Vous êtes sur la page 1sur 26

flexural dan extensoral eruption in dermatologic disease

Atopic dermatitis Atopic dermatitis is a pruritic condition often seen in the pediatric population. The important clinical features include pruritus, eczematous lesions, xerosis, and lichenification. 10 It is often associated with other atopic diseases including asthma, allergic rhinitis, urticaria, and acute food allergies. 10 The prevalence of atopic dermatitis is 10% to 12% in children and 0.9% in adults in the United States. 11 Internationally, the prevalence is 15% to 30% in children and 2% to 10% in adults. It affects all races and has a male/female ratio of 1:1.4. 12 Most cases of atopic dermatitis occur in the first year of life, with the highest incidence during infancy and childhood. 11 Patients exhibit significant pruritus, and often scratch themselves excessively. Flares and remissions mark the disease course. Xerosis, lichenification, and eczematous lesions are often present. Excoriations and crusting are common. In infancy, the earliest lesions affect the antecubital and popliteal fossae with marked erythema and exudation. 10 The lesions then localize to the cheeks, forehead and scalp, and extensors of the lower legs, sparing the diaper area. Lesions are poorly demarcated, erythematous, scaly, crusted patches and plaques. 10 Among children, atopic dermatitis manifests as generalized xerosis, lichenification, and lesions are eczematous and exudative. The antecubital and popliteal fossae and buttock-thigh creases are often affected, with excoriations and crusting. Atopic dermatitis in adults presents as diffuse lesions with erythema, xerosis, lichenification, and a brown macular ring around the neck. This condition is diagnosed clinically with criteria including pruritus, eczematous changes, a chronic and relapsing course, early age of onset, atopy, xerosis, a personal history of asthma or hay fever, and onset at an age younger than 2 years. The etiology of atopic dermatitis is currently unknown but genetic, infectious, hygienic, environmental, and allergic causes have been proposed. 12 Laboratory studies are often not useful, and the diagnosis is typically made clinically. A variety of treatments are used to manage atopic dermatitis. Patients are encouraged to apply moisturizers to affected areas after taking lukewarm baths. 13 Topical steroids are also highly effective, especially in an ointment base, and should be applied to affected skin. 13 Topical immunomodulators can also be used, including tacrolimus and pimecrolimus. 13 Complications of atopic dermatitis usually arise from medications used to treat it. Potent topical corticosteroids can cause striae and skin thinning. Most patients improve as they grow older; however, allergic rhinitis eventually develops in one-third of patients, and asthma also will develop in one-third. 12 http://www.clinicalkey.com/#!/ContentPlayerCtrl/doPlayContent/1-s2.0-S0738081X11000460/ {%22scope%22:%22all%22,%22query%22:%22Generalized%20atopic%20dermatitis%22}

DERMATITIS ATOPI

Definisi Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan. Dermatitis atopik atau eksema adalah peradangan kronik kulit yang kering dan gatal yang umumnya dimulai pada awal masa kanak-kanak. Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan, peradangan, dan gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa. Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic march. Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi antigen dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir. Sangat mungkin peningkatan prevalensi ini berasal dari faktor lingkungan, seperti bahan kimia industri, makanan olahan, atau benda asing lainnya. Ada dugaan bahwa peningkatan ini juga disebabkan perbaikan prosedur diagnosis dan pengumpulan data.

Dermatitis Patogenesis Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah

menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik. 1. Multifaktor DA mempunyai penyebab multi faktorial antara lain faktor genetik, emosi, trauma, keringat, imunologik 2. Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE. 3. Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinocyte diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment 4. Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil 5. Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Resiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%. Reaksi imunologis DA Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi. Ekspresi sitokin Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat. Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA. Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema. Antigen Presenting Cells Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi. Faktor non imunologis Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal. Faktor-faktor Pencetus Makanan Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit ( skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya. Alergen hirup Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR), dimana pada pemeriksaan in vitro (RAST), 95% penderita DA mengandung IgE spesifik positif terhadap TDR dibandingkan hanya 42% pada penderita asma di Amerika Serikat. Perlu juga diperhatikan bahwa DA juga bisa diakibatkan oleh alergen hirup

lainnya seperti bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim. Infeksi kulit Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit oleh kuman umumnya Staphylococcus aureus, virus dan jamur. Stafilokokus dapat ditemukan pada 90% lesi penderita DA dan jumlah koloni bisa mencapai 107 koloni/cm2 pada bagian lesi tersebut. Akibat infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan histamin. Oleh karena itu penderita DA dan disertai infeksi harus diberikan kombinasi antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid topikal. Manifestasi Klinis Umumnya gejala DA timbul sebelum bayi berumur 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopik dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa. Terdapat kesan bahwa makin lama dan makin berat dermatitis yang diderita semasa bayi makin besar kemungkinan dermatitis tersebut menetap sampai dewasa, sehingga perjalanan penyakit dermatitis atopik sukar diramalkan. Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk infantil, bentuk anak, dan bentuk dewasa. Bentuk infantil Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi sel sudah merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sel bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur. Bentuk anak Seringkali bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun diantaranya terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.

Bentuk dewasa DA bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi.

Stigmata pada dermatitis atopik Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA, yaitu:

White dermatographism Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-15 menit berikutnya. Reaksi vaskular paradoksal Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA. Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan

terjadi percepatan pendinginan dan perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal.

Lipatan telapak tangan Terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk DA. Garis Morgan atau Dennie Terdapat lipatan ekstra di kulit bawah mata. Sindrom buffed-nail Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa sangal gatal. Allergic shiner Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan melanin. Hiperpigmentasi Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus menerus. Kulit kering Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada musim panas. Delayed blanch Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini disebabkan oleh vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler. Keringat berlebihan Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus bertambah. Gatal dan garukan berlebihan Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan pada penderita DA gatal dapat bertahan selama 45 menit.

Variasi musim Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan musim belum difahami secara menyeluruh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelembaban nisbi tinggi musim baik pada kekeringan kulit penderita DA. Pada daerah dengan kelembaban nisbi tinggi musim panas berpengaruh buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan berpengaruh baik pada kulit penderita DA. Diagnosa Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, hasil pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit rinitis alergika atau asma pada keluarga penderita. Pengobatan Krim atau salep corticosteroid bisa mengurangi ruam dan mengendalikan rasa gatal Eksim. Krim corticosteroid yang dioleskan pada daerah yang luas atau dipakai dalam jangka panjang bisa menyebakan masalah kesehatan yang serius, karena obat ini diserap ke dalam aliran darah.

Jika krim atau salep sudah tidak efektif lagi, maka digantikan oleh jeli minyak selama 1 minggu atau lebih. Mengoleskan jeli minyak atau minyak sayur bisa membantu menjaga kehalusan dan kelembaban kulit. Jika digunakan kembali setelah pemakaiannya dihentikan sesaat, corticosteroid menjadi efektif kembali. Pada beberapa penderita, ruam semakin memburuk setelah mereka mandi, bahkan sabun dan air menyebabkan kulit menjadi kering dan penggosokan dengan handuk bisa menyebabkan iritasi. Karena itu dianjurkan untuk lebih jarang mandi, tidak terlau kuat mengusap-usap kulit dengan handuk dan mengoleskan minyak atau pelumas yang tidak berbau (misalnya krim pelembab kulit). Antihistamin (difenhidramin, hydroxizini) bisa mengendalikan rasa gatal, terutama dengan efek sedatifnya. Obat ini menyebabkan kantuk, jadi sebaiknya diminum menjelang tidur malam hari. Kuku jari tangan sebaiknya tetap pendek untuk mengurangi kerusakan kulit akibat garukan dan mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi. Penderita sebaiknya belajar mengenali tanda-tanda dari infeksi kulit pada dermatitis atopik (yaitu kulit bertambah merah, pembengkakan, terdapat gurat-gurat merah dan demam). Jika terjadi infeksi, diberikan antibiotik. Tablet dan kapsul corticosteroid bisa menimbulkan efek samping yang serius, karena itu hanya digunakan sebagai pilihan terakhir pada kasus yang membandel. Obat ini bisa menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, kelemahan tulang, penekanan kelenjar adrenal dan masalah lainnya, terutama pada anak-anak. Selain itu, efeknya yang menguntungkan hanya bertahan sebentar. Pada dewasa bisa dilakukan terapi dengan sinar ultraviolet ditambah psoralen dosis oral. Terapi ini jarang dilakukan pada anak-anak karena efeks samping jangka panjang yang berbahaya, yaitu kanker kulit dan katarak. Pencegahan Menghindari kulit kering dapat menjadi salah satu faktor dalam membantu mencegah serangan di masa depan dermatitis. Tips ini dapat membantu Anda meminimalkan efek pengeringan mandi pada kulit Anda: 1. Frekwensi mandi. Kebanyakan orang yang rentan terhadap dermatitis atopik tidak perlu mandi setiap hari. Coba satu atau dua hari tanpa mandi. Ketika Anda melakukan mandi, batasi diri Anda hanya 15 sampai 20 menit, dan menggunakan air hangat, bukan panas. Menggunakan minyak mandi juga dapat membantu. 2. Gunakan hanya sabun tertentu atau deterjen sintetis. Pilih sabun ringan yang bersih tanpa berlebihan menghapus minyak alami. Deodoran dan sabun antibakteri mungkin membuatlebih kering kulit Anda. Gunakan sabun hanya pada wajah, ketiak, daerah genital, tangan dan kaki. Gunakan air bersih di tempat lain. 3. Keringkan diri Anda dengan cermat. Lap kulit Anda dengan cepat dengan telapak tangan Anda, atau tepuk dengan lembut kulit Anda dengan handuk kering lembut setelah mandi.

4. Melembabkan kulit Anda. Pelembab menahan kulit Anda agar air tidak hilang. Pelembab tebal bekerja dengan baik. Anda mungkin juga ingin menggunakan kosmetik yang mengandung pelembab. Jika kulit Anda sangat kering, Anda mungkin ingin memakai minyak, seperti baby oil, sewaktu kulit Anda masih basah. Minyak memiliki daya tahan lebih daripada pelembab mencegah penguapan air dari permukaan kulit Anda. http://journal-kesehatan.blogspot.com/2011/11/dermatitis-atopik.html Background Atopic dermatitis (AD) is a pruritic disease of unknown origin that usually starts in early infancy (an adult-onset variant is recognized); it is characterized by pruritus, eczematous lesions, xerosis (dry skin), and lichenification (thickening of the skin and an increase in skin markings). AD may be associated with other atopic (immunoglobulin E [IgE]associated) diseases (eg, acute allergic reaction to foods, asthma, urticaria, and allergic rhinitis). [1] AD has enormous morbidity, and the incidence and prevalence appear to be increasing. Further, AD is the first disease to present in a series of allergic diseases such as food allergy, asthma, and allergic rhinitis (in order), provoking the atopic march theory, which suggests that early or severe AD and cutaneous sensitization to environmental allergens may lead to subsequent allergic disease at other epithelial barrier surfaces (eg, gastrointestinal or respiratory tract). This hypothesis is supported by cross-sectional and longitudinal studies.[2] Pathophysiology Despite recent advances in the understanding of the genetics of atopic dermatitis (AD), the pathophysiology remains poorly defined. Two main hypotheses have been proposed regarding the development of inflammation that leads to AD. The first suggests a primary immune dysfunction resulting in IgE sensitization and a secondary epithelial-barrier disturbance. The second proposes a primary defect in the epithelial barrier leading to secondary immunologic dysregulation and resulting in inflammation. In healthy individuals, balance exists between important subsets of T cells (eg, T h 1, Th 2, Th 17). The primary immune dysfunction hypothesis invokes an imbalance in the T-cell subsets, with T H 2 cells predominating; this results in the production of T h 2 cytokines such as interleukin (IL)4, IL-5, and IL-13, causing an increase in IgE from plasma cells and diminished interferon-gamma levels. Later, in persons with chronic AD, the Th 1 cells predominate. More recently, Th 17 cells have been found to be elevated in patients with acute AD. [3] Though primarily considered to be a Th 2-mediated disease, the precise contribution of Th 1 and Th 17 cell responses remain to be fully defined. In addition to the role of T and B cells in AD, other innate immune cells are also implicated in the pathogenesis of AD, including basophils, eosinophils, and mast cells.[4, 5, 6, 7] The epidermal barrier dysfunction hypothesis suggests that AD patients develop AD as a result of skin barrier defects that allow for the entry of antigens, resulting in the production of

inflammatory cytokines. Some authors question whether such antigens can also be absorbed from the gut (eg, from food) and/or the lungs (eg, from house dust mites). Xerosis and ichthyosis are known to be associated signs in many AD patients. Clinically, 37-50% of people with ichthyosis vulgaris have atopic disease and up to 37% of people with AD have clinical evidence of ichthyosis vulgaris.[8] Mutations in the gene encoding filaggrin, a key epidermal barrier protein, cause ichthyosis vulgaris and are the strongest known genetic risk factors for the development of AD.[9] In fact, filaggrin mutations are associated with early-onset AD and with airway disease in the setting of AD.[10] One mechanism by which filaggrin defects may influence inflammation is by the release of a family of epithelial cytokines including thymic stromal lymphopoietin (TSLP), IL-25, and IL-33, which are all known to be up-regulated in the context of epithelial barrier disruption.[11] All of these cytokines are potent promoters of T h 2 cytokine responses.[12] Although filaggrin is strongly linked to AD, mutations are only found in 30% of European patients, begging the question of whether other genetic variants may also be responsible for some of the findings in the pathogenesis of AD. In AD, transepidermal water loss is increased. Whether the primary immune dysregulation causes secondary epithelial barrier breakdown or primary epithelial barrier breakdown causes secondary immune dysregulation that results in disease remains unknown. However, given the fact that filaggrin is critical for epithelial integrity, it is now thought that loss of filaggrin function leads to increased transepidermal penetration of environmental allergens, increasing inflammation and sensitivity and potentially leading to the atopic march.[13] Epidemiology Frequency United States The prevalence rate for atopic dermatitis is 10-12% in children and 0.9% in adults. More recent information examining physician visits for atopic dermatitis in the United States from 1997-2004 estimates a large increase in office visits for atopic dermatitis occurred. In addition, blacks and Asians visit more frequently for atopic dermatitis than whites. Note that this increase involves all disease under the umbrella of atopic dermatitis and it has not been possible to allocate which type has increased so rapidly.[14] International The prevalence rate of atopic dermatitis is rising, and atopic dermatitis affects 15-30% of children and 2-10% of adults. This figure estimates the prevalence in developed countries. In China and Iran, the prevalence rate is approximately 2-3%. The frequency is increased in patients who immigrate to developed countries from underdeveloped countries.[15] Mortality/Morbidity

Incessant itch and work loss in adult life is a great financial burden. A number of studies have reported that the financial burden to families and government is similar to that of asthma, arthritis, and diabetes mellitus. In children, the disease causes enormous psychological burden to families and loss of school days. Mortality due to atopic dermatitis is unusual.

Kaposi varicelliform eruption (eczema herpeticum) is a well-recognized complication of atopic dermatitis. o It usually occurs with a primary herpes simplex infection, but it may also be seen with recurrent infection. Vesicular lesions usually begin in areas of eczema and spread rapidly to involve all eczematous areas and healthy skin. Lesions may become secondarily infected. Timely treatment with acyclovir ensures a relative lack of severe morbidity or mortality.
o

Another cause of Kaposi varicelliform eruption is vaccination with vaccinia for the prevention of small pox, but because this is no longer mandatory, patients with atopic dermatitis do not develop the sequelae of eczema vaccinatum that has been seen in the past. It was usually contracted by the patient from the vaccination of themselves or their close relatives. This condition had a high mortality rate (up to 25%). In the current climate of threats of bioterrorism, vaccination may once again become necessary, and physicians should be aware of eczema vaccinatum in this setting. Note that chickenpox vaccine does not carry the same risk as herpes simplex and vaccinia.

Bacterial infection with Staphylococcus aureus or Streptococcus pyogenesis is not infrequent in the setting of atopic dermatitis . The skin of patients with atopic dermatitis is colonized by S aureus. Colonization does not imply clinical infection, and physicians should only treat patients with clinical infection. The emergence of methicillin-resistant S aureus (MRSA) may prove to be a problem in the future in these patients. Eczematous and bullous lesions on the palms and soles are often infected with beta-hemolytic group A Streptococcus. Urticaria and acute anaphylactic reactions to food occur with increased frequency in patients with atopic dermatitis. The food groups most commonly implicated include peanuts, eggs, milk, soy, fish, and seafood. In studies in peanut-allergic children, the vast majority were atopic. Latex and nickel allergy is more common in patients with atopic dermatitis than in the general population. Of atopic dermatitis patients, 30% develop asthma and 35% have nasal allergies.

Race

Atopic dermatitis affects persons of all races. Immigrants from developing countries living in developed countries have a higher incidence of atopic dermatitis than the indigenous population, and the incidence is rapidly rising in developed countries

Sex

The male-to-female ratio for atopic dermatitis is 1:1.4.

Age

In 85% of cases, atopic dermatitis occurs in the first year of life; in 95% of cases, it occurs before age 5 years. The incidence of atopic dermatitis is highest in early infancy and childhood. The disease may have periods of complete remission, particularly in adolescence, and may then recur in early adult life. In the adult population, the rate of atopic dermatitis frequency is 0.9%, but onset may be delayed until adulthood.

http://emedicine.medscape.com/article/1049085-overview#showall dermatitis atopi4 : http://etd.eprints.ums.ac.id/9095/1/J500060014.pdf

MEKANISME PENYAKIT DERMATITIS ATOPI Thomas Bieber, M.D., Ph.D.Departemen Dermatologi dan Alergi, Universitas Bonn, Bonn, Jerman. Sigmund-Freud-Str. 25, 53105 atau email Thomas.bieber@ukb.uni-bonn.de. Dermatitis atopi atau ekzema, merupakan penyakit kulit yang sering ditemui yangsering berhubungan dengan kelainan atopi yang lain, seperti rhinitis alergika danasma.1 Manifestasi klinis dari dermatitis atopi (gambar 1) bervariasi pada tigatahapan umur yang dapat diidentifikasi. Pada bayi, lesi ekzema biasanya munculpertama kali pada pipi dan kulit kepala. Garukan, dimana sering dimulai padabeberapa minggu selanjutnya menyebabkan erosi krusta. Selama anak-anak, lesimelibatkan fleksura, tengkuk, dan tungkai dorsal. Pada remaja dan dewasa, plak likenifikasi mengenai fleksura, kepala, dan leher. Pada tiap tahap, gatal yangberlanjut sepanjang hari dan memburuk pada malam hari menyebabkan sulit tidurdan terganggunya kualitas hidup pasien secara besar. Ciri khas dermatitis atopi adalah kronik, bentuk relaps pada inflamasi kulit,terganggunya fungsi barier epidermis yang memuncak pada kulit kering, dansensitisasi yang dimediasi IgE terhadap makanan dan allergen lingkungan.2 Gambaran histologis patch dan plak ekzema akut adalah udem epidermal intraseluler(spongiosis) dan infiltrat limfosit perivaskular yang menonjol, monosit makrofag, seldendritik, dan sebagian kecil eosinofil pada dermis. Pada likenifikasi subakut dankronik dan plak ekskoriasi, epidermis menebal dan lapisan bagian atas mengalamihipertropi. Dua hipotesis mengenai mekanisme dermatitis atopi telah diusulkan. Salahsatunya menyatakan bahwa defek primer yang berada pada sebuah gangguanimunologis yang menyebabkan sensitisasi yang dimediasi IgE, dengan disfungsipenghalang epitel dianggap sebagai sebuah konsekuensi inflamasi

lokal. Usulan lainadalah defek intrinsik pada sel epitel menyebabkan disfungsi penghalang; aspek imunologis dipertimbangkan sebagai sebuah epifenomenon. Pada ulasan ini, Saya mengatur potongan teka-teki berbeda ke dalamgambaran koheren, pertanyaan yang memperkuat hipotesis, dan memadukan hasil penelitian terkini dalam sebuah cara yang mempunyai implikasi untuk manajemenklinis dermatitis atopi.

Gambar 1. Aspek Klinis, Histologis, dan Imunohistokima Dermatitis Atopi Gambar A menunjukkan lesi awal dermatitis atopi onset dini yang melibatkan pipi dan kulit kepalapada bayi berusia 4 bulan. Gambar B menunjukkan manifestasi klasik dermatitis atopi di kepala danleher pada dewasa. Gambar C menunjukkan: lesi likenifikasi fleksura pada dewasa, kronik. Panahpada gambar D (hematoksilin dan eosin), yang menunjukkan aspek histologis lesi akut, ditunjukkandengan daerah spongiosis pada epidermis. Tanda bintang menunjukkan infiltrat perivaskularprominen. Gambar E (hematoksilin dan eosin) menunjukkan lesi kronik dengan dermis yang tebal.Tanda bintang menunjukkan infiltrat perivaskular prominen. EPIDEMIOLOGI DERMATITIS ATOPI Prevalensi dermatitis atopi telah meningkat dua atau tiga kali lipat padanegara industri selama tiga dekade belakangan; 15 sampai 30% anak dan 2 sampai10% orang dewasa menderita penyakit ini.3 Kelainan ini sering didahului oleh diatesis atopi yang termasuk asma dan penyakit alergi lain. Dermatitis atopi seringberawal pada awal masa bayi (jadi disebut dermatitis atopi onset dini). Total 45%dari semua kasus dermatitis atopi dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60%dimulai selama tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum umur 5 tahun. Lebih dari50% anak yang terkena pada 2 tahun awal kehidupan tidak mempunyai tandasensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi tersensitisasi selama perjalan dermatitis atopi.4

Sampai 70% dari anak ini mempunyai remisi spontan sebelum masa remaja.Penyakit ini dapat juga timbul pada masa dewasa (disebut dermatitis alergi onsetlambat), dan pada jumlah pasien ini yang besar tidak ada tanda sensitisasi yangdimediasi IgE.5 Prevalensi yang lebih rendah pada dermatitis atopi pada daerahpedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan mendorong jalan ke arah hipotesiskebersihan, dimana bahwa tidak adanya paparan pada masa kanak -kanak kepadaagen infeksius meningkatkan kerentanan penyakit alergi.6 Konsep ini akhir-akhir initelah dipertanyakan dengan perhatian ke dermatitis atopi.3,7 GENETIKA DERMATITIS ATOPI Tingkat kecocokan untuk dermatitis atopi lebih tinggi pada kembarmonozigot (77%) daripada kembar dizigot (15%).8 Asma alergi atau rhinitis alergikapada orang tua muncul sebagai faktor minor pada perkembangan dermatitis atopidalam keturunan, menyarankan dermatitis atopi spesifik gen.9 Pindaian genom luas telah menyoroti dermatitis atopi yang berhubungandengaan lokus pada kromosom 3q21,111q21, 16q, 17q25, 20p,12dan 3p26.13 Wilayahyang mempunyai hubungan tertinggi diidentifikasi pada kromosom 1q21, dimanaberkumpul keluarga dengan gen yang berhubungan dengan epitel yang disebutkompleks diferensiasi epidermal.14 Kebanyakan wilayah genetik berhubungandengan dermatitis atopi sesuai dengan lokus yang berhubungan dengan psoriasis,meskipun kedua penyakit ini sangat jarang berhubungan. Juga, hubungan genomyang diungkap dengan pemindaian ini tidak tumpang tindih dengan varian alel yangsering terdapat pada asma alergi15 ; temuan ini konsisten dengan dataepidemiologis.3,4,16 Beberapa calon gen yang telah diidentifikasi pada dermatitis atopi,9,17 terutama pada kromosom 5q31-33. Semuanya mengkode sitokin yang terlibat pada regulasi sintesis IgE; interleukin-4, interleukin-5, interleukin-12, interleukin-13, dan granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sitokin ini danlainnya diproduksi oleh dua tipe utama limfosit T. Sel T helpertipe 2 (Th2)memproduksi interleukin-4 serta interleukin-5 dan interleukin-13, dua sitokin yangmengatur peningkatan produksi IgE. Sel T helper tipe 1 (Th1) memproduksiterutama interleukin-12 dan interferon-, yang menekan produksi IgE dan menstimulasi produksi antibody IgG (Gambar 2A). Mutasi yang mempengaruhifungsi wilayah promotor lymphocyte-attracting chemokine RANTES (regulated onactivation, normal T-cell expressed and secreted ) (17q11) dan meningkatkan fungsipolimorfisme didalam subunit reseptor interleukin-4 (16q12) telah diidentifikasipada pasien dengan dermatitis atopi. Polimorfisme gen yang mengkode sitokininterleukin-18,18dimana berkontribusi pergeseran regulasi silang Th1 dan Th2melalui respon yang dimediasi Th1 (disebut juga polarisasi Th1), atau polimorfismegen yang mengkode reseptor sistem imun bawaan19,20mungkin berkontribusi padaketidakseimbangan antara respon imun Th1 dan Th2 pada dermatitis atopi. Padaorang dengan dermatitis atopi, dominasi sitokin Th2 yang ditentukan secara genetismempengaruhi maturasi sel B dan penyusunan kembali genom pada sel ini yangmenawarkan pertukaran kelas isotope dari IgM ke IgE.

Karena kulit kering dan bersisik merupakan simptom dari dermatitis atopidan iktiosis vulgaris, kelainan keratinisasi dominan autosomal yang paling sering,kedua penyakit tersebut secara genetis mungkin dapat tumpang tindih. Setelah filaggrin gene(FLG) pada kromosom 1q21.3, yang mengkode protein kunci dalamdiferensiasi epidermal, telah diidentifikasi sebagai gen yang terlibat dalam iktiosisvulgaris,21 beberapa kehilangan fungsi mutasi dari gen telah diidentifikasi padapasien-pasien etnis Eropa dengan dermatitis atopi,22-25dan lainnya, mutasi FLGkhusus pada pasien etnis Jepang telah dilaporkan.25,26 Mutasi FLG muncul terutamapada dermatitis atopi onset dini dan menunjukkan sebuah kecenderungan melaluiasma. Namun, tidak ada hubungannya antara FLG mutan dan penyakit alergi padasaluran napas tanpa dermatitis atopi. Sejak mutasi FLG telah diidentifikasi hanyapada 20% pasien etnis Eropa dengan dermatitis alergi, variasi genetik strukturepidermal lain, seperti enzim tripsi stratum korneum atau kolagen epidermis yangbaru, akan sangat penting.27,28 Dermatitis atopi merupakan penyakit genetik kompleks yang meningkat dariinteraksi gen-gen dan gen-lingkungan. Penyakit ini muncul dalam konteks dari dua kelompok genetik utama. Gen mengkode struktur protein epidermis atau epitel lain,dan gen yang mengkode elemen utama sistem imun. FUNGSI PENGHALANG PADA KULIT PENGHALANG FISIK Kompartemen epidermis yang intak merupakan persyaratan untuk kulit dalamfungsinya sebagai penghalang fisik dan kimia. Penghalang sendiri merupakanstratum korneum, seperti semen dan bata pada lapisan epidermis atas.29 Perubahanpenghalang yang menyebabkan peningkatan kehilangan air transepidermalmerupakan ciri dari dermatitis atopi. Lipid interseluler pada lapisan tanduk epidermisdisediakan oleh badan lamelar, dimana diproduksi oleh eksositosis dari keratinositbagian atas. Perubahan pada seramida kulit yang merupakan tambahan variasi padapH stratum korneum dapat mengganggu maturasi badan lamelar dan merusak penghalang.30 Pemisahan eskspresi enzim yang terlibat dalam keseimbangan strukturadhesi epidermis tampaknya juga berkontribusi merusak penghalang epidermis padapasien dengan dermatitis atopi.27,31 Apakah perubahan epidermis ini adalah primer atau sekunder yang mendasariperadangan masih belum jelas sampai studi imunohistokimia32dan genetik menggarisbawahi pentingnya mutasi FLG pada dermatitis atopi. FLG berkontribusipada keratin sitoskeleton dengan bertindak sebagai contoh untuk perakitan cornified envelope: selain itu, kerusakan produk FLG berkontribusi pada kapasitas mengikatair pada stratum korneum.33Variasi genetik FLG pada dermatitis atopi yangmembelah secara proteolitik karena kurang kapasitas telah diidentifikasi, 22tetapipenentuan perubahan secara genetik lainnya pada epidermis (contoh; perubahan pada protein cornified envelope involucrin dan loricrin) atau komposisi lipid tampaknya juga berkontribusi pada disfungsi penghalang.14 Inflamasi yang mendasari dapatmerubah ekspresi gen seperti FLG yang terlibat pada fungsi penghalang epidermal,34memungkinkan peningkatan penetrasi transepidermal alergen lingkungan35,36dan,dalam kolaborasi dengan pruritus, memelihara inflamasi dan sensitisasi.36,37

SISTEM IMUN BAWAAAN Sel epitel pada permukaan diantara kulit dan lingkungan adalah lini pertamaperlindungan system imun bawaan.38Mereka dilengkapi dengan berbagai strukturpenginderaan, dimana termasuk toll-like receptor (TLRs),39C-tipe lectins, nucleotide-binding oligomerization domain-like receptors, dan peptidoglycan-recognition proteins.40 Setidaknya 10 TLRs yang berbeda telah dijelaskan padamanusia; mereka terikat pada bakteri, jamur (kedua dinding sel), atau struktur virus(DNA atau RNA yang disebut dengan motif cytosine phosphate guanidine (CpG)),dan kepada struktur mikroba lain disebut pola molekuler yang berhubungan denganpatogen. Aktivasi yang dimediasi TLR pada sel epitel merangsang produksidefensing dan katelisidin keluarga peptida antimikroba.38Kulit memproduksi cathelicidin LL-37; human defensins HBD-1, HBD-2,dan HBD-3; dan dermcidin. Inflamasi lingkungan mikro dicetuskan oleh interleukin-4, interleukin-3, dan interleukin-10 menurunkan regulasi peptida antimikroba inipada kulit pasien dengan dermatitis atopi.40-43 Untuk alasan ini, sangat sulit untuk mengelola infeksi mikroba kulit pada pasien dermatitis atopi. Kulit yang tampak normal atau mempunyai lesi secara ekstensif dikolonosisasi oleh bakteri seperti Staphylococcuus aureus atau jamur seperti malassezia. Pasien dengan dermatitisatopi cenderung menjadi ekzema herpetika dan ekzema vaksinatika karenaberkurangnya produksi Cathelicidin dimana mempunyai aktivitas antivirus poten.
44,45

MEKANISME IMUNOPATOLOGI DERMATITIS ATOPI MEKANISME AWAL INFLAMASI KULIT Dermatitis atopi onset dini biasanya timbul pada adanya sensitisasi alergiyang dimediasi IgE yang terdeteksi,4dan pada beberapa anak kebanyakan perempuan sensitisasi seperti ini tidak pernah muncul.5 Mekanisme awal yangmerangsang inflamasi kulit pada pasien dengan dermatitis atopi tidak diketahui.Mereka mungkin memerlukan rangsangan neuropeptida, rangsangan iritasi, ataugarukan karena pruritus, yang melepaskan sitokin proinflamatoris dari keratinosit,atau mereka dapat menjadi T-cell-mediated tetapi reaksi independen IgE terhadapalergen hadir dalam penghalang epidermal yang terganggu atau pada makanan(disebut dermatitis atopi sensitif makanan). IgE spesifik alergen bukan merupakanprasyarat, namun, karena tes patch atopi dapat menunjukkan aeroalergen yangdipakai dibawah kulit yang tersumbat merangsang reaksi positif pada kehadiran IgEspesifik alergen.46,47 . http://www.scribd.com/doc/60150962/Jurnal-Dermatitis-Atopi

jurnal yg terakhir sama kayak ini neh.

MEKANISME PENYAKIT ATOPIC DERMATITIS Thomas Beiber, M.D., Ph.D Dermatitis atopik atau eksim, merupakan penyakit kulit yang umum yang sering dikaitkan dengan gangguan atopik lainnya, seperti rinitis alergi dan asthma. 1 Manifestasi klinis dermatitis atopik(Gbr. 1) bervariasi dengan usia; tiga tahap sering dapat diidentifikasi. Pada bayi, lesi eczematous pertama biasanya muncul di pipi dan kulit kepala. Penggarukan, yang sering dimulai beberapa minggu kemudian, menyebabkan erosi berkulit. Selama masa kanak-kanak, lesi melibatkan lipatan-lipatan,tengkuk, dan bagian dorsal dari anggota badan. Pada masa remaja dan dewasa, plak likenifikasi mempengaruhi lipatan, kepala, dan leher. Dalam setiap tahap, gatal yang terus sepanjang hari dan memburuk pada malam hari menyebabkan kurang tidur dan secara substansial merusak kualitas hidup pasien. Kekhususan dari dermatitis atopik adalah bentuk kronis, bentuk kambuh dari peradangan kulit, gangguan dari fungsi pertahanan epidermis yang berpuncak pada kulit kering, dan sensitisasi yang dimediasi IgE terhadap makanan dan allergen lingkungan.2 Gambaran histologis patch eczematous akut dan plak adalah edema epidermis interseluler (spongiosis) dan infiltrate perivaskular limfosit yang menonjol, makrofag monosit, sel dendritik, dan sedikit eosinofil pada dermis. Dalam plak terlikenifikasi dan terekskoriasi yang subakut dan kronis, epidermis menebal dan lapisan atasnya terjadi hipertrofi. Dua hipotesis tentang mekanisme dermatitis atopik telah diusulkan. Satu memegang bahwa cacat utama berada dalam gangguan imunologi yang menyebabkan sensitisasi yang dimediasi IgE,dengan disfungsi pertahanan epitel dianggap sebagai akibat dari peradangan lokal. Yang lain mengusulkan bahwa cacat intrinsik dalam sel epitel mengarah pada disfungsi pertahanan; aspek imunologi dianggap epiphenomenon.Dalam review ini, saya mengatur potongan-potongan yang berbeda dari teka-teki ke dalamgambar yang koheren, pertanyaan hipotesis yang berlaku, dan mengintegrasikan hasil penelitian terbaru dengan cara yang memiliki implikasi untuk manajemen klinis dari dermatitis atopik. EPIDEMIOLOGI DERMATITIS ATOPIK Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara industri selama tiga dekade terakhir; 15- 30% anak dan 2- 10% orang dewasa terlibat. 3 Gangguan ini seringkali merupakan awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis atopic sering dimulai pada masa bayi awal (yang disebut awal-awal dermatitis atopik). Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% mulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Lebih dari 50% anak yang terpengaruh dalam 2 tahun pertama kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi peka selama terjadi dermatitis atopik. 4 Sampai dengan 70% dari anak-anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat dimulai pada orang dewasa (yang disebut dermatitis atopik onset lambat), dan dalam sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda sensitisasi yang dimediasi IgE.5 Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan menunjukkan hubungan ke "hipotesis kebersihan", yang mendalilkan bahwa tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan

kerentanan terhadap penyakit alergi.6 Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan dermatitis atopik.3,7

Gambar 1. Aspek Klinis, Histologis, dan Imunohistokimia Dermatitis Atopik. Panel A menunjukkan lesi awal awal-awal dermatitis atopik melibatkan pipi dan kulit kepala pada bayi pada 4bulan. Panel B menunjukkan manifestasi klasik pada kepala dan leher dari dermatitis atopik pada dewasa. Panel C menunjukkan khas kronis, lesi lentur likenifikasi pada orang dewasa. Panah di Panel D (hematoxylin dan eosin),yang menunjukkan aspek histologis khas lesi akut, menunjukkan area spongiotic dalam epidermis. Tanda bintang menunjukkan infiltrasi perivaskular yang menonjol. Panel E (hematoxylin dan Eosin) menunjukkan lesi kronis dengan penebalan epidermis. Tanda bintang menunjukkan infiltrasi perivaskular yang menonjol. GENETIK DARI DERMATITIS ATOPIK Tingkat kesesuaian untuk dermatitis atopik lebih tinggi pada kembar monozigot (77%)dibandingkan kembar dizigotik (15%).8 Asma alergi atau rhinitis alergi pada orang tua tampaknya menjadi faktor kecil dalam pengembangan dermatitis atopik pada keturunannya, menunjukkan gen spedifik pada dermatitis atopik.9 Genomewide Scans10 telah menyoroti beberapa kemungkinan dermatitis atopik terkait lokus pada kromosom 3q21,11 1q21 16q, 17q25, 20p,12 dan 3p26.13 Wilayah tertinggi linkage diidentifikasi

pada kromosom 1q21, yang terdapat keluarga epitel yang berhubungan dengan gen yang disebut diferensiasi epidermis complex.14 Sebagian besar daerah genetik yang terkait dengan dermatitis atopic sesuai dengan lokus yang terkait dengan psoriasis, meskipun kedua penyakit ini jarang terkait. Juga,hubungan genom diungkapkan oleh scan ini tidak tumpang tindih dengan varian alel yang sering terjadi di asma alergi15; temuan ini konsisten dengan data epidemiologi.3,4,16 Beberapa kandidat gen telah teridentifikasi pada dermatitis atopik, khususnya pada kromosom5q3133. Semua gen tersebut memberi kode pada sitokin yang terlibat pada regulasi sintesis IgE,Interleukin-4, Interleukin-5, Interleukin-12, Interleukin-13, dan faktor koloni yang distimulasi olehgranulosit makrofag (GM-CSF). Kesemuanya itu dan sitokin lainnya diproduksi oleh 2 tipe utama dari Tlimfosit. Type 2 helper T cell (Th2) memproduksi interleukin-4 sebagaimana interleukin-5 daninterleukin-13, dua jenis sitokin yang meregulasi produksi IgE. Type 1 helper T cell (Th1) memproduksiterutama interleukin-12 dan interferon-gamma, yang menekan produksi IgE dan memproduksi antibodiIgG (Gambar 2A). Mutasi yang mempengaruhi fungsi promotor regional dari limfosit yang menarikkemokin RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed and secreted ) (17q11) dan menambahfungsi polimorfisme pada subunit alfa dari reseptor interleukin-4 (16q12) telah teridentifikasi padapasien dengan dermatitis atopik. Polimorfisme gen yang memberi kode pada sitokin interleukin-18, yangberperan dalam perubahan Th1 menjadi regulasi silang Th2 terhadap Th1-mediated responses (Th1 polarisasi), atau polimorfisme dari gen yang mengkode reseptor sistem imun inate, dapat berperanterhadap ketidakseimbangan antara respon imun Th1 dan Th2 pada dermatitis atopik. Pada seseorangdengan dermatitis atopik, kekuatan yang ditentukan secara genetik dari sitokin Th2 mempengaruhipematangan B cell dan penyusunan ulang genomik pada sel tersebut menukar IgM menjadi IgE.

Karena kulit kering dan bersisik adalah gejala dari dermatitis atopik dan ichthyosis vulgaris,gangguan autosomal dominan keratinisasi yang paling sering terjadi, kedua penyakit tersebut dapats aling tumpang tindih secara genetik. Setelah gen filaggrin (FLG) pada kromosom 1q21.3, yang member kode protein kunci pada diferensiasi epidermis, yang telah teridentifikasi sebagai gen yang terlibat pada ichthyosis vulgaris, beberapa mutasi hilangnya fungsi dari gen teridentifikasi pada pasien eropa dengan dermatitis atopik dan mutasi FLG khusus lainnya pada pasien Jepang telah dilaporkan. Mutasi FLG terjaditerutama pada onset awal dermatitis atopik dan mengindikasikan kecenderungan terhadap asma. Namun demikian tidak ada hubungan antara FLG mutant dan penyakit alergi saluran nafas tanpa dermatitis atopi. Karena mutasi FLG teridentifikasi hanya pada 30% pasien Eropa dengan dermatitisatopik, variasi genetik dari struktur epidermis lainnya mungkin sangat penting, seperti enzim trypticstratum korneum atau kolagen epidermis yang baru. Dermatitis atopik adalah penyakit genetik komplek yang muncul dari interaksi gen dengan gendan interaksi gen dengan lingkungan. Penyakit ini muncul sebagai konteks 2 kelompok gen

utama, yaitugen yang memberi kode protein epidermis atau protein penyusun epidermis lainnya, dan gen yangmemberi kode elemen mayor dari sistem imun. FUNGSI BARIER KULIT Barier Fisik epidermis yang intak merupakan syarat fungsi kulit sebagai barier fisik dan barierkimiawi. Barier itu sendiri merupakan stratum korneum, struktur seperti batu dan semen dari lapisanepidermis atas. Perubahan pada barier yang menyebabkan meningkatnya hilangnya cairan melaluiepidermis, merupakan tanda khas dermatitis atopik. Lapisan lemak interselular pada lapisan epidermisbertanduk diproduksi oleh badan lamellar, yang di produksi oleh eksositosis dari keratinosit diatasnnya.Perubahan pada ceramides yang disebabkan oleh adanya variasi pH pada stratum dapat mengganggupematangan badan lamellar dan merusak fungsi barier. Perubahan pada ekspresi enzim yang terlibatpada keseimbangan struktur perlekatan epidermis juga kemungkinan berperan dalam kerusakan barier epidermis pada pasien dengan dermatitis atopic. Masih belum jelas, apakah perubahan pada epidermis tersebut terjadi secara primer ataus ekunder akibat inflamasi yang mendasari sampai dilakukannya pemeriksaan secara imunohistokimia dan penelitian genetik menyoroti pentingnya mutasi FLG pada dermatitis atopik. FLG berperan dalamsitoskeleton keratin melalui aksinya sebagai pola terhadap berkumpulnya envelope yang terkornifikasi.Disamping itu pemecahan produk-produk FLG mempengaruhi kapasitas mengikat air dari stratumkorneum. Telah terbukti, variasi genetic FLG pada dermatitis atopik yaitu kapasitasnya yang kuranguntuk pemecah proteolitik. Namun, perubahan yang terjadi secara genetik dari epidermis ( e.g.,perubahan pada protein involucrin dsn loricrin dari envelope terkornifikasi) atau komposisi lemak jugakemungkinan berperan terhadap disfungsi barier. Sistem Imun Innate Sel epitel yang menghubungkan antara kulit dan lingkungan adalah lini pertama pertahanan dan sistem imun innate. Sistem ini dilengkapi dengan struktur sensoris yang bervariasi, termasuk toll-likereceptors (TLRs), C-type Lectins, nucleotide-binding oligomerization domain like receptors, dan peptidoglycan-recognition protein. Sedikitnya 10 TLR yang telah ditemukan pada manusia, berikatan dengan bakteri, jamur (kedua dinding sel), atau struktur virus (DNA atau RNA dengan motif cytosine phospate guanidine), dan terhadap struktur mikobial lain yang memasukkan pola molekular yangberhubungan dengan patogen. Sel epitel yang dimediasi oleh aktivasi TLR merangsang produksi defensin dan cathelicidin yang merupakan famili peptida antimikroba. Kulit menghasilkan cathelicidine LL-37, HBD-1 (human beta defensins), HBD-2, HBD-3, dermcidin.Mkromilieu inflamasi yang diprakarsai oleh interleukin-4, interleukin-13, dan interleukin-10 meregulasipeptida antimikrobial pada kulit pasien dengan dermatitis atopik. Dengan alasan tersebut, sulit untuk mengatur infeksi mikroba pada kulit pasien dengan

dermatitis atopik. Kulit yang terlihat normal dan berlesi mengandung kolonisasi bakteri yang luas seperti Staphylococcus aureus atau jamur seperti malassezia. Pasien dengan dermatitis atopik memiliki predisposisi terhadap eczema herpeticum daneczema vaccinatum dikarenakan menurunnya produksi cathelicidin, yang memiliki aktivitas antivirusyang potensial. MEKANISME IMUNOPATOLOGIS PADA DERMATITIS ATOPIK Mekanisme awal inflamasi kulit Dermatitis atopik onset awal biasanya timbul akibat tidak adanya IgE-mediated allergic sensitization yang terdeteksi, dan pada beberapa anak (kebanyakan perempuan) sensitisasi tersebut tidak pernah terjadi. Mekanisme awal yang merangsang inflamasi kulit pada pasien dengan atopikdermatitis tidak diketahui. Mekanisme tersebut dapat diinduksi oleh neuropeptida, iritasi, atau pruritusyang menginduksi luka garukan, yang dapat mengeluarkan sitokin proinflamasi dari keratinosit, ataudapat berupa mediasi terhadap T-cell tetapi reaksi IgE yang tergantung pada allergen muncul padabarier epidermis yang terganggu atau pada makanan (disebut dermatitis atopik sensitif terhadapmakanan). IgE yang spesific terhadap alergen bukan merupakan syarat, namun karena test patch atopikdapat menunjukkan aeroalergen tersebut yang terjadi pada kulit yang mengalami oklusi menginduksireaksi positif saat tidak adanya IgE yang spesific terhadap alergen. Inisiasi tempat sensitisasi Pada pasien dengan dermatitis atopik onset awal, IgE yang dimediasi oleh sensitisasi seringterjadi beberapa minggu atau bulan setelah lesi muncul, memberi kesan bahwa kulit dalah tempatsensitisasi. Pada penelitian terhadap binatang, dilakukan ulang tantangan epidermis yang dengan kadaralbumin berlebih yang menginduksi IgE spesifik terhadap kadar albumin berlebih, alergi respirasi, danlesi eczema pada kulit yang diteliti. Proses yang sama mungkin terjadi pada manusia. Disfungsi barier epidermis adalah prasyarat terjadinya penetrasi serbuk alergen dengan beratmolekul tinggi, debu yang diproduksi tungau rumah, microba, dan makanan. Molekul molekul tersebutdalam bentuk serbuk, dan beberapa alergen makanan membawa sel dendritik untuk meningkatkanpolarisasi Th2. Ada banyak T cell pada kulit (10 6 T cell memori / cm2 dari area tubuh), hampir 2 kali lipat jumlah T cell di sirkulasi. Terlebih lagi, keratinosit pada kulit atopik menyebabkan tingginy a levelinterleukin-7-like thymic stromal lymphopoietin yang memerintah sel dendritik untuk meningkatkanpolarisasi Th2. Dengan menginduksi produksi dalam jumlah besar sitokin seperti GM-CSF atau kemokin, radangkulit yang luas dapat mempengaruhi kekebalan adaptif,54 mengubah fenotip beredar monosit,55-57 Dan meningkatkan produksi prostaglandin E258 di dermatitis atopik.Semua faktor ini memberikan sinyalyang kuat diperlukan untuk berbasis kulit Th2 polarisasi, dan untuk alasan ini, kulit bertindak sebagaititik masuk untuk sensitisasi atopik dan mungkin bahkan memberikan

sinyal yang diperlukan untuksensitisasi alergis di paru-paru atau usus. Pengembangan sensitisasi dan dermatitis atopik dalamsumsum tulang penerima setelah engraftment hematopoietic stem cells dari donor59 Atopic menyediakan dukungan untuk peran sistem hematopoietic sebagai faktor selain untuk disfungsi epidermal-penghalang ditentukan secara genetis dalam dermatitis atopik. Antigen IgE spesifik adalah struktur utama pengakuan untuk alergen mastosit dan basofil. Inimungkin berperan untuk induksi toleransi alergi-spesifik atau di mekanisme anti inflammatori,60 Tetapi apakah peristiwa tersebut mendasari remisi spontan dari atopik dermatitis tetap untuk dijelajahi. Sel dendritik Sel dendritik epidermal pada dermatitis atopik berulang IgE61 dan mengungkapkan yang tinggi affinitas reseptor (FcRI).62-64 Dalam lesi kulit, sel dendritik keturunan plasmacytoid,65 yang ampuh kegiatan antivirus oleh berdasarkan interferon- produksi, hampir absent.66 Sebaliknya, dua populasimyeloid sel dendritik sekarang: sel-sel Langerhans' dan sel inflamasi epidermal dendritik.67 Dalam dermatitis atopik, tetapi tidak dalam kondisi lain, ada tampilan densitas tinggi FcRI oleh kedua jenis sel. Sel-sel Langerhans' terjadi di kulit normal, tapi peradangan sel dendritik epidermal muncul hanya dalamkulit yang meradang. Mereka mengambil dan menkaji alergen untuk sel-sel Th1 dan Th2, dan mungkin juga untuk peraturan T cells.60 Pada ligasi FcRI oleh IgE, menghasilkan sel-sel Langerhans' interleukin-16, yang direkrut sel kulit CD4 T. 68 Selain interleukin-16, menghasilkan sel-sel Langerhans' hanyaterbatas chemokines dan hampir tidak ada sitokin 69 proinflammasi. Pada alergi, sel-sel Langerhans'berkontribusi dengan polarisasi Th2 oleh mekanisme yang tidak diketahui, dan peradangan sel dendritikepidermal menyebabkan polarisasi Th1 dengan menghasilkan interleukin-12 dan interleukin-18 dan melepaskan sitokin pro inflamasi. Dalam tes Patch Atopi, jumlah tinggi peradangan sel dendritikepidermal menyerang epidermis 72 jam setelah alergi tantangan, dan sel-sel Langerhans' mengatur layar mereka dari FcRI.70 Penyakit Biphasic T-Cell Mediated Alergi-spesifik sel-sel CD4 dan CD8 T dapat terisolasi dari lesi kulit pasien dengan dermatitisatopik. Peradangan dalam dermatitis atopik adalah biphasik: tahap Th2 awal mendahului tahap kronisdalam sel-sel Th0 yang (sel yang berbagi beberapa kegiatan sel-sel Th1 dan Th2) dan Th1 sel dominan(Fig. 3).71 Sitokin Th2 interleukin-4, interleukin-5 dan interleukin-13 mendominasi dalam lesi fase akut, dan dalam lesi kronis ada peningkatan interferon , interleukin-12, interleukin-5 dan GMCSF72;perubahan ini merupakan karakteristik dari dominasi Th1 dan Th0. Sel-sel Th0 dapat membedakan ke selTh1 atau Th2, tergantung pada lingkungan sitokin dominan. Ekspresi peningkatan interferon- mRNA oleh sel Th1 mengikuti puncak ekspresi interleukin-12, yang bertepatan dengan munculnya peradangansel dendritik epidermal di kulit. Kulit tampak normal pada pasien dengan dermatitis atopik pelabuhanmenyusup ringan, sangat menyarankan kehadiran sisa peradangan antara flares.73

Perekrutan sel T ke dalam kulit diikuti oleh jaringan kompleks mediator yang berkontribusiterhadap peradangan kronis. Hemostatik kemokin dan peradangan diproduksi oleh sel-sel kulit yangterlibat dalam proses sel inflamasi.74,75 Keratinosit dalam lesi kulit mengungkapkan tingkat tinggipenatikan kemo,76-78 dan diturunkan keratinocyte timat jaringan stroma lymphopoietin menginduksi seldendritik untuk menghasilkan Timus Th2-cell attracting dan diatur aktivasi chemokine, TARC/CCL17.Dengan cara ini, mereka dapat memperkuat dan mempertahankan respons alergi dan generasiinterferon- producing t sitotoksik, 79 seperti yang disarankan oleh in vitro studi. interferon diproduksioleh sel-sel Th1 telah terlibat dalam apoptosis keratinocytes disebabkan oleh kematian sel reseptorFas.80 Peran regulasi sel t di dermatitis atopik 81 juga diperiksa. Tingkat tinggi ekspresi dari rantai alphareseptor interleukin-2 (CD25) dan faktor transkripsi FOXP3 merupakan karakteristik dari sel-sel ini. Adadi berkerut kolam beredar regulasi sel t di dermatitis atopik, 82 tetapi lesi kulit tanpa dari fungsionalperaturan t cells.83 kompleksitas kompartemen sel t regulatory tidak belum sepenuhnya dipahami, danperan regulasi sel t dalam peraturan penyakit kronis radang kulit sukar dipahami. Staphylococcus aureus Penindasan sistem imun bawaan kulit oleh peradangan micromilieu dari dermatitis atopikmenjelaskan kolonisasi kulit dengan S. aureus di lebih dari 90% dari pasien dengan atopik dermatitis.83 Fitur ini memberikan kontribusi untuk alergi sensitisasi dan peradangan (Fig. 4). Menggaruk meningkatmengikat S. aureus kulit, dan peningkatan jumlah S. aureus derived ceramidase dapat memperburukcacat pada penghalang kulit. S. aureus enterotoxins84 meningkatkan peradangan dalam dermatitis atopikdan memprovokasi generasi IgE enterotoxin khusus, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan suatupenyakit.85 Enterotoxins ini berinteraksi secara langsung dengan kelas II molekul histocompatibilitymayor kompleks dan rantai beta reseptor sel t untuk merangsang antigen-independen proliferasi sel T.Mereka juga mengatur ekspresi kulit-merpati reseptor Cornu terkait limfosit antigen pada sel t dan produksi derivasi keratinocyte chemokines yang merekrut sel T. Oleh merangsang bersaing -isoformdari glucocorticoid reseptor pada sel mononuklear, enterotoxins berkontribusi terhadap munculnyaresistensi terhadap pengobatan lokal corticosteroid. S. aureus enterotoxins juga menyebabkan ekspresi ligan glucocorticoid-induced protein yang berkaitan dengan reseptor factor nekrosis tumor padaantigen menyajikan, menghasilkan sel-sel inhibisi aktivitas penekanan peraturan t cells.86

Gambar 4. Multiple Pathway Staphylococcus aureus-Driven Sensitization and Inflammation. Berdasarkan beberapa mekanisme, S. aureus dan produk-produknya memberikan sinyal yang mendukungsensitisasi dan peradangan. S. aureus derivate ceramidase meningkatkan permeabilitas dari stratum korneum, dankapasitas superantigenic dari enterotoksin S. aureus mengaktifkan sel-sel T secara alergen-independen. S. aureusmenginduksi ekspresi dari reseptor Skin-homing cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) pada sel T.Keratinosit yang diturunkan kemokin, thymic stromal lymphopoietin (TSLP), dan sekresi interleukin-31 diinduksidan diperkuat dengan enterotoksin S. aureus. Mereka juga berkontribusi terhadap resistensi kortikosteroid dalamsel T dan mengubah aktivitas dari Regulatory Sel T. S. aureus-IgE spesifik yang dihasilkan oleh sistem kekebalan tubuh dapat mengikat reseptor pada sel dendritik FcRI dan memulai reaksi IgE-mediated untuk mikroba ini. Mekanisme Pruritus Gejala yang paling penting dalam dermatitis atopik adalah pruritus yang menetap, yang dapatmengganggu kualitas hidup pasien. Kurangnya efek antihistamin dapat memperdebatkan peran histamindalam menyebabkan dermatitis atopik terkait pruritus.87 Neuropeptida, protease,

kinins, dan sitokin menyebabkan gatal-gatal. Interleukin-31 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel T yang meningkatkan kelangsungan hidup sel hematopoietik dan merangsang produksi sitokin inflamasi olehsel epitel. Hal ini sangat pruritogenik, dan interleukin-31 serta receptor diekspresikan dalam kulit yang mengalami lesi . 88-90 Selain itu, interleukin-31 dapat distimulasi oleh paparan exotoxins staphylococcaldalam penelitian in vitro. Temuan ini dapat membuktikan bahwa interleukin-31 sebagai faktor utamadalam timbulnya pruritus pada dermatitis atopic

Gambar 5. Interaksi Gen-gen dan Gen-Lingkungan dalam Proses awal terjadinya Dermatitis Atopik. Sebagai hasil dari kelainan genetic berupa disfungsi barier epidermal dan pengaruh faktor lingkungan, nonatopicDermatitis adalah manifestasi pertama dari dermatitis atopik. Selanjutnya, karena kecenderungan genetik merekauntuk IgE dimediasi proses sensitisasi, pasien menjadi peka. Fenomena ini disukai oleh enterotoksin Staphylococcus aureus. Akhirnya, menggaruk menyebabkan kerusakan jaringan dan pelepasan protein struktural,memicu sebuah respon IgE pada pasien dengan dermatitis atopik. sensitisasi Ini terhadap protein tubuh dapatdisebabkan oleh homologi alergen yang diturunkan epitop dan protein manusia dalam konteks mimikri molekuler. AUTOIMUN PADA DERMATITIS ATOPIK

Selain antibodi IgE bereaksi terhadap makanan dan aeroalergen, spesimen serum dari pasiendengan dermatitis atopik parah mengandung antibodi IgE terhadap protein dari keratinosit dan endotelsel-sel seperti superoksida dismutase mangan dan calcium binding Proteins.91, 92 Tingkat serum autoantibodies IgE ini berkorelasi dengan keparahan penyakit. Menggaruk mungkin melepaskanintraseluler protein dari keratinosit. protein ini bisa meniru molekul dari struktur mikroba dan dengandemikian dapat menginduksi IgE autoantibodies. 93 Sekitar 25% orang dewasa dengan dermatitis atopikmemiliki antibodi IgE terhadap protein dalam tubuh. 94 Pada pasien ini, onset awal atopik dermatitis,pruritus yang sering dan menetap, infeksi bakteri kulit berulang, dan Tingkat serum IgE yang tinggimerupakan Tanda dari penyakit. Selain itu, Antibodi IgE terhadap protein tubuh dapat terdeteksi padapasien dengan dermatitis atopik pada 1 tahun sejak onset awal.94 Beberapa autoallergens di kulit jugainduser kuat dalam menstimulasi Th1.92 antibodi IgE pada dermatitis atopik dapat disebabkan olehalergen yang ada di lingkungan, tetapi antibodi IgE terhadap autoantigen di kulit dapat mengakibatkanperadangan akibat alergi. Dengan demikian, dermatitis atopik tampaknya berada pada perbatasanantara alergi dan autoimun. HIPOTESIS PEMERSATU Salah satu klasifikasi telah membedakan antara IgE terkait bentuk dermatitis atopik (yaitu, true dermatitis atopik , sebelumnya disebut dermatitis atopik ekstrinsik) dari IgE tidak terkait bentuk("nonatopic" dermatitis, sebelumnya disebut dermatitis atopik intrinsik).95 Pembagian ini menyiratkanbahwa dermatitis nonatopik dan dermatitis atopik dua penyakit yang berbeda. Namun, karena kulitkering tanda penting pada kedua kondisi, dan tidak adanya IgE yang dimediasi proses sensitisasimungkin hanya faktor sementara, ada kebutuhan untuk menyatukan hipotesis yang berbeda tersebut.Sebuah gambaran baru muncul dari Temuan terakhir, di mana prose salami terjadinya atopic dermatitismemiliki tiga fase (Gambar 5). Awal fase adalah bentuk nonatopic dermatitis pada awal masa bayi,ketika sensitisasi belum terjadi. Selanjutnya, dalam 60 sampai 80% pasien, faktor genetik mempengaruhiinduksi IgE yang dimediasi proses sensitisasi untuk makanan, alergen di lingkungan, atau keduanya - ini adalah transisi ke true dermatitis atopik.Ketiga, kerusakan sel -sel kulit akibat garukan, yangmelepaskan autoantigens yang menginduksi autoantibodi IgE dalam proporsi yang cukup besar padapasien dengan dermatitis atopik. IMPLIKASI KLINIS Karena disfungsi pelindung ( Barrier ) pada kulit dan peradangan kronis merupakan ciri khas daridermatitis atopik, pengelolaan klinis jangka panjang harus menekankan pada pencegahan, dilakukansecara intensif dan perawatan kulit yang disesuaikan dengan individual, mengurangi kolonisasi bakteri melalui aplikasi lotion lokal yang mengandung antiseptik seperti triclosan dan klorheksidin, dan paling penting kontrol peradangan dengan penggunaan rutin topical kortikosteroid topikal atau inhibitorkalsineurin. Pada anak-anak, sebelum dan setelah diagnosis IgE yang dimediasi proses sensitisasi,langkah-langkah yang dapat mencegah paparan alergen seharusnya bermanfaat. terapi dermatitisatopik saat ini adalah reaktif - Mengobati flare- tetapi manajemen harus termasuk intervensi dini danproaktif dengan efektif dan terus menerus mengendalikan peradangan kulit dan kolonisasi S. aureus. strategi ini telah terbukti efektif dalam

mengurangi jumlah dari flare.96 Ketika diterapkan pada awal masa bayi, bias berpotensi membantu untuk mengurangi sensitisasi dari antigen di lingkungan dan autoallergen. KESIMPULAN Pandangan Terakhir mekanisme genetik dan imunologi yang mendorong peradangan kulit padadermatitis atopik telah menyebabkan pemahaman yang lebih baik dari proses alami dari penyakit ini dantelah menyoroti peran penting dari fungsi barier pada epidermal dan sistem kekebalan tubuh. keduanyaberkontribusi kepekaan IgE-yang dimediasi proses sensitisasi dan seharusnya dipertimbangkan sebagaitarget utama untuk terapi. Perkembangan baru ditujukan khususnya defek molekul dalam stratumkorneum dapat menyediakan cara untuk meningkatkan fungsi dari barier. Manajemen Dini dan proaktif dapat meningkatkan hasil dan kualitas hidup untuk pasien dengan dermatitis atopic.
http://www.scribd.com/doc/94531575/JURNAL-GABUNG

hrs liat

: http://allergyclinic.wordpress.com/2012/01/31/hipersensitif-kulit-dandermatitis-atopik-pada-anak/

Vous aimerez peut-être aussi