Vous êtes sur la page 1sur 18

.3 KOLESISTITIS 2.3.

1 PENGERTIAN

Merupakan peradangan kandung empedu dapat bersifat akut, kronis dan hamper selalu berkaitan dengan batu empedu. A. Kolesititis Akut a) Pengertian Radang kandung empedu (kolisistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Hingga kini

pathogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas. Walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolisistitis dan batu empedu (kolelitiasis) di Negara kita relative rendah dibandingkan negara-negara barat. b) Klasifikasi 1) Kolesistitis Kalkulosa Akut Merupakan peradangan akut empedu yang mengandung batu dan dipicu oleh obstruksi leher kandung empedu atau duktus sistikus. Penyakit ini adalah penyulit utama tersering pada batu empedu dan penyebab tersering dilakukannya kolesistektomi darurat. Gejala mungkin timbul sangat mendadak dan merupakan suatu kedaruratan bedah akut. Dipihak lain gejala mungkin ringan dan mereda tanpa intervensi medis. Kolesistitis Kalkulosa Akut ini mungkin tidak menimbulkan atau memperlihatkan gejala hebat, nyeri abdomen atas yang hebat dan menetap dan sering menyebar ke bahu kanan. Kadangkadang jika batu terletak di leher kandung empedu atau di duktus, nyeri bersifat kolik. Demam, mual, leukositosis dan lemah merupakan gejala klasik, adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi mengisyaratkan obstruksi duktus biliaris komunis. Region subkosta kanan sangat nyeri tekan dan kaku, akibat spasme otot abdomen, kadang-kadang dapat diraba kandung empedu yang membesar dan nyeri tekan. Kolesistitis kalkulosa akut pada awalnya adalah akibat iritasi kimiawi dan peradangan dinding kandung empedu dalam kaitannya dengan hambatan aliran keluar empedu. Fosfolipase yang berasal dari mukosa menghidrolisis lestin empedu menjadi lisolestin, yang bersifat toksik bagi mukosa. Lapisan mukosa glikoprotein yang secara normal bersifat protektif rusak, sehingga epitel mukosa terpajan langsung ke efek deterjen garam empedu. Prostaglandin yang dibebaskan di dalam dinding kandung empedu yang teregang ikut berperan dalam peradangan mukosa dan mural. Peregangan dan peningkatan tekanan intralumen juga dapat mengganggu aliran darah ke mukosa. Proses ini terjadi tanpa ada infeksi bakteri, baru setelah proses berlangsung cukup lama terjadi kontaminasi oleh bakteri. 2) Kolesistitis Akalkulosa Akut Merupakan inflamasi kandung empedu akut tanpa adanya obstruksi oleh batu empedu. Kolesistitis akalkulus timbul sesudah tindakan bedah mayor, trauma berat atau luka bakar, sepsis. Faktor-faktor lain yang berkaitan dengan tipe kolesistitis ini mencakup obstreksi duktus sistikus akibat torsi, infeksi primer bakterial pada kandung empedu dan tranfusi darah yang

dilakukan berkali-kali. Kolesistitis akalkulus diperkirakan terjadi akibat perubahan cairan dan elektrolit atau dehidrasi serta aliran darah regional dalam sirkulasi visceral, stasis dan pengendapan dalam kandung empedu, gangguan pembuluh darah dan akhinya kontaminasi bakteri. Kejadiannya yang menyertai tindakan bedah mayor atau trauma mempersulit penegakan diagnosis keadaan ini c) Etiologi dan Patogenesis Factor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih belum jelas. Diperkirakan banyak factor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolestin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes mellitus. d) Gejala Klinis Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau scapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangrene atau perforasi kandung empedu. Pada kepustakaan barat sering dilaporkan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menurut Lesmana LA,dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien-pasien di negara kita. Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung emepedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis local (tanda Murphy). Icterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat

urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut clay-colored. Defisiensi Vitamin. Obstruksi aliran empedu juga mengganggu obstruksi vitamin A, D, E, dan K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat menganggu pembekuan darah normal. Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dalam proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata. e) Prognosis Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun empedu menjadi tebal, fibrotic, penuh dengan bati dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangrene, empyema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotic yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. f) Diagnosis Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan mengigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empyema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan. Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopatik) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatic. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%. Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radiografi HIDA atau 99 n Tc6 Iminodiacetic acid

mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Terlihat gambaran duktus koledokus oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut. Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG. Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba-tiba perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti apendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut dan infark miokard. g) Pengobatan Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazole cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman umum yang terdapat pada kolesistitis akut seperti E.coli, Strep, Faecalis dan Klebsiella. Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi ini menyatakan, timbulnya gangrene dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit lebih singkat dan biaya dapat di tekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut disekitar duktus akan mengaburkan anatomi. Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia pada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat bedah-bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hamper mencapai angka 90% dari seluruh kolesistektomi Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan yang luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu. Menurut kebanyak ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasive mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka

kematian, serta kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktifitas pasien. B. Kolesistitis Kronik Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis dan lebih sering timbul secara perlahan-lahan (Pridady,2007). Kolesistitis kronik adalah suatu keadaan dimana mukosa dan jaringan otot-otot polos kandung empedu diganti dengan jaringan ikat, sehingga kemampuan untuk memekatkan empedu hilang (arif Mansjoer,2009). Kolesistitis kronik mungkin merupakan kelanjutan dari kolesistitis akut yang berulang, tetapi pada umumnya keadaan ini timbul tanpa riwayat serangan akut. Seperti kolesistitis akut, kolesistitis kronik hamper selalu berkaitan dengan batu empedu. Namun batu empedu tampaknya tidak berperan langsung dalam inisiasi peradangan atau timbulnya nyeri. Supersaturasi empedu mempermudah terjadinya peradangan kronik dan pada sebagian besar kasus pembentukan batu. Bagaimanapun, gejala kolesistitis kronik mirip dengan gejala bentuk akut dan berkisar dari kolik biliaris hingga nyeri kuadran kanan atas indolen dan distress epigastrium. Perubahan morfologik pada kolesistitis kronik sangat bervariasi dan kadang-kadang minimal. Keberadaa batu dalam kandung empedu, bahkan tanpa adanya peradangan akut sering dianggap sudah memadai untuk menegakkan diagnosis. Kandung empedu mungkin mengalami kontraksi, berukuran normal, atau membesar. Ulserasi mukosa jarang terjadi, submukosa dan subserosa sering menebal akibat fibrosis. Tanpa adanya kolesistitis akut, limfosit didalam lumen adalah satu-satunya tanda peradangan. a) Gejala Klinis Gambaran klinis mirip keadaan akut, yaitu nyeri perut kanan atas, kolik bilier, atau hanya rasa tidak enak di epigastrium, terdapat demam ringan dan hiperbilirubinemia ringan (arir Mansjoer,2009). Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol seperti dyspepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, icterus dan kolik berulang, nyeri local di daerah kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis.

Diagnosis banding intoleransi lemak, ulkus peptic, kolon spastik, karsinoma kolon kanan, pankreatitis kronik atau kelainan duktus koledokus perlu dipertimbangkan sebelum diputuskan untuk melaksanakan kolesistektomi. b) Diagnosis Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic retrograde choledochopancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus. c) Penatalaksanaan Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu empedu yang simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan ini agak sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai penyakit lain untuk mempertinggi resiko operasi. 2.3.2 KOMPLIKASI Komplikasi kantung empedu (empiema, hidrops mukokel, atau gangrene); gangren bisa menyebabkan perforasi, sehingga menyebabkan peritonitis, pembentukan fistula, pancreatitis, empedu seperti air lemon dan kantung empedu porselen

2.3.3

PATOFISIOLOGI

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 PENGKAJIAN 3.1.1 Anamnesa

A. Identitas Klien : Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,umur, pekerjaan, nama ayah/ ibu, pekerjaan, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir. B. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan utama : sakit perut sisi kanan atas, nyeri yang berpindah-pindah menjalar kadang sampai pundak, mual, muntah, perut terasa kembung, kulit berwarna kuning (apabila batu empedu menghalangi saluran empedu), suhu badan tinggi (demam).

2)

Riwayat kesehatan sekarang : Dapatkan data mengenai kronologis kejadian sehingga muncul keluhan utama yang menyebabkan pasien datang ke tempat pelayanan kesehatan. Bagaimana gejalanya? (mendadak, perlahan-lahan, terus-menerus, serangan

hilang timbul, berubah-ubah dalam waktu tertentu). Tempat dan sifat gejala (menjalar, menyebar, berpindah-pindah, atau menetap). Berat ringannya keluhan dan perkembangannya (menetap, cenderung bertambah, atau berkurang). Berapa lama keluhan berlangsung? Kapan dimulainya? Upaya apa saja yang telah dilakukan untuk meringankan.

3) Riwayat kesehatan masa lalu : Dapatkan data mengenai Riwayat pemakaian obat-obatan : jenis obat, dosis yang dikonsumsi, cara pemakaian dll Pengalaman masa lalu tentang kesehatan : riwayat sakit dengan gejala yang pengalaman perawatan di rumah sakit, sama,

pengalaman tindakan bedah (operasi),

pengalaman kecelakaan, dll 4) 5) Riwayat kesehatan keluarga : Dapatkan data mengenai penyakit menular atau menurun yang dimiliki keluarga. Seperti TBC, Diabetes, Hipertensi dll. Apakah terdapat keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien? Riwayat kesehatan lingkungan : Dapatkan data mengenai lingkungan rumah tempat tinggal pasien sekarang. Apakah sedang terjadi wabah penyakit di lingkungan rumah tempat tinggal pasien? Apakah merupakan daerah industri (rawan polusi)? Lingkungan yang kurang sehat? Kondisi rumah(ventilasi, jendela, kamar mandi/MCK) yang memadai?

6) Riwayat psikososial Dapatkan data mengenai masalah-masalah psikologis yang dialami pasien. Seperti beban pekerjaan, hubungan dengan lingkungan sosial (keluarga dan masyarakat), segalah hal yang menyebabkan stress psikis pada pasien yang berhubungan dengan kontak sosial 3.1.2 Data Dasar

Aktivitas dan istirahat:

Subyektif : kelemahan Obyektif : kelelahan, gelisah

Sirkulasi : Obyektif : Takikardia, Diaphoresis Eliminasi : Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan atas, urine pekat

Makan / minum (cairan) : Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit, tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas, regurgitasi ulang, eruption, flatunasi, rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn), ada peristaltik, kembung dan dyspepsia. Obyektif : Kegemukan, kehilangan berat badan (kurus). Nyeri/ Kenyamanan : Subyektif : Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu, nyeri apigastrium setelah makan, nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit. Obyektif : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku biala kuadran kanan atas ditekan; tanda murphy positif Respirasi : Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak nyaman. Keamanan : Obyektif : demam menggigil, ikterik, kulit kering dan gatal (pruritus) , cenderung perdarahan (defisiensi Vit K ). 3.1.3 Pemeriksaan Fisik

1) Kaji keadaan umum pasien: Meliputi kesan secara umum pada keadaan sakit termasuk ekspresi wajah (cemberut, grimace, lemas) dan posisi pasien. Kesadaran yang meliputi penilaian secara kualitatif (komposmentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, koma) dapat juga menggunakan GCS. Lihat juga keadaan status gizi secara umum (kurus, ideal, kelebihan berat badan) 2) Kaji kondisi fisik pasien: pemeriksaan tanda-tanda vital, adanya kelemahan hingga sangat lemah, takikardi, diaforesis, wajah pucat dan kulit berwarna kuning, perubahan warna urin dan feses.

3) Kaji adanya nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan, mual dan muntah, gelisah dan kelelahan. Palpasi pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing untuk memeriksa ada atau tidaknya pembesaran pada organ tersebut 4) Integumen : periksa ada tidaknya oedem, sianosis,icterus, pucat, pemerahan luka pembedahan pada abdomen sebelah kanan atas. 5) Kaji perubahan gizi-metabolik: penurunan berat badan, anoreksia, intoleransi lemak, mual dan muntah, dispepsia, menggigil, demam, takikardi, takipnea, terabanya kandung empedu. 6) Ekstremitas : Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri yang hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan 3.1.4 Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap: Leukositosis sedang (akut), bilirubin dan amilase serum: meningkat. Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT); LDH; agak meningkat alkaline fosfat dan 5nukletiase; Di tandai obstruksi bilier. Kadar protrombin: Menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan vitamin K. Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan/atau ductus empedu (sering merupakan prosedur diagnostik awal). Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan percabangan bilier dengan kanualas duktus koledukus melalui deudenum. Kolangiografi transhepatik perkutaneus: Pembedaan gambaran dengan flouroskopi anatara penyakit kantung empedu dan kanker pankreas ( bila ekterik ada ). Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem empedu. Catatan: kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu lemah untuk menelan zat lewat mulut. CT Scan: Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu, dan membedakan antara ikterik obstruksi/non obstruksi. Scan hati (dengan zat radioaktif): Menunjukan obstruksi percabangan bilier. Foto abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu empedu, kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu. Foto dada: Menunjukan pernapasan yang menunjukkan penyebaran nyeri. 3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL absorbsi

1) Nyeri b/d proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus, iskemia jaringan/nekrosis 2) Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d dispensi dan hipermortilitas gaster, gangguan proses pembekuan darah, peningkatan metabolisme 3) Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual, muntah, gangguan pencernaan lemak,dispepsi, intake yang tidak adekuat

3.3 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN NO DIAGNOSA KEPERAWATAN 1 TUJUAN DAN KRITERIA HASIL 1. Pantau tingkat dan 1. Tingkat dan intensitas intensitas nyeri merupakan data dasar yang dibutuhkan perawat sebagai INTERVENSI RASIONAL

Nyeri b/d proses Tujuan: inflamasi kandung Setelah dilakukan empedu, obstruksi/spasme duktus,

perawatan selama , nyeri. klien melaporkan 2. Ajarkan teknik relaksasi (nafas dalam) 3. Beri kompres hangat (hati-hati dengan klien yang mengalami perdarahan) 2.

iskemia nyeri berkurang atau hilang. Klien dapat mengkompensasi nyeri dengan baik Kriteria Hasil: - Skala nyeri 0-4 - Grimace (-)

pedoman pengambilan intervensi, sehingga

jaringan/nekrosis

setiap perubahan yang terjadi dipantau. Teknik relaksasi harus terus

(nafas dalam) dapat membantu menurunkan ketegangan otot,

- Gerakan melokalisir4. Beri posisi yang nyeri (-) - Gerakan bertahan (defensife) pada daerah nyeri (-) - Klien tenang nyaman 5. Kondisikan lingkungan yang tenang di sekitar klien 6. Catat repons terhadap obat dan laporkan bila nyeri tidak hilang.

menurunkan mediator stress katekolamin menigkatkan endorphin yang dapat membantu mengurangi untuk rasa seperti dan

7. Kolaborasi pemberian analgesik 3. sesuai program terapi.

nyeri. Kompres dapat hangat

memberikan

efek vasodilator dan relaksasi sehingga digunakan terapi ketegangan dapat terhadap otot dapat sebagai penurun yang

berpengaruh penurunan

nyeri. Namun harus diperhatikan penggunaannya pada pasien perdarahan. 4. Posisi yang nyaman membantu menurunkan ketegangan otot. dengan

Posisi tidur yang salah dapat mencetuskan

kekakuan otot yang mengakibatkan rasa

nyaman terganggu. 5. Kondisi lingkungan yang tenang dapat

membantu menurunkan tingkat

stress klien sehingga dapat mempengaruhi

respon klien terhadap nyeri. 6. Nyeri berat tidak hilang yang dapat

menunjukkan adanya komplikasi 7. Analgesik berfungsi untuk melakukan

hambatan pada sensor nyeri sehingga sensasi nyeri pada klien

berkurang.

Resiko kekurangan

tinggi Tujuan:

1. Monitor pemasukan 1. informasi

Memberikan tentang

Keseimbangan cairan dan pengeluaran cairan 2. Awasi belanjutnya mual/muntah, kram abdomen,kejang ringan, kelemahan 2. 3. Anjurkan cukup minum 4. Kaji pendarahan yang tidak biasa contohnya pendarahan pada gusi,mimisan, petekia, melena 5. Kaji ulang pemeriksaan 3.

volume cairan b/d adekuat kehilangan cairan Kriteria hasil: melalui gaster, Dibuktikan oleh tanda vital stabil Membran mukosa

status cairan / volume sirkulasi kebutuhan penggantian cairan. Muntal berkepanjangan, aspirasi gaster dan dan

muntah distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan

dan lembab, Turgor kulit baik, Pengisian kapier baik, Eliminasi urin normal, Tidak ada muntah

pembekuan darah, peningkatan metabolisme

pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan defisit

natrium, kalium dan klorida. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh

laboraturium 6. Beri cairan IV,

4.

Protrombin

darah

menurun dan waktu koagulasi memanjang bila aliran empedu

elektrolit, dan vit. K

terhambat, meningkatkan resiko hemarogi. 5. Membantu proses volume cairan 6. Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki ketidakseimbangan. . 3 Resiko gangguan pemenuhan tinggi Tujuan: Klien memenuhi kebutuhan nutrisi 1. Berikan perawatan 1. oral teratur. 2. Catat berat badan saat masuk dan bandingken dengan saat berikutnya Perawatan oral dapat mencegah ketidaknyamanan karena mulut kering, bibir pecah dalam evaluasi

nutrisi: kurang dari harian sesuai dengan kebutuhan tubuh tingkat aktivitas dan

b/d mual, muntah, kebutuhan metabolik gangguan pencernaan lemak,dispepsi, Kriteria hasil: -Klien dapat menjelaskan

dan bau tidak sedap yang menurunkan makan klien. Berat badan dapat nafsu

3. Kaji distensi abdomen, berhatihati, menolak gerak 2.

intake yang tidak tentang pentingnya 4. Pemeriksaan adekuat nutrisi bagi klien -Bebas dari tanda malnutrisi -Mempertahankan berat badan stabil

laboratorium/Hb- Ht- merupakan data yang elektrolit-Albumin. 5. Jelaskan tentang pengontrolan dan pemberian konsumsi karbohidrat, lemak diperlukan untuk perawat

mengevaluasi

perkembangan terapi nutrisi klien sehingga perawat dapat

-Nilai laboratorium normal (Hb, Albumin)

(makanan rendah lemak dapat mencegah serangan pada klien dengan 3. kolelitiasis dan kolesistitis), protein, vitamin, mineral dan cairan yang adekuat. 6. Anjurkan mengurangi makanan berlemak dan menghasilkan gas 7. Konsultasikan dengan ahli gizi untuk menetapkan kebutuhan kalori harian dan jenis 4.

menyesuaikan terhadap intervensi. Menunjukkan ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan, nyeri Nilai laboratorium kebutuhan

merupakan data yang diperlukan untuk perawat

mengevaluasi atau

keberhasilan

keefektifan intervensi sehingga dapat perawat menentukan

intervensi yang sesuai bagi klien.

makanan yang sesuai 5. Pendidikan pada klien bagi klien. 8. Anjurkan klien istirahat sebelum makan, 9. Tawarkan makan perlu dilakukan agar klien paham intervensi dilakukan mengerti dan

tentang yang perawat diharapkan

sedikit namun sering. sehingga 10. Batasi asupan cairan saat makan. 11. Sajikan makanan dalam keadaan hangat. 12. Kolaborasi cairan IV 6.

klien dapat bersikap adaptif. Pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada

kandung empedu dan

nyeri 7. Ahli gizi dapat kalori

menghitung

yang dibutuhkan klien menurut aktivitas

yang dilakukan klien, sehingga diharapakan jumlah asupan kalori yang dikonsumsi klien dapat kebutuhan memenuhi harian,

tidak kekurangan dan tidak berlebihan. 8. Kondisi tegang dapat menurunkan nafsu

makan klien, istirahat dapat mengurangi klien dapat klien

ketegangan sehingga membantu

dalam meningkatkan nafsu makan. 9. Makan terlalu banyak dalam dapat satu waktu

menyebabkan

distensi lambung yang berakibat ketidaknyamanan bagi klien sehingga nafsu makan klien makin menurun.

10.

Asupan

cairan

berlebih saat makan menyebabkan distensi lambung mengakibatkan ketidaknyamanan. 11. Makanan yang sudah dingin menyebabkan rasa yang kurang bagi yang

menyenangkan klien menurunkan makan klien.

sehingga nafsu

12. Cairan glukosa IV dapat diberikan

apabila pasien benarbenar tidak

mendapatkan asupan per-oral, cairan

glukosa IV juga dapat menyediakan kalori

bagi klien sehingga klien tidak mengalami kekurangan nutrisi.

3.4 EVALUASI 1) Klien merasa nyaman dan nyeri berkurang 2) Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit 3) Tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi 4) Tidak terjadi komplikasi

DAFTAR PUSTAKA

Doenges,, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta Noer, Sjaifoellah. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. HKUI: Jakarta Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta Smeltzer, Suzanne c, dkk. 2001. Keperawatan medical bedah EGC: Jakarta www.geogle.com

Vous aimerez peut-être aussi