Vous êtes sur la page 1sur 18

1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Syok sirkulasi adalah ketidakcukupan aliran darah di seluruh tubuh sehingga jaringan tubuh mengalami kerusakan akibat terlalu sedikitnya aliran, terutama karena terlampau sedikitnya oksigen dan zat makanan lainnya yang dikirimkan ke sel-sel jaringan (Guyton dan Hall, 2008). Syok sangatlah berpotensi mematikan, dan potensi mematikan tersebut, kurang lebih didasari oleh faktor sel dan jaringan dimana kesehatan dari kedua komponen di atas, tidak hanya bergantung pada sirkulasi yang utuh untuk mengirimkan oksigen dan membuang sisa metabolisme lainnya, tetapi juga bergantung pada homeostasis cairan normal. Perlu ditekankan bahwa homeostasis mencakup pemeliharaan keutuhan dinding pembuluh darah serta tekanan maupun osmolaritas intravaskular dalam kisaran fisiologis tertentu, dan dalam hal inilah potensi mematikan dari syok sangat menonjol (Robbins dkk, 2007). Secara umum, syok sirkulasi dapat dibagi menjadi 4 kategori dasar, yakni; (1) syok hipovolemik, adalah syok yang disebabkan oleh hilangnya volume darah atau plasma, (2) syok kardiogenik, yakni syok yang dikaitkan dengan kegagalan pompa miokard, (3) syok obstruktif, berupa kondisi syok yang disebabkan karena adanya obstruksi aliran darah extrakardium, seperti yang terlihat pada pemasangan tamponade jantung, dan (4) syok distributif, yakni syok yang ditandai dengan adanya proses yang hiperdinamis, seperti vasodilatasi vaskular. Masing-masing dari keempat tipe syok di atas memiliki potensi untuk menimbulkan kematian, dan salah satu yang sering ditemukan dalam dunia medis adalah syok distributif (Hinshaw & Hox, 1972). Syok distributif merupakan kondisi syok yang terjadi karena menurunnya tahanan vaskular sistemik akibat adanya vasodilatasi. Contoh klasik dari syok distributif adalah syok septik, akan tetapi, keadaan

vasodilatasi akibat faktor lain juga dapat menimbulkan syok distributif, seperti pacuan panas (heat stroke), anafilaksis, syok neurogenik, dan systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Syok septik merupakan komplikasi umum yang dijumpai pada praktik medis dan dilaporkan sebagai penyebab kematian paling sering pada unit perawatan intensif nonkoroner di Amerika Serikat. Sehubungan dengan fakta ini, seorang klinisi diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai terkait fenomena syok distributif baik dari segi etiologi, patofisiologi, tatalaksana maupun aspek-aspek terkait lainnya sehingga dalam praktiknya, dapat diberikan terapi yang tepat mengingat kematian adalah konsekuensi yang paling ditakutkan terjadi (Fuentes, 2007).

BAB II Tinjauan Pustaka II.1. Definisi Syok Distributif Syok adalah salah satu kondisi klinis yang paling sering didiagnosis, tetap saja kompleksitasnya masih sulit dipahami hingga saat ini. Bahkan definisi yang paling memadai untuk menjelaskannya masih kontroversial terutama karena presentasi variabel dan etiologinya yang memang sangat multifaktorial (Cheatham, 2003). Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006). Seperti halnya tipe kolaps kardiovaskular lainnya, syok distributif juga dikarakterisasi oleh perfusi jaringan yang inadekuat, dengan manifestasi klinis berupa perubahan kondisi mental, takikardi, hipotensi, maupun oliguria (Weil, 2007). Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan perubahan hipoperfusi resistensi sistemik. pembuluh darah ataupun akibat tersebut perubahan langsung permeabilitasnya, dimana faktor inilah yang mencetuskan terjadinya Perubahan-perubahan mempengaruhi distribusi volume darah yang beredar secara efektif untuk kebutuhan jaringan tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul hipotensi, diikuti dengan gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel. Meskipun efek hipoksik dan metabolik akibat hipoperfusi pada mulanya hanya menyebabkan jejas sel secara reversibel, syok yang terus terjadi pada akhirnya akan mengakibatkan jejas jaringan secara ireversibel dan dapat berpuncak pada kematian pasien (Robbins dkk, 2007). Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya adalah sepsis, SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis. Syok septik adalah bentuk paling umum dari syok distributif dengan angka kematian yang cukup besar. Sama halnya dengan sepsis, systemic

inflammatory response syndrome (SIRS) yang merupakan kondisi inflamasi sistemik, juga menjadi penyebab kematian tersering di negara barat khususnya Amerika Serikat (Sudoyo et al, 2009). Anafilaksis dan kegagalan tonus vasomotor adalah pencetus lain dari syok distributif. Namun demikian, semua faktor di atas cukup adekuat untuk memicu berbagai reaksi berantai dalam tubuh yang bila dibiarkan berlanjut tanpa terapi, akan menimbulkan konsekuensi yang sifatnya fatal bagi pasien (Duane, 2008). Pada referat ini khusus ditekankan masalah syok septik.

II.2.

Syok Septik Dalam dunia medis seringkali ditemukan berbagai bentuk dari syok distributif. Tiap bentuk tersebut pada dasarnya dicetuskan oleh etiologi yang beragam, meskipun pada akhirnya akan tiba pada kondisi syok yang hampir sama. Syok septik dan SIRS Systemic inflammatory response syndrome (SIRS), adalah suatu keadaan peradangan nonspesifik yang dapat ditemukan baik pada keadaan infeksi maupun (Stephen and William, 2007). Singkatnya, SIRS merupakan kondisi inflamasi yang mempengaruhi seluruh tubuh, dan seringkali respon dari sistem kekebalan tubuh untuk infeksi. Hanya saja perlu ditekankan bahwa tidak selamanya SIRS disebabkan oleh agen infeksius (Shulman, 1994). Sepsis didefinisikan sebagai adanya SIRS pada keadaan infeksi yang menjadi pemicunya (Sepsis bagian dari SIRS). Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi (Sudoyo et al, 2009).

Syok septik biasanya ditimbulkan oleh penyebaran endotoksin bakteri gram negatif (coli, proteus, pseudomonas, enterokokus, aerobakteri), jarang terjadi karena toksin bakteri gram positif(streptokokus, stafilokokus, Clostridium welchii). Syok septik lebih mudah timbul pada pasien dengan trauma, diabetes melitus, leukemia, granulositopenia berat, penyakit saluran genitourinarius, atau yang mendapat pengobatan kostikosteroid, obat penekan kekebalan, atau radiasi. Faktor yang mempercepat syok septik ialah pembedahan, atau manipulasi saluran kemih, saluran empedu, dan ginekologik.

Patofisiologi syok septik 1. Pada stadium awal curah jantung meningkat, denyut jantung lebih cepat dan tekanan arteri rata-rata turun. Kemudian perjalanannya bertambah progresif dengan penurunan curah jantung, karena darah balik berkurang (terjadi bendungan darah dalam mikrosirkulasi dan keluarnya cairan dari ruangan intravaskular karena permeabilitas kapiler bertambah), yang ditandai dengan turunnya tekanan vena sentral. 2. Hipertensi paru-paru oleh karena tahanan pembuluh darah meningkat disebabkan oleh sumbatan leukosit pada kapiler paru-paru. Pada pasien yang sudah syok paru-paru ditandai dengan gejala gagal paru-paru progresif, PO2 arterial turun, hiperventilasi, dispneu, batuk dan asidosis. 3. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC) terjadi karena pemacuan proses pembekuan akibat kerusakan endotel kapiler oleh infeksi bakteri.

Gejala klinik syok septik 1. Demam tinggi >38.9C. Sering diawali dengan menggigil, kemudian suhu turun dalam beberapa jam ( jarang hipotermi). 2. Takikardia. 3. Hipotensi (sistolik < 90 mmHg) 4. Petekia, leukositosis atau leukopenia yang bergeser ke kiri, trombositopenia.

5. Hiperventilasi dengan hipokapnia. 6. Gejala lokal misalnya nyeri tekan didaerah abdomen, perirektal. 7. Syok septik harus dicurigai pada pasien dengan demam, hipotensi, trombositopenia, atau koagulokasi intravaskular yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Sedangkan pada persangkaan infeksi harus segera dilakukan pemeriksaan biakan kuman dan uji lainnya. Tabel 2.1. Etiologi Syok Distributif Berdasarkan Bentuk-Bentuknya Variasi Syok Distributif SIRS dan sepsis Secara dari umum, penyebab dibagi SIRS dapat Etiologi Pencetus Infeksius (sepsis) viremia, dll
Non-infeksius (SIRS) : Trauma, luka

Bakteremia, mycobacteria,

fungemia,

infeksi protozoa, infeksi organ solid,

kedalam 2 golongan, yakni infeksius dan noninfeksius

bakar masif,

luka pasca operasi,

pankreatitis, kanker, overdosis obat, suntikan sitokin, sindrom aspirasi, Toxic shock syndrome TSS dapat dipicu oleh eksotoksin/enterotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Insufisiensi adrenal iskemia visceral (Sudoyo et al, 2009) Staphylococcus aureus Streptococcus pyogenes (Sharma, 2006). Autoimun (kurang lebih 70-90 kasus) Infeksi (TBC, histoplasmosis, HIV, syphilis) Keganasan, seperti metastase dari paru-paru, mamae, carcinoma colon, melanoma, dan limfoma Terapi glukokortikoid jangka lama (mensupresi CRH) Tumor pituitari/hipotalamus Penyakit infeksi dan infiltrasi dari kelenjar pituitari (sarkoid,

histiositosis, TB, dll) Syok Anafilaksis Radiasi pituitari (Corrigan, 2006). Obat-obatan : Khususnya antibiotik seperti penisilin dan sefalosporin, Protein Heterolog : Seperti racun serangga, makanan, serbuk sari, dan produk serum darah Heat Stroke (Kanaparthi, 2012). Suhu tubuh yang meningkat melebihi suhu kritis, dalam rentang 105o sampai Syok neurogenik 108oF (Guyton & Hall, 2006). Trauma/cedera ataupun karena penggunaan zat anestesi pada medula spinalis di segmen toraks bagian atas (Cheatham, 2003). (Data dirangkum kembali dari berbagai sumber) Penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme yang paling mungkin terkait dengan etiologi tersebut akan dibahas pada sub bab berikutnya. Untuk sementara waktu, perlu dicatat bahwa akhirnya nanti, semua ini mengakibatkan kurangnya pengiriman zat makanan ke jaringan-organ kritis, dan juga mengakibatkan kurangnya pembuangan produk sisa metabolisme sel dari jaringan. II.5. Patofisiologi Upaya untuk menjelaskan patofisiologi dari syok telah mencapai perkembangan yang signifikan setelah beberapa dekade terakhir (Cheatham, 2003). Melalui serangkaian pengamatan, telah diketahui bahwa semua tipe syok dikarakterisasi oleh gangguan perfusi, dan karena sifat-sifat khasnya cenderung dapat berubah pada berbagai derajat

keseriusan, mekanisme syok kemudian dibagi lagi menjadi 3 tahapan utama yaitu : Tahap awal nonprogresif Selama tahap ini, mekanisme kompensasi refleks akan diaktifkan dan perfusi organ vital dipertahankan sehingga pada akhirnya menimbulkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi dari luar Tahap progresif Merupakan tahap yang ditandai hipoperfusi jaringan serta manifestasi awal dari memburuknya ketidakseimbangan sirkulasi dan metabolik Tahap ireversibel Muncul setelah syok telah jauh berkembang sedemikian rupa, yakni ketika tubuh mengalami jejas sel dan jaringan yang sangat berat sehingga meskipun semua bentuk terapi yang diketahui dilakukan untuk memperbaiki gangguan hemodinamika pasien, pada kebanyakan kasus tidak mungkin tertolong lagi (Guyton & Hall, 2008). Tahapan di atas paling jelas dikenali pada syok hipovolemik, tetapi lazim pula untuk bentuk syok lainnya. Namun demikian, meskipun tahapan dari berbagai macam syok pada teorinya sama, di sisi lain mekanisme yang terlibat dapat bervariasi tergantung pada penyebabnya. Dalam syok distributif, perfusi jaringan yang inadekuat disebabkan oleh meningkatnya tahanan vaskular sistemik dengan peningkatan curah jantung sebagai hasilnya (mekanisme kompensasi). Mula-mula perubahanperubahan ini dikarakterisasi oleh dinamika kontraktilitas, dilatasi dari pembuluh darah perifer, serta dampak dari upaya resususitasi yang dilakukan tubuh. Sebagai contoh, di stadium awal syok septik terjadi penurunan darah diastol, melebarnya tekanan pulsasi, akral hangat, dan berbagai efek lain seperti terisinya kapiler dengan cepat karena vasodilatasi perifer. Tubuh akan berusaha mengkompensasi kondisi ini dengan meningkatkan curah jantung (cardiac output) sehingga pada stadium akhir syok septik,

kombinasi dari kurangnya kontraktilitas myokard yang bergabung dengan hilangnya tonus (paralisis) pembuluh darah perifer akan menginduksi penurunan perfusi organ. Sebagai hasilnya, terjadilah hipoperfusi dari berbagai organ vital seperti otak, hepar, dan bahkan jantung. Mengingat dalam syok distributif terdapat berbagai variasi (syok septik, anafilaksis, neurogenik, TSS, dan SIRS) dan reaksi-reaksi yang terlibat pun berbeda sesuai dengan kasusnya, maka pembahasan mengenai patogenesis syok distributif berikut ini akan ditekankan pada bentuknya masing-masing (Kanaparthi, 2012). 1. SIRS dan Sepsis Sesuai dengan definisinya, SIRS tidak dapat dipisahkan dengan respon inflamasi dan komponen-komponennya, dimana pada dasarnya reaksi inflamasi itu sendirilah yang mencetuskan munculnya fenomena ini (Shulman, 1994). Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Namun, walaupun inflamasi membantu membersihkan infeksi dan bersama-sama dengan proses perbaikan memungkinkan terjadinya penyembuhan luka, sangatlah penting untuk mengetahui bahwa baik inflamasi maupun proses perbaikan itu sendiri begitu potensial menimbulkan bahaya (Robbins dkk, 2007). Fenomena SIRS pertama kali dijelaskan oleh Dr. William R. Nelson, dari University of Toronto, saat presentasi dalam pertemuan Mikrosirkulasi Nordik di Geilo, Norwegia pada Februari 1983. Di pertemuan ini, ditetapkan beberapa variabel yang menjadi parameter SIRS. SIRS ditegakkan apabila 2 atau lebih dari variabel-variabel berikut ditemukan :

10

Tabel 2.2.Variabel SIRS Variabel Suhu Denyut jantung Pernafasan WBC Nilai Acuan < 36 C (97 F) atau > 38 C (100 F) > 90/min > 20/min atau PaCO2 <32 mmHg (4,3 kPa) < 4x10 9 / L (< 4000/mm ), > 12x10 9 / L ( > 12.000 / mm), atau > 10% stab (Janotha, 2002)

Suatu reaksi inflamasi yang masif mendasari baik SIRS maupun sepsis, dan karena respon inflamasi yang mirip pada kedua kasus ini, dipikirkanlah patofisiologi yang sama. Akibat dari jejas lokal atau infeksi, mediator-mediator proinflamasi sepertin TNF- dan IL-1 dilepaskan untuk melawan antigen-antigen asing dan mempercepat proses penyembuhan luka. Kemudian akan diikuti pelepasan mediatormediator anti-inflamasi (IL-4, IL-10 dan IL-13) untuk meregulasi proses ini. Kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya homeostasis. Bila respon proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya berat, atau bila respon anti-inflamasi sebagai kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal meregulasi respon proinflamasi, terjadilah ketidakseimbangan dengan predominan proinflamasi. Pada keadaan ini didapatkan tandatanda SIRS, dan mulai didapat ancaman disfungsi organ. Sebaliknya, jika terjadi predominansi respon anti-inflamasi, dengan akibat anergi dan imunosupresi, keadaan ini dinamakan compensatory antiinflammatory response syndrome atau biasa disingkat CARS (Sudoyo et al, 2009).

II.6.

Manifestasi Klinis

11

Gambaran klinis syok distributif bergantung pada gangguan yang ditimbulkan oleh pencetus, dan hal ini tidak hanya berlaku untuk syok distributif melainkan juga untuk syok tipe lain. Pada kebanyakan kasus, gambaran klinis dari syok distributif mencakup tanda-tanda berikut ini: Perubahan pada status mental, mengacu pada tingkat kesadaran pasien (apatis ataupun somnolen). Biasanya, tingkat kesadaran dapat bervariasi menurut progresifitas syok saat itu juga. Seringkali saat syok semakin berat, maka semakin buruk pula tingkat kesadarannya Frekuensi jantung yang lebih dari 90 kali/menit (perlu dicatat bahwa elevasi pada frekuensi jantung bukanlah pertanda adanya syok bila pasien sedang dalam terapi beta-blocker Hipotensi, dengan tekanan sistol yang kurang dari 90 mmHg atau mengalami penurunan sebesar 40 mmHg dari standar normalnya Meningkatnya frekuensi pernafasan hingga melebihi 20 kali/menit (takipnea). Pada keadaan yang lebih berat, akan terlihat nafas cepat dan dangkal akibat asidosis Ekstremitas teraba hangat (akral hangat) dengan tekanan pulsasi (tekanan sistol dikurangi diastol) yang meningkat, khususnya pada tahap awal syok distributif Hipertermia, jika suhu tubuh > 38,3oC atau 101oF Hipotermia, dapat pula ditemukan jika temperatur turun hingga di bawah 36oC atau 96,8oF Hipoksia dan hipoksemia relatif yang dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi
Oliguria, yakni berkurangnya produksi urin. Normal rata-rata produksi

urin dewasa adalah 60 ml/jam (1/2-1 ml/kgBB/jam)

A. Konsekuensi SIRS dan Manifestasinya

12

Tabel 2.3. Parameter SIRS Variabel SIRS dan Pembakuan Definisi Sepsis Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS : systemic inflammatory response syndrome) respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut :
- Suhu < 36 C (97 F) atau > 38 C (100 F)

- Denyut jantung > 90/min - Pernafasan > 20/min atau PaCO2 <32 mmHg (4,3 kPa) - WBC < 4x10 9 / L (< 4000/mm ), > 12x10 9 / L - ( > 12.000 / mm), atau > 10% stab/sel batang Sepsis Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS

Sepsis berat Sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran. Sepsis dengan hipotensi Sepsis dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi lainnya. Renjatan Septik (Septic shock) Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. (Sudoyo et al, 2009) Tabel 2.3 merangkum berbagai pembakuan definisi dari SIRS dan juga sepsis. Definisi inilah yang menjadi pegangan berbagai kalangan dalam menegakkan diagnosa terkait sindroma di atas. Namun demikian, manifestasi klinisnya tidaklah sesederhana itu. Baik sepsis maupun SIRS merupakan reaksi yang sifatnya sistemik. Ini berarti bahwa perjalanan kedua sindrom tersebut secara langsung melibatkan berbagai sistem organ

13

lainnya dengan gambaran klinis berupa konsekuensi yang tidak dapat diabaikan. II.8. Penatalaksanaan Syok Distributif Penatalaksanaan dalam syok distributif pada dasarnya sama dengan syok lainnya. Karena termasuk kondisi gawat darurat, maka yang pertama kali dilakukan adalah tatalaksana suportif untuk mencegah syok berkembang ke tahap yang lebih buruk. Selanjutnya, tatalaksana akan lebih diberatkan ke arah eliminasi etiologi, dimana tentunya akan cenderung disesuaikan dengan faktor pencetus syok distributif itu sendiri. a. Tatalaksana suportif Hal utama yang perlu diperhatikan di sini adalah konsekuensi dari SIRS, sepsis, maupun bentuk syok distributif lainnya, yakni kegagalan organ. Seiring berjalannya waktu, pasien SIRS/sepsis akan menerima konsekuensi yang fatal apabila tidak mendapat terapi penunjang yang tepat. Oksigenasi Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda pasien mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan. Terapi cairan Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat) maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal

14

karena mudah didapatkan, tetapi perlu diberikan dalam jumlah banyak. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin rendah pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar HB yang dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar HB semata, melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, serta keuntungan dan kerugian pemberian transfusi. Vasopresor dan Inotropik Vasopresor diberikan apabila keadaan hipovolemik teratasi masih ditemukan kondisi hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri ratarata (MAP) 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram (mcg)/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang dapat digunakan dobutamin dengan dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase. Bikarbonat Pada SIRS terjadi hipoperfusi dengan konsekuensi terjadinya gangguan transpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi penurunan pH sel ke tingkat yang sangat rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH < 7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik. Disfungsi renal Gangguan fungsi renal pada syok distributif terjadi sebagai akibat buruknya perfusi ke organ tersebut. Dopamin dosis renal (1-3

15

mcg/kg/menit) terbukti tidak menurunkan mortalitas, untuk itu sebagai terapi pengganti dilakukan hemodialisis dan hemofiltrasi kontinu. Nutrisi Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah juga perlu dilakukan oleh karena berbagai penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses inflamasi dan penurunan mortalitas. Kortikosteroid Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan perbaikan syok dan disfungsi organ (Bone, 1992). b. Kontrol Kausa Hal terpenting dalam tatalaksana Syok distributif adalah menghilangkan faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi (khususnya sepsis). Antibiotik Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan serologi dan aspirasi perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat pada awal perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS. Pembedahan

16

Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadangkadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi berasal dari intra-abdomen. Kontrol kausa lainnya Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu dilakukan untuk mengontrol penyebab SIRS (Bone, 1992).

c.

Terapi inovatif Modulasi imun Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal serta obat-obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem imun menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas pasien-pasien Sepsis. Inhibitor NO Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor yang selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam tatalaksana MODS Filtrasi darah Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan mengeluarkannya dari jaringan. Manipulasi kaskade pembekuan darah Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada pasien sebesar 6% (Bone, 1992).

17

BAB III

18

PENUTUP III.1. Kesimpulan 1. Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan 2. 3. Berbagai bentuk dari syok distributif diantaranya syok anafilaktik, syok septik, syok neurogenik, toxic shock syndrome, dan heat stroke Penatalaksanaan dalam syok distributif pada dasarnya sama dengan syok lainnya, hanya saja pada tingkat lanjut, tatalaksanan terutama dilakukan untuk mengeliminasi etiologi pencetus syoknya III.2. Saran Walaupun dalam dua dekade terakhir ini banyak banyak dilakukan penelitian mengenai terapi yang tepat pada pasien yang mengalami syok distributif, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Adanya tumpang tindih dari berbagai terapi membuat penatalaksanaan dari fenomena medis ini kadang tetap saja gagal dalam menyelamatkan pasien. Karena itu, sangat disarankan untuk terus menggali informasi yang lebih rinci lagi mengenai materi ini.

Vous aimerez peut-être aussi