Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Corpus Alienum (benda asing) pada saluran pernafasan merupakan istilah yang sering digunakan di dunia medis. Benda asing di saluran pernafasan adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada pada saluran pernafasan tersebut. Benda asing pada saluran napas dapat terjadi pada semua umur terutama anakanak karena anak-anak sering memasukkan benda ke dalam mulutnya bahkan sering bermain atau menangis pada waktu makan. Sekitar 70% kejadian aspirasi benda asing terjadi pada anak berumur kurang dari 3 tahun. Hal ini terjadi karena anak seumur itu sering tidak terawasi, lebih aktif, dan cenderung memasukkan benda apapun ke dalam mulutnya. Benda asing dalam saluran pernafasan dapat menyebabkan keadaan yang berbahaya, seperti penyumbatan dan penekanan ke jalan nafas. Gejala sumbatan benda asing di saluran napas tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan, sifat, bentuk dan ukuran benda asing. Pada prinsipnya benda asing di esofagus dan saluran napas ditangani dengan pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan trauma yang minimal.

BAB II. TINJAUAN PUSATAKA


2.1. ASFIKSIA 2.1.1. Defenisi Asfiksia Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia. 2.1.2. Etiologi Asfiksia Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut : 1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru. 2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya. 3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan narkotika. Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan. 2.1.3. Fisiologi Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu : 1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia) Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena : Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini dikenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.

Hambatan

mekanik

dari

luar

maupun

dari

dalam

jalan

nafas

sepertipembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik. 2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia) Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapatipada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkandengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik. 3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia) Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya. 4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia) Ganggua n terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas: Ekstraseluler Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan. Intraselular Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya. Metabolik Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia. Substrat Dalam hal ini makanan tidak mencukup i untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.1.4. Patologi Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu : 1. Primer (akibat langsung dari asfiksia) Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia. Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas. 2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada : Penutupan mulut dan hidung (pembekapan). Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan ( Traumatic asphyxia). Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

Skema 1. Patofisiologi Asfiksia 2.1.5. Stadium Pada Asfiksia Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 stadium, yaitu : 1. Stadium Dispnea Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang. 2. Stadium Kejang Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe. 3. Stadium Apnea

Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. 4. Fase Akhir Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah berkontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan terhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase 1 dan 2 berlangsung lebih kurang 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap

Skema 2. Lingkaran Setan Asfiksia 2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu : 1. Tardieus spot (Petechial hemorrages) Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin , konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

Gambar 1. Tardieus spot dan bintik perdarahan pada jantung b. Kongesti dan Oedema Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). c. Sianosis Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lender yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada

minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hamper selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. d. Tetap cairnya darah Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia. 2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia Didapati sesuai dengan jenis asfiksia, yaitu: 1. 2. Gagging dan Chocking : Dalam rongga mulut ditemukan sumbatan benda asing. Penjeratan Jejas jerat biasanya mendatar, melingkari leher dan umumnya terdapat lebih rendah dari pada jejas jerat pada gantung. Jejas jerat biasanya terletak setinggi atau di bawah rawan gondok. (Gambar 4A) Bila jerat kasar seperti tali dan tekanan kuat, maka dapat meninggalkan luka lecet yang tampak jelas berupa kulit yang mencekung berwarna coklat yang dengan perabaan teraba kaku seperti kertas perkamen. Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet-lecet atau memar di sekitar jejas jerat, biasanya terjadi karena korban berusaha membuka jeratan. Pada pemeriksaan dalam leher di sekitar jeratan, bisa tampak resapan darah pada otot dan jaringan ikat, fraktur dari tulang rawan reutama rawan gondok, dan kongesti jaringan ikat, kelenjar limnfe dan pangkal lidah. Sering ditemukan adanya buih halus kemerahan pada jalan nafas

3.

Pencekikan Pada pemeriksaan luar, tampak pembendungan pada kepala dan muka karena tertekannya pembuluh vena dan arteries superficial, sedangkan arteri vertebrallis tidak terganggu. Tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung cara mencekik. Luka lecet / memar di daerah leher berupa luka lecet kecil, dangkal berbentuk bulan sabit akibat penekanan kuku jari. (Gambar 2 dan 3A) Resapan darah di bagian dalam leher, terutama di belakang kerongkongan, dasar lidah dan kelenjar thyroid Fraktur tulang rawan thyroid, crycoid dan hyoid (Gambar 3B) Buih halus lubang mulut dan hidung.

Gambar 2. Posisi tangan tersangka dan korban pencekikan yang meninggalkan jejas jari pada leher korban

(A) 9

(B)

Gambar 3. Jejas akibat penekanan kuku jari 4. Penggantungan : Jejas jerat berupa lekukan melingkari leher, baik penuh atau sebagian dan disekitarnya terlihat bendungan. Arah jejas jerat mengarah ke atas menuju simpul dan membentuk sudut atau jika jejas diteruskan (pada jejas yang tidak melingkar secara penuh) akan membentuk sudut semu. (Gambar 4B) Warna jejas coklat kemerahan (karena lecet akibat tali yang kasar), perabaan seperti kertas perkamen. Jeratan akan semakin tidak jelas jejasnya, apabila penggantungan menggunakan alat yang lunak dan atau mempunyai ukuran lebar makin besar. Hal serupa terjadi pula pada penjeratan. Alat tersebut misalnya kain jarik, sprei atau sarung yang digulung. Resapan darah pada jaringan bawah kulit dan otot. Tanda ini merupakan salah satu tanda intravital, yakni adanya proses reaksi inflamasi / ekstravasasi sel-sel darah pada jaringan yang menunjukkan bahwa trauma / jeratan terjadi sebelum korban meninggal. Hal serupa pada prinsipnya terjadi pada semua jenis trauma pada semua jaringan. Fraktur os hyoid (biasanya pada cornu majus) dan cartilage crycoid. Lebam mayat dapat ditemukan pada bagian tubuh bawah, anggota bagian distal serta alat genital distal apabila sesudah mati tetap dalam keadaan tergantung cukup lama hingga lebam mayat menetap. (Gambar 5) Lidah akan terlihat menjulur bila posisi tali di bawah kartilago thyroid dan berwarna lebih gelap akibat proses pengeringan. Sebaliknya, apabila lilitan tali di atas kartilago thyroid, lidah tidak akan menjulur.

(A) 10

(B)

Gambar 4. (A) Jejas penjeratan; (B) Jejas jeratan pada penggantungan.

Gambar 5. Livor mortis ditemukan pada ekstemitas bagian bawah 2.1.8. Pemeriksaan Luar Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan : 1. 2. 3. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. 4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah. 5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding

11

kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot. Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia. 2.1.9. Pemeriksaan Dalam Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan : 1. 2. 3. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian. Busa halus di dalam saluran pernapasan. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. 4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah subglotis. 5. 6. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis). 2.2. ASFIKSIA MEKANIK Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya : 1. 2. 3. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking). Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging). Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

2.3. TERSEDAK (CHOKING DAN GAGGING) 2.3.1. Definisi 12

Sumbatan jalan napas oleh benda asing, yang mengakibatkan hambatan udara masuk ke paru-paru. Pada gagging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring. 2.3.2. Mekanisme Kematian Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat ransangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian. 2.3.3. Cara Kematian Kematian dapat terjadi sebagai akibat : 1. Bunuh diri (suicide). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk memasukan benda asing ke dalam mulut sendiri disebabkan adanya refleks batuk atau muntah. Umumnya korban adalah penderita sakit mental atau tahanan. 2. 3. Pembunuhan (homicodal choking). Umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tidak berdaya. Kecelakaan (accidental choking). Pada bolus death yang terjadi bila tertawa ataumenangis saat makan, sehingga makanan tersedak ke dalam saluran pernapasan.Mungkin pula terjadi akibat regurgitasi makanan yang kemudian masuk ke dalamsaluran pernapasan. 2.3.4. Gambaran Post Mortem Tersedak Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga mulut (orofaring atau laringofaring) ditemukan sumbatan yang biasanya bisa berupa sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan pernah ditemukan arang, batu dan lain-lainnya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari kemungkinan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda asing.

13

Gambar 6. Cara menemukan benda asing dalam mulut korban dari pemeriksaan luar

Gambar 7. Benda asing yang ditemukan dalam saluran pernapasan korban

14

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5. Idries, Abdul Munim, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara, Jakarta. Knight, B., 1996, Forensic Pathology, 2 nd Edition, Oxford University Press Inc, New York. Simpson, K., 1979, Forensic Medicine, Eighth Edition, The English Language Book Society an Edward Arnold (Publishers) Ltd. Budiyanto, A., dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik, FK UI. Dahlan S., 2000, Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum, Badan Penerbit Undip.

15

Vous aimerez peut-être aussi