Vous êtes sur la page 1sur 10

ARBITRASE SEBAGAI BENTUK ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

TUGAS : ALTERNATIF DISPUTE RESOLUTION (ADR) DOSEN : I WAYAN TANGUN SUSILA. SH. MH

OLEH : I WAYAN BUDHIYASA NIM : 0990561037

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2010
1. Pendahuluan. Sesungguhnya semua orang berkeinginan untuk selalu hidup damai dan saling menghormati, namun dalam kehidupan yang begitu kompeks dengan beragam keinginan yang berbeda pada setiap orang, konflik sulit dihindari. Konflik bisa terjadi antara dua pihak baik secara individu maupun secara kelompok, bahkan juga dapat melibatkan negara.

Umumnya konflik berawal dari perbedaan pandangan atau kepentingan dari para pihak, yang kemudian dipertajam sehingga memunculkan terjadinya sengketa.. Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat (persepsi) yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan kepentingan yang berdampak pada terganggunya pencapaian tujuan yang diinginkan oleh para pihak.1 Sengketa yang terjadi selalu tidak menguntungkan oleh karena itu tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut dan perlu adanya penyelesaian secara tepat. Dalam penyelesaian sengketa tergantung kepada para pihak, dan perlu diketahui bahwa hukum bukan satu-satunya bentuk penyelesaian sengketa. Terkadang tidak jarang berbagai sengketa diselesaikan dengan cara lain misalnya premanisme, debt collektor dalam hal penagihan hutang, hal tersebut tidak didasarkan pada hukum dalam penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa yang sering dilakukan oleh para pihak adalah melalui pengadilan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, penyelesaian
1

Irawan, Candra, 2010. Aspek Hukum dan Mekenisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di Indonesia. Bandung, Mandar Maju, hal 2

sengketa melalui pengadilan banyak kelemahan dan menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat. Jika saja pengadilan mampu mewujudkan harapan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, niscaya tidak akan ada tercetus ketidak puasan dan kekecewaan terhadap lembaga keadilan, tentunya masyarakat dengan senang hati menyerahkan penyelesaian setiap sengketa yang terjadi kepada pengadilan. Pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengekta kinerjanya dipertanyakan. Karena banyak sengketa yang diajukan ke pengadilan tidak menyelesaikan masalah bahkan justru menimbulkan masalah baru, misalnya tercemarnya nama baik perusahaan kepada publik, pemborosan biaya selama proses pengadilan berlangsung karena proses yang lambat, adanya indikasi ketidaknetralan hakim yang mengadili.2 Ketidaknetralan hakim dalam mengadili membuat para pihak yang besengketa mencari cara penyelesaian sengketa yang lebih menjamin adanya win-win solution. Penyelesaian sengketa yang dapat menjamin kepentingan para pihak tersebut adalah melalui arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Arbitrase merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa perdata dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase

dimaksudkan para pihak untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan efektif. Masyarakat berharap dengan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase akan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum dalam arti yang sebenarnya secara efektif dan efisien.
2

Ibid, hal 4-5

2. Resume Arbitrase sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa . Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umun yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sementara menurut Gunawan Widjaja arbitrase adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa untuk merumuskan penyelesaian sengketa diantara para pihak yang bersengketa.3 Dari difinisi tersebut, arbitrase memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut : 1. Arbitrase merupakan model penyelesaian sengketa di luar pengailan. 2. Arbiter (wasit) dipilih sendiri oleh para pihak dengan membuat persetujuan secara tertulis. 3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa perdata ( commencial disputes) 4. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) 4 Secara filosofis bahwa penyelesaian sengketa pada masyarakat Indonesia berpegang kepada prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Prinsip musyawarah untuk mufakat secara berlahan mulai bergeser dan beranggapan pengadilan lebih efektif dalam penyelesaian sengketa karena memiliki daya paksa. Kehadiran arbitrase sebagai bentuk
3

Widjaja, Gunawan, 2008. Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Arbitrase vs Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. Jakarta, Kencana ,hal 10 4 Irawan, Candra, op cit 51-52

alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia bukan tanpa dasar hukum. Secara filosifis dan sosiologis model-model alternatif penyelesaian sengketa sudah dikenal dan dipraktekan oleh masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui arbitrase bersandar pada ketentuan pasal 615-651 Reglemen Acara Perdata (Reglement po de rechtsvordering-staatsblad 1874) Pasal 705 Reglemen Acara bagi Daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement

Buitengewesten-Staatsblad 1927).5 Sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk mencari win-win solution, menjadikan pertimbangan untuk memanfaatkan lembaga arbitrase. Dipilihnya lembaga arbitrase oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa, karena arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum lainnya antara lain : 1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak. 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif. 3. Para pihak dapat memilih pengetahuan, arbiter yang menurut serta latar

keyanikannyamempunyai

pengalaman,

belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.

Ibid, hal 17

4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan 5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dilaksanakan. 6 Dilihat dari ketentuan Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrasi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc. Arbitrase ad hoc merupakan lembaga yang dibentuk secara insidental untuk menyelesaikan perselisihan tertentu. Arbitrase

institusional merupakan lembaga yang sengaja dibentuk sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara permanen. 7 Untuk dapat menggunakan arbitrase sebagai pilihan hukum untuk menyelesaikan permasalahan sengketa di luar pengadailan para pihak harus ada perjanjian arbitrase secara tertulis. Karena arbitrase didasarkan pada suatu perjanjian, maka sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase mengacu pada syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian dalam arbitrase dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a. Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya sengketa. Hal ini lazim dikena dengan istilah pactum de compromittendo. Para pihak telah melakukan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sengketa dikemudian hari.
6

Supramono, Gatot, 2008. Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia. Jakarta, Rineka Cipta, 88. 7 Widjaja, Gunawan, op cit. 118

b. Perjanjian arbitrase yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Hal ini lazim disebut acta compremise.8 Pada prinsipnya perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis karena memudahkan pembuktian tentang adanya perjanjian tersebut. Perjanjian arbitrase atau yang lazim disebut dengan klausula arbitrase merupakan tambahan yang diletakan pada perjanjian pokok. Batal atau cacatnya perjanjian arbtrase tidak berakibat batalnya atau cacatnya perjanjian pokok.9 Konsep hukum bahwa arbitrase sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki kompetensi absolut yang berada di luar kewenangan pengadilan. Ketentuan tersebut secara tegas diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Berdasarkan

aturan normatif apabila para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melelui arbitrase sesungguhnya tidak ada lagi kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa substansi sengketa tersebut. Adanya suatu

perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan dan pengadilan wajib menolak dan tidak ikut campur di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Disamping itu arbitrase memiliki asas-asas yaitu antara lain : asas final dan binding artinya putusan dari arbitrase tidak dapat digangu gugat
8 9

Irawan, Candra, op cit, hal 65-67 Widjaja, Gunawan, op cit, hal 93

walaupun oleh pengadilan, asas separabilitas atau sering disebut severable clausule mempunyai arti dalam suatu perjanjian, jika ada salah satu perikatan dalam perjanjian tersebut batal, maka pembatalan tersebut tidak mengakibatkan perikatan yang lain menjadi ikut batal.10 Namun tidak semua sengketa dapat diselesaikan dengan arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Menurut pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa : (1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Menurut ketentuan pasal 60 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai ketentuan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam arbitrase tidak mengenal adanya lembaga arbitrase yang lebih tinggi untuk melakukan perbaikan putusan seperti lembaga peradilan umum lainnya. Jadi arbitrase merupakan lembaga tunggal dan putusannya bersifat final, langsung berkekuatan hukum tetap, dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa.11
10 11

Berdasarkan hal tersebut, maka putusan dari arbitrase

Ibid, hal 188-189. Supramono, Gatot, op cit, hal 83

mempunyai sifat eksekusi dan yang melakukan putusan eksekusi arbitrase adalah pengadilan negeri setelah putusan didaftarkan. .

3. Daftar pustaka.

Irawan, Candra, 2010. Aspek Hukum dan Mekenisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di Indonesia. Bandung, Mandar Maju. Supramono, Gatot, 2008. Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia. Jakarta, Rineka Cipta.

Widjaja, Gunawan, 2008. Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Arbitrase vs Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. Jakarta, Kencana. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

10

Vous aimerez peut-être aussi