum

Perlu menjadi catatan bahwa Aktor Desa utamanya hanya melaporkan kasus ke Polisi atau kasus dirujuk
ke Pengadilan Agama, tanpa memberikan pendampingan hukum. Dalam beberapa kasus, pendampingan
hukum dilakukan oleh Amil/Lebe dalam bentuk mendaftarkan kasus penyintas ke Pengadilan Agama. Dalam
kasus-kasus perkosaan, aparat desa umumnya hanya sebatas menyerahkan pelaku ke kantor Polisi dan/
atau membantu Polisi mencarikan saksi-saksi di desa. Tanpa pendampingan hukum, penyintas seringkali
menghadapi kesulitan dan intimidasi dari berbagai pihak, termasuk dari pertanyaan-pertanyaan para aparat
penegak hukum saat menjalani penyidikan dan persidangan.

Merujuk karena ada kepentingan pribadi

Dalam kasus-kasus perceraian, Aktor Desa, yaitu Penghulu Desa/Amil/Lebe memiliki kepentingan pribadi
untuk merujuk kasus penyintas ke Pengadilan Agama. Merujuk kasus berarti mendatangkan penghasilan
tersendiri bagi mereka. Kalau bukan dari surat keterangan yang dibuatkan, “penghasilan” diperoleh dari
jasanya mendaftarkan kasus atau bahkan mendampingi penyintas setiap kali pergi ke Pengadilan Agama.
Kasus-kasus di Cianjur dan Brebes memperlihatkan hal ini. Sebagai contoh,di Cianjur, seorang Amil menuntut
uang sebesar Rp. 1,2 juta untuk membantu proses perceraian penyintas di Pengadilan Agama. Penyintas
akhirnya menyanggupi uang sebesar Rp. 750 ribu. Sementara, biaya resmi untuk mendaftarkan gugatan
cerai di Pengadilan Agama Cianjur hanya berkisar antara Rp. 286 ribu sampai Rp. 366 ribu. Besarnya biaya
yang harus dikeluarkan inilah yang seringkali membuat penyintas enggan mengurus perceraian secara legal
di Pengadilan Agama.

Melalui Fasilitator Hukum di desa

Keberadaan Fasilitator Hukum di desa terbukti sangat membuka akses para penyintas terhadap sistem hukum
negara. Dalam studi kasus ini, keberadaan Fasilitator Hukum di desa berkaitan dengan keberadaan program
Pemberdayaan Hukum Perempuan (WLE) yang dilakukan oleh PEKKA bekerjasama dengan Program Justice

34 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

for the Poor–Bank Dunia. Fasilitator Hukum di desa ini mencakup Kader Hukum dan Pendamping Lapangan
(PL) PEKKA.

Box 4. Profil Fasilitator Hukum di desa


Fasilitator Hukum dalam studi ini adalah Kader Hukum dan pendamping lapangan. Kader Hukum adalah perempuan desa, anggota
PEKKA ataupun tidak, yang bergerak aktif memberikan penyadaran hukum bagi perempuan desa dan melakukan dokumentasi
kasus-kasus hukum yang dialami perempuan desa. Mereka berasal dari berbagai kalangan, baik tokoh masyarakat (seperti aktivis
PKK dan Posyandu), tokoh agama maupun ibu rumah tangga biasa. Namun biasanya Kader Hukum sudah cukup di kenal oleh
penduduk desa. Peranan Kader Hukum adalah:
1. Memberikan informasi hukum pada perempuan dan masyarakat di desa
2. Melakukan pendampingan dan merujuk kasus
3. Mendokumentasikan kasus-kasus yang dialami oleh perempuan di desa

Kader Hukum tidak memperoleh gaji, namun PEKKA menyediakan anggaran untuk operasional Kader Hukum, terutama untuk
transportasi dan konsumsi dalam menjalankan perannya tersebut di atas. Saat studi ini berlangsung, terdapat 8 orang Kader Hukum
di wilayah Kabupaten Cianjur, 8 orang Kader Hukum di Kabupaten Brebes dan 15 orang Kader Hukum di Kabupaten Lombok Barat
dan Lombok Tengah.

Sementara, Pendamping Lapangan adalah staf Sekretariat Nasional PEKKA yang berkedudukan di tingkat kecamatan namun tinggal
di desa dan bertugas melakukan pemberdayaan, khususnya bagi kelompok perempuan kepala keluarga di desa, selain masyarakat
pada umumnya. Dalam bidang hukum, Pendamping Lapangan bertugas mendampingi Kader Hukum yang ada dalam kecamatan
lingkup kerjanya, mempersiapkan mereka untuk menjalankan peran-perannya (kaderisasi).

Apa yang membedakan Fasilitator Hukum dengan Aktor Desa dalam memperkuat akses penyintas terhadap
keadilan? Pertama, Fasilitator Hukum memiliki pengetahuan dasar tentang gender dan pengetahuan teknis
hukum untuk kasus-kasus hukum yang dialami perempuan. Materi hukum yang dikuasai terutama adalah
yang terkait dengan hukum keluarga, pentingnya identitas legal serta kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan pemahaman ini, mereka secara aktif membantu perempuan desa yang membutuhkan konsultasi
hukum, bahkan pendampingan hukum. Kedua, mereka bekerja dalam sebuah sistem jaringan yang
menghubungkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), baik yang berada di desa maupun di luar
desa, dari kasus hukum yang dialami oleh seorang penyintas, yaitu antara penyintas, Fasilitator Desa dan
tokoh-tokoh di desa, dengan para aparat penegak hukum maupun pemerintahan di tingkat kabupaten/
propinsi (MSF).

Enam kasus yang difasilitasi oleh Fasilitator Hukum dalam studi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kasus
perkosaan anak di Cianjur, tidak saja pelaku dihukum penjara, tetapi penyintas menikmati pendampingan
hukum selama proses penyidikan dan persidangan. Pada kasus-kasus perceraian, penyintas yang ingin
bercerai dari suaminya karena alasan KDRT akhirnya dapat memperoleh akte cerai dari Pengadilan Agama.
Kader Hukum tidak saja membantu mendaftarkan kasus ke Pengadilan Agama, tetapi juga aktif membantu
mencarikan saksi-saksi yang dibutuhkan dalam persidangan. Sementara itu, dua orang penyintas mantan
TKW yang menghadapi kasus KDRT dan penipuan gaji dapat dibantu oleh Fasilitator Hukum sehingga
berhasil memperoleh sebagian dari gaji yang tidak dibayarkan oleh majikan.

Lalu bagaimana penyintas dapat berhubungan dengan Fasilitator Hukum tersebut? Umumnya ada dua
cara, pertama, penyintas mendengar kabar tentang keberadaan Fasilitator Hukum dari masyarakat sekitar
dan kemudian langsung menemui mereka untuk meminta bantuan. Kedua, masyarakat yang melaporkan
kasus hukum yang dialami oleh perempuan desa kepada Fasilitator Hukum, sehingga Fasilitator Hukum yang
bertindak proaktif menemui penyintas, lalu merujuk atau sekaligus mendampingi penyintas melaporkan
kasus ke pihak yang berwenang.

Konsisten merujuk kasus

Inisiatif Fasilitator Hukum merujuk kasus ke sistem hukum negara tidak dilandaskan atas situasi-situasi yang
ad hoc, tetapi pada pemahaman tentang hak-hak hukum perempuan dan teknik pendampingan hukum

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 35
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

bagi perempuan. Hal ini disebabkan karena peran mereka secara khusus adalah melakukan pemberdayaan
hukum bagi perempuan di desa, sehingga mereka memiliki motivasi dan semangat yang khusus dalam
membantu penyintas mengakses keadilan dibanding dengan Aktor Desa.

Saat menerima laporan atau dilaporkan tentang suatu kasus, biasanya Fasilitator Hukum akan memberikan
konsultasi hukum kepada penyintas, memberitahu tentang hak-haknya sebagai perempuan dalam kasus
tersebut dan alternatif tindakan hukum yang dapat diambil untuk memperoleh penyelesaian kasus. Saat
kesadaran hukum muncul dan penyintas ingin mengakses sistem penyelesaian kasus hukum yang ada, maka
Fasilitator Hukum akan memberikan bantuan hukum berupa pendampingan hukum, yang dimulai dengan
merujuk kasus ke sistem hukum negara.

Berfungsi lebih dari sekedar merujuk kasus

Umumnya, Fasilitator Hukum memberikan bantuan lebih dari sekedar merujuk kasus ke sistem hukum
negara. Perannya yang kompleks tersebut meliputi: 1) memberikan informasi dan konsultasi hukum; 2)
merujuk kasus ke institusi hukum negara; 3) melakukan pendampingan korban selama proses penyidikan
di kePolisian dan kejaksaan dan proses persidangan di pengadilan; 4) memberikan penguatan bagi korban
selama proses ataupun paska penyelesaian kasus; dan 5) melakukan monitoring kasus serta memberikan
laporan perkembangan kasus tersebut kepada korban dan keluarganya. Kasus di bawah menunjukkan
peran Kader Hukum tersebut.

Studi Kasus 3: Perkosaan anak terbelakang mental di Cianjur

A (11 tahun), seorang anak perempuan yang mengalami keterbelakangan mental dan tinggal bersama
neneknya, diperkosa beberapa kali oleh B (41 tahun), tetangganya sendiri. B menjanjikan uang sebesar Rp 500
sampai Rp 1.000 sehingga A mau bersetubuh dengannya. Kasus terungkap saat seorang teman A ternyata
melihat kejadian dan mulai mengolok-olok A atas apa yang dilakukan dengan B. Ibu-ibu yang mendengar
olokan itu langsung memeriksa kebenarannya dan akhirnya membawa A ke puskesmas untuk diperiksa bidan
desa. Melihat kondisi A yang sudah tidak perawan lagi, bidan segera menganjurkan warga menghubungi
Kader Hukum, yang setelah mengetahui perkara segera melaporkan kasus ke Polisi. B akhirnya diserahkan
oleh Kepala Dusun dan beberapa warga ke Polsek Cimacan. Sementara itu, Kader Hukum membawa penyintas
menjalani visum dan menemani selama proses penyidikan.

Ketiadaan RPK (Ruang Pelayanan Khusus) di Polsek Cimacan sangat tergantikan dengan adanya Kader Hukum,
karena ia membantu Polisi penyidik menggali informasi ke penyintas. Kader Hukum juga diminta Hakim
memberikan pendampingan bagi penyintas selama persidangan, karena Hakim mengalami kesulitan dalam
menggali informasi ke penyintas. Pelaku mengakui perbuatannya, sehingga proses persidangan berjalan
lancar. Ia akhirnya divonis 14 tahun hukuman penjara. Seusai proses persidangan, Kader Hukum masih terus
mengupayakan kebutuhan pemulihan penyintas, terutama berusaha mencarikan dana untuk pendidikan di
sekolah luar biasa, hanya saja upaya ini belum berhasil.

Melakukan intervensi hukum atas kasus yang sedang diproses

Tidak hanya memberikan bantuan hukum saat diminta oleh penyintas, Fasilitator Hukum juga tidak segan-
segan melakukan intervensi hukum atas kasus-kasus yang sedang diproses melalui jalur hukum negara.
Komitmen mereka atas upaya pemberdayaan hukum perempuan dan perlindungan hukum atas hak-hak
perempuan desa telah mendorong mereka untuk berpartisipasi menjamin adanya proses hukum dan
peradilan yang tidak memihak dan adil, sehingga dapat memberikan hasil yang adil kepada penyintas.

Studi Kasus 4: Kasus perkosaan anak berprofesi sebagai penyanyi di Brebes

A (16 tahun), seorang biduan dangdut yang baru memulai karirnya, diperkosa oleh B (45 th), seorang
pengusaha toko emas etnis Cina. Seorang teman mengajaknya untuk bernyanyi, tapi ternyata justru pergi
ke cafe bertemu dengan B dan dua orang oknum anggota polsek Larangan. Di sana A diajak B berjoget,

36 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

dipaksa minum-minuman keras lalu diajak beristirahat di sebuah hotel. Di kamar hotel A diperkosa, lalu diberi
uang Rp 100 ribu dan diantar pulang ke rumah. Ayahnya yang curiga melihat A pulang subuh, langsung
menginterogasi dan membawa A ke Puskesmas untuk diperiksa dan hasilnya mengatakan korban sudah tidak
perawan lagi. Ayah A langsung mencari teman yang mengajak A menyanyi, dan setelah mendapatkan nama
B sebagai tersangka, langsung melaporkan B ke Polsek Larangan pagi itu juga. Ayah A juga meminta bantuan
hukum ke salah satu Lembaga Bantuan Hukum di Brebes, namun tidak berlanjut. Saat penyidikan, B tidak
didampingi kuasa hukum, sehingga ia sempat dipaksa membuat pengakuan yang tidak pernah ia lakukan,
yaitu sudah pernah berhubungan seksual sebelumnya. Proses hukum berjalan cukup panjang dan alot, karena
Polisi sempat memproses ulang penyidikan, sehingga ada 2 versi Berita Acara Polisi (BAP). Proses juga diwarnai
isu suap dari pelaku ke aparat penegak hukum. Warga mulai berdemo ke pengadilan.

Melihat alotnya proses persidangan, sementara A tidak didampingi pengacara selama persidangan, PL mencoba
menghubungi beberapa LSM lokal untuk mencari bantuan hukum, tapi tidak berhasil karena disangsikan kasus
adalah murni perkosaan. PL akhirnya melakukan konsultasi hukum dengan dosen hukumnya, dan disarankan
untuk membentuk kelompok-kelompok pressure, khususnya kelompok perempuan, yang bergerak secara
terbuka di persidangan maupun di lingkungan desa. PL mulai mendiskusikan hal tersebut dengan istri Lurah
yang kemudian melahirkan aksi demo ibu-ibu desa di pengadilan, disertai dengan orasi istri Lurah dan kemudian
dilanjutkan dengan demo ke gedung DPRD. Komisi A DPRD Kabupaten Brebes kemudian meminta media massa
untuk terus memberitakan perkembangan persidangan dengan obyektif sehingga publik bisa turut memantau
proses. Selain itu, PL juga berusaha memberikan pendampingan hukum kepada warga desa. Ia, bersama
dengan anggota Polres Brebes, mencoba mempertemukan pihak penegak hukum dengan tokoh masyarakat
dan pemuda di desa, setelah adanya keresahan masyarakat akibat Polisi menangkap beberapa orang pemuda
yang melakukan tindakan kerusuhan dengan membakar rumah pelaku. Akhirnya Hakim menjatuhkan vonis
4 tahun penjara bagi pelaku, dengan tuduhan terdakwa telah melakukan pencabulan terhadap anak dibawah
umur (Pasal 293 KUHP) dan membiarkan dilakukannya perbuatan cabul terhadap anak-anak (Pasal 82 UU
23/2002).

Dalam kasus di atas, Fasilitator Hukum bersikap responsif terhadap kasus yang dialami perempuan di desa,
terlebih karena menimbulkan keresahan penduduk desa. Ia mulai bergerak aktif mencari bantuan hukum
bagi penyintas, yang diketahuinya belum mendapat pendampingan hukum dari siapapun. Konsultasinya
dengan dosennya semasa kuliah di Fakultas Hukum akhirnya memberinya gagasan untuk menggerakkan
massa perempuan desa sebagai peer presure, yang terbukti mengangkat posisi tawar penyintas sebagai
korban terhadap pelaku yang memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi.

Dilihat dari keberadaannya di desa, peran Fasilitator Hukum lebih bersifat sustained dibanding dengan Aktor
Desa, karena Fasilitator Hukum memiliki tujuan yang spesifik hukum dari keberadaannya di desa, yaitu
untuk melakukan pemberdayaan hukum bagi perempuan desa. Sedangkan peran Aktor Desa lebih bersifat
ad hoc karena bersifat situasional dalam melakukan perannya merujuk kasus ke institusi hukum negara.
Implikasinya, Fasilitator Hukum dapat lebih diandalkan untuk memperkuat akses perempuan desa kepada
sistem hukum negara di banding aktor desa perujuk kasus.

Melalui Aktor Eksternal


Selain kedua aktor intermediasi di atas, penyintas juga dapat mengakses sistem hukum negara melalui
bantuan atau intervensi dari Aktor Eksternal dari luar desa. Beberapa aktor eksternal teridentifikasi melalui
studi ini. Pertama adalah Multi-stakeholder Forum (MSF) yang beranggotakan perwakilan dari KePolisian,
Kejaksanaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pemerintah Daerah, Dinas Tenaga Kerja dan LSM lokal.
Kedua adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lokal. Ketiga
adalah media, termasuk wartawan media massa yang sering meliput berita di desa.

MSF menampung kasus dan melakukan koordinasi

Keberadaan MSF telah turut membuka peluang bagi penyintas untuk mengakses keadilan melalui sistem
hukum negara. Karena tidak hanya dibentuk untuk lebih memahami berbagai permasalahan hukum

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 37
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

perempuan di desa, MSF juga berperan untuk merespon kasus-kasus hukum yang mereka temui di desa,
terutama saat melakukan kunjungan ke desa. Saat mengunjungi desa, MSF secara khusus memberikan
penyuluhan hukum langsung kepada perempuan desa, khususnya anggota PEKKA. Dalam kesempatan
ini, penyintas mendapat peluang untuk menanyakan prospek penyelesaian kasusnya melalui sistem negara.
Sebaliknya, bagi aparat hukum, kesempatan ini juga menjadi peluang untuk “menjemput bola” kasus-kasus
hukum yang membutuhkan pelayanan.

Seorang penyintas yang mengalami kasus perburuhan berkesempatan untuk mengadukan perkaranya
kepada seorang anggota MSF dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Cianjur saat MSF sedang berkunjung ke desa
memberikan penyuluhan hukum. Kasus ditampung dan ditindaklanjuti. Staf Disnaker ini mengunjungi pabrik
obat tempat penyintas bekerja untuk memastikan tidak ada praktek pelanggaran peraturan ketenagakerjaan
di perusahaan tersebut. Fasilitasi ini membawa hasil, perusahaan memberikan uang sejumlah Rp 250 ribu
kepada penyintas sebagai pesangon, dan tidak lama kemudian kembali mempekerjakan penyintas.

Sesama anggota MSF juga saling berkoordinasi untuk memastikan penyintas memperoleh respon optimal
dari sistem hukum negara untuk penyelesaian kasusnya. Dalam kasus perkosaan dua orang anak usia 5
tahun di Brebes, anggota MSF dari Pemda Brebes yang mendengar berita perkosaan tersebut dari seorang
wartawan segera menghubungi anggota MSF dari Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polres Brebes untuk
memastikan apakah kasus sudah dilaporkan ke Polisi dan agar segera ditangani oleh polwan di RPK karena
korbannya adalah anak perempuan. Hubungan yang baik dan intensif yang mulai terjadi diantara para
anggota MSF mendorong terbangunnya koordinasi di antara mereka apabila terjadi kasus-kasus terkait
dengan perempuan.

Box 5. Profil MSF


Multi-stakeholder Forum (MSF) adalah forum dari berbagai pemangku kepentingan untuk kasus-kasus hukum perempuan yang
dibentuk terkait dengan pelaksanaan program WLE. MSF beranggotakan aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama), aparat pemerintah (terutama dari Pemda Propinsi dan Kabupaten serta Dinas Tenaga Kerja), LSM
atau LBH, serta akademisi yang terkait.

Tugas dan fungsi MSF adalah:


1. Memberikan masukan baik untuk materi maupun dalam pelatihan dan penyadaran hukum yang dilakukan oleh
Pendamping Lapangan (PL) dan Kader Hukum PEKKA di desa.
2. Menjadi narasumber dalam pelatihan hukum bagi kelompok perempuan PEKKA di tingkat desa (Kunjungan MSF ke
desa). Dalam kegiatan ini, proses pembelajaran dua arah terjadi, tidak saja perempuan desa belajar materi hukum dari
kegiatan ini, tapi anggota MSF belajar tentang kebutuhan hukum yang spesifik perempuan di desa.
3. Melakukan diskusi rutin MSF mengenai isu perempuan pada umumnya dan isu kekerasan terhadap perempuan.
4. Mendiskusikan pengalaman penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi guna
memperoleh pembelajaran dan menjadikannya materi pelatihan hukum perempuan anggota PEKKA di desa.
5. Membantu memfasilitasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi yang dialami oleh
perempuan.
6. Memberikan dukungan dan masukan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi baik
yang dialami oleh perempuan PEKKA maupun perempuan pada umumnya.

LSM dan LBH memberikan bantuan hukum bagi perempuan desa

Akses perempuan desa terhadap sistem hukum negara juga diperkuat oleh keberadaan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), terutama LBH Perempuan seperti LBH
Apik. Masalahnya, tidak setiap perempuan desa memiliki kesempatan mengakses LBH, terutama karena
ketidaktahuan. Informasi tentang keberadaan LBH masih sangat terbatas di kalangan masyarakat desa.
Beberapa penyintas memiliki akses terhadap LBH karena keberadaan Fasilitator Hukum yang menghubungkan
penyintas dengan pelayanan bantuan hukum LBH Perempuan. Dengan bantuan LBH Perempuan, peluang
penyintas untuk dapat memperoleh keadilan menjadi lebih besar. Tidak hanya merujuk kasus, LBH Perempuan
secara aktif memberikan pendampingan bagi perempuan pencari keadilan. Selain melalui Fasilitator Hukum,
beberapa penyintas dalam studi ini secara kebetulan dapat memanfaatkan pelayanan LBH Perempuan karena
ada keluarga atau kenalan yang tahu keberadaan LBH atau kenal dengan salah seorang staf LBH.

38 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Kasus berikut ini memberikan gambaran tentang bagaimana keterlibatan LBH Apik sangat berperan dalam
menggiring kasus perkosaan yang dialami penyintas, hingga proses penanganannya boleh berlanjut sampai
ke persidangan.

Studi Kasus 5: Kasus perkosaan oleh majikan di Lombok

A (38 tahun) diperkosa oleh B (45 tahun), majikannya yang juga adalah Kepala Dusun dan masih ada hubungan
saudara, sejak tahun 1996 sampai awal tahun 2006. Perbuatan itu dilakukan berulang kali dengan ancaman
kekerasan dan janji akan mengawini A. Awal tahun 2006, A akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepada
Bibinya yang mulai mencurigai A karena tubuhnya seperti orang hamil. Keluarga A mencoba menyelesaikan
perkara secara hukum adat Hindu. Musyawarah keluarga memutuskan mengirim 4 orang utusan untuk menemui
B dan meminta pertanggungjawabannya. Saat itu B mengakui perbuatannya dan mau bertanggungjawab
mengawini A, namun beberapa hari kemudian mengurungkan niatnya karena istrinya tidak setuju. Akhirnya
ayah A melaporkan B ke Polres Lombok Barat pada tanggal 21 Februari 2006 dengan tuduhan perkosaan.
Proses penyidikan cukup alot. Hasil visum menyatakan ada luka lama, sementara pelaku tidak mengakui
perbuatannya. Situasi bertambah buruk saat dalam penyidikan pelaku menuduh korban tidak waras. Seorang
keluarga mengetahui keberadaan LBH Apik Mataram dan meminta bantuan hukum bagi korban. Setelah LBH
Apik terlibat, kasus diproses ulang oleh Polisi, dimasukan sebagai berkas perkara baru pada tanggal 15 April
2006 dengan pelanggaran yang sama, yaitu atas pasal 285 KUHP dan pasal 5 c UU No. 23 Tahun 2004 tentang
KDRT.

LBH Apik terus mendampingi korban selama kasus diproses di Kejaksaan Negeri Mataram. Prosesnya tidak
kalah alot, upaya membawa kasus ke persidangan tertunda hampir setahun disebabkan karena berkas perkara
dianggap tidak lengkap (status P19) dan dikembalikan ke KePolisian hingga 4 kali. Masalahnya, belum
ditemukan adanya bukti pendukung bagi unsur kekerasan dan paksaan, sedangkan hasil visum et repertum
yang menyatakan “adanya luka lama” tidak dapat membuktikan unsur kekerasan tersebut. Korban bahkan
sempat diminta Kejaksaan untuk melakukan tes kesehatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa selama 2 minggu.
Hasilnya korban dinyatakan sehat. Penundaan ini membuat LBH Apik mengorganisasi demo dan hearing di
Kejaksaan Negeri Mataram, hingga pada Maret 2007 Kejaksaan menyatakan status P 21 (berkas lengkap) dan
menyerahkan berkas ke Pengadilan Negeri Mataram. Selama persidangan, LBH Apik juga terus memberikan
pendampingan hukum. Saat persidangan mulai menyudutkan korban dengan mempertanyakan apakah ada
motivasi “suka sama suka” dengan pelaku, LBH Apik sekali lagi mengorganisasi demo dalam bentuk long
march, untuk memberikan dukungan moril bagi korban dan pressure bagi Majelis Hakim untuk menghukum
pelaku. Saat ini kasus sedang dalam proses naik banding ke Pengadilan Tinggi Mataram.

Media: menyuarakan, melapor dan mengawasi kasus

Keterlibatan media dalam beberapa kasus terlihat turut membuka jalan bagi penyintas untuk dapat menikmati
pelayanan sistem hukum negara. Tiga peran media yang dapat ditarik dari pembelajaran studi kasus ini
adalah, pertama, pemberitaan media terbukti dapat menarik perhatian pihak otoritas, termasuk aparat
hukum, aparat pemerintahan maupun anggota DPR/DPRD, untuk memproses kasus dan memberi keadilan
kepada penyintas. Kedua, media dapat mengambil peran sebagai fasilitator yang membawa kasus-kasus
penyintas untuk ditangani oleh sistem hukum negara, terutama saat wartawan melaporkan kasus pidana ke
Polisi. Ketiga, media memiliki peran penting untuk menjamin transparansi dalam proses penanganan kasus
hukum penyintas.

Dalam kasus seorang mantan TKW di Cianjur yang dianiaya oleh majikannya dan mengalami kelumpuhan,
pemberitaan media berhasil mengundang berbagai pihak yang berkewajiban membantu korban. Ketika
TransTV dan ANTV serta harian “Pikiran Rakyat” yang berbasis di Bandung memuat berita mengenai
penyintas, maka pada esok harinya, Kepala Seksi Penta Kerja Disnaker Cianjur, yang kebetulan adalah juga
anggota MSF, datang mengunjungi rumah penyintas untuk menindaklanjuti kasus dan memberi sedikit
bantuan materi. Setelah itu, perusahaan penyalur tenaga kerja (PJTKI) yang mengirimkan penyintas ke Arab
Saudi juga mengunjungi rumah penyintas dan kemudian memproses asuransi kesehatan untuk penyintas,
sehingga penyintas memperoleh penggantian biaya pengobatan.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 39
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Selain melakukan pemberitaan, wartawan yang meliput berita juga dapat langsung merujuk kasus yang
diliputnya ke Polisi. Kasus perkosaan anak di Brebes, yang awalnya ingin diselesaikan oleh otoritas desa
hanya di tingkat desa, akhirnya dilaporkan ke Polisi oleh wartawan yang meliput berita ke desa. Sementara
itu, dalam kasus perkosaan di Brebes dan Lombok, media lebih berperan untuk membuat proses peradilan
lebih transparan, yaitu dengan terus memberitakan kronologis penyelesaian masalah di pengadilan.

2.4. Respon Penegak Hukum


Temuan Utama

• KePolisian: bersikap responsif menangkap dan menahan pelaku perkosaan, namun umumnya masih belum cukup memiliki
kesadaran gender sehingga belum memberikan pelayanan dan perlindungan bagi korban secara optimal, sementara fasilitas
RPK/UPPA masih terbatas.
• Kejaksaan: sudah berusaha menjaring pelaku perkosaan dengan UU PKDRT, namun struktur kelembagaannya menuntut
bukti-bukti yang kuat untuk menahan pelaku kekerasan membuat lembaga ini sulit untuk berpihak kepada perempuan
korban.
• Pengadilan Negeri: saat adanya sensitivitas dan kesadaran gender, hakim dapat memberikan perlindungan terhadap korban
dan menjatuhkan hukuman cukup tinggi pada pelaku perkosaan/percabulan
• Pengadilan Agama: prosedurnya menjamin hak-hak perempuan dalam perceraian dan poligami.

Walaupun keberadaan aktor-aktor intermediasi telah membuka akses penyintas terhadap sistem hukum
negara, namun sejauh mana mereka dapat mengakses keadilan dari proses hukum masih sangat tergantung
pada respon dari penegak hukum.

KePolisian: efektif dalam menangkap dan menahan pelaku


KePolisian cukup responsif menangani kasus hukum penyintas, khususnya pada kasus-kasus pidana seperti
perkosaan dan percabulan. Setiap kali menerima laporan kasus tersebut dari warga ataupun wartawan,
Polisi akan segera turun ke desa mencari kebenaran laporan dan segera mencari dan menangkap pelaku.
Namun dalam memproses kasus-kasus ini, salah satu kendala yang dihadapi adalah pada saat mereka harus
mengantar penyintas menjalani visum et repertum di rumah sakit, karena KePolisian tidak menyediakan
dana untuk itu, sementara penyintas memiliki keterbatasan biaya.

“... kita tidak punya dana untuk membayar visum korban, biasanya diantara kita [Polisi] membayar bersama,
kerapkali ada dana dari atasan, tapi tidak selalu ada,” Polisi kasus perkosaan, di Brebes.

Respon kePolisian masih terbatas pada penangkapan dan penahanan pelaku dan belum secara efektif
memberikan penanganan dan perlindungan bagi penyintas. Pada kasus-kasus KDRT, karena bersifat delik
aduan, Polisi cenderung mengikuti permintaan penyintas sebagai pihak korban yang ingin mencabut
laporannya walaupun kasus KDRT yang dialami oleh penyintas tergolong berat, sehingga tidak dapat
dianggap sebagai suatu delik aduan. Dalam konteks tersebut, terlihat bahwa KePolisian masih cenderung
membiarkan masalah KDRT yang tergolong berat diselesaikan secara kekeluargaan dan musyawarah saja.
Alasan-alasan seperti istri membutuhkan suami sebagai pencari nafkah dan harmoni hubungan keluarga
membuat Polisi mengabaikan isu perlindungan bagi korban.16

16 Katjasungkana dan Damanik (2004, p. 9-10) menjelaskan bahwa hal ini juga disebabkan karena aparat penegak hukum, yaitu
Polisi, penuntut hukum dan hakim, kerap melihat masalah keluarga sebagai masalah yang masuk dalam lingkup hukum privat
(perdata), sehingga bukan merupakan wewenang mereka untuk menyelesaikannya, melainkan institusi lembaga perkawinan sep-
erti Badan Penasehat Perselisihan Perkawinan atau kantor Urusan Agama.

40 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Memberikan pelayanan yang responsif gender

Keberadaan RPK/UPPA telah mengisi kebutuhan penyintas akan penanganan dan perlindungan yang spesifik.
Terutama dalam proses penyidikan, pendekatan yang dipakai lebih sensitif terhadap kebutuhan perempuan,
karena terutama dilayani oleh Polisi wanita dan dengan pendekatan yang dapat membuat perempuan tidak
merasa terintimidasi. Hal ini terlihat dari komentar seorang Polwan RPK/UPPA dalam melakukan penyidikan
kasus perkosaan anak.

“... korban dan pelaku sama-sama masih anak-anak, jadi saat penyidikan kita melakukan pendekatan yang
berbeda, kita tidak pakai pakaian dinas, tapi sipil, lalu kita ajak korban jalan-jalan lihat kolam ikan yang ada
di kantor Polres dan dibelikan jajanan es krim dan buah..”’ Polwan kasus perkosaan, di Brebes.

Keberadaan RPK masih terbatas. Jumlah Polwan yang minim, terutama ditemui di kantor Polisi di tingkat
kecamatan (Polsek), telah membuat layanan untuk perempuan korban kekerasan melalui keberadaan RPK
menjadi minimal. Padahal sebagian kasus kekerasan terhadap perempuan dalam studi kasus ini terjadi di
desa dan dilaporkan ke Polsek. Tanpa keberadaan RPK, aparat Polisi yang umumnya belum memahami
aspek penanganan dan perlindungan korban, tidak dapat memberikan perlindungan yang optimal kepada
korban.

Kejaksaan: membutuhkan bukti yang kuat untuk menjaring pelaku


Dalam penanganan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan, peranan jaksa sangat penting untuk
menentukan apakah suatu kasus dapat dilanjutkan ke tahapan berikutnya (ke persidangan). Begitu pula
dalam menentukan dakwaan dan tuntutan hukuman bagi pelaku. Kasus-kasus pidana dalam studi ini
menunjukkan bahwa tuntutan Jaksa cukup tinggi bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Jaksa juga
telah berusaha menjaring pelaku perkosaan dengan UU PKDRT.

Tabel 7. Tuntutan Jaksa atas kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan
Kasus Pasal Primer yang digunakan Tuntutan Jaksa Vonis Hakim
Incest di Cianjur Ps 81 UU No. 23/2002 & Ps 290 KUHP 14 tahun penjara 10 tahun penjara
Perkosaan anak terbelakang Ps 81 UU No. 23/2002 15 tahun penjara 14 tahun penjara
mental
Perkosaan anak SMA Ps 332 KUHP & Ps 82 UU No. 23/2002 6 tahun penjara 4 tahun penjara
Perkosaan penyanyi usia anak Ps 293 KUHP & Ps 82 UU No. 23/2002 5 tahun penjara 4 tahun penjara
Perkosaan 2 anak Ps 82 UU No. 23/2002 6 tahun penjara 3 tahun penjara
Incest di Lombok Ps 81 UU No. 23/2002 & Ps 285 KUHP 8 tahun penjara 5 tahun penjara
Perkosaan oleh majikan Ps 285 KUHP & Ps 5 UU No. 23/2004 10 tahun penjara Proses kasasi

Studi ini menyingkapkan pula bahwa struktur kelembagaan dari Kejaksaan dapat menyulitkan posisi
Jaksa untuk berpihak kepada korban. Jaksa mendapat tuntutan eksternal maupun internal untuk dapat
memenangkan kasus, sehingga tanpa bukti-bukti yang kuat dan lengkap, Jaksa cenderung tidak akan
melimpahkan kasus ke pengadilan untuk dilakukan persidangan. Seorang Jaksa mengungkapkan hal ini.

“Itu kondite Jaksa, dianggap tidak becus nanti saya. Kalau Jaksa sampai menyidangkan suatu perkara, lalu
ternyata pelaku tidak terbukti bersalah dan dibebaskan, Jaksa akan diperiksa oleh Pengawasan Internal
di Kejaksaan. Koq sampai perkara bebas ini bagaimana menelitinya, bagaimana membuat Rencana
Dakwaannya. Makanya kepada Jaksa harus hati-hati, karena kita harus bisa mempertanggungjawabkan.
Kalau penyidik, begitu berkas dilimpahkan ke Kejaksaan tidak ada tanggungjawab apa-apa lagi. Tanggung
jawab Jaksa itu jadi berat sekali, sudah gajinya kecil, tanggungjawabnya harus ke luar (ke masyarakat) dan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 41
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

ke dalam (ke Kejaksaan).” Jaksa kasus perkosaan, di Lombok

Itu sebabnya, Jaksa akan lebih memiliki keberpihakan kepada korban yang berusia anak. Hal ini terlihat
dalam respon jaksa berbeda dalam kasus perkosaan. Sebagian besar jaksa mempercayai hasil visum
anak perempuan korban kekerasan dan oleh sebab itu mendukung penanganan kasus serta melakukan
tuntutan hukum yang tinggi. Sebaliknya, hasil visum perempuan dewasa sulit untuk dipercaya tanpa adanya
dukungan fakta kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Selain karena kesadaran gender,
keberpihakan Jaksa kepada korban yang berusia anak sangat dilatarbelakangi oleh subyektivitas. Komentar
berikut menjelaskan hal ini.

“...mungkin karena saya memiliki anak perempuan, jadi saya selalu mengajukan tuntutan yang tinggi pada
pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak. Namun saya juga telah beberapa kali mengikuti pelatihan
gender dan sosialisasi mengenai kekerasan dalam rumah tangga...” Jaksa kasus perkosaan, di Cianjur

Kesulitan Jaksa membuktikan unsur kekerasan

Tanpa pendekatan yang melindungi hak korban, pasal-pasal dalam UU PKDRT yang awalnya dirancang untuk
melindungi korban, pada akhirnya dapat berpotensi diterapkan dan dipakai guna melindungi pelaku. Hal
ini dapat terjadi saat Jaksa mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya unsur kekerasan dalam suatu
kasus perkosaan yang dialami oleh penyintas yang berusia dewasa. Unsur kekerasan dalam kasus KDRT
menjadi lebih sulit untuk dibuktikan saat tidak adanya pendekatan yang berpihak kepada korban, sehingga
Jaksa lebih terfokus untuk membuktikan apakah benar pelaku melakukan perbuatan yang dituntutkan
kepadanya, demi melindungi hak dari pelaku tersebut. Akibatnya, Jaksa cenderung untuk lebih berupaya
membuktikan kelemahan dari kesaksian dan alat bukti yang ada, demi memperkuat keyakinan mereka
bahwa seorang pelaku bersalah dan dapat diajukan dakwaan terhadapnya.

“Disinilah kesulitannya untuk membuktikan kasus kekerasan. Satu-satunya pembuktian itu sebetulnya dari
visum, sementara hasil visum menyatakan luka lama, sehingga tanda-tanda kekerasan sulit sekali untuk
dibuktikan... luka lama belum berarti bahwa itu ada kekerasan, padahal pasal 285 KUHP maupun UU PKDRT
menyebutkannya kekerasan seksual.” Jaksa kasus perkosaan, di Lombok.

Pengadilan Negeri: Putusan yang efektif saat hakim memiliki perspektif


gender
Respon pengadilan negeri dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan korban tercatat cukup
positif dalam arti, pertama, rata-rata hukuman yang mereka jatuhkan pada pelaku kekerasan cukup tinggi
(4-14 tahun hukuman penjara) dan kedua, majelis hakim melakukan pertimbangan yang cukup seksama
terhadap kasus kekerasan seksual yang korban dan pelakunya adalah anak-anak. Hal ini ditunjukkan
dengan pertimbangan hukum dan putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim serta upaya hakim dalam
menggali keterangan dari para saksi korban. Hakim dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak
sebagai pelaku juga mempertimbangkan keberadaan saksi dan keterangan yang dikumpulkan oleh lembaga
pendukung seperti BAPAS.

42 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Tabel 8. Hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri atas kasus perkosaan


Korban Pelaku Hukuman
Anak perempuan Ayah 10 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 4 bulan penjara
Anak perempuan retarded Tetangga 14 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 4 bulan penjara
Anak SMA Pengamen 4 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 15 hari kerja
Anak perempuan penyanyi Pengusaha 4 tahun penjara
2 anak perempuan (5 tahun) Anak (12 tahun) 3 tahun penjara, denda Rp. 60 juta subsider 15 hari
Anak perempuan Ayah 5 tahun penjara, denda Rp. 30 juta subsider 4 bulan kurungan

Namun, ada tidaknya kesadaran gender sangat menentukan sejauh mana seorang Hakim dapat memiliki
keberpihakan kepada korban atau tidak. Dalam beberapa kasus, Hakim yang sudah pernah mengikuti
pelatihan gender terbukti lebih memahami pentingnya perlindungan bagi korban. Dalam satu kasus
perkosaan di Cianjur, Hakim turut menghentikan ancaman pelaku terhadap korban, begitu juga pertanyaan-
pertanyaannya tidak memojokkan korban, sehingga korban merasa aman dalam memberikan kesaksian.
Dalam kasus perkosaan terhadap anak yang terbelakang secara mental, Hakim sangat melibatkan keluarga
korban dan bahkan Kader Hukum yang mendampingi dalam proses persidangan. Komentar Hakim di
Brebes menunjukkan hal ini.

“Kebetulan saya dulu sekolah S2 ambil jurusan humaniora. Disitu saya belajar kalau KUHAP kita itu kan
semua pasal melindungi pelaku... akhirnya saya berpikir, walau UU-nya tidak ada, mumpung saya punya
kasus ini.... saya mau bangun kepedulian terhadap korban.” Hakim kasus perkosaan , di Brebes.

Pengadilan Agama: prosedurnya menjamin hak perempuan


Kerja Pengadilan Agama yang prosedural terbukti telah membuka akses perempuan untuk memperoleh hak-
haknya atas proses dan keputusan kasus perceraian, termasuk juga saat suami mengajukan permohonan
poligami. Kasus-kasus perceraian yang dibawa ke Pengadilan Agama umumnya dapat diselesaikan secara
efektif, terutama karena para aparat hukumnya melakukan tugasnya secara prosedural dan dalam kasus ini
terlihat bebas suap serta korupsi.

Mengapa? Pertama, karena proses peradilan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk
mengemukakan pendapat dan membela dirinya. Kedua, karena proses peradilan menguji dengan seksama
alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh suami atau istri, serta alasan poligami yang diajukan suami,
sehingga dapat menjamin keputusan yang adil bagi perempuan. Apabila seorang suami ingin menjatuhkan
talak kepada istrinya, maka sesuai dengan Pasal 131 KHI, PA akan: 1) mempelajari permohonan suami, 2)
meminta penjelasan dari istri, 3) menasehati kedua pihak dan 4) menguji alasan perceraian. Setelah itu
barulah keputusan dibuat. Prosedur yang kurang lebih sama juga diberlakukan saat suami mengajukan
permohonan poligami. Kasus di bawah menjadi salah satu contoh.

Studi Kasus 6: Kasus poligami dan perceraian di Cianjur

Setelah 20 tahun menikah B (57 tahun) meminta ijin kepada istrinya A (45 tahun) dan anak-anaknya untuk
menikah lagi dengan C. Walau awalnya keberatan, akhirnya A dan anak-anak mau mengijinkan dengan
syarat bahwa pernikahan itu harus dilakukan di bawah tangan dan B tidak diperkenankan memiliki anak
dari C. Namun C menginginkan status sebagai istri yang sah secara hukum. Akhirnya pada 22 Mei 2000,
B mengajukan permohonan poligami ke Pengadilan Agama (PA) Cibadak. Alasannya karena A tidak sehat
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan biologisnya, ada surat ijin dari A sebagai istrinya, dan sanggup
berlaku adil terhadap kedua istrinya kelak. Melalui 5 kali persidangan, Majelis Hakim melakukan pengujian-
pengujian atas alasan yang diajukan B, termasuk dengan menghadirkan saksi Amil desa dan ketua RT. Akhirnya
pada 12 Juli 2000, PA Cibadak menolak permohonan tersebut, karena mendapati A masih sehat, penghasilan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 43
Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

B tidak dapat mencukupi kebutuhan dua keluarga, dan saat persidangan A mengaku telah menandatangani
kertas kosong yang kemudian digunakan oleh B sebagai surat pernyataan A memberi ijin suami berpoligami.
Merasa penolakan Majelis Sidang disebabkan karena kesaksian A di pengadilan yang tidak benar tentang
tandatangan di atas kertas kosong, seminggu setelah itu B langsung mengajukan gugatan cerai atas A ke PA
Cibadak, dengan alasan istri tidak sanggup melayani kebutuhan suami. Merasa rumah tangganya tidak bisa
diselamatkan lagi, A tidak membela diri saat persidangan. Setelah 2 kali sidang, pada 18 September 2000 PA
Cibadak meresmikan perceraian korban dan suaminya.

Sebagaimana pengadilan perkara perdata, Pengadilan Agama bertindak pasif dan bergantung kepada para
pihak yang berperkara. Kasus-kasus perceraian umumnya tidak memakan waktu lama, kecuali jika ada pihak
yang: 1) mengajukan permohonan pemeriksaan perkara di luar soal perceraian, 2) mengajukan keberatan,
atau 3) menggunakan pengacara. Panitera di Pengadilan Agama juga aktif berperan memberikan informasi
hukum kepada penyintas yang ingin menyelesaikan perkaranya melalui institusi hukum ini. Manfaat ini
juga dinikmati oleh para Kader Hukum yang seringkali mendampingi penyintas mengurus perceraian ke
Pengadilan Agama.

2.5. Dampak Kasus Terhadap Penyintas


Temuan Utama

• Kerugian ekonomi dialami penyintas. Memiliki kasus hukum juga berarti kerugian ekonomi bagi penyintas, karena harus
mengeluarkan biaya untuk mengakses hukum dan menanggung biaya akibat tidak efektifnya sistem hukum menyelesaikan
sengketa.
• Dampak sosial juga ditanggung oleh penyintas. Memiliki kasus hukum juga memberikan dampak sosial cukup besar
kepada penyintas, seperti memperoleh stigma sosial serta mengalami luka fisik dan trauma psikologis yang tidak dapat
terukur secara materi.

Berhasil tidaknya kasus hukum penyintas diselesaikan oleh sistem hukum yang ada ternyata membawa dampak
yang lebih luas dari hanya sekedar pemenuhan hak-hak hukum mereka. Hal tersebut turut mempengaruhi
status sosial ekonomi dirinya dan keluarganya, bahkan saat kasus hukumnya berhasil diselesaikan. Hal
ini mengindikasikan bahwa memperoleh keadilan dari sistem hukum negara maupun non negara baru
merupakan langkah awal penyintas mengakses keadilan sebagaimana yang mereka butuhkan.

Kerugian ekonomi

Kerugian ekonomi diderita penyintas, pertama saat mereka harus mengeluarkan biaya untuk memproses
kasus hukumnya, terutama melalui sistem hukum negara. Biaya tersebut mencakup biaya transportasi,
biaya perkara, biaya pengacara atau Lebe/Amil, bahkan biaya pengobatan. Kedua adalah saat penyelesaian
yang ditawarkan oleh jalur penyelesaian kasus hukum, baik sistem hukum negara maupun non negara,
tidak sepenuhnya mempertimbangkan hak-hak penyintas atas aset dan sumberdaya ekonomi. Contohnya
adalah saat Lebe/Amil tidak berhasil memediasi pembagian harta gono gini atau pemberian nafkah oleh
suami kepada keluarga saat memfasilitasi perceraian bawah tangan. Atau saat Pengadilan Negeri gagal
memperhatikan kebutuhan penyintas akan biaya pengobatan akibat kekerasan seksual yang dialami. Pada
kasus perkosaan dua orang anak usia 5 tahun di Brebes, dalam enam bulan pertama, orangtua penyintas
masing-masing telah mengeluarkan biaya sekitar Rp 5 juta rupiah untuk pengobatan anak mereka.

Dampak sosial

Dampak sosial sudah diderita penyintas umumnya sejak awal mengalami kasus. Stigma sosial negatif
seringkali melekat pada penyintas sebagai korban perkosaan. Stigma sosial juga melekat kepada kebanyakan
perempuan kepala keluarga sebagai janda-janda yang selalu dicitrakan negatif.

44 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 2. Pembelajaran:
Memahami Pengalaman Perempuan Desa Mencari Keadilan

Tabel 9. Dampak Sosial pada Penyintas


Kasus Konsekuensi sosial
Perkosaan oleh ayah kandung Penyintas dan pelaku diusir dari desa
Perkosaan anak SMA Penyintas diminta mengundurkan diri dari sekolah
Perkosaan PRT oleh majikan Penyintas diperiksa kewarasannya di RS Jiwa selama 2 minggu
Perkosaan TKW dan Trafficking Penyintas dan suami dituntut warga untuk menikah ulang

Dampak fisik dan psikologis

Kerugian secara fisik dan psikologis juga dialami oleh beberapa penyintas, seperti luka fisik dan trauma
psikologis yang tidak mudah untuk disembuhkan. Pada kasus-kasus perkosaan, umumnya penyintas
mengalami luka pada alat reproduksi. Beberapa penyintas yang mengalami kekerasan saat bekerja sebagai
TKW mengalami berbagai luka fisik dan sakit seperti lumpuh sebagian tubuh, pendengaran berkurang,
sakit kepala berkepanjangan, serta kehilangan gigi depan dan kuku jari tangan. Sementara itu, sebagian
penyintas yang bercerai dan ditinggal suaminya bertekad tidak akan menikah lagi.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 45
Bagian 3

Best Practice:
Peluang Perempuan Desa
Mengakses Keadilan
Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Pengantar
Dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini memperlihatkan bahwa penyintas memiliki
peluang untuk mengakses keadilan. Kapan peluang itu ada? Pertama, saat mereka memiliki akses kepada
pelayanan hukum, yaitu jalur-jalur penyelesaian kasus hukum yang ada. Kedua, saat mereka dapat memiliki
akses kepada keadilan sosial (social justice), keadilan yang lebih luas daripada keadilan secara hukum (legal
justice).

Kasus di bawah memperlihatkan hal ini. Dalam kasus incest yang dialami oleh seorang penyintas di Lombok,
sistem hukum negara telah cukup efektif menangani kasus hukum tersebut, walau sangat sarat dengan
latar belakang relasi kuasa yang timpang antara penyintas dengan pelaku. Namun, walaupun kasus dapat
diselesaikan hingga keluarnya putusan Pengadilan Negeri atas pelaku, sehingga jika dilihat dari aspek
hukum semata, penyintas telah dapat mengakses keadilan, namun ia tetap tidak dapat diterima kembali
oleh keluarga dan masyarakat desanya. Dengan demikian, perempuan desa mendefinisikan akses kepada
keadilan dalam pengertian yang seutuhnya, yaitu keadilan sosial.

Studi Kasus 7: Kasus incest di Lombok

A (16 tahun) diperkosa oleh ayah kandungnya, B (60 tahun), berkali-kali sejak akhir tahun 2005 hingga
pertengahan tahun 2006 dengan ancaman kekerasan dan penelantaran, setahun setelah ibunya meninggal
dunia. Akhirnya A hamil. B sempat mencoba menggugurkan kandungan tapi tidak berhasil. A juga tidak mau
diungsikan ayahnya ke luar desa. Akhirnya B berjanji mencarikan pria untuk menikahi A. Tapi keluarga yang
tinggal bertetangga dengan mereka segera mencium kehamilan A dan setelah didesak bibinya, akhirnya A
mengaku bahwa hal itu adalah hasil perbuatan B. Akhirnya berita tersebar dan warga mengamuk mengetahui
hal tersebut, hampir berhasil membakar rumah A dan B karena mereka dianggap telah mencemari nama baik
kampung. Keluarga dan warga bahkan turut menyalahkan A atas peristiwa itu, karena A tidak segera mencari
pertolongan atau melarikan diri. A mengalami trauma yang berat akibat perlakuan massa terhadap dirinya.
Kepala dusun mengamankan A dan B dan malam itu juga, pada 28 Juni 2006, melaporkan B ke Polsek, di
Lombok Barat. Saat disidik oleh Polisi, A tidak didampingi oleh pendamping hukum. Esoknya Polisi mengirim
A menjalami visum et repertum di Puskesmas, hasil menunjukkan telah ada kekerasan seksual secara paksa dan
ada kehamilan usia 20-24 minggu.

Selang beberapa hari, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang dilapori kasus oleh istri
Camat berinisiatif membawa A ke luar desa untuk ditampung di Shelter milik Dinas Kesejahteraan Sosial dan
Pemberdayaan Perempuan NTB yang berlokasi di Panti Lanjut Usia (Lansia) Terlantar. Di Shelter, A ditangani
oleh Dokter, Psikolog, Polwan RPK, Pekerja Sosial dan unsur agama, yang merupakan unsur dari pelayanan
terpadu bagi penyintas kekerasan terhadap perempuan di Mataram. Hampir 3 bulan A hanya mengurung diri
di kamar dan tidak mau bicara akibat trauma yang dihadapinya. Pekerja Sosial dan Polwan dari RPK Polres
Mataram selalu mendampingi A selama proses penyidikan dan persidangan. Hal ini sangat membantu A,
karena keluarga dari pihak B terus menerus mengintimidasi saat bertemu di Pengadilan. Polwan RPK bahkan
menuntut agar diperbolehkan masuk ke ruang sidang dan berhasil meminta Hakim untuk mengutus pelaku
keluar ruang sidang saat akan mengajukan pertanyaan ke saksi penyintas, karena A sangat ketakutan melihat
B di ruang sidang sehingga tidak berani menjawab. B dikenai pasal 285 KUHP dengan hukuman maksimal
12 tahun dan pasal 81 dan 82 UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan hukuman maksimal
15 tahun. Proses persidangan berjalan cukup lancar, pelaku mengakui semua perbuatannya. Pada Rabu
8 Nopember 2006, B dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp. 30 juta atau kurungan selama 4
bulan, dengan pertimbangan antara lain adalah usianya yang sudah tua. Pada bulan Oktober, A melahirkan
anaknya, walaupun beberapa kali ia mencoba menggugurkan kandungannya saat berada di Shelter. A tidak
menginginkan anaknya, demikian juga keluarganya di kampung, sehingga akhirnya anak itu diadopsi orang
lain. Setelah melahirkan, A tidak lagi tinggal di Shelter, tapi tinggal dan bekerja di kota Mataram. Ia tidak
mau kembali ke kampungnya, tahu bahwa ia tidak diterima lagi oleh masyarakat, bahkan keluarganya. Kepala
Dusun juga menjelaskan bahwa warga tidak menginginkan A maupun B kembali ke kampung, karena mereka
dianggap telah mencemarkan nama baik kampung.

48 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Berangkat dari gambaran kasus di atas, bagian ini kemudian akan menampilkan keberhasilan (best practice)
penyintas dalam mengakses keadilan. Melalui best practice tersebut kemudian akan ditarik pembelajaran
tentang bagaimana penyintas dapat mempertahankan kepentingannya dan memperoleh pemenuhan hak-
hak hukumnya di tengah kondisi-kondisi yang tidak mendukung dan berpihak.

Bagian pertama akan mengulas bahwa akses terhadap keadilan, dalam konteks keadilan secara hukum,
setidaknya ditentukan oleh dua faktor, yaitu 1) aksesibilitas penyintas terhadap sistem hukum yang ada
(negara atau non negara) dan 2) efektivitas dari sistem hukum tersebut dalam menyelesaikan perkara hukum
penyintas dan memberikan hasil penyelesaian kasus yang adil. Studi ini menemukan bahwa aksesibilitas
dan efektivitas sistem hukum sangat menentukan sejauh mana penyintas dapat memperoleh penyelesaian
kasus hukum yang adil melalui sistem hukum yang diaksesnya. Selanjutnya, bagian kedua akan mengulas
kebutuhan penyintas untuk dapat mengakses keadilan dalam pengertian yang lebih luas, yaitu keadilan
sosial.

3.1. Aksesibilitas dan Efektivitas Sistem Hukum


Temuan Utama

• Sistem hukum negara efektif. Sistem hukum negara terbukti lebih efektif dalam menghasilkan keputusan yang adil atas
kasus hukum yang dialami penyintas, namun aksesibilitasnya masih rendah.
• Pemberdayaan hukum membuka akses. Proses pemberdayaan hukum di desa membantu penyintas mengakses sistem
hukum negara. Proses tersebut meliputi 1) penyadaran hukum bagi perempuan desa yang kemudian menciptakan demand
bagi sistem hukum negara, 2) pelayanan bantuan hukum melalui keberadaan Fasilitator Hukum di desa, dan 3) membangun
jaringan antara penduduk desa dengan aparat penegak hukum di tingkat kabupaten/propinsi sehingga aparat dapat responsif
terhadap isu-isu hukum perempuan di desa.

Akses terhadap sistem hukum negara atau non negara menjadi faktor penting yang menentukan akses
penyintas terhadap keadilan. Saat penyintas dapat mengakses sistem hukum yang ada, ia melangkah satu
tahap dalam mengakses keadilan. Namun dua jalur sistem hukum yang dapat di akses perempuan desa,
negara dan non negara, memiliki tingkat aksesibilitas dan efektivitas yang berbeda. Suatu sistem hukum
idealnya memiliki aksesibilitas dan efektivitas yang tinggi. Semakin tinggi tingkat aksesibilitas berarti semakin
perempuan desa dapat menggunakan sarana yang diberikan oleh institusi penyelesaian kasus hukum
tersebut. Sementara semakin tinggi tingkat efektivitas berarti semakin perempuan desa dapat memperoleh
keputusan yang adil atas penyelesaian kasus hukumnya, yaitu tidak memihak, dapat diselesaikan dalam
waktu relatif singkat dan dengan biaya yang terjangkau.17

Studi ini mendapati bahwa sistem hukum non negara menawarkan aksesibilitas yang tinggi kepada perempuan
desa yang memiliki kasus hukum, karena relatif jauh lebih mudah di akses.18 Namun di lain pihak, efektivitas
kerjanya dalam menghasilkan keputusan yang adil bagi perempuan desa korban kekerasan dan diskriminasi

17 Definisi tentang penyelesaian sengketa yang efektif merujuk pada strategi akses kepada keadilan dari Justice for the Poor, Bank
Dunia “The aim of the Justice for the Poor program is to support poor Indonesian communities to obtain fair and effective dispute
resolution, through a time-efficient, unbiased and humane procedure.”

18 Hal ini mengkonfirmasi hasil temuan studi Village Justice in Indonesia (Bank Dunia, 2004, p. 27) dan laporan Forging the Middle
Ground: Engaging Non-State Justice in Indonesia (Bank Dunia, 2008, p. 37-40), yaitu bahwa penduduk desa umumnya lebih
memilih institusi hukum non negara di desa untuk penyelesaian kasus hukumnya dengan alasan karena 1) lebih mudah, cepat, dan
murah, 2) dianggap lebih menjaga kerukunan warga dan menghindari rasa malu terhadap orang luar, 3) sistem peradilan negara
dianggap korup dan tidak dapat dipercaya, dan 4) adanya ketakutan terhadap hukum yang dipandang sebagai alat negara yang
menekan.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 49
Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

terhadap perempuan lebih rendah.19 Beberapa kasus memperlihatkan bahwa sistem hukum non negara di
desa cenderung untuk melanggengkan hubungan kekuasaan yang ada di desa maupun antara laki-laki dan
perempuan. Kasus-kasus tersebut juga memperlihatkan bahwa sistem ini tidak efektif dalam menangani
masalah hukum perempuan, terutama perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan, karena kurang dapat
melindungi hak-hak penyintas.

Sebaliknya, walaupun tingkat aksesibilitasnya rendah, sistem hukum negara memiliki efektivitas kerja yang
lebih baik, karena kasus-kasus dapat diproses dan diselesaikan secara hukum. Bahkan beberapa kasus
menunjukkan bahwa sistem ini responsif atas kepentingan perempuan. Aksesibilitas dan efektivitas
masing-masing sistem tersebut pada akhirnya sangat menentukan sejauh mana keadilan dapat diraih oleh
penyintas.

Tabel 10. Kondisi sistem hukum non negara dan negara bagi perempuan desa
Sistem Hukum Non Negara Sistem Hukum Negara
Aksesibilitas Lebih mudah di akses Lebih sulit di akses
Efektivitas lemah cukup efektif

1. Sistem Hukum Negara Efektif


‘Negara harus mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak menggunakan pertimbangan
kebiasaan, tradisi atau agama untuk menghindari diri dari tanggungjawab untuk menghapuskannya.
Negara harus mengupayakan, dengan segala upaya yang memadai serta tanpa tunda-tunda, kebijakan
untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, termasuk dengan mengembangkan sanksi-sanksi
pidana, perdata, ketenagakerjaan serta saksi administratif dalam peraturan-perundangan domestik guna
menghukum dan menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang dialami perempuan korban kekerasan.’
Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan dan Diskriminasi terhadap
Perempuan.20

Beberapa kasus yang diteliti dalam studi ini memperlihatkan bahwa sistem hukum negara dapat menjamin
penyelesaian kasus hukum yang cukup adil bagi penyintas karena terlihat dapat menjamin hak-hak dan
memenuhi kepentingan-kepentingan mereka. Dalam kasus-kasus tersebut, penyintas dapat lebih memiliki
akses terhadap keadilan saat kasus hukumnya diselesaikan melalui sistem hukum negara.

Dalam studi ini, efektivitas sistem hukum negara dalam menjamin penyelesaian kasus hukum yang adil bagi
penyintas terutama terlihat pada kasus-kasus perkosaan dan perceraian. Pada beberapa kasus perkosaan
yang korbannya adalah perempuan usia anak, Jaksa maupun Hakim berusaha melindungi hak penyintas
dengan memberi tuntutan dan vonis yang cukup berat. Sementara seluruh kasus perceraian dalam studi
ini dapat diselesaikan dan perempuan menerima legalitas perceraian mereka. Beberapa penyintas bahkan
menerima bagian harta gono gini, ganti rugi masa iddah, dan nafkah dari suami. Sementara itu, pada kasus
KDRT sistem hukum negara masih belum cukup efektif menyelesaikan kasus hukum. Walau demikian, studi
ini memperlihatkan bahwa Polisi berhasil memberikan ‘efek jera’ kepada pelaku. Tidak demikian halnya
pada kasus-kasus KDRT yang ditangani oleh sistem hukum non negara desa, karena nasehat-nasehat aparat
desa tidak memberikan sanksi dan efek jera apapun kepada pelaku.
Tidak terpengaruh oleh relasi kuasa yang timpang

19 Temuan serupa diperoleh dari studi Village Justice in Indonesia (2004) dan laporan Forging the Middle Ground: Engaging Non-
State Justice in Indonesia (Bank Dunia, 2008). Perlu diperhatikan juga bahwa dalam 4 kasus ini insitusi hukum non negara berperan
sebagai institusi penyelesaian sengketa, sementara dalam kasus-kasus lainnya, beberapa tokoh institusi hukum non negara telah
berfungsi sebagai local intermediaries, yaitu merujuk kasus hukum kepada lembaga hukum negara di luar desa.
20 Dikutip dari Katjasungkana, Nursyahbani dan Mumtahanah, Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan (2002), LBH
Apik, Jakarta, hal. xx-xxi.

50 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Hal pertama yang dapat menjelaskan mengapa sistem hukum negara efektif adalah karena sistem ini tidak
terpengaruh oleh relasi kuasa yang timpang antara penyintas dan pihak pelaku atau lawan. Sebagaimana
telah dibahas dalam Bagian 2 laporan ini, posisi penyintas umumnya subordinat dan lemah terhadap pelaku
atau pihak yang bersengketa dengannya, yang memiliki posisi sosial dominan, yaitu suami, ayah, majikan/
Kepala Desa atau laki-laki dewasa. Keberadaan sistem hukum negara yang berlokasi di luar desa membuat
aparat penegak hukum tidak terpengaruh dengan pola-pola relasi kekuasaan dan hubungan perkenalan
yang ada di desa. Sementara sistem hukum non negara di desa kerap tidak berdaya bersikap “independen”
terhadap relasi kekuasaan di desa, karena nilai-nilai sosial budaya yang menghasilkan relasi kuasa yang
timpang tersebut juga mempengaruhi sistem hukum non negara tersebut.

Substansi dan struktur hukum menunjang

Dua faktor lain yang dapat menjelaskan mengapa sistem hukum negara efektif dalam menyelesaikan kasus-
kasus perkosaan dan perceraian adalah, pertama, sistem ini diperlengkapi dengan substansi hukum yang
secara khusus melindungi hak dan kepentingan perempuan, terutama melalui keberadaan UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU
Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 dan pasal-pasal tentang perkosaan dan percabulan dalam KUHP.
Kedua, sistem ini juga didukung oleh struktur hukum, yaitu aparat hukum, yang terus diperlengkapi untuk
memberikan perlindungan hak dan kepentingan perempuan, yaitu dengan keberadaan unit RPK/UPPA di
KePolisian dan pelaksanaan berbagai pelatihan yang bertujuan untuk membangun kesadaran gender aparat
penegak hukum.

Dalam beberapa kasus, sistem hukum negara juga terbukti efektif mengeksekusi hasil keputusannya.
Misalnya, pelaku-pelaku perkosaan telah masuk kedalam penjara; suami PNS telah memberikan ganti rugi
masa iddah sebesar Rp 3.5 juta dan menyerahkan dua pertiga gajinya kepada istri dan dua orang anaknya
setiap bulannya; dan juga pembagian harta gono gini akibat perceraian. Sementara itu, dua orang penyintas
yang mengakses sistem hukum non negara untuk kasus perceraian dan perkosaan memperlihatkan bahwa
kapasitas eksekusi sistem hukum non negara lemah. Seorang penyintas tidak pernah menerima pembagian
harta gono gini dari suaminya, walaupun suami telah membuat surat pernyataan pembagian harta tersebut
dihadapan Amil yang memfasilitasi perceraiannya. Pelaku perkosaan di Lombok juga mengelak dari
keputusan musyawarah keluarga besar secara adat Hindu yang memutuskan untuk mengawinkan pelaku
dan penyintas sebagai penyelesaian kasus, tanpa mendapat sanksi apapun.

Ada tidaknya kesadaran gender turut menentukan

“...mungkin karena saya memiliki anak perempuan, jadi saya selalu ‘gemes’ dengan pelaku kekerasan seksual terhadap
anak-anak. Namun saya juga telah beberapa kali mengikuti pelatihan gender dan sosialisasi mengenai kekerasan dalam
rumah tangga...” Jaksa kasus perkosaan , di Cianjur

Beberapa kasus perkosaan menunjukkan bahwa efektivitas sistem hukum negara antara lain turut
dipengaruhi oleh kapasitas aparat penegak hukum yang sudah mulai responsif terhadap isu-isu gender dan
hak-hak perempuan. Kesadaran gender dan isu-isu hukum perempuan telah membuat aparat memberikan
perhatian dan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Mereka pun lebih peka untuk melihat
kebutuhan penyintas untuk dilindungi selama proses penyidikan dan persidangan. Jaksa dan Hakim yang
telah memiliki kesadaran gender umumnya memiliki rasa keberpihakan yang cukup tinggi kepada penyintas,
terutama yang masih berusia anak. Hal ini terlihat dari tuntutan dan vonis mereka yang cukup tinggi kepada
terdakwa. Sementara itu Polwan RPK/UPPA, menggunakan pendekatan khusus dalam menginterogasi
penyintas, yaitu agar tidak justru membuat penyintas merasa takut dan tertuduh.

Absennya kesadaran gender pada aparat hukum terbukti sangat mempengaruhi efektivitas kerja sistem
hukum negara, karena bias gender ini turut mempengaruhi pengambilan keputusan aparat hukum. Hal ini
terlihat pada kasus perkosaan yang dialami perempuan dewasa dan perempuan dengan profesi penghibur
(penyanyi dangdut) dalam studi ini. Penyintas dewasa menerima risiko adanya praduga bahwa kejadian

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 51
Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

tersebut dilakukan atas dasar ‘suka sama suka.’ Sementara, sebagai penghibur, walaupun masih berusia
anak (16 tahun), harus menanggung ‘tuduhan’ aparat bahwa perkosaan sudah menjadi resikonya, karena
anggapan bahwa biasanya penghibur adalah bukan ‘wanita baik-baik.’ Konsekuensinya, proses penyidikan
menjadi sangat panjang, kepentingan penyintas terabaikan, bahkan keputusan tidak optimal. Kasus
perkosaan pada penyintas dewasa dilanjutkan dengan proses naik banding, sementara pelaku perkosaan
atas penyintas yang berprofesi penghibur hanya divonis 4 tahun penjara. Ungkapan Jaksa di bawah
memperlihatkan adanya bias gender tersebut .

“Kalau umur udah 40 tahun kan kita kadang berpikir, apa benar dipaksa... kan menjadi tanda tanya... Kalau
korban bilangnya perkosaan itu hampir rutin, tapi itukan katanya. Sekarang kalau kita berhubungan suka
sama suka, itupun nanti visumnya akan berbunyi luka lama, walaupun kita tidak mengalami paksaan atau
kekerasan. ” Jaksa kasus perkosaan PRT, di Lombok.

Tekanan sosial mendorong akuntabilitas

Dalam beberapa kasus, efektivitas sistem hukum negara juga terlihat saat ada tekanan sosial terhadap proses
penanganan kasus. Tekanan sosial ini membuat sistem lebih akuntabel dalam mempertanggungjawabkan
penanganan kasus. Dalam kasus perkosaan di Brebes dan Lombok, tekanan sosial ini datang dari pihak
masyarakat secara langsung, yaitu melalui: 1) surat dari masyarakat kepada aparat penegak hukum untuk
memproses kasus dan menghukum terdakwa dengan adil, 2) berbagai bentuk aksi demo atau unjuk rasa
yang dilakukan masyarakat dan LSM/LBH terkait, serta 3) permohonan ‘dengar pendapat’ (hearing) antara
massa dan aparat penegak hukum. Selain itu, tekanan sosial juga datang dalam bentuk pemberitaan
media tentang suatu kasus, termasuk tuntutan pihak otoritas daerah seperti anggota DPRD agar perkara
diselesaikan dengan adil. Bentuk kedua ini tidak hanya terlihat efektif pada kasus perkosaan, tetapi juga
kasus penipuan dan kekerasan yang dialami TKW.

Tekanan sosial ini terbukti telah membuat Polisi, Jaksa maupun Hakim pada kasus-kasus terkait lebih
memperhatikan hak dan kepentingan penyintas. Para Hakim pada kasus-kasus perkosaan di Brebes dan
Lombok mengakui bahwa tekanan sosial itu telah memberi pesan peringatan tersendiri bagi mereka agar
memproses kasus sebaik-baiknya dan memberikan keputusan yang adil. Sementara bagi Jaksa kasus
perkosaan di Lombok, tekanan sosial tersebut memberi pesan agar kasus perlu dilanjutkan ke persidangan.
Tekanan sosial melalui media juga terbukti telah membuat perusahaan penyalur (PJTKI) bertindak mengurus
pengembalian gaji dan penggantian biaya pengobatan bagi beberapa penyintas dalam studi ini.

Keterbukaan terhadap jaringan hukum mempengaruhi

Sistem hukum negara juga efektif membuka akses perempuan terhadap keadilan karena memiliki keterbukaan
untuk berjejaring dengan para pemangku kepentingan lainnya. Beberapa kasus memperlihatkan bahwa pada
saat aparat hukum terbuka untuk bekerjasama dengan Fasilitator Hukum di desa, kepentingan penyintas
atas perlindungan dapat lebih terjamin dan proses penanganan kasus dapat lebih efektif. Beberapa kasus
perkosaan di Cianjur memperlihatkan bahwa saat Kader Hukum berperan aktif mendampingi penyintas
selama proses penyidikan dan persidangan, Polisi, Jaksa maupun Hakim menjadi terbantu dalam menjalankan
tugasnya mencari kebenaran dan membuat keputusan. Sebagai contoh, pada kasus perkosaan anak
terbelakang mental di Cianjur, Hakim mengijinkan Kader Hukum masuk ke dalam ruang sidang untuk
mendampingi penyintas. Pendampingan tersebut telah membantu Hakim dalam menggali keterangan
dari penyintas yang mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi. Sementara itu, tanpa keterbukaan
untuk bekerjasama, penyelesaian kasus juga akan semakin tertunda, seperti pada kasus perkosaan PRT oleh
majikan di Lombok. Seorang pengacara dari LSM mengeluhkan hal ini:

“Kadang ada semacam seperti salah paham dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena koq teman-teman
di Kejaksaan menganggap kita ini bukan sebagai “partner”-nya. Padahal kita ini kan di pihak korban...
Banyak sekali contoh kasus yang kalau tidak dikawal tidak akan berhasil. Contohnya ada kasus yang sudah

52 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

bertahun-tahun... Tapi buktinya begitu ditelusuri, ada kerjasama antara penyidik, JPU, dan Apik, tidak hanya
lepas-lepas begitu saja, mencari kekurangan-kekurangannya, akhirnya terdakwa bisa sampai dihukum 15
tahun, itu kan ngga main-main.” Pengacara LSM kasus perkosaan , di Lombok.

2. Pemberdayaan Hukum Meningkatkan Aksesibilitas Sistem Hukum Negara


Walaupun beberapa kasus memperlihatkan sistem hukum negara efektif dalam menyelesaikan kasus,
aksesibilitasnya terbatas. Studi ini memperlihatkan bahwa rendahnya aksesibilitas sistem hukum negara
dapat mulai teratasi saat adanya suatu mekanisme pemberdayaan hukum yang melakukan pemberdayaan
di tingkat akar rumput tetapi juga memperkuat kapasitas institusi hukum negara untuk responsif terhadap
kebutuhan masyarakat akar rumput tersebut. Kondisi ini diperlukan untuk memastikan penyintas dapat
sadar hukum dan kemudian bertindak mengakses sistem hukum negara yang dapat memberikan keadilan
atas penyelesaian kasusnya.

Pentingnya penyadaran hukum untuk membuka akses ke sistem hukum negara

Rendahnya kesadaran hukum penyintas menjadi hambatan utama mereka untuk mengakses sistem hukum
negara. Beberapa kasus dalam studi ini memperlihatkan bahwa proses penyadaran hukum yang dilakukan
oleh Fasilitator Hukum di desa, yaitu sebagai kegiatan dari program pemberdayaan hukum PEKKA, terbukti
efektif meningkatkan kesadaran hukum perempuan desa, terutama berkaitan dengan hal-hal perkawinan
dan perceraian secara legal serta kekerasan dalam rumah tangga. Kasus-kasus tersebut juga memperlihatkan
bahwa penyintas dapat mengakses sistem hukum negara saat mereka mulai sadar hukum, yaitu saat mereka
menyadari bahwa agar hak dan kepentingannya dapat terjamin, kasusnya perlu diselesaikan secara hukum
negara.

Proses penyadaran hukum umumnya berlangsung di tingkat desa, melalui berbagai kegiatan, baik yang
bersifat formal seperti pertemuan-pertemuan PEKKA, pengajian dan PKK, maupun bersifat informal seperti
saat santai berkumpul bersama tetangga atau bekerja di sawah. Saat penyintas mengerti akan hak-hak
hukumnya dan bentuk-bentuk praktek kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, mereka mulai
dapat mengidentifikasi perkara yang mereka hadapi sebagai suatu kasus hukum. Pada saat inilah kebutuhan
terhadap sistem hukum negara untuk menyelesaikan kasusnya muncul. Hal ini terlihat pada kasus-kasus
perceraian, penipuan dan kekerasan terhadap TKW serta perburuhan.

Uniknya, beberapa penyintas menerima proses penyadaran hukum tidak secara langsung dari Fasilitator
Hukum desa, tetapi justru dari informasi yang terus menyebar ke seluruh penjuru desa. Seorang penyintas
yang mengalami KDRT di Lombok secara tidak langsung mendengar dan terlibat dalam obrolan warga
tentang informasi-informasi hukum yang mereka terima dari Fasilitator Hukum, antara lain adalah bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindak pidana. Kesadaran hukum ini akhirnya membuat
penyintas melaporkan suaminya ke Polisi setelah mengalami penganiayaan cukup berat. Dengan demikian,
penyadaran hukum merupakan hal pertama yang dibutuhkan oleh perempuan desa untuk mengakses
keadilan, walau adanya informasi hukum tidak selalu menjamin akan adanya tindakan hukum.

Pada beberapa kasus lainnya, terlihat bahwa informasi hukum sebatas pengetahuan akan hak-hak hukum
saja seringkali tidak cukup untuk membuat penyintas bertindak mencari pertolongan hukum, terutama pada
kasus perkosaan atau kekerasan yang dilakukan oleh suami, ayah atau majikan.21 Selain rasa takut dan malu,
ketidaktahuan kemana harus melapor dan sejauh mana mereka akan mendapat perlindungan adalah hal-
hal yang menyebabkan penyintas ragu untuk mencari pertolongan. Tampaknya, informasi teknis mengenai
bagaimana mengakses lembaga-lembaga bantuan hukum serta lokasi tempat perlindungan (’rumah aman’

21 Temuan Baseline Survey program Pemberdayaan Hukum Perempuan Justice for the Poor, Bank Dunia (2006) juga mengungkapkan
bahwa meskipun kesadaran dan pengetahuan hukum tentang kekerasan dalam rumahtangga cukup tinggi, namun hal tersebut
tidak menjamin akan adanya tindakan hukum yang diambil.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 53
Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

atau Shelter) terdekat yang dapat mereka akses akan dapat lebih lagi memberdayakan perempuan untuk
mengakses sistem hukum negara. 22

Fasilitator Hukum membuka akses ke sistem hukum negara

Beberapa kasus memperlihatkan bahwa penyadaran hukum semata sering kali tidak cukup untuk membuat
penyintas mengakses sistem hukum negara. Hal ini disebabkan karena seringkali informasi hukum yang
diperoleh tidak lengkap. Dalam kondisi ini, keberadaan Fasilitator Hukum dapat memperkuat akses
penyintas terhadap sistem hukum negara, terutama karena perannya dalam merujuk kasus dan memberikan
bantuan hukum berupa konsultasi dan pendampingan hukum, penguatan serta monitoring penyelesaian
kasus. Peran mereka tergambar jelas dalam kasus perceraian, perkosaan serta penipuan dan kekerasan yang
dialami TKW. Kasus perceraian berikut ini adalah salah satunya.

Studi Kasus 8: Kasus perceraian Brebes

Setelah 6 bulan menikah dan tinggal di rumah orangtua istrinya, B meninggalkan istrinya A (16 tahun), pulang
kembali ke rumah orangtuanya, tanpa pernah memberi nafkah. Sebelumnya itu mereka sering bertengkar
akibat B kerap pulang malam dan dalam keadaan mabuk. Melihat status yang menggantung, mendorong
A untuk bercerai dari B. Namun karena khawatir akan biaya cerai yang besar dan tidak mengerti bagaimana
mengurus perceraian, A tidak juga mengambil tindakan. Didorong ibunya, A dan B sempat dua kali menemui
Lebe, tapi Lebe justru menasehati mereka agar tidak bercerai, karena dilihatnya mereka masih dapat didamaikan.
Namun B tidak juga kembali ke istrinya. Dari seorang teman, A mendapat informasi tentang Kader Hukum
yang dapat membantu proses perceraian dengan gratis. A ditemani ibunya segera menemui Kader Hukum,
menceritakan masalahnya dan meminta bantuan. Kader Hukum mau membantu asalkan ada surat keterangan
dari Lebe. Dibantu oleh seorang saudara yang cukup dekat dengan Lebe, akhirnya A dapat memperoleh surat
pengantar Lebe untuk Pengadilan Agama (PA), dengan membayar Lebe sebesar Rp 250 ribu. Kader Hukum
mendampingi A mengurus perceraian ke PA, mulai dari mendaftar gugatan, memberikan informasi tentang
proses persidangan, mencarikan saksi untuk persidangan. Ia juga mengajarkan strategi dalam menjawab
pertanyaan hakim kepada penyintas dan saksi sehingga mereka dapat memberikan keterangan yang kuat dan
tidak diragukan. Akibatnya persidangan hanya berlangsung selama 2 kali. Majelis hakim akhirnya memutuskan
bahwa gugatan dikabulkan dengan verstek, yaitu keputusan tanpa kehadiran tergugat. A mengeluarkan biaya
sebesar Rp 227 ribu untuk biaya perkara di PA.

Keberadaan Fasilitator Hukum juga terbukti memangkas berbagai biaya untuk dapat mengakses sistem
hukum negara, sehingga aksesibilitas sistem hukum ini lebih meningkat. Dalam kasus-kasus perceraian di
Brebes, terlihat adanya pemangkasan total biaya yang cukup signifikan yang dikeluarkan oleh penyintas
saat kasusnya difasilitasi oleh Fasilitator Hukum. Tanpa bantuan Fasilitator Hukum, penyintas berarti harus
mengeluarkan biaya tambahan untuk Lebe/Amil desa, di luar biaya pembuatan surat keterangan untuk
Pengadilan Agama yang berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu. Biaya tersebut mencakup biaya
jasa, transportasi dan konsumsi untuk Lebe selama proses pengurusan perceraian ke Pengadilan Agama.23

Jaringan dengan aparat hukum membuka jalur komunikasi dan pembelajaran dua arah

Studi Kasus 9: Kasus perburuhan di Cianjur

A, anggota PEKKA yang telah 8 tahun bekerja sebagai buruh kontrak di sebuah pabrik pengepakan obat, tidak
lagi dipanggil bekerja, sementara teman-temannya tetap dipanggil bekerja. Saat itu, perusahaan menaikan
upah buruhnya cukup tinggi, dari Rp. 6.000/hari menjadi Rp. 18.000/hari. A berusaha mencari kejelasan
pada pihak perusahaan, tapi pengawasnya justru berkilah dengan alasan kondisi A dianggap loyo. Pengawas

22 Baseline Survey (2006) juga menemukan bahwa meningkatkan kesadaran hukum perempuan saja tidak cukup untuk dapat men-
jamin mereka mengambil tindakan hukum, tetapi perlu untuk memperlengkapi perempuan dengan pengetahuan teknis tentang
bagaimana dapat mengakses lembaga hukum.

23 Dalam studi ini, biaya operasional Fasilitator Hukum disediakan PEKKA dalam konteks program WLE.

54 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

perusahaan saat itu berjanji akan memanggil A kembali apabila ada pekerjaan, dan memberikan A uang
sebesar Rp. 300 ribu. A menganggap uang itu adalah uang kompensasi selama ia tidak bekerja, namun ia
tak kunjung dipanggil lagi bekerja. Sampai suatu saat, PEKKA memfasilitasi kegiatan kunjungan anggota
MSF ke desa. Saat itu staf Disnaker Kabupaten Cianjur turut hadir untuk memberikan informasi tentang
hak-hak pekerja. A mengungkapkan masalahnya dan staf Disnaker berjanji membantu. Setelah pertemuan
itu, A merasa tidak ada perkembangan dari masalahnya. Sementara itu, staf Disnaker sudah menghubungi
perusahaan tempat A bekerja, namun mereka berdalih bahwa A sudah bekerja di tempat lain saat mereka
mau memanggil A bekerja. Pada kegiatan kunjungan MSF ke desa yang berikutnya, pihak Disnaker bertanya
kepada A tentang perkembangan kasusnya dan A menjelaskan bahwa ia tidak bekerja di tempat lain dan masih
juga belum dipanggil bekerja oleh perusahaannya. Meresponi hal ini, pihak Disnaker kembali menghubungi
perusahaan. Perusahaan mengaku bahwa hal tersebut sebenarnya hanya kesalahpahaman saja yang dapat
diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, tanpa perlu melibatkan pihak Disnaker. Tak lama kemudian A pun
dipanggil kembali untuk bekerja. Namun perusahaan memperlakukan A seperti buruh baru, sehingga walau
upah hariannya mengikuti peraturan baru, yaitu Rp. 18.000/hari, bonus hari raya yang seharusnya sebesar Rp
150, ribu hanya diterima Rp 50 ribu saja.

Adanya jaringan antara perempuan desa dengan aparat hukum negara telah turut meningkatkan aksesibilitas
penyintas ke sistem hukum negara. Jaringan ini membuka akses penyintas kepada informasi hukum dan
pelayanan sistem hukum negara di tingkat kabupaten/propinsi. Dalam studi ini, jaringan yang dimaksud
adalah keberadaan MSF yang bekerjasama dengan kelompok PEKKA di desa. Salah satu kegiatan MSF, yaitu
kunjungan ke desa, yang diselenggarakan secara berkala dengan koordinasi PEKKA, telah mendekatkan
aparat hukum kepada keadaan kongkrit perempuan desa beserta segala permasalahan hukumnya, sehingga
kesadaran mereka akan isu-isu hukum perempuan desa meningkat. Ini menjadi pembelajaran tersendiri
bagi mereka. Sementara di pihak lain, perempuan desa dapat dengan leluasa mengakses bantuan aparat
penegak hukum, seperti mendapatkan informasi dan konsultasi hukum hingga penanganan kasus.

Beberapa kasus memperlihatkan bahwa jaringan ini turut meningkatkan aksesibilitas sistem hukum negara,
karena, pertama, secara langsung telah merobohkan tembok-tembok birokrasi yang seringkali membatasi
perempuan-perempuan desa mengakses bantuan sistem hukum negara, seperti rasa takut dan tidak percaya.
Kedua, mengatasi masalah jarak tempuh yang seringkali membatasi perempuan desa mengakses sistem
hukum negara, karena lokasi kegiatan ada di desa.

Hubungan yang terbina antara Fasilitator Hukum dan kelompok PEKKA dengan para anggota MSF juga
telah meningkatkan kepercayaan diri para perempuan desa untuk dapat lebih leluasa mengakses sistem
hukum negara saat menghadapi atau memfasilitasi kasus hukum. Kader Hukum tidak lagi sungkan untuk
datang ke Pengadilan Agama dan bertemu dengan Hakim yang terlibat sebagai anggota MSF untuk mencari
informasi atas kasus-kasus yang dihadapinya di desa.

3. Kerjasama Aktor Desa Mempengaruhi Aksesibilitas Sistem Hukum Negara


Beberapa penyintas dapat mengakses sistem hukum negara saat aparat atau tokoh desa merujuk kasus
mereka ke sistem hukum negara. Studi ini bahkan menjelaskan bahwa peluang penyintas untuk mengakses
keadilan akan mencapai titik yang maksimal pada saat sistem hukum non negara di desa dapat bekerjasama
dan mendukung sistem hukum negara, yaitu tidak saja merujuk kasus, tapi juga berjejaring memberikan
perlindungan bagi penyintas. Namun demikian, umumnya peran sebagai Aktor Desa dan keberadaan
jejaring di desa hanya muncul pada saat-saat kritis, sehingga bersifat ad hoc.

Jejaring di desa membuka akses

Studi Kasus 10: Kasus kekerasan eks TKW di Cianjur

A (16 tahun), saat bekerja ke Arab Saudi sebagai TKW mengalami kekerasan yang dilakukan oleh anak
majikannya. Kepalanya dipukul hingga ia jatuh pingsan. Akibatnya ia dirawat di RS selama 2 bulan dan

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 55
Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

setelah itu dokter mengatakan ia harus dipulangkan ke Indonesia. Majikannya segera mengirim A pulang
ke Indonesia setelah keluar dari RS. Setibanya di Jakarta, ia tidak bisa melihat dengan jelas, sehingga sempat
dititip ke klinik di airport. Sponsornya yang mengantar A kembali ke Cianjur. Sebulan kemudian A kembali
sakit, tubuhnya demam. Awalnya ia dirawat oleh bidan desa, namun karena tidak ada kemajuan, maka bidan
membawanya ke RS Cianjur. Barulah diketahui bahwa A terserang meningitis. Disana ia sempat koma selama
sepuluh hari lamanya. Setelah 17 hari dirawat di RS Cianjur, A kembali ke rumah, namun tubuh bagian kirinya
mulai lumpuh. Selama sakit, bidan Desa membantu mengurus asuransi kesehatan (ASKES) bagi A sehingga
memotong banyak biaya obat. Berita terdengar oleh seorang aktivis desa, pensiunan ABRI, yang kemudian
membawa kasus kepada wartawan cetak dan elektronik. Akibat liputan beberapa saluran TV dan koran,
pegawai Disnaker Cianjur (anggota MSF) dan perwakilan PJTKI di Jakarta, mendatangi rumah penyintas. Aktivis
desa dan Ketua RT terus mendampingi ayah penyintas mendatangi PJTKI di Jakarta, hingga asuransi kesehatan
di Arab Saudi menggantikan biaya berobat penyintas di Indonesia. Aktivis desa juga melaporkan kasus ke
Pemda Cianjur sehingga penyintas memperoleh bantuan dana untuk kesehatannya.

Kemampuan aktor desa perujuk kasus untuk berjejaring dengan aktor eksternal, terutama media, dapat
membuka peluang penyintas untuk mengakses sistem hukum negara. Keterlibatan media dalam beberapa
kasus terbukti efektif dalam mengangkat kasus sehingga bisa ditangani oleh aparat hukum. Hal ini terjadi
karena media sanggup membuat kasus menjadi pusat perhatian berbagai pemangku kepentingan sehingga
kasus dapat diproses secara lebih adil.

Demikian juga saat aktor desa berjejaring dengan pihak-pihak potensial di desa, seperti bidan desa, maka
penyintas memiliki akses yang lebih besar terhadap sistem hukum negara. Beberapa kasus memperlihatkan
bahwa kesadaran hukum dan gender bidan desa relatif lebih baik daripada aparat desa lainnya, sehingga
mereka berani mengambil tindakan penanganan kasus. Tindakan tersebut meliputi, pertama, merujuk
kasus ke rumah sakit guna pemeriksaan lebih lanjut agar ada bukti yang menguatkan dari perspektif hukum
bahwa suatu kekerasan seksual telah terjadi pada penyintas. Kedua, mengontak Fasilitator Hukum agar
kasus dapat dilanjutkan ke pihak penegak hukum. Ketiga, membantu mengakses fasilitas kesehatan seperti
asuransi kesehatan di rumah sakit, memonitor penyintas yang sakit dan memberikan dukungan tambahan
seperti mengantarkan dan menghubungkan penyintas ke pihak yang dapat membantu penyintas secara
medis.

Dengan demikian studi ini memperlihatkan bahwa dalam kasus-kasus keluarga dan kekerasan terhadap
perempuan, sistem hukum negara dapat berfungsi efektif memberikan hasil yang adil bagi penyintas,
walaupun untuk mengakses sistem hukum negara tersebut diperlukan penyadaran hukum bagi penyintas
serta keterlibatan dan kerjasama berbagai aktor-aktor pendukung/pendamping.

3.2. Akses Kepada Keadilan Sosial


Temuan Utama

• Akses terhadap keadilan sosial dibutuhkan penyintas. Penyintas mendefinisikan keadilan sebagai suatu keadilan sosial,
sehingga memiliki akses kepada keadilan secara hukum merupakan satu tahap dalam proses mengakses keadilan sosial.
• Diperoleh melalui penanganan korban yang bersifat holistik. Keadilan sosial dapat mulai diakses penyintas saat
penanganan kasus-kasus perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan menggunakan pendekatan yang melibatkan
berbagai unsur.
• Juga saat adanya agen pemberdayaan perempuan di desa. Keadilan sosial juga mulai dapat diakses penyintas saat
adanya agen-agen yang dapat mempromosikan nilai-nilai yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan
kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima dan mendukung perempuan korban kekerasan dan menghormati
hak-hak hukum perempuan.

Saat penyintas berhasil mengakses sistem hukum negara, ia telah menerobos separuh dari perjalanannya
mengakses keadilan. Namun itu satu tahap dalam memperoleh keadilan. Beberapa kasus dalam studi
ini menunjukkan hal ini. Mengapa demikian? Pertama, karena penyelesaian kasus yang adil yang dapat

56 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

dihasilkan oleh sistem hukum negara masih tetap tidak dapat sepenuhnya mengembalikan fungsi utilitas
dan wellbeing dari penyintas. Berbagai kerugian fisik dan psikis yang dialami penyintas belum dapat
digantikan dengan keputusan sistem hukum negara menghukum pelaku atau bahkan dengan retribusi
dalam bentuk apapun. Kedua, karena ada biaya sosial yang begitu tinggi yang masih tetap harus ditanggung
oleh penyintas–seperti penolakan dari masyarakat desa, stigma sosial yang dikenakan oleh masyarakat,
penolakan dari pihak sekolah–walaupun kasusnya dapat diselesaikan melalui sistem hukum negara.

Dengan demikian, studi kasus ini memperlihatkan bahwa efektivitas dan aksesibilitas sistem hukum negara,
betapapun idealnya, belum sepenuhnya memberikan keadilan kepada penyintas khususnya dalam kasus-
kasus kekerasan dan diskriminasi, bahkan perceraian. Penyintas masih menghadapi stigma sosial. Bahkan
tak jarang ‘kearifan lokal’ turut memojokkan posisi perempuan sebagai pihak yang bersalah pada kasus-
kasus perceraian, KDRT, kekerasan, bahkan perkosaan. Untuk itu, penyintas seringkali mendefinisikan
keadilan dalam pengertian yang lebih luas, yaitu keadilan sosial (social justice).

Studi kasus ini berhasil mengangkat dua kasus yang dapat dipakai menjadi best practice bagaimana penyintas
dapat mulai mengakses keadilan dalam pengertian yang lebih luas tersebut. Ada dua kondisi yang dapat
memberikan peluang bagi penyintas mengakses keadilan sosial. Pertama, saat penanganan kasus dilakukan
secara holistik, yaitu dengan menangani berbagai aspek kehidupan dan kepentingan korban, dalam upaya
mengembalikan fungsi utilitas dan wellbeing-nya. Kedua, saat adanya agen-agen pemberdayaan perempuan
di desa yang mulai mempromosikan nilai-nilai yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap
perempuan ketengah masyarakat, sehingga penyintas dapat memperoleh penerimaan dan dukungan sosial
atas status dan keberadaannya sebagai korban kekerasan dan diskriminasi.

1. Pendekatan yang Holistik dalam Penanganan Penyintas Dibutuhkan


Akses terhadap keadilan sosial mulai terbuka saat penyintas dapat memperoleh penanganan yang holistik
atas dirinya sebagai korban kekerasan. Kasus incest di Lombok memperlihatkan hal ini. Adanya pelayanan
terpadu yang dilandasi dengan keberadaan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Pelayanan
Terpadu Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, terbukti memberikan manfaat yang besar bagi
penyintas sebagai korban perkosaan.

Box 6. SKB Tiga Menteri dan Kapolri tentang “Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak
Pada tanggal 23 Oktober 2002, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Kesehatan serta Kapolri
menandatangani kesepatakan kerjasama untuk membangun layanan terpadu yang berbasis di Rumah Sakit Umum di tingkat
nasional, propinsi dan kabupaten serta Rumah Sakit Bhayangkara milik Polri di seluruh Indonesia. Layanan terpadu yang utamanya
bertujuan untuk memberikan layanan psikososial dan medis pada perempuan dan anak korban kekerasan. Untuk itu, Pusat
Layanan Terpadu (PPT) juga bekerjasama dengan organisasi perempuan penyedia layanan untuk memudahkan layanan pada korban
kekerasan.

Di tingkat lokal, Pemerintah Daerah Propinsi NTB mengeluarkan semacam Surat Edaran (yang dikeluarkan oleh Sekda Kepala Biro
Kesejahteraan Sosial, Propinsi NTB) untuk meneruskan informasi SKB yang ditandatangi di tingkat nasional ini, agar dapat mendorong
kerjasama serupa di tingkat propinsi. Wujud konkretnya adalah pembentukan Shelter atau rumah aman bagi perempuan dan anak
korban kekerasan lengkap dengan bangunan, (guideline) serta kontrak antara pengguna rumah aman dan pengelolanya. Adapun
jaringan organisasi lokal yang aktif bekerjasama adalah LPA (Lembaga Perlindungan Anak), Dinas Sosial Propinsi NTB (pengelola
rumah aman), dan RPK tingkat Polda, termasuk psikolog, dokter, dan unsur agama.

Melalui pelayanan terpadu ini penyintas memperoleh penanganan yang bersifat holistik. Di salah satu kasus
di Lombok, penyintas tidak hanya mendapatkan pendampingan hukum, tetapi juga pelayanan kesehatan
dan pemulihan kondisi mental dan psikologisnya. Adanya pelayanan yang terpadu, yang melibatkan aspek
hukum, sosial, kesehatan, psikologi dan agama, terbukti dapat secara sinergis memulihkan kondisi penyintas
pasca kejadian kekerasan. Penyintas bahkan mendapatkan penanganan untuk masalah kehamilannya
hingga saat melahirkan. Dinas Sosial juga turut bertanggungjawab memelihara dan mengurus proses
adopsi atas bayi penyintas.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 57
Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

Dalam kasus ini, adanya penanganan korban yang bersifat holistik ini turut melengkapi efektivitas sistem
hukum negara dalam menyelesaikan kasus secara hukum, sehingga keadilan yang lebih luas dari sekedar
keadilan secara hukum dapat dinikmati oleh penyintas. Tanpa adanya penanganan yang holistik terhadap
korban, sanksi dan keadilan yang ditetapkan oleh sistem hukum negara hanya bersifat menghukum pelaku,
tapi tidak untuk mengembalikan fungsi utilitas dan wellbeing dari penyintas. Namun pelayanan terpadu
ini terbukti efektif sebatas mengembalikan fungsi utilitas dan wellbeing penyintas yang terkait pada aspek
medis dan psikis saja. Ada aspek-aspek sosial yang tidak dapat tergantikan dalam kehidupan penyintas,
seperti aset-aset sosial yang hilang dari yang pernah ia miliki sebelumnya di desa, karena terbukti keluarga
dan penduduk desa tidak menginginkan penyintas untuk kembali ke kampung. Penghakiman massa dalam
bentuk sanksi sosial ini adalah biaya sosial yang dibayar penyintas dan tidak tergantikan melalui penanganan
terpadu dalam kasus ini. Terlihat bahwa intervensi di tingkat desa juga dibutuhkan untuk dapat menjamin
keadilan sosial bagi penyintas.

2. Agen Pemberdayaan Perempuan di Desa Membuka Akses Terhadap


Keadilan Sosial
Tanpa adanya suatu sistem sosial budaya yang responsif terhadap isu gender, hak serta kebutuhan praktis
dan strategis perempuan, maka keadilan yang sesungguhnya tidak dapat diperoleh oleh penyintas. Hal
inilah yang absen dalam kasus incest di Lombok, sehingga penyintas mengalami penolakan sosial tidak
dapat kembali ke kampungnya. Masalahnya lagi, sebagaimana umumnya terjadi di desa-desa studi, kondisi
absennya sistem sosial budaya yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan di Lombok
justru mengkristal ke dalam praktek-praktek sistem hukum non negara, sehingga efektivitas sistem ini dalam
menangani kasus-kasus hukum perempuan menjadi sangat rendah. Pada kasus incest di Lombok, bahkan
Kepala Dusun turut mendukung sanksi sosial “pengusiran” kepada penyintas tersebut.

Namun pada kasus perkosaan di Brebes, terlihat bahwa ada peluang bagi penyintas untuk mengakses
keadilan sosial. Kapan peluang itu hadir? Pertama, pada saat penyintas memperoleh dukungan massa
atas proses penegakan hukum yang terjadi dan kedua, pada saat ia memperoleh penerimaan sosial atas
status dan keberadaannya sebagai korban kekerasan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana peluang tersebut
dapat hadir? Pada dasarnya kasus perkosaan ini sangat diwarnai dengan isu SARA (suku, agama, ras dan
antar golongan), karena pelaku adalah etnis Cina dan pengusaha kelas menengah-atas di Brebes, sehingga
dukungan massa tersebut dapat dikaitkan dengan isu ini. Namun kasus ini juga memberikan best practice
tentang keberadaan Fasilitator Hukum di desa yang berperan sebagai agen pemberdayaan perempuan dan
terbukti secara efektif membangun kepedulian dan dukungan massa terhadap penyintas.

Kasus ini memperlihatkan secara jelas bagaimana Fasilitator Hukum bergerak melakukan pemberdayaan
hukum dan gender secara dua arah, yaitu secara khusus kepada penyintas dan secara umum kepada
masyarakat desa. Pada target yang terakhir ini Fasilitator Hukum berperan sebagai agen pemberdayaan
perempuan, karena mereka secara aktif berusaha memuat kesadaran gender dan hukum ke dalam institusi
sosial di desa. Peran ini terutama dilakukan dalam rangka menggalang massa untuk memberi dukungan
kepada penyintas serta memberikan tekanan kepada pihak aparat penegak hukum agar menangani kasus
dengan adil. Beberapa tindakan yang dilakukan adalah: 1) menggagas pelaksanaan aksi demo yang
dilakukan perempuan desa, 2) mengumpulkan perempuan-perempuan desa untuk mendukung penyintas,
3) mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membiayai perempuan-perempuan desa melakukan unjuk
rasa di Pengadilan Negeri. Peran tersebut terbukti membangkitkan kesadaran hukum perempuan desa.
Ibu Lurah mengakui bahwa gagasan untuk melakukan demo timbul setelah Fasilitator Hukum menjelaskan
pentingnya keterlibatan perempuan desa dalam mendorong agar kasus penyintas dapat ditangani oleh
aparat hukum dengan adil.

58 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 3. Best Practice:
Peluang Perempuan Desa Mengakses Keadilan

“Semangat ini (untuk terlibat mendukung perempuan penyintas mengakses keadilan – penulis) timbul
karena baru saya sadari yang ikut mendukung ke sidang-sidang selalu anak-anak laki-laki dan bapak-bapak,
tetapi ibu-ibunya seperti tidak peduli.” Ibu Lurah kasus perkosaan, Brebes

Dalam melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menggalang massa, Fasilitator Hukum terbukti
secara aktif melakukan pemberdayaan hukum dan gender kepada masyarakat luas. Mereka tidak semata-
mata membangun simpati masyarakat terhadap penyintas, tetapi juga membangun kesadaran kaum
perempuan untuk mengambil perannya dalam memperjuangkan kepentingan penyintas. Saat berupaya
mengumpulkan perempuan-perempuan desa untuk berdemo, dalam pertemuan yang dipimpin oleh istri
Lurah, Fasilitator Desa memberikan perspektif perempuan pencari keadilan kepada masyarakat yang hadir,
termasuk pemimpin dari berbagai tokoh ormas Islam seperti Fatayat dan Muslimat NU, serta Aisyah milik
Muhammadiyah. Upaya ini terbukti berhasil membangkitkan kesadaran gender dan politik masyarakat
desa, khususnya perempuan desa.

Efektif karena terintegrasi ke dalam gerakan sosial-politik desa

Mengapa Fasilitator Hukum efektif menggalang dukungan massa atas penyintas? Salah satu faktor adalah
karena keberadaan mereka terintegrasi dalam gerakan sosial-politik yang ada di masyarakat, yaitu gerakan
perempuan kepala keluarga (PEKKA). Sebagai suatu gerakan, PEKKA berupaya menggalang kekuatan para
perempuan kepala keluarga di desa untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka di tengah masyarakat serta
memperoleh penerimaan sosial dari masyarakat desa. Beberapa bentuk pemberdayaan, seperti di bidang
ekonomi, pendidikan serta hukum, dilihat sebagai proses dari menumbuhkan gerakan itu, dan bukan tujuan
akhirnya. Dengan demikian, upaya mereka menggalang massa untuk suatu kasus tertentu menjadi lebih
mudah karena didukung oleh keberadaan kelompok PEKKA yang sudah mulai dikenal dan mendapat nama
di desa. Aksi penggalangan massa tersebut juga menjadi jauh lebih efektif karena “mengatas-namakan”
perempuan desa dan bertujuan tidak hanya semata ingin mendukung perempuan korban perkosaan, tapi
lebih dari itu, memperjuangkan partisipasi, akses dan kontrol perempuan terhadap politik dan pengakuan
sosial.

Berhasil memberikan keadilan sosial bagi penyintas

Implikasi dari adanya dukungan massa tersebut, pertama, kasus perkosaan bisa diselesaikan dengan cukup
efektif oleh sistem hukum negara, karena pelaku perkosaan dihukum.24 Dukungan massa tersebut diterima
oleh aparat penegak hukum sebagai pesan agar kasus “diperhatikan” dengan cara berlaku adil melakukan
penanganannya. Kedua, dukungan massa tersebut telah membuat masyarakat berpihak mendukung
penyintas dan mau menerimanya tanpa mengenakan berbagai stigma sosial yang biasanya harus disandang
oleh perempuan eks korban kekerasan. Masyarakat cenderung berusaha menolong penyintas untuk
melupakan kejadian. Seusai proses persidangan, masyarakat berupaya untuk mensemangati penyintas dan
bahkan beberapa dari mereka menawarkan pekerjaan kepada penyintas sebagai penjaga toko atau pekerja
rumah tangga. Akibat adanya penerimaan tersebut, penyintas tidak merasa perlu mengasingkan diri ke
luar dari desa. Saat tidak ada penolakan dari masyarakat, penyintas mulai memiliki akses terhadap keadilan
sosial.

24 Walaupun pelaku berhasil dijatuhi hukuman, namun perempuan korban dan keluarganya masih tidak puas dengan keputusan vo-
nis 4 tahun yang dianggapnya terlalu ringan tersebut. Mereka menduga ada kasus suap yang telah terjadi kepada aparat penegak
hukum.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 59
Bagian 4

Diskusi, Kesimpulan dan


Rekomendasi
Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

4.1. Diskusi: Perlunya Redefinisi Konsep Keadilan


Temuan kunci dari studi ini menyuarakan bahwa perempuan memiliki definisi yang lebih luas tentang
keadilan. Akses perempuan pencari keadilan (penyintas) terhadap keadilan saat mengalami kasus hukum,
tidak dapat semata-mata dilihat dalam konteks hukum dan legalitasnya saja. Penyelesaian kasus secara
hukum merupakan langkah awal bagi penyintas mengakses keadilan, namun hal ini belum cukup menjamin
penyintas memperoleh keadilan sebagaimana yang didefinisikannya.

Jawaban terhadap pertanyaan utama yang mendasari penelitian ini, “bagaimana perempuan desa yang
mengalami kasus hukum dapat mengakses keadilan?” perlu didasari atas suatu definisi keadilan yang lebih
luas. Lebih dari sekedar keadilan menurut hukum (legal justice), apa yang diperlukan adalah konsep keadilan
seutuhnya, yaitu keadilan sosial (social justice). Dua puluh delapan kasus yang diangkat dalam studi ini
memperlihatkan bahwa penyelesaian kasus hukum melalui sistem hukum negara maupun non negara,
seberapa pun telah memberikan keadilan secara hukum, masih belum sepenuhnya dapat mengembalikan
fungsi utilitas dan well-being penyintas . Sementara itu, upaya pemulihan bagi penyintas sebagai korban
(remedies), kalaupun ada, umumnya masih hanya terbatas kepada “ganti rugi” berupa materi belaka.
Tanpa adanya pemulihan yang holistik terhadap kondisi fisik, psikologis, ekonomi serta status sosial korban
di masyarakat, maka keadilan yang sesungguhnya belum dapat diakses penyintas. Diskusi selanjutnya
memaparkan tentang kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian ini yang dapat mendasari suatu inisiatif
reformasi hukum yang memperjuangkan arti penting akses perempuan terhadap keadilan.

4.2. Kesimpulan
Studi ini bertujuan untuk menjawab bagaimana perempuan desa yang mengalami kasus hukum dapat
mengakses keadilan. Melalui pengalaman dua puluh delapan orang penyintas mencari keadilan melalui jalur
sistem hukum negara dan non negara, studi ini menarik pembelajaran dan best practice tentang bagaimana
penyintas, yaitu perempuan desa pencari keadilan, dapat mengakses keadilan saat mengalami kasus hukum
yang utamanya terkait dengan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Kesimpulan Utama

Ada peluang untuk mengakses keadilan bagi penyintas di desa. Penyintas, di tengah kemiskinan dan berbagai
hambatan sosial yang dialami, memiliki peluang untuk mengakses keadilan saat mereka dapat mengakses jalur penyelesaian
kasus hukum, baik sistem hukum non negara di tingkat desa maupun sistem hukum negara di luar desa.
Alternatif jalur penyelesaian kasus hukum yang ada memiliki tingkat aksesibilitas dan efektivitas yang berbeda.
Sistem hukum negara relatif efektif dalam memberikan keadilan namun sulit diakses, sebaliknya sistem hukum non negara
sangat mudah diakses namun belum cukup efektif memberikan penyelesaian kasus yang melindungi perempuan.
Aktor intermediasi memperkuat akses penyintas menggunakan sistem hukum negara. Keberadaan Aktor Desa,
Fasilitator Hukum dan Aktor Eksternal, dalam bentuk dan takaran yang berbeda-beda, telah memperkuat akses penyintas
untuk mencari bantuan dari sistem hukum negara.
Penyintas mendefinisikan akses terhadap keadilan dalam pengertian yang luas. Penyelesaian kasus melalui sistem
hukum walaupun sangat penting, merupakan satu tahap dari proses memberikan keadilan kepada penyintas. Karena tidak
saja keadilan secara hukum, penyintas juga membutuhkan penanganan yang holistik mencakup dimensi psikologis, kesehatan,
sosial dan keamanan, serta dukungan dan penerimaan sosial.

Studi ini memperlihatkan bahwa akses penyintas terhadap keadilan masih lemah. Penyintas baru mulai
memiliki akses terhadap keadilan saat ia dapat mengakses sistem penyelesaian kasus hukum yang ada,
baik sistem hukum non negara di tingkat desa maupun sistem hukum negara di luar desa. Namun, itu
barulah satu langkah dalam memperoleh keadilan. Selanjutnya, keberhasilan mereka mengakses keadilan
masih sangat ditentukan oleh efektivitas dari sistem penyelesaian kasus hukum tersebut. Pada kasus-kasus
kekerasan, keadilan akan semakin dapat diakses saat mereka memperoleh penanganan korban secara
holistik serta penerimaan sosial dari masyarakat.

62 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Sistem hukum negara lebih efektif karena terjamin dan independen


Studi ini memperlihatkan bahwa dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama
KDRT dan perceraian, sistem hukum negara dapat lebih bersifat responsif terhadap kebutuhan perempuan
daripada sistem hukum non negara di tingkat desa. Hal ini telah turut menjamin efektivitasnya dalam
menyelesaikan kasus hukum yang dialami penyintas secara adil. Ada beberapa alasan yang saling berhubungan
satu dengan lainnya. Pertama, kerangka hukum dari sistem ini tunduk secara langsung kepada konstitusi
negara dan konvensi-konvensi internasional yang terkait dengan hak asasi manusia. Sistem hukum ini
juga lebih terbuka terhadap fungsi pengawasan dan hal ini turut meningkatkan kualitas keadilan yang
dapat dihasilkan. Sifat transparan ini terjamin melalui keberadaan mekanisme untuk naik banding atau
mengajukan keberatan atas keputusan yang ditetapkan oleh otoritas legal dan juga dari keberadaan media
dan LSM untuk memonitor perkembangan kasus. Selanjutnya, beberapa kasus memperlihatkan bahwa
keputusan dari pengadilan cenderung lebih dapat ditegakkan pelaksanaannya daripada keputusan aparat
desa, dan hal ini membuka akses penyintas lebih lagi terhadap keadilan.

Selanjutnya, sistem hukum ini cenderung lebih efektif karena tidak terpengaruh dengan dinamika relasi
kekuasaan yang ada di desa. Kasus-kasus dalam studi ini umumnya sarat dengan latar belakang pola relasi
kuasa yang timpang antara penyintas dan pihak pelaku/lawan. Pola relasi ini terlihat turut mempengaruhi
pengambilan keputusan di tingkat desa. Namun, saat kasus-kasus tersebut beralih penanganannya ke
sistem hukum negara, dinamika relasi kekuasaan tersebut tidak menjadi ancaman bagi pengambil keputusan.
Kemampuan pihak laki-laki dalam kasus untuk dapat mempengaruhi aparat penegak hukum juga dapat
diminimalisir secara berarti.

Walau relatif lebih efektif, sistem hukum negara masih memiliki kelemahan. Studi ini mengidentifikasi
empat faktor yang perlu diperkuat dari sistem hukum negara terkait dengan isu gender. Pertama, kesadaran
gender belum dimiliki oleh seluruh jajaran aparat penegak hukum, padahal hal ini mempengaruhi bagaimana
mereka menangani kasus. Kedua, adanya standar operasional penanganan kasus yang justru membatasi
akses penyintas terhadap keadilan. Ketiga, tanpa adanya aktor intermediasi sistem hukum ini sulit diakses
oleh penyintas. Keempat, sementara itu, fasilitasi dari aktor intermediasi tetap membutuhkan adanya
kesadaran hukum dari pihak penyintas.

Kesadaran gender, termasuk pengertian tentang betapa kesadaran gender dapat meningkatkan efektivitas
kerja dalam menegakkan hukum, belum secara merata dimiliki oleh seluruh aparat hukum. Dari beberapa
kasus, terlihat perbedaan respon yang diberikan oleh aparat hukum yang telah memiliki kesadaran gender
dan yang tidak. Hakim yang telah mengikuti pelatihan gender di Cianjur dan Brebes lebih memiliki kesadaran
tentang perlunya memperhatikan kepentingan penyintas, misalnya kebutuhan akan pendampingan. Hal ini
terbukti tidak saja memberikan perlindungan kepada penyintas, tetapi juga menghasilkan keputusan yang
lebih adil, karena kesaksian penyintas dapat lebih berkualitas.

Selain itu, beberapa praktek dalam sistem hukum ini masih membatasi penyintas untuk meraih keadilan.
Pertama, terbatasnya biaya operasional KePolisian, terutama biaya untuk melakukan pemeriksaan visum
et repertum bagi korban-korban kekerasan seksual, telah membatasi akses penyintas untuk mengakses
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sebagai bukti pada kasus-kasus kekerasan seksual. Kedua, standar
operasional penanganan kasus di Kejaksaan telah membuat adanya tekanan tersendiri bagi Jaksa dalam
kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami penyintas dewasa. Tekanan untuk mencari bukti telah terjadinya
kekerasan seksual ini selanjutnya turut mempersulit Jaksa untuk melindungi kepentingan korban.

Sebagian besar penyintas yang berhasil mengakses sistem hukum negara untuk penyelesaian kasusnya,
mengakses dengan bantuan aktor intermediasi. Ada tiga kelompok intermediasi yang teridentifikasi melalui
studi ini. Pertama adalah Aktor Desa yang berperan merujuk kasus ke sistem hukum negara, mencakup
aparat dan tokoh-tokoh desa. Namun tindakan mereka merujuk kasus ke sistem hukum negara umumnya

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 63
Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

tidak didasarkan atas pertimbangan untuk menjamin kepentingan penyintas. Secara ad hoc mereka
merujuk kasus saat terjadi penganiayaan yang berat terhadap penyintas atau kerusuhan massa, serta saat
penyelesaian di tingkat desa tidak berhasil atau kurangnya pengetahuan tentang perkara. Mereka umumnya
juga merujuk kasus tanpa memberikan pendampingan hukum kepada penyintas. Kedua, studi ini juga
mencatat adanya kasus-kasus yang dibawa ke sistem hukum negara melalui bantuan Fasilitator Hukum di
desa, yaitu Kader Hukum dan Pendamping Lapangan PEKKA. Mereka berperan sebagai jaringan pendukung
bagi penyintas. Tidak saja merujuk kasus, mereka secara aktif memberikan informasi dan bantuan hukum
kepada penyintas sepanjang proses penanganan kasus. Ketiga, beberapa penyintas mengakses jalur hukum
negara melalui dukungan dari jejaring di luar desa, yaitu Aktor Eksternal, yang meliputi MSF, media, dan
LSM/LBH. Walau berpotensi memainkan peran positif dalam membantu penyintas berinteraksi dengan jalur
hukum negara, namun keberadaan mereka terbatas. Penyintas menikmati peran mereka secara kebetulan
karena adanya program pemberdayaan hukum di desa atau karena kasus merupakan pelanggaran hak azasi
manusia dalam tingkatan yang berat.

2. Sistem hukum non negara populer di desa namun perlu diperkuat untuk
dapat menjamin hak perempuan
Jalur non negara di desa adalah jalur pertama yang akan diakses penyintas saat mencari penyelesaian kasus
hukum. Dari kasus-kasus yang diselesaikan melalui jalur ini, tidak ada satupun yang mencatat bahwa
aparat desa secara pro-aktif melindungi hak-hak perempuan. Beberapa kasus justru menunjukkan adanya
konflik kepentingan antara melindungi hak perempuan dan menjaga harmoni di masyarakat, sehingga
sulit bagi aparat desa untuk memiliki keberpihakan kepada penyintas sebagai korban. Selain itu, studi
ini memperlihatkan bahwa kapasitas untuk memberikan sanksi dan penegakkan hukum sistem ini lemah,
sehingga semakin memperlemah kapasitasnya untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak perempuan.

Walau terbatas efektivitasnya dalam memberikan keadilan kepada penyintas, jalur hukum non negara
ini tidak dapat diabaikan. Jalur ini menawarkan kemudahan dan biaya yang minim kepada penyintas.
Penyintas umumnya menceritakan kasusnya pertama kali kepada keluarga atau kerabat dekat, dan biasanya
mereka akan mencari pertolongan dari aparat desa sebelum melaporkan kasus ke sistem hukum negara.
Lagipula, tanpa tersedianya fasilitasi dari aktor intermediasi, maka penyintas tidak mempunyai pilihan lain
selain mencari keadilan melalui jalur hukum non negara.

3. Keadilan sosial lebih luas dari keadilan secara hukum


Temuan kunci dari studi ini adalah bahwa penyelesaian kasus hukum secara legal adalah penting, namun
perlu adanya tahap lain untuk menjamin penyintas memperoleh keadilan. Walau studi ini awalnya terfokus
kepada interaksi antara perempuan desa pencari keadilan dengan hukum, ternyata mengalami penyelesaian
kasus hukum semata tidak dapat secara lengkap menjawab kebutuhan mereka atas keadilan. Konsep
keadilan yang didefinisikan mereka dalam studi ini disebut dengan “keadilan sosial.” Lebih dari sekedar
keadilan secara hukum, konsep ini mengandung aspek-aspek retribusi ekonomi, akses kepada pelayanan
sosial, utamanya kesehatan dan pendidikan, dan penerimaan sosial. Beberapa kasus perkosaan dalam studi
ini memberikan contoh bagaimana keadilan sosial diperlukan penyintas.

Mencari keadilan secara hukum dapat menciptakan tekanan sosial

Upaya untuk mencari keadilan melalui jalur hukum negara dapat menimbulkan tekanan sosial tersendiri
antara penyintas dengan keluarga atau masyarakat. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus, yaitu saat
seorang penyintas yang diperkosa ayahnya lalu dipersalahkan oleh keluarganya atas kejadian tersebut; saat
seorang penyintas yang melaporkan kasus KDRT ke Polisi lalu justru diceraikan oleh suaminya; atau seorang
penyintas eks TKW yang diperkosa majikannya di Malaysia lalu dituntut keluarga dan masyarakat untuk
dinikahkan ulang dengan suaminya sebagai tanda ia diterima kembali oleh suaminya.

64 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Akses kepada dukungan sosial adalah bagian penting dalam definisi penyintas tentang keadilan

Tergantung pada tingkat keseriusan kasus, penyintas seringkali membutuhkan akses kepada pelayanan
sosial saat memproses kasus hukumnya. Untuk itu penanganan korban membutuhkan pendekatan yang
lebih bersifat holistik. Dalam banyak kasus, terutama kasus perkosaan dan KDRT, ini mencakup pelayanan
kesehatan dan psikologis. Kasus incest di Lombok memperlihatkan bahwa proses penyidikan dan persidangan
justru seringkali membuat penyintas mengalami trauma tersendiri, terutama saat kesadaran gender belum
dimiliki oleh para aparat.

Bentuk lainnya dari dukungan sosial kepada penyintas adalah dukungan dari masyarakat. Sayangnya, dalam
beberapa kasus, keputusan Hakim yang berpihak kepada penyintas sebagai korban belum menjamin adanya
penerimaan sosial bagi penyintas. Hal ini menunjukkan diperlukannya suatu dukungan terhadap penyintas
yang berfungsi untuk membantu mereka kembali ke komunitas dan untuk membangun kesadaran dan
dukungan masyarakat terhadap penyintas. Studi ini memperlihatkan potensi untuk melakukan dukungan
tersebut ada pada peran Fasilitator Hukum saat mereka bertindak sebagai agen pemberdayaan perempuan,
yaitu mempromosikan nilai-nilai yang responsif gender dan tidak diskriminatif terhadap perempuan kepada
masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima dan mendukung perempuan korban kekerasan dan
menghormati hak-hak hukum perempuan.

4.3. Rekomendasi: Melembagakan Hak-hak Perempuan


Laporan ini mengangkat dua kelompok rekomendasi. Pertama, rangkaian rekomendasi ditujukan secara
khusus untuk memperkuat akses penyintas terhadap keadilan melalui sistem hukum. Rekomendasi ini
mencakup perlunya meningkatkan akses terhadap mekanisme penyelesaian kasus hukum dan meningkatkan
kualitas jasa pelayanan yang disediakan oleh mekanisme tersebut. Prioritasnya adalah pada meningkatkan
aksesibilitas dan kapasitas dari sistem hukum negara dan non negara.

Kedua, rangkaian rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki tersedianya kualitas keadilan yang lebih
luas bagi penyintas. Rekomendasi ini lebih terfokus pada keadilan sosial. Namun pendekatannya lebih
kepada bagaimana proses hukum dapat mengadopsi suatu pendekatan yang lebih holistik yang dapat lebih
menjawab kebutuhan penyintas tentang keadilan.

Secara bersamaan, kedua kelompok rekomendasi ini menyediakan suatu kerangka yang menjawab aspirasi
penyintas tentang keadilan. Kerangka ini dimaksudkan untuk bersifat praktis dan dapat dicapai, berdasarkan
observasi di tingkat desa. Sejauh ini, strateginya membedakan antara rekomendasi yang dapat dicapai
dalam jangka pendek dan rekomendasi yang membutuhkan perubahan institusi dalam jangka panjang.
Gambar di bawah merekomendasikan kerangka tersebut.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 65
Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Gambar 3. Rekomendasi bagi sistem hukum non negara dan negara


Jangka Pendek Jangka Panjang

Meningkatkan
Hukum Negara aksesibilitas, Perubahan
kesadaran gender Struktural
penegak hukum, Pendekatan multi - sektor
& kaitan system Mengkaitkan hukum
ke komunitas dengan kesehatan,
pendidikan, ekonomi

Perubahan sosial melalui:


Peningkatan kesadaran,
Kapasitas untuk Peningkatan keterwakilan,
Merujuk kasus Peningkatan advokasi

Hukum Non negara Keadilan Hukum

Keadilan Sosial

1. Keadilan Hukum
Akses terhadap sistem negara menjadi fokus mendesak

Dengan segala keterbatasannya, sistem hukum negara berfungsi efektif dalam memenuhi harapan keadilan
perempuan penyintas. Menjadi tidak realistis dan bukan tujuannya untuk mengatur agar segala kasus
hukum yang dihadapi penyintas diselesaikan melalui jalur ini. Namun hal yang mendesak untuk dilakukan
adalah memperbaiki aksesibilitas dari sistem ini bagi perempuan yang menghadapi permasalahan hukum
yang serius.

Meningkatkan aksesibilitas dari sistem ini mencakup memberikan pilihan dan dukungan yang lebih baik
kepada penyintas saat mencari pertolongan awal untuk penyelesaian kasus hukumnya dan memperkuat
sistem rujukan dari jalur sistem hukum non negara ke jalur negara.

Perlu penguatan kapasitas jejaring lokal untuk menyediakan dukungan

Upaya perlu ditujukan untuk membangun kapasitas dan memperluas cakupan jejaring lokal di desa yang
telah aktif dalam berbagai pelayanan sosial, khususnya terkait dengan isu-isu perempuan. Ini termasuk
untuk memperkuat akses terhadap informasi dan pelatihan bagi para pemimpin perempuan di desa, seperti
bidan desa maupun perempuan dalam kelompok agama. Dalam wilayah-wilayah dimana jejaring lokal ini
masih lemah atau bahkan belum ada, perlu dibangun jejaring yang baru.

Memperkuat kapasitas jejaring lokal untuk membantu perempuan penyintas memerlukan fasilitasi yang
intensif di tahap awal. Model pemberdayaan hukum yang dilakukan oleh PEKKA (program WLE) menyediakan
suatu contoh bagaimana membangun kapasitas dari jejaring di desa. Model ini meliputi kegiatan untuk
melatih Kader Hukum di desa sehingga mereka dapat menyediakan informasi hukum kepada masyarakat
dan mendukung perempuan penyintas saat menghadapi masalah hukum. Dalam hal ini, kapasitas Kader
Hukum harus ditingkatkan terus menerus.

66 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Perlu keterkaitan antara jejaring lokal dengan sistem hukum negara

Interaksi yang semakin kuat antara jejaring lokal dengan sistem hukum negara di tingkat Kabupaten
maupun Propinsi sangat dibutuhkan untuk memperbaiki aksesibilitas sistem hukum negara. Jaringan ini
membutuhkan suatu kombinasi antara pendekatan top-down dan bottom-up secara bersamaan. Upaya
untuk memperkuat jaringan ini perlu dilembagakan, sehingga tidak bersifat ad hoc..

Beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah dengan memperbaiki mekanisme diseminasi program
ke komunitas dan kunjungan ke tingkat desa secara reguler. Tidak kalah penting adalah meningkatkan
pemahaman jejaring di desa tentang mekanisme kerja sistem hukum negara, sehingga mereka dapat
memberikan keterangan yang jelas tentang pilihan jalur penyelesaian kasus hukum yang dapat ditempuh
masyarakat. Sebagaimana dicontohkan oleh pendekatan program WLE dengan membentuk MSF, interaksi
dengan tingkat desa tidak hanya menolong meningkatkan kesadaran hukum di desa, tetapi juga memperkuat
kesadaran para aparat hukum tentang kebutuhan hukum perempuan di desa. Selanjutnya, interaksi tersebut
akan turut mengaburkan batasan sistem hukum negara yang ada di masyarakat.

Perubahan kelembagaan dalam sistem hukum negara dibutuhkan namun membutuhkan waktu lama

Studi ini memperlihatkan bahwa komitmen untuk membuat sistem hukum negara lebih sensitif terhadap
masalah gender telah mulai bermunculan, namun masih perlu diperkuat lagi. Perbaikan yang menyeluruh
akan membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Beberapa rekomendasi konkret yang diperoleh berdasarkan pembelajaran dari studi ini adalah:

Pelatihan gender bagi para aparat penegak hukum, walau telah memberikan dampak positif, masih
perlu diintegrasikan kedalam kurikulum pendidikan berjenjang dalam KePolisian, Kejaksaan dan
Mahkamah Agung.

Dukungan bagi korban dalam sistem hukum pidana perlu melembaga dan tidak hanya bergantung
pada inisiatif individual aparat penegak hukum. Perempuan korban juga perlu memperoleh akses
terhadap pelayanan hukum yang lebih baik.

Mendukung inisiatif yang dikembangkan oleh Komnas Perempuan, LBH APIK serta beberapa LSM
dan akademisi untuk membangun sistem peradilan pidana yang terintegrasi.

Sistem peradilan pidana perlu mengimbangi prinsip ”praduga tak bersalah” dengan hak-hak korban.
Hal ini terutama sangat relevan dengan peran Jaksa Penuntut Umum, karena seringkali insentif
kelembagaan bagi Jaksa untuk memenangkan kasus menegasikan suara pendakwa. Studi lanjutan
tentang bagaimana kelembagaan Kejaksaan dapat lebih baik menjamin hak-hak korban tanpa
mengabaikan asas ”praduga tak bersalah” diperlukan.

Perlu mendukung lembaga-lembaga penegak hukum agar melakukan berbagai inisiatif terkait dengan
isu gender dan hukum. Contohnya, keberadaan RPK/UPPA terbukti memainkan peran penting dalam
memberikan keadilan kepada penyintas, walau saat ini masih banyak halangan untuk melaksanakan
hal ini secara merata hingga di tingkat Kecamatan, tempat dimana RPK/UPPA paling dibutuhkan oleh
penduduk desa.

Hingga saat ini, berbagai inisiatif untuk melindungi hak-hak perempuan dalam sistem hukum negara telah
dikembangkan, namun masih secara ad hoc. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memonitor secara cermat
dampak dari inisiatif tersebut untuk dapat memastikan keberhasilannya serta meminimalkan efek-efek yang
tak terduga. Selanjutnya, pendekatan ini harus dipastikan selaras dengan pendekatan reformasi hukum
secara keseluruhan yang berupaya mendekati permasalahan gender secara komprehensif, termasuk inisiatif

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 67
Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

gender budgeting dan struktur insentif karir yang responsif gender. Studi ini memperlihatkan bahwa adanya
keberpihakan kepada perempuan dapat meningkatkan kualitas dari keadilan yang dapat diraih penyintas
dan meningkatkan kualitas administrasi lembaga hukum.

Kinerja sistem hukum non negara tidak dapat diabaikan, namun membutuhkan pendekatan jangka panjang
untuk membangun kapasitas dan sistem pengawasan yang baik

Mekanisme hukum non negara di tingkat desa masih menjadi sarana utama dalam menyelesaikan berbagai
masalah hukum masyarakat desa. Untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih efektif kepada perempuan,
kinerja sistem ini perlu diperbaiki dalam dua aspek. Pertama, perlu memperkuas kapasitas aktor-aktornya
dalam penyelesaian kasus hukum. Kedua, perlu adanya batasan yang jelas tentang kapan perlu merujuk
kasus ke sistem hukum negara.

Sementara itu, karena sistem hukum non negara merefleksikan dinamika relasi kekuasaan di desa, adanya
dukungan bagi keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian kasus hukum diperlukan. Hal
ini tentunya membutuhkan perubahan sosial tersendiri dan jangka waktu yang relatif panjang untuk
pencapaiannya.

Untuk adanya perubahan di dalam sistem hukum non negara membutuhkan beberapa dukungan sebagai
berikut:

Adanya peningkatan kapasitas bagi aparat desa dan tokoh-tokoh desa yang terlibat dalam penyelesaian
kasus agar memiliki kesadaran gender dan pengetahuan tentang isu-isu gender di desa.

Adanya upaya untuk mengidentifikasi agen-agen pemberdayaan perempuan dan upaya untuk
mendukung peran mereka, termasuk melembagakan perubahan yang ada kedalam pilar-pilar
kelembagaan desa.

Adanya dukungan terhadap partisipasi perempuan dalam mekanisme penyelesaian di desa dan dalam
kepemimpinan desa.

Perlu adanya dukungan dari Aktor Eksternal, termasuk juga Aparat Hukum

Upaya untuk meningkatkan dukungan sistem hukum non negara bagi perempuan membutuhkan tekanan
pihak eksternal. Pertama, landasan hukum perlu menjadi faktor penentu yang melandasi keputusan aparat/
tokoh desa untuk mengatasi kasus di tingkatnya atau merujuk kasus ke sistem hukum negara. Dengan
demikian aktor hukum non negara tidak hanya merujuk kasus penyintas secara ad hoc, namun karena
adanya kesadaran yang lebih tentang batasan jurisdiksi.

Pemerintah juga perlu memiliki peran untuk membangun kapasitas aktor-aktor penyelesaian kasus di desa.
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan dan pengawasan atas sistem hukum tersebut. Fokus
yang lebih juga perlu diberikan pada upaya diseminasi informasi tentang peraturan perundangan dan proses
penyelesaian kasus serta pentingnya interaksi antara sistem hukum negara dan non negara untuk menjamin
keadilan yang optimal bagi penyintas.

2. Keadilan Sosial
Laporan ini terutama terkait dengan isu bagaimana perempuan desa mengakses keadilan. Dalam prosesnya,
semakin jelas terlihat bahwa pengertian tentang keadilan yang dibutuhkan oleh perempuan desa lebih luas
dari sekedar keputusan hukum yang adil. Mereka melihat akses terhadap keadilan hukum sebagai salah
satu komponen dari akses terhadap keadilan sosial. Walau rekomendasi yang mendasar tentang bagaimana

68 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

penyintas dapat mengakses keadilan sosial berada di luar cakupan studi ini, namun beberapa rekomendasi
dapat digagas berdasarkan temuan awal studi ini.

Perempuan, khususnya korban kekerasan, membutuhkan akses terhadap aspek-aspek non-legal dari
keadilan

Kemampuan penyintas untuk mengakses pelayanan sosial dasar mempengaruhi perspektif perempuan
tentang proses hukum. Program hukum seharusnya tidak dilihat sebagai program yang berdiri sendiri, namun
sebagai suatu komponen dari program sosial yang lebih luas. Upaya untuk meningkatkan aksesibilitas dan
kualitas dari pelayanan sosial, termasuk penyediaan pelayanan kesehatan dan psikologis serta Rumah Aman
bagi korban kekerasan, dukungan pendidikan dan ekonomi sebagai bagian dari program rehabilitasi sangat
dibutuhkan.

Untuk itu, koordinasi antara lembaga hukum negara dan berbagai lembaga pemerintah lainnya perlu
diperkuat

Keberadaan MSF dalam program WLE, yang terutama beranggotakan aparat penegak hukum dan aparat
pemerintahan dari berbagai sektor, memperlihatkan bagaimana koordinasi antar lembaga lintas sektoral
dapat memperkuat akses perempuan terhadap keadilan. Koordinasi tersebut dapat berupa pertemuan
reguler antara pemangku kepentingan di tingkat Kabupaten yang terdiri atas perwakilan dari lembaga-
lembaga hukum, lembaga pemerintah penyedia pelayanan sosial dan masyarakat sipil. Koordinasi tersebut
dapat pula diperluas dalam bentuk penempatan Petugas Kesejahteraan Sosial di dalam Kepolisian atau
Pengadilan untuk membantu memberikan dukungan kepada korban dan memfasilitasi akses korban kepada
lembaga pemerintah terkait.

Pemahaman aparat hukum tentang dampak sosial dari keputusan hukum perlu diperkuat

Para pengambil keputusan, baik di jalur hukum negara maupun non negara, perlu lebih peka terhadap
dampak-dampak sosial dari keputusan mereka. Sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa kasus, proses
penyelesaian kasus dapat meningkatkan viktimisasi terhadap korban atau mendorong timbulnya penolakan
sosial. Jaringan pendukung perlu diperkuat untuk membantu perempuan di tingkat desa selama proses
maupun paska proses penanganan kasus. Untuk itu sistem hukum yang ada perlu mengintegrasikan
perspektif tentang hal ini untuk dimengerti oleh para aktornya.

Perlu memastikan adanya harmonisasi dukungan dalam jejaring di tingkat desa

Perlu diupayakan agar terjadi harmoni diantara jejaring lokal yang ada di tingkat desa. Hal ini mencakup
perlunya meningkatkan dialog antara aparat desa dan aktor lain yang ada dalam jejaring tersebut, seperti
tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, bidan desa, dan kelompok PKK. Juga perlu memperkuat
koordinasi antara jejaring ini dengan penyedia layanan masyarakat lainnya, seperti Puskesmas dan kelompok-
kelompok perempuan di desa.

Institusi di tingkat nasional dapat memainkan peran penting dalam reformasi peraturan kebijakan

Reformasi peraturan dan kebijakan perlu digerakan dari tingkat nasional, demikian juga reformasi
kelembagaan hukum dalam jangka panjang, terutama karena adanya sentralisasi dalam kelembagaan di
sektor hukum. Adanya komitmen di tingkat nasional juga dapat mendukung berbagai inisiatif di tingkat
lokal, termasuk untuk mendokumentasikannya kedalam kerangka institusi yang telah ada serta untuk
memperluas cakupan inisiatif tersebut. Untuk itu, lembaga di tingkat nasional perlu dipersiapkan untuk
dapat memperbaiki koordinasi antar lembaga dalam rangka mempersiapkan kelembagaan hukum yang
responsif terhadap kebutuhan perempuan mengakses keadilan sosial.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 69
Bagian 4.
Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi

Penguatan kapasitas pemerintah tingkat propinsi dan kabupaten memainkan peranan kunci

Selain lembaga di tingkat nasional, penguatan kapasitas pemerintah di tingkat propinsi juga diperlukan
karena seringkali berbagai upaya reformasi hukum di tingkat nasional jangkauannya hanya sampai dengan
tingkat propinsi. Sementara itu, akses perempuan desa kepada hukum negara juga umumnya berhenti
sampai di tingkat Kabupaten atau Propinsi. Dengan demikian, peran pemerintah di tingkat Kabupaten dan
Propinsi perlu diperkuat untuk dapat menyediakan berbagai pelayanan sosial bagi penyintas. Mereka juga
memiliki kapasitas untuk memastikan adaya kerjasama yang lebih kuat antara lembaga-lembaga hukum
dengan lembaga pemerintah di Kabupaten atau Propinsi.

Organisasi donor dan LSM berperan sebagai aktor eksternal yang mendukung reformasi hukum

Organisasi donor dan organisasi masyarakat sipil (LSM atau LBH) diperlukan untuk mendukung berbagai
inisiatif yang terkait dengan memperkuat akses penyintas terhadap keadilan, baik yang bersifat top-down
dari pihak pemerintah maupun bottom-up dari masyarakat akar rumput.

70 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:


Daftar Bacaan

Daftar Bacaan

Peraturan Perundangan Republik Indonesia


UU Dasar 1945
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Konvensi Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW)
Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Peraturan Kepala KePolisian RI No. 10/2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan
KePolisian

Artikel, Buku atau Laporan


Abed, Fazle Hasan. 2003. Legal Empowerment of the Poor: A Critical pathway out of poverty, dalam BrØther,
Mone E. & Solberg Jon-Andreas, eds. Legal Empowerment – a way out of povery. The Norwegian
Ministry of Foreign Affairs, June 2003 – issue 3.

Albright, Madeleine K. 2006. It’s Time for Empowerment, dalam BrØther, Mone E. & Solberg Jon-Andreas,
eds. Legal Empowerment – a way out of povery. The Norwegian Ministry of Foreign Affairs, December
2006 – issue 2.

Asia Foundation. 2001. Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector. Jakarta: Asia Foundation

Bappenas. 2007. Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia. Jakarta:

Bank Dunia. 2006. Program Pemberdayaan Hukum Perempuan. Tidak dipublikasinkan.

Bedner. 2004. Towards Meaningful Rule of Law Research: An Elementary Approach. MS Unpublished, VVI,
Leiden.

Evers, P.J. 2002. The Indonesian Rural Judiciary, note prepared for the World Bank Justice for the Poor
Project, Indonesia, April 2002.

Katjasungkana, Nursyahbani dan Mumtahanah. 2002. Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan:
Sebuah drama tentang patriarki dan dominasi laki-laki - Seri 1, Jakarta: LBH Apik.

Katjasungkana, ed. 2002. Kasus-kasus Hukum Kekerasan terhadap Perempuan: Sebuah drama tentang
patriarki dan dominasi laki-laki - Seri 2, Jakarta: LBH Apik.

Komisi Hukum Nasional RI. 2007. Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi, Jakarta: Komisi Hukum
Nasional RI.

Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok 71
Daftar Bacaan

Komisi Nasional Perempuan RI. 2004. Peta Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia, Jakarta: Komisi
Nasional Perempuan.

Mulia, Siti Musdah. 2006. Perlunya Revisi Undang-Undang Perkawinan: Perspektif Islam, Jurnal Perempuan
edisi 49.

Munti, Ratna Batara. 2006. Pasal-pasal Diskriminatif dalam RUU KUHP, Jurnal Perempuan edisi 49.

Narrayan, Deepa, et. al. 2000. Voices of the Poor: Crying Out for Change, New York: Oxford University
Press

Novirianti, Dewi. 2005. Penguatan Hukum Perempuan untuk Melawan Kemiskinan. Jurnal Perempuan edisi
45.

Rinaldi, T., Purnomo, M. & Damayanti, D. 2007. Memberantas Korupsi yang Terdesentralisasi, Jakarta, World
Bank.

Sagala, Valentina. 2006. Program Legislasi Nasional Pro Perempuan: Sebuah Harapan ke Depan, Jurnal
Perempuan edisi 49.

Sumner, Cate. 2007. Providing Justice to the Justice Seeker: A Report on the Indonesian Religious Courts
Access and Equity Study, Jakarta: IALDF.

Suryakusuma, Julia. 2004. Sex, Power and Nation, Jakarta: Metafor.

UNDP. 2007. Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia, Jakarta:
UNDP.

World Bank. 2003. Studi-studi Kasus Justice for the Poor Case. Koleksi studi kasus Village Justice in Indonesia
yang ditulis oleh tim Program Justice for the Poor. Tidak dipublikasikan.

World Bank. 2004. Village Justice in Indonesia: Case Studies on Access to Justice, Village Democracy and
Governance, Jakarta: World Bank.

World Bank. 2006. Baseline Survey Program Pemberdayaan Hukum Perempuan, Program Justice for the
Poor, tidak dipublikasikan.

World Bank. 2008. Forging the Middle Ground: Engaging Non-State Justice in Indonesia, Jakarta: World
Bank.

72 Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia:

Vous aimerez peut-être aussi