Vous êtes sur la page 1sur 12

PPelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase asing (internasional).

Putusan arbitrase nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri. 1. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun. 2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional) Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing. E. Hapusnya Perjanjian Arbitrase Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa

terjadi peristiwa-peristiwa:

1. Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia. 2. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, novasi (pembaharuan utang), dan insolvensi. 3. Pewarisan. 4. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok. 5. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut. 6. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. 7. BASYARNAS merupakan kepanjangan dari BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL. Jadi yang dimaksud dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah suatu lembaga arbitrase nasional satu-satunya yang menetapkan hukum Islam (Syariah) yang berlaku terahadap penyelesaiaan seluruh sengketa muamalah yang terjadi dikalangan masyarakat. Arbitrase adalah cara penyelesaiaan sengketa perdata di luar pengadilan yang berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat seacara tertulis oleh para pihak. Arbitrase syariah adalah penyelesaiaan sengketa dengan cara arbitrase yang dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syariah. Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan tertulis yang dibuat oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa, baik yang belum terjadi maupun yang sudah terjadi, melalui arbitrase. Dengan adanya perjanjian arbitrase, maka secara pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan agama, menjadi tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam Undang-Undang No.30/1999,tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dirumuskan dalam BAB I, pasal 1 ayat (1) Bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 2. Sejarah Maraknya kesadaran dan keinginan umat terhadap pelaksanaan hukum Islam, namun juga didorong oleh suatu kebutuhan riil adanya Praktek Peradilan Perdata secara perdamian selaras dengan perkembangan kehidupan ekonomi keuangan di kalangan umat Islam, melahirkan Badan Arbitrase berdasarkan Syariat Islam. Di dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan belum diatur

mengenai Bank Syariah, akan tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan. Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan beberapa perjanjian Internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, oleh karena itu dibuatlah undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang mengatur tentang perbankan syariah. Dengan adanya undang-undang ini maka pemerintah telah melegalisir keberadaan bank-bank yang beroperasi secara syariah, sehingga lahirlah bankbank baru yang beroperasi secara syariah. Dengan adanya bank-bank yang baru ini maka dimungkinkan terjadinya sengketa-sengketa antara bank syariah tersebut dengan nasabahnya sehingga Dewan Syariah Nasional menganggap perlu mengeluarkan fatwa-fatwa bagi lembaga keuangan syariah, agar di dapat kepastian hukum mengenai setiap akad-akad dalam perbankan syariah, dimana setiap akad itu dicantumkan klausula arbitrase yang berbunyi Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan adanya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut dimana setiap bank syariah atau lembaga keuangan syariah dalam setiap produk akadnya harus mencatumkan klausula arbitrase, maka semua sengketa-sengketa yang terjadi antar perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah dengan nasabahnya maka penyelesaiannya harus melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh Dewan Pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili KH. Hasan Basri dan H.S Prodjokusumo, masing-masing sebagai ketua umum dan sekretaris umum dewan pimpinan MUI. Sebagi saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, SE (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di ketuai oleh H. Hartono

Mardjono, SH sampai beliau wafat tahun 2003. Pada tanggal 22 April 1992, Dewan Pimpinan MUI mengundang rapat para pakar atau praktisi hukum atau cendekiawan Muslim termasuk dari kalangan Perguruan Tinggi guna bertukar pikiran perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam. Setelah beberapa kali melekukan rapat, didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober tahun 1993 M. Dalam rekomendasi RAKERNAS MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hukam (Arbitase Syariah) satu satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI. Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan MUI dengan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktobe2003, maka MUI dengan SK nya No.Kep -09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003, menetapkan : 8. i. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). ii. Mengubah bentuk badan BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi. iii. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hukum, BASYARNAS bersifat otonom dan independen. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Didirikannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, SH Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukan. bahkan, dari kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) selama yang bersangkutan mempercayai cara bekerjanya dalam menyelesiakan sengketa. Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan

oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syriat islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan di kalangan umat. karena itu, tujuan didirikannya BASYARNAS sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa mauamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain-lain dikalangan umat Islam. Sejarah berdirinya BASYARNAS ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam, kontekstual ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) serta Asuransi Takaful yang lebih dulu lahir. Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Maryam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui badan arbitrase tersebut, sengketasengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam. 3. Tujuan berdirinya Menyelesaikan perselisihan atau sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian sebagaimana yang dimaksud didalam Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 9 dan Surat An-Nisa ayat 35. Lahirnya BASYARNAS ini, menurut Prof. Mariam Daus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan Hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan Hukum Islam. (Mariam Badrulzaman, dalam Arbitrase Ialam di Indonesia, 1994:64). Adanya BASYARNAS sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk menyelesaikan kemungkianan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank syariah dengan para nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada khususunya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubunganhubungan keperdataan yang menjadikan syariah Islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. (Hartono Mardjono, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, 1994:169-170). Dikatakan selanjutnya bahwa Badan Arbitrase akan lebih menitik beratkan pada tugas dan fungsinya untuk mencari titik temu di antara para pihak yang tengah berselisih melalui proses yang digali dari ruh ajaran dan akhlaq Islam menuju jalan Islam (1) Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-

sengketa muamalat atau perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, jasa dan lain-lain. (2) Atas permintaan pihak-pihak dalam suatu perjanjian, dapat memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Dalam surat Al-Hujarat ayat 9 justru ingin mendamaikan orang yang bersengketa itu menjadi sebuah perintah,, Jika ada dua golongan (pihak) dari orang-orang mukmin berperang (sengketa), maka damaikanlah di antara keduanya secara adil. Mereka tidak ingin merasa benar sendiri dan mengabaikan kebenaran yang mungkin ada pada orang lain. Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadran bernegara/bermasyarakat, sehingga dapat dihindari tindakan main hakim sendiri. B. Ruang Lingkup Kewenangannya Adapun wewenangnya adalah Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan industri, jasa dan lain-lain dimana para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiaanya kepada BASYARNAS sesuai dengan Peraturan Prosedur BASYARNAS. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya sesuatu sengketa mengenai persoalan tertentu dalam suatu perjanjian. 9. C. Mekanisme Operasional BASYARNAS mempunyai prosedur atau mekanisme operasional yang memuat ketentuan-ketentuan antara lain : 1. Permoohonan untuk mengadakn arbitrase, 2. Penetapan Arbiter, 3. Acara Pemeriksaan, 4. Perdamaian, 5. Pembuktian dan saksi atau ahli, 6. Berakhirnya Pemeriksaan, 7. Pengambilan Putusan, 8. Perbaikan Putusan, 9. Pembatalan Putusan, 10. Pendaftaran Putusan,

11. Pelaksanaan Putusan, 12. Biaya Arbitrase. 10. D. Struktur organisasi Penasehat : 1. Dr. K.H. MA Sahal Mahfudh. 2. Prof. K.H. Ali Yusuf. 3. Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin. 4. K.H. Maruf Amin. 5. Prof. Dr. Anwar Ibrahim. 6. Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, SH. 7. Prof. Drs. H.M. Tahir Azhary, SH. 8. Prof. Dr. H. Umar Shihab. 9. Prof. Drs. H. Asmuni Abdurrahman. 10. Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab. 11. Prof. Dr. H. Abdul Gani Abadullah, SH. 12. Drs. H.M. Ichwan Sam. 11. Pengurus : Ketua : H. Yudo Paripurno, SH. Wakil Ketua : H. Abdul Rahman Saleh, SH., MH. Wakil Ketua : H. Hidayat Achyar,, SH. Wakil Ketua : Hj. Fatimah Achyar, SH. Wakil Ketua : Drs. H. Muchtar Luthfi, SH. Wakil Ketua : Drs. H. Zainul Arifin, MBA. Wakil Ketua : H. Cecep Maskanul Hakim, M. Ec. Sekretaris : H. Achmad Djauhari, SH., MH. Wakil sekretaris : Drs. H. Ahmad Dimyati Wakil Sekretaris : Dra. Hj. Siti Marifah, SH., MM. Bendahara : H. Riyanto Sofyan, B.S.E.E, MBA. Wakil Bendahara : Dra. Hj. Euis Nurhasanah Anggota : 1. Prof. Dr. Eraman Rajagukguk, SH., LLM. 2. H.A. Zein Umar Purba, SH., LLM. 3. Gunawan Yasmi, SE., MM. 4. Mohammad Nur, SH. 5. Tgk. H. Ir. Ibrahim Arif, SH. M. Agr. 6. H.M. Isa Anshary, MA. 7. Hj. Niniek Rustinawati, SH., M. Kn. 8. Agus Sunarno, SE.

9. Hj. Arafah Windiani, SH, M. Hum. 10. Henny Wijayanti, SH., M. Hum. E. Contoh perkara yang dapat diselesaikan oleh BASYARNAS. Contoh perkara yang dapat diselesaikan oleh BASYARNAS seperti sengketa muamalat (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lan-lain secara adil dan cepat. Bila dicontohkan lebih spesifik, seperti perkara berikut : Permasalahan kredit macet antara seorang nasabah Bank dan Lembaga Bank. Akibat adanya kredit macet , maka nasabah menggugat Bank, atau dapat sebaliknya, Bank yang menggugat nasabahnya. Kemudian pihak yang menggugat mengajukan perkara tersebut ke BASYARNAS. Apabila perkara tersebut dapat diterima oleh BASYARNAS, maka para pihak harus mengikuti prosedur ataupun mekanisme yang telah ditentukan dan ditetapan oleh BASYARNAS. Cara yang dilakukan BASYARNAS untuk menyelesaikan perkara atau permasalahan adalah sebagai berikut Mediasi : Musyawarah untuk mufakat Sidang : Mengeluarkan keputusan Putusan : Mengeluarkan putusan pada suatu perkara Dalam penyelesaian suatu perkara di BASYARNAS, tidak hanya orang muslim saja yang bisa, melainkan orang non muslim juga dapat menyelesaikan perkaranya di BASYARNAS dengan syarat ia setuju penyelesaian masalahnya diselesaikan dengan syariat/ajaran Islam. Selain itu terdaapat berbagai bentuk alternative yang digunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa yaitu dengan cara: Konsultasi Menurut Blacks Law Dictionary, yang dimaksud dengan konsultasi adalah aktivitas konsultasi atau perundingan seperti klien dengan penasihat hukumnya. Selain itu konsultasi juga dipahami sebagai pertimbangan orang-orang (pihak) terhadap suatu masalah. Konsultasi sebagai pranata alternatif penyelesaiaan sengketa dalam praktiknya dapat berbentuk menyewa konsultan untuk dimintai pendapatnya dalam upaya penyelesaiaan suatu masalah. Dalam hal ini konsultan tidak dominan, melainkan hanya memberikan pendapat hokum yang nantinya dapat dijadikan rujukan para pihak untuk mnyelesaikan sengketa.

12. Negoisasi Negoisasi menurut Goodpaster adalah suatu paroses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Sedangkan menurutFisher dan Ury negoisasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediator) atau pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (ajudikator). Mediasi Menurut Blacks law Dictionary, mediasi adalah Swasta, proses penyeles aian sengketa informal di mana orang ketiga yang netral, mediator, membantu pihakpihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan keputusan para pihak. Konsilisasi Menurut Blacks Law Dictionary, konsiliasi adalah penciptaan penyesuaiaan pendapat dan penyelesaiaan suatu sengketa dengan suasana persahabatan dan tanpa ada rasa permusuhan yang dilakukan di pengadilan sebelum dimulainya persidangan dengan maksud untuk menghindari proses litigasi. Pendapat atau penilaiaan ahli Dalam perumusan pasal 52 Undang-undang no 30 tahun 1999, di nyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. 13. F. Kekuatan Hukum. DASAR HUKUM 1. Al-Quran a. Surat Al-Hujurat ayat 9 Yang artinya Jika dua golongan orang yang beriman berperang (bersngketa), maka damaikan keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali ke ajaran Allah. Dan jika golongan itu telah kembali, maka damaikan keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujarat:9) b. Surat An-Nisa ayat 35 Yang artinya Jika kamu khawatir terjadi sengketa di antara keduanya (suami

isteri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermasud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (An -Nisa:35) 2. As-Sunnah HR. An-Nasai menceritakan dialog Rasulullah dengan Abu Sureih. Rasulullah bertanya kepada Abu Sureih : Kenapa kamu dipanggil Abu Al Hakam? Abu Sureih menjawab : Sesungguhnya kaumku apabila bertengkar, mereka datang kepadaku, meminta aku menyelesaikannya. Dan mereka rela dengan keputusanku itu. Mendengar jawaban Abu Sureih itu, Rasulullah berkata : Alangkah baiknya perbuatan yang demikian itu. 14. Demikian Rasulullah membenarkan bahkan memuji perbuatan Abu Sureih, Kisah singkat tersebut merupakan gambaran bahwa Abu Sureih bukan merupakan hakim resmi/pemerintah yang bertugas untuk menyelesaikan/memeriksa/memutuskan sengketa-sengketa yang diajukan kepadanya olehmasyarakat disekitarnya. Perbuatan Abu Sureih yang dimikian itu mnedapatkan pujia dab pengakuan (taqrir) dari Nabi Muhammad Saw. Pengakuan Nabi tersebut dapat menjadi dalil bagi keabsahan system tahkim/arbitrase bagi penyelesaiaan sengketa. 3. Ijma Banyak riwayat menunjukkan bahwa para ulama dan sahabat Rasulullah sepakat (ijma) membenarkan penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase. Misalnya diriwayatkan tatkala Umar bin Khattab hendak membeli seekor kuda. Pada saat Umar menunggang kua itu untu uji coba, kaki kuda itu patah. Umar hendak mengembalikan kuda itu kepada pemilik. Pemilik kuda itu menolak . Umar berkata : Baiklah, tunjuklah seseorang yang kamu percayai untuk menjadi hakam (arbiter) antara kita berdua. Pemilik kuda itu berkata : Aku rela Abu Syureih untuk menjadi hakam. Maka dengan menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada Abu Syureih. Abu Syureih (hakam) yang dipilih itu memutuskan bahwa Umar harus mengambil dan membayar harga kuda itu. Abu Syureih berkata kepada Umar bin Khattab : Ambillah apa yang kamu beli (dan bayar harganya), atau kembalikan kepada pemilik apa yang telah kamu ambil seperti semula tanpa cacat. Umar menerima baik putusan itu.

Pada riwayat lain umar bin Khattab bersengketa dengan Ubay b in Kaab tentang sebidang tanah dan bersepakat untuk menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai hakam. Thalhah pernah bersengketa dan menunjuk hakam Jubeir bin Muthim. 15. 4. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentangg Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradialan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud UU No. 30/1999. 5. SK. MUI SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 Tanggal 30 Syawal 1424 H (24 Desember 2003) tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. 6. FATWA DSN-MUI Semua Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 16. G. Perkembangan dan kontribusi bagi masyarakat dan lembaga perekonomian umat. Kendala yang dialami oleh BASYARNAS untuk lebih berkembang adalah kurangnya sosialisasi kepada umat Islam khususnya ataupun masyarakat di Indonesia pada umumnya. Sehingga banyak masyarakat yang belum mengenal BASYARNAS serta fungsinya. Akibatnya sampai saat ini,kontribusi BASYARNAS bagi masyarakat belum terlalu dapat dimanfaatkan karena ketidak tahuan mereka terhadap BASYARNAS. Namun, apabila dilihat kotribusinya dalam lembaga perekonomian, sudah cukup mengalami perkembangan yang cukup baik. Karena dengan ada dan tumbuhnya lembaga perekonomian Islam yang sekarang sudah semakin berkembang dan terus bertambah. Sehingga sudah cukup banyak dari lembaga-lembaga tersebut yang datang ke BASYARNAS untuk menyelesaikan masalah di BASYARNAS. Dari awal mula didirikannya, yakni tahun 1993 sampai saat ini, BASYARNAS

sudah mengeluarkan 14 putusan dari ratusan surat permohonan yang diajukan oleh masyarakat maupun lembaga perekonomian.

Vous aimerez peut-être aussi