Vous êtes sur la page 1sur 49

HAND OUT KDM 2

1.

2.
3. 4.

ASKEP KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL ASKEP BERDUKA DAN KEHILANGAN ASKEP PEMENUHAN KEBUTUHAN SEKSUAL ASKEP KEBUTUHAN SPIRITUAL

AMAR AKBAR, S.Kep.Ns

AKADEMI KEPERAWATAN BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO

1. ASKEP KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL Konsep dasar psikososial Pengertian kebutuhan psikososial Status emosi Konsep dasar konsep diri Pengertian konsep diri Mekanisme Koping Hubungan sosial Pentingnya konsep diri yang sehat Komponen konsep diri Rentang konsep diri Proses keperawatan pada gangguan konsep diri 2. ASKEP BERDUKA DAN KEHILANGAN Konsep dasar Konsep loss grieving dan teori L-G o Engel o koblear Pengertian dan macam macam L-G tahapan tanda-tanda klinis L-G Askep pada pasien menjelang ajal Pengkajian : Pemeriksaan fisik Diagnosa keperawatan Intervensi keperawatan : perawatan jenazah Implementasi sampai dengan dokumentasi

3. ASKEP PEMENUHAN KEBUTUHAN SEKSUAL Konsep dasar kebutuhan seksual Review organ reproduksi Pengertian sex dan seksualiti Perkembangan seksualitas Fungsi/ pola seksual Stimulasi seksual secara fisik dan psikologi Faktor-faktor yg mempengaruhi kebutuhan sexsual Proses keperawatan Pengkajian Diagnosa keperawatan Intervensi Implementasi Evaluasi

4. ASKEP KEBUTUHAN SPIRITUAL Konsep dasar Konsep perkembangan spiritual Spiritual dan religi Religi dan sakit Kepercayaan dan religi Proses keperawatan Pengkajian Diagnosa keperawatan Intervensi Implementasi Evaluasi

ASKEP KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL KONSEP DASAR PSIKOSOSIAL Pengertian kebutuhan psikososial Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa (Depkes, 2011).

Manusia adalah makhluk biopsikososial yang unik dan menerapkan system terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan ini disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan lingkungannya. Sebagai makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal positif (Mirzal Tawi, 2008).

Contoh masalah psikososial antara lain: psikotik gelandangan dan pemasungan, penderita gangguan jiwa, masalah anak: anak jalanan dan penganiayaan anak, masalah anak remaja: tawuran dan kenakalan, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, masalah seksual: penyimpangan seksual, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual, tindak kekerasan sosial, stress pasca trauma, pengungsi/ migrasi, masalah usia lanjut yang terisolir, masalah kesehatan kerja: kesehatan jiwa di tempat kerja, penurunan produktifitas dan stres di tempat kerja, dan lain-lain: HIV/AIDS (Depkes, 2011). STATUS EMOSI Setiap individu mempunyai kebutuhan emosi dasar, termasuk kebutuhan akan cinta, kepercayaan, otonomi, identitas, harga diri, penghargaan dan rasa aman. Schultz (1966) Merangkum kebutuhan tersebut sebagai kebutuhan interpersonal untuk inklusi, control dan

afeksi. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akibatnya dapt berupa perasaan atau prilaku yang tidak diharapkan, seperti ansietas, kemarahan, kesepian dan rasa tidak pasti. Kebutuhan interpersonal akan inklusi, control dan afeksi kadang saling tumpang tindih dan berkesinambungan.

Kebutuhan akan inklusi : Merupakan kebutuhan untuk menetapkan dan memelihara hubungan yang memuaskan dengan orang. Dalam lingkungan perawatan kesehatan, kebutuhan inklusi dapat dipenuhi dengan memberi informasi dan menjawab semua pertanyaan, menjelaskan tanggung jawab perawat dalm memberi perawatan dan mengenali kebutuhan serta kesukaan pasien.

Kebutuhan akan kontrol : Berhubungan dengan kebutuhan untuk menentukan dan memelihara hubungan yang memuaskan dengan orang lain dengan memperhatikan kekuasaan, pembuatan keputusan dan otoritas. Contoh: Saat orang melepaskan tanggung jawab pribadinya dan menjadi pasien yang sangat terikat dan tidak berdaya yang selalu meminta petunjuk dari semua orang mengenai apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Dibalik prilaku itu tersembunyi ansietas, bermusuhan dan kurang percaya terhadap orang lain atau diri sendiri. Intervensi keperawatan yang membantu pasien menerima tanggung jawab untum membuat keputusan mengenai perawatan pasien yang menunjang pemulihan control.

Kebutuhan Afeksi : Seseorang membangun hubungan saling memberi dan saling menerima berdasarkan saling menyukai. Afeksi diungkapkan dengan kata-kata cinta, suka, akrab secara emosional, pribadi, sahabat, dan intimasi. Rentang Respon Emosional :

RENTANG RESPONS EMOSIONAL Respons Adaptif Respons Maladaptif

Kepekaan emosional Pengertian: a.

Reaksi berduka Supresi emosi takterkomplikasi

Penundaan reaksi berduka

Depresi/mania

Kepekaan emosiaonal adalah Respons emosional termasuk dipengaruhi oleh dan berperan aktif dalam dunia internal dan eksternal sesorang. Tersirat bahwa orang tersebut terbuka dan sadar akan perasaannya sendiri.

b.

Reaksi berduka takterkomplikasi Terjadi sebagai respons terhadap kehilangan dan tersirat bahwa seseorang sedang menghadapi suatu kehilngan yang nyata serta terbenam dalam proses berdukanya.

c.

Supresi emosi Mungkin tampak sebagai penyangkalan (denial) terhadap perasaan sendiri, pelepasan dari keterikatandengan emosi atau penalaran terhadap semua aspek dari dunia afektif seseorang.

d.

Penundaan reaksi berkabung Ketidakadaan yang persisten respons emosional terhadap kehilangan . ini dapat terjadi pada awal proses berkabung dan menjadi nyata pada kemunduran proses, mulai terjadi atau keduanya. Penundaan dan penolakan proses berduka kadang terjadi bertahun-tahun.

e.

Depresi atau melankolia Suatu kesedihan atau perasaan berduka berkepanjangan. Dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena, tanda, gejala, sindrom, keadaan emosional, reaksi, penyakit atau klinik.

f.

Mania Ditandai dengan elevasi alam perasaan berkepanjangan dan mudah tersinggung.

KONSEP DASAR KONSEP DIRI Dalam kebutuhan Maslow dinyatakan bahwa tingkat yang paling tinggi dalam kebutuhan manusia adalah tercapainya aktualisasi diri untuk mencapai aktualisasi diri diperlukan konsep diri yang sehat. 1. Konsep diri

Konsep diri adalah semua perasaan kepercayaan dan nilai yang diketahui tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam bersosialisasi dengan orang lain. Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi molai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Pembentukan konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan lingkungannya. Tahap Perkembangan Psikososial Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia adalah sebagai berikut: 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya) a. Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan.

b. dari lahir sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup. c. bayi sangat tergantung dari pengasuhan.

d. Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. 2. Autonomy vs Shame and Doubt (otonomi vs malu dan ragu-ragu) a. Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun

b. masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri. c. d. latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting. Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas

pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. e. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara

yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri. 3. Initiative vs Guilt ( inisiatif dan rasa bersalah) a. Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.

b. masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. c. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin

orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa. d. Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan

ragu-ragu, dan kurang inisiatif. e. Rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.

4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri) a. b. Terjadi pada usia 6 s/d pubertas. Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap

keberhasilan dan kemampuan mereka. c. Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan

kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya. d. Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil. e. Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan

pengalaman baru. f. Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi

mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. g. Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif. h. Guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak. 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas) a. Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun

b. Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya. c. Anak dihadapkan dengan penemuan siapa, bagaimana, dan kemana mereka menuju

dalam kehidupannya. d. Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa,

pekerjaan dan romantisme. e. Jika remaja menjajaki peran dg cara yang sehat dan positif maka identitas positif akan

dicapai. f. Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai

menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. g. bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan

diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini. h. Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul

rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.

6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan) a. b. Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun) Tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat & siap

berkomitmen dg orang lain. c. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan

aman. d. Identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. e. Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam

interaksi dengan orang. 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan) a. b. Terjadi selama masa pertengahan dewasa Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir

dan keluarga. c. Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi

terhadap dunia . d. Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.

8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa) a. Terjadi selama masa akhir dewasa.

b. cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu. c. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan

mengalami banyak penyesalan. d. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa. e. Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan

dan kegagalan yang pernah dialami. f. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.

Rentang respon konsep diri

Keterangan: a. Aktualisasi diri : Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang

pengalaman nyata sukses dan diterima. b. Konsep diri : Apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi

diri. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri. Harga diri rendah adalah menolak sesuatu yang berharga dan tidak dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri akibat gagal menyesuaikan tingkah laku dengan cita-cita. c. Kerancuan identitas : Kegagalan aspek individu mengintegrasikan berbagai identifikasi masa

kanak-kanak ke dalam kepribadian psikososial, kepribadian dewasa yang harmonis. d. Depersonalisasi : perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri. (Stuart, 2006).

a. Komponen konsep diri 1) Citra diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup presepsi dari pasangan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan tubuh saat ini dan masa lalu. 2) Ideal diri Presepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar perilaku. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi. 3) Harga diri Harga diri adalah penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami kegagalan cenderung harga diri menjadi rendah. Harga diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. 4) Peran diri Peran diri adalah pola sikap, perilaku nilai yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. 5) Identitas diri

Identitas diri adalah kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri 1) Tingkat perkembangan dan kematangan Perkembangan anak seperti perkembangan menta, perlakuan, dan pertumbuhan anak akan mempengaruhi konsep dirinya. 2) Budaya Pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya, dan lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat pada lingkungannya. 3) Sumber eksternal dan internal Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep diri. Pada sumber internal misalnya, orang yang humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal misalnya adanya dukungan dari masyarakat dan ekonomi yang kuat. 4) Pengamatan sukses dan gagal Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri demikian pula sebaliknya. 5) Sensor Stresor dalam kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian dan kekuatan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi, menarik diri, dan kecemasan. 6) Usia, keadaaan sakit, dan trauma Usia tua, keadaan sakit akan mempengaruhi persepsi dirinya. c. Kriteria kepribadian yang sehat

1) Citra tubuh positif dan akurat Kesadaran akan diri berdasar atas observasi mandiri dan perhatian yang sesuai akan kesehatan diri. Termasuk presepsi saat ini dan masa lalu. 2) Ideal dan realitas Individu mempunyai ideal diri yang realitas dan mempunyai tujuan hidup yang dapat dicapai. 3) Konsep diri yang positif

Konsep diri yang positif menunjukkan bahwa individu akan sesuai dalam hidupnya. 4) Harga diri tinggi Seseorang yang akan mempunyai harga diri tinggi akan memandang dirinya sebagai seorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa yang ia inginkan. 5) Kepuasan penampilan peran Individu yang mempunyai kepribadian sehat akan dapat berhubungan dengan orang lain secara intim dan mendapat kepuasan, dapat memercayai dan terbuka pada orang lain serta membina hubungan interdependen. 6) Identitas jelas individu merasakan keunikan dirinya yang member arah kehidupan dalam mencapai tujuan d. Karakteristik konsep diri rendah 1) Menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu 2) Tidak mau berkaca 3) Menghindari diskusi tentang topik dirinya 4) Menolak usaha rehabilitasi 5) Melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat 6) Mengingkari perubahan pada dirinya 7) Peningkatan ketergantungan pada yang lain 8) Tanda dari keresahan seperti marah, keputusasaan, dan menangis 9) Menolak berpartisipasi dalam perawatan dirinya

e.

Faktor risiko gangguan konsep diri

1. Gangguan identitas diri a) b) c) d) Perubahan perkembangan. Trauma Jenis kelamin yang tidak sesuai Budaya yang tidak sesuai

2. Gangguan citra tubuh (body image) a) b) Hilangnya bagian tubuh Perubahan perkembangan

c)

Kecacatan

3. Gangguan harga diri a) b) c) d) Hubungan interpersonal yang tidak harmonis Kegagalan perkembangan Kegagalan mencapai tujuan hidup Kegagalan dalam mengikuti aturan normal

4. Gangguan peran a) b) c) d) Kehilangan peran Peran ganda Konflik peran Ketidakmampuan menampilkan peran

STRESS DAN ADAPTASI Stress merupakan bagian dari kehidupan yang mempunyai efek positif dan negatif yang disebabkan karena perubahan lingkungan. Secara sederhana stress adalah kondisi dimana adanya respons tubuh terhadap perubahan untuk mencapai normal. Sedangkan stressor adalah sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang mengalami stress. Stressor dapat berasal dari internal misalnya, perubahan hormon, sakit maupun eksternal misalnya, temperatur dan pencemaran. Seseorang mengalami situasi bahaya, maka respons akan muncul. Respons yang tidak disadari pada saat tertentu disebut respons koping. Perubahan dari suatu keadaan dari respons akibat stressor disebut adaptasi. Adaptasi sesungguhnya terjadi apabila adanya keseimbangan antara lingkungan internal dan eksternal. Contoh adaptasi misalnya: optimalnya semua fungsi tubuh, pertumbuhan normal, normalnya reaksi antara fisik dan emosi, kemampuan menolerir perubahan situasi. a. Fisiologi Stress dan Adaptasi Tubuh selalu berinteraksi dan mengalami sentuhan langsung dengan lingkungan, baik lingkungan internal seperti pengaturan peredaran darah, pernapasan. Maupun lingkungan eksternal seperti cuaca dan suhu yang kemudian menimbulkan respons normal atau tidak normal. Keadaan diman terjadi mekanisme relatif untuk mempertahankan fungsi normal disebut homeostatis. Homeostatis dibagi menjadi dua yaitu homeostatis fisiologis misalnya, respons

adanya peningkatan pernapasan saat berolahraga dan homeostatis psikologis misalnya, perasaan mencintai dan dicintai, perasaan aman dan nyaman.

b. Respons fisiologi terhadap stress Respons fisiologi terhadap stress dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu local adaptation syndrome (LAS) yaitu respons lokal tubuh terhadap stressor misalnya kalau kita menginjak paku maka secara refleks kaki akan diangkat atau misalnya ada proses peradangan maka reaksi lokalnya dengan menambahkan sel darah putih pada lokasi peradangan dan general adaptation syndrome (GAS) yaitu reaksi menyeluruh terhadap stressor yang ada. Dalam proses GAS terdapat tiga fase: 1) pertama, reaksi peringatan ditandai oleh peningkatan aktifitas neuroendokrin yang berupa peningkatan pembuluh darah, nadi, pernapasan, metabolisme, glukosa dan dilatasi pupil. 2) kedua, fase resisten dimana fungsi kembali normal, adanya LAS, adanya koping dan mekanisme pertahan. 3) ketiga, fase kelelahan ditandai dengan adanya vasodilatasi, penurunan tekanan darah, panik, krisis. Dapat berupa depresi, marah, dan kecemasan. Kecemasan adalah respons emosional terhadap penilaian, misalnya cemas mengikuti ujian karena khawatir nilainya buruk. Ada empat tingkatan kecemasan, yaitu :

1)

Cemas ringan Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan seharihari. Pada

tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhatihati dan waspada. Respons cemas ringan seperti sesekali bernapas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar, lapang persepsi meluas, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, tidak dapat duduk dengan tenang dan tremor halus pada tangan. 2) Cemas sedang Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap masalah menurun. Respons cemas sedang seperti sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang

pandang menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak enak.

3) Cemas berat Pada cemas berat lahan persepsi sangat sempit. Respons kecemasan berat seperti napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat dab sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan, lapang persepsi sangat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, blocking, verbalisasi cepat dan perasaan ancaman meningkat. 4) Panik Pada tahap ini lahan persepsi telah terganggu sehingga individu tidak dapat mengendalikan diri sehingga individu tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apaapa walaupun telah diberi pengarahan. Respons panik seperti napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat berpikir logis, agitasi, mengamuk, marah, ketakutan, berteriakteriak, blocking, kehilangan kendali dan persepsi kacau. Faktor faktor yang Dapat Menimbulkan Stres

a.

a) Lingkungan yang asing b) Kehilangan kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang lain c) Berpisah dengan pasangan dan keluarga d) Masalah biaya e) Kurang informasi f) Ancaman akan penyakit yang lebih parah g) Masalah pengobatan

C. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Pengkajian psikologis 1) Status emosional - Apakah emosi sesuai perilaku?

- Apakah klien dapat mengendalikan emosi? - Bagaimana perasaan klien yang tampil seperti biasaanya? - Apakah perasaan hati sekarang merupakan cirri khas klien? - Apa yang klien lakukan jika marah atau sedih? 2) Konsep Diri - Bagaimana klien menilai dirinya sebagai manusia? - Bagaimana orang lain menilai diri klien? - Apakah klien suka akan dirinya? 3) Cara Komunikasi - Apakah klien mudah merespons? - Apakah spontanitas atau hanya jika ditanya? - Bagaimana perilaku nonverbal klien dalam berkomunikasi? - Apakah klien menolak untuk memberi respons? 4) Pola interaksi - Kepada siapa klien mau berinteraksi? - Siapa yang penting atau berpengaruh bagi klien? - Bagaimana sifat asli klien : mendominasi atau positif?

b. Pengkajian Sosial 1) Pendidikan

a) Pendidikan terakhir b) Keterampilan yang mampu dilakukan c) Pekerjaan klien d) Status keuangan 2) Hubungan social

a) Teman dekat klien b) Bagaimana klien menggunakan waktu luang? c) Apakah klien berkecimpung dalam kelompok masyarakat? 3) Faktorkultural social

a) Apakah agama dan kebudayaan klien? b) Bagaimana tingkat pemahaman klien tentang agama?

c) Apakah bahasa klien memadai untuk berkomunikasi dengan orang lain? 4) Pola Hidup

a) Dimana tempat tinggal klien? b) Bagaimana tempat tinggal klien? c) Dengan siapa klien tinggal? d) Apa yang klien lakukan untuk menyenangkan diri? 5) Keluarga

a) Apakah yang klien sudah menikah? b) Apakah klien sudah punya anak? c) Bagaimana status kesehatan klien dan keluarga? d) Masalah apa yang terutama dalam keluarga? e) Bagaimana tingkat kecemasan klien?

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi a. Gangguan konsep diri: citra tubuh negatif Kondisi di mana seseorang mengalami status perlu merasakan, memikirkan, dan memandang dirinya sendiri. Gangguan konsep diri meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri, performa peran, atau identitas personal. Kemudian berhubungan dengan : a. Patofisiologis Berhubungan dengan perubahan penampilan, gaya hidup, peran, respons orang lain, sekunder akibat: - Penyakit kronis - Kehilangan anggota tubuh - Kehilangan fungsi tubuh - Trauma yang berat - Nyeri

b. Situasional (Personal, lingkungan) Berhubungan dengan perasaan terlantar atau kegagalan, sekunder akibat: - Perceraian, perpisahan diri dari orang terdekat, atau kematian orang yang disayang.

- Kehilangan pekerjaan atau ketidakmampuan untuk bekerja. Berhubungan dengan immobilitas atau kehilangan fungsi. Berhubungan dengan hubungan yang tidak memuaskan (orang tua). Berhubungan dengan pilihan seksual (homoseksual, lesbian, biseksual, abstein). Berhubungan dengan kehamilan remaja. Berhubungan dengan perbedaan gender dalam cara membesarkan anak oleh orang tua. Berhubungan dengan pengalaman tindak kekerasan oleh orang tua.

c. Maturasional Usia pertengahan Kehilangan peran dan tanggung jawab Lansia Kehilangan peran dan tanggung jawab Kemungkinan berhubungan data yang ditemukan: - Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh - Menolak memandag ke cermin - Tidak bersedia mendiskusikan keterbatasan, deformitas, atau gangguan penampilan yang dialami - Menolak menerima upaya rehabilitasi - Tanda-tanda berduka: menangis, putus asa, marah - Perilaku merusak diri: minum alkohol, obat - Menarik diri dari kontak sosial

Tujuan yang diharapkan : a. Pasien dapat menerima keadaan tubuhnya secara proposional b. Pasien dapat beradaptasi dengan keadaan tubuhnya

INTERVENSI 1. Bina hubungan saling percaya

RASIONAL 1. Dasar mengembangkan tindakan keperawatan 2. Merencanakan intervensi lebih lanjut

2. Kaji penyebab gangguan citra tubuh

3. Kaji kemampuan yang dimiliki 3. Alternatif memanfaatkan kemampuan klien dengan menutupi kekurangan 4. Eksplorasi aktifitas baru yang dapat dilakukan b. Cemas Perasaan tidak menyenangkan disebabkan oleh sumber yang tidak jelas/tidak spesifik. Kemungkinan berhubungan dengan: - Ancaman perubahan status kesehatan dan status ekonoimi - Kemungkinan data yang ditemukan : Meningkatkannya tensi darah dan kesulitan tidur - Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada : Keadaan rumah sakit dan Penyakit terminal Tujuan yang diharapkan: Pasien dapat mendemonstrasikan cara penurunan kecemasan. 4. Memfasilitasi dengan memanfaatkan kelebihan

INTERVENSI

RASIONAL

1. Lanjutkan pengkajian mengenai riwayat pasien masuk rumah sakit

1. Mengidentifikasi faktor penyebab cemas

2. Monitor hubungan perilaku cemas, 2. Ketika cemas meningkat, pasien aktifitas dan kejadian setiap 2 jam kurang kooperatif dan ada kemungkinan terjadinya perubahan rencana keperawatan 3. Yakinkan bahwa cemas adalah reaksi normal. Bantu identifikasi tanda-tanda kecemasan seperti nafas lebih cepat, nadi cepat dan berkeringat dingin 4. Berikan keterangan dengan memberikan lingkungan yang nyaman 5. Jelaskan semua prosedur dan Tujuan dengan singkat dan jelas 3. Membantu mengidentifikasi hubungan antara partisipasi dengan kecemasan

4. Lingkungan nyaman membantu memfokuskan pikiran dan aktivitas 5. Pasien yang kooperatif

6. Turunkan input sensori yang mengganggu 6. Menurunkan kecemasan seperti lampu yang silau, gaduh, dan udara panas

7. Lakukan hubungan yang lebih akrab 7. Menimbulkan kepercayaan dan dengan pasien sebelum tidur merasa nyaman 8. Monitor tanda vital setiap 4 jam 9. Perhatikan kebutuhan fisik selama mengalami kecemasan 10. Berikan obat anti cemas dan monitor efeknya setelah 30 menit 8. Membantu menentukan efek cemas 9. Cemas menimbulkan kegagalan pemenuhan kebutuhan fisik 10. Efek pengobatan membantu menurunkan kecemasan

11. Membantu pasien dalam kemampuan 11. Koping yang positif dapat koping menurunkan kecemasan 12. Lakukan pengkajian mengenai kemungkinan adanya penyimpangan perilaku: perkelahian, merokok, alkohol, dan lain-lain 13. Lakukan teknik relaksasi: teknik napas dalam dan membaca 14. Kolaborasi dengan psikiater : hal-hal yang menggangu seperti lampu yang silau, suasana yang gaduh, dan cuaca yang panas 12. Mencegah penyimpangan perilaku

13. Relaksasi menurunkan kecemasan

14. Mengatasi masalah kecemasan

ASKEP BERDUKA DAN KEHILANGAN Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya. Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian. Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004). Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klienkelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005). Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah membimbing rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual (APA, 1992 ), karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ). Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat yang komprehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan

perawat dalam tugas mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya sesuai dengan Sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa amalan yang terakhir sangat menentukan, sehingga perawat dapat bertindak sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan yang terbaik seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun peran spiritual ini sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut.

Kehilangan Definisi kehilangan Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung: 1. Arti dari kehilangan 2. Sosial budaya 3. kepercayaan / spiritual 4. Peran seks 5. Status social ekonomi 6. kondisi fisik dan psikologi individu Tipe Kehilangan Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu: 1. Aktual atau nyata Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai. 2. Persepsi Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang

berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun. Jenis-jenis Kehilangan Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:

Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.

Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)

Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.

Kehilangan objek eksternal

Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.

Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal

Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.

Kehilangan kehidupan/ meninggal

Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.

Rentang Respon Kehilangan Denial> Anger> Bergaining> Depresi> Acceptance 1. Fase denial a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan b. Verbalisasi; itu tidak mungkin, saya tidak percaya itu terjadi . c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah. 2. Fase anger / marah a. Mulai sadar akan kenyataan b. Marah diproyeksikan pada orang lain c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal. d. Perilaku agresif. 3. Fase bergaining / tawar- menawar. a. Verbalisasi; kenapa harus terjadi pada saya ? kalau saja yang sakit bukan saya seandainya saya hati-hati . 4. Fase depresi a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa. b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun. 5. Fase acceptance a. Pikiran pada objek yang hilang berkurang. b. Verbalisasi ; apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh, yah, akhirnya saya harus operasi Berduka Definisi berduka Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

Teori dari Proses Berduka Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati. Teori Engels Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.

Fase I (shock dan tidak percaya)

Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.

Fase II (berkembangnya kesadaran)

Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.

Fase III (restitusi)

Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

Fase IV

Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.

Fase V

Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang. Teori Kubler-Ross Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

a)

Penyangkalan (Denial)

Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti Tidak, tidak mungkin seperti itu, atau Tidak akan terjadi pada saya! umum dilontarkan klien. b) Kemarahan (Anger)

Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin bertindak lebih pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan. c) Penawaran (Bargaining)

Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain. d) Depresi (Depression)

Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah. e) Penerimaan (Acceptance)

Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa. Teori Martocchio Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun. Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori: 1. Penghindaran Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya. 1. Konfrontasi

Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut. 1. Akomodasi Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka. PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA ENGEL (1964) KUBLER-ROSS MARTOCCHIO RANDO (1991) (1969) (1985) Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran Berkembangnya kesadaran Marah Yearning and protest Restitusi Tawar-menawar Anguish, Konfrontasi disorganization and despair Idealization Depresi Identification in bereavement Reorganization / the out come Penerimaan Reorganization and akomodasi restitution

Pengertian Penyakit Terminal Keadaan Terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (KublerRosa, 1969). Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1999).

Jenis Penyakit Terminal Beberapa jenis penyakit terminal 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penyakit-penyakit kanker. Penyakit-penyakit infeksi. Congestif Renal Falure (CRF). Stroke Multiple Sklerosis. Akibat kecelakaan fatal. AIDS.

Manifestasi Klinik Fisik 1. Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari ujung kaki dan ujung jari. 2. 3. 4. Aktivitas dari GI berkurang. Reflek mulai menghilang. Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama pada kaki dan tangan dan ujung-ujung ekstremitas. Kulit kelihatan kebiruan dan pucat. Denyut nadi tidak teratur dan lemah. Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok. Penglihatan mulai kabur. Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.

5. 6. 7. 8. 9.

10. Klien dapat tidak sadarkan diri.

Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu: 1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat dari fase akut ke kronik. 2.Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi penyakit yang kronik. 3.Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker. 4.Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit kronik dan telah berjalan lama. Tanda-tanda Meninggal secara klinis Secara tradisional. Tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu: 1. 2. 3. 4. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan. Tidak ada reflek. Gambaran mendatar pada EKG.

Macam Tingkat Kesadaran atau Pengertian Pasien dan Keluarganya Terhadap Kematian. Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type: 1. Closed Awareness/Tidak Mengerti.

Pada situasi seperti ini, tenaga kesehatan biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dan sebagainya.

2.

Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.

Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya. 3. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka.

Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.

I. Bantuan yang Dapat Diberikan Saat Tahap Berduka Bantuan terpenting berupa emosional. a. Pada Fase Denial

Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial dengan cara mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan pasien dapat mengekspresikan perasaan-perasaannya. b. Pada Fase Marah

Biasansya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang marah. Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih merupakan hal yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman. c. Pada Fase Menawar

Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan mendorong pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak masuk akal.

d.

Pada Fase Depresi

Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.

e.

Pada Fase Penerimaan

Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya.

ASKEP BERDUKA DISFUNGSIONAL Pengkajian 1. Riwayat kesehatan sekarang Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang 2. Riwayat kesehatan dahulu Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah sakit dengan penyakit yang sama 3. Riwayat kesehatan keluarga Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit yang sama dengan klien 4. Head To Toe Perubahan fisik saat kematian mendekat: a. b. c. d. e. f. g. h. Pasien kurang rensponsif Fungsi tubuh melamban Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja Rahang cendrung jatuh Pernafasan tidak teratur dan dangkal Sirkulasi melambat dan ektremitas dingin, nadi cepat dan melemah. Kulit pucat Mata memelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya

Data yang dapat dikumpulkan adalah: a. Perasaan sedih, menangis. b. Perasaan putus asa, kesepian c. Mengingkari kehilangan d. Kesulitan mengekspresikan perasaan e. Konsentrasi menurun f. Kemarahan yang berlebihan g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain. h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan. i. Reaksi emosional yang lambat j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas Diagnosa keperawatan: Berduka disfungsional Definisi: sesuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang dirasakan dimana individu tetap terfiksasi dalam satu tahap proses berduka untuk suatu periode waktu yang terlalu lama, atau gejala berduka yang normal menjadi berlebih-lebihan untuk suatu tingkat yang mengganggu fungsi kehidupan. Kemungkinan Etiologi (yang berhubungan dengan)

Kehilangan yang nyata atau dirasakan dari beberapa konsep nilai untuk individu Kehilangan yang terlalu berat (penumpukan rasa berduka dari kehilangan multiple yang belum terselesaikan) Menghalangi respon berduka terhadap suatu kehilangan Tidak adanya antisipasi proses berduka Perasaan bersalah yang disebabkan oleh hubungan ambivalen dengan konsep kehilangan.

Batasan Karakteristik (dibuktikan dengan)


Idealisasi kehilangan (konsep) Mengingkari kehilangan

Kemarahan yang berlebihan, diekspresikan secara tidak tepat Obsesi-obsesi pengalaman-pengalaman masa lampau Merenungkan perasaan nersalah secara berlebihan dan dibesar-basarkan tidak sesuai dengan ukuran situasi.

Regresi perkembangan Gangguan dalam konsentrasi Kesulitan dalam mengekspresikan kehilangan Afek yang labil Kelainan dalam kebiasaan makan, pola tidur, pola mimpi, tingkat aktivitas, libido.

Sasaran/Tujuan Sasaran jangka pendek Pasien akan mengekspresikan kemarahan terhadap konsep kehilangan dalam 1 minggu. Sasaran jangka panjang Pasien akan mampu menyatakan secara verbal perilaku-perilaku yang berhubungan dengan tahap-tahap berduka yang normal. Pasien akan mampu mengakui posisinya sendiri dalam proses berduka sehingga ia mampu dengan langkahnya sendiri terhadap pemecahan masalah. Intervensi dengan Rasional Tertentu 1. Tentukan pada tahap berduka mana pasian terfiksasi. Identifikasi perilaku-perilaku yang berhubungan dengan tahap ini. Rasional Pengkajian data dasar yang akurat adalah penting untuk perencanaan keperawatan yang efektif bagi pasien yang berduka. 1. Kembangkan hubungan saling percaya dengan pasien. Perlihatkan empati dan perhatian. Jujur dan tepati semua janji Rasional Rasa percaya merupakan dasar unutk suatu kebutuhan yang terapeutik. 1. Perlihatkan sikap menerima dan membolehkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya secara terbuka Rasional Sikap menerima menunjukkan kepada pasien bahwa anda yakin bahwa ia merupakan seseorang pribadi yang bermakna. Rasa percaya meningkat. 1. Dorong pasien untuk mengekspresikan rasa marah. Jangan menjadi defensif jika permulaan ekspresi kemarahan dipindahkan kepada perawat atau terapis. Bantu pasien untuk mengeksplorasikan perasaan marah sehingga pasien dapat mengungkapkan secara langsung kepada objek atau orang/pribadi yang dimaksud. Rasional

Pengungkapan secara verbal perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam dapat membantu pasien sampai kepada hubungan dengan persoalan-persoalan yang belum terpecahkan. 1. Bantu pasien untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam dengan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas motorik kasar (mis, joging, bola voli,dll) Rasional Latihan fisik memberikan suatu metode yang aman dan efektif untuk mengeluarkan kemarahan yang terpendam. 1. Ajarkan tentang tahap-tahap berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan dengan setiap tahap. Bantu pasien untuk mengerti bahwa perasaan seperti rasa bersalah dan marah terhadap konsep kehilangan adalah perasaan yang wajar dan dapat diterima selama proses berduka. Rasional Pengetahuan tentang perasaan-perasaan yang wajar yang berhubungan dengan berduka yang normal dapat menolong mengurangi beberapa perasaan bersalah menyebabkan timbulnya respon-respon ini. 1. Dorong pasien untuk meninjau hubungan dengan konsep kehilangan. Dengan dukungan dan sensitivitas, menunjukkan realita situasi dalam area-area dimana kesalahan presentasi diekspresikan. Rasional Pasien harus menghentikan persepsi idealisnya dan mampu menerima baik aspek positif maupun negatif dari konsep kehilangan sebelum proses berduka selesai seluruhnya. 1. Komunikasikan kepada pasien bahwa menangis merupakan hal yang dapat diterima. Menggunakan sentuhan merupakan hal yang terapeutik dan tepat untuk kebanyakan pasien. 1. Bantu pasien dalam memecahkan masalahnya sebagai usaha untuk menentukan metodametoda koping yang lebih adaptif terhadap pengalaman kehilangan. Berikan umpan balik positif untuk identifikasi strategi dan membuat keputusan. Rasional Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan mendorong pengulangan perilaku yang diharapkan.

10. Dorong pasien untuk menjangkau dukungan spiritual selama waktu ini dalam bentuk apapun yang diinginkan untuknya. Kaji kebutukan-kebutuhan spiritual pasien dan bantu sesuai kebutuhan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang 1. Pasien mampu untuk menyatakan secara verbal tahap-tahap proses berduka yang normal dan perilaku yang berhubungan debgab tiap-tiap tahap. 2. Pasien mampu mengidentifikasi posisinya sendiri dalam proses berduka dan mengekspresikan perasaan-perasaannya yang berhubungan denga konsep kehilangan secara jujur. 3. Pasien tidak terlalu lama mengekspresikan emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang berlebihan yang berhubungan dengan disfungsi berduka dan mampu melaksanakan aktifitas-aktifitas hidup sehari-hari secara mandiri.

Diagnosa Keperawatan (Tambahan) 1. Ansietas/ ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup 2. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain 3. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan keluarga,takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres ( tempat perawatan ) 4. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian Intervensi Keperawatan Diagnosa I Ansietas / ketakutan ( individu , keluarga ) yang berhubungan denga situasi yang tak dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat diperkirakan takut akan kematian dan efek negative pada gaya hidup. Criteria Hasil Klien atua keluarga akan : 1. mengungkapkan ketakutannya yang brhubungan dengan gangguan

2. menceriktakan tentang efek ganmguan pada fungsi normal, tanggungn jawab, peran dan gaya hidup No Intervensi 1 Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya : 1. berikan kepastian dan kenyamanan 2. tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empti, jangan menghindari pertanyaan 3. dorong klien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang berhubungan dengan pengobtannya 4. identifikasi dan dukung mekaniosme koping efektif Rasional Klien yang cemas mempunbyai penyempitan lapang persepsi denagn penurunan kemampuan untuk belajar. Ansietas cendrung untuk memperburuk masalah. Menjebak klien pada lingkaran peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri fisik

2 Kaji tingkat ansietas klien : rencanakan Beberapa rasa takut didasari oleh pernyuluhan bila tingkatnya rendah atau informasi yang tidak akurat dan dapat sedang dihilangkan denga memberikan informasi akurat. Klien dengan ansietas berat atauparah tidak menyerap pelajaran 3 Dorong keluarga dan teman untuk Pengungkapan memungkinkan untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan saling berbagi dan memberiakn mereka kesempatan untuk memperbaiki konsep yang tidak benar 4 Berika klien dan keluarga kesempatan Menghargai klien untuk koping efektif dan penguatan koping positif dapat menguatkan renson koping positif yang akan datang Diagnosa II Berduka yang berhubungan penyakit terminal dan kematian yang akan dihadapi penurunan fungsi, perubahan konsep diri dan menark diri dari orang lain No Intervensi 1 Berikan kesempatan pada klien da keluarga untuk mengungkapkan perasaan, didiskusikan kehilangan secara terbuka , dan gali makna pribadi dari kehilangan.jelaskan bahwa berduka adalah reaksi yang umum dan sehat Rasional Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa kematian sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak berdayaan, marah dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan jujur dapat membantu klien dan anggota keluarga

menerima dan mengatasi situasi dan respon mereka terhdap situasi tersebut Berikan dorongan penggunaan Stategi koping fositif membantu penerimaan strategi koping positif yang terbukti dan pemecahan masalah yang memberikan keberhasilan pada masa lalu Berikan dorongan pada klien untuk Memfokuskan pada atribut yang positif mengekpresikan atribut diri yang meningkatkan penerimaan diri dan positif penerimaan kematian yang terjadi Bantu klien mengatakan dan Proses berduka, proses berkabung adaptif menerima kematian yang akan tidak dapat dimulai sampai kematian yang terjadi, jawab semua pertanyaan akan terjadi di terima dengan jujur Tingkatkan harapan dengan Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit perawatan penuh perhatian, terminal paling menghargai tindakan menghilangkan ketidak nyamanan keperawatan berikut : dan dukungan a. Membantu berdandan b. Mendukung fungsi kemandirian c. Memberikan obat nyeri saat diperlukandan d. meningkatkan kenyamanan fisik ( skoruka dan bonet 1982 )

DIAGNOSA III Perubahan proses keluarga yang berhubunga dengan gangguan kehidupan takut akan hasil ( kematian ) dan lingkungannya penuh stres ( tempat perawatan ) No 1 Intervensi Rasional Luangkan waktu bersama keluarga Kontak yang sering dan me ngkmuikasikan atau orang terdekat klien dan sikap perhatian dan peduli dapat membantu tunjukkan pengertian yang empati mengurangi kecemasan dan meningkatkan pembelajaran Izinkan keluarga klien atau orang Saling berbagi memungkinkan perawat terdekat untuk mengekspresikan untuk mengintifikasi ketakutan dan perasaan, ketakutan dan kekhawatiran kemudian merencanakan kekawatiran. intervensi untuk mengatasinya Jelaskan lingkungan dan peralatan ICU Informasi ini dapat membantu

mengurangi ansietas yang berkaitan

dengan ketidak takutan 4 Jelaskan tindakan keperawatan dan kemajuan postoperasi yang dipikirkan dan berikan informasi spesifik tentang kemajuan klien Anjurkan untuk sering berkunjung dan berpartisipasi dalam tindakan perawan Konsul dengan atau berikan rujukan kesumber komunitas dan sumber lainnya

Kunjungan dan partisipasi yang sering dapat meningakatkan interaksi keluarga berkelanjutan Keluarga denagan masalah-masalh seperti kebutuhan financial , koping yang tidak berhasil atau konflik yang tidak selesai memerlukan sumber-sumber tambahan untuk membantu mempertahankankan fungsi keluarga

Diagnosa IV Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian

No Intervensi Rasional 1 Gali apakah klien menginginkan untuk Bagi klien yang mendapatkan nilai tinggi melaksanakan praktek atau ritual pada do,a atau praktek spiritual lainnya , keagamaan atau spiritual yang diinginkan praktek ini dapat memberikan arti dan bila yang memberi kesemptan pada klien tujuan dan dapat menjadi sumber untuk melakukannya kenyamanan dan kekuatan 2 Ekspesikan pengertrian dan penerimaan Menunjukkan sikap tak menilai dapat anda tentang pentingnya keyakinan dan membantu mengurangi kesulitan klien praktik religius atau spiritual klien dalam mengekspresikan keyakinan dan prakteknya 3 Berikan prifasi dan ketenangan untuk Privasi dan ketenangan memberikan ritual spiritual sesuai kebutuhan klien lingkungan yang memudahkan refresi dapat dilaksanakan dan perenungan 4 Bila anda menginginkan tawarkan untuk Perawat meskipun yang tidak menganut berdo,a bersama klien lainnya atau agama atau keyakinan yang sama dengan membaca buku ke agamaan klien dapat membantu klien memenuhi

kebutuhan spritualnya 5 Tawarkan untuk menghubungkan Tindakan ini dapat membantu klien pemimpin religius atau rohaniwan rumah mempertahankan ikatan spiritual dan sakit untuk mengatur kunjungan. mempraktikkan ritual yang penting ( Jelaskan ketidak setiaan pelayanan ( Carson 1989 ) kapel dan injil RS )

Implementasi Keperawatan
Perawatan jenazah penderita penyakit menular dilaksanakan dengan selalu menerapkan kewaspadaan universal tanpa mengakibatkan tradisi budaya dan agama yang dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama perawat harus dapat menasehati keluarga jenazah dan mengambil tindakan yang sesuai agar penanganan jenazah tidak menambah risiko penularan penyakit seperti halnya hepatitis-B, AIDS, kolera dsb. Tradisi yang berkaitan dengan perlakuan terhadap jenazah tersebut dapat diizinkan dengan memperhatikan hal yang telah disebut diatas, seperti msalnya menciu jenazah sebagai bagian dari upacara penguburan. Perlu diingat bahwa virus HIV hanya dapat hidup, maka beberapa waktu setelah penderita infeksi-HIV meninggal, virus pun akan mati. 1. Tindakan di Luar Kamar Jenazah a. Mencuci tangan sebelum memakai sarung tangan b. Memakai pelindung wajah dan jubah c. Luruskan tubuh jenazah dan letakkan tubuh jenazah dalam posisi terlentang dengan tangan disisi atau terlipat dada d. Tutup kelopak mata dan / atau ditutup dengan kapas atau kassa; begitu pula mulut, hidung dan telinga e. Beri alas kepala dengan kain handuk untuk menampung bila ada rembesan darah atau cairan tubuh lainnya f. Tutup anus dengan kassa dan plester kedap air g. Lepaskan semua alat kesehatan dan letakkan alat bekas tersebut dalam wadah yang aman sesuai dengan kaidah kewaspadaan universal h. Tutup setiap luka yang ada dengan plester kedap air i. Bersihkan tubuh jenazah dan tutup dengan kain bersih untuk disaksikan oleh keluarga j. Pasang label identitas pada kaki

k. Beritahu petugas kamar jenazah bahwa jenazah adalah penderita penyakit menular l. Cuci tangan setelah melepas sarung tangan

2. Tindakan di Kamar Jenazah a. Lakukan prosedur baku kewaspadaan universal yaitu cuci tangan sebelum memakai sarung tangan. b. Petugas memakai alat pelindung: 1) Sarung tangan karet yang panjang (sampai ke siku) 2) Sebaiknya memakai sepatu bot sampai lutut 3) Pelindung wajah (masker dan kaca mata) 4) Jubah atau celemek, sebaiknya kedap air c. Jenazah di mandikan oleh petugas kamar jenazah yang telah memahami cara membersihkan/memandikan jenazah penderita penyakit menular Tahap Memandikan Alat dan Bahan: 1) Tempat mandi 2) Ember besar berisi air 3) Gayung 4) Air sabun 5) Sampo 6) Sisir 7) Cotton bud 8) Washlap 9) Handuk 10) Kain panjang 2 potong Prosedur memandikan: 1) Angkat jenazah ke tempat mandi 2) Lepaskan pakain yang melekat pada badan 3) Siramlah badan bagian kanan, basuhlah anggota badan ketika berwudhu 4) Siramlah badan yang kiri 5) Siramlah seluruh badan 6) Gosok-gosok dengan sabun, siram 3-5 kali

7) Miringkan mayat gosok-gosok dengan sabun dan siram 3-5 kali 8) Jangan memaksakan mengeluarkan kotoran dari perut mayat 9) Siram dengan kapur barus yan dicairkan 10) Keringkan dengan handuk 11) Tutup denan kain *Ingat pada waktu memandikan aurat jangan terlihat d. Bungkus jenazah dengan kain kafan atau kain pembungkus lain sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut

3. Tahap Mengkafani Alat dan Bahan: a. Kain kafan pria 15 m, wanita 12 m b. Kapas c. Parfum d. Kapur barus e. Tikar 1) Pinggir kain kafan 2 cm di sobek sepanjang kain (12 m untuk wanita dan 15 m untuk pria) a, sisa kain kita sebut b 2) Ukur panjang jenazah dengan kain a lebihkan 2 jengkal, dengan ukuran tadi potong-potong kain b menjadi 6 potong 3) Potongan kain a dipotong-potong menjadi 10 bagian (8 bagian selebar bahu sampai ujung lengan terbentang, 2 potong selebar ujung lengan ke ujung lengan yang dibentangkan 4) Ambil sepasang potongan kain b, jelujur dengan salah satu ujung bertumpuk seperti trapesium 5) Selanjutnya tali di bawah tikar dan tali di bawah kafan tikar 6) Kain kafan 3 lapis (diatasnya ditaburi kapur barus dan parfum) 7) Kemudian lipat yang rapih Prosedur Mengkafani a. Kain kafan yang sudah disiapkan di gelar b. Angkat jenazah, letakkan diatas kain kafan c. Sisir rambutnya d. Untai 3 untaian untuk perempuan

e. Siapkan rok gamis kerudung untuk perempuan f. Aurat ditutup dengan kapas g. Angkat kain penutup h. Oleskan bubuk kapur barus dan parfum i. Lipat kain kafan lapis atas, seterusnya sampai yang ketiga j. Ikat dengan simpul ikatan yang kiri k. Gulung dengan tikar dan lipat l. Masukkan dalam keranda, jenazah siap di sholatkan Setelah selesai di kafani jenazah diantarkan kepada keluarganya.

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PERAWATAN JENASAH 1. Pengertian Perawatan jenasah adalah perawatan pasien setelah meninggal, perawatan termasuk menyiapkan jenasah untuk diperlihatkan pada keluarga, transportasi ke kamar jenasah dan melakukan disposisi (penyerahan) barang-barang milik klien. 2. Indikasi Perawatan jenasah dimulai setelah dokter menyatakan kematian pasien. Jika pasien meninggal karena kekerasan atau dicurigai akibat kriminalitas, perawatan jenasah dilakukan setelah pemeriksaan medis lengkap melalui autopsy. 3. Tujuan Penghormatan terhadap jenasah Menjalankan kewajiban hukum fardlu ain. (muslim) Jenasah dalam keadaan bersih

4. Sasaran Pasien yang sudah meninggal 5. Tenaga Dokter, Perawat, Bidan 6. Kelengkapan sarana A. Sarana Medis Kasa/Verban secukupnya Sarung tangan bersih Pads Kapas secukupnya

Plastik jenasah/pembungkus jenasah Plester penahan untuk menutup luka (bila ada luka) Bengkok 1 buah Troli

B. Sarana Non Medis Pengganjal dagu Label identifikasi Tas plastic untuk tempat barang-barang klien Air dalam baskom Sabun Handuk Selimut mandi Kain kafan Daftar barang berharga Peniti Sisir Baju bersih Peralatan ganti balut (jika diperlukan)

7. Prosedur Tetap Pelayanan a. Mempersiapkan alat dan bahan

b. Meyingsingkan lengan baju seragam yang panjang di atas siku. c. Melepaskan cincin, jam tangan dan gelang.

d. Memakai sarung tangan e. Perawatan jenasah

8. STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR a. Mempersiapkan alat dan bahan Memeriksa kembali Kasa/Verban, Sarung tangan bersih, Pads, Kapas secukupnya, Plastik jenasah/pembungkus jenasah, Plester penahan untuk menutup luka (bila ada luka), Bengkok 1 buah, diatas troli bagian atas. b. Bila menggunakan baju lengan panjang maka lengan baju dilipat sampai di atas siku. Menyingsingkan lengan baju yang panjang sampai atas mata siku lengan. c. Melepaskan cincin, jam tangan dan gelang.

Jika menggunakan cincin, jam tangan lepaskan cincin dan jam tangan ke dalam saku. d. Memakai sarung tangan a). Meletakkan sarung tangan steril pada posisi yang sedikit lebih tinggi dari tangan 15 cm dari ujung jari tangan jika tangan lurus disamping badan. b). Membuka bungkus sarung tangan dengan hati-hati dan jaga agar tidak terkontaminasi. c). Mengatur agar posisi jari sarung tangan mengarah ke depan pembungkus. d). Mengidentifikasi sarung tangan kanan dan kiri. e). Mengambil sarung tangan dominan dengan tangan nondominan (pegang pada bagian dalam pergelangan sarung tangan yang terlipat ). f). Memasangkan sarung tangan pada tangan dominan, pastikan sarung tangan tidak menyentuh bagian yang tidak steril. g). Dengan menggunakan tangan yang sudah terpasang sarung tangan, mengambil sarung tangan berikutnya dengan memasukan empat jari ke dalam lipatan sarung tangan yang terlipat pada bagian pergelangan.

h). Memasang sarung tangan pada tangan nondominan dengan hati-hati dengan tidak menyentuh bagian yang tidak steril. i). Menarik sarung tangan kedua pada tangan yang non dominan. Jangan biarkan jari-jari tangan dominan menyentuh bagian tangan yang non dominan yang masih terbuka. j). Menyesuaikan sarung tangan yang telah terpasang dengan merekatkan kedua tangan. k). Melepas sarung tangan setelah selesai melakukan tindakan keperawatan dengan tangan dominan sehingga bagian dalam sarung tangan berada diluar. Kemudian genggam sarung tangan yang sudah terlepas tadi dengan tangan nondominan, lalu lepas sarung tangan nondominan sehingga sarung tangan dominan yang digenggam tadi tergulung di dalam sarung tangan nondominan. l). Meletakkan sarung tangan yang telah digunakan ke bengkok m). Mencuci tangan seperti yang dilakukan diawal tindakan. Perawatan Jenasah a) Siapkan alat yang diperlukan dan bawa kedalam ruangan b) Atur lingkungan sekitar tempat tidur. Bila kematian terjadi pada unit multi bed, jaga privasi pasien yang lain, tutup koridor, cuci tangan. c) Tinggikan tempat tidur untuk memudahkan kerja dan atur dalam posisi datar. d) Tempatkan tubuh dalam posisi supinasi e) Tutup mata, dapat menggunakan kapas yang secara perlahan ditutupkan pada kelopak mata dan plester jika mata tidak tertutup f) Luruskan badan, dengan lengan menyilang tubuh pada pergelangan tangan dan menyilang

abdomen. Atau telapak tangan menghadap kebawah.

g)

Ambil gigi palsu jika diperlukan dan tutup mulut. Jika mulut tetap tidak mau tertutup,

tempatkan gulungan handukdi bawah dagu agar mulut tertutup. Tempatkan bantal di bawah kepala. h) Lepaskan perhiasan dan barang berharga dihadapan keluarga. Pada umumnya, semua cincin, gelang, kalung dll di lepas dan ditempatkan pada tas plastic tempat barang berharga. Termasuk kaca mata, kartu, surat, kunci, barang religi. Beri label identitas. i) Jaga keamanan barang berharga klien. Ikuti peraturan RS untuk disposisi (penyerahan)

barang barharga. Jangan meninggalkan barang berharga. Tempatkan dikantor perawat sampai dapat disimpan ditempat yang lebih aman atau diserahka pada keluarga. Jika memungkinkan, keluarga dianjurkan untuk membawa pulang semua barang milik milik klien sebelum klien meninggal. j) Bersihkan badan. Dengan menggunakan air bersih, bersihkan area tubuh yang terdapat

kotoran seperti darah, feces, atau muntahan. Jika kotoran terjadi pada area rectum, uretra atau vagina, letakan kassa untuk menutup tiap lubang dan rekatkan dengan plester untuk mencegah pengeluaran lebih lanjut. Setelah kematian, spingter otot relaks, menyebabkan incontinensia feces dan urin. k) Rapikan rambut dengan sisir rambut. l) Rawat drainage dan tube yang lain. Jika akan dilakukan autopsy, tube pada umumnya

dibiarkan pada badan, ambil botol drainage atau bag dari tube dan tekuk tube, ketika dilakukan autopsy, tube diambil. Pastikan balon sudah dikempiskan sehingga tidak melukai jaringan tubuh selama pengambilan. m) Ganti balutan bila ada balutan. Balutan yang koyor harus diganti dengan yang bersih. Bekas plester dihilangkan dengan bensin atau loarutan yang lain yang sesuai dengan peraturan RS.

n)

Pakaikan pakaian yang bersih untuk diperlihatkan pada keluarga. Jika keluarga meminta

untuk melihat jenasah, tempatkan pada posisi tidur, supinasi, mata tertutup, lengan menyilang di abdomen. Rapikan tempat tidur kembali. o) Beri label identifikasi pada jenasah. Label identitas dengan nama, umur, dan jenis kelamin, tanggal, no RS, nomor kamar dan nama dokter. Sesuai dengan peraturan RS, ikatan label identitas pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki atau plester label pada dada depan pasien. p) Letakan jenasah pada kain kafan sesuai dengan peraturan RS. Ikatkan kasa/verbanatau

pengikat yang lain dibawah dagu dan sekitar kepala untuk menjaga agar dagu tetap tertutup. Kemudian, ikat pergelangan tangan bersama menyilangkan diatas abdomen untuk menjaga lengan dari jatuh dari brankar ketika jenasah diangkut kekamar jenasah. Letakan jenasah pada kain kafan. Lipat bagian 1 sudut kebawah menutup kepala, diikuti bagian sudut ke 2 keatas menutup kaki. Lipat bagian sudut 3 dan 4. Peniti atau plester diperlukan untuk menjaga kain kafan pada tempatnya. q) Beri label pada bagian luar. Tandai identifikasi di penitikan pada bagian luar kain kafan. r) Pindahkan jenasah ke kamar jenasah. Pindahkan jenasah secara perlahan ke brankar. Tutup

jenasah dengan kain. Kemudian ikat dengan pengikat brankar pada bagian dada dan lutut. Pengikat untuk mencegahjenasah jatuh, tapi tidak boleh terlalu kuat sehingga dapat menyebabkan lecet. s) t) Bereskan dan bersihkan kamar pasien. Dokumentasikan prosedur. Pada catatan perawatan, catat waktu dan tanggal jenasah diantar

kekamar jenasah. Lakukan pencatatan apakah barang berharga disimpan atau diserahkan pada keluarga.

Hal yang diperhatikan : Berikan barang-barang milik klien pada keluarga klien atau bawa barang tersebut kekamar jenasah. Jika perhiasan atau uang diberikan pada keluarga, pastikan ada petugas/ perawat lain yang menemani. Minta tanda tangan dari anggota keluarga yang sudah dewasa untuk verifikasi penerimaan barang-barang berharga atau status dimana perhiasan masih ada pasien. Berikan support emosional kepada keluarga yang ditinggalkan dan teman dan kepada klien lain yang sekamar. Mengangkat jenasah dilakukan secara perlahan untuk mencegah lecet dan kerusakan kulit.

Stevens, P. J. M. dkk. 1999. Ilmu Keperawatan. Jakarta: EGC Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC Patricia, Potter A. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC

Doenges E. Marilynn, Moorhouse Frances Mary, Geisster C Alice. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien jiwa Edisi Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan jiwa Edisi 8. Jakarta: EGC Depkes RI Pusdiknakes. 995. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan dan Penyakit kronik dan terminal Jakarta: Depkes RI.

Susilawati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC Stuart, Gail W. 2002. Buku Saku Keperawatn Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC EGC Yudianto, Andi. 2008. Perkembangan Psikososial Erikson. Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Vous aimerez peut-être aussi