Vous êtes sur la page 1sur 16

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian terdahulu Mikroalga telah lama diketahui bermanfaat sebagai bahan pangan, terutama makanan kesehatan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendukung pemanfaatan mikroalga tersebut, salah satunya yaitu penelitian Poelman et al. (1997) tentang pemisahan mikroalga dengan teknik flokulasi elektrik. Teknik flokulasi elektrik ini memberikan hasil yang potensial dalam melakukan pemisahan mikroalga yaitu menggunakan energi yang relatif kecil (0.3 Kwh/m3) dengan efisiensi pemisahan sebesar 95% menggunakan anoda dan katoda dari aluminium pada pH 8, selain itu mikroalga hasil pemisahan relatif aman untuk dimanfaatkan sebagai pakan ataupun bahan pangan. Mikroalga umumnya dapat tumbuh di perairan manapun, namun beberapa faktor dapat berpengaruh misalnya jenis perairan sebagai media tumbuh mikroalga dan komposisi kimia yang terkandung didalamnya. Menurut Knuckey et al. (2006), produksi mikroalga laut dengan teknik flokulasi berhasil dilakukan pada pH 10 dan 10,6 dengan menggunakan NaOH, diikuti dengan penambahan polimer non-ionik magnafloc LT-25 dengan konsentrasi akhir 0.5 mg/L, sel mikroalga yang berhasil dipanen yaitu Calcitrans chaetoceros, C. Muelleri, Thalassiosira pseudonana, Attheya septentrionalis, Nitzschia closterium,

Skeletonema sp., Tetraselmis suecica dan Salina Rhodomonas, dengan efisiensi 80%. Pemanfaatan mikroalga sebagai sumber minyak pada pembuatan biofuel mendapat perhatian yang cukup besar dari para peneliti, sehingga dilakukan penelitian terkait dengan proses kultivasi, pemisahan sampai dengan proses ekstraksi minyak sehingga dapat dimaanfaatkan sebagai biofuel nabati. Osborne (2009), telah mengidentifikasi proses pemisahan mikroalga yang terbaik sehingga dapat dimanfaatkan untuk produksi biofuel, serta

mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan dari aplikasi proses-proses tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa komposisi kimia dari air yang digunakan berpengaruh pada tiap tahapan proses yaitu:

1) Pemisahan mikroalga dengan proses flokulasi menggunakan chitosan memerlukan dosis 10 mg/L di air tawar dan dosis 25-35 mg/L di air laut. 2) Menggunakan metode autoflokulasi diperoleh hasil: (a) Untuk memisahkan mikroalga air tawar diperlukan kapur dan penambahan air laut (5%) pada pH 9.5, hal ini menunjukkan pentingnya peranan kalsium dan magnesium. (b) Untuk memisahkan mikroalga air laut diperlukan penambahan natrium hidroksida pada pH 10-11. 3) Pada proses elektrokoagulasi didapatkan hasil pemisahan >70% menggunakan reaktor titanium yang beroperasi <1 A pada 48 volt dengan penambahan NaCl. 4) Ozonisasi pada konsentrasi 1.5 mg/L dapat meningkatkan proses pemisahan dengan koagulasi/flokulasi menggunakan besi klorida (ferric chloride). Mikroalga membutuhkan tiga komponen dasar untuk berkembang biak, yaitu sinar matahari, karbondioksida, dan air. Mikroalga dapat tumbuh dalam jangkauan kondisi yang cukup luas, dengan kata lain mikroalga dapat tumbuh dimana saja. Limbah cair agroindustri terutama limbah cair RPH dan peternakan dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroalga karena limbah cair tersebut kaya akan nutrisi yang mendukung pertumbuhan mikroalga. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Suprihatin (2009), yaitu melakukan karakterisasi pertumbuhan mikroalga dalam limbah cair agroindustri melalui penentuan nilai-nilai parameter kinetik pertumbuhan, dan perancangan proses dan sistem produksi mikroalga. Berdasarkan penelitian ini maka diketahui beberapa hal yaitu: 1) Limbah cair RPH dan peternakan berpotesi untuk digunakan sebagai media pertumbuhan mikroalga. 2) Hasil identifikasi terdapat tiga jenis mikroalga dominan yaitu Chlorella sp, Scenedesmus sp, dan Ankistrodesmus sp baik untuk limbah cair riil maupun limbah cair sintetik. 3) Pertumbuhan eksponensial mikroalga dalam medium tersebut terjadi dalam kurun waktu 10-15 hari, setelah 15 hari akan terjadi fase kematian. 4) Penggunaan koagulan/flokulan yang optimum berdasarkan kajian Jar Test yaitu, alum 600 mg/L untuk limbah sintetik dan 400 mg/L untuk limbah riil,

sedangkan dosis optimum PAC 400 mg/L untuk limbah sintetik dan 200 mg/L untuk limbah cair RPH. 5) Kualitas supernatan cukup baik dilihat dari parameter kekeruhan, warna, dan TSS, dan memungkinkan untuk didaur-ulang untuk keperluan tertentu. 6) Koagulan PAC memberikan efek kecepatan dan kestabilan koagulasi/flokulasi yang lebih baik daripada koagulan alum, namun biaya pemisahan per satuan volume sekitar 4 kali lebih mahal dibandingkan dengan biaya pemisahan dengan alum. 7) Koagulasi menggunakan PAC dihasilkan endapan berwarna tetap hijau, sedangkan menggunakan alum dihasilkan endapan berwarna abu-abu Penggunaan limbah sebagai media pertumbuhan mikroalga juga diteliti oleh Afriyanti (2011), Mikroalga yang akan dipisahkan ditumbuhkan pada limbah cair RPH dan limbah cair sintetik menggunakan proses elektrokoagulasi. Penelitian ini memberikan hasil bahwa mikroalga dapat dipisahkan menggunakan elektroda aluminium dengan tegangan optimum 15 volt selama 40 menit. Efisiensi pemisahan mikroalga tertinggi yang dapat dicapai adalah 51.55% untuk limbah cair peternakan dan 28.98% untuk limbah cair sintetik (dilihat dari nilai TSS). Pemisahan mikroalga yang cukup banyak diterapkan adalah dengan menggunakan teknik koagulasi. de Godos et al. (2010) telah membandingkan efisiensi penggunaan koagulan kimia (FeCl3 dan Fe2(SO4)3) dengan flokulan polimer (Drewfloc 447, Flocudex CS/5000, Flocusol CM/78, Chemifloc CV/300 dan Chitosan) pada proses koagulasi untuk pemisahan mikroalga. Hasil yang didapatkan yaitu penggunaan flokulan polimer memberikan hasil yang lebih efisien dalam pemisahan mikroalga (menghasilkan biomassa 66-98%) yaitu dengan dosis 25-50 mg/L, sedangkan koagulan kimia membutuhkan dosis 150250 mg/L untuk menghasilkan biomassa dengan jumlah yang sama.

2.2 Teori yang mendasari 2.2.1 Produksi Mikroalga Mikroalga merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan air tawar dan laut dan lazim disebut fitoplankton. Makanan utama mikroalga ialah karbondioksida.

Mikroalga saat ini menjadi salah satu alternatif sumber energi baru yang sangat potensial. Kegiatan kultivasi tumbuhan produsen primer ini menghemat ruang (save space), memiliki efisiensi dan efektivitas tinggi salah satunya karena mampu tumbuh cepat dan dipanen dalam waktu singkat yaitu 7-10 hari. Sel mikroalga dapat dibagi menjadi 10 divisi, delapan divisi diantaranya merupakan bentuk uniseluler. Dari delapan divisi alga, enam divisi telah digunakan untuk keperluan budidaya perikanan sebagai pakan alami. Karakteristik yang digunakan untuk membedakan divisi mikroalga yaitu: tipe jaringan sel, ada tidaknya flagella, tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Karakteristik lain yang digunakan untuk membedakan masing-masing divisi yaitu morfologi sel dan bagaimana sifat sel yang menempel berbentuk koloni/ filamen (Frikardo 2008). Pemanfaatan mikroalga telah dikenal luas, antara lain sebagai bahan obatobatan. Mikroalga mengandung beberapa zat gizi yang berguna bagi kesehatan manusia yaitu protein, lemak, pigmen, vitamin, asam lemak tak jenuh Omega-3, Eikosa-pentaenoat (EPA) serta Dokosaheksaenoat (DHA). Jenis mikroalga yang sudah sangat luas pemanfaatannya adalah Chlorella yang mengandung protein sekitar 40-60% (berat kering). Kandungan lemak (lipid) dan asam lemak (fatty acid) yang ada di dalam mikroalga merupakan sumber energi. Kandungan ini dihasilkan dari proses fotosintesis yang merupakan hidrokarbon, dan diduga dapat menghasilkan energi yang belum digali dan dimanfaatkan sepenuhnya (Kawaroe et al. 2010). Peranan mikroalga dalam kehidupan perairan yaitu berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrsi bagi moluska dan bivalvial, zooplankton ( rotifera, dapnia, artemia), beberapa spesies udang (pada tahap awal hingga tahap akhir) serta beberapa spesies ikan ( pada tahap awal pertumbuhan juvenil). Disamping itu mikroalga juga digunakan sebagai green water technology yaitu penstabil kualitas air (Frikardo 2008). Penggunaan peralatan dalam melakukan kultivasi mikroalga perlu diperhatikan karena terdapat perbedaan bentuk dan ukuran dari peralatanperalatan kultur yang dapat digunakan, yaitu dari wadah yang berbentuk tabung sampai kantong plastik atau drum plastik transparan. Bentuk dan ukuran wadah kultur ini berhubungan dengan sistem sirkulasi, aerasi, pencahayaan,

pengoperasian, dan khususnya untuk mengoptimalkan agar wadah kultur dapat

menghasilkan jumlah sel yang tinggi per satuan volume media kultur yang digunakan. Bentuk wadah kultur yang ideal adalah bentuk silinder lonjong dengan bentuk dasar rata atau konkav, warna transparan tembus cahaya dan mempunyai tutup tabung (Frikardo 2008). Pada kultivasi skala kecil yang umumnya digunakan untuk pakan kultivan di aquarium, wadah kultur bisa menggunakan botol bening atau botol coca cola plastik. Penggunaan di laboratorium biasanya menggunakan tabung erlenmeyer dengan bagian bawah datar dengan ukuran mulai dari volume 50 ml sampai dengan tiga liter yang diberi tutup tabung yang terbuat dari busa silikon atau silikon padat yang diberi lubang untuk memasukkan selang aerasi. Untuk menjaga keseimbangan tekanan gas didalam tabung kultur tersebut pada tutupnya ditambahkan satu lubang untuk dimasuki pipa gelas dengan diameter 0.5 cm. Kultivasi mikroalga skala sedang biasanya menggunakan ukuran 10 liter sampai 500 liter yang ditempatkan pada kondisi indoor kultur. Bahan wadah terbuat dari palstik, gelas atau polycarbonate yang transparan tembus cahaya lampu flourescent bulb neon. Bentuk wadah kultur pada umumnya berbentuk tabung dilengkapi penutup yang diletakakan berderet sejajar horizontal maupun vertikal untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi cahaya lampu. Peralatan dan perlengkapan kultur lainnya disediakan dengan kebutuhan yang diperlukan, seperti batu aerasi, pipa aerasi, blower aerasi, komponen zar penyubur/ pupuk, sistem pengolahan air kultur dan unit ukuran ruangan kecil maupun stok kultur bibit murni jenis mikroalga yang menjadi tujuan kultur (Frikardo 2008). Kultivasi mikroalga skala besar umumnya dilakukan di luar laboratorium dan dimulai dari volume satu sampai 20 ton dengan menggunakan kolam terbuka atau fotobioreaktor dengan sistem tertutup dan terkontrol. Penggunaan air sebagai media tumbuh dilakukan dengan penyaringan menggunakan saringan pasir dan arang yang berfungsi untuk mematikan organisme lain yang tidak diinginkan (Kawaroe et al. 2010). Terdapat 3 metode kultivasi yang umum digunakan yaitu kultur batch klasik, kultur modifikasi batch dan kultur semi kontinu. Metode kultur batch klasik pada prinsipnya adalah menginokulasi bibit sel kedalam tabung kultur dengan kepadatan sel mikroalga yang rendah. Metode yang kedua yaitu kultur

modifikasi batch pada prinsipnya adalah pengaturan kultur mikroalga sebanyak 500 ml di dalam erlenmeyer flask yang dilakukan setiap hari. Setelah dipelihara selama delapan hari, kondisi kultur akan terlihat sudah cukup tua (kepadatan berkisar 105 106 sel /ml) dan selanjutnya kultur akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian pertama dan kedua masing-masing 200 ml dimasukkan kedalam erlenmeyer flask volume satu liter, sisanya 100 ml ditambahkan air steril yang sudah disaring dan nutrien sebanyak 400 ml. Kultur dengan volume 500 ml di erlenmeyer flask ini akan digunakan sebagai stok kultur untuk delapan hari kultur yang akan datang, sedangkan volume kultur satu liter setelah delapan hari kultur dipindahkan ke kultur alga (20 liter) didalam Carboy dan delapan hari kultur berikutnya dari 20 liter Carboy dipindahkan ke 200-320 liter tabung silinder untuk dikultur lima sampai delapan hari kultur. Kultur yang dikultivasi pada tabung silinder ini akan digunakan untuk pakan zooplankton atau untuk larva ikan dan udang. Demikian proses yang terjadi di dalam proses modifikasi kultur batch yang dapat dilakukan secara indoor namun mendapatkan volume dan kualitas hasil kultur yang terprediksi (Frikardo 2008). Metode kultivasi yang ketiga yaitu kultur semi kontinu. Metode ini biasanya digunakan untuk mendesain kultur skala kecil yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga maupun untuk keperluan hobi sampai ukuran kultur masal. Metode ini cukup praktis dan mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup baik. Pengembangan metode ini mempunyai kelemahan yaitu kontrol yang rendah dan biasanya menghasilkan produk kultur mikroalga yang rendah daripada kultur yang dilakukan dengan pembersihan peralatan terlebih dahulu sebelum setiap wadah kultur itu digunakan lagi. Metode ini barangkali mempunyai tujuan untuk menghasilkan produksi sel mikroalga secara kontinyu persatuan unit volume, bukan untuk mendapatkan produksi sel mikroalga yang lebih tinggi per satuan volume dalam periode waktu tertentu. (Frikardo 2008).

2.2.2 Limbah Cair RPH dan Peternakan Limbah cair RPH mengandung bahan organik dengan konsentrasi tinggi, padatan tersuspensi, serta bahan koloid seperti lemak, protein, dan selulosa. Sumber terbesar dari limbah cair RPH berasal dari darah dan isi perut. Darah dan

pencucian karkas akan memberikan dampak meningkatnya nilai BOD dan TSS, sedangkan isi perut dan usus akan meningkatkan jumlah TSS. Limbah cair RPH ini akan berdampak pada kualitas fisik air yaitu warna, TSS dan pH serta meningkatnya BOD dan menurunkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Sanjaya et al. 1996). Soehadji (1992) menyebutkan bahwa limbah peternakan adalah semua buangan dari usaha peternakan yang bersifat padat, cair dan gas, limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair (air seni atau urine, air pencucian alat-alat). Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances) (Sihombing 2002). Menurut Juheini dan Sakryanu (1999), sebanyak 56.67% peternak sapi perah membuang limbah ke badan sungai tanpa pengelolaan, sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Pencemaran ini disebabkan oleh aktivitas peternakan, terutama berasal dari limbah yang dikeluarkan oleh ternak yaitu feses, urine, sisa pakan, dan air sisa pembersihan ternak dan kandang (Charles & Hariono 1991; Prasetyo & Padmono 1993). Adanya pencemaran oleh limbah peternakan sapi sering menimbulkan berbagai protes dari kalangan masyarakat sekitarnya, terutama rasa gatal ketika menggunakan air sungai yang tercemar, di samping bau yang sangat menyengat. Pengelolaan limbah yang kurang baik akan menjadi masalah serius, sebaliknya bila limbah ini dikelola dengan baik dapat memberikan nilai tambah. Salah satu upaya untuk mengurangi limbah adalah mengintegrasikan usaha tersebut dengan beberapa usaha lainnya, seperti penggunaan suplemen pada pakan, usaha pembuatan kompos, budidaya ikan, budidaya padi sawah, serta pemanfaatan sebagai media tumbuh mikroalga, sehingga menjadi suatu sistem yang saling sinergis.

2.2.3 Pemisahan Mikroalga Pemisahan mikroalga merupakan faktor utama yang harus diatasi dalam tujuan penggunaan mikroalga. Teknik-teknik seperti filtrasi, sedimentasi, dan

sentrifugasi telah digunakan untuk pemisahan mikroalga. Teknik-teknik ini dapat dikombinasikan, tergantung pada ukuran mikroalga dan kualitas produk yang diinginkan, untuk menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi (Rahman 2010). Efisiensi pemisahan mikroalga adalah faktor yang sangat penting untuk produksi massal mikroalga. Teknik-teknik utama saat ini diterapkan dalam pemisahan mikroalga yaitu sentrifugasi, flokulasi, filtrasi, sedimentasi, flotasi, dan teknik elektroforesis (Uduman et al. 2010; Chen et al. 2011). Pemilihan teknik pemisahan tergantung pada sifat-sifat mikroalga, seperti densitas, ukuran, nilai produk yang diinginkan (Brennan & Owende 2010; Chen et al. 2011). Proses pemisahan mikroalga secara umum dapat dibagi menjadi dua tahap: 1. Pemisahan massal; tujuan dari tahapan ini adalah untuk memisahkan biomassa mikroalga dari suspensi massal, melalui metode ini, materi padatan total bisa mencapai 2-7%, teknik yang digunakan adalah flokulasi, flotasi, atau sedimentasi gravitasi (Brennan & Owende 2010; Chen et al. 2011). 2. Pembentukan konsentrat lumpur dengan filtrasi dan sentrifugasi. Langkah ini membutuhkan energi lebih besar daripada pemisahan massal (Brennan & Owende 2010; Chen et al. 2011). Kebanyakan mikroalga dapat dipisahkan menggunakan sentrifugasi. Sentrifugasi pada skala laboratorium dilakukan pada kolam limbah dengan debit limbah 500-1000 dan memberikan hasil sekitar 80-90% mikroalga selama 2-5 menit. Grima et al. (2003) menyimpulkan bahwa sentrifugasi adalah metode yang banyak dipilih untuk pemisahan mikroalga dalam jumlah besar. Efisiensi dari metode ini bergantung pada jenis mikroalga yang digunakan, pengaturan kedalaman, dan waktu tinggal dari cell slurry. Metode ini memiliki kebutuhan energi yang paling besar dibandingkan dengan metode yang lainnya (Rahman 2010). Filtrasi dapat dilakukan di dalam tekanan atau vakum jika ukuran mikroalga tidak mendekati ukuran bakteri. Filter mikro (biasanya berukuran 25-20 m) dapat digunakan untuk spesies spirulina, apabila flokulasi dilakukan sebelum filtrasi, maka efisiensi filtrasi yang dihasilkan akan meningkat (Rahman 2010). Sedimentasi adalah proses pemisahan padatan yang terkandung dalam limbah cair dengan gaya gravitasi, pada umumnya sedimentasi dilakukan setelah

proses koagulasi dan flokulasi. Proses koagulasi ini bertujuan untuk memperbesar partikel padatan sehingga menjadi lebih berat dan dapat mengendap dalam waktu yang lebih singkat (Rahayu 2009). Kecepatan pengendapan partikel dipengaruhi oleh ukuran partikel, densitas dan viskositas cairan. Apabila sebuah benda jatuh di permukaan air dan kemudian tenggelam, maka benda tersebut tidak hanya mendapatkan gaya apung melainkan juga mendapatkan gaya yang berlawanan dengan gerak benda karena cairan tersebut memiliki kekentalan. Kecepatan benda yang jatuh tersebut akan terus bertambah dan memberikan gaya Stokes yang semakin membesar dan percepatan semakin berkurang. Suatu saat benda akan mempunyai percepatan sama dengan nol dan kecepatan konstan yang disebut keecepatan sedimentasi. Hubungan antara variabel massa jenis fliuda F, massa jenis benda B, jari-jari benda r dan kecepatan sedimentasi vT adalah:

2.2.4 Koagulasi Koagulasi merupakan proses dimana partikel terdispersi dikumpulkan bersama untuk membentuk partikel yang lebih besar. Koagulasi terjadi karena destabilisasi koloid dengan menetralkan muatan sehingga membuat partikel tetap terpisah, dimana kationik memberikan muatan listrik positif untuk mengurangi muatan negatif dari koloid sehingga mengakibatkan partikel-partikel bertabrakan untuk membentuk partikel yang lebih besar. Dengan demikian koagulasi menyiratkan pembentukan agregat kompak yang lebih kecil, sedangkan flokulasi akan membentuk partikel yang lebih besar dari partikel yang dibentuk dari koagulasi (Rahman 2010). 1). Koagulasi kimia Koagulasi kimia dilakukan untuk menghasilkan densitas massa mikroalga yang lebih mudah untuk dipindahkan. Dalam koagulasi kimia, bahan kimia yang banyak digunakan adalah aluminum sulphate (alum), poly aluminum chloride (PAC), ferrous sulphate, sodium aluminat, silicon derivatif, kapur, dan polimer sintetik organik (Rahman 2010).

Garam Aluminium Sulfat (Alum), Al2(SO4)3.18H2O

jika ditambahkan

dalam air dengan mudah akan larut dan bereaksi dengan HCO3- menghasilkan Aluminium Hidroksida Dengan adanya hidroksida aluminium yang bermuatan positip maka akan terjadi tarik menarik antara partikel koloid yang bermuatan negatif dengan partikel aluminium hidroksida sehingga terbentuk gumpalan partikel yang makin lama makin besar dan berat serta cepat mengendap. Selain itu juga partikel zat organik tersuspensi, zat anorganik, bakteri dan mikro organisme yang lain dapat bersama-sama membentuk gumpalan partikel atau flok yang akan mengendap bersama-sama. Jika alkalinitas air tidak cukup untuk dapat bereaksi dengan Alum, maka dapat ditambahkan kapur atau soda abu agar reaksi dapat berjalan dengan baik (http://smk3ae.wordpress.com/feed/). Al2(SO4)3.18H2O + 3 Ca(HCO3)2 Al2(SO4)3.18.H2O + 3 Ca(OH)2 Al2(SO4)3.18H2O + 3 Na2CO3 + 3H2O Al2(SO4)3.18H2O + 6NaOH 2Al(OH)3 + 3 CaSO4 + 6 CO2 + 18 H2O Endapan 2Al(OH)3 + CaSO4 + 18 H2O Endapan 2Al(OH)3 +3Na2SO4+3CO2+18H2O Endapan 2Al(OH)3 + 3 Na2SO4 + 3CO2 + 18 H2O Endapan Alum diproduksi dalam bentuk padatan atau cairan. Banyak dipakai karena harganya relatif murah dan efektif untuk mengolah air dengan kekeruhan yang tinggi dan baik dipakai bersama-sama dengan zat koagulan pembantu. Dibandingkan dengan garam besi Alum tidak menimbulkan pengotoran yang serius pada dinding bak. Salah satu kekurangannya flok yang terjadi lebih ringan dibanding flok koagulan garam besi dan selang pH lebih sempit yaitu 5,5 8,5 (Tchobanoglous & Franklin 2003).
Poly Aluminium Chloride (PAC) merupakan bentuk polimerisasi kondensasi dari garam aluminium, berbentuk cair dan merupakan koagulan yang sangat baik. PAC mempunyai daya koagulasi lebih besar daripada alum dan dapat menghasilkan flok yang stabil walaupun pada suhu yang rendah dan pengerjaannya pun mudah (Alaerts 1984). Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari PAC antara lain:

a. Efektif pada rentang pH 5-10 b. Jumlah lumpur yang dihasilkan lebih sedikit

c. Efek korosi yang ditimbulkan jauh lebih kecil d. Efek koagulasi 2-3 kali lebih cepat dari garam-garam aluminium lainnya e.Harga PAC lebih murah dibandingkan dengan koagulan organik

sehinggamenghemat biaya Ferro Sulfat diproduksi dalam bentuk kristal bewarna hijau atau butiran untuk pembubuhan kering dengan kandungan FeSO4 kira-kira 55 %. Biasanya digunakan bersama-sama dengan kapur untuk menaikan pH sehingga ion Ferro terendapkan dalam bentuk Feri hidroksida Fe(OH)3. Ferro Sulfat kurang sesuai untuk menghilangkan warna akan tetapi sangat baik untuk pengolahan air yang mempunyai alkalinitas, kekeruhan dan DO yang 18 tinggi. Kondisi pH yang sesuai antara 9 11. Ferro Sulfat lebih murah dibanding Alum tetapi pengolahan air dengan menggunakan Ferro Sulfat memperbesar kesadahan air

(http://smk3ae.wordpress.com/feed/). FeSO4.7H2O + Ca(OH)2 4 Fe(OH)2 + O2 + 2H2O Fe(OH)2 + CaSO4 + 7 H2O 4Fe(OH)3 Endapan

Menurut komposisi kimianya terdapat dua klasifikasi utama koagulan: (a) anorganik flokulan dan (b) organik flokulan. Penambahan koagulan, seperti koagulan berbasis besi atau aluminium, akan menetralisir atau mengurangi muatan permukaan, seperti yang dilakukan pada penelitian untuk pemanenan Scenedesmus dan Chlorella melalui netralisasi muatan. Pada koagulasi menggunakan anaorganik flokulan seperti aluminium atau iron salt, proses pemisahan mikroalga dapat dilakukan pada pH yang cukup rendah, namun masih ada kemungkinan biomassa yang dihasilkan terkontaminasi oleh koagulan, sedangkan menggunakan organik koagulan seperti chitosan kemungkinan kontaminasi akan terhindar karena menggunakan bahan yang biodegradabel. Kekurangan dari metode ini adalah biaya pengadaan bahan kimia yang digunakan cukup tinggi sehingga perlu kombinasi dengan metode lain (Grima et al. 2003).

2). Koagulasi elektrik Proses koagulasi elektrik mengacu pada pemisahan mikroalga dengan medan listrik tanpa menggunakan kogulan. Menurut Rohman (2009), prinsip dasar dari elektrokoagulasi adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Dalam

suatu sel koagulasi elektrik, peristiwa oksidasi terjadi di elektroda yaitu anoda (+), sedangkan reduksi terjadi di elektroda yaitu katoda (-). Yang terlibat dalam reaksi Koagulasi elektrik selain elektroda yaitu air yang diolah, yang berfungsi sebagai larutan elektrolit. Apabila dalam suatu elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit, dimana ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron yang dioksidasi. Interaksi yang terjadi di dalam larutan yaitu: (1) migrasi menuju muatan elektroda yang berlawanan (elektroforesis) dan netralisasi muatan, (2) kation atau ion hidroksil membentuk endapan dengan pengotor, (3) interaksi kation logam dengan ion OH- membentuk sebuah hidroksida dengan sifat adsorpsi yang tinggi selanjutnya berikatan dengan polutan, (4) oksidasi polutan sehingga sifat toksiknya berkurang (Holt et al. 2002). Mikroalga awalnya akan mengapung karena keterikatan pada hidrogen dan gelembung gas oksigen, namun, dengan agitasi mikroalga juga dapat diendapkan. Penelitian menunjukkan bahwa 90% biomassa dapat dihasilkan dengan waktu pemanenan 35 menit dan konsumsi energi 0.33 kWh/m3, selain itu juga dihasilkan bahwa untuk menghasilkan biomassa sebesar 90% dapat dicapai dengan perlakuan 15 dan 10 volt dan 15 dan 20 menit dari waktu pemisahan (Poelman et al. 1997).

3). Flokulasi spontan Flokulasi spontan terjadi sebagai akibat dari pengendapan garam karbonat dengan sel mikroalga pada pH tinggi, akibat konsumsi CO2 hasil fotosintesis dengan alga (Sukenik & Shelef 1984). Oleh karena itu, pemaparan yang lama di bawah sinar matahari dengan suplai CO2 yang terbatas akan membantu proses Flokulasi spontan sel mikroalga . Percobaan laboratorium juga mengungkapkan Flokulasi spontan dapat dilakukan dengan menambahkan NaOH untuk mencapai nilai-nilai pH tertentu. Osborne (2009), telah melakukan penelitian dalam hal pemisahan mikroalga untuk produksi biofuel dan didapatkan hasil (a) Untuk memisahkan alga air tawar diperlukan kapur dan penambahan air laut (5%) pada pH 9.5, hal ini menunjukkan pentingnya peranan kalsium dan magnesium; (b)

Untuk memisahkan alga air laut diperlukan penambahan natrium hidroksida pada pH 10-11 menggunakan kalsium dan magnesium dengan dosis yang tinggi

2.2.5 Optimasi dengan Metode Permukaan Respon Metode permukaan respon adalah suatu kumpulan dari teknik-teknik statistika dan matematika yang berguna untuk menganalisis permasalahan tentang beberapa variabel bebas yang mempengaruhi variabel tak bebas atau respon, serta bertujuan untuk mengoptimalkan respon itu. Jadi, dengan demikian metode permukaan respon dapat digunakan oleh peneliti untuk : 1. Mencari fungsi pendekatan yang cocok untuk meramalkan respon yang akan datang. 2. Menentukan nilai-nilai dari variabel bebas yang mengoptimalkan respon yang dipelajari (Gasperz 1995). 3. Menentukan level dari variabel input yang akan meghasilkan respon yang optimal (Dekker & Petersen 1985). Metode permukaan respon pada dasarnya serupa dengan analisis regresi, yaitu menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil (least squares method), hanya saja dalam metode permukaan respon diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematika untuk menentukan titik-titik optimal agar dapat ditemukan respon yang optimal (maksimal atau minimal). Menurut Gasperz (1995), pembahasan dalam metode permukaan respon, variabel akan didefinisikan sebagai X, dimana variabel bebas itu diasumsikan merupakan variabel kontinyu dan dapat dikendalikan oleh peneliti tanpa kesalahan, diasumsikan merupakan variabel acak (random variable). Variabel bebas bisa terdiri dari X1, X2,, Xk dengan Y sebagai variabel tak bebas atau variabel respon yang diduga sebagian atau seluruhnya merupakan respon dari X1, X2,, Xk. Secara umum persamaan metode permukaan respon dapat dituliskan sebagai Y = f (X1, X2,, Xk). Pada metode permukaan respon kebanyakan masalah adalah menggunakan salah satu model polinomial dari fungsi Y = 0 + 1X1 + 2X2 + + kXk + yang merupakan model polinomial ordo satu sebagai tahap awal. Bila terdapat

lengkungan dalam sistem, maka dapat dirumuskan dengan model polinomial ordo kedua dengan fungsi Y = 0 + 1X1 + 2X2 + 3X12 + 4X22 +5X1X2 + Uji beda kecenderungan (metode ortogonal polinomial) dapat diterapkan terhadap perlakuan-perlakuan yang bersifat kuantitas atau percobaan faktor kuantitatif. Pengujian sesuai metode ortogonal polinomial ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan fungsional antara tanggapan (respon) dan perlakuanperlakuan yang terlibat dalam kisaran taraf penelitian yang dicoba (Hanafiah 1991). Seringkali dalam penelitian, tidak diketahui secara pasti lokasi titik maksimal berada. Pada permasalahan ini pendugaan dakian tercuram (steepest ascend method) akan sangat membantu. Pada dasarnya metode dakian tercuram merupakan suatu prosedur untuk mencari daerah respon maksimal (Gasperz 1995). Dasar kerja metode lintas dakian tercuram adalah melakukan sebuah eksperimen yang sederhana pada bagian permukaan respon yang luasnya kecil (bidang). Kemudian ditentukan persamaan bidang tersebut dan setelah itu eksperimen diambil sedemikian rupa agar bergerak ke arah optimal pada permukaan respon. Eksperimen berikutnya kita harapkan harus bergerak dalam arah mendaki paling cepat menuju titik optimal pada permukaan respon (Hanafiah 1991). Menurut Garcia-Diaz dan Phillips (1995), pada kebanyakan permasalahan metode permukaan respon, hubungan matematika menggambarkan respon percobaan yang dianggap tidak diketahui sehingga langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan perkiraan yang sesuai untuk hubungan tersebut dapat digunakan untuk menentukan kondisi operasi paling efisien dari sistem yang dipelajari.

2.3 Kerangka pemikiran Pemanfaatan mikroalga dalam kehidupan semakin meningkat antara lain sebagai sumber minyak dalam pembuatan biodiesel. Sumber minyak yang akan dimanfaatkan sebagai biodiesel tersebut berasal dari biomassa mikroalga. Proses pembentukan biomassa mikroalga membutuhkan nutrien yang bisa didapatkan dari limbah cair RPH dan peternakan. Biomassa mikroalga yang tumbuh pada

limbah cair RPH dan peternakan perlu dipisahkan agar bisa dimanfaatkan. Proses pemisahan mikroalga menjadi tahapan yang cukup penting untuk dilakukan agar pemanfaatan mikroalga dapat optimal. Proses pemisahan yang dilakukan adalah sedimentasi yang diawali dengan perlakuan pendahuluan yaitu proses koagulasi. Pada penelitian ini dikembangkan dua proses koagulasi yaitu secara kimia dan elektrik. Limbah cair RPH dan peternakan yang telah dipisahkan akan mengalami penurunan kadar polutan akibat dari dikonsumsinya bahan-bahan organik yang terkandung didalamnya oleh mikroalga, sehingga dapat didaur ulang untuk tujuan penggunaan yang lain. Kerangka pemikiran penelitian secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1.

Limbah cair agroindustri (RPH dan peternakan) mengandung banyak nutrisi (N, P, K) digunakan sebagai media pertumbuhan mikroalga

Kajian pemisahan mikroalga

Perlakuan pendahuluan yang dikembangkan: Koagulasi kimia Koagulasi elektrik

Mikroalga

Biomassa mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai sumber BBN atau pakan

Supernatan

Kadar nutrien dan polutan berkurang sehingga dapat didaur ulang

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Vous aimerez peut-être aussi