Vous êtes sur la page 1sur 18

Tak ada yang berani membayangkan.. Karena semua memang abu-abu..

Lebih abu-abu dari setiap perbincangan yang berlalu Kita? Aku tak pernah bisa berkata demikian.. Terlalu takut untuk berharap.. Hanya ada aku dan kamu.. Bukan kita.. Mengerti? Ini rumit.. Dan akan lebih rumit lagi.. saat harus membaca runut apa yang ada di dalam hati.. Lalu menjabarkannya hanya untuk mencari alasan mengapa.. Senang bisa mencintai hal yang sama.. Senang bisa mencintai buku yang sama.. Mencintai musik yang sama.. Dan menggemari orang yang sama.. Hanya itu yang aku tahu.. Itu sudah cukup untuk membuatku senang.. Setidaknya kita tak terpisah terlalu jauh.. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat kamu terasa begitu dekat.. Jauh lebih dekat dari jarak itu.. Kamu sempurna di mataku.. Kamu indah bagiku Takkan ada sebuah penyangkalan untuk rasa Dan aku Masih saja setia memandangimu dari balik jendela yang sama.. Diam-diam.. =)

Ada banyak hal yang terjadi setelah waktu itu. Banyak cerita yang sengaja kusimpan. Seperti banyaknya cerita yang takkan habis bila dibicarakan seharian. Beberapa cinta yang datang, lalu pergi. Tapi sedikit pun, tak ada yang mampu menghapus ingatanku dari bayangan lelaki itu. Seabrek pertanyaan yang sama masih menggantung di kepala. Menunggu untuk muntah. Menuntut jawaban yang tak pernah ditemuinya. Kecuali, hanya diam. Semua terasa begitu cepat. Jauh lebih cepat dari apa yang aku bayangkan

Jakarta Jogja, aku dan kamu..batinku. Pernahkah kamu merasakan rasa seperti apa yang aku rasakan padamu? Dulu dan mungkin hingga sekarang. Cinta

Apa kamu pernah terpaksa merelakan seseorang yang kamu cintai? Aku pernah. Dan bukan hanya sekali atau dua kali Aku selalu menyebutnya abu-abu setelah biru. Sebuah masa dimana aku merasakan hal yang terberat dalam hidup, setelah mengecap manisnya beberapa saat sebelumnya. Mungkin, memang tak harus seperti itu. Menangisinya dan berharap ini takkan pernah terjadi. Toh, semua juga tetap terjadi. *** Dini hari ini seperti rangkaian de javu dari hal-hal yang telah berlalu. Sebuah pesan singkat yang membuatku terjagasetengah jam lebih cepat dari biasanya memaksaku kembali merasakan detik-detik melepas sekaligus berusaha merelakan dalam saat yang bersamaan. Singkat, padat dan sangat jelas. Hes officially gone! Seperti merasakan jantung dirajam ribuan sembilu yang tak kasat mata. Di antara usaha untuk mengumpulkan kembali jiwa yang tengah bertualang di dunia mimpi sayatannya sudah begitu terasa. Perlahan, tapi perih. Mungkinkah aku bermimpi? Ini hanya mimpi buruk, kuharap juga begitu. Berharap ini hanya sebuah isu murahan seperti yang selama ini sering terjadi. Bukankah selama ini, isu seperti ini seringkali muncul ke permukaan? Berulang kali aku membaca pesan yang sama. Tak berubah. Aku tidak sedang bermimpi. Aku tidak salah membaca. Atau yang lebih bodoh lagi, aku tidak salah mengartikan. Dalam goyah, aku memaksakan diri untuk membaca beberapa pesan yang lain. Tapi untuk kali initidak ada lagi penyanggahan. Ini nyata, lebih nyata dari mimpi-mimpi indahku yang masih belum sempat kurangkai. Dadaku kembang kempis saat mulai menyadari apa yang terjadi. Ruangan kecil yang hanya berisikan satu tempat tidur, lemari pakaian dan rak buku inikini seolah menjadi gelembung hampa udara. Tak ada suara, tak ada kata. Dan juga tak ada isak tangis. Hanya suara desahan nafas panjang dan suara detak jantung yang seolah berkejaran dengan begitu cepatnya.

Ini yang kedua, ketiga atau entah yang keberapa kalinya. Semuanya sama. Memilih pergi, dengan cara yang berbeda. Dia hanya satu dari beberapa orang yang kucintai. Hanya satu. Tentu saja, dia hanyalah seseorang. Dan takkan pernah lebih dari itu. Dia pun takkan berarti apa-apa tanpa temannya yang lain. Kehadirannya dalam hidupku beberapa tahun yang lalu, memang tak memberikan efek yang berbeda. Ini pertama kalinya, aku berusaha untuk adil. Setidaknya untuk mereka yang lain. Atau juga, aku sudah menyiapkan separuh hatiku untuk melepasnya pergi suatu saat nanti. Tapi harus kuakuimeski telah berulang kali aku sangkaldia berbeda. Matanya selalu bisa berbahasa dengan sempurna. Senyumnya mampu membuat wanita-wanita yang melihatnya menjadi lemas kehabisan oksigen karena menikmati lengkungan tipis di bibirnya itu. Dia memang istimewa. Selalu menjadi idola di kalangan penggila bidangnya. Dan jauh sebelum dia masuk ke dalam hidupku, dia juga telah menjadi pujaan banyak orang. Ah, benar saja. Hanya sebentar, dia sudah mampu mencuri hati ribuan orang. Membuat ribuan wanita secara terang-teranganmengejarnya serta memuja dan mengagungkan namanya.

Sudah bisa membayangkan betapa istimewanya dia? Dia memang istimewa. Setidaknya untuk mereka dan hati kecilku Nothing last forever Konsep keabadian adalah satu-satunya konsep yang tak pernah bisa kusangkal. Sudah berapa kali aku berada di jalan yang sama, merasakan hal yang sama. Ditinggalkan walau tak pernah ingin. Satu hal yang kusadari hingga mentari muncul di ufuk timur, dia sudah benar-benar pergi. Dan mungkin takkan ada lagi jalan untuknya kembali.. Terlalu sulit diterima dengan akal sehat, meskipun tak ada aliran air mata yang mengiringi kepergiannya. Terima saja Aku juga tak pernah tahu dengan cara apa aku akan ditinggalkan oleh orang yang aku cintai. Ini bukan pertama. Ini juga bukan yang kedua atau yang ketiga. Berhitung takkan mampu menyembuhkan hati yang terluka. Tapi luka sebanyak apapun takkan mampu mengubah jati diriku Dia boleh pergi. Mereka boleh pergi Tapi hatiku tidak akan pernah berubah. Akan tetap berada di sini untuk jangka waktu yang tak dapat ditentukan. Argh, mungkin inilah satu-satunya keabadiaan yang aku punya. Bogor, 1 agustus 2012 *Ini bukan ungkapan cinta, ini bukan ungkapan kebencian. Bukan juga ungkapan kekecewaan. Hanya sedikit ungkapan kata hati, yang entah apa. Sedih, mungkin. Aku sendiri juga tak tahu

Mengendap di kala pagi. Bertanya, Seberapa peduliku pada semua? Tawa kecil yang berderai Isak lirih yang tak terdengar Di antara kenangan yang menguar dalam diam Lalu Seberapa pedulimu pada kenangan itu? Aku tak tahu Kau pun mungkin tak lagi peduli Kita Dan secawan mimpi yang tak pernah terengkuh Melodi yang mengalun sendu Menyusup diam-diam dari juntaian kecil berwarna putih Kenangan itu, Sayang Satu-satunya yang membuatmu tetap di sini Juga satu yang buatku berkata Sekali lagi, padamu Maaf, aku belum sepenuhnya lupa

Kuharap bisa menghapus sepi. Melukis garis-garis wajah dalam imaji. Tapi kamu semakin membuatku bisu. Dalam waktu yang tak sebentar Pagi. Berteman secangkir kopi, aku bersimpuh. Di hadapan sebuah kotak kecil yang sesekali berkedip, sesekali berteriak Tapi kamu hilang atau mungkin sengaja dihilangkan. Semua seakan berkonspirasi untuk membuatku merindu. Merindu kamu. Lebih dalam lagi. Kuharap bisa melihatmu sebelum memulai hari. Pagi itu, aku menelan rindu sekali lagi. Sampai jumpa di Minggu pagi.

Hujan seharian Rintiknya lesap, berbaur tanah Tentang pertanyaan hari ini, telah kunanti setelah sekian lama Berkali-kali berpadu dengan mimpi Bersedia? Ya Bulan sabit terlukis di sana Sempurna Sesempurna hari ini Ini perjalanan biru yang tak terbayang Meski hati kecil selalu ingin Tapi membayangkannya, sekali saja, tidak pernah Kamu bersedia? Terulang sekali lagi Jawabanku tidak berubah, Ya! Hari ini, kita berjanji Di hadapan Tuhan Bersama, berdua Memulai satu fase kehidupan yang takkan lagi sama Jogja, 3 Februari 2012

Perjalanan panjang itu. Fase kehidupan yang standart. Mulai dari tidak mengenal, sekedar tahu, ingin tahu lebih banyak. Lalu kita berjabat tangan. Sekelumit kisah sederhana yang terlalu sering diabaikan. Hingga akhirnya kita lupa bahwa kita pernah saling mengenal. Kejam? Bukan, ini hanya siklus di mana hubungan kita yang mencapai sebuah titik jenuh. Aku bosan. Kamu juga bosan. Kita sama-sama bosan. Namun waktu mempertemukan kita kembali. Memulai kembali siklus hubungan kita. Dari awal semua. Padahal aku tidak pernah lupa. Kamu juga berkata demikian. Lalu kenapa? Memang sudah begitu. Dan kamu memberiku kesempatan untuk memulai kembali. Kita tidak pernah lupa. Kita hanya ingin melupakan pahit sebelum kembali pada jalan yang sama. Dan kita memulainya kembali. Kita berjabat tangan. Tersenyum manis dan berkata, Senang bisa mengenalmu. Aku juga Berusaha mengenal kembali. Hingga kita menemukan kembali kesamaan kecil itu. Senang bisa kembali berbagi mimpi untuk menginjakkan kaki di tanah itu. Senang memiliki mimpi yang sama. Mencintai film yang sama. Dan menggemari genre musik yang tidak jauh berbeda. Terlebih, senang bisa menemukanmu kembali Dan lewat perbincangan-perbincangan kecil sebelum mata kita terpejam itu juga. Pada akhirnya, aku tiba di sebuah titikdi mana Einstein pernah bertitah bahwa gaya gravitasi tidak berlaku di sana. Juga di mana rasa sakit dianggap sebagai sesuatu biasa. Aku jatuh cinta Semudah itu? Entahlah

Lantunan musik country di pagi hari Diiringi irama rintik hujan yang beradu dengan genting rumah Hari ini, dia seakan berbisik kepadaku Dekat sekali Hingga bisa kurasakan suara desah nafasnya Dan detak jantungnya

Kamu percaya? Kalau tidak, lebih baik kamu berhenti. Aku percaya.. Masih dan akan terus percaya.. Aku ingin menjadi lebih.. Tapi aku lebih ingin melakukan apa yang aku cintai.. Saat mereka tertawa, mencibir atau mengejek.. Aku hanya bisa tersenyum.. Saat mereka berkata, Seperti itu? Terlalu tinggi dan tidak mungkin. Aku masih saja tersenyum. Akan ada masanya dimana kamu akan mengerti kenapa aku tak mau berhenti. =) Karena aku percaya, akan ada hari dimana semuanya menjadi lebih dekat Lalu, aku mulai berani untuk berkata.. Ini bukan lagi mimpi. Karena itu, aku percaya.. Dan akan selalu begitu..

Begini saja Meski harus mengecap manisnya sendiri Meski harus diam-diam seperti ini Begini saja Ini sudah cukup Biar kunikmati dirimu dari jauh Begini saja Aku sudah cukup bahagia *** Potret itu Aku sengaja meletakkannya di sela -sela buku yang tengah kubaca. Potret yang sempurna. Memperlihatkan puncak keindahannya dirinya. Lengkungan bibirdan diikuti cekungan samar di pipinya yang bersih membuat ribuan kupu-kupu seolah terbang mengitari perutku. Sorot matanya yang tajam terekam sempurna dalam diam. Ekspresi-nya hangat. Sehangat secangkir kopi yang kini kubiarkan dingin karena tak tersentuh sama sekali. Sehangat udara pagi di sepanjang pesisir pantai Barcelona.

Aku masih bisa mengingat saat pertama aku melihatnya. Wajah manisnya bersimbah peluh lengkap dengan senyum yang membuat jantungku berhenti berdenyut untuk beberapa detik. Sesekali, kulihat dia tertawa memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. Dia sempurna.. Bukan, dia yang telah menyempurnakan hari-hariku setelah itu. Untuk pertama kalinya setelah 8 bulanaku merasakan kembali rasa memabukkan. Rasa yang telah membuatku lupa akan segalanya. Lupa akan bermil-mil jarak yang memisahkanku dengannya. Lupa akan lebarnya jurang yang menganga di setiap langkah yang kutempa menujunya.

Tidak perlu bicara Dalam diam, aku masih bisa mendengarnya Tidak perlu juga membantah Untuk apa? Semua sudah jelas Aku tidak akan menyangkal Aku juga tidak akan mengelak Percuma saja Ya, itu benar Tidak salah Tapi aku tidak mau disalahkan Tidak ada yang salah Seperti katamu, hati selalu tahu ke mana dia akan berlabuh

Lama termangu. Memainkan angan yang semakin lama beradu. Bintang-bintang berkedip sendu. Bulan hanya bisa terpaku. Masih dalam tanya yang sama. Yang belum berganti hingga berbulan-bulan lamanya. Bahkan anginpun telah jemu menunggu waktu untuk menyampaikannya. Takut. Tapi tetap ingin tahu. Ingin tahu. Tapi tak pernah siap untuk jatuh. Takut tersakiti sebuah jawaban. Tapi tersakiti perlahan oleh tanya hati. Hati berdenyut membayangkan berjuta kemungkinan. Detak jantung berloncatan saat mengulang tanya yang belum berubah. Mungkinkah?

Di larut malam Berpikir, apa kamu rasakan sama

Berjalan terus ke timur pun, kita akan tetap sampai di barat. Bumi itu bulat, Sayang kamu

Aku ingin bicara Apa kamu mau dengarkan ini? Hanya sekali sebelum kamu benar-benar pergi Aku cinta kamu Itu salah! Dan aku tahu Karna kamu telah memilih jalan untuk pergi Karna selama ini kuhanya milikimu dalam imaji Aku cinta kamu Dan itu yang menjadi alasan untuk menunggumu di sini Aku cinta kamu Meski selama ini hanya luka yang kamu pahat di dinding hati Aku cinta kamu Meski tak mungkin tanganku merengkuhmu Aku cinta kamu Kamu dengar??? Jika tidak, biar kusimpan rapi di hati Dan kulebur dengan luka dan air mata Lalu kutulis kisah kita di bawah hujan Agar semua hilang dan tak berbekas Hanya sekali Sebelum kamu benar-benar pergi

Ada satu hal yang tak pernah aku tahu dan mungkin takkan pernah bisa untuk kumengerti. Seberapa besar rasa itu mempengaruhi hidupku hari inihari-hari sebelum dan juga sesudahnya. Mungkin memang tak perlu seperti ini. Hanya perlu sedikit lebih tenang. Hanya perlu diam seolah tak terjadi apa-apa. Tapi sekeras apapun aku mencoba untuk tidak khawatir, rasa itu semakin besar. Membuatku tahu bahwa aku bisa selemah ini. Sangat lemah.. Tak akan ada yang bisa mentolelir rasa takut, katanya. Karena itu, aku lebih memilih sakit daripada harus takut. Tapi, akan lebih baik lagi, jika tak harus memilih di antara keduanya. Aku tahu Kau akan selalu menjagaku Karena itu Kau ciptakan takut. Agar aku lebih menjadi lebih manusiawi.

Yang aku tahu Aku terlalu sering membisu Terisak lirih dalam senyap Hening menyapu suara Tercekat Yang aku sadari Aku tidak pernah menyebutnya satu persatu Sedetail apa yang aku tulis di diary biru Sejelas apa yang kubagi bersamanya Tapi aku tahu Kau selalu lebih tahu Lebih kepada apa yang tidak kusadari Bahkan dalam diamku, Kau selalu tahu Aku ingin Aku mau Aku harap Berpendar dalam bisu Tenggelam dalam heningku bersama-Mu Kau tahu Meski aku masih sering membisu Kau mendengar Meski suaraku terlalu lirih Takut untuk meminta Tuhan, mimpiku masih sama

Hari ini, tiga tahun yang lalu Saat pertama Tuhan menciptakan hujan untuk kita nikmati berdua Ditemani secangkir kopi panas Menyesap aroma tanah kering yang mulai basah Hari ini, tiga tahun yang lalu Segaris kata terucap Seusai mendekap dingin yang membekukan bibir Mengalirkan hangat Hari ini, tiga tahun yang lalu Pertama dan kali terakhir bersama Jejak kaki itu tak berbekas, disapu hujan Janji itu luruh

Sebenarnya mudah saja. Bukankah sudah kukatakan berkali -kali. Selama dia bahagia, aku juga bahagia. Sesederhana itu, bisiknya lirih berusaha meyakinkan hatinya sendiri. Bukankah kau sendiri yang berkata bahwa rumah adalah di mana hati kita berada. Jadi di manapun tempatnyaselama ada dirimuaku akan menyebutnya rumah.

Seperti biasa Memandangmu kemudian termangu Dan kupinjam sayapmu sejenak Untuk kujelajahi tempat-tempat itu Tempatmu, mimpi kecilku Hanya perlu melihat, merasakan, membayangkan Lalu menulisnya Tidak peduli kau melakukan apa Sederhana bukan? Lalu mengapa pikiran ini justru semakin rumit? Ingin kau tahu aku ada Ingin kau juga menoleh, melihatku Sekali saja Dan jika mungkin, selamanya

Bolehkah?

In this world you tried, not leaving me alone behind Theres no other way, I pray to the God, let him stay The memories ease the pain inside, and now I know why Orang bilang, kita tidak akan pernah tahu dengan cara apa dan bagaimana kita ditinggalkan. Secara baik-baik atau menyakitkan. Tidak ada pilihan, kecuali kita berada di pihak yang meninggalkan. Seperti itu kiranya. Wangi tubuhnya masih tertinggal. Bayangan itu masih belum pergi sepenuhnya. Senyumnya terbayang di keheningan malam. Tawanya sesekali terdengar dalam diam. Bukan! Itu tidak nyata, tentu saja. Tawa itu, senyum itu, raut wajah itu dan juga wangi tubuhnya yang khas hanya ada di dalam angan. Separuh pikiran yang tertinggal di masa lalu. Ah, bisa saja seluruh. Sorot matanya jernih, hanya dengan sekali melihat siapapun pasti akan jatuh cinta padanya. Satu pengecualian mungkin hanya ada pada diriku. Mungkin? Ya, mungkin. Karena aku sebenarnya aku tahu, semua itu hanya sebuah penyangkalan tentang apa yang dirasakan hati. Desahan nafasku tertahan bersama semburat angan yang memenuhi pikirku. Seperti baru kemarin. Dan kini, deru kenangan itu memburuku. Memaksa mengingat semua dari awal pertama. Bohong jika aku berkata aku tidak bahagia. Munafik jika aku tidak merasakan gejolak apapun. Aku suka. Aku bahagia. Jalan kami sama. Jalan yang membuat aku dan dia berada di tempat yang sama. Entah sampai kapan. Tapi tetap tidak ada yang berubah. Aku masih banyak diam. Pekik kegirangan yang sengaja digumamkan perlahan. Berharap dia tidak tahu bahwa aku Maksudku, ya aku bahagia dia di sini. Aku bahagia di sini. Dan Yeah, aku cinta kamu. Cinta tempat ini. Sebaris kalimat yang berhasil melambungkan semua harapan setinggi mungkin. And it means, you will leave me someday Kalimat itu terucap secara tidak sadar dari bibir yang nyaris membeku. Tapi serentak sayap imajinasiku berhenti mengepak. Kakiku kembali menjejak bumi. Yang aku tahu, setelah itu rasa takut kembali menyergap. Rasa bahagia itu pudar perlahan. Aku takut. Takut suatu saat dia akan benar-benar pergi. Takut dia akan menambah panjang deretan kegagalan yang terjadi sebelumnya. Aku tidak akan pergi. Tak perlu seperti ini. Dia bersungguh-sungguh, aku tahu. Tapi mungkin akan lebih baik lagi jika dia tidak berjanji. Paling tidak, itu akan membuatku tidak berharap terlalu banyak agar dia tetap bertahan di

tempatnya kini. Dan juga menyisakan satu tempat di hati agar bisa menerima kenyataan jika saja dia pergi. Suatu saat nanti. Untuk kesekian kalinya kudengar hembusan nafas berat dan tak beraturan. Aku lelah. Lelah karena harus mengingat satu persatu. Kenangan itu, wajahnya, tawanya. Dan semua tentang dia. Nyatanya, dia benar-benar pergi. Hanya beberapa bulan setelah dia berjanji dan berkata bahwa dia akan bertahan. Aku mendesis lirih, jika ingin pergi bukan seperti itu caranya. Bukankah sudah kubilang tak perlu berjanji. Janji itu memang manis, tapi setelah itu dia akan menikammu perlahan dan menghancurkan hati orang yang berharap kamu tetap singgah. Mengapa harus mengucapkan sesuatu yang bahkan dirimu sendiri tidak pernah yakin? Mengapa tidak mencoba perlahan? Dengan begitu orang akan tahu jika kamu memang tidak sanggup bertahan. Dengan begitu orang tidak mencercamu sebagai orang yang ingkar. Arggh, sudahlah. Bukankah sudah kukatakan pada hati berkali-kalihingga aku sendiri merasa letihtak perlu menyesali apa yang terjadi. Meyakinkan diri bahwa selama dia bahagia, sejauh itu juga aku harus turut merasa bahagia. Sesederhana itu. Walau nyatanya tak pernah sedikit pun terasa sederhana seperti pikirku. Putus asa, sakit, lelah dan tak berdaya. Aku ingin lupa. Aku menghapus segala ingatan tentangnya. Tapi kenangan itu terlalu indah. Dan tangis itu pecah. Menyelinap diam-diam di antara suara hujan yang semakin deras. Isaknya terdengar begitu lirih. Terlalu takut didengar Kuletakkan tanganku di dada. Menahan satu rasa sakit karena mengenangnya. Perlahan menarik nafas panjang. Lalu bergumam lirih. Selama dia bahagia, aku juga bahagia. Sesederhana itu. Made me promise Id try, to find my way back in this life Hope there is a way, to give me a sign youre okay Reminds me again its worth it all, So I can go home..

Untuk ribuan kupu-kupu yang menari di perut. Untuk endapan emosi yang tertahan. Juga rasa yang menyelinap dalam keheningan pagi. Terima kasih Untuk rasa sakit karena merasa kehilangan. Untuk tangis dalam diam. Untuk nafas yang tertahan karena penantian. Dan riak bahagia saat kamu datang. Terima kasih

Untuk puluhan tempat yang dipijak imajinasi. Untuk seni yang kamu ciptakan untuk memanjakanku. Terima kasih Untuk setiap kata dan kalimat indah itu. Untuk puluhan puisi yang tercipta karena memikirkan kamu. Untuk puluhan prosa yang kutulis karena membayangkan kamu. Terima kasih Untuk menjadi alasan yang memperpanjang mimpi kecilku. Untuk menjadi harapan yang menguar dalam diam. Juga telah sudi menjadi seteguk inspirasi yang tidak pernah habis. Terima kasih Dan untuk semua hal yang ada karena kehadiranmuyang mungkin terlewatkan untuk kutulis. Terima kasih. Kamu tahu? Semua itu sangat berarti untukku. :)

jarak kita hanya sebatas daun telinga dengan ponsel di tangan.

Jarak hanya mengecilkan kemungkinan itu dan takdir yang akan menghapuskannya nanti. Dan yang bisa kulakukan sekarang, hanyalah membiarkan pikiranku mengembara jauh ke tempatmu. Membiarkan jemariku berlompatan sambil sesekali mengintip sebuah tab google chrome ku dengan harapan akan ada sebuah kabar yang membawa berita bahwa kamu sudah jauh lebih baik. Ah iya, aku memang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa menghiburmu, tidak bisa menemuimu, dan aku bahkan tidak bisa mengirimkan surat berisi rasa simpati, peduli serta harapanku akan kesembuhan kamu. Aku cuma bisa berkhayal, membayangkan sekarang kita duduk berhadapan di sebuah tempat terbuka sambil sesekali meneguk secangkir cappuccino favoriteku yang masih tidak sepahit kenyataan. Kamu mengeluarkan semua keluh kesahmu, mengungkapkan kekesalanmu dan kesedihanmu akan tragedi kemarin. Dan aku akan mendengarkanmu dengan penuh rasa sabar, membiarkan kamu menumpahkan setiap perasaanmu dan kemudian menyodorkan sebuah sapu tangan untuk mehapus cairan bening yang mulai menggantung di sudut matamu. Ketika kamu mulai sedikit tenang, aku akan berkata bahwa sebenarnya kamu tidak perlu terlalu larut dalam kesedihan. Karena entah bagaimana caranya, energi kesedihan yang kamu lepas nantinya akan kembali padamu dalam jumlah yang sama besarnya. Dan itu akan membuatmu semakin merasa terpukulatau bisa juga semakin membenci kenyataan. Toh dulu kamu pernah bilang, tidak ada satu hal pun yang telah terjadi patut untuk disesali. Dan jika sekarang kamu terlanjur merasa hancur, kamu hanya perlu membangkitkan energi positif dalam dirimu, menyingkirkan separuh dari kesedihanmu dan menarik bibirmu agar membentuk satu senyum yang telah seharian ini hilang. Itu akan bisa membantumu untuk merasa sedikit lebih baik. Kalau saja

Aku hanya menunggu. Menunggu waktu untuk satu pertemuan lagi, pertemuan yang membawa kita pada satu babak baru dalam hidup. Kemudian kita duduk di sebuah kursi kayu di belakang rumah kita pada suatu sore yang tenang, di antara ingar bingar ocehan anak kecil di depan kita. Dan kita akan membacanya bersama-sama sambil menikmati senja di tempat yang sama -Unsent

notes

Aku tidak pernah berhenti memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Di antara kita, hanya ada dua pilihan: tetap bersama atau memutuskan untuk berpisah saat sampai di persimpangan. Aku bilang, pilihan akan selalu ada di tanganmu. Saat kemarin lalu kamu memutuskan untuk tetap tinggal, aku merasa bahagia. Karena setidaknya kita akan tetap berada di jalur sama dalam rentang waktu yang tidak pernah kita tahu. Tapi kamu tentu tahu, di antara senangku ada rasa getir setiap memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadinya: kamu pergi.

Kita sama-sama tahu, waktu itu semakin dekat setiap harinya. Di saat kamu sibuk mempertimbangkan jalan mana yang akan kamu ambil, di saat yang sama aku belajar cara untuk melepas. Merelakan kamu pergi. Aku selalu mencoba agar tetap sadar, cuma kamu yang berhak memutuskan: memilih tempat yang menurutmu lebih baik dan bisa membuat kamu belajar lebih banyak lagi. Meskipun kamu bilang, kamu bahagia di sini; kamu mencintai tempat ini dan, sebisa mungkin, kamu ingin lebih lama berada di sini. Aku tidak mau kamu terkekang satu kesimpulan yang nantinya memberatkanmu: karena kamu bahagia di sini, maka dari itu kamu mau tetap di sini. Lalu kamu mengabaikan satu kesempatan lain yang kamu impikan, melewatkan sebuah peluang untuk belajar, menjadi lebih baik dan sebagainya. Kamu berhak menjadi lebih. Dan karena itu, kamu pun juga berhak untuk pergi. Aku tidak akan marah, sungguh. Sekalipun membayangkannya saja sudah cukup membuatku sakit. Tapi aku yakin, jika aku masih bisa melihatmu bahagia dan berhasil di sana, rasa sakit akan terus memudar seiring berjalannya waktu. Seperti katamu, perpisahan seringkali memaksa kita belajar tentang banyak hal. Jika bagimu ini hanya belajar bagaimana caranya untuk pergi tanpa harus menyakiti hati orang yang mencintai kamu. Bagiku, ini adalah belajar bagaimana harus mengikhlaskan kamu tanpa perlu menyisakan rasa berat maupun penyesalan di hatikujuga di hatimusaat kamu melangkahkan menuju pintu dan keluar menuju tempat yang tidak lagi sama. Aku tidak akan keberatan untuk turut berbahagia melihatmu berhasil di tempat barumu nanti. Melihat perkembanganmu meningkat pesat saat di sana. Aku juga tidak akan berubah, aku janji. Jika pun kamu nanti terpuruk, aku akan tetap berada di belakangmu dan tetap mendukungmu. Sama seperti sekarang.

Aku tahu, hal ini yang tidak kamu inginkan untuk hilang dari hidupmu. Kita sama-sama akan mencoba. Kita sama-sama masih perlu belajar dari sekarang. Agar nantijika waktu itu tibakita bisa menciptakan sebuah perpisahan yang indah. Yang meskipun akan tetap ada air mata di sana, aku tidak ragu lagi untuk berkata: Selamat tinggal. Semoga kamu bahagia di sana., lengkap dengan seulas senyum tulus. Sesederhana itu.

Aku selalu berkata, kamu dan hujan adalah satu paket tak terpisahkan. Dan saat hujan turun, hal pertama yang terlintas di pikirku adalah kamu Memories are warm you up the inside. But theyre also what tear you apart. ~ Haruki Murakami Seharusnya, aku mencoba untuk tidak mengenang kamu lagi. Bukan seperti sekarang, aku duduk di tepi jendela dan menghadap ke luar. Menikmati rinai hujan sembari menggenggam secangkir coklat panas, lalu membiarkan pikiranku terbang kembali ke masa tiga tahun lalu. Aku tersenyum, kamu tahu? Mengenang hal-hal yang pernah kita lewati bersama adalah sebuah kegiatan menyenangkansangat menyenangkan. Dan, well, aku selalu bisa menikmatinya. Meski kerap kali aku dibuat merindukan hari di mana kita berbaur dengan sedikit orang yang nekat menembus deras hujan dengan alasan berbeda; saat kamu mencipratkan air hujan ke wajahku; saat kita berbagi sepotong cake keju. Juga guyonan-guyonan garing dan cerita-cerita absurd yang sering kita lontarkan di sela kesibukan kita. Itu sudah cukup membuat bibirku mengulas sebuah senyum indah dengan pipi bersemu merah. Merasakan hangat mengalir di tubuhku saat mengenang. Hingga akhirnya aku sampai pada scene selanjutnya: hari-hari setelah kita memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri, waktu yang kubuang percuma untuk mengharapkan sebuah keajaiban, harapan kosong akan wacana penerimaan kembali dan setahun lalu, saat kamu mengikat janji. Dan tanpa kusadari, ada cairan bening yang menggantung di sudut mata. Mencoba merangsek agar luruh dan kemudian lesap dalam pori-pori kayu. Hujan, kamu dan kenangan itu. Akhirnya masih sama. Senyum itu hanya sejenak, rasa hangat itu berlalu dengan cepat, kemudian berganti dengan satu rasa yang masih saja hinggap. Perih

I think you still love me, but we cant escape the fact that Im not enough for you. I knew this was going to happen. So Im not blamming you for falling in love with another woman. Im not angry, neither. I should be, but Im not. I just feel pain. A lot of pain. I thought I could imagine how much this would hurt, but I was wrong. Haruki Murakami (South of The Border, West of The Sun) Tapi aku memilih pergi untuk menciptakan jarak di antara kita. Itu sudah cukup membuat kita tidak akan saling bertatap muka dalam kurun waktu yang lama. Ya, aku memilih pergi. Aku memilih lari daripada melihat perasaan ini berkembang di saat aku tidak bisa melakukan apa-apa. Dan jarak mungkin akan bisa membantuku mengikis perasaan itu. Hingga nanti, saat kita bertemu, aku tetap menganggapmu sebagai seorang teman baik yang selalu ada kapan pun aku membutukanbukan sebagai seorang teman yang kutinggalkan saat aku sadar bahwa dia telah membuatku jatuh cinta.

Aku pernah bilang, sepertinya akan sulit untukku menghilangkan kamu dari pikirkuorang yang tidak pernah kutemui meski sekali seumur hidup. Ketika delapan tahun setelah hari itu, orang yang datang untuk mengisi tempat kosong yang kamu tinggalkan pun tidak pernah mampu membuatku lupa. You can love many, but there will only be one you love the most. ~ Bones Sama seperti kehilangan. Seseorang mungkin pernah merasakan kehilangan yang sama lebih dari sekali, tapi hanya akan ada satu kehilangan yang akan tetap membekas dan masih terasa menyakitkan. Katakanlah, kamu pernah putus cinta lebih dari sekali. Beberapa di antaranya mungkin telah kamu lupakan dengan mudah, namun satu atau dua masih tetap kamu kenang dan mungkin kamu sesali. Ada hal-hal yang spesial, orang-orang spesial yang membuat mereka berbeda dari beberapa lainnya yang pernah singgah. Yang membuat kita bisa langsung teringat mereka setelah mengalami kembali atau melihat kejadian serupa. Kamu tahu tentang apa yang terjadi, bukan? Kamu pasti melihatnya dari sana, tempatmu beristirahat dalam damai. Sama seperti tahun lalu, kemarin aku disuguhi kenangan tentang kamu dalam bentuk video dan tekskejadian delapan tahun lalu. Dan aku pun seakan dibawa kembali ke waktu yang sama: detik demi detik menjelang kepergian kamu. Aku tidak mau menyesalinya, walau tetap saja mataku tak mampu menahan cairan itu untuk tumpah. Karena aku selalu berusaha percaya, kepergian kamu itu cuma untuk mengingatkanku bahwa kamu spesial di mataku; bahwa kamu bukan orang yang begitu saja bisa kulupakan. Bahkan ketika kini kamu jauh sekalipun, kamu tetap menjadi orang yang sama. Kamu tetap indah, orang yang masih memiliki satu tempat di hati. Orang yang membuatku sering menengadahkan kepala di malam hari, dan berharap bisa menemukan kamu bersinar terang seperti bintang-bintang yang lainnya.

Vous aimerez peut-être aussi